Islam Liberal di Muhammadiyah

“Islam Liberal:” di Muhammadiyah
Oleh : Anjar Nugroho
Ungkapan “Islam Liberal” mungkin terdengan kontradiksi. Selama berabad-abad,
Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan
Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam
tulisannya, “Mahomet, or Fanatism”. Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti
diungkapkan Mountesqiu sebagai “Kezaliman Timur”, atau definisi yang diberikan
Francis Bacon “Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopansantun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki”.
Sebenarnya tradisi yang disebut sabagai Islam Liberal sangat menggugah, karena
mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad
kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A. Sourcebook,
menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolak ukur sebuah pemikiran Islam
dapat disebut “Liberal” yaitu : (1) melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak
mendirikan negara Islam; (2) mendukung gagasan demokrasi; (3) membela hak-hak
perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6)
membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah
satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.
Istilah Islam Liberal yang digunakan Charles Kurzman jauh dari makna penyimpanan
secara radikal terhadap otentisitas ajaran Islam. Ia menggunakan secara “netral” sebagai
instrumen untuk menunjukkan ada sekelompok intelektual Muslim yang berusaha
mengembangkan gagasan ke-Islaman yang bersifat toleran, terbuka dan berkemajuan

dalam menghadapi persoalan-persoalan global seperti demokrasi, pluralisme, kesetaraan
gender, dan modernisasi.
Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh
sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang
berkembangkan oleh Mu’tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai fisuf besar, tetapi juga dokter yang
meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb
(The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai
abad ke-17.
Ibn Taymiyah (1963-1328) menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan,
yaitu kekhalifahan yang ideal -yang pada masanya sudah tidak ada lagi- dan
pemerintahan “sekular” yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah
juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu
syari’ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintah Mamluk (political
expediency, natural equity).
Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap
keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Taymiyah menyarankan
suatu “jalan tengah”, yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad pada
situasi yang berubah. Suatu ijma’ (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat
--oleh karena kesetiaan mereka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya, tapi

tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn
Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalahmasalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga
revivalis dan neo-fundamentalis.

Lalu, apakah wacana Islam Liberal bisa dikembangkan di Muhammadiyah? Dalam
pandangan penulis, wacana yang ditawarkan Islam Liberal dapat ditarik signifikansinya
dalam mengembangkan tradisi pemikiran yang produktif, kritis, dan konstruktif di
kalangan Muhammadiyah. Meski telah memproklamirkan sebagai gerakan modernissubstansialis dan meraih sukses di Indonesia, tetapi kini ada gejala kegamangan
Muhammadiyah dalam mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik. Seperti
keterlambatannya dalam merespon persoalan-persoalan politik, sosial, dan budaya yang
berkembang begitu cepat. Bahkan ada kecenderungan Angkatan Muda Muhammadiyah
tengah mengembangkan wacana intelektual “formalisme Islam” (Muthohharun Jinnan,
Kompas 29 Juni 2001), yang tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan
jilbabisasi yang marak di kampus-kampus Muhammadiyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang
cenderung memperluas demografi dan keanggotaan (Kuntowijoyo, 1998). Aktivisme
tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis
dan apologis ketimbang berfikri secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua,
peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat figh-oriented dan

tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan
perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtifprobabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari
pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT)
terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir
empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih (Azhar, 2000).
Karena itu, Islam Liberal patut dipertimbangkan sebagai acuan paradigma dalam
mengembangkan pemikiran keislaman secara utuh dan mendalam di Muhammadiyah.
Wallahu a’lam
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002