KEDUDUKAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA DITINJAU DARI FIQH SIYASAH.

(1)

SKRIPSI

Oleh

INDRA NURFIATI

CO3211015

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

SURABAYA

2016


(2)

SKRIPSI

Oleh

NDRA NURFIATI

CO3211015

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

SURABAYA

2016


(3)

(4)

(5)

(6)

vii

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan hasil penelitian pustaka dengan judul “Kedudukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ketatanegaraan Indonesia Ditinjau dari Fiqh Siyasah”. Penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu: Bagaimana kedudukan MUI dalam ketatanegaraan di Indonesia dan Bagaimana kedudukan MUI dalam ketatanegaraan di Indonesia perspektif Fiqh Siyasah.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan jenis data yang dipergunakan adalah data primer yang berasal dari AD/ART Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan data sekunder yang berasal dari buku-buku sedangkan teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentatif yakni mengkaji isi dari AD/ART Majelis Ulama Indonesia (MUI), buku, skripsi, disertasi, artikel dan sumber lain yang berkaitan dengan penulisan ini.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kedudukan Majelis Ulama Indonesia berada pada ranah kawasan infra struktur politik. Dalam infra struktur politik MUI berada dalam golongan/kelompok kepentingan, lebih tepatnya kelompok

kepentingan institusional (Interest Group Instittusional) dan fatwa MUI bukanlah

hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat. Fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Majelis Ulama Indonesia dijelaskan dalam siyasah dusturiyah sebagai pembantu pemerintah dalam menyelesaikan suatu masalah dalam Islam yang dalam hal ini peran dan fungsi MUI sama dengan lembaga ifta’

Berdasarkan kesimpulan diatas penulis berharap kepada pemerintah untuk memberikan payung hukum terhadap keberadaan Majelis Ulama Indonesia dalam peranannya yang sangat penting dalam negara dan masyarakat.


(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identikasi Masalah ... 12

C. Pembatasan Masalah ... 12

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Kajian Pustaka ... 13

F. Tujuan Penelitian ... 15

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

H. Definisi Oprasional ... 16

I. Metode Penelitian ... 17


(8)

viii

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SIYASAH DUSTURIYAH

A. Pengertian Siyasah Dusturiyah ... 21

B. Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah... 22

C. Konsep Negara Hukum Dalam Siyasah Dusturiyah ... 26

1. Konstitusi ... 26

2. Legislasi ... 35

3. Ummah ... 43

4. Syura dan Demokrasi ... 46

D. Lembaga Ifta’ ... 50

BAB III MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sejarah Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia ... 58

B. Ruang Lingkup Kerja Majelis Ulama Indonesia ... 66

1. Peran dan Fungsi MUI ... 66

2. Penetapan Fatwa MUI ... 68

3. Majelis Ulama Indonesia dalam Ketatanegaraan Indonesia ... 70

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP KEDUDUKAN MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Kedudukan Majelis Ulama Indonesia Dalam Ketatanegaraan Indonesia ... 79


(9)

ix

B. Kedudukan Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif

Fiqh Siyasah ... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam telah mengalami perkembangan secara

berkesinambungan, baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya. Bahkan dibalik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.

Dalam wacana fiqh siyasah, kata imâmah (imamah) biasanya

diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian

kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Agar kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah) tersebut berlaku efektif dalam dunia Islam, maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Secara akal maupun syar’i, mendirikan negara merupakan kewajiban umat Islam. Negara merupakan alat bagi umat Islam untuk dapat

melaksanakan ajaran-ajaran Islam, sehingga tujuan syara’ menciptakan

kemaslahatan dan menolak kemudaratan dapat tercapai dalam masyarakat. Tujuan pendirian negara tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh umat Islam, yaitu memperoleh kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat. Karena tujuan ini tidak mungkin dicapai hanya secara


(11)

pribadi saja, maka Islam menekankan pentingnya pendirian negara sebagai sarana untuk memperoleh tujuan tersebut. Tujuan negara dalam Islam bukan hanya untuk duniawi semata, melainkan juga untuk hal-hal yang bersifat ukhrawi. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Lebih jauh Yusuf Musa

merinci tujuan negara dan pemerintahan dalam Islam adalah:1

1. Memberikan penjelasan keagamaan yang benar dan menghilangkan

keragu-raguan terhadap hakikat Islam kepada seluruh umat manusia, mengajak manusia kepada Islam, melindungi manusia dari tindakan-tindakan agresif dan membela syariat Islam dari orang yang berusaha melanggarnya.

2. Melakukan segala upaya dan acara untuk mewujudkan persatuan dan

kesatuan umat Islam dengan landasan saling menolong dan memenuhi sarana kehidupan manusia, sehingga mereka menjadi satu kesatuan yang kukuh seperti bangunan.

3. Melindungi wilayah Islam dari serangan musuh dan melindungi warganya

dari segala bentuk kezhaliman.

Secara sederhana, tujuan negara Islam adalah untuk

mempertahankan keselamatan dan itegritas negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga setiap warganya menyadari kemampuan masing-masing dan mau menyumbangkan

kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara.2

1 Muhammad Yusuf Musa, Nizhâm al-Hukm fi al-Islam, h. 169

2 Fazlur Rahman, “Implementation of The IslamicConcept of State in The Pakistan Milleu”

dalam Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, et al., Islam In Transition, (London: Oxford University Press, 1982), h. 462.


(12)

Sesuai dengan tujuan negara menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia, maka negara mempunyai tugas-tugas penting untuk merealisasikan tujuan tersebut. Ada tiga tugas utama yang dimainkan oleh

negara dalam hal ini adalah:3

Pertama, tugas untuk mencipatakan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk melaksanakan tugas ini, maka

negara memiliki kekuasaan legislatif (al-shulthah al-tasyirÎ’ iyah). Dalam hal

ini negara memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi, analogi dan

inferensi atas nashsh-nashsh Al-Qur’an dan hadits. Jika apabila tidak ada

nashsh sama sekali, maka wilayah kekuasaan legislatif lebih luas dan besar, sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut. Dalam realitas sejarah kekuasaan legislatif ini pernah dilaksanakan oleh lembaga ahl

al-hall wa al-„aqd. Kemudian dalam masa modern sekarang, lembaga ini ini

biasanya mengambil bentuk sebagai Majelis Syura (parlemen).

Kedua, tugas melaksanakan undang-undang. Untuk

melaksanakannya, negara memiliki kekuasaan eksekutif (sulthah al-tanfidziyah). Di sini negara memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini, negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang menyangkut hubungan dengan negara lain (hubungan internasional). Pelaksana tertinggi kekuasaan ini adalah pemerintah (kepala negara) dibantu oleh para pembantunya (kabinet atau


(13)

dewan menteri) yang dibentuk dengan sesuai kebutuhan dan tuntunan situasi yang berbeda antara satu negara dengan negara Islam lainnya. Sebagaimana halnya kebijaksanaan legislatif yang tidak boleh menyimpang dari semangat nilai-nilai ajaran Islam, kebijaksanaan politik kekuasaan eksekutif juga harus sesuai dengan semangat nashsh dan kemaslahatan.

Ketiga, tugas mempertahankan hukum dan perundang-undangan yang telah diciptakan oleh lembaga legislatif. Tugas ini dilakukan oleh

lemabaga yudikatif (al-shulthah al-qadha’iyah). Dalam sejarah Islam,

kekuasaan lembaga ini biasanya meliputi wilayah al-hisbah (lembaga peradilan untuk menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan seperti

kecurangan dan penipuan dalam bisnis), wilayah al-qadha’ (lembaga

peradilan yang memutuskan perkara-perkara antara sesama warganya, baik perdata maupun pidana) dan wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang menyelesaikan perkara penyelewengan penjabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan atau hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat).

Islam dalam kancah politik di Indonesia mempunyai peranan yang penting dan sejarah yang panjang. Mulai dari fase kemerdekaan sampai pada fase reformasi. Peranan Islam dilakukan secara langsung oleh para ulama, pada masa penjajahan peranan ulama sangat jelas terlihat dengan adanya perlawanan kerajaan Islam yang berdiri seperti demak dan banten terhadap para penjajah. Pada masa demokrassi liberal dan terpimpin, hubungan antara


(14)

Islam dan pemerintah bersifat antagonism dan saling mencurigai satu sama lain. Hubungan seperti ini terjadi karena disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di antara founding father Indonesia tentang sistem dan bentuk

negara yang dicita-citakan apakah berbentuk Islam atau nasionalis.4

Pada awal kemerdekaan tahun 1945-1950, para pemimpin muslim tergabung dalam masyumi, telah mengkonsentrasikan peruangan politik mereka untuk mempromosikan Islam sebagai dasar negara. Sebaliknya, golongan nasionalis-sekuler menolak Islam mengusulkan Pancasila untuk digunakan sebagai dasar negara. Terjadi perdebatan yang runcing dan panjang di dewan konstituante antara kelompok nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler mengenai apakah Islam atau Pancasila yang akan digunakan sebagai dasar negara. Kedua kelompok ini mencapai kesepakatan politik dalam bentuk piagam Jakarta.

Pada masa pemerintahan Orba, kaum militer menjalin hubungan yang harmonis dan kerjasam yang rapi dengan umat Islam pada masa penumpasan G30S/PKI, namun kerjasama ini tidak berlangsung lama karena tampaknya pemerintah masih menaruh kecurigaan politik terhadap kembali

eksisnya partai Islam Masyumi.5

Pada masa awal orde baru, dimana terjadinya kemunduran politik pemerintah menggagas untuk membentuk wadah ulama agar dapat mengawasi dan membatasi gerak Islam. Pada tanggal, 7 rajab 1395 hijriyah,

4 Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik Islam Di

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 60

5 Abdul Aziz Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru, 1966-1994, (Jakarta: Gema


(15)

bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 di jakarta terbentuklah sebuah Organisasi tempat berkumpulnya para ulama yang kemudian di beri nama Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk turut serta dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur

yang diridhai Allah, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.6

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keagamaan yang bersifat independen, tidak memihak kepada salah satu partai politik, mazhab, atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia. Dalam khittah

pengabdiannya telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:7

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (warasatul anbiya);

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti);

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri’ayat wa khadim al

ummah);

4. Sebagai gerakan islah wa al tajdid;

5. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam anggaran dasar MUI disebutkan bahwa majelis ini diharapkan dapat melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat. Pada dasarnya, umat Islam mengharapkan adanya fatwa, karena fatwa mempunyai penjelasan

6 Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta Dan Tanggapan, (Bandung:

Rosdakarya, 2000), 65

7 Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis


(16)

tentang kewajiban-kewajiban agama (faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentang haram atau halalnya sesuatu. Fatwa tidak hanya di pahami sebagai sebuah produk hukum yang harus diketahui, tapi lebih jauh dari itu fatwa merupakan prosedur dalam melaksanakan agama. Fatwa tidak boleh dikeluarkan oleh sembarangan pihak, apalagi masalah yang berhubungan dengan khalayak banyak, karena pasti akan menimbulkan

kontroversi dan masalah baru.8

Meskipun dalam wacana akademis dikenal bahwa fatwa merupakan salah satu produk hukum Islam yang berupa opini legal formal dari seorang atau beberpa ahli hukum Islam yang tidak mengikat secara hukum, namun lebih bersifat normatif atau komunikatif. Tetapi sifat yang tidak mengikat tersebut dalam realitas empirik di Indonesia seringkali dijadikan pedoman berprilaku oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, terutam fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh MUI. Dan juga kalau kita cermati banyak materi yang diserap dalam sejumlah peraturan perundang-undangan atau peraturan pemerintah seperti narkotika, perbankan, pornografi, perwakafan, produk

halal, pemotongan hewan ternak dan lain-lain.9

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh bagian penelitian dan pengembangan (Litbang) Media Indonesia mengenai respon masyarakat terhadap fatwa MUI, menunjukkan bahwa respon tersebut sangat signifikan.

8 Abdul Samad Musa, Dkk, Prinsip Dan Pengurusan Fatwa Di Negara Asean, (Negeri Sembilan:

INFAD, 2006), 79

9 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008), hlm,


(17)

Terutama fatwa yang berkenaan masalah keyakinan dan aliran kepercayaan. Salah satu bukti konkrit bahwa fatwa MUI menjadi acuan bertindak bagi masyarakat dan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kasus Ahmadiyah, penyerangan masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah dibeberapa tempat khususnya pada tahun 2002-2003 dan perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap aliran tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah sebagai aliran diluar Islam,

sesat, menyesatkan serta bahaya bagi ketertiban negara.10

Prinsip yang harus ditegakkan di dalam fatwa adalah prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, dan persatuan. Untuk terlaksananya prinsip tersebut diperlukan supremasi hukum, pemerataan kesejahteraan ekonomi, penghormatan kepada hak hidup, hak memiliki, hak dilindungi kehormatan kemanusiaannya dalam suasana yang demokratis, baik ditingkat nasional dan internasional. Dalam merealisasikannya diperlukan al-ijma’ al-siyasi (consensus atau kesepakatan) yang menuju kepada kemaslahatan umat. Dan apa yang telah disepakati harus didahulukan

daripada perbedaan-perbedaan yang ada, sesuai dengan kaidah al-mutafaq

alaih, Muqadamun ala al-mukhtalaf fih (kesepakatan yang telah dibuat hanya

dapat diubah dengan kesepakatan-kesepakatan lain yang sama kuatnya).11

Memberi fatwa pada hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Dalam menghadapi persoalan seorang mufti harus

10Siti Musdah Maulia, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, Jauhar Volume 4, 2 Desember 2003,

hlm, 183

11 Prof. H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, 2009, hlm. 267


(18)

benar-benar mengetahui secara rinci kasus pertanyaan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Karenanya seseorang mufti harus mengetahui apa yang disampaikan itu dan harus orang yang terkenal benar, baik tingkah lakunya dan adil, baik dalam perkataannya maupun dalam perbuatannya. Orang yang memberi fatwa itu yang kita namakan mufti, adalah orang yang dipercayakan

kepadanya hukum-hukum Allah untuk disampaikan kepada manusia.12

Mufti yang menghadapi atau mempunyai kemampuan untuk membedakan dalil-dalil yang dihadapi dan dapat mengumpulkan pendapat-pendapat ulama dalam sesuatu madzhab, hendaklah dia memilih mana yang lebih munasabah bagi kemaslahatan masyarakat, dengan tidak mengikuti hawa nafsu atau memenuhi kemauan penguasa. Mufti boleh mengambil paham-paham yang memudahkan, apabila mengambil paham-paham yang menyukarkan mendatangkan kesukaran dan kesempitan bagi masyarakat. Dan hendaklah mufti mengamalkan sendiri juga apa yang difatwakan kepada orang lain agar kewibawaannya tetap terpelihara dan agar masyarakat tidak meragukan tentang kebenaran fatwanya.

Seseorang mufti layak melakukan ijtihad bila telah memenuhi

syarat-syarat berikut ini. Pertama, memahami dalil-dalil sam’iyyah yang

digunakan untuk membangun kaedah-kaedah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam’iyyah adalah al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Seorang mujtahid harus

memahami al-Quran, Sunnah, dan Ijma’, klasifikasi dan kedudukannya. Ia

12 T.M. hasbi Ash-hiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. Pustaka Rizky


(19)

juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta mentarjih dalil-dalil tersebut jika terjadi

pertentangan. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil sam’iyyah dan

menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid. Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu lafadz (makna yang ditunjukkan lafadz) yang sejalan dengan lisannya orang Arab dan para ahli balaghah. Syarat kedua ini mengharuskan seseorang yang hendak berijtihad memiliki kemampuan dalam memahami seluk beluk bahasa Arab, atau kemampuan untuk memahami arah makna yang ditunjukkan oleh suatu lafadz. Oleh karena itu, seorang mujtahid atau mufti harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu lafadz, makna balaghahnya, dalalahnya, serta pertentangan makna yang dikandung suatu lafadz serta makna yang lebih kuat setelah dikomparasikan

dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa.13

Mufti merupakan seorang ahli fiqh yang memberikan fatwa, dan

wajib mengaitkan persoalan yang difatwakan dengan syariah.14 Ifta’

(pekerjaan memberi fatwa) adalah sinonim dengan ijtihad. Perbedaannya jika ijtihad merupakan ketentuan-ketentuan hukum secara umum, baik kasusnya sudah ada atau belum ada. Sedangkan ifta’ (fatwa) menyangkut kasus yang sudah ada dimana mufti memutuskan ketentuan hukumnya berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya.15

13 Mubarok,Metodologi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, yogyakarta, 2002, hal 169

14Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-a’laam, hlm. 529


(20)

Fatwa ini memberikan pengaruh dan isu yang panas dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga menimbulkan demonstrasi dan pembubaran dari komunitas tersebut, lebih dari itu bahwa pengaruh fatwa ini sangat besar terhadap pelaku politik Indonesia di mana setelah adanya fatwa MUI kebijakan politik pemerintah seperti mengikuti isi dari fatwa, padahal kalau diteliti kekuatan hukum fatwa tidak bisa mengikat. Ini menggambarkan bahwa fatwa dan lembaga pembuat fatwa yang dalam hal ini MUI memiliki pengaruh terhadap pemerintahan Indonesia seperti suatu lembaga Negara ketika menetapkan keptusan atau kebijakan politik, yang padahal kalau diteliti lembaga ini bukanlah suatu lembaga Negara seperti MPR, DPR, dan dia tidak termasuk kedalam kancah trias politika seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Maka dalam hal ini penulis ingin menjelaskan tentang Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Uraian yang terdapat dalam latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Pengertian Majelis Ulama Indonesia

2. Peranan Majelis Ulama Indonesia dalam pemerintahan

3. Kedudukan Majelis Ulama Indonesia dalam ketatanegaraan Indonesia

4. Pandangan Fiqh Siyasah terhadap Majelis Ulama Indonesia

5. Pandangan Fiqh Siyasah terhadap kedudukan Majelis Ulama Indonesia


(21)

(22)

C.Batasan Masalah

Penelitian ini diperlukan pembatasan-pembatasan permasalahan mengingat banyaknya objek pembahasan. Pembatasan masalah ini digunakan agar pembahasan dalam penelitian ini lebih fokus dan terarah terhadap topik yang menjadi pembahasan. Pembatasan masalah tersebut sebagai berikut:

1. Kedudukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam ketatanegaraan

Indonesia

2. Pandangan Fiqh Siyasah terhadap kedudukan Majelis Ulama Indonesia

(MUI) dalam ketatanegaraan Indonesia

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah serta pembatasan masalah diatas maka penulis merumuskan beberapa masalah guna mempermudah pembahasan masalah serta sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan MUI dalam ketatanegaraan di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan MUI dalam ketatanegaraan di Indonesia

perspektif Fiqh Siyasah ?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian


(23)

sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.

1. Dalam skripsi yang diangkat oleh titin hamaidah pada tahun 2009 tentang

“perkembangan MUI kota surabaya(1975-1992)” yang membahas

tentang sejarah berdirinya MUI di Surabaya (perkembangan

kepengurusan MUI Surabaya tahun 1975-1992 dan perkembangan

program pelaksanaan MUI di Surabaya)16

2. Dalam skripsi yang diangkat oleh Surya Heni tahun 2003 tentang

“Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen (Studi Analisis Program Kerja Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur) yang membahas tentang penerapan perencanaan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) provinsi jawa Timur dalam memanaj organisasi Majelis Ulama Indonesia

(MUI) yang di dasarkan pada perencanaan yang matang.17

3. Dalam tesis yang diangkat oleh Arif Zunaidi pada tahun 2011tentang

“Bisnis Undian SMS Berhadiah Dalam Perspektif Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dan Undang-undang no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Yang membahas tentang adanya fenomena bisnis SMS berhadiah yang memberi pengaruh negatif maka MUI diminta memberi fatwa demi kebaikan bersama dan dilihat dari sudut pandang

16 Titin Hamidiyah, Perkembangan MUI Kota Surabaya (1975-1992), Jurusan Manajemen

Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009

17 Surya Heni, Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen (Studi Analisis Program Kerja Pengurus

Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur), Jurusan Manajemen Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003


(24)

undang nomor 8 tentang perlindungan konsumen terhadap bisnis

tersebut.18

Karya-karya ilmiah yang telah penulis paparkan diatas berbeda dengan penelitian yang dikaji penulis yang berjudul “Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia ditinjau dari prespekti Fiqih Siyasah”. Dalam penelitian ini penulis mengkaji tentang Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia ditinjau dari prespekti Fiqih Siyasah.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan MUI dalam ketatanegaraan di Indonesia

2. Untuk mengetahui kedudukan MUI dalam ketatanegaraan di Indonesia

perspektif Fiqh Siyasah

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat terbagi menjadi dua yakni secara teoritis maupun secara praktis. Adapun kegunaan hasil penelitian ini, sebagai berikut:

18 Arif Zunaidi, Bisnis Undian Berhadiah Dalam Perspektif Fatwa MUI dan Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, Program Pasca Sarjana, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011


(25)

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya khususnya jurusan Siyasah Jinayah, serta dapat dijadikan bahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada penelitian dalam hal-hal yang berkenaan dengan kedudukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Fiqh Siyasah

2. Segi praktis, dapat digunakan sebagai rujukan untuk memperoleh

informasi tentang bagaimana peranan dan kedudukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam ketatanegaran Indonesia

H. Definisi Operasional

Untuk menjelaskan arah dan tujuan dari judul penelitian “

Kedudukan MUI Dalam Ketatanegaraan Indonesia Prespektif Fiqh Siyasah ” maka perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa kata kunci yang ada dalam judul penelitian di atas.

1. Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia maksud dari itu adalah

struktur MUI dalam ketatanegaraan Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keagamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik, mazhab, atau keagamaan

Islam yang ada di Indonesia.19

2. Fiqh Siyasah , Fiqh Secara etimologi faqaha-yafqahu-fiqhan yang

memiliki arti “ Paham yang mendalam”. Imam Al-Tirmidzi, seperti

19 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang


(26)

dikutip Amir Syarifuddin, menyebut : fiqh tentang sesuatu berarti

mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.20 Dapat dipahami

bahwa fiqh adalah upaya sungguh dari ulama (mujtahidin) untuk

mengenali hukum-hukum syara’ sehingga dapat diamalkan oleh umat

Islam. Fiqh juga disebut hukum Islam. Siyasah berasal dari kata sâsa

yang berarti mengatur, mengurus dan memerintah atau pemerintahan,

politik dan pembuatan kebijaksanaan.21 Pengertian kebahasaan membuat

kebijaksanaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencakup sesuatu. Jadi secara pengertiannya Fiqh Siyasah adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum yang berkenaan dengan politik dan pemerintahan. Maka dalam penelitian ini digunakan pembahasan yang lebih khusus mengenai kedudukan majelis ulama Indonesia dilihat dari siyasah dusturiyah.

I. Metode Penelitian

Penelitian mengenai “Kedudukan Majelis Ulama Indonesia(MUI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Fiqh Siyasah ”, merupakan penelitian normatif atau disebut juga penelitian kepustakaan (library research) yaitu suatu penelitian untuk memperoleh data-data hukum.

1. Jenis Penelitian

20 Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran Dalam Islam, h. 15; Ma’ruf, al-Munjid, h. 591 21 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Jus 6 (Beirut: Dar al-Shadr, 1968), h.108.


(27)

Penelitian yang akan penulis lakukan termasuk pada penelitian kepustakaan. Dimana penelitian ini mencakup serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sedangkan sifat penelitian ini adalah Deskriptif Analisis, yaitu penjelasan yang memberikan gambaran secara detail tentang kedudukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian dianalisis dengan Fiqh Siyasah.

2. Data yang dikumpulkan

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi: Data tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan teori siyasah dusturiyah

3. Sumber Data

Penelitian yang digunakan dalam hal ini adalah penelitian kepustakaan, maka sumber data yang dihimpun dalam penyusunan proposal ini adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan judul penelitian ini, yang dikelompokkan pada beberapa bahan, meliputi: bahan primer dan bahan sekunder.

a. sumber primer

Sumber primer merupakan bahan pokok yang berupa AD/ART Majelis Ulama Indonesia (MUI)

b. sumber sekunder

Sumber pelengkap ini merupakan kitab atau buku-buku terkait dengan Fiqh Siyasah yang meliputi Fiqh Siyasah: Kontektualisasi doktrin politik islam


(28)

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam proposal ini dipergunakan untuk teknik dokumentasi dan wawancara. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian terhadap kedudukan MUI dalam ketatanegaran Indonesia dalam prespektif Fiqih Siyasah yang berhubungan dengan tema penelitian.

5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian

deskriptif, yakni penelitian yang berusaha mengambarkan,

menginterprestasikan dan mendeskripsikan atau menjelaskan objek, peristiwa maupun kejadian yang sedang berlangsung pada saat penelitian

sesuai apa adanya.22 Menurut Whitney penelitian deskriptif adalah

pencarian fakta dengan interprestasi yang tepat dengan tujuan untuk memberikan deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang diselidiki.23

Peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif karena bertujuan untuk memberikan gambaran secara lengkap tentang Kedudukan MUI Dalam Ketatanegaraan Indonesia Prespektif Fiqh Siyasah.

6. Teknik pengolahan Data

Setelah data berhasil dikumpulkan, kemudian dilakukan pengolahan data dengan menggunakanmetode sebagai berikut:

22 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 157 23 Mohammad Nadzir, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)., hlm. 14.


(29)

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data secara cermat tentang kelengkapan, relevansi serta hal yang perlu dikoreksi dari data yang telah dihimpun yang berkaitan dengan Narkotika berdasarkan Hukum Pidana Islam dan UU RI No 35 Tahun 2009

b. Organizing, menyusun dan mensistematika data-data tersebut sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan untuk dijadikan struktur deskripsi.

c. Analizing, yaitu melakukan analisis deskriptif Hukum islam terhadap kasus perantara jual beli narkotika golongan I dalam bentuk tanaman yaitu ganja dan UU RI No 35 Tahun 2009

J. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian ini dan agar dapat dipahami secara sistematika dan terarah, penulis menggunakan sistematika pembahasan yang menjawab pokok permasalahgan yang dirumuskan. Sistematika pembahasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab Pertama pendahuluan yang berisi gambaran umum yang berfungsi sebagai pengantar dalam memahami pembahasan bab berikutnya. Bab ini memuat pola dasar penulisan skripsi, untuk apa dan mengapa


(30)

penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, pada Bab I ini pada dasarnya memuat sistematika pembahasan yang meliputi : latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan landasan teori tentang hokum tatanegara dan

fiqh siyasah yang meliputi : Siyasah dusturiyah dan lembaga ifta’.

Bab ketiga merupakan penjabaran tentang Majelis Ulama Indonesia, peran dan fungsi Majelis Ulama Indonesia, penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia, kedudukan Majelis Ulama Indonesia dalam ketatanegaraan Indonesia dan latar belakang terbentuknya Majelis Ulama Indonesia.

Bab keempat merupakan analisis fiqh siyasah terhadap kedudukan Majelis Ulama Indonesia dalam ketatanegaraan Indonesia yang meliputi pandangan hokum ketatanegaraan Indonesia dan fiqh siyasah terhadap kedudukan Majelis Ulama Indonesia dalam ketatanegaraan Indonesia.

Bab lima penutup, yang berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan penulis.


(31)

20

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SIYASAH DUSTURIYAH

A. Pengertian Siyasah Dusturiyah

Siyasah dusturiyah adalah bagian fiqh siyasah yang membahas

masalah perundang-undangan negara. Dalam hal ini juga dibahas antara lain konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan undang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting dalam perundang-undangan tersebut. Di samping itu, kajian ini juga membahas konsep negara hukum dalam siyasah dan hubungan timbal balik antara pemerintah dan warga negara serta hak-hak warga negara yang

wajib dilindungi.1

Permasalahan di dalam fiqh siyasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin disatu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam fiqh siyasah dusturiyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan

perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi

persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi

kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.2

1Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”. Jakarta,

Prenadamedia Group. 2014, hlm. 177

2Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implimentasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 47


(32)

B. Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah

Fiqh siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks. Keseluruhan persoalan tersebut, dan persoalan fiqh siayasah dusturiyah umumnya tidak lepas dari dua hal pokok: pertama,

dalil-dalil kulliy, baik ayat-ayat Al-Quran maupun hadis, maqosidu syariah, dan

semangat ajaran Islam di dalam mengatur masyarakat, yang akan tidak akan

berubah bagaimanapun perubahan masyarakat. Karena dalil-dalil kulliy

tersebut menjadi unsur dinamisator di dalam mengubah masyarakat. Kedua, aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi, termasuk di dalamnya hasil ijtihad para ulama, meskipun tidak seluruhnya.

Fiqh siyasah dusturiyah dapat terbagi kepada:3

1. Bidang siyasah tasyri‟iyah, termasuk dalam persolan ahlu hali wal aqdi,

perwakilan persoaln rakyat. Hubungan muslimin dan non muslim di dalam satu negara, seperti Undang-Undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pelaksanaan, Peraturan daerah, dan sebagainya.

2. Bidang siyasah tanfidiyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah,

persoalan bai‟ah, wizarah, waliy al-ahadi, dan lain-lain

3. Bidang siyasah qadlaiyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah

peradilan

4. Bidang siyasah idariyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah

administratif dan kepegawaian.


(33)

Ulama-ulama terdahulu umumnya lebih banyak berbicara tentang pemerintahan dari pada negara, hal ini disebabkan antara lain oleh:

1. Perbedaan antara negara dan pemerintah, hanya mempunyai arti yang

teoritis dan tidaak mempunyai arti yang praktis sebab setiap perbuatan negara di dalam kenyataanya adalah perbuatan pemerintah, bahkan lebih konkret lagi orang-orang yang diserahi tugas untuk menjalankan

pemerintah.4 Sedangkan para fuqaha/ulama menitikberatkan perhatian

dan penyelidikannya kepada hal-hal praktis.

2. Karena sangat eratnya hubungan antara pemerintah dan negara, negara

tidak dapat berpisah dari pemerintah, demikian pula pemerintah hanya mungkin ada sebagai organisasi yang disusun dan digunakan sebagai alat

negara.5

3. Kalau fuqaha lebih tercurah perhatiannya kepada kepala negara (imam),

karena yang konkret adalah orang-orang yang menjalankan

pemerintahan, yang dalam hal ini dipimpin oleh kepala negara (imam).6

4. Fakta sejarah Islam menunjukkan bahwa masalah yang pertama yang

dipersoalkan oleh umat Islam setelah rasulullah wafat adalah masalah kepala negara, oleh karena itu logis sekali apabila para fuqaha memberikan perhatian yang khusus kepada masalah kepala negara dn

pemerintahan ketimbang masalah kenegaraan lainnya.7

4 Muchtar Affandi, Ilmu-ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, 1971, hlm. 157 5 Ibid., hlm. 155

6 Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implimentasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 49


(34)

5. Masalah timbul dan tenggelamnya suatu negara adalah lebih banyak mengenai timbul tenggelamnya pemerintahan daripada unsur-unsur

negara yang lainnya.8

Walapun demikian, ada juga di antara para fuqaha dan ulama Islam yang membicarakan pula bagian-bagian lainnya dari negara, seperti

Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Rusydi, dan Ibnu Khaldun.9

Apabila dipahami penggunaan kata dustur sama dengan constitution dalam Bahasa Iggris, atau Undang-undang Dasar dalam Bahasa

Indonesia, kata-kata “dasar” dalam Bahasa Indonesia tidaklah mustahil

berasal dari kata dustur. Sedangkan penggunaan istilah fiqh dusturi, merupakan untuk nama satu ilmu yang membahas masalah-masalah pemerintahan dalam arti luas, karena di dalam dustur itulah tercantum sekumpulan prinsip-prinsip pengaturan kekuasaan di dalam pemerintahan suatu negara, sebagai dustur dalam suatu negara sudah tentu suatu perundang-undangan dan aturan-aturan lainnya yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan dustur tersebut.

Sumber fiqh dusturi pertama adalah Al-Quran al-Karim yaitu

ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan kemasyarakatan,

dalil-dalil kulliy dan semnagat ajaran Al-Quran. Kemudian kedua adalah

hadis-hadis yang berhubungan dengan imamah, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasulullah SAW di dalam menerapkan hukum di negeri

8 Dr. Wirjono Prodjodikiro, Asas-asas Ilmu Negara dan politik, PT Eresco, Bandung, 1971, hlm.

17-18

9 Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implimentasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 49


(35)

Arab.10 Ketiga, adalah kebijakan-kebijakan khulafa al-Rasyidin di dalam mengendalikan pemerintahan. Meskipun mereka mempunyai perbedaan dai dlam gaya pemerintahannya sesuai dengan pembawaan masing-masing, tetapi ada kesamaan alur kebijakan yaitu, berorientasi kepada sebesar-besarnya

kepada kemaslahatan rakyat. Keempat, adalah hasil ijtihad para ulama, di

dalam masalah fiqh dusturihassil ijtihad ulama sangat membantu dalam memahami semangat dan prinsip fiqh dusturi. Dalam mencari mencapai kemaslahatan umat misalnya haruslah terjamin dan terpelihara dengan baik.

Dan sumber kelima, adalah adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Quran dan hadis. Adat kebiasaan semacam ini tidak tertulis yang sering di istilahkan dengan konvensi. Dan ada pula dari adat kebiasaan itu diangkat menjadi suatu ketentuan yang tertulis, yang persyaratan adat untuk dapat diterima sebagai hukum yang harus di

perhatikan.11

C. Konsep Negara Hukum Dalam Siyasah Dusturiyah

1. Konstitusi

a. Pengertian Konstitusi

Dalam fiqih siyasah, konstitusi disebut juga dengan dustûri. Kata ini berasal dari Bahasa Persia. Semula artinya adalah “seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik

10 Ibid., hlm. 53 11 Ibid., hlm. 53-54


(36)

maupun agama”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini digunakan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penyerapan kedalam Bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar, atau pembinaan. Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun tertulis (konstitusi). Kata dustur juga sudah disergap kedalam bahasa Indonesia, yang salah satu

artinya adalah undang-undang dasar suatu negara.12

Menurut „Abdul Wahhab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakan Islam dalam perumusan undang-undang dasar ini adalah jaminan hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang dimata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan, dan

agama.13

Pembahasaan tentang konstitusi ini juga berkaitan dengan sumber-sumber dan kaedah perundang-undangan disuatu negara, baik sumber material, sumber sejarah, sumber perundangan maupun sumber penafsirannya. Sumber material adalah hal-hal yang berkenaan dengan materi pokok perundang-undang dasar. Inti persoalan dalam sumber konstitusi ini adalah peraturan tentang

12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm.

281


(37)

hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diperintah. Perumusan konstitusi tersebut tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah negara yang bersangkutan, baik masyarakatnya, politik maupun kebudayaannya. Dengan demikian, materi dalam konstitusi itu sejalan dengan konspirasi dan jiwa masyarakat dalam negara tersebut. Sebagai contoh, perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diusahakan sesuai semangat masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga dapat menampung aspirasi semua pihak dan menjasmin persatuan dan keutuhan bangsa. Oleh karena itu, umat Islam bersedia menerima keberatan pihak Kristen dibagian Timur Indonesia agar mencabut beberapa klausul dalam perumusan undang-undang tersebut.

Kemudian agar mempunyai kekuatan hukum, sebuah undang-undang dasar yang akan dirumuskan harus mempunyai landasan atau pengundangannya. Dengan landasan yang kuat undang-undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Sementara sumber penafsiran adalah otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan atau menjelaskan hal-hal yang perlu pada saat undang-undang tersebut diterapkan

b. Sejarah Munculnya Konstitusi

Menurut ulama fiqh siyasah, pada awalnya pola hubungan antara pemerintah dan rakyat ditentukan oleh adat istiadat. Dengan


(38)

demikian, hubungan antara kedua pihak berbeda-beda pada masing-masing negara, sesuai dengan perbedaan dimasing-masing negara. Akan tetapi, karena adat istiadat ini tidak tertulis, maka dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibatnya, karena pemerintahan memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintahan bersifat absolut otoriter terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka berlaku sewenang-wenang dan melanggar hak asasi rakyatnya. Sebagai reaksi, rakyat pun melakukan melakukan pemberontakan, perlawanan, bahkan bahkan revolusi untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa secara absolut

tersebut.14

Dari revolusi ini kemudian lahirlah pemikiran untuk menciptakan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai pedoman dan aturan main dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Contoh dalam kasus ini adalah Revolusi Perancis 1789 yang melawan kesewenang-wenangan Raja Luis XVI. Dalam revolusi tersebut, rakyat berhasil menjatuhkan raja absolut ini dan memenggal lehernya dan keluarganya. Sementara dalam dunia kontemporer dapat kita lihat pada Revolusi Islam Iran, Februari 1979, yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, dalam revolusi ini rakyat Iran berhasil menjatuhkan penguasanya, Reza Pahlevi, dan

14 Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”. Jakarta,


(39)

mengusirnya dari tanah Iran. Pasca-revolusi barulah Iran mengadakan dan merumuskan kembali undang-undang dasar negara mereka. Namun, tidak selamanya konstitusi dibentuk berdasarkan revolusi. Ada juga pembuatan konstitusi didasarkan karena lahirnya sebuah negara baru. Dalam hal ini, pendiri negara yang bersangkutanlah yang terlibat aktif dalam merumuskan

undang-undang dasar bagi negara Pakistan dan Indonesia.15

Usaha untuk mengadakan undang-undang dasar tertulis sebenarnya telah dirintis di Eropa sejak abad ke-17 M. Sumber utama yang mereka pakai adalah adat istiadat, karena adat adalah kebiasaan yang secara turun-temurun dipraktikan dan terus-menerus dipelihara dari generai kegenerasi. Dari sinilah lahirlah teori-teori tentang hubungan timbal balik penguasa-rakyat. Diantaranya adalah teori “kontrak sosial” yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1709), dan J.J Rousseau (1712-1798 M). Teori ini, dengan beberapa perbedaan berasumsi bahwa pemerintahan dan rakyat memiliki kewajiban timbal balik secara seimbang. Pemerintahan berkewajiban membimbing rakyat dan mengelola negara dengan sebaik-baiknya, karena rakyat telah memberikan sebagian hak dan kebebasannya serta berjanji setia kepada mereka yang mengurus kepentingan rakyat. Teori ini mencikal bakali lahirnya undang-undang dasar


(40)

yang mengatur batas-batas hak dan kewajiban kedua belah pihak

secara timbal balik.16

Dalam perkembangan berikutnya mulailah negara-negara Eropa mengadakan undang-undang dasar secara tertulis. Diantaranya adalah undang-undang dasar Amerika Serikat pada 1771 dan undang-undang dasar Perancis tahun 1791, dua tahun setelah terjadinya revolusi Perancis. Hal ini kemudian di ikuti negara-negara lain baik yang berbentuk kerajaan dan republik. Praktis pada masa sekarang, hampir tidak ada negara yang tidak

memiliki undang-undang dasar secara tertulis.17

c. Perkembangannya Dalam Islam

Sumber tertulis utama pembentukan undang-undang dasar dalam Islam Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, karena memang bukan buku undang-undang, Al-Quran tidak merinci lebih jauh tentang bagaimana hubungan pemimpin dan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka masing-masing. Al-Quran hanya memuat dasar-dasar atau prinsip umum pemerintahan Islam secara global saja. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tata pemerintahan juga tidak banyak. Ayat-ayat yang masih global ini kemudian di jabarkan oleh Nabi dalam sunnahnya, baik berbentuk perkataan, perbuatan maupun takdir atau ketetapannya.

16 Ibid., hlm. 180 17 Ibid., 180


(41)

Namun demikian, penerapannya bukan “harga mati”. Al -Quran dan Sunnah menyerahkan semuanya kepada umat Islam untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konstek sosial masyarakatnya. Dalam hal ini dasar-dasar hukum Islam

lainnya, seperti ijma‟, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan „Urf

memegang peranan penting dalam perumusan konstitusi. Hanya saja, penerapan dasar-dasar tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok yang telah digariskan dalam Al-Quran dan Sunnah.

Nabi Muhammad SAW, dalam kedudukannya sebagai penjelas terhadap Al-Quran, pada tahun kedua hijrah ke Madinah telah mengundangkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas Negara Madinah yang heterogen, seperti kaum Muhajirin (penduduk Mekkah yang hijrah bersama Nabi ke Madinah), kaum Anshar (warga atau penduduk asli Madinah), kaum Yahudi dari berbagai suku dan kelompok serta sisa-sisa kaum paganis yang belum massuk Islam tapi menyatakan diri tunduk kepada Nabi. Dalam piagam Madinah ditegaskan bahwa umat Islam, walaupun berasal dari berbagai kelompok adalah merupakan suatu komunitas. Piagam ini juga mengatur pola hubungan antara sesama komunitas muslim lainnya. Hubungan ini dilandasi atas prinsip-prinsip bertetangga baik, saling membantu,


(42)

saling menasihati dan menghormati kebebasan menjalankan

agama.18

Isi penting dari Piagam Madinah ini adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur sebuah umat dan menegakkan pemerintahan atas dasar persamaan hak. Piagam Madinah ini juga merupakan suatu konstitusi yang telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah dalam sebuah pemerintahan dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Namun keberadaan piagam ini tidak dapat bertahan lama, karena di hianati sendiri oleh suku-suku yahudi Madinah. Sebagai balasan atas penghianatan tersebut, Nabi SAW menghukum mereka, sebagian diusir dari Madinah dan sebagian lagi dibunuh. Setelah itu nabi SAW tidak lagi mengadakan perjanjian tertulis dengan kelompok-kelompok masyarakat Madinah. Pola hubungan masyarakat Madinah langssung dipimpin

Nabi berdasarkan wahyu Al-Quran.19

Setelah nabi wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang mengatur agama Islam. Umat Islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan roda pemerintahan, berpedoman kepada prinsip-prinsi Al-Quran dan teladan Nabi SAW dalam sunnahnya. Pada masa khalifah ke empat, teladan Nabi SAW masih dapat diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang sudah semakin

18 Munawir Sjadali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1990. Hlm 15-16

19 Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”. Jakarta,


(43)

berkembang. Dalam masa ini, pola peralihan kepemimpinan umat (suksesi) didasarkan pada kecakapan dan kemampuan, tidak berdasarkan keturunan. Namun pasca Khulafa al Rasyidin, pola pemerintahan sudah berubah kepada bentuk kerajaan yang menentukan suksesi berdasarkan garis keturunan. Selain itu, dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, dasar-dasar dan sistem pemerintahan masing-masing negara berbeda. Dalam hal ini adat memegang peranan penting dalam mempengaruhi praktik pemerintahan suatu negara. Tetapi, sebagaimana ditegaskan diatas, belum ada satupun konstitusi tertulis yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.

Barulah pada abad ke-19 M, setelah dunia Islam mengalami penjajahan barat, timbul pemikiran dikalangan ahli tatanegara di berbagai dunia Islam untuk mengadakan kostitusi. Pemikiran ini timbul sebagai reaksi atas kemunduran umat Islam dan respon terhadap gagasan-gagasan politk Barat yang masuk ke dunia Islam bersamaan dengan kolonialisme mereka tehadap dunia Islam. Negara Islam yang pertama kali mengadakan konstitusi adalah kerajaan Usmani pada 1876. Konstitusi yang ditandatangani oleh Sultan Abdul hamid pada 23 Desember 1876 terdiri dari 12 bab dan 119 pasal. Konstitusi ini banyak dipengaruhi oleh

konstitusi Belgia 1831.20 Dalam konstitusi ini ditegaskan bahwa


(44)

Sultan Usmani adalah pemegang kekuasaan ke khalifahan Islam yang menjadi pelindung agama Islam. Namun dalam konstitusi ini tidak dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

yudikatif. Konstitusi ini belum mengenal trias politika.21

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konstitusi

dibedakan menjadi tiga; pertama, negara yang tidak mengadakan

pembaharuan dan memberlakukan hukum fiqh secara apa adanya.

Contoh tipe negara ini adalah Arab Saudi. Kedua, negara yang

menanggalkan sama sekali Islam dari dasar negaranya (sekuler) dan mengadopsi sistem hukum negara negara Barat dalam konstitusinya, seperti yang dilakukan Turki pasca khilafah Usmani. Ketiga, negara yang mencoba menggabungkan Islam dan sistem hukum Barat, contoh negara ini adalah Mesir, Tunisia, Aljazair, dan Indonesia.

2. Legislasi

a. Pengertian Legislasi

Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan

legislatif disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri‟iyah, yaitu

kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorangpun berhak menetapkan hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Akan tetapi,

dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-suthah al-tasyri‟iyah

21 Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”. Jakarta,


(45)

digunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan. Dalam konteks ini, kekuasaan legislatif berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi:22

1) Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan

hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;

2) Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya;

3) Isi peraturan atau hukum harus sesuai dengan nilai-nilai dasar

syariat Islam

b. Wewenang dan tugasnya

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini akan dilaksanakan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk di lembaga legisltaif ini

terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta pakar dalam

berbagai bidang. Karena menetapkan syariat sebenarnya hanyalah


(46)

wewenang Allah, maka wewenang dan tugas lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami sumber-sumber syariat Islam, yaitu Al-Quran dan sunnah Nabi, dan menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga legislatif harus mengikuti ketentuan-ketentuan kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat dua fungsi

lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya

sudah terdapat dalam nashsh Al-Quran dan sunnah,

undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri‟iyah adalah

undang-undang Ilahiyah yang diisyariatkan-Nya dalam Al-Quran

dan dijelaskan oleh Nabi SAW dalam hadis. Kedua, yaitu

melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di

sinilah perlunya al-sulthah al-tasyri‟iyah tersebut diisi oleh para

mujtahid dan ahli fatwa. Mereka melakukan ijtihad untuk

menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas (analogi). Mereka

berusaha mencari illat atau sebab hukum yang ada dalam

permasalahan yang timbul dan menyesusaikannya dengan ketentuan yang terdapat dalam nashsh. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar


(47)

hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi

masyarakat dan tidak memberatkan mereka.23

Pentingnya mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat ini mengisyaratkan bahwa undang-undang atau peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga legislatif tidak dimaksudkan untuk barlaku selamanya dan tidak kebal terhadap perubahan. Badan legislatif berwenang meninjau kembali dan mengganti undang-undang lama dengan undang-undang baru jika terjadi perubahan dalam masyarakat yang tidak bisa lagi mematuhi undang-udang lama. Dalam lembaga legislatif para anggotanya akan berdebat dan bertukar pikiran untuk menentukan undang- undang baru yang lebih efektif dan relevan. Undang-undang baru tersebut berlaku apabila telah didaftarkan pada

sekretariat negara dan disebarluaskan dalam masyarakat.24

Kewenangan lain dari lembaga legislatif adalah dalam bidang keuangan negara. lembaga legislatif berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapatan dan belanja yang dikeluarkan negara kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintahan. Dalam jangka waktu tertentu, lembaga legislatif akan meminta pertanggungjawaban dan laporan keuangan negara. lembaga legislatif berhak melakukan kontrol atas lembaga

23 Ibid., 188


(48)

eksekutif, bertanya dan meminta penjelasan suatu hal, mengemukakan pandangan untuk didiskusikan dan memeriksa

birokrasi.25

c. Bentuk dan perkembangannya dalam negara Islam

Bentuk dan perkembangan al-sulthah al-tasyri‟iyah

berbeda dan berubah dalam sejarah, sesuai dengan perbedaan dan perkembanga yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pada masa

Nabi Muhammad SAW, otoritas yang membuat tasyri‟ (hukum)

adalah Allah SWT. Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an secara

bertahap selama lebih kurang 23 tahun. Adakalanya ayat tersebut diturunkan untuk menjawab suatu pertanyaan, adakalanya pula untuk menanggapi suatu perubahan atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Disamping itu, Nabi SAW juga

berperan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al- Qur’an yang

masih bersifat global dan umum.26

Dalam kerajaan Mughal (India) legislasi hukum Islam dalam bentuk undang-undang dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Aurangzeb (Alamgir I) yang memerintah pada 1658-1707 M. dialah yang memprakarsai pennghimpunan fatwa ulama dan mengamodifikasinya. Ia membentuk sebuah komisi yang bertugas menyusun kitab kumpulan hukum Islam. Hasil kerja komisi ini

25 Ibid., hlm. 209

26 Dr. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”. Jakarta,


(49)

adalah diundangkanya kitab peraturan ibadah dan muamalah umat Islam yang bernama Fatwa-I Alamghiriyah yang dinisbahkan kepada nama sultan tersebut. Kitab ini terdiri dari enam jilid tebal dengan rujukan utama pada mazhab Hanafi, mazhab yang paling banyak dianut umat Muslim India. Namun sifat undang-undang ini setengah resmi, karena tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk

diamalkan sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.27

Legislasi besar-besaran dilakukan pada massa

pemerintahan Usmani (1300-1924). Pada masa ini, hukum yang dipakai dalam masyarakat bukan hanya fiqh, melainkan juga keputusan khalifah atau sultan terhadap sengketa atau perselisihan yang terjadi diantara anggota masyarakat. Selain itu, ada juga

keputusan yang diambil dalam rapat majelis legislatif sebagai

al-sulthah al-tasyri‟iyah dan disetujui oleh khalifah. Bentuk pertama

disebut Idarah Saniyah, sedangkan yang kedua dinamakan dengan

Qanun. Puncak kemajuan kanun ini tejadi pada masa Khalifah Sulaiman I (1520-1566 M). Karena besarnya perhatian khalifah ini terhadap perundang-undangan, maka ia digelar dengan Sulaiman al-Qanuni. Ditangan Sulaiman al-Qanuni juga kerajaan Usmani mengalami puncak kejayaan di berbagai bidang.

Namun setelah Sulaiman al-Qanuni wafat, kerajaan Usmani mulai mengalami kemunduran. Tidak ada lagi khalifah

27 Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, Damaskus: Dar al-Kasysyaf, 1952, hlm.


(50)

yang memiliki kapasitas untuk menjalani dua kekuasaan tersebut. Kemampuan politik penguasa-penguasa penggantinya tidak diikuti dengan kemampuan dan penguasaan mereka di bidang keagamaan. Oleh karena itu, dalam tugas-tugas kenegaraan mereka dibantu

oleh Sadrazam (shadr al-a‟zham) untuk urusan politik dan Syaikh

al-Islam untuk urusan-urusan keagamaan.

Pada mulanya syaikh al-Islam berasal dari mufti (pemberi

fatwa). Mereka bertugas memberi jawaban tehadap pertanyaan tentang permasalahan agama. Diantara mufti ini kemudian ada yang diangkat sebagai penjabat negara untuk menjawab permasalahan agama yang dihadapi negara. jadilah mufti sebagai

jabatan resmi dalam negara dengan nama syaikh al-Islam yang

fatwa-fatwanya menjadi rujukan dan pegangan negara. Bahkan

dalam wewenang legislasi hukum Islam, Syaikh al-Islam menjadi

tempat bergantung khalifah Usmani dan merangkap sebagai

al-sulthah al-tasyri‟iyah. Namun demikian, kekuasaan khalifah-khalifah Usmani tetap bersifat absolut, dan tidak jarang pula sifat

absolut ini di dukung oleh Syaikh al-Islam.

Pada perkembangan selanjutnya, daulat Usmani semakin lemah. Banyak daerah yang berada dibawah kekuasaan Khalifah Usmani melepaskan diri dan kembali ke tangan bangsa-bangsa Eropa, karena kerajaan Usmani sering mengalami kekalahan dari bangsa-bangsa Eropa. Di sisi lain, kemenangan Eropa ini turut


(51)

memengaruhi legislasi hukum Islam. Akhirnya, lahirlah gerakan Tanzhimat yang berusaha menyusun konstitusi untuk membatasi

kekuasaan absolut sultan. Atas pengaruhnya lahirlah Hatt-i Syerif

Gulhane (Piagam Gulhane) pada masa pemerintahan Sultan Abdul Majid (1838-1861). Piagam ini memberi peluang bagi masuknya pengaruh barat dalam legislasi hukum Islam. Secara berturut-turut lahirlah Undang-undang Hukum Dagang (1850) yang banyak memasukkan unsur-unsur hukum dagang Perancis.

Negara Barat juga mendesak kerajaan Usmani untuk

meningkatkan status dan kedudukan orang-orang Kristen Eropa

yang berada dalam wilayah kerajaan Usmani (kaum dzimmi). Atas

desakan tersebut, kerajaan Usmani terpaksa mengeluarkan Piagam Humayun pada 18 februari 1856 yang memberikan hak-hak yang sama kepada penduduk Kristen Eropa dikerajaan Usmani dengan penduduk Muslim sendiri. Pada tahun 1858 keluar Undang-undang Hukum Tanah dan Undang-Undang-undang Hukum Pidana yang banyak mengadopsi peraturan-peraturan pidana Perancis dan Itali. Tahun 1883 dan 1906 keluar Undang-undang Hukum Acara

Perdata dan Undang-undang Eksekusi.28

Pada awal abad ke-20, adopsi besar-besaran terhadap hukum Barat dilakukan oleh Musthafa Kemal Pasya setelah ia berhasil menghapus kekhalifahan Usmani pada 1 November 1922


(52)

dan mendirikan Republik Turki yang sekuler pada 1924. Ia melancarkan gerakan sekularisasi dan menghapus institusi-institusi ke Islaman dari negara. Berawal dari penghapusan

Kementerian Agama dan Wakaf serta jabatan Syaikh al-Islam

1922, yang selanjutnya hukum Islam diganti dengan hukum sipil Swiss pada 1926. Pada 1928 Kemal Pasya menghapus Islam sebagai agama resmi negara dan membubarkan lembaga legislatif

(parlemen).29

3. Ummah

Dalam pengertian kata ummah yang di indonesiakan menjadi kata umat adalah sebuah konsep yang telah akrab dalam masyarakat, akan tetapi sering dipahami secara keliru. Istilah ini, karena begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari yang sering terbaikan dan tidak dianggap sebagai pengertian ilmiah. Dari kalangan Islam, pembahasan konsep ummah antara lain dilakukan oleh Ali Syari’ati dalam bukunya

al-Ummah wa al-Imamah dan Muhammad Quraish Shihab dalam bagian karya tafsir tematiknya wawasan Al-Quran. Dalam Ensiklopedi Indonesia umat mengandung empat macam pengertian, yaitu: (1) bangsa, rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman atau sabda Tuhan, (2) penganut suatu agama atau pengikut nabi, (3)

khalayak ramai, dan (4) umum, seluruh, umat manusia.30

29 Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam, Delhi: Kitab Bhavan,

1981, hlm. 155

30 Hasan Shadili, Pimpinan Redaksi, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,


(53)

Dalam piagam Madinah, pemakain kata ummah mengandung

dua pengertian yaitu: pertama, organisasi yang diikat oleh aqidah

Islam, terlihat dari bunyi pasal satu piagam tersebut yang artinya “sesungguhnya mereka (suku Quraisy dan penduduk asli Madinah) adalah suatu umat, yang berbeda dengan komunitas manusia lain. Kedua, organisasi umat yang menghimpun jamaah atau komunitas yang beragam atas dasar ikatan sosial politik, seperti tersurat dalam pasal 25 yang berbunyi “sesungguhnya Banu „Awf merupakan sutu umat dengan orang mukmin. Bagi yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin juga agama mereka. Kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali yang berbuat aniaya dan jahat. Dalam pasal ini yahudi tidak dimaksudkan sebagai pengertian agama, tetapi pengertian suatu kelompok dalam sebuah negara Madinah.

Al-Quran menegaskan bahwa umat Islam merupakan umat

pertengahan (ummatan wasathan) yang harus menjadi teladan manusia

lainnya karena ummah dilandasi oleh semangat universal Islam, maka Islam tidak dapat membenarkan nasionalis sempit yang menganggap tanah, wilayah, ras, darah, dan hal-hal lain yang sangat artifisial sebagai pengikat di antara manusia. Nasionalisme seperti ini hanya


(54)

dan primordialisme yang sesungguhnya sangat ditentang oleh Islam.

Terdapat perbedaan antara nasionalisme dengan ummah antara lain:31

a. Nasionalisme menegaskan kesetiaan pada negara, sedangkan

ummah menekankan kesetiaan manusia pada kemanusiaan itu sendiri;

b. Sumber kekuasaan dan legitimasi dalam nasionalisme adalah

negara dan istitusi-institusinya, sedangkan sumber kekuasaan dan legitimasi dalam ummah adalah syariah;

c. Nasionalisme mempunyai basis pada etnik, bahasa, ras, dan

pertimbangan-pertimbangan lainnya, sedangkan basis ummah diikat oleh tauhid, (kepercayaan terhadap keesaan Allah)

d. Nasionalisme membatasi manusia berdasarkan territorial,

sedangkan ummah tidak dibatasi oleh wilayah-wilayah (ummah bersifat universal);

e. Nasionalisme menolak kesatuan kemanusiaan, sedangkan ummah

mendukung persaudaraan kemanusiaan yang universal;

f. Nasioanalisme memisahkan manusia pada bentuk negara

kebangsaan, sedangkan ummah menyatukan seluruh dunia Islam.

4. Syura dan Demokrasi

Di kalangan pakar Islam terdapat perbedaan dalam menanggapi permasalahan syura dan demokrasi. Sebagian memandang syura dan demokrasi adalah dua hal yang identik, sebagian lain

31 Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implimentasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 211


(55)

memandangnya sebagai dua konsep yang berlawanan, sedangkan yang lain memandang bahwa keduanya mempunyai persamaan yang erat, disamping juga terdapat perbedaan-perbedaan.

Kata “syûrâ” (syura) berasal dari sya-wa-ra yang secara

etimologi berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.32 Sejalan

dengan pengertian ini kata syura dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengadung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Dengan demikian keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehidupan manusia.

Sebagian ulama memandang bahwa perintah musyawarah kepada Nabi SAW hanyalah dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan taktik dan strategi perang menghadapi musuh. Menurut mereka para pemuka Arab, kalau tidak diajak bermusyawarah dalam urusan mereka, akan kecewa dan kecil hati. Karenanya, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk melakukan musyawarah dengan mereka, supaya lebih mempercepat hubungan dengan mereka dan menghilangkan rasa kecewa dikalangan mereka. Menurut sebagian ahli tafsir, masalah musyawarah ini dibatasi terhadap urusan-urusan duniawi yang tidak ada wahyunya, bukan persoalan agama. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa musyawarah dapat dilakukan dalam


(56)

masalah-masalah keagamaan dengan alasan bahwa terjadinya perubahan sosial seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan membuat sebagian permasalahan agama juga ikut terimbas dan menuntut “penyesuaian”, karena Al-Quran dan sunnah belum

menentukan cara penyelesaian secara terperinci dan tegas.33

Pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang sudah baku dan perinci diuraikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mendapat tempat untuk dimusyawarahkan. Karenanya, Islam tidak membenarkan melakukan musyawarah dalam masalah-masalah seperti dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah. Sebaliknya, terhadap masalah-masalah yang dijelaskan Allah dan Rasul-Nya secra global dan umum atau tidak dijelaskan sama sekali, maka umat Islam diperintahkan untuk melakukan musyawarah sesuai dengan kebutuhan

mereka.34

Adapun bagaimana cara melakukan musyawarah, Allah tidak menentukan secara perinci. Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Dalam satu pemerintahan atau negara, boleh saja musyawarah ini dilakukan dengan membentuk suatu lembaga tersendiri, seperti parlemen atau apapun namanya. Dalam pengambilan keputusan, tidak berarti suara terbanyak mutlak harus diikuti. Adakalanya keputusan diambil berdasarkan suara minoritas. Sebagai contoh, khalifa Abu Bakar pernah mengabaikan suara mayoritas dalam

33 Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implimentasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 216-217


(57)

masalah sikap terhadap para pembangkang zakat. Pada pemerintahan Umar beliau pernah menolak pendapat mayoritas tentang pembagian perampasan perang berupa tanah Sawad (Irak).

Sebagaimana syura diatas, demokrasi juga menekankan unsur musyawarah dalam mengambil keputusan. Demokrassi yang diartikan sebagai bentuk kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sebagaimana di definisikan Abraham Lincoln. Disamping

itu, terdapat prinsip dasar demokrasi antara lain:35

a. Kebebasan berbicara. Setiap warga negara berhak mengemukakan

pendapatnya tanpa harus merasa takut. Dalam sistem demokrasi, hal ini penting untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan dengan benar.

b. Pelaksanaan pemilu yang di dalam bahasa politik Indonesia luber

(langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) secara teratur. Pemilu ini merupakan sarana konstitusional untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau perlu diganti dengan yang lain.

c. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontrol

minoritas. Prinsip ini mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah.

d. Karenanya, sejalan dengan prinsip ketiga, dalam sistem

demokrasi, partai politik memainkan peran penting. Rakyat

35 Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implimentasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 220-221


(58)

dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya.

e. Demokrasi meniscayakan pemisahan antara kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan yudikatif. Dengan pemisahan ini akan ada cheks and balances, sehingga kekuasaan akan terhindar dari praktek-praktek ekspolitatif.

f. Demokrasi menekankan adanya supremasi hukum. Semua

individu harus tunduk dibawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya.

g. Dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas

melakukan kegiatan. Karenanya, semua individu bebas

mempunyai hak milik, tanpa boleh diganggu oleh pihak manapun. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demokrasi dan syura bukanlah dua hal yang identik, tetapi bukan pula harus dipertentangkan. Demokrasi dapat menjadi bagian dari sistem politik umat Islam apabila orientasi dan sitem nilainya diberi muatan nilai-nilai agama dan moralitas.

D. Lembaga Ifta’

1. Pengertian Ifta’

Secara etimologi kata iftâ’ (ءاـتـفا) terambil dari akar kata “– ىتـفأ ىتـفـي

ءاـتـفا ” yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Secara tegas rumusan tentangiftâ’ ini. Akan tetapi


(59)

dapat dipahami bahwa iftâ’ itu intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang

belum mengetahuinya.36

Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan iftâ’ ialah jawaban yang diberikan oleh seorang ahli atas

suatupertanyaan tentang suatu persoalan hukum syara’. Orang yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu disebut dengan mufti. Secara lebih tegas dikatakan bahwa iftâ’ itu adalah fatwa yang diberikan oleh seorang mufti atas suatu persoalan hukum yang ditanyakan kepadanya. Pekerjaan meminta fatwa itu disebut dengan istaftâ’. Sedangkan orang yang meminta fatwa atau yang diberi jawaban fatwa disebut dengan mustaftî’.

Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan.

secara sederhana, ifta’ di rumuskan sebagai “Usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum

mengetahuinya”.37

Contoh dari ifta’ adalah mengenai hukum hadiah undian, ada tiga

bentuk hukum yang menyangkut hukum tersebut salah satunya hukum–

hukum yang diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu.38 Pengetahuan yang

36 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), 429 37 Ibid., 327


(60)

bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan menghafal Al-Quran. Ciri-ciri dari Ifta’ (berfatwa) adalah :

a. Usaha memberi penjelasan.

b. Penjelasan yang di berikan berkaitan dengan hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.

c. Yang memberi penjelasan adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya.

d. Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.39

Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya :

































Artinya : Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al Anbiya>’ : 7)

2. Mufti

Mufti adalah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk seorang ahli fiqih (faqih), karena yang dimaksud dengan mufti adalah mujtahid dalam istilah ulama ahli ushul. Secara global, syarat-syarat mufti dapat dikelompokan kepada empat bagian berikut:


(61)

a. Syarat umum, yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara dan pelaksanaanya.

b. Syarat keilmuan, yaitu mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan

mengetahui secara baik dalil-dalil aqli. Mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.

c. Syarat kepribadian, yaitu adil dan dapat dipercaya.

d. Syarat pelengkap dalam kedudukanya sebagai ulama panutan

Al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud

untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang atau

sakinah, dan berkecukupan. Imam Ahmad menurut yang dijelaskan oleh ibn al-Qayyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan

i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara

umum, al-Isnawi mengemukakan syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perowi hadist,karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama dengan tugas perawi. Kewajiban-kewajiban para Mufti, yaitu:

a. Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan.

b. Hendaklah dia memohon pertolongan kepada Allah agar menunjukan ke jalan yang benar.


(1)

90 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis mengadakan pembahasan dan pengkajian sesuai dengan kadar kemampuan dan berfikir mengenai kedudukan Majelis Ulama Indonesia maka dalam bab ini penyusun dapat menyimpulkan:

1. Majelis Ulama Indonesia berada pada ranah kawasan infra struktur politik. Berada di tengah masyarakat dan merupakan denyut jantung kehidupan sosio-kultural masyarakat. Sedangkan dilihat dari kelembagaan, MUI dalam infra struktur berada dalam golongan/kelompok kepentingan, lebih tepatnya kelompok kepentingan institusional (Interest Group Instittusional). Golongan Kepentingan adalah sekelompok manusia yang bersatu dan mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu merupakan kepentingan umum atau masyarakat luas, maupun kepentingan untuk kelompok tertentu. Artinya, fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat. Fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara.

2. Dalam keberadaannya, kedudukan MUI dijelaskan dalam siyasah dusturiyah. Siyasah dusturiyah merupakan hubungan antara


(2)

91

pemerintah dan lembaga untuk menangani urusan yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat. MUI merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh sekumpulan ulama untuk membahas pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh keadaan suatu kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan masyarakat serta memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian peran MUI sebagai pembantu pemerintah dalam menyelesaikan suatu masalah dalam Islam dapat diartikan sama dengan lembaga ifta’. Memberi fatwa pada hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Dalam menghadapi persoalan seorang mufti harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus pertanyaan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Karenanya seseorang mufti harus mengetahui apa yang disampaikan itu dan harus orang yang terkenal benar, baik tingkah lakunya dan adil, baik dalam perkataannya maupun dalam perbuatannya.

B. Saran

1. Pemerintah seharusnya perlu adanya payung hukum yang menjelaskan tentang keberadaan Majelis Ulama Indonesia dan kedudukannya dalam negara. Dan pemerintah dapat bersikap tegas dalam setiap menyikapi fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI


(3)

92

2. Hendaknya para ulama memanfaatkan peranannya yang berada di tengah masyarakat dan pemerintah untuk dapat mewujudkan hubungan yang baik diantara keduanya serta mampu dalam membangun kesejahteraan negara dan masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru, 1966-1994, Jakarta, Gema Insani Press, 1993

Abdul Samad Musa, Dkk, Prinsip Dan Pengurusan Fatwa Di Negara Asean, Negeri Sembilan, INFAD, 2006

Arif Zunaidi, Bisnis Undian Berhadiah Dalam Perspektif Fatwa MUI dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, Program Pasca Sarjana, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.

Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta Dan Tanggapan, Bandung, Rosdakarya, 2000

Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2001

Hasan Shadili, Pimpinan Redaksi, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1980, jilid 6.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia, 2005

Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, 2013

Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-keputusan Musyawarah Nasional ke-II Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1980


(5)

Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, Paramuda Advertising, 2008

Mestika Zed, Metodologi Kepustakaan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2008 Mohammad Nadzir, Metode Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara, 2007

Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2002 Muchtar Affandi, Ilmu-ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, 1971

Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta, INIS, 1993

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Konstektualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta, Prenadamedia Group, 2014

Munawir Sjadali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1990

Prof. H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah “Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah”, Jakarta, Kencana, 2009

Rifyai Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999

Siti Musdah Maulia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jauhar Volume 4, 2 Desember 2003.

Soerdjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-PRESS, 2007 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung,

Alfabeta,2008


(6)

Surya Heni, Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen (Studi Analisis Program Kerja Pengurus Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur), Jurusan Manajemen Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003

Titin Hamidiyah, Perkembangan MUI Kota Surabaya (1975-1992), Jurusan Manajemen Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009

T.M. hasbi Ash-hiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. Pustaka Rizky Putra, 1997

Wirjono Prodjodikiro, Asas-asas Ilmu Negara dan politik, Bandung, PT Eresco, 1971

Yeni Salma Barinti, Fatwa MUI Tentang Ekonomi Syariah Dalam Sistem Hukum Indonesia. Puslitbang Lektur dan Khazana Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2012.