AGAMA DAN NEGARA : HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI BIDANG POLITIK DI ERA B. J. HABIBIE TAHUN 1998-1999 M.

(1)

AGAMA DAN NEGARA

(Hubungan Islam dan Negara di Bidang Politik di Era B. J. Habibie Tahun 1998-1999 M)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

OLEH:

AGENG SUKO DERMAWAN NIM. A.322.09.001

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ageng Suko Dermawan

NIM : A.322.09.001

Jurusan : Sejarah dan Kebudayaan Islam

Fakultas : Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel

Surabaya

Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya. Jika di kemudian hari skripsi ini terbukti bukan hasil karya saya sendiri, saya bersedia mendapatkan sanksi berupa pencabutan gelar sarjana yang saya peroleh.

Surabaya, 27 Juli 2016 Yang Membuat Pernyataan


(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini disusun oleh Ageng Suko Dermawan (A.322.09.001) Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Surabaya, 01 Agustus 2016

Pembimbing,

H. Ali Muhdi, M.Si


(4)

iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi ini telah diuji oleh penguji dan dinyatakan lulus Surabaya, 16 Agustus 2016

Ketua/Pembimbing

H. Ali Muhdi, M.Si NIP. 197206262007101005

Penguji I,

Dr. H. Achmad Zuhdi DH, M. Fil. I NIP. 196110111991031001

Penguji II,

Rochimah, M.Fil.I NIP.196911041997032002

Sekretaris,

Dra. Lailatul Huda, M.Hum NIP. 196311132006042004

ekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya Dekan,

Dr. H. Imam Ghazali, M.A NIP. 1960022119931002


(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : AGENG SUKO DERMAWAN

NIM : A.322.09.001

Fakultas/Jurusan : ADAB dan HUMANIORA / SEJARAH dan KEBUDAYAAN ISLAM

E-mail address : ink.client@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Sekripsi Tesis Desertasi ………

yang berjudul :

AGAMA DAN NEGARA (Hubungan Islam dan Negara di Bindang Politik di Era B. J. Habibie)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan

menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltextuntuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 19 Agustus 2016 Penulis

(Ageng Suko Dermawan)

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id


(6)

x

ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang Agama dan Negara (Hubungan Islam dan Negara di bidang politik di Era B. J. Habibie Tahun 1998 -1999 M). Permasalahan yang dibahas diantaranya: (1) latar belakang berakhirnya Orde Baru? (2) bagaimana hubungan negara dan agama Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999 M)? (3) bagaimana peta politik Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999 M)?

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode kualitatif historis deskriptif agar mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam sedangkan teori yang digunakan adalah teori lakon oleh Biddle dan Thomas. Mengenai pengumpulan sumber, penulis menggunakan sumber sekunder dengan melakukan studi literatur dari buku, jurnal, artikel, skripsi.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) latar belakang berakhirnya orde baru yaitu karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di dalam pemerintahan, dan membengkaknya angka hutang luar negeri. (2) hubungan agama dan negara pada masa pemerintahan B. J. Habibie Tahun 1998 -1999 M, ditandai dengan adanya perubahan yang signifikan tentang regulasi sistem perpolitikan yang di dalam perkembangannya melahirkan banyak partai politik Islam. (3) peta politik Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999 M) mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan dinamis hal ini ditandai dengan lahirnya partai dari ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah berkontribusi pada Partai Amanat Nasional (PAN), Nahdlatul Ulama' pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kelompok Islam moderat pada Partai Keadilan (PK), dan lainnya, di mana ormas dan partai politik Islam secara dinamis saling berkolaborasi dalam membangun sistem demokrasi di Indonesia.


(7)

ABSTRACK

This thesis examines the Religion and State (Islamic Relations and the State in the field of politics in the era B. J. Habibie 1998 -1999 M) . Issues discussed include: (1) background of the end of the Orde Baru ? ( 2 ) how the relationship between the state and Islam during the reign of B. J. Habibie (1998-1999 M) ? (3) how the political map of Islam during the reign of B. J. Habibie (1998-1999 M) ?

The method used in the writing of this paper is historically descriptive qualitative method in order to get a full picture, thorough, and insightful while the theory used is the theory of the play by Biddle and Thomas. Regarding the collection of sources, the author uses secondary sources to conduct a study of literature from books , journals, articles , theses.

From these results it can be concluded that (1) background expiry of the Orde Baru that is due to the high level of KKN (corruption, collusion and nepotism) in government, and ballooning foreign debt figures. (2) the relationship between religion and the state during the reign of B. J. Habibie 1998 -1999 M, marked by significant changes regarding the regulation of the political system in its development produced many Islamic political party. (3) the political map of Islam during the reign of BJ Habibie (1998-1999 M) has increased very significantly and dynamically it is marked by the birth of the party of Islamic organizations such as Muhammadiyah contribute to the Partai Amanat Nasional (PAN), Nahdlatul Ulama' in Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), a moderate Islamic group on Partai keadilan (PK), and others , in which the Islamic mass organizations and political parties are dynamically collaborate in building a democratic system in Indonesia .


(8)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan penelitian ... 10

D. Kegunaan penelitian ... 10

E. Pendekatan dan kerangka teori ... 11

F. Penelitian terdahulu ... 12

G. Metode penelitian ... 13


(9)

BAB II: BERAKHIRNYA MASA ORDE BARU DAN MUNCULNYA

ERA REFORMASI ... 17

A. Berakhirnya Orde Baru ... 17

B. Faktor runtuhnya Orde Baru ... 18

C. Lahirnya era reformasi ... 23

D. Kronologi reformasi ... 29

BAB III: HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PADA MASA PEMERINTAHAN B. J. HABIBIE ... 33

A. Politik Islam pada masa pemerintahan Habibie ... 33

B. Profil Parpol Islam ... 35

C. Respon Partai-Partai Politik Islam terhadap Persoalan Kontemporer ... 48

D. Kebijakan pada masa pemerintahan Habibie ... 51

BAB IV: PETA POLITIK ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN HABIBIE ... 59

A. Perkembangan Politik Islam Pada Masa B. J. Habibie ... 59

B. Peta Gerakan Politik Islam Pada Masa B. J. Habibie ... 65

BAB V: PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara Muslim mengalami kesulitan dalam upaya mereka mengembangkan sintesis yang memungkinkan antara praktek dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah masing-masing.1

Demikian pula pada perpolitikan Negara kita yang mengalami perubahan. Dalam hal ini diawali dengan runtuhnya orde baru ini memberikan harapan angin segar kepada umat Islam untuk bangkit kembali dalam percaturan politik nasional yang pada masa Orde Baru termarjinalkan. Apabila melihat ke belakang, khususnya pada awal-awal kemerdekaan bahwa kegagalan politik umat Islam pada saat itu, terutama dalam hubungannya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara memang merupakan suatu kenyataan pahit. Oleh karena itu, sehubungan dengan bergulirnya era reformasi ini banyak ide dan gagasan dari umat Islam untuk mengangkat kembali citra umat Islam, sehingga dapat memegang peran dalam percaturan politik nasional.

Jatuhnya rezim Orde Baru tidak terlepas dari gaya politik kekuasaannya yang cenderung otoriter, represif dan tidak demokratis. Dengan

1Bahtiar Efendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1998), 2.


(11)

2

kekuatan utamanya, Golkar dan Militer, maka Orde Baru berhasil mempertahankan kelangsungan kekuasaannya selama tiga dasawarsa lebih. Sikap perlawanan dan oposisi yang dilakukan oleh kelas menengah muslim dan non muslim berhasil digagalkan, mengingat betapa sangat berkuasanya rezim ini dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat.

Baru setelah krisis ekonomi menjalar ke Indonesia dan memporak-porandakan perekonomian nasional, arus deras perlawanan yang dilakukan mahasiswa dengan rakyat semakin menemukan momentumnya untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri lagi, akhirnya rezim Soeharto (Orde Baru) jatuh, dan digantikan wakilnya, B. J. Habibie.

Habibie diangkat sebagai presiden didasarkan pada pasal 8 ayat 3 UUD 1945 tentang kekuasaan pemerintahan negara. Habibie tidak hanya seorang jenius di bidang kedirgantaraan pada waktu menjabat sebagai wakil presiden, dan juga murid politik Soeharto.2 Dibandingkan dengan gurunya,

Habibie tidak cukup beruntung. B. J. Habibie mewarisi negara dalam kondisi berantakan serta posisinya yang tampak lemah di mata rakyat.

Habibie adalah sosok intelektual sekaligus birokrat dan teknokrat yang religius. Selain dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto, beliau juga dekat dengan kalangan Cendekiawan Muslim sehingga beliau pernah dipercaya menjadi ketua umum ICMI.3 Karena background

keislamannya yang cukup kuat itulah kelompok Islam terutama yang sering

2 A. Makmur Makka, BJH: Bacharuddin Jusuf Habibie, His Life and Career, edisi III (Jakarta: Cidesindo, 1996), 87.

3 Nasrullah Ali Fauzi, ICMI antara Status Quo dan Demokratisasi, Cet. I, ( Bandung: Mizan, 1999), 34.


(12)

3

disebut garis keras amat gigih membela dan mendukungnya, karena umat Islam banyak berharap agar Habibie banyak berbuat demi dan untuk kepentingan umat Islam.

Di era kepemimpinan Habibie, terutama setelah adanya kebebasan politik, Islam mengalami kebangkitan. Perubahan yang signifikan dari kelompok Islam dalam memaknai jatuhnya rezim Orde Baru, yang mulai mengakomodasikan aspirasi Islam. Aspirasi Islam lebih nampak di pentas politik nasional dibandingkan dengan periode Orde Baru yang belum sepenuhnya memberikan saluran politik Islam. Kejatuhan rezim Orde Baru membangkitkan kesadaran politik umat Islam untuk menyongsong periode baru, yakni periode kebangkitannya. Reformasi adalah awal periode kebangkitan kembali politik Islam di Indonesia. Dalam memahami politik Islam di penghujung Orde Baru, ada sebuah periode yang sering disebut sebagai fase kebangkitan politik Islam.4

Selain itu, Habibie dihadapkan pada tuntutan reformasi di semua bidang kehidupan yang menggema di mana-mana. Dalam kaitan ini, oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap tidak legitimate untuk

memimpin, karena dipandang sebagai bagian dari rezim Orde Baru yang harus disingkirkan. Hal ini tampaknya disadari pula oleh Habibie. Karena itu, sejak kepemimpinannya yang berkisar 517 hari, Habibie banyak melakukan tindakan populer guna mendongkrak legitimasinya dan pada saat yang sama

4 Eep Saefullah Fattah, “Masa Depan Politik Islam : Dari Pusaran Menuju Arus Balik” dalam Abu Zahro (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 13-14.


(13)

4

memasang kuda-kuda untuk pertarungan memperebutkan kursi presiden periode berikutnya.

Sejarah mencatat bahwa Habibie telah memberi kebebasan yang luar biasa kepada dunia pers, membebaskan tahanan politik (Tapol) dan narapidana politik (Napol), menggusur Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari wacana politik nasional, menghapus keharusan pemakaian asas tunggal Pancasila bagi organisasi massa (Ormas) dan organisasi politik (Orpol), mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah (Otoda), kebebasan mendirikan partai politik bagi seluruh masyarakat dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu pada bulan Juni 1999.

Diantaranya program Kebijakan B. J. Habibie: 1. Pemberi Amnesti5 bagi Tahanan Politik.

Mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998 tentang Pemberian Amnesti. Sejumlah tahanan politik seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan sedangkan Budiman Sudhatmiko ketua Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada masa Presiden Abdurahman Wahid.

2. Bidang Kebebasan Berpendapat

a. Membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, tugasnya adalah mencari segala sesuatu yang

5 Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.


(14)

5

berhubungan dengan kerusuhan di Jakarta yang melibatkan mahasiswa Trisakti tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta.

b. Mengeluarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang berisi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

c. Mencabut Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 pencabutan undang-undang nomor 11/PNPS/ 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, pada tanggal 19 Mei 1999.

3. Bidang Hukum dan Perundang-undangan.

Pelaksanaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 10-13 September 1998 selain mengukuhkan Habibie sebagai presiden Republik Indonesia, juga menghasilkan perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan. Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat ini ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat dan mencapai puncaknya dalam peristiwa Tragedi Semanggi (Semanggi I) yang menewaskan 18 orang.

Fokus perombakan sistem hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa tersebut mengacu pada 12 ketetapan yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni:

a. Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru, antara lain:


(15)

6

1) Tap MPR No. X/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang Pokok-pokok pelaksanaan Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara.

2) Tap MPR No. XI/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

3) Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang Pembatasan Masa Tugas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

4) Tap MPR No. XV/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang Proses Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

5) Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang Penegakkan Hak Asasi Manusia.

b. Bagian ketetapan yang terdiri dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengubah dan menambah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lama, antara lain:

1) Tap MPR No. VII/MPR/1998 yang berisi perubahan dan penambahan terhadap Tap MPR No. I/MPR/1983 tanggal 13 September 1998 tentang Tatib Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.

2) Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang perubahan dan penambahan terhadap Tap MPR No. III/MPR/1983 tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum.


(16)

7

c. Bagian ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lama, antara lain:

1) Tap MPR No. VIII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tanggal 13 September 1998 tentang referandum6 yang menjaga

undang Dasar 1945. Pencabutan Tap ini berarti pula Undang-undang Dasar 1945 dapat dirubah dan diamandemen.

2) Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang pencabutan Tap MPR No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

3) Tap MPR No. XII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Tugas dan Wewenang Presiden selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

4) Tap MPR No. IX/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

4. Kebebasan Pers. Presiden B. J. Habibie mengeluarkan kebijakan:

a. Menghapus Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP) yang pada masa Orde Baru menjadi hal yang menakutkan dalam pers.

b. Melakukan penyederhanaan tentang penerbitan Pers baru.

6 penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen)


(17)

8

c. Mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

5. Bidang Pemilihan Umum

Pemilihan Umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Setelah Presiden B. J. Habibie mencabut berbagai Undang-undang Politik warisan Orde Baru, kemudian dikeluarkan 3 undang-undang Politik baru yang mulai ditetapkan pada tanggal 1 Februari 1999, yaitu:

a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999tentang Partai Politik.

b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, diantaranya dijelaskan bahwa peraturan pemilihan umum bersifat campuran antara sistem proporsional dan sistem distrik.

c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemilihan Umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem distrik atau perwakilan dan asas Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur, Adil). Dalam pemilihan umum tahun 1999 ada lima partai yang mengumpulkan suara terbanyak, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diketuai oleh Megawati Soekarno Putri, Partai Golongan Karya (GOLKAR) diketuai oleh Akbar Tanjung, Partai Persatuan Pembangunan diketuai


(18)

9

Hamzah Haz, Partai Kebangkitan Bangsa diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan Partai Amanat Nasional diketuai oleh Amien Rais.

Setelah pemilihan umum selesai, kemudian dilanjutkan dengan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 1-21 Oktober 1999, diantaranya diputuskan:

(1) Mengukuhkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Menolak Pidato Pertanggungjawaban Presiden B. J. Habibie melalui Tap No. III/MPR/1999 tanggal 14 Oktober 1999.

Dapat kita ketahui Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan diaologis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan pemerintahan yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan cabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Beliau meningkatkan koordinasi dan menghapus egosintesmi sekotral antar menteri.

Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah negara.7

7 Enjang Odih B.A dan Drs Sukadi. Sejarah Nasional dan Umum (Ganeca Exaca :Bandung. 1994), 70.


(19)

10

B. Rumusan Masalah

Agar penelitian ini efektif dan efisien dalam memperoleh hasil temuan ilmiah, maka pengkajian diarahkan untuk menjawab tiga topik utama yang didasarkan pada pemaparan dalam latar belakang masalah diatas.

Adapun rumusan masalah pada pembahasan skripsi sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang berakhirnya masa Orde Baru?

2. Bagaimana hubungan Negara dan Islam pada era B. J. Habibie?

3. Bagaimana peta politik Islam pada masa Era B. J. Habibie?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang berakhirnya Orde Baru? 2. Mengetahui sistem politik Islam di Indonesia pada masa pemerintahan B.

J. Habibie (1998-1999 M)?

3. Mengetahui Peta politik Islam pada masa B. J. Habibie (1998-1999 M)?

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini semoga dapat memberi bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun bagi para pembaca atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.

1. Manfaat akademis

Penelitian ini didasarkan untuk melatih Mahasiswa dalam penelitian tahap awal sebagai calon sarjana sejarah kebudayaan Islam, sehingga mahasiswa mampu mendapatkan materi lebih di luar mata


(20)

11

kuliah. Hasil penelitian dimaksudkan bisa dijadikan sebagai referensi dan dapat digunakan sebagai penelitain lebih lanjut, dengan melakukan penelitian ini diharapkan penulis dan semua pihak yang berkepentingan dapat lebih memahaminya.

2. Manfaat bagi Masyarakat umum.

Penelitian ini memfokuskan kepada sejarah politik islam pada masa pemerintahan B. J. Habibe sebagai objek penelitian, sehingga diharapkan khalayak umum dan semua yang terkait memahami sejarah secara mendalam dan tidak menafsirkan sejarah secara garis besar tampa mengetahui lebih dalam.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Langkah awal sebelum penelitian, terlebih dahulu penulis harus mengetahui pendekatan apa yang digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan historis. Karena penulis berusaha mengungkapkan bagaimana latar belakang Politik Pada pemerintahan B. J. Habibie. Dalam studi sejarah menggunakan perspektif teoritis terhadap fenomena-fenomena yang dikaji sangatlah penting, sehingga peristiwa sejarah dapat dieksplorasi dengan kritis dan mendalam.8 Sedangkan

dalam hal perubahannya penulis menggunakan teori yang telah dikatakan oleh Max Weber.


(21)

12

Menurut Max Weber suatu tindakan sosial itu merupakan tindakan yang subjektif yang juga dilengkapi tindakan yang lainnya dan diorientasikan dalam bentuk tindakan sosial. Sosiologi dikatakan sebagai ilmu berusaha memberikan pengertian tentang aksi-aksi sosial bagi Weber, Sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan menguraikannya, dengan menerangkan sebab tindakan tersebut yang menjadi inti dari sosiologi Weber bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan-alasan subyektif.9

Sementara itu, dalam peranannya atau fungsinya penulis menggunakan teori Peran. Teori peran oleh Biddle dan Thomas adalah menyepadankan peristiwa dengan pembawa “lakon” oleh seorang pelaku dalam sandiwara. Orang yang membawakan peran disebut “pelaku” atau penampil. Kedua istilah itu sama-sama dapat menerangkan perihal pihak mana yang sedang membawakan perilaku peran. Namun diantara pihak-pihak tersebut, masih dapat dibedakan pihak mana yang menciptakan perilaku, serta pihak mana yang mendapatkan akibat dari perilaku tersebut. Pihak pertama disebut sebagai “lakon”, sedangkan pihak kedua disebut sebagai sasaran.10

Peranan merupakan proses dinamis dari status. Apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan kedudukan dengan peranan adalah

9 Hotman M.Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1986), 200.

10 Edi Suhardono, Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), 7-13.


(22)

13

untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.

F. Penelitian terdahulu

1. Dinamika Pemikiran Politik Umat Islam Indonesia Pada Masa Orde Baru Dan Orde Reformasi. Thesis. Drs. Fahrudin, M.Ag. Tesis ini lebih mengarah kepada perjalanan politik. Tahun 1999. Jurusan Pengkajian Islam

2. Metamorfosis Partai Politik Islam (Masyumi). Skripsi oleh Khilil Fathul Umam. Tahun 2007. Jurusan Siyasah Jinayah

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara atau prosedur untuk mendapatkan objek.11

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif historis deskriptif agar mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam. Mengenai pengumpulan sumber, penulis menggunakan sumber sekunder dengan melakukan studi literatur dari buku, jurnal, artikel, skripsi. Buku-buku, skripsi, dan tesis, penulis dapatkan dari perpustakaan pusat UIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan daerah Surabaya dan perpustakaan Islamic Center, sumber lain diperoleh dari media Ebook. Metode yang digunakan penulis untuk mengkaji judul di atas sebagai berikut:


(23)

14

a. Heuristik

Berasal dari bahasa Yunani Heuristiken yang artinya

mengumpulkan atau mengumpulkan sumber. Sumber yang dimaksud dalam kajian sejarah ini adalah sejumlah materi sejarah yang tersebar dan teridentifikasi. seperti: Artikel, Buku, Undang-undang.

Peneliti sejarah dan sejarawan dalam mengumpulkan sumber atau jejak sejarah itu seperti menambang emas yaitu dari biji emas yang bercampur lumpur dan pasir sehingga biji emas tidak kelihatan. Seperti itulah pekerjaan peneliti dan sejarawan seperti menambang emas yang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan.

Sumber merupakan bahan terpenting dalam proses penelitian atau penulisan sejarah. Karena tanpa sumber seorang peneliti atau sejarawan tidak akan mampu mengungkap fakta sejarah, dengan kata lain sejarawan harus terlebih dahulu memiliki data sebagai alat bantu.12

b. Kritik Sumber

Sebuah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber dengan cara melakukan kritik atau kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu kejadian.

Bekal utama seorang peneliti sejarah adalah sifat tidak percaya terhadap semua sumber sejarah. Peneliti harus lebih dulu mempunyai prasangka yang jelek atau ketidak percayaan terhadap sumber sejarah yang


(24)

15

tinggi. Bukan maksud tidak mempercayai sumber tapi kebenaran sumber harus diuji terlebih dahulu dan setelah hasilnya terbikti benar maka sejarawan baru percaya kebenaran sumber.13

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penelusuran sumber. Teknik pengumpulan data tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa penelusuran sumber merupakan alat yang efisien dan efektif dalam menjaring data yang obyektif. Data sendiri diperoleh dari perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan daerah Jawa Timur, dan perpustakaan Islamic Centre.

H. Sistematika Pembahasan

Bab I: Pendahuluan untuk mengantarkan skripsi secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari sub bab yaitu tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan.

Bab II: Membahas Berakhirnya Masa Orde Baru Dan Munculnya Era Reformasi mulai dari Berakhirnya Masa Orde Baru, Lahirnya Era Reformasi pada masa pemerintahan B. J. Habibie.

Bab III: Menelusuri hubungan Islam dan negara pada era B. J. Habibie, Masuknya Politik Islam Pada Masa Pemerintahan B. J. Habibie, Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B. J. Habibie, Perkembangan Politik Islam Pada Pemerintahan B.J. Habibie.


(25)

16

ab IV: Pada bab ini membahas perkembangan politik Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dan Peta Gerakan Politik Islam Pada Masa B. J. Habibie (1998-1999 M).

Bab V: Dalam bab ini berisikan kesimpulan Agama dan Negara (Hubungan Islam dan Negara di bidang Politik Di Era B. J. Habibie Tahun 1998-1999 M).


(26)

17

BAB II

BERAKHIRNYA MASA ORDE BARU DAN LAHIRNYA ERA REFORMASI

A. Berakhirnya Orde Baru

Pada tanggal 20 Januari 1998, presiden Soeharto secara resmi menerima pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan.1 Setelah terpilih dan menjabat sebagai presiden, Soeharto membentuk kabinet barunya dengan menyertakan putrinya Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Kesejahteraan Sosial, dan orang dekatnya Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian.

Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).

Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan tewas.

1 Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta:Balai Pustaka. 2010), 664


(27)

18

Pemerintah Soeharto semakin disorot setelah tragedi TRISAKTI kemudian memicu kerusuhan 13 Mei 1998 sehari selepasnya.2 Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan latar belakang hal tersebut, saya mencoba menjelaskan tentang bagaimana faktor penyebab jatuhnya sistem pemerintahaan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, sehingga pimpinan ini mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.

Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 19983 yang disertai dengan tuntutan demokratisasi di segala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi.

B. Faktor-faktor Berakhirnya Orde Baru

Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto antara lain krisis ekonomi dan moneter. Pemicu dari kejatuhan pemerintahan Orde Baru ini yaitu karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di dalam

2 Aritonang, Diro. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto (Jakarta: Pustaka Hidayah. 1999) 23. 3 Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI. Op. Cit., 664.


(28)

19

pemerintahan, dan membengkaknya angka utang luar negeri. Transisi pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkup oleh berbagai gejolak.

Berbagai aksi dan demonstrasi mahasiswa marak ditemui di jalan kota besar di Indonesia. Tinggi gejolak keamanan pun turut mewarnai periode ini. Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran fasilitas umum pun turut menoreh sejarah kelam Indonesia di tahun sistem pemerintahan Orde Baru ini. Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Orde Baru pun mulai menguak. Hal ini seiring dengan melambung tingginya harga barang-barang akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bersama Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri di Indonesia mencapai 63.262 miliar dollar Amerika Serikat.4 Angka ini baru yang dibebankan bagi negara, jumlah utang luar negeri sektor swasta Indonesia pun mencapai miliaran dollar Amerika Serikat. Efek domino dari kondisi kejatuhan ekonomi langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakan. Rakyat menjadi cukup sulit memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, rakyat harus mengantri untuk mendapatkan sembako dengan harga murah, karena harga standar yang dijual di pasar sudah tak terjangkau lagi oleh daya beli masyarakat.

Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak penandatanganan Soeharto mengenai perjanjian pemberian dana bantuan

4 Wal Ardi. Kronologis jatuhnya pemerintahan orde baru. (diakses pada tanggal 31 Mei 2014, pukul 11.30) dalam http://www.berpendidikan.com


(29)

20

IMF pada Medio 1997.5 Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari betul oleh rakyat pada saat itu.

Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal ini akan berdampak pada makin menumpuknya utang Indonesia kepada luar negeri. IMF tidak hanya memberi bantuan dana semata, akan tetapi IMF memberikan bantuan dengan persyaratan tajam kepada Indonesia yang menyangkut dalam 4 bidang utama, yaitu pengetatan kebijakan fisikal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga. Hal ini harusnya dipikirkan mendalam oleh pemerintah sebelum menyepakati perjanjian bantuan dana tersebut. Alhasil, dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi nasional yang signifikan, melainkan makin berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia yakni melambungnya jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat yang dari 20 juta orang sampai ke angka 80 juta orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan akibat penutupan bank-bank nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Krisis ekonomi pun makin bertambah parah.

Melihat kondisi kehidupan sosial seperti ini, banyak pihak yang menginginkan perubahan. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa pun mulai menyusun strategi untuk

5 Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta:Balai Pustaka. 2010), 664


(30)

21

memberikan feedback atau umpan balik terhadap kelemahan sistem pemerintahan. Berbagai aksi pun digelar. Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi yang ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru.

Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan sejak Pebruari 1998 dan mencapai puncaknya bulan Mei. Di Universitas Trisakti, aksi demonstrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Akan tetapi, aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan, yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan6 dan puluhan lainnya mengalami luka-luka serius. Dari kejadian tersebut mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di berbagai daerah. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal dari mahasiswa dan masyarakat lain mulai mengarah ke tindakan anarkis, yakni berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar luar di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang di dalamnya dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi kasus penganiayaan. Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Tragedi kerusuhan ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia.

6 Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan. Soekisno Handikoemoro, Tragedi Trisakti 12 Mei 1998,...101. Dari

kematian empat mahasiswa Trisakti tersebut mmicu berbagai gerakan pro-reformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak presiden soeharto untuk mengundurkan diri.


(31)

22

Suasana Jakarta saat itu pasca tragedi kerusuhan ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 mei 1998.7 Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto.

Pada tanggal yang sama, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang.8 Di dalam pertemuan ini, Soeharto meminta pendapat apakah ia memang harus turun jabatannya sebagai presiden. Pertemuan ini berlangsung hingga 2,5 jam dan tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal sewaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Anti monopoli, dan UU Anti korupsi.

7 Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI., Op. Cit., 669.

8 Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie,Malik Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan Presiden. Ricklefs. M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi. 2007), 653.


(32)

23

Akan tetapi, dalam perkembangannya Kabinet Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Salah satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yang terlihat dari pernyataan politik Kosgoro yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR Republik Indonesia meminta Soeharto untuk mundur.

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat. Soekarno menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

C. Lahirnya Reformasi

1. Latar belakang reformasi

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang


(33)

24

lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.9

Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.10 Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Artinya, reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan tersebut.

Reformasi merupakan suatu perubahan kehidupan lama dengan tatanan perikehidupan baru yang secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan pendidikan.

Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya gerakan reformasi adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dan garam mengalami kenaikan yang tinggi. Bahkan, warga masyarakat harus antri untuk membeli sembako itu.

Sementara, situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak menentu dan tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan

9 http://id.wikipedia.org/wiki/ (diakses pada tanggal 26 Desember 2014)


(34)

25

politik dan ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Keadaan itu menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan Orde Baru.

Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya.11 Semua itu merupakan jalan menuju terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, dan damai. Rakyat tidak mempermasalahkan siapa yang akan pemimpin nasional, yang penting kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup pangan, sandang, dan papan). Namun demikian, rakyat Indonesia mengharapkan agar orang yang terpilih menjadi pemimpin nasional adalah orang yang peduli terhadap kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.

2. Faktor Lahirnya Era Reformasi

Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupa-kan faktor atau penyebab utama lahirnya geramerupa-kan reformasi. Namun,


(35)

26

persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita orde baru.12 Pada awal kelahirannya tahun 1966, orde baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.13

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, seperti berikut ini:14

a. Krisis Politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan

12 Edward, Aspinall. Titik Tolak Reformasi Hari-hari Berakhirnya Presiden Soeharto (Yogyakarta: LKIS. 2000), 333

13 Ahmad Mansyur Suryanegara, API Sejarah 2 (Bandung: PT. Salamadani Pustaka Semesta, 2002), 250

14 M. C. Riclefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2001), 471


(36)

27

kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa.

Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:

1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.

3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya. 4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap

warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. 5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun

Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.


(37)

28

b. Krisis Hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.

Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah(eksekutif).

c. Krisis Ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat.

Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 14,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi.


(38)

29

d. Krisis Sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah.

Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial. e. Krisis Kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.

D. Kronologi peristiwa reformasi

Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan sebagai berikut:


(39)

30

1) Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII. Kondisi kehidupan bangsa dan negara tidak kunjung membaik. Perekonomian nasional semakin memburuk dan masalah-masalah sosial semakin menumpuk. Keadaan itu menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran rakyat Indonesia.

2) Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Semakin bertambahnya para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyebabkan aparat keamanan kewalahan dan terjadilah bentrok antara para mahasiswa dan aparat keamanan.

3) Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.15


(40)

31

4) Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.16

5) Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR. Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di alun-alun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung, guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.

6) Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Suharto mengundurkan diri’.

7) Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Suharto. Namun, usaha itu mengalami kegagalan karena sebagian tokoh-tokoh yang diundang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi itu. Sementara, mahasiswa di gedung DPR/MPR tetap menuntut Suharto turun dari kursi kepresidenan.

8) Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan


(41)

32

beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.17

Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan para mahasiswa, terutama setelah pemerintah menaikkan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998, dan agenda reformasi yang menjadi tuntunan pada mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, diantaranya:

1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya. 2. Laksanakan amandemen UUD 1945.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya. 4. Tegakkan supremasi hukum.

5. Menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.


(42)

33

BAB III

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PADA MASA PEMERINTAHAN B. J. HABIBIE

Hubungan Islam dan negara pada pemerintahan B. J. Habibie berjalan dinamis bahkan cenderung romantis, hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang keluarkan Presiden B. J. Habibie yang dikeluarkan pada masa itu. di antara kebijakan yang sangat terlihat dialah kebebasan multi partai yang memberikan angin segar di dunia perpolitikan di Indonesia. Pada dunia pendidikan juga dikeluarkan kebijakan UU No. 22/1999 yang memberikan peluang bagi pendidikan Islam untuk berkembang, begitu pula dengan sistem perbankkan Indonesia yang menerapkan sistem syari'ah.

A. Politik Islam Pada Masa Pemerintahan B. J. Habibie

Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B. J.

Habibie untuk menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985.1

Semua perkembangan ini mendorong munculnya sangat banyak parpol, khususnya parpol-parpol Islam. Dari sekitar 140-an parpol yang berdiri


(43)

34

di masa Habibie, dan kemudian setelah mengalami seleksi ketat terdapat 48 parpol yang berhak mengikuti pemilu 1999. Dan dari 48 parpol ini hampir separuhnya adalah parpol yang secara eksplisit merupakan partai Islam atau menggunakan simbolisme Islam, atau partai berbasiskan konstituen muslim (Muslim based-parties).2

Hal ini kemudian mendapat respon umat Islam sehingga muncullah partai Islam yang eksklusif seperti PPP dan PKS, partai inklusif yang berbasis konstituen muslim seperti PKB, kelompok yang berkeinginan membentuk negara Islam melalui kekuatan Islam politik seperti PBB dan rumusan tentang politik yang ideal dalam kacamata Islam yang fungsional dan membumi seperti gagasan Abdurrahman Wahid, Nurkholis Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hiadayat, Budi Munawar Rahman dan Bahtiar Effendi.

Perkembangan yang cukup menarik dalam era reformasi kaitannya dengan reformasi politik ini menurut Azyumardi adalah terjunnya kembali para ulama dalam kancah perpolitikan nasional, di mana sebelumnya sebagian dari mereka tidak ikut campur tangan dalam politik. Karena pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, ulama bergerak pada berbagai lapisan sosial. Mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat.3

Respon muslim yang semacam ini, adalah wajar karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim di mana mereka meyakini bahwa Islam akan dapat menyelesaikan berbagai masalah, baik yang bersifat mental spiritual maupun fisik material. Oleh karena itu, agama selalu dilibatkan oleh

2Ibid., 63.


(44)

35

para pemeluknya untuk merespon berbagai masalah aktual yang dihadapinya, sehingga kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan.4 Termasuk

dalam hal ini adalah masalah aktual mengenai reformasi politik yang banyak direspon cendekiawan muslim Indonesia.

B. Profil Partai Politik

1. Partai Bulan Bintang

Anggota Partai Bulan Bintang meyakini bahwa Islam adalah agama dan sekaligus jalan kehidupan. Islam dipandang sebagai agama

rahmatan lil-alamin yang bersifat universal. PBB akan menggunakan

prinsip-prinsip universal itu sebagai rujukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang membelit masyarakat dan bangsa seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi, praktik penyalahgunaan kekuasaan, kepentingan antara hubungan pusat dan daerah, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), tindak kekerasan dan seterusnya. Karena itu, bagi PBB yang paling mendasar adalah bagaimana agar prinsip, jiwa dan semangat Islam hadir dalam setiap gerak langkah partai.5

Warga Bulan Bintang meyakini bahwa pokok-pokok akidah telah dijelaskan secara rinci dalam Quran dan Sunnah, begitu pula yang berhubungan dengan peribadatan. Sedangkan di bidang muamalah, Quran

4 Abuddin Nata (eds), Problematika Politik Islam di Indonesia, dalam kata pengantar Prof.

Azyumardi Azra (Jakarta: Grasido Persada, 2002), ix.

5 Yusril Ihza Mahendra, Dengan Prinsip Ummatan Wasatan Kita Perjuangkan Sistem, Bukan

Orang, Dalam Sahar L. Hasan (dkk), Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi (Jakarta:


(45)

36

dan Sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip umum dan sedikit uraian, sehingga merupakan bidang yang luas untuk melakukan ijtihad bagi pemecahan masalah-masalah baru yang dapat timbul setiap saat dengan selalu memperhatikan keadaan tempat dan zaman. Dalam hal ini, partai secara leluasa dapat menggali berbagai warisan pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah umat manusia dengan menimbang baik buruknya. Tradisi Islam mengakui dua jenis kitab Allah. Pertama, adalah

al-Qur'an, mushaf yang merupakan wahyu yang disampaikan kepada Muhammad Saw., kedua, adalah Hadits, yang mencakup hukum-hukum

alam, kehidupan dan kemasyarakatan dan sunnah-Nya yang tidak berubah. Sedangkan beraqidah Islam bermakna bahwa setiap anggota partai dengan sungguh-sungguh meyakini keesaan Allah sebagai Tuhan satu-satuNya yang patut dan wajib disembah, diagungkan, ditaati dan diperhatikan suruhan dan larangan-Nya. Dengan kalimah La ila ha illalah,

partai berkeyakinan bahwa dalam seluruh alam ini, hanya Allah semata yang tidak berubah. Tidak ada pengkultusan kepada selain Allah, dan perubahan harus mengikuti jalan-Nya, yang berarti jalan keluhuran, kebenaran, keadilan dan kebahagiaan seluruh umat manusia.

PBB berpendapat bahwa Dasar Negara Republik Indonesia (Pancasila) selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam universal. Itulah sebabnya dasar bernegara PBB adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,


(46)

37

Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.6

Ada pun tujuan PBB dibagi menjadi dua jenis, yaitu Tujuan Umum dan Tujuan Khusus. Tujuan Umum didirikannya partai ini adalah: (a) mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan (b) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Tujuan Khususnya adalah untuk memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.7

2. Partai Keadilan

Partai Keadilan secara tegas menyatakan Islam sebagai asasnya.8

Sebagaimana yang dijelaskan oleh presiden partai ini9 pemakaian asas

Islam dalam berpartai dan berormas hendaknya dipahami dalam negara yang berlandaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945. Sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kepada setiap insan Indonesia yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan

6 Anggaran Dasar PBB Bab I Pasal 3.

7 Anggaran Dasar PBB Bab I Pasal 4.

8 Anggaran Dasar PK Bab I Pasal 2.


(47)

38

Budha agar memiliki tanggung jawab rabbaniah. Menurutnya masyarakat

Indonesia selayaknya menyingkirkan sikap split personality, pragmatis

dan oportunis, yaitu hanya mau melaksanakan ajaran agamanya yang dinilainya menguntungkan, sedangkan yang dipandang merugikan atau berisiko dibuang jauh-jauh. Dengan pemikiran seperti ini, PK meminta agar agama lain juga menggunakan agamanya sebagai asas partai. Permintaan ini dikemukakan oleh PK untuk membuktikan bahwa ia memperjuangkan proses demokratisasi yang bertumpu kepada penghargaan terhadap kemajemukan.

Penggunaan asas Islam juga dimaksudkan untuk menghapus kesan dan ekstremisme radikalisme yang kerapkali ditembakkan kepada Islam. PK bertekad membuktikan bahwa orang-orang Islam tidak pernah melakukan sesuatu yang merusak, karena ajarannya memang bersifat rahmatan lil-alamiin. Karena itu, perjuangan partai ini bertujuan

mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang adil dan makmur yang diridlai Allah Subh nahu wata'ala.10

3. Partai Kebangkitan Bangsa

Sebuah partai cenderung memilih Islam sebagai asasnya jika seluruh penggagas dan sebagian besar pendukungnya menganut agama Islam. Kecenderungan ini tidak dijumpai dalam PKB. Sebagai partai yang didirikan oleh kaum nahdliyyin yang tak satu pun dari mereka memeluk


(48)

39

agama di luar Islam, PKB lebih menyukai Pancasila daripada Islam sebagai asasnya.

Dalam Anggaran Dasar (AD) PKB, Bab III, pasal 3 dikatakan "Partai berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Pemakaian Pancasila sebagai asas partai dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam melihat Islam. Mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu dituangkan dalam bentuk formal kelembagaan, tetapi yang paling penting adalah ajaran Islam harus tercermin dalam tingkah laku sehari-hari, yang disebut akhlakul karimah. Dalam konteks kepartaian, pemikiran ini tidak mempersoalkan apakah suatu partai mencantumkan Islam sebagai asasnya atau tidak. Karena bagi mereka kadar keislaman suatu partai tidak semata-mata terukur dari pemasangan Islam dalam AD/ART-nya, namun lebih banyak ditentukan oleh seberapa jauh kemampuan partai itu mewujudkan nilai-nilai Islam di dunia politik.

PKB merupakan partai Islam dengan corak keislaman yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang menyatakan: "Pengabdian kepada Allah Subhanahu Wata'ala, menjunjung


(49)

40

menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal- jama'ah".11

Walaupun kekentalan PKB dengan aspek-aspek keislaman merupakan satu kenyataan yang tak terbantahkan, tidak membuat partai ini tergoda untuk mendefinisikan dirinya secara tegas sebagai partai Islam, kecuali pada waktu tertentu seperti terungkap di atas. Identifikasi PKB sebagai sebuah partai terbuka lebih disukai dan kerapkali disuarakan oleh para pendukungnya. Sikap seperti ini dipicu oleh dua alasan. Pertama,

sebagai partai yang dibangun oleh warga NU, semua orang tentu mengetahui bahwa PKB pada dasarnya adalah Islam. Sehingga gembar-gembor mengenai label Islam dan non-Islam tidak ada artinya. Kedua,

menjaga agar Islam tidak menjadi komoditas politik belaka. Mengedepankan idiom-idiom seperti partai Islam dan politik Islam akan berisiko tinggi. Sebab jika tidak bisa menciptakan itu semua pada dataran realitas, maka yang menjadi korban adalah Islam. Ketiga, PKB berusaha

mewujudkan politik Rahmatan Lil-Alamin yang berusaha

mengintegrasikan spiritual keagamaan dan paham keindonesiaan yang majemuk, mengedepankan nilai-nilai kebangsaan Indonesia dibandingkan untuk mendirikan negara Islam ataupun menerapkan hukum-hukum Islam secara formal.12

11 Anggaran Dasar PKB Bab III Pasal 4.


(50)

41

Komitmen terhadap nasionalisme dan spiritualisme agama tersebut, kemudian dicerminkan dalam tiga macam tujuan partai, yaitu: (a) mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; (2) mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin, material dan spiritual; (c) mewujudkan tatanan nasional yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlakul karimah.13

4. Partai Amanat Nasional

Ketika Soeharto masih memimpin negara Orba, Amien Rais merupakan seorang tokoh yang tergolong gencar melontarkan kritik-krtik tajam ke arah kekuasaan. Semua kritik dan sepak terjang yang ia lakukan diletakkan dalam kerangka gerakan moral dan pendidikan politik, atau

amar makruf nahi mungkar (menyerukan yang baik dan mencegah yang

mungkar), sebuah ungkapan dalam bahasa agama yang sering ia gunakan. Dalam kerangka ini ia tidak menjadikan posisi kekuasaan sebagai target utama dari seluruh kegiatan politiknya. Itulah sebabnya setelah Soeharto diturunkan oleh kekuatan mahasiswa yang didukung oleh rakyat, pada dasarnya Amien Rais berniat kembali ke Muhammadiyah secara penuh untuk mencurahkan pengetahuan dan energinya.

Akhirnya setelah melakukan ijtihad politik yang cenderung bersifat kolektif, diputuskan membentuk Partai Amanat Nasional yang berwacana


(51)

42

inklusif dan berwajah Indonesia. Sebagai penegasan atas pilihan politik ini maka PAN berasaskan Pancasila;14 bersifat terbuka, majemuk dan

mandiri;15 serta beridentitas menjunjung tinggi moral agama dan

kemanusiaan.16 Menurut Amien Rais, pemakaian Pancasila sebagai asas

partai dan bukan agama, dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, karena alasan teologi. la tidak melihat adanya ayat ataupun contoh dari Nabi yang mengharuskan memilih asas Islam dalam membangun negara. Kedua, adalah alasan rasional, yakni tidak adanya catatan sejarah nasional yang menceritakan kemenangan partai Islam secara mayoritas dalam memperoleh suara pemilu. Ketiga, untuk mengayomi dan melindungi kalangan minoritas yang senantiasa dihantui oleh rasa ketakutan ketika umat Islam mendirikan partai agama.17

Sedangkan tujuan pembentukan PAN adalah menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material daan spiritual.18 Dengan demikian, cita-cita PAN adalah menciptakan suatu

kehidupan negara yang demokratis, di mana kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat, yang kehidupan dalam bidang sosial,

14 Anggaran Dasar PAN Bab II Pasal 3.

15 Anggaran Dasar PAN Bab II Pasal 4.

16 Anggaran Dasar PAN Bab II Pasal 5.

17 Muhammad Najib dan K.S. Himmaty. Amien Rais: Dari Yagya ke Bina Graha (Jakarta: Gema

Insani, 1999), 76-77.


(52)

43

ekonomi, budaya maupun 'politik maju terus dan berkembang secara adil dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa membeda-bedakan agama, ras, suku bangsa, dan lain sebagainya. Negara harus melindungi kehidupan dan martabat seluruh rakyatnya secara adil dan bertanggung jawab (kepada) bangsanya.19

5. Partai Persatuan Pembangunan

Memasuki era reformasi, Partai Persatuan Pembangunan dihadapkan pada suasana kehidupan politik yang sama sekali berubah. Salah satu yang paling mencolok adalah bludaknya partai politik (berciri) Islam yang berasaskan, bersimbol serta berusaha mengedepankan nilai-nilai Islam. Kehadiran partai-partai Islam baru itu berakibat pada runtuhnya kedudukan PPP sebagai satu-satunya partai yang paling memungkinkan untuk menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi politik umat Islam. Lebih parah lagi sebagian di antara mereka merupakan partai yang didirikan oleh unsur yang pada mulanya menjadi pendukung tegaknya PPP selama berdirinya Orba. NU yang merupakan fraksi terbesar di tubuh PPP telah melahirkan empat partai baru: PKB, PKU, PNU, dan SUNI. Dari kubu SI menetas PSII dan PSII 1905. Sedangkan golongan MI mengelompok di PBB, Masyumi Baru, PUI, dan PAN. Realitas politik sedemikian, tentu saja menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup

19 Mashuri Maschab et al., Anda Bertanya PAN Menjawab (Yogyakarta: DPW PAN DIY, 1998),


(53)

44

PPP, karena secara logika partai ini bakal kehilangan banyak pendukungnya.

Dalam konteks itu, PPP dituntut untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi internal dan memperhitungkan secara cermat perkembangan lingkungan politik di luar partai. Upaya awal untuk merevitalisasi partai dirintis dengan melakukan pendekatan terus menerus kepada Amien Rais agar yang bersangkutan bersedia memimpin PPP. Amien Rais yang sangat populer sebagai tokoh reformasi, diharapkan dapat menyegarkan kelesuan PPP yang tampak gamang dalam bersaing dengan partai-partai baru menghadapi pemilu 1999.

Namun pendekatan yang dilakukan tim lobi PPP tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, setelah Amien Rais menolak bergabung dan memilih memimpin PAN. Satu alasan yang membuat Amien Rais berketetapan hati menolak tawaran tersebut adalah munculnya resistensi dari sebagian kalangan elite PPP terhadap pencalonannya sebagai ketua umum yang notabene diusulkan oleh petinggi yang lain. Dalam pandangan mereka, keistimewaan yang akan diberikan kepada Amien Rais itu, jika benar-benar menjadi kenyataan akan mengakibatkan rusaknya peta persaingan antar elite partai dalam memperebutkan jabatan yang bersifat strategis.

Kegagalan menarik Amien Rais yang dianggap dapat menjadi pengatrol suara dalam pemilu 1999, mengharuskan PPP untuk lebih keras lagi bekerja dalam memperbaiki citranya sebagai partai Islam yang layak


(54)

45

jual. Hal ini menjadi kebutuhan yang paling mendesak, mengingat PPP merupakan partai yang dilahirkan oleh Orba dengan berbagai pembatasan untuk menjalankan fungsinya secara penuh sebagai partai. Meskipun dalam berbagai kesempatan PPP menunjukkan perlawanan yang cukup gigih dalam menghalau hegemoni negara, julukan sebagai partai bonsai bersama dengan PDI terlanjur mengendap di kalangan masyarakat. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang masih euforia, dengan cirinya yang paling kentara adalah penolakan dan penghujatan terhadap Orba dan seluruh produknya, keberadaan PPP tergolong mengkhawatirkan, jika tidak segera menata diri.

Muktamar IV PPP yang terselenggara pada tanggal 29 november - 2 desember 1998 di Jakarta, menerbitkan ketetapan-ketetapan yang lantas mengubah penampilan partai. Perubahan paling menonjol tampak pada pergantian tanda gambar dari Bintang ke Kabah, dan pemakaian Islam sebagai asas partai menggantikan Pancasila20 yang dilakukan dalam

rangka memperjelas visi, dan tujuan PPP. Pergantian ini dapat terwujud berkat adanya era reformasi yang telah menghembuskan kebebasan. Salah satu indikasinya melalui penghentian berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1985, yang pada gilirannya menguatkan PPP untuk "kembali


(55)

46

kepada jati dirinya sebagai hasil fusi empat partai Islam yang tentu saja berasaskan Islam."21

Sementara itu sebelum keputusan tentang pergantian asas dan simbol diambil, secara kelembagaan PPP telah mencermati perjalanan dan kondisi bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir yang dipandangnya sungguh sangat memprihatinkan. Menurut PPP hal ini ditunjukkan oleh merebaknya tindak kekerasan, ketidakjujuran, konflik antarsuku, golongan, kelompok dan agama. Akibatnya adalah melemahnya kehidupan perekonomian, politik dan sosial, serta merapuhnya semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang mengancam integritas bangsa dan mundurnya usaha untuk membangun bangsa dan karakter bangsa (nation and character building)

Selain itu PPP juga mengakui bahwa umat Islam sebagai kelompok terbesar dalam masyarakat Indonesia yang majemuk telah berusaha memberikan sumbangan yang berarti dalam merebut dan mengisi kemerdekaan serta merajut tali persatuan nasional. Namun upaya tersebut perlu ditegaskan kembali untuk menghilangkan kesalahpahaman, perbedaan persepsi dan keraguan terhadap kemuliaan ajaran Islam yang bersifat menyeluruh (kaffah) dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil'alamin).

Dua hal tersebut menguatkan keyakinan PPP bahwa menegakkan akhlaq Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara


(56)

47

adalah cara terbaik untuk membangun dan membentuk karakter bangsa. Keyakinan inilah yang mendorong Muktamar IV memutuskan Islam sebagai asas partai dan ka'bah sebagai lambangnya (perubahan simbolik).

Pendapat yang nyaris sama dikedepankan pula oleh Syamsuddin Haris. Baginya, kembalinya PPP pada identitas semula, yaitu identitas yang dipakai mulai tahun 1973 sampai tahun 1983 bisa menguntungkan dan merugikan sekaligus atau bersifat positif dan negatif. Di satu sisi, pergantian itu merupakan instrumen untuk memobilisasi dukungan massa pemilih Islam, sebagaimana yang bisa dilakukannya pada pemilu 1977 dan 1982 yang lalu. Namun, di sisi lain, PPP lupa bahwa peta politik nasional pada saat pemilu 1999 tidak sama dengan situasi pemilu 1977 dan 1982. Karena sebagian pemilih Islam tradisional cenderung memilih partai yang lebih bersifat homogen seperti PKB bagi NU dan PBB bagi keluarga Masyumi. Lebih lanjut dia menilai bahwa keputusan Muktamar PPP tersebut merupakan pilihan yang salah dan tampak sebagai langkah mundur (set back). Karena kehidupan politik di masa depan tentunya

bercorak pluralisme politik, bukan lagi sektarian atau aliran.22

Pada bagian lain, la menegaskan bahwa kembalinya Islam sebagai asas PPP:

"tidak akan pernah membuat partainya menjadi sektarian ... justru [hal itu] ditujukan untuk membuktikan kepada seluruh rakyat bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari ajaran Islam. Dengan

22 Syamsuddin Haris, Agar Dia Menjadi Satu Kekuatan Islam Nasionalis, dalam Hairus Salim et

al., Tujuh Mesin Pendulang Suara : Perkenalan, Prediksi Harapan Pemilu 1999. (Yogyakarta:


(57)

48

berasaskan Islam, PPP malah bertekad membuktikan bahwa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta tidak hanya ada dalam teks, melainkan dapat diwujudkan dalam kenyataan hidup sehari-hari."23

Sejalan dengan penggunaan Islam sebagai asas, PPP mencanangkan dua tujuan sekaligus. Pertama mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua, mewujudkan tatanan politik yang demokratis yang dilandasi akhlakul karimah serta mengembangkan kehidupan yang Islami. Untuk meraih tujuan ini, PPP melakukan upaya yang diletakkan dalam kerangka amar ma'ruf nahi mungkar dengan landasan akhlakul karimah serta tidak keluar dari jalur konstitusi dan cara-cara yang demokratis.24

C. Respon Partai-Partai Politik Islam Terhadap Persoalan Kontemporer

Beberapa isu penting yang mendapat respon partai politik Islam di antaranya tentang isu demokrasi, ekonomi dan hukum, keberagamaan. 1. Isu tentang Demokrasi

Tidak ada perbedaan mendasar di kalangan partai-partai itu dalam agenda di bidang politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta sosial secara umum. Dalam bidang politik, sebagai akibat dari penindasan berkepanjangan di bawah era Orde Baru, partai-partai Islam sepakat untuk

23 Hairus Salim et al. Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi Harapan Pemilu 1999

(Yogyakarta: LKIS, 1999). 261.


(58)

49

memperjuangkan tegaknya demokrasi dengan mewujudkan pemerintahan yang transparan, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, memberdayakan partisipasi rakyat dalam politik, pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua kali lima tahun serta pembenahan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga tidak ada lagi penundukan satu lembaga terhadap lembaga yang lain. Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia dipandang perlu dipertahankan sembari menciptakan otonomi daerah yang seluas-luasnya, sebagai upaya untuk meredam geliat embrio separatisme di berbagai daerah.25

Di samping itu, mereka juga sepaham bahwa UUD 1945 perlu diamandemen pasal-pasalnya yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Perlu dicatat bahwa mereka tidak mengungkapkan secara jelas Pasal-pasal berapa saja yang perlu diamandemen. PPP cukup berhati-hati dalam hal ini. Partai berlambang kabah ini menyetujui amandemen jika tidak memberikan jawaban dalam rangka menegakkan negara persatuan.26

Dalam mencermati peran sosial politik militer selama ini melalui doktrin dwifungsi TNI, muncul pemikiran yang sama bahwa hal itu menjadi salah satu sumber malapetaka di era Orde Baru, karena TNI kemudian menjadi alat kekuasaan bukan sebagai alat negara. Karenanya dwifungsi TNI harus dihapuskan secara bertahap, sehingga TNI bisa

25 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Demokrasi (Yogyakarta: Putaka pelajar. 2004), 145.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Lahirnya reformasi tak lepas dari Jatuhnya rezim Orde Baru yang memiliki gaya politik kekuasaannya yang cenderung otoriter, represif dan tidak demokratis. Dengan kekuatan utamanya, Golkar dan Militer. Orde Baru berhasil mempertahankan kelangsungan kekuasaannya selama tiga dasawarsa lebih. Sikap perlawanan dan oposisi yang dilakukan oleh kelas menengah muslim dan non muslim berhasil dipatahkan mengingat betapa sangat berkuasanya rezim ini dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat.

Baru setelah krisis ekonomi menjalar ke Indonesia dan memporak-porandakan perekonomian nasional, arus deras perlawanan yang dilakukan mahasiswa dengan rakyat semakin menemukan momentumnya untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri lagi, akhirnya rezim Soeharto (Orde Baru) jatuh, dan digantikan wakilnya, B. J. Habibie.

Era Reformasi yang sering disebut sebagai era keterbukaan dan kebebasan politik telah menciptakan sebuah kondisi yang mendukung bangkitnya kembali politik Islam dan tumbuhnya gagasan-gagasan tentang formalisasi syariat Islam di Indonesia.1


(2)

72

Pada masa Era reformasi Presiden Habibie memberikan banyak bagi umat Islam diantaranya kebijakan tentang zakat, kebebasan multi partai, Undang-undang pendidikan Islam, dan perbankan syari'ah.

Pertumbuhan politik Islam sangat mengalami perubahan yang signifikan, hal ini ditunjukkan dari hubungan negara dan agama Islam yang berjalan dinamis dalam membangun demokrasi Indonesia. Selain dari kebijakan Pemerintah yang nuansa baru dalam dunia politik di Indonesia, ormas-ormas Islam sangat berperan dalam perkembangan politik Islam.

Dari ormas-ormas inilah banyak partai-partai Islam yang muncul, diantaranya Muhammadiyah memberikan wadah politik dalam Partai Amanat nasiaonal, NU dalam bentuk Partai kebangkitan Bangsa dan kelompok moderat dalam bentuk Partai Kkeadilan (PK) atau sekarang yang disebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kemunculan partai-partai Islam dan partai-partai lain yang mempunyai kekhususan Sebanding dipahami sebagai reaksi atas tatanan politik monolitis yang tidak memberikan keragaman ciri dan aspirasi (seperti kebijakan asas tunggal), kemudian kemunculan partai-partai Islam dengan seluruh kekentalan bahasa dan simbolisme politik mereka.

B. Saran

Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat melihat perjuangan politik Islam di Indonesia, yang mengalami perjalanan panjang. Indonesia adalah negara mayoritas penduduk Islam bukan berarti negara Islam. kita juga harus bisa memberikan toleransi terhadap semua kalangan.


(3)

73

Pada saat yang sama, kita menyadari keanekaragaman latar belakang sosial-keagamaan Indonesia, merupakan tugas setiap Muslim untuk mengartikulasikan dan mengekspresikan kepentingan mereka sepanjang tidak merusak konstruk negara-bangsa Indonesia. Selama lebih dari setengah abad, negara ini tidak mampu melaksanakan dialog yang terus menerus mengenai peran dan posisi agama yang tepat di dalam negara. Pada era 1940-an dan 1950-an upaya itu terkendala oleh keterbatasan waktu, serta oleh manuver politik Soekarno dan militer.

Dengan mempertimbangkan seluruh pelajaran yang telah kita petik selama kurang lebih enam puluh tahun terakhir, kini saatnya bagi elite nasional elite politik maupun keagamaan untuk menjalankan dialog semacam itu guna mencapai penyelesaian yang semestinya.

Hasil penelitian yang dilakukan peneliti tentang sejarah Indonesia dan politik Islam ini belum bisa memberikan hasil yang sempurna. Karya ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam menunjang pengetahuan kaitannya dengan polemik berakhirnya orde baru dan reformasi.

Jika hasil penelitian ini masih banyak kekurangannya baik dalam segi penulisan atau literatur tentang informasi yang berkaitan dengan kajian kebudayaan Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Amir, Zainal. Peta Islam Politik. LP3ES, Jakarta, 2003.

Abuddin Nata (eds), Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Grasido

Persada, 2002.

al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam: teori dan praktik di Indonesia.

Yogyakarta: Graha Ilmu.2013.

Asfar, Muhammad. Pemilu dan Perilaku Memilih1955-2004. Surabaya: Pustaka

Eureka. 2006.

Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Penerbit

Kompas, 2002.

Bugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 1992

Denny J.A Jatuhnya, Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta : LKIS. 2006.

Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik

Islam di Indonesia cet. ke-1. Jakarta: Paramadina, 1998.

Hotman M.Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:

Erlangga, 1986.

Julia I, Surya kusuma. API: Almanak Parpol Indonesia. API: Jakarta, 1999

K. Sukardji, Agama-agama yang berkembang di dunia dan pemeluknya,

Bandung: Angkasa, 1993

Koirudin, Partai Politik dan Agenda Demokrasi. Yogyakarta: Putaka pelajar.

2004.

Makka, Makmur BJH: Bacharuddin Jusuf Habibie, His Life and Career, edisi III,

(Jakarta: Cidesindo, 1996). 87

__________. Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie dari Ilmuan ke Negarawan

Sampai Minandito. Jakarta: THC Mandiri. 2012

Maschab, Mashuri. Anda Bertanya PAN Menjawab, Yogyakarta: DPW PAN


(5)

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013

Najib, Muhammad dan K.S. Himmaty. Amien Rais: Dari Yagya ke Bina Graha.

Jakarta: Gema Insani, 1999.

Nasrullah, Ali Fauzi. ICMI antara Status Quo dan Demokratisasi, Cet. I.

Bandung: Mizan, 1999.

Odih , Enjang B.A dan Drs Sukadi. Sejarah Nasional dan Umum. Ganeca Exaca:

Bandung. 1994.

Ricklefs., M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: PT Ikrar

Madina Abadi, 2008

Sahar, Hasan (dkk), Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, Jakarta: Gema

Insani, 1998

Salim, Arskal GP, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara. IAIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2001.

Salim, Hairus et al., Tujuh Mesin Pendulang Suara : Perkenalan, Prediksi

Harapan Pemilu 1999. Yogyakarta: LkiS, 1999.

Sam M.Chan dkk, Analisis Swot: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah,

Jakarta: Grafindo, 2007

Suhardono, Edi. Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasinya. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Suhartono, Pranoto. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu,

2010

Syamsuddin, Haris. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Grasindo, 1991.

Zahro, Abu (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia.

Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Jurnal

Zudi Setiawan, Dinamika Pergulatan Politik dan Pemikiran Formalisasi Syariah

Pada Era Reformasi. (Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional,


(6)

Website

http://www.dpp.pkb.or.id/sejarah-pendirian http://www.idsejarah.net

http://www.kompasiana.com http://www.kub.org

http://www.mediapublikonline.blogspot.co.id http://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas