Pemerintahan presiden B.J. Habibie (1998-1999) : kebijakan politik dalam negeri.

(1)

ABSTRAK

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

Oleh:

Alberto Ferry Firnandus Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses peralihan kepala pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie; (2) kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie; (3) akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.

Metode yang digunakan penulisan sejarah dengan langkah-langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial-politik. Cara penulisannya bersifat deskriptif analitis.

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: (1) krisis ekonomi tahun 1997 dan dugaan KKN serta tuntutan reformasi membuat Presiden Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden, dengan demikian Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto; (2) Presiden B.J. Habibie membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, Kebijakan politik yang diambil yaitu, pembebasan tahanan politik pada masa Orde Baru, kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan pemilu, penyelesaiaan masalah Timor Timur, dan pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya; (3) penolakan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie serta terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menandai berakhirnya pemerintahan Presiden B.J. Habibie.


(2)

ABSTRACT

GOVERNMENT PRESIDENT B.J. HABIBIE (1998-1999): DOMESTIC POLITICAL POLICY

By:

Alberto Ferry Firnandus Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) the process of transition from Head of the Indonesian Government Soeharto to BJ Habibie; (2) The domestic policies of BJ Habibie; (3) the end of the reign B.J. Habibie.

The method used includes heuristic measures , verification , interpretation , and historiography . The approach used is a socio - political approach . The way of writing is descriptive analytical method.

The results of this paper show that: (1) the economic crisis in 1997 and allegations of corruption and demands for reform led President Soeharto to step down from his position as President, thus the Vice President BJ Habibie succeeded Suharto a become president; (2) President B.J. it formed the Development Reform Cabinet, political policy are taken, namely, the release of political prisoners during the New Order, freedom of the press, the establishment of political parties and election acceleration, Completion East Timor, and the prosecution of the wealth of Suharto and his cronies; (3) The rejection of the President's accountability and Abdurrahman Wahid and Megawati's election as President and Vice President of the Republic of Indonesia during the 1999-2004 period marked the end of President BJ Habibie.


(3)

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999):

KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

ALBERTO FERRY FIRNANDUS NIM: 101314023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999):

KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

ALBERTO FERRY FIRNANDUS NIM: 101314023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Makalah ini ku persembahkan kepada:

Kedua orang tua ku yang selalu mendoakan dan mendukungku. Teman-teman yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa.


(8)

v

HALAMAN MOTTO

Selama kita bersungguh-sungguh maka kita akan memetik buah yang manis, segala keputusan hanya ditangan kita sendiri, kita mampu untuk itu.

(B.J. Habibie)

Dimanapun engkau berada selalulah menjadi yg terbaik dan berikan yang terbaik dari yg bisa kita berikan.

(B.J. Habibie)

Pandanglah hari ini, kemarin sudah jadi mimpi. Dan esok hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini sesungguhnya nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi

kebahagiaan, dan setiap hari esok adalah visi harapan. (Alexander Pope)

Dan bahwa setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan, guna memperkaya kehidupan itu sendiri. Karena tiada kata terakhir untuk belajar

seperti yang juga tiada kata akhir untuk kehidupan (Annemarie S)


(9)

(10)

(11)

viii

ABSTRAK

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

Oleh:

Alberto Ferry Firnandus Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses peralihan kepala pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie; (2) kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie; (3) akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.

Metode yang digunakan penulisan sejarah dengan langkah-langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial-politik. Cara penulisannya bersifat deskriptif analitis.

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: (1) krisis ekonomi tahun 1997 dan dugaan KKN serta tuntutan reformasi membuat Presiden Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden, dengan demikian Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto; (2) Presiden B.J. Habibie membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, Kebijakan politik yang diambil yaitu, pembebasan tahanan politik pada masa Orde Baru, kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan pemilu, penyelesaiaan masalah Timor Timur, dan pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya; (3) penolakan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie serta terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menandai berakhirnya pemerintahan Presiden B.J. Habibie.


(12)

ix

ABSTRACT

GOVERNMENT PRESIDENT B.J. HABIBIE (1998-1999): DOMESTIC POLITICAL POLICY

By:

Alberto Ferry Firnandus Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) the process of transition from Head of the Indonesian Government Soeharto to BJ Habibie; (2) The domestic policies of BJ Habibie; (3) the end of the reign B.J. Habibie.

The method used includes heuristic measures , verification , interpretation , and historiography . The approach used is a socio - political approach . The way of writing is descriptive analytical method.

The results of this paper show that: (1) the economic crisis in 1997 and allegations of corruption and demands for reform led President Soeharto to step down from his position as President, thus the Vice President BJ Habibie succeeded Suharto a become president; (2) President B.J. it formed the Development Reform Cabinet, political policy are taken, namely, the release of political prisoners during the New Order, freedom of the press, the establishment of political parties and election acceleration, Completion East Timor, and the prosecution of the wealth of Suharto and his cronies; (3) The rejection of the President's accountability and Abdurrahman Wahid and Megawati's election as President and Vice President of the Republic of Indonesia during the 1999-2004 period marked the end of President BJ Habibie.


(13)

(14)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II : PROSES PERALIHAN KEKUASAAN DARI SOEHARTO KE B.J. HABIBIE A.Krisis Ekonomi Tahun 1997 ... 9

B.Proses Lengsernya Presiden Soeharto ... 13

C.B.J Habibie Menjadi Presiden ... 21

BAB III :HASIL KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI PRESIDEN B.J. HABIBIE A. Penyusunan Kabinet Reformasi Pembangunan ... 25


(15)

xii

B. Pembebasan Tahanan Politik pada Masa Orde Baru ... 28

C. Kebebasan Pers ... 30

D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi ... 35

E. Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu ... 36

F. Penyelesaian Masalah Timor Timur ... 39

G. Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya ... 41

BAB IV : AKHIR PEMERINTAHAN B.J HABIBIE A. Penolakan Pidato Pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ... 44

B. Terbentuknya Pemerintahan Baru ... 48

BAB V : KESIMPULAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(16)

Xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Silabus

Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Lampiran 3 : Ringkasan Materi


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Reformasi dimaknai sebagai perubahan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh semua pihak. Reformasi berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan yang berlangsung secara perlahan atau dalam jangka panjang, dan berproses secara alami. Dalam artian tanpa didasarkan pada suatu rencana yang dipercepat. Dalam hal reformasi politik, pendekatan mendekati evolusioner berlangsung pada teknis pelaksanaan kehidupan politik. Tujuannya adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses politik, tanpa mengubah prinsip, ketentuan dan struktur dasarnya.9

Dalam kecenderungannya untuk mendekati revolusi, Reformasi digerakkan dan diprakarsai oleh masyarakat untuk melakukan perubahan segenap aspek kehidupan secara mendasar, berlangsung secara cepat sehingga tidak menghiraukan jumlah dan kualitas korban, apalagi mengingat prosesnya yang kental diwarnai oleh kekerasan.10Tujuan reformasi sendiri adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya

9

Arbi Sanit,Reformasi Politik, Yogyakarta:Pustaka Belajar, 1998, hlm. 100 10


(18)

Gerakan reformasi di Indonesia muncul sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan pada masa pemerintahan Orde Baru.Dampak krisis ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara tahun 1997 menyebabkan stabilitas politik Indonesia menjadi goyah. Praktik-praktik pemerintahan di masa Orde Baru hanya membawa kebahagiaan semu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, sistem ekonomi menjadi kapitalistik. Terlebih lagi merajalelanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, hal ini membawa rakyat semakin menderita. Para wakil rakyat yang seharusnya membawa amanat rakyat pada kenyataannya tidak berfungsi secara demokratis.11 Krisis ekonomi tahun 1997 merupakan langkah awal munculnya gerakan reformasi di Indonesia.

Dari segi politik, gerakan reformasi disebabkan karena pemerintahan pada masa Orde Baru bersifat otoriter, tertutup, dan personal. Masyarakat yang memberikan kritik mudah dituduh sebagai anti-pemerintah, menghina kepala negara dan anti-Pancasila. Pada masa Orde Baru,Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa, sehingga kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktik kebijakan pelaksana penguasa negara. Setiap kebijakan penguasa Orde Baru senantiasa dilegitimasi oleh ideologi Pancasila. Konsekuensinya setiap warga negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan

11


(19)

Pancasila.12Akibatnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tidak pernah terwujud dan Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu diperalat oleh pemerintah Orde Baru untuk mengamankan kehendak penguasa. Sikap pemerintah yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta merebaknya KKN menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini terlihat pada pemilu 1992 ketika suara Golkar berkurang cukup banyak. Sejak 1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru mulai terbuka. Keadaan ini diperparah pada tahun 1997, tingkat inflasi semakin parah mencapai 11,5% dan pada tahun 1998 melonjak tinggi menjadi 77,6%, Inflansi yang terjadi ini semakin memperparah keadaan Indonesia. Para mahasiswa mulai turun ke jalan, demonstrasi menjadi lebih marak dari hari-kehari menuntut supaya presiden mundur dengan tuduhan KKN, maka terjadilah krisis politik yang menimpa Presiden Soeharto.13

Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Akan tetapi yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi semu. Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikirkritis terhadap politik yang dijalankan oleh Presiden Soeharto.

12

Ibid., hlm. 256 13

Tuk Setyohadi,Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation,2002, hlm. 172


(20)

Menyadari bahwa masalah dasar masyarakat pada masa Orde Baru adalah mewujudkan kebebasan, persamaan, keadilan, dan tersentralisasi, sehingga terjerumus ke dalam wataknya yang otoriterian, maka demokratisasi segenap aspek kehidupan dipastikan menjadi tujuan atau arah bagi reformasi politik. Selama 3 dekade pembangunan nasional yang didasarkan pada adil dan makmur sebagai tujuannya, terbukti kesalahan ideologi itu membawa petaka berupa krisis rupiah, moneter, ekonomi dan politik. Hal itu terjadi karena penafsiran konsitusi seperti itu membenarkan prioritas pembangunan, dengan stabilitas politik sebagai syaratnya. Akibatnya terjadilah kesenjangan pembangunan ekonomi dengan sosial-budaya dan politik. Kesenjangan itu menyebabkan perkembangan ekonomi tidak terkontrol oleh proses politik, sehingga Indonesia terjebak oleh berbagai kelemahan sistem ekonomi secara mendasar.14

Krisispolitik, ekonomi, hukum, dan krisis social yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru merupakan faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hamper seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut. Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki

14


(21)

kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indonesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.

Krisis moneter disusul dengan krisis ekonomi dan berlanjut ke krisis politik, serta gerakan reformasi yang menuntut turunnya Presiden Soeharto semakin kuat, Hal ini menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang digantikan dengan orde reformasi.15 Berakhirnya Orde Baru ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang digantikan oleh B.J. Habibie. Masa pemerintahannya sebagai presiden, B.J. Habibie dengan kabinet reformasi pembangunannya dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orde Baru. Krisis ekonomi, kekerasan sosial, krisis politik, dan krisis kepercayaan pada pemerintah merupakan persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintahan B.J. Habibie.16

Dari latar belakang tersebut, penulistertarik untuk membahas tentang jalannya reformasi dilihat dari kebijakan-kebijakan politik pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, dan upaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi masa pemerintahan Orde Baru.

15

Tuk Setyohadi,Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation,2002, hlm. 221

16Ibid


(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi objek penulisan ini. Adapun permasalahannya sebagai berikut, yaitu:

1. Bagaimana proses peralihankekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie? 2. Bagaimana kebijakan dalam negeripemerintahan B.J. Habibie? 3. Bagaimanaakhir dari pemerintahan B.J. Habibie?

C. TujuanPenulisan

Dari rumusan makalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah:

a. Mendeskripsikan mengenai proses peralihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie.

b. Mendeskripsikan mengenai kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie.


(23)

D. Manfaat penulisan

a. Bagi Universitas

Penulisan ini diharapkan untuk menambah bahan bacaan yang berguna bagi pembaca baik yang berada di lingkungan Universitas Sanata Dharma maupun bagi pembaca yang berada di luar Universitas Sanata Dharma khususnya mengenai kebijakan-kebijakan politik dalam negeri pada masa pemerintahan B.J. Habibie.

b. Bagi Prodi PendidikanSejarah

Makalah ini diharapkan mampu menarik minat mahasiswa Pendidikan Sejarah untuk mempelajari lebih dalam mengenai pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) mengenai kebijakan politik dalam negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa.

c. Bagi Masyarakat

Tulisan ini diharapkan bias menjadi referensi dan menambah perbendaharaan dalam pengembangan sejarah khususnya tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri pada masa pemerintahan B.J. Habibie.

d. Bagi Pemerintah

Tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai refleksi bagi pemerintahan saat ini dalam upaya membangun bangsa Indonesia kedepan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.


(24)

e. Bagi Penulis

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya ilmiah khususnya tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri pada masa pemerintahan B.J. Habibie dan juga dapat mempertajam cara berpikir penulis.

E. Sistematika Penulisan

Makalah yang berjudul Kebijakan-Kebijakan Politik Pada Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie ini memiliki sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Uraian tentang proses peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie.

Bab III : Uraian tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.

Bab IV : Uraian mengenai akhir dari pemerintahan B.J. Habibie. Bab V : Kesimpulan.


(25)

BAB II

PROSES PERALIHAN KEKUASAAN DARI SOEHARTO KE B.J. HABIBIE

A. Krisis Ekonomi Tahun 1997

Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi dunia. Penyebab utama krisis ekonomi dunia adalah perilaku para spekulen valuta asing yang telah memborong dollar AS, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga berimbas pada nilai mata uang negara-negara ASEAN menjadi terpuruk. Spekulan uang terbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros.17 George Soros dituduh oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad sebagai penyebab krisis ekonomi Asia. Negara yang paling terkena dampaknya adalah Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, dan Thailand, yang menyebabkan mata uang ketiga negara tersebut menjadi rendah. Pada perkembangannya krisis ekonomi Asia tahun 1997 berdampak sangat luas bagi perekonomian Indonesia.

Keterpurukan ekonomi Indonesia diperburuk dengan adanya regulasi perbankan pada bulan Oktober 1988 dengan “Pakto 1988”. Pakto 1988 merupakan kebijakan pemerintah dalam upaya membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Pakto 1988 berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah

17

Muksalmina, George Soros, Pria yang Menghancurkan Poundsterling, Rupiah, diakses dari


(26)

ada. Dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru sehingga pada masa itu jumlah bank swasta di Indonesia menjadi ratusan. Sejak adanya Pakto 1988 menyebabkan sistem manajemen perbankan di Indonesia menjadi bermasalah. Jumlah bank swasta yang berjumlah ratusan dengan berkapital rendah kurang terawasi oleh Bank Sentral. Banyak bank-bank yang terkait dengan konlomerat bermasalah dengan utang terhadap bank pemerintah, dan operasinya condong untuk memberikan kredit kepada perusahaan miliknya sendiri tanpa memberikan ketentuan lending limit. Pemberian kredit kepada nasabah yang terlalu mudah tidak prudent , ditambah banyak pejabat bank yang berkolusi dengan nasabah atau peminjam yang menimbulkan kemacetan dalam pengembaliannya.18

Sementara itu banyak perusahaan swasta Indonesia yang terlibat dalam utang dollar AS dari luar negeri berjangka pendek, serta sebaliknya banyak perusaahan asing dan para konglomerat Indonesia yang melarikan dollar AS-nya keluar sebagai capital flight ditambah pula, defisit transaksi berjalan dari neraca pembayaran semakin membesar.19

Alhasil nilai tukar rupiah tehadap US $ anjlok tanpa dapat dibendung, Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/US$, namun nilai mata uang mulai merosot pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa tidak bisa membendung rupiah terus merosot. Pada bulan Januari tahun 1998, mata uang terpuruk hingga level sekitar Rp 10.000/US$ dan sebulan sesudahnya

18

Tuk Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation, 2002, hlm. 171.


(27)

menjadi Rp 17.000/US$ atau kehilangan 85% nilainya. Keterpurukan ini mengakibatkan bursa saham Jakarta hancur, dan membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga menyebabkan angka pengangguran menjadi meningkat.20

Menanggapi krisis ekonomi yang terjadi, upaya pemerintah adalah meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF) pada tanggal 31 Oktober 1997. Kerjasama Indonesia dengan IMF bertujuan untuk memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian struktural perbankan. Akan tetapi pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal dan kebijakan likuidasi. Kebijakan fiskal bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk membantu bank-bank yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi perbankan. IMF menyediakan standby loan sebesar US$ 38 milyar untuk menanggulangi krisis moneter yang dialami Indonesia. Perjanjian dengan IMF mengakibatkan ditutupnya 16 bank bermasalah.21

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya menangani krisis dengan melakukan kerjasama dengan IMF tidak mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, hal ini menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

20

M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2010, hlm. 687. 21


(28)

Masyarakat menganggap pemerintah tidak berhasil dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya.

Krisis moneter yang terjadi meningkat menjadi krisis sosial-ekonomi yang menimpa rakyat kecil dengan meningkatnya harga sembilan bahan pokok yang tidak terkendali. Tingkat inflasi pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah melampaui dua digit. Pada tahun 1997 menjadi 11,5 % dan pada tahun 1998 melonjak dengan sangat drastis menjadi 77,6 %. Menanggapi krisis yang terjadi, para mahasiswa mulai melakuakan gerakan dengan cara turun ke jalan, demontrasi menjadi lebih marak dari hari-kehari menuntut supaya presiden mundur dengan tuduhan KKN, maka terjadilah krisis politik yang menimpa pemerintahan Soeharto.22

Krisis ekonomi yang disusul dengan krisis sosial-ekonomi terjadi menjelang sidang Umum MPR sebagai hasil pemilu tahun 1997 dengan kemenangan Golkar secara mutlak sebagai single majority dengan angka perolehan sebesar 75%. Golkar kembali mencalonkan Soeharto sebagai kandidat Presiden masa bakti 1998-2003. Sementara itu telah beredar isu bahwa wakil Presiden yang mendampingi Soeharto adalah B.J. Habibie.

Krisis moneter tahun 1997, diperparah dengan utang luar negeri Indonesia sebesar US $ 137 milyar. Rinciannya US $ 53,8% milyar merupakan utang pemerintah dan US $ 83,2% merupakan utang swasta. Utang luar negri ini merupakan utang jangka pendek, sedangkan penggunaan biaya tersebut lebih condong untuk membiayai sektor-sektor non produktif,

22Ibid


(29)

seperti shopping mall, apartemen, hotel, perkantoran, real state, lapangan golf, tourist resort dan lain-lain semacamnya.23

B. Proses Lengsernya Presiden Soeharto

Banyaknya persoalan yang dihadapi Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, serta upaya-upaya pemerintah yang dianggap tidak serius dalam mengatasi krisis ekonomi membuat masyarakat terutama mahasiswa tidak mempercayai pemerintahan Presiden Soeharto. Puncak penolakan mahasiswa terhadap Pemerintahan Soeharto terlihat pada saat diadakannya Sidang Umum MPR yang merupakan rutinitas dari mekanisme lima tahunan ketata negaraan Orde Baru. Mahasiswa menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto di depan Sidang Umum MPR. Demonstrasi yang disuarakan mahasiswa meminta pertanggungjawaban pemerintahan Soeharto terhadap terjadinya krisis moneter dan krisis sosial-ekonomi, mahasiswa juga melakukan kritik anti Soeharto yang ditunjukkan pada korupsi di lingkungan keluarga Soeharto serta kedekatan keluarga Cendana dengan para konglomerat.

Penolakan mahasiswa mengenai pertanggungjawaban Presiden Soeharto berbanding terbalik dengan MPR. Pidato pertanggungjawaban Presiden diterima secara penuh oleh MPR tanpa catatan, seperti yang semula diusulkan oleh Fraksi PPP. Dalam sidang tersebut juga dipilih kembali Soeharto sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003 dengan didampingi B.J. Habibie sebagai wakil Presiden. MPR juga mengesahkan penetapan No.

23Ibid


(30)

V/MPR/ 1998 yang isinya memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengambil segala langkah yang diperjuangkan guna mengamankan pembangunan. Keputusan MPR pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 tersebut membuat ketegangan di masyarakat semakin bertambah, demontrasi penolakan Soeharto dan tuntutan segera diadakannya reformasi semakin meningkat.

Setelah terpilih kembali sebagai presiden, Soeharto menyatakan akan memenuhi tuntutan rakyat untuk segera menanggulangi krisis moneter dan ekonomi melalui suatu gerakan reformasi yang sesuai dengan konstitusi. Soeharto segera membentuk kabinet. Akan tetapi kabinet yang dibentuk oleh Soeharto dianggap mengandung muatan politik yang berbau nepotisme, dan tidak profesional. Anggapan ini muncul karena kabinet Soeharto merupakan kumpulan kroni-kroninya. Ditunjuknya B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden, Siti Hardiyanti atau lebih dikenal dengan Mbak Tutut yang merupakan putri Soeharto menjadi Menteri Sosial, Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan, dan hanya sedikit yang dari golongan profesional dan tokoh ICMI yang masuk dalam kabinet. Kabinet Soeharto mendapat kecaman keras dari berbagai pihak di masyarakat terutama dikalangan mahasiswa, mahasiswa menginginkan reformasi politik, dengan menuntut agar Soeharto lengser sebagai presiden.24

Pada tanggal 15 Januari 1998 ditandatangani Persetujuan kerjasama Indonesia dengan IMF oleh Presiden Soeharto yang disaksikan Direktur

24


(31)

Pelaksana IMF Michael Camdessus dalam upaya menangulangi krisis moneter. Pemerintah Indonesia wajib menjalani serangkaian program dari IMF, seperti pengurangan belanja negara, menaikkan pajak, menghapus berbagai subsidi antara lain, kenaikan harga BBM, tarif listrik, telepon, dan sebagainya.25 Serangkaian program yang digagas IMF tersebut sebagai upaya menekan krisis di Indonesia. Akan tetapi, kebijakan IMF tersebut menyebabkan terganggunya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai demonstrasi dan kerusuhan di masyarakat yang diwakili mahasiswa semakin marak terjadi sebagai imbas dari kebijakan IMF tersebut.

Sikap mahasiswa yang menuntut turunnya Presiden Soeharto tercermin dalam pemikiran tentang perubahan politik yang berlangsung sistematik, seperti diungkapkan melalui pernyataan keprihatinan sivitas akademik Universitas Indonesia di Jakarta, bulan Februari 1998, maupun tuntutan Sepultura (sepuluh tuntutan rakyat) yang dirumuskan yang dirumuskan oleh Amien Rais. Meningkatkan tuntutan-tuntutan tentang perubahan yang berawal dari keprihatinan terhadap krisis moneter dan gejolak ekonomi, sebagian besar disebabkan karena konservatif para pejabat pemerintah dan keacuhan politik yang diperlihatkan oleh lembaga-lembaga politik terhadap tuntutan perubahan yang bersifat reformatoris. Bahkan golkar memiliki sifat dasar yang cenderung menolak refomasi politik.

Desakan dilakukannya refomasi politik yang dilakukan mahasiswa akhirnya pemerintah kususnya fraksi-fraksi MPR dalam Sidang Umum

25

Tjipta Lesmana, Dari Sukarno sampai SBY. Intrik Politik dan Lobi Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 118.


(32)

menyepakati langkah reformasi politik yang berlangsung gradual. Namun pada penerapannya yang terlibat langsung secara intensif didalam wacana reformasi justru lembaga-lembaga pemerintah tertentu, institusi ABRI, Organisasi Kelompok Partisan (OKP) dan kelompok-kelompok mahasiswa serta sivitas akademika di kampus-kampus, sedangkan pemerintah sendiri terkesan setengah hati dalam menjalankan reformasi politik.26

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai hari Reformasi Nasional. Ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan diluar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti. Insiden Trisakti terjadi saat mahasiswa melakukan unjuk rasa ke Gedung DPR/MPR, namun aparat keamanan memaksa mahasiswa kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan yang mengakibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keempat mahasiswa Trisakti yang tewas adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Herry Hertanto. Keesokan harinya tanggal 13 Mei, keempat mahasiswa Trisakti yang tewas dimakamkan dengan diantar oleh ribuan mahasiswa serta sanak saudara dan para simpatisan lainnya, lalu peristiwa tersebut dikenal dengan Jakarta kelabu.

26

Anggit Noegroho, M.T Arifin, Rekaman Lensa Peristiwa Mei 1998 di Solo, Solo: PT Aksara Solopos, 1998, hlm. 2.


(33)

Keesokan harinya setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti, suasana Indonesia semakin kacau, kerusuhan dan demontrasi terjadi di berbagai daerah dengan Jakarta dan Surakarta sebagai yang terparah. Di Jakarta menyerbu pertokoan dan perkantoran milik WNI keturunan Tionghoa di kawasan Kota, kawasan Mangga Besar, kawasan Senen, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Daan Mogot dan lain-lain. Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia (BCA) milik Liem Sioe Liong merupakan objek serangan utama. Mereka datang dengan sangat beringas untuk melakukan perampokan, penjarahan dan pembakaran serta mereka juga melakukan pelecehan seksual terhadap wanita-wanita keturunan Tionghoa. Yang paling tragis adalah pembakaran Klender Plaza yang menewaskan 200 karyawati pertokoan.27 Kepada pers, Gubernur DKI Sutiyoso mengumumkan kerusuhan yang terjadi antara tanggal 13-15 Mei 1998 menelan sedikitnya 500 korban jiwa dan kerugian fisik bangunan mencapai Rp 2,5 triliun, belum termasuk isinya.28

Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto mendarat di Halim Perdanakusuma, setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15 di Kairo yang berlangsung 13-14 Mei 1998. Akibat meletusnya kerusuhan di tanah air, presiden mempercepat kepulangannya. Soeharto langsung mengadakan konsultasi dengan Menteri Hankam serta dengan Wakil Presiden B.J. Habibie

27

Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 176. 28


(34)

bersama keempat Menteri Koordinator. Soeharto meminta laporan perkembangan terakhir mengenai keadaan tanah air.

Tanggal 16 Mei 1998, Presiden menerima kunjungan dari delegasi Universitas Indonesia guna menyampaikan aspirasinya yang menuntut agar di gelar Sidang Istimewa MPR. Pertemuan Presiden dilanjutkan dengan pembicaraan bersama pimpinan DPR. Dalalm pertemuannya tersebut Presiden Soeharto meminta agar semua penyelesaian disalurkan melelui DPR. Demikian pula Presiden Soeharto menyampaikan bahwa apabila DPR sudah tidak percaya lagi kepada Presiden, beliau bersedia mundur. Presiden juga menyampaikan alternatif untuk mengadakan “reshuffle” kabinet dan bersamaan waktunya juga membentuk Komite Reformasi.29

Pada hari Senin tanggal 18 Mei 1998 diadakan rapat pimpinan DPR dengan fraksi-fraksi, dalam suasana puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah telah memasuki halaman dan gedung MPR/DPR. Dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, Ketua MPR/DPR H. Harmoko membacakan keterangan pers yang berbunyi “Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan demi persatuan dan kesatuan meminta agar Presiden Soeharto sebaiknya secara arif dan

bijaksana mengundurkan diri”. Saat itu Harmoko didampingi seluruh Wakil

Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad. Kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa tidak berlangsung lama, pada pukul 23.00 WIB Menhankam/

29


(35)

Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyatan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, dan tidak memiliki dasar hukum. Menteri Dalam Negeri Hartono juga menyatakan bahwa DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, sama juga Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR.30 Pada hari yang sama, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 16/ 1998 yang memberikan kewenangan untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini diberikan kepada Pangab Jenderal Wiranto.31

Pada tanggal 19 Mei 1998 dalam sebuah pidato nasional, presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet dan membentuk kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Di tengah-tengah rencana itu, Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan menghimpun 1 juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna menyuarakan pengunduran diri Presiden Soeharto. Rencana Amien Rais tidak jadi dilaksanakan karena terdapat ancaman kekerasan terhadap demonstran, ancaman ini dilakukan oleh militer.32

Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Soeharto mulai ditinggal oleh para pengikutnya di kabinet. Para menterinya, yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dan menyatakan bahwa mereka tidak bersedia menjabat dalam kabinet reformasi serta mendesak Presiden

30

Abun Sanda, Warisan (daripada)Soeharto,Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 301 31

A. Pambudi, Op .Cit., hlm. 15. 32

R.P. Soejono, R.Z. Leirissa, Sejarah Nasional Indonesia VI zaman Jepang dan Zaman Republik, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, hlm.672.


(36)

Soeharto untuk turun. Selain itu beberapa tokoh yang diminta Presiden Soeharto untuk duduk dalam Komite Reformasi antara lain Nurcholis Madjid, Gus Dur, Amien Rais dan Malik Fajar menolak.33

Pada pertemuan di malam yang sama, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi terbaik adalah mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada Wakil Presiden. Semakin keras desakan yang menginginkan agar Soeharto mundur sebagai Presiden, menyebabkan semakin lemahnya kekuatan Soeharto dalam pemerintahan. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 23.00 WIB Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soeharto memutuskan untuk turun sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden B.J Habibie sebagai Presiden.

Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB sesuai dengan ketentuan dalam TAP MPR No. VII tahun 1973 di hadapan Mahkamah Agung dilaksanakan penyerahan jabatan presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Selain penyerahan kekuasaan presiden, pada saat itu juga sekaligus mengangkat Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto.34 Dalam pidato pengunduran dirinya, Soeharto berkata “ saudara-saudara sekarang saya bukan presiden lagi kerena sesuai pasal 8 UUD 1945 dan saran dari Dewan Perwakilan Rakyat, saya telah berhenti. Saya harap

33

Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 178. 34Op. Cit


(37)

saudara-saudara menjaga keselamatan negara dan bangsa, terima kasih”.

Pidato tersebut mengakhiri jabatan Soeharto sebagai Presiden dan mengakhiri era Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

C. B.J Habibie Menjadi Presiden

Hari kamis tanggal 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut Soeharto secara resmi mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Berhentinya presiden sebelum masa jabatan berakhir, maka sesuai dengan

pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “bila presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai batas masa waktunya”. Pada saat itu juga tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.10, B.J. Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia yang disaksikan oleh Mahkamah Agung, Ketua DPR, Wakil-Wakil Ketua DPR yang juga dihadiri oleh mantan Presiden Soeharto.

Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru berakibat pula pada rusaknya hubungan antara Soeharto dengan B.J Habibie. Soeharto menganggap seharusnya sebagai Wakil Presiden, B.J Habibie yang didukung penuh ABRI seharusnya bisa mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengatasi aksi-aksi anarkis yang menjurus pada upaya menjatuhkan Soeharto sebagai Presiden. Fakta bahwa ibukota cepat sekali


(38)

memburuk begitu Soeharto meninggalkan tanah Air tentu menimbulkan prasangka buruk dalam benak Soeharto terhadap Habibie.35

Secara konstitusional, Soeharto memang harus menyerahkan kekuasaannya sebagai Presiden kepada Wakil Presiden B.J Habibie setelah mengundurkan diri. Sejak awal Soeharto ragu apakah Habibie mampu mengatasi situasi. Saat menyampaikan pengunduran diri, wajah Soeharto tampak dingin. Ia menyadari betul bahwa dirinya benar-benar dipermalukan di depan seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat luar negeri. Soeharto berusaha terlihat tegar ketika mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden. Mulai saat itu hubungan Soeharto dengan Habibie tidak terjalin dengan baik lagi. Jabat tangan antara Soeharto dan Habibie saat pelantikan Habibie sebagai Presiden merupakan jabat tangan terakhir yang diterima Habibie dari Soeharto.36

Beberapa hari setelah B.J. Habibie menjadi presiden, B.J. Habibie mengutus Letjen Ary Mardjono untuk menemui Pak Harto, untuk menanyakan perihal sulitnya B.J. Habibie bertemu Pak Harto. Pertemuan berlangsung selama 30 menit, Letjen Ary Mardjono menanyakan apakah beliau marah kepada B.J. Habibie sehingga sulit bagi B.J. Habibie untuk

bertemu? Pak Harto menjawab, ”Saya justru menjaga nama baik Habibie.

Apa komentar orang kalau presiden baru sering bertemu dengan mantan

35

Tjipta Lesmana, Op. Cit., hlm. 123 36Idem


(39)

presiden, sehingga presiden baru terkesan berada di bawah bayang-bayang mantan presiden”.37

Reformasi telah membawa B.J Habibie ke kursi presiden. Akan tetapi tuntutan reformasi oleh masyarakat Indonesia tidak berakhir setelah Soeharto turun sebagai Presiden. Naiknya B.J Habibie sebagai presiden baru merupakan langkah awal mewujudkan refomasi, bukan merupakan akhir dari reformasi total yang dikehendaki oleh masyarakat melalui mahasiswa.38

Pada masa pemerintahannya sebagai Presiden, B.J Habibie dihadapkan oleh persoalan-persoalan negara yang belum terselesaikan pada masa pemerintahan Soeharto. Termasuk mengenai pro dan kontra tentang keabsahan jabatan presiden yang kini dipegangnya. Persoalan ini muncul di kalangan para ahli hukum sebagian ahli menganggap naiknya B.J Habibie sebagai Presiden sudah sesuai dengan konstitusi, pendapat ini diperkuat dengan Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil

Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan beberapa ahli yang

berpendapat bahwa naiknya B.J Habibie yang dianggap tidak konstitusional berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa

“Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan

sumpah atau janji di depan MPR atau DPR”. Melihat situasi saat itu, tidak

memungkinkan MPR/DPR untuk bersidang karena Gedung DPR/MPR diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa, maka sumpah dan janji yang

37

Arissetyanto Nugroho, Donna Sita. I, Pak Harto the Untold Stories, Jakarta: PT Gramedia, 2011, hlm. 184

38


(40)

diucapkan B.J. Habibie di depan Mahkamah Agung dan di depan personil MPR dan DPR dianggap sah dan sudah sesuai dengan Konstitusi.

Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dihadapkan pada kondisi ekonomi Indonesia yang sangat memprihatinkan. Pada pertengahan tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 65,0 ditambah pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar 13,6 persen di tahun 1998. Permasalahan ini muncul sebagai imbas krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang belum teratasi. Rupiah mengalami penurunan nilai tukar hingga mencapai Rp 10.000/US$ dan bahkan mencapai Rp 15.000 sampai Rp 17.000/US$ yang berdampak banyaknya perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan yang mengakibatkan banyak pengangguran. Dampak krisis ekonomi menyebabkan sekitar 113 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, phk besar-besaran, krisis sosial dalam masyarakat.39

39


(41)

BAB III

HASIL KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI PRESIDEN B.J. HABIBIE

A. Penyusunan Kabinet Reformasi Pembangunan

B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Soeharto yang lengser dari jabatan sebelum masa baktinya selesai. Dalam waktu yang terbilang singkat, kurang dari 24 jam setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie mengumumkan kabinet yang dipimpinnya dengan diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Tabel 1.

Kabinet Reformasi Pembangunan

No Jabatan Nama

1 Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid. 2 Menteri Luar Negeri Ali Alatas 3 Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto 4 Menteri Kehakiman Muladi

5 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah 6 Menteri Keuangan Bambang Subianto 7 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan 8 Menteri Pertanian Soleh Solahudin 9 Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro

Mangkusubroto 10 Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin

Nasution 11 Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi


(42)

Sumadhijo 12 Menteri Perhubungan Giri Suseno

Hadihardjono 13 Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Marzuki Usman. 14 Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono 15 Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris. 16 Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah

Hutan

AM

Hendropriyono 17 Menteri Kesehatan Faried Anfasa

Moeloek 18 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono

Soedarsono 19 Menteri Agama Malik Fajar 20 Menteri Sosial Justika Baharsjah 21 Menteri Negara Sekretaris Negara Akbar Tandjung. 22 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Bappenas Boediono

23 Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT Muhammad Zuhal 24 Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha

Milik Negara/Kepala Badan Pengelola BUMN Tanri Abeng 25 Menteri Negara Pangan dan Holtikultura A.M. Saefuddin 26 Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Ida Bagus Oka 27 Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Hamzah Haz 28 Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Hasan Basri Durin 29 Menteri Negara Perumahan Pemukiman Theo L.

Sambuaga.

30 Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal Panangian Siregar 31 Menteri Negara Peranan Wanita Tuti Alawiyah 32 Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Agung Laksono. 33 Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan

Keamanan Feisal Tanjung 34 Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,

Keuangan, dan Industri

Ginandjar Kartasasmita. 35 Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan

Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara

Hartarto Sastrosoenarto


(43)

36 Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan

Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Reformasi_Pembangunan. (Diakses pada tanggal 19 Maret 2015)40

Permasalahan-permasalahan negara yang dihadapi Pemerintahan B.J. Habibie tidak hanya mengenai krisis ekonomi yang belum terselesaikan, akan tetapi juga mengenai permasalahan politik dalam negeri. Pemerintahan B.J. Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunan dihadapkan dengan 6 tuntutan reformasi. Keenam tuntutan reformasi antara lain (1) Penegakan supremasi hukum, (2) Pemberantasan KKN, (3) Mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya, (4) Amandemen Konstitusi (5) Pencabutan Dwi Fungsi Abri, (6) Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Presiden Habibie mengawali pemerintahannya dengan sebuah reputasi yang membuatnya tidak dipercaya oleh kalangan aktivis dan mahasiswa, militer, fraksi-fraksi partai besar, pemerintah asing, para investor luar negeri, dan berbagai badan internasional.

Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde Baru, peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999,

40

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Reformasi_Pembangunan, diakses pada tanggal 19 Maret 2015.


(44)

penyelesaian masalah Timor Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.

B. Pembebasan Tahanan Politik pada Masa Orde Baru

Dalam upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan upaya mengatasi tekanan dan tuntutan dari masyarakat, Presiden B.J Habibie membuat kebijakan melepaskan seluruh tahanan politik pada masa Pemerintahan Orde Baru. Tindakan yang dilakukan Presiden B.J Habibie untuk membebaskan tahanan politik pada masa Pemerintahan Orde Baru ini meningkatkan legitimasi Presiden B.J Habibie di dalam negeri maupun luar negeri. Kebijakan B.J Habibie ini pula sebagai upaya Habibie dalam menjalankan reformasi yang dikehendaki masyarakat dan sebagai upaya menepis anggapan mengenai dirinya di kalangan aktivis reformasi dan masyarakat sebagai anak emas Soeharto.

Legitimasi Presiden B.J Habibie terlihat pada kebijakan yang dikeluarkannya dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Di antara yang dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI, yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada H. Mohammad Sanusi dan tokoh-tokoh lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok tahun 1984. Selain tokoh-tokoh tua mantan PKI, Amnesti diberikan pula pada tokoh-tokoh aktivis petisi 50, merupakan kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral salah satunya adalah kepala staf


(45)

Angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution yang menuduh Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI. Pada bulan November 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan almarhum Mohammad Natsir sebagai pemimpin bangsa, hal ini menyisaratkan bahwa pemberontakan PRRI pun dimaafkan. ABRI membebaskan beberapa aktivis mahasiswa yang telah menghilang sejak kampanye pemilu 1997, akan tetapi masih banyak mahasiswa yang hilang yang telah dibunuh. Wiranto mengumumkan bahwa militer bisa menyelidiki orang-orang termasuk Prabowo, yang diduga telah menculik para aktivis reformasi.41

Selain membebaskan tahanan politik masa Orde Baru, Presiden B.J Habibie juga membebaskan tahanan Mahasiswa dan aktivis reformasi. Di antara mereka yang dibebaskan adalah Dr. Sri Bintang Pamungkas, Ketua PUDI dan Dr. Mochtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Presiden juga mencabut UU Subversi dan menyatakan dukungan budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Rezim Orde Baru, diantaranya adalah K.H. Abdurrahman Wahid dan para tokoh-tokoh aktivis petisi 50 yaitu kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan-mantan jenderal yang menuduh Soeharto melanggar prinsip dari Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI.42

Selain membebaskan tahanan politik masa Orde Baru, Presiden B.J. Habibie juga memberi gelar Pahlawan Reformasi kepada 4 korban mahasiswa Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998.

41

M.C. Ricklefs, ibid, hlm. 665 42


(46)

Pemberian gelar pahlawan reformasi merupakan hal positif yang dianugerahkan oleh pemerintahan Presiden B.J Habibie, penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi. Pemberian gelar pahlawan kepada korban trisakti juga sebagai upaya pemerintah menjalankan reformasi yang dikehendaki oleh rakyat, selain itu sebagai upaya yang dilakukan oleh Presiden B.J Habibie untuk mengambil simpati dan kepercayaan rakyat yang kurang mempercayai dirinya dalam menjalankan reformasi.

C. Kebebasan Pers

Dalam permasalahan ini, pemerintahan Presiden B.J Habibe mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pada masa Pemerintahan Orde Baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya digunakan sebagai alat pemerintahan untuk menyelenggarakan kepentingannya. Pers pada masa Orde Baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan. Kebebasan pers sangat dibatasi, kebebasan pers ditekan dan dikuasai oleh negara, bahkan wartawan bisa dibeli. Pers yang bisa dibreidel sewaktu-waktu oleh pemerintah bila berita yang ditulis tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Pembreidelan pers pada masa Orde Baru terjadi pada surat kabar tempo,kompas dan detik.

Pembereidelan Tempo terjadi Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun, Tempo dibreidel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang


(47)

dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembreidelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota. Diduga, pembreidelan tersebut terjadi karena Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut. Pembreidelan kedua terjadi Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya yaitu Editor Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga, penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.43

Selain pembreidelan terhadap media masa, pembreidelan dan larangan penerbitan buku-buku juga dilakuakan masa Orde Baru. Antara lain Di Bawah Lentera Merah yang merupakan tesis sarjana muda Soe Hok Gie pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Juga buku Tan Malaka yang merupakan disertasi doktor ahli sejarah Harrye Poeze yang kini menjabat sebagai Direktur KITLV di Belanda. Militer dan Politik di Indonesia karya Harold Crouch. Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio. Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. Theologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya yang merupakan skripsi Frater Wahono

43

Winarso, http://jejaksejarah.weebly.com/jejak-sejarah/jejak-sejarah-di-balik-pembredelan-pers-konflik-dan-pembredelan-majalah-tempo, diakses pada 19 Maret 2015.


(48)

Nitiprawiro. Amir Sjarifoeddin Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan yang merupakan tesis Frederick Djara Wellem. Indonesia the

Rise of Capital karya Richard Robison yang masih belum diterbitkan dalam

edisi Indonesia. Alasan pelarangan itu nyaris seragam: merupakan tulisan yang menyesatkan, memutarbalikkan sejarah, merendahkan pemerintah Orde Baru dan pimpinan nasional. Sayangnya suatu proses peradilan yang bersifat akademis tak pernah digelar. Demikian juga para guru besar atau dosen pembimbing dan pejabat kampus tak ada satu pun yang memberikan reaksi.44

Kehidupan pers di Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Baru sangat mengkhawatirkan. Turut campurnya pemerintah dalam pers, membuat pers dikontrol oleh pemerintah, sehingga tidak adanya kebebasan bagi pers. Terdapatnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan pers. PWI yang seharusnya memperjuangkan kehidupan pers di Indonesia justru dijadikam media bagi Pemerintah Orde Baru. Hal ini terlihat ketika terjadi pembredelan beberapa media nasional oleh pemerintah, PWI yang seharusnya membela pers dan melakukan tuntutan terhadap pembreidelan tersebut justru memberikan pernyataan dapat memahami dan menyetujui tindakan pemerintah tersebut.

Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pengaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers,

44


(49)

yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi–fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.45

Setelah berakhirnya Pemerintahan Orde baru, Presiden B.J Habibie membuat kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pers pada masa pemerintahan B.J Habibie diberikan perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buku atau material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Kebebasan pers masa pemerintahan Presiden B.J Habibie diikuti pula dengan kebebasan berasosiasi organisasi pers, sehingga banyak bermunculan organisasi-organisasi pers alternatif.

Selama pemerintahan Presiden B.J Habibie tidak didapati pembreidelan-pembreidelan media masa seperti saat masa Orde Baru. Pers bebas memberitakan mengenai segi potif dan negatif kinerja pemerintah yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam rangka melaksanakan kebebasan pers, B.J Habibie mencabut ketentuan pembatalan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang selama ini menghantui wartawan terhadap

45

Putra, A,

https://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/06/21/makalah-perbandingan-kebebasan-pers-pada-masa-orde-baru-dan-masa-reformasi-di-indonesia/, diakses pada tanggal 27 Maret 2015


(50)

pemberedelan surat kabar dan majalah.46 Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.

Euforia kebebasan berdampak luas bagi perkembangan di Indonesia, dampak kebebasan pers tidak hanya berdamak positif akan tetapi juga dapat berdampak negatif. Dampak positif kebebasan pers antara lain adalah (1) Pemberitaan bebas mengulas suatu masalah Ilmu pengetahuan dan tehnologi serta pengetahuan dan informasi lainnya sehingga semua orang berhak tahu dan mengerti apa yang sedang terjadi sekarang ini dari berita ilmu pengetahuan, politik/pemerintah dan lain-lain yang akan membuat individu menjadi maju cara berpikirnya. (2) Tiap-tiap individu secara bebas dapat menyampaikan pendapatnya melalui media masa sehingga membantu dan memicu tiap individu untuk berkreasi menyampaikan pendapat dengan adanya kolom kontak pembaca, serta setiap wartawan mengulas suatu masalah yang beraneka ragam. (3) Memberikan kesempatan tiap individu untuk mencoba berani bagi yang ingin mencoba bisnis dalam mass media terbukti munculnya produksi media baru Terbit, Adil dan lain-lain serta membuka lapangan pekerjaan.

Dampak negatif kebebasan pers antara lain: (1) Gambar kekerasan yang ditampilkan baik dalam media massa cetak maupun dalam audio visual dalam menyampaikan berita dengan makin berani dan gamblang misalnya kegiatan demonstrasi yang brutal dan lain-lain. (2) Penampilan gambar setengah porno

46


(51)

dalam media cetak yang menampilkan foto-foto wanita yang berpakaian amat minim dengan pose yang sangat merangsang seperti pada isi gambar Tabloid lipstik. (3) Berita yang mengulas suatu masalah yang belum tentu benar. (4) Berita yang dapat menimbulkan pemahaman tertentu, menghasut ataupun mengadu domba. (5) Mengkritik tanpa etika.

D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi

Sejumlah amandemen UUD 1945 yang beberapa kali dilakukan oleh MPR ternyata tidak berhasil membersihkan pasal-pasal yang berbau rasial. Demikian pula RUU Kewarganegaraan yang telah disiapkan Departemen Kehakiman dan HAM masih mengandung beberapa poin diskriminatif baik terhadap perempuan (gender) maupun warga negara keturunan asing. Contohnya, pasal 30 RRU menyebutkan bahwa kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang suami berlaku pula bagi istri kecuali istri menolak atau istri mempunyai dua kewarganegaraan. Selain itu pasal 39 RRU tersebut menyatakan setiap orang yang perlu membuktikan kewarganegaraan Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti untuk itu dapat mengajukan permohonan kepada menteri atau pejabat untuk memperolehnya. Pasal ini diduga mengukuhkan kembali Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI bagi orang Indonesia keturunan asing termasuk Tionghoa.

Permasalahan pribumi dan non pribumi, ditanggapi oleh pemerintahan B.J. Habibie. Pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan


(52)

Inpres N0. 26/1998 yang menghapuskan istilah pribumi dan non pribumi. Presiden B.J. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dan diperbolehkannya pelajaran Bahasa Mandarin.47

E. Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu

Presiden B.J Habibie membuat kebijakan untuk membuat perubahan dalam bidang politik lainnya antara lain mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.

Pemilihan umum pada masa pemerintahan yang sangat singkat dari Presiden B.J Habibie, diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 dengan diikuti oleh 48 partai, walapun pada saat itu terdaftar terdapat hampir 150 partai politik, akan tetapi yang memenuhi persyaratan hanya 48 partai politik. Pemilihan umum Tahun 1998 dilaksanakan secara LUBER yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia dan JURDIL yaitu jujur dan adil yang diakui oleh semua pihak termasuk oleh oleh luar negeri melalui pemantauan secara langsung oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter.48 Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999 diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai.

Dari 48 partai yang mengikuti pemilihan umum Tahun 1998, terdapat 5 partai besar yang mendapat dukungan besar dari masyarakat. Amien Rais mendirikan PAN (Partai Amanat Nasional) dengan dukungan dari

47Muh Kholid, Mengakhiri Diskriminasi Tionghoa, http://lkassurabaya.blogspot.com/2007/07/

mengakhiri-diskriminasi-tionghoa.html, diakses pada tanggal 12 Juli 2015. 48


(53)

Muhammadiyah, akan tetapi dengan ideologi sekularisme yang demokratis dan kapitalis. Abdurahman Wahid dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan dukungan NU, lebih mengedepankan toleransi, pluralisme, dan gaya demokrasi non religius. Megawati dengan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) mendapat dukungan dari Wiranto dan ABRI. Beberapa pemimpin Islam menanggapi popularitas Megawati yang besar menyatakan bahwa Islam tidak memperbolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak dengan Abdurrahman Wahid. Golkar yang masih mempunyai dukungan masyarakat yang masih kuat mencoba untuk membersihkan diri dari warisan Soeharto dengan cara meminta maaf untuk berbagai kesalahan masa lalunya dan menggambarkan dirinya sebagai Golkar baru. Fraksi dominannya mendukung Habibie hampir sampai akhir masa jabatannya. PPP juga mampu bertahan sebagai sebuah partai politik.49

Pemilihan umum kedelapan dalam sejarah Indonesia ini dilaksanakan pada hari Senin, 7 Juni 1999. Empat puluh delapan partai yang mengikuti pemilu ini memperebutkan 462 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Setelah pemilihan umum ini selesai dilaksanakan, lebih dari 50% partai ternyata tidak mendapatkan kursi. Dengan demikian, jumlah kursi di DPR dibagi kepada 21 partai saja.50 Pemilihan umum tahun 1999 melahirkan pemenang baru yaitu PDI Perjuangan. Meskipun hanya menguasai 11 provinsi, sedangkan Golkar menang di 13 Provinsi, namun suara PDI Perjuangan lebih besar yaitu sebanyak 33,7 %.

49

Op. Cit., hlm. 706. 50

Daniel Dhakidae, dkk, Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum 1999, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002, hlm. vii


(54)

Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilu 1999 terjadi karena PDIP yang diketuai oleh Megawati Soekarno Putri merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan reformasi sehingga banyak masyarakat yang pro terhadap reformasi berbalik mendukung PDI Perjuangan. Sedangkan Golkar masih mampu menempati posisi ke dua pada pemilu 1999 setelah lengsernya Soeharto sebagai presiden hal ini terjadi karena Partai Golkar sudah berakar kuat di hati rakyat, hal ini dapat dilihat dari sejarah panjang kemenangan partai Golkar dari tahun 1955 hingga pemilu tahun 1997. Untuk pemilu tahun 1999 bisa dikatakan tidak ada partai yang menang secara meyakinkan, sama seperti pemilu tahun 1955.51

Tabel 2

Sepuluh partai pemenang pemilihan umum tahun 1999 antara lain: NO PARTAI POLITIK JUMLAH KURSI

1 PDI Perjuangan 153 kursi 2 Partai Golkar 120 kursi

3 PPP 58 kursi

4 PKB 51 kursi

5 PAN 34 kursi

6 PBB 13 kursi

7 Partai Keadilan 7 kursi 8 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 5 kursi 9 Partai Nahdatul Ulama 5 kursi 10 Partai Keadilan dan Persatuan 4 kursi

Sumber : Daniel Dhakidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1998-2004, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004. 52

51

Daniel Dhakidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1998-2004, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004, hlm. 3

52


(55)

F. Penyelesaian Masalah Timor Timur

Permasalahan Timor Timur yang ingin merdeka dan lepas dari Indonesia menjadi salah satu permasalahan besar yang harus dihadapi Bangsa Indonesia. Setelah berakhirnya masa Orde Baru, dan naiknya B.J Habibie menjadi Presiden, Presiden B.J Habibie membuat kebijakan untuk memberikan kemerdekaan bagi Timor Timur. Bagi Presiden B.J Habibie, Timor Timur dianggap sebagai masalah yang merepotkan. Hal ini tertuang pada pernyataan Presiden B.J Habibie yang mengatakan bahwa masalah Timor Timur bagaikan kerikil dalam sepatu. Selain itu permasalahan Timor Timur dirasa mengganggu kinerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan reformasi.53

Upaya yang dilakukan Presiden B.J Habibie sebelum memutuskan untuk memberikan kemerdekaan bagi Timor Timur salah satunya adalah membebaskan tawanan politik asal Timor Timur dan menjanjikan suatu status istimewa bagi Timor Timur. Akan tetapi status istimewa yang dijanjikan Presiden B.J. Habibie tidak disetujui oleh Ramos-Horta dan para tokoh-tokoh yang menginginkan Timor Timur merdeka. Pada bulan Juni 1998 terjadi demonstran besar-besaran di Timor Timur yang menuntut diadakannya referendum yang menawarkan pilihan kemerdekaan dan menolak status istimewa dalam lingkup Negara Republik Indonesia. Untuk mendapatkan

53


(56)

dukungan yang kuat tentang referendum, Belo meminta dukungan PBB untuk mensponsori referendum tersebut54

Melihat situasi di Timor Timur Presiden B.J Habibie mengambil sikap pro-aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaiaan Timor Timur yaitu dengan memberikan otonomi khusus atau memisahkan diri dari Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ali Alatas pada bulan Januari 1999 yang mengumumkan bahwa, jika usulan otonomi khusus untuk Timor Timur ternyata ditolak, wilayah tersebut akan diberi kemerdekaan. Otonomi luas berarti diberikannya wewenang atas berbagai bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiksal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional, serta secara terhormat dan damai, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Habibie tidak mendapatkan banyak dukunagn dari kekuatan-kekuatan politik besar mengenai kebijakannya terhadap Timor Timur. Pada bulan Februari 1998, Megawati Sukarnoputri mengatakan di depan pendukungnya bahwa Timor Timur adalah bagian dari Indonesia dan bahwa ia tidak akan menerima pemisahan diri wilayah tersebut dari Republik Indonesia. Pandangan yang sama disampaikan oleh Abdurrahman Wahid. Meskipun demikian, ABRI memiliki pemikiran yang berbeda. Para petinggi ABRI telah memutuskan bahwa, jika suatu referendum menghasilkan suara untuk

54


(57)

memisahkan diri, mereka akan menggerakkan sebuah aksi bumi hangus di Timor Timur.55

Referendum dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999. Hasilnya adalah sebanyak 446.953 suara masuk, merepresentasikan 98,6% dari seluruh pemilih. Dari 438.968 suara sah, 78,5 % menginginkan kemerdekaan, dan 21,5% sisanya menghendaki otonomi dalam lingkup negara Republik Indonesia.56 Dengan hasil ini menunjukkan bahwa penduduk Timor Timur ternyata menghendaki kemerdekaan. Presiden B.J. Habibie menagaggapi hasil referendum ini dengan menyatakan bahwa Indonesia mulai 1 Januari 2000 akan memusatkan perhatian pada 26 propinsi dan tidak diganggu lagi dengan masalah Timor Timur.

G. Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya

Salah satu tuntutan reformasi yang dikehendaki rakyat lewat mahasiswa dan aktifis reformasi adalah pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya. Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto, pemerintah B.J Habibie dinilai tidak serius menanganinya karena proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Lambatnya pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya menimbulkan ketidakpuasan yang besar diantara pendukung gerakan reformasi. Presiden B.J. Habibie - dengan Instruksi Presiden No. 30/1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera

55

M.C. Ricklefs, ibid, hlm. 701 56ibid,


(58)

mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN.

Kasus dugaan KKN Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri. Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.

Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank


(59)

Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito. Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.57

Pemeriksaan terhadap Soeharto pernah dilakukan terkait tuduhan KKN kepada dirinya, akan tetapi hasilnya tidak memuaskan. Pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Demikian pula dengan kasus lainnya juga tidak ada kejelasan.58

57

http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_dugaan_korupsi_Soeharto, diakses pada tanggal 01 April 2015

58


(60)

BAB IV

AKHIR PEMERINTAHAN B.J HABIBIE

A. Penolakan Pidato Pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie

Dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, sesuai UU yang ada maka sebagai wakil presiden B.J. Habibie menggantikan kedudukan Soeharto sebagai presiden hingga masa jabatan presiden selesai. Naiknya B.J. Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto mendapatkan reaksi dari masyarakat Indonesia, yaitu memunculkan reaksi pro dan kontra terhadap B.J. Habibie sebagai presiden. Terdapatnya pro dan kontra terhadap B.J. Habibie ini menunjukkan legitimasi pemerintahan B.J. Habibie lemah. Munculnya kontra terhadap pemerintahan Presiden B.J. Habibie karena mereka menganggap bahwa Habibie masih terkait dengan kelompok Soeharto, sehingga banyak yang beranggapan bahwa B.J. Habibie tidak akan bisa melaksanakan reformasi secara penuh seperti yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia. Hal lain yang melemahkan legitimasi Habibie dalam memimpin pemerintahan ialah ia tidak dipilih secara luber dan jurdil sebagai presiden dan merupakan satu paket pemilihan pola musyawarah mufakat dengan Soeharto.

Naiknya B.J. Habibie sebagai presiden mendapat tanggapan yang beragam para tokoh-tokoh politik. beberapa tokoh memberi komentar

pemerintahan Habibie sebagai ”pemerintahan transisi” (Nurcholis Majid).


(61)

reformasi hanya pada kulitnya saja” dan ”perpanjangan rezim mantan Presiden Soeharto” (Megawati). Komentar-komentar tersebut makin melemahkan legitimasi Habibie sebagai presiden.

Meskipun banyak mengalami keberhasilan dan kemajuan dalam kebijakan-kebijakan politik yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden B.J. Habibei sebagai upaya menjalankan tuntutan reformasi yang dikehendaki oleh rakyat. Sejak Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk, kemajuan dan keberhasilan telah dicapai antara lain penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, kebebasan pers, penyelenggaraan pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi mengalami kemajuan dan keberhasilan seperti yang rakyat kehendaki lewat reformasi. Akan tetapi di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, Presiden B.J. Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor Timur. Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor Timur yaitu memberikan kemerdekaan bila otonomi kusus yang diberikan pemerintah Indonesia ditolak.

Pada Januari 1999, Presiden B.J. Habibie mengumumkan keputusannya tentang nasib Timor Timur. Timor Timur bisa melepaskan diri dari Indonesia sekiranya mereka menolak tawaran otonomi secara luas. Padahal tawaran otonomi secara luas kepada Timor Timur baru diumumkan pada bulan Juni 1998 dan belum mendapatkan tanggapan yang pasti dalam forum PBB tentang pelaksanaan otonomi tersebut. Dengan diumumkannya mengenai dua opsi


(1)

50

masalah Tomor-Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.

Pembebasan Tahanan Politik

Secara umum tindakan pembebasan tahanan politik meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara yang dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI, yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok.

Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi 50 (kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI).

Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.

Kebebasan Pers

Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak sekali


(2)

50

bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya. Sejauh ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State University, William Liddle mengaku sempat shock menyaksikan isi berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi koran di Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru. Cara Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP.

Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999

Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik lainnya diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.

Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja.


(3)

50

Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999.

Penyelesaian Masalah Timor Timur

Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia Internasional memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah kerikil dalam sepatu yang merepotkan pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak memberikan setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri dari RI. Otonomi luas berarti diberikan kewenangan atas berbagai bidang seperti : politik ekonomi budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional serta secara terhorman dan damai lepas dari NKRI.

Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah membebaskan tahanan politik Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta. Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999, kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani


(4)

50

kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman. Namun keesokan harinya suasana tidak menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin bertambah buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Pada awalnya Presiden Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi pertama, namun kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat bahwa sebagian besar rakyat Timor-Timur memilih lepas dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke dalam kelompok militan yang melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan mendorong Indonesia harus menerima pasukan internasional.


(5)

50

Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya

Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius menanganinya dimana proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Bahkan, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No. XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie - dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN. Namun hasilnya tidak memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada kejelasan.

Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah dinilai gagal dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi demontrasi saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan membabi-buta berlangsung


(6)

50

sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat bersidang. Sampai sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan Semanggi maka bentrokan ini diberi nama ”Semanggi Berdarah” atau ”Tragedi Semanggi”.

Pemberian Gelar Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti

Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada para mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh pemerintahan Habibie, dimana penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.