SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI DISTRIK BOBONARO TIMOR-LESTE.

(1)

i

TESIS

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

BRUCELLOSIS PADA SAPIDI DISTRIK BOBONARO

TIMOR-LESTE

MARIO FRANCISCO AMARAL NIM 1492361011

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

BRUCELLOSIS PADA SAPIDI DISTRIK BOBONARO

TIMOR-LESTE

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan, Program Pascasarjana Universitas Udayana

MARIO FRANCISCO AMARAL NIM 1492361011

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 02 Juni 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. NIP.19600605 198702 2 001 NIP.19621231 198903 1 315

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Program Pasca Sarjana

Universitas Udayana,

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M. Kes. NIP. 19621231 198903 1 315

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001


(4)

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 02 Juni 2016

Panitia Penguji Tesis, Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. 2399/UN14.4/HK/2016 Tanggal 30 Mei 2016

Ketua : Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P.

Anggota :

1. Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes.

2. Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, M.S. 3. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si.


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mario Francisco Amaral

NIM : 1492361011

Program Sudi : Kedokteran Hewan

Judul Tesis : Seroprevalensi dan Faktor Risiko Brucellosis pada Sapi di Distrik Bobonaro Timor-Leste

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat.Apabila dikemudian hari terbukti adanya plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 02 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan anugerahNya tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.drh. Hapsari Mahatmi, M.P. sebagai pembimbing I dan Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. sebagai pembimbing II dan juga selaku ketua program studi pascasarjana Kedokteran Hewan yang dengan penuh perhatian telah memberikan semangat, perhatian, kesabaran membimbing dan saran selama penulis mengikuti program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Nyoman Sadra Dharmawan, M.S., Prof. Dr. drh I Ketut Berata, M.Si dan Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P., yang sudah bersedia menguji dan memberi masukan yang bersifat membangun dalam penulisan tesis ini.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD dan Direktur Pascsarjana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister pada program pascasarjana, Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada ketua program studi Pascasarjana Kedokteran Hewan dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana beserta civitas akademi yang tidak saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya selama saya menjadi mahasiswa pascasarjana.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pemerintah Repùblica

Democrática de Timor-Leste melalui Ministerio da Agricultura e

Pescas,khususnya kepada Menteri dan Wakil Menteri Pertanian dan Perikanan

periode 2008-2015; Ir. Mariano ASSANAMI Sabino dan Ir. Marcos da Costa, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Kedokteran Hewan di Universitas Udayana, Bali, Indonesia. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Director Nasional da Quarentena dan semua kepala departemen di Direccão Nacional da Quarantena e


(7)

vii

Biosegurança Timor-Leste beserta satafnya yang tidak saya sebutkan satu persatu,

yang telah mendukung saya baik secara langsung maupun tidak langsung. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada teman dan sahabat saya, Drh. Rui Daniel de Carvalho, M.P; Nelson de Castro; Izalde Santana; Arnaldo dan Aleixo Soares beserta staf teknik karantina dan kesehatan hewan di Distrik Bobonaro, yang telah membantu saya dalam pengambilan sampel di lapangan. Terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Chefe Departamento Laboratorium da

Veterinaria, Direcção Nacional da Veterinaria, Drh. Feliciano da Conceição

beserta stafnya yang telah membantu memeriksa serum sampel di Laboratoium

Diagnostico da Veterinaria (BSL2), Caicoli, Dili Timor-Leste;

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya almarhum/a ayah Francisco Amaral dan Ibunda Domingas Ximenes Amaral yang telah berjasa membesarkan, mendidik dan menyekolahkan penulis. Ucapan terima kasih yang tulus juga sampaikan kepada saudara kandung saya Hermenegildo (Uatukai), Celestino (Usakai), Eliseu (Raidi), almarhumaMerlinda (Balakai), Agostina

(Saheloi), Luis (Gamubere) dan Francisco (Januario) beserta keluarganya yang

selalu mendukung saya baik moril maupun materil. Terima kasih khusus saya sampaikan juga kepada Bapak dan ibu mertua saya Marciano de Sousa dan Marciana de Sousa (almarhuma) beserta saudara-saudari saya yakni Pedro de Sousa, Judith de Sousa, Domingas de Sousa, Ema de Sousa, Julieta de Sousa dan Sabino de Sousa beserta kelurganya, yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada keluarga penulis yang ditinggalkan selama menempuh kuliah.

Akhirnya penulis sampaikan terima kasih yang sangat tulus kepada istri tercinta Filomena de Sousa dan anak saya Rosario (Asiku), Rosaria (Abin), Angelo (Apai) dan Angela (Amimi) yang selalu sabar mendukung, memberikan semangat, kesempatan dan pengorbanan sehingga penulis lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melipahkan rahmat dan hidayahNya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan tesis ini.


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Mario Francisco Amaral, lahir di Uai-Oli, Venilale, Baucau, Timor Portugues pada tanggal 02 Juni 1973, anak dari pasangan Francisco Amaral (almarhum) dan Domingas Ximenes Amaral (almarhuma). Penulis adalah anak keenam dari delapan bersaudara. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Katolik Venilale, Baucau, Timor-Timur (1981-1989); Sekolah Menengah Pertama di SMP Katolik Preseminari Dom Filipe Rinaldi Venilale, Baucau,Timor-Timur (1989-1992); Sekolah Menengah Atas di SMA Katolik Seminari Dom Bosco Fatumaca dan tahun terakhir dilanjutkan di SMA katolik St. Antonio Baucau, Timor-Timur (1992-1994).Penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia (1994-2001); melalui jalur Pemilihan Bibit Unggul Daerah (PBUD). Menyelesaikan Profesi Dokter Hewan pada tahun 2002 dan pada awal bulan Desember 2002 penulis kembali ke Dili, Timor-Leste. Tahun (2003-2008), penulis mengabdi atau bekerja sebagai Konsultan Nasional Kesehatan Hewan (National Veterinary

Consultant) untuk Village Livestock Workers pada ProgramAgriculture

Rehabilitation Project I, II dan III dan juga bekerja sebagai pelatih (trainer) untuk

kesehatan hewan di Divição Pecuaria e Veterinaria, Ministério da Agricultura e

Pescas yang didanai oleh World Bank. Tahun (2008-2010), menjabat sebagai

Kepala Departemen Kesehatan Hewan di Direcção Nacional Pecuaria e

Veterinaria, Ministerio da Agricultura e Pescas dan tahun (2011-2013), menjabat

sebagai Kepala Departemen Laboratorium Quarentena di Direcção Nacional da

Quarentena e Biosegurança, MAP. Kemudian pada akhir tahun 2013,

dipercayakan oleh pemerintah Timor-Leste melalui Kementerian Pertanian dan Perikanan untuk melanjukan pendidikan Magister Kedokteran Hewan di Program Pascasarjana Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia.


(9)

ix

ABSTRAK

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI DISTRIK BOBONARO TIMOR-LESTE

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seroprevalensi dan faktor risiko seropositif brucellosis pada sapi di Distrik Bobonaro, Timor-Leste. Penelitian dilakukan dengan menggunakan serum darah yang diperoleh dari 261 ekor sapi yang diambil lewat vena jugularis secara purposif dari 6 subdistrik di Wiilayah Bobonaro yaitu Atabae, Balibo, Bobonaro, Cailaco, Lolotoe dan Maliana. Metode pemeriksaan terhadap adanya antibodi Brucellosis dilakukan dengan uji Indirect

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) sesuai dengan OIE Terrestrial

Manual 2009. Penelitian ini merupakan Cross sectional study.Hasil dari penelitian ini menunjukkan seroprevalensi Brucellosis di Wilayah Distrik Bobonaro adalah 16,9% (44/261). Seroprevalensi masing-masing subdistrik adalah Atabae (15,0%), Balibo (16,1%), Bobonaro (7,7%), Cailaco (27,0%), Lolotoe (12,0%) dan Maliana (23,7%). Hasil analisa faktor risiko menunjukkan bahwa faktor risiko herd size yang berasosiasi dengan seropositif Brucellosis.


(10)

x ABSTRACT

SEROPREVALENCE AND RISK FACTOR OF BRUCELLOSIS IN CATTLE IN BOBONARO DISTRICT OF TIMOR-LESTE

The objective of this study was to determine the seroprevalence and risk factors for seropositivity of brucellosis in cattle in Bobonaro District of Timor-Leste.The study was conducted using blood serum obtained from 261 cattle were taken through the jugular veins with purposively from six sub-districts in Bobonaro region, namely Atabae, Balibo, Bobonaro, Cailaco, Lolotoe and Maliana. Methods of the examination of brucellosis antibody test performed by Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) according to the OIE Terrestrial Manual, 2009. This study was a cross sectional study. The results of this study showed a seroprevalence of brucellosis in Bobonaro district area was 16.9% (44/261).Seroprevalence in each subdistrict were Atabae (15.0%), Balibo (16.1%), Bobonaro (7.7%), Cailaco (27.0%), Lolotoe (12.0%) and Maliana (23, 7%). The results of the analysis of risk factors indicate that the risk factor of herd size was associated with seropositive of brucellosis.


(11)

xi RINGKASAN

Brucellosis merupakan penyakit zoonosisstrategisyang dapat menyerangsapi,

babi dan berbagai jenis ternak lainnya bahkan hewan kesayangan (pets

animal)serta manusia. Dampak yang ditimbulkan sangat luas baik dari segi

kesehatan masyarakat maupun ekonomi.Penyakit ini merupakan penyakit bermasalah di berbagai negara, khususnya di negara dunia ketiga, benua Afrika, Asia dan sebagian Amerika Latin dan India.

Faktor utama penyebaran Brucellosis adalah masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, sanitasi, dan sistem pemeliharaan ternak yang masih sangat tradisional serta tidak berjalannya kontrol penyakit akibat kurangnya dana yang tersedia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seroprevalensi dan faktor risiko seropositif Brucellosispada sapi di Distrik Bobonaro Timor-Leste. Manfaat penelitian ini untuk mendapatkan data base seroprevalensi dan faktor risiko seropositif Brucellosis yang nantinya berguna bagi pemerintah atau kementerian terkait dalam menyusun kebijakan dan strategi pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Brucellosis.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan serum darah yang diperoleh dari 261 ekor sapi yang diambil lewat vena jugularis secara purposif dalam kajian

Cross sectional study dari 6 subdistrik di Wilayah Bobonaro yaitu Atabae, Balibo,

Bobonaro, Cailaco, Lolotoe dan Maliana. Metode pemeriksaan terhadap adanya antibodi Brucellosis dilakukan dengan uji Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent

Assay (I-ELISA) sesuai dengan OIE Terrestrial Manual 2009. Hasil dari penelitian

ini menunjukkan seroprevalensi Brucellosis di Wilayah Distrik Bobonaro adalah 16,9% (44/261). Seroprevalensi masing-masing subdistrik adalah Atabae (15,0%), Balibo (16,1%), Bobonaro (7,7%), Cailaco (27,0%), Lolotoe (12,0%) dan Maliana (23,7%). Hasil analisa faktor risiko menunjukkan bahwa faktor risiko herd size yang berasosiasi dengan seropositif Brucellosis.


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ………. i

PRASYARAT GELAR MAGISTER ………. ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..……… iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………... v

UCAPAN TERIMA KASIH ………... vi

RIWAYAT HIDUP ………. viii

ABSTRAK ……… ix

ABSTRACT ………. x

RINGKASAN ……….. xi

DAFTAR ISI ………. ... xii

DAFTAR TABEL ………... xv

DAFTAR GAMBAR ………. ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ………. ... 1

1. 1 Latar Belakang ………. 1

1. 2 Rumusan Masalah ………... 3

1. 3 Tujuan Penelitian ………... 3

1. 4 Manfaat Penelitian ………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 5

2. 1 Distrik Bobonaro ……….. 5

2. 2 Sapi Bali ……… 6

2. 3 Brucellosis ……… 7

2. 4 Epidemiologi Brucellosis ………. 8


(13)

xiii

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN … 10

3. 1 Kerangka Berpikir ………. 10

3. 2 Konsep Penelitian ……….. 13

3. 3 Kerangka Konsep Penelitian …….……… 14

BAB IV METODE PENELITIAN ……….... 15

4. 1 Rancangan Penelitian ……… 15

4. 2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 15

4. 3 Ruang Lingkup Penelitian ………... 15

4. 4 Penentuan Sumber Data .. ………... 16

4. 5 Variabel Penelitian ………. 17

4. 6 Bahan Penelitian ……… 17

4. 7 Instrumen Penelitian ……….. 17

4. 8 Prosedur Penelitian ……… 18

4. 8. 1 Pengambilan Darah ……… 18

4. 8. 2 Pemisahan Serum ………... 18

4. 8. 3 Uji ELISA ……….. 19

4. 8. 4 Prosedur Uji ELISA ………... 19

4. 8 Analisa Data ………. 21

BAB V HASIL PENELITIAN ………... 22

5. 1 Hasil Pemeriksaan Serologis Brucellosis Pada Sapi di Wilayah Bobonaro ..……... 22

5. 2 Hasil Analisis Faktor Risiko Brucellosis .……….. 22

BAB VI PEMBAHASAN ……….. 27

6. 1 Seroprevalensi Brucellosis ………. 27

6. 2 Faktor Risiko Kejadian Brucellosis Pada Sapi di Distrik Bobonaro 27 6. 2. 1 Faktor Risiko Lokasi Pemeliharaan ………. 27

6. 2. 2 Faktor Risiko Herd Size ………... 28


(14)

xiv

6. 2. 4 Faktor Risiko Umur Sapi ……….. 30

6. 2. 5 Faktor Risiko Sistem Pemeliharaan ……….. 31

6. 2. 6 Faktor Risiko Sumber Air Minum ……….... 32

6. 2. 7 Faktor Risko Pemeliharaan Hewan Lain ………... 33

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………. 35

7. 1 Kesimpulan ………. 35

7. 2 Saran ……… 35

DAFTAR PUSTAKA ………... 36


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4. 1 Jumlah sampel sapi setiap subdistrik di wilayah Bobonaro yang diperiksa dengan metode ELISA ... 17 Tabel 5. 1 Hasil pengujian ELISA Brucellosis pada sapi di Distrik

Bobonaro ………. ... 22

Tabel 5. 2 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan lokasi pemeliharaan di

EnamSubdistrik ……… .. 23

... Tabel 5. 3 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan jumlah kelompok sapi

(Herd size)………... 24

Tabel 5. 4 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan Jenis kelamin sapi ... 24 Tabel 5. 5 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan umur sapi ... 25 Tabel 5. 6 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan sistem pemeliharaan .... 25 Tabel 5. 7 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan sumber air minum ... 26 Tabel 5. 8 Seroprevalensi Brucellosis berdasarkan pelihara hewan lain ... 26


(16)

xvi

DAFTARGAMBAR

Halaman Gambar 2. 1 Peta wilayah Distrik Bobonaro ……… 5 Gambar 3. 1 Kerangka konsep penelitian ……….. …... 14


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.Kuisioner Analisis faktor-faktor risiko pada sapi di

Wilayah Distrik Bobonaro Timor-Leste (RDTL) ……... 39 Lampiran 2. Foto pengambilan sampel,wawancara dan uji laboratorium .. 41

Lampiran 3. Hasil ELISA Reader pada Microplate ………... 42


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Distrik Bobonaro adalah salah satu wilayah perbatasan yang membatasi Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL) dengan propinsi Nusatenggara Timur, Republik Indonesia. Distrik Bobonaro merupakan daerah dengan populasi ternak sapi yang tertinggi di RDTL yaitu berjumlah 29.235 ekor yang tersebar di enam subdistrik yaitu Atabae, Balibo, Bobonaro, Cailaco, Lolotoe dan Maliana (DNS dan UNPF, 2011). Wilayah ini berpotensi untuk tempat pengembangan ternak ruminansia terutama sapi. Di daerah ini, ternak ruminansia berperan penting dalam menunjang ketahanan pangan. Keberadaan sapi di wilayah ini juga mempunyai makna dan manfaat sosiokultural di masyarakat, karena banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan tradisi dan acara serimonial seperti pernikahan dan pemakaman.

Sistem pemeliharaan sapi di wilayah Bobonaro mayoritas dipelihara secara tradisional atau ekstensif dan sebagian kecil yang memelihara sapi secara semi-intensif dan semi-intensif. Pada umumnya ternak digembalakan pada siang hari dan pada malam hari dikurung di kandang terbuka yang tidak beratap. Laporan tentang kasus penyakit strategis di wilayah ini belum pernah ada sampai saat ini.

Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang sangat strategis. Penyakit ini

dapat menyerang sapi, babi dan berbagai jenis ternak lainnya bahkan hewan kesayangan (pets animal) dan manusia (Corbel, 1997., Renukaradhya et al., 2002; Minas.,2006 dalam Bamaiyi et al., 2014). Pada manusia ditularkan melalui susu


(19)

2

dan makan daging segar dari sapi penderita (Bamaiyi et al., 2014; Lake et al., 2010; Mukhtar et al., 2013). Brucellosis mengakibatkan gangguan reproduksi berupa abortus yang terjadi pada sapi usia kebuntingan 6-9 bulan, anak yang dilahirkan lemah kemudian mati. Oleh karenanya Brucellosis dikelompokkan dalam penyakit strategis, karena dampak yang ditimbulkan sangat luas baik dari segi kesehatan masyarakat dan ekonomi. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat tinggi karena sapi menjadi infertil dan produksi susu menurun sangat signifikan.

Sampai saat ini Brucellosis masih merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara, khususnya di negara dunia ketiga, benua Afrika, Asia dan sebagian Amerika Latin dan India. Faktor utama penyebaran Brucellosis adalah masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, sanitasi, dan sistem pemeliharaan ternak yang masih sangat tradisional serta tidak berjalannya kontrol penyakit akibat kurangnya dana yang tersedia (Gwida, et al., 2010)

Brucellosis merupakan penyakit endemik di banyak negara di belahan dunia

dan ada beberapa yang dilaporkan telah diberantas seperti Australia, Kanada, Siprus, Denmark, Finlandia, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Swedia dan Inggris. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara tetap dilaporkan adanya

Brucellosis meliputi Myanmar (Burma), Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand,

Vietnam, Indonesia, Laos, Filipina, dan Kamboja; penyakit ini dianggap endemik meskipun hanya beberapa negara yang melaporkan kejadian tersebut (Mukhtar et al., 2013; Bamaiyi et al., 2014).


(20)

3

Sampai saat ini data tentang kasus Bucellosis di Timor-Leste masih sangat langka, hal ini bukan karena tidak ada kasus, namun upaya pemantauan atau

screening masih sangat terbatas. Berdasarkan kondisi seperti yang telah diuraikan,

maka sangat perlu dilakukan penelitian dengan rapid test sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit strategis pada sentra sapi terbesar di negara Timor-Leste, yaitu wilayah Distrik Bobonaro.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana seroprevalensi Brucellosis pada sapi di Distrik Bobonaro,Timor-Leste?

2. Apa faktor risiko yang berpengaruh terhadap seropositif Brucellosis pada sapi di Distrik Bobonaro?

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui seroprevalensi Brucellosis pada sapi di Distrik Bobonaro, Timor-Leste dengan uji ELISA

2. Mengetahui faktor risiko seropositif Brucellosis pada sapi di Distrik Bobonaro.


(21)

4

1. 4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan data base seroprevalensi dan faktor risiko seropositif

Brucellosis di Distrik Bobonaro, Timor-Leste, yang nantinya akan sangat

berguna bagi pemerintah atau kementerian terkait untuk menyusun kebijakan dan strategi pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Brucellosis.

2. Memberikan informasi mengenai bahaya Brucellosis dan penularannya pada ternak, kepada peternak dan masyarakat umum.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Distrik Bobonaro

Distrik Bobonaro terletak di antara 8o48’ - 9°15’ Lintang Selatan dan 125o55’ - 125°24’ Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32oC dan suhu minimum 18oC dengan curah hujan pada tahun 2012 rata-rata 177,6 nm sampai dengan 835,7 nm; sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Liquiça, sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Covalima dan Distrik Ainaro, sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Ermera dan Distrik Ainaro sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Nusatenggara Timur (Indonesia). Wilayah ini memiliki luas 1368,12 km2 dan terdiri dari 6 subdistrik yaitu Atabae mempunyai luas 273,12 km2, Balibo 293,75 km2, Bobonaro 203,12 km2, Cailaco 184,38 km2, Lolotoe 211,86 km2 dan Maliana 201,89 km2 (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Peta wilayah Distrik Bobonaro

Distrik Bobonaro terletak pada ketinggian antara 0 meter sampai dengan 1.934 meter di atas permukaan laut, menyebar dari dataran tinggi hingga dataran rendah.


(23)

6

Tekanan udara sebesar 1005,3 sampai dengan 10.014,0 Mbs dan kelembaban udara rata-rata 82,33% sedangkan kecepatan angin 5,75 knot dengan kelembaban dan kecepatan udara tertinggi pada bulan Juli (Anonimus, 2002).

2. 2 Sapi Bali

Sapi bali menyebar ke tempat lain di sekitar pulau Bali melalui komunikasi antar raja-raja pada zaman dahulu. Sapi bali telah tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia dan merupakan populasi terbesar yang dipelihara di RDTL, khususnya di wilayah Distrik Bobonaro. Sapi bali yang hidup di wilayah Bobonaro berkembang cukup pesat, mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah, dan lain-lain. Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi bali termasuk amat tinggi dibandingkan dengan sapi lain, yaitu mencapai 83%, tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah satu keunikan sapi bali (Guntoro, 2002). Ciri khas sapi baliadalah postur tubuh kecil, memiliki garis hitam pada punggung yang sering disebut garis belut (sangat jelas pada pedet), bulu berwarna coklat kekuningan (merah bata), pada jantan dewasa bulu akan berubah menjadi coklat kehitaman, berwarna putih pada bagian tepi daun telinga bagian dalam, kaki bagian bawah, bagian belakang pelvis dan bibir bawah. Sapi bali juga mudah beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat beranak, jinak, mudah dikendalikan dan memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006).


(24)

7

2. 3 Brucellosis

Brucellosis adalah penyakit zoonosis yang mampu menular dari hewan ke

manusia maupun sebaliknya yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati pada sapi sehingga berdampak kerugian ekonomi yang sangat besar (Noor, 2006). Brucellosis disebabkan oleh Brucella abortus. Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan

Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini

ditemukan. Brucellosis ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi. Penularan pada sapi selain secara konvensional kontak langsung, melalui pakan tidak menutup kemungkinan disebabkan karena lalulintas ternak yang kurang terkontrol dari daerah endemis ke daerah bebas. Dampak kerugian ekonomi akibat kejadian penyakit Brucellosis pada suatu peternakan sangat besar, walaupun tidak disadari oleh para peternak, kerugian ekonomi Brucellosis berupa leuron (abortus) yang umumnya 1-2 kali seumur hidup, tetapi sebagai reservoir (pembawa penyakit), infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati, turunnya produksi susu, yang secara klinis tidak mudah para peternak mendeteksinya, karena peternak tidak megetahui langsung, umumnya ternak yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (Samkhan, 2014).

Beberapa spesies yang telah diidentifikasi yakni B.abortus (sapi, biovars 1-6 dan 9), B. melitensis (kambing, domba, biovars 1-3), B. suis (babi, rusa dan kelinci, biovars 1-5), B. ovis (domba), B. canis (anjing) dan B. neotomae (tikus kayu). Telah ditemukan juga pada mamalia laut seperti B. ceti dan B.


(25)

8

Pinnipedialis (lumba-lumba), B. microti (tikus) dan B. inopinata (waduk belum

ditentukan). Spesies yang memiliki risiko tinggi untuk mengifeksi manusia adalah

B. melitensis, diikuti B. suis dan B. Abortus. (Gofroid, et al., 2011 dalam Bashitu,

et al., 2015).

2. 4. Epidemiologi Brucellosis

Brucellosis tersebarluas di seluruh dunia dan menyerang berbagai ternak sapi,

kerbau, domba, kambing, babi, unta, anjing dan mamalia laut (Renukaradhya et al., 2002;. Minas, 2006 dalam Bamaiyi et al., 2014). Penyakit ini dilaporkan telah ada sejak 750 SM di Mesir (Seler et al., 2010 dan David Bruce (1887) mengisolasi kuman Brucella melitensis (Micrococcus melitensis) di Pulau Malta, oleh karena itu penyakit ini disebut demam Malta (Bamaiyi et al., 2014).

Distribusi B. abortus ditemukan di seluruh dunia kecuali Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa, Australia, Selandia Baru dan Israel yang telah diberantas.

B.abortus biasanya ditularkan melalui kontak dengan plasenta, janin, cairan janin

dari hewan yang terinfeksi. B. Abortus juga dapat ditemukan dalam susu dan cairan hygroma. Infeksi biasanya melalui selaput lendir, tetapi dapat ditularkan melalui luka kulit. Dapat terinfeksi melalui kontak langsung, dengan penumpahan berikutnya dari organisme dalam susu. Transmisi kelamin tampaknya menjadi jarang. Transmisi dengan inseminasi buatan dilaporkan terjadi ketika semen yang terkontaminasi disimpan dalam rahim tetapi tidak di midcervix tersebut. B.abortus dapat menyebar pada fomites termasuk pakan dan air. Dalam kondisi kelembaban tinggi, suhu rendah dan tidak ada sinar matahari, organisme ini dapat bertahan


(26)

9

hidup selama beberapa bulan dalam air, janin digugurkan, pupuk, wol, jerami, peralatan dan pakaian. Spesies Brucella dapat menahan pengeringan, khususnya ketika bahan organik hadir dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah. Kelangsungan hidup lebih panjang saat suhu rendah, terutama ketika itu di bawah titik beku. Spesies lain bisa terinfeksi B. Abortus setelah kontak dengan ternak yang terinfeksi (Iowa State University, Update 2009).

Penularan pada manusia melalui kontak langsung dengan plasenta, fetus, cairan dan organ reproduksi hewan, darah, urine, yang rentan terinfeksi adalah dokter hewan, inseminator, mantri hewan, petugas rumah potong hewan (RPH), tukang pemerah susu paling berisiko tinggi tertular Brucellosis. Kuman brucella sp dapat menembus kulit, konjungtiva dan saluran pencernaan. Dokter hewan biasanya tertular karena memeriksa hewan sakit tanpa menggunakan alat pelindung, saat melakukan vaksinasi dan saat memeriksa spesimen Brucellosis di Laboratorium secara aerosol (Noor, 2006).

2. 5 Diagnosa Brucellosis

Ada berbagai jenis metode pengujian serologis yang digunakan, diantaranya adalah uji Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixetion Test (CFT), Indirect

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA), Competitive ELISA. Uji lain

dapat dilakukan dengan metode Milk Ring Test (MRT), Brucellin Skin Test, Serum Aglutinin Test dan deteksi antigen dengan uji biomolekuler dapat dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Diagnosis serologis adalah faktor yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan pengendalian dan


(27)

10

pemberantasan. Uji SAT tidak direkomendasikan karena tidak memuaskan dalam perdagangan internasional sedangkan uji CFT lebih spesifik dibandingkan dengan SAT. Uji ELISA secara teknik lebih mudah dan sensitif dibandingkan dengan uji CFT (WOAH, 2009).

Metode I-ELISA digunakan untuk meningkatkan kekhususan metode serologi dan untuk mengetahui apakah antibodi yang dihasilkan dan terlacak karena infeksi alami atau vaksinasi. Metode I-ELISA untuk mendiagnosa Brucellosis pada sapi telah umum dipakai. Kit I-ELISA Brucella abortus memeiliki tiga jenis antigen terkonjugasi (conjugated antigen), yaitu polyclonal conjugated antibody,

monoclonal conjugated antibody dan competitive dengan sLPS dan monoclonal

antibody (Rojas and Alonso, 1997 dalam Prasetya, 2012). Indirect dan

competitive ELISA mampu mengevaluasi metode serologi konvensional, seperti

rivanol aglutinasi, RBT, CFT dan Radial Immunodiffussion. Metode ini mampu mengevaluasi apakah antibodi yang terlacak adalah antibodi karena reaksi atas vaksinasi dengan vaksin Strain 19 atau karena infeksi alami. (Moreno et al.1997 dalam Prasetya, 2012).

Metode ELISA merupakan metode yang menjadi gold standard untuk pemeriksaan serologis yang relatif murah, cepat dan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang sangat baik, (Corbel, 2006).

Brucella sp mampu bertahan hidup pada kondisi kering, terutama bila ada bahan organik dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah (Corbel, 2006). Pada tanah kering bertahan hidup selama 4 hari di luar suhu kamar, tanah lembab bertahan hidup selama 66 hari dan tanah becek bertahan hidup selama 151-185


(28)

11

hari (Crawfordet et al., 1990 dalam Noor, 2006). Kemampuan daya tahan hidup kuman brucella sp dalam kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang relatif tinggi. Pada air minum ternak, kuman bertahan selama 5-114 hari dan pada air limbah selama 30-150 hari. Sehingga daerah rendah dan ketinggian mempengaruhi lama hidup bakteri.


(1)

Tekanan udara sebesar 1005,3 sampai dengan 10.014,0 Mbs dan kelembaban udara rata-rata 82,33% sedangkan kecepatan angin 5,75 knot dengan kelembaban dan kecepatan udara tertinggi pada bulan Juli (Anonimus, 2002).

2. 2 Sapi Bali

Sapi bali menyebar ke tempat lain di sekitar pulau Bali melalui komunikasi antar raja-raja pada zaman dahulu. Sapi bali telah tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia dan merupakan populasi terbesar yang dipelihara di RDTL, khususnya di wilayah Distrik Bobonaro. Sapi bali yang hidup di wilayah Bobonaro berkembang cukup pesat, mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah, dan lain-lain. Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi bali termasuk amat tinggi dibandingkan dengan sapi lain, yaitu mencapai 83%, tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah satu keunikan sapi bali (Guntoro, 2002). Ciri khas sapi baliadalah postur tubuh kecil, memiliki garis hitam pada punggung yang sering disebut garis belut (sangat jelas pada pedet), bulu berwarna coklat kekuningan (merah bata), pada jantan dewasa bulu akan berubah menjadi coklat kehitaman, berwarna putih pada bagian tepi daun telinga bagian dalam, kaki bagian bawah, bagian belakang pelvis dan bibir bawah. Sapi bali juga mudah beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat beranak, jinak, mudah dikendalikan dan memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006).


(2)

2. 3 Brucellosis

Brucellosis adalah penyakit zoonosis yang mampu menular dari hewan ke

manusia maupun sebaliknya yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati pada sapi sehingga berdampak kerugian ekonomi yang sangat besar (Noor, 2006). Brucellosis disebabkan oleh Brucella abortus. Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan

Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini

ditemukan. Brucellosis ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi. Penularan pada sapi selain secara konvensional kontak langsung, melalui pakan tidak menutup kemungkinan disebabkan karena lalulintas ternak yang kurang terkontrol dari daerah endemis ke daerah bebas. Dampak kerugian ekonomi akibat kejadian penyakit Brucellosis pada suatu peternakan sangat besar, walaupun tidak disadari oleh para peternak, kerugian ekonomi Brucellosis berupa leuron (abortus) yang umumnya 1-2 kali seumur hidup, tetapi sebagai reservoir (pembawa penyakit), infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati, turunnya produksi susu, yang secara klinis tidak mudah para peternak mendeteksinya, karena peternak tidak megetahui langsung, umumnya ternak yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (Samkhan, 2014).

Beberapa spesies yang telah diidentifikasi yakni B.abortus (sapi, biovars 1-6 dan 9), B. melitensis (kambing, domba, biovars 1-3), B. suis (babi, rusa dan kelinci, biovars 1-5), B. ovis (domba), B. canis (anjing) dan B. neotomae (tikus kayu). Telah ditemukan juga pada mamalia laut seperti B. ceti dan B.


(3)

Pinnipedialis (lumba-lumba), B. microti (tikus) dan B. inopinata (waduk belum ditentukan). Spesies yang memiliki risiko tinggi untuk mengifeksi manusia adalah

B. melitensis, diikuti B. suis dan B. Abortus. (Gofroid, et al., 2011 dalam Bashitu,

et al., 2015).

2. 4. Epidemiologi Brucellosis

Brucellosis tersebarluas di seluruh dunia dan menyerang berbagai ternak sapi,

kerbau, domba, kambing, babi, unta, anjing dan mamalia laut (Renukaradhya et al., 2002;. Minas, 2006 dalam Bamaiyi et al., 2014). Penyakit ini dilaporkan telah ada sejak 750 SM di Mesir (Seler et al., 2010 dan David Bruce (1887) mengisolasi kuman Brucella melitensis (Micrococcus melitensis) di Pulau Malta, oleh karena itu penyakit ini disebut demam Malta (Bamaiyi et al., 2014).

Distribusi B. abortus ditemukan di seluruh dunia kecuali Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa, Australia, Selandia Baru dan Israel yang telah diberantas.

B.abortus biasanya ditularkan melalui kontak dengan plasenta, janin, cairan janin

dari hewan yang terinfeksi. B. Abortus juga dapat ditemukan dalam susu dan cairan hygroma. Infeksi biasanya melalui selaput lendir, tetapi dapat ditularkan melalui luka kulit. Dapat terinfeksi melalui kontak langsung, dengan penumpahan berikutnya dari organisme dalam susu. Transmisi kelamin tampaknya menjadi jarang. Transmisi dengan inseminasi buatan dilaporkan terjadi ketika semen yang terkontaminasi disimpan dalam rahim tetapi tidak di midcervix tersebut. B.abortus dapat menyebar pada fomites termasuk pakan dan air. Dalam kondisi kelembaban tinggi, suhu rendah dan tidak ada sinar matahari, organisme ini dapat bertahan


(4)

hidup selama beberapa bulan dalam air, janin digugurkan, pupuk, wol, jerami, peralatan dan pakaian. Spesies Brucella dapat menahan pengeringan, khususnya ketika bahan organik hadir dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah. Kelangsungan hidup lebih panjang saat suhu rendah, terutama ketika itu di bawah titik beku. Spesies lain bisa terinfeksi B. Abortus setelah kontak dengan ternak yang terinfeksi (Iowa State University, Update 2009).

Penularan pada manusia melalui kontak langsung dengan plasenta, fetus, cairan dan organ reproduksi hewan, darah, urine, yang rentan terinfeksi adalah dokter hewan, inseminator, mantri hewan, petugas rumah potong hewan (RPH), tukang pemerah susu paling berisiko tinggi tertular Brucellosis. Kuman brucella sp dapat menembus kulit, konjungtiva dan saluran pencernaan. Dokter hewan biasanya tertular karena memeriksa hewan sakit tanpa menggunakan alat pelindung, saat melakukan vaksinasi dan saat memeriksa spesimen Brucellosis di Laboratorium secara aerosol (Noor, 2006).

2. 5 Diagnosa Brucellosis

Ada berbagai jenis metode pengujian serologis yang digunakan, diantaranya adalah uji Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixetion Test (CFT), Indirect

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA), Competitive ELISA. Uji lain

dapat dilakukan dengan metode Milk Ring Test (MRT), Brucellin Skin Test, Serum Aglutinin Test dan deteksi antigen dengan uji biomolekuler dapat dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Diagnosis serologis adalah faktor yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan pengendalian dan


(5)

pemberantasan. Uji SAT tidak direkomendasikan karena tidak memuaskan dalam perdagangan internasional sedangkan uji CFT lebih spesifik dibandingkan dengan SAT. Uji ELISA secara teknik lebih mudah dan sensitif dibandingkan dengan uji CFT (WOAH, 2009).

Metode I-ELISA digunakan untuk meningkatkan kekhususan metode serologi dan untuk mengetahui apakah antibodi yang dihasilkan dan terlacak karena infeksi alami atau vaksinasi. Metode I-ELISA untuk mendiagnosa Brucellosis pada sapi telah umum dipakai. Kit I-ELISA Brucella abortus memeiliki tiga jenis antigen terkonjugasi (conjugated antigen), yaitu polyclonal conjugated antibody,

monoclonal conjugated antibody dan competitive dengan sLPS dan monoclonal

antibody (Rojas and Alonso, 1997 dalam Prasetya, 2012). Indirect dan

competitive ELISA mampu mengevaluasi metode serologi konvensional, seperti

rivanol aglutinasi, RBT, CFT dan Radial Immunodiffussion. Metode ini mampu mengevaluasi apakah antibodi yang terlacak adalah antibodi karena reaksi atas vaksinasi dengan vaksin Strain 19 atau karena infeksi alami. (Moreno et al.1997 dalam Prasetya, 2012).

Metode ELISA merupakan metode yang menjadi gold standard untuk pemeriksaan serologis yang relatif murah, cepat dan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang sangat baik, (Corbel, 2006).

Brucella sp mampu bertahan hidup pada kondisi kering, terutama bila ada bahan organik dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah (Corbel, 2006). Pada tanah kering bertahan hidup selama 4 hari di luar suhu kamar, tanah lembab bertahan hidup selama 66 hari dan tanah becek bertahan hidup selama 151-185


(6)

hari (Crawfordet et al., 1990 dalam Noor, 2006). Kemampuan daya tahan hidup kuman brucella sp dalam kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang relatif tinggi. Pada air minum ternak, kuman bertahan selama 5-114 hari dan pada air limbah selama 30-150 hari. Sehingga daerah rendah dan ketinggian mempengaruhi lama hidup bakteri.