Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar

i

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENULARAN
Mycoplasma gallisepticum PADA PETERNAKAN AYAM
PETELUR KOMERSIAL DI KABUPATEN BLITAR

DIYANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Seroprevalensi dan
Faktor Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada Peternakan Ayam

Petelur Komersial di Kabupaten Blitar adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Diyantoro
NIM B253130051

iv

RINGKASAN
DIYANTORO. Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma
gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar.
Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN dan EKO SUGENG PRIBADI
Mycoplasma gallisepticum (MG) dapat menyebabkan terjadinya penyakit
Chronic Respiratory Disease (CRD) pada ayam yang merupakan penyakit
endemik pada ternak ayam dan sangat merugikan industri perunggasan tidak saja

di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia. Penyakit CRD masuk dalam
kategori notifiable diseases yang berarti jika terjadi kasus CRD di lapangan harus
segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Belum banyak
peternak yang menyadari bahwa CRD mengakibatkan dampak kerugian ekonomi
dari hulu hingga hilir. Kerugian ekonomi yang terjadi akibat CRD bukan
disebabkan oleh kematian yang tinggi, tetapi disebabkan oleh oleh menurunnya
produksi telur, fertilitas dan daya tetas dalam kisaran 8% sampai 30%, kematian
embrio sebesar 5% sampai 20%, kematian anak ayam sebesar 5% sampai 10%,
kenaikan berat badan terhambat, serta konversi pakan naik.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui besar seroprevalensi MG
pada peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar; (2) memberikan
gambaran peta sebaran kasus CRD peternakan ayam petelur komersial; dan (3)
mengidentifikasi faktor risiko apa saja yang terlibat dalam penularan kasus CRD
di beberapa peternakan di wilayah Kabupaten Blitar.
Disain penelitian ini adalah kajian lapang lintas seksional, yaitu
pengambilan data hanya dilakukan pada satu kali waktu saja. Data yang diambil
berupa data contoh serum darah ayam petelur komersial dan data kuisioner dari
peternak dan pakar perunggasan. Contoh serum darah ayam petelur komersial di
uji di laboratorium dengan teknik uji Rapid Serum Agglutination (RSA). Data
hasil laboratorium diolah untuk mengetahui besarnya angka prevalensi mentah

dan nilai rasio risiko terstandar (standardized risk ratio, SRR). Data dari hasil
kuisioner yang disebarkan kepada peternak diolah menggunakan uji korelasi
Cramer’s V dan regresi logistik dalam program komputer SPSS versi 17,
sedangkan data yang disebarkan kepada pakar perunggasan yang ada di Wilayah
Kabupaten Blitar diolah menggunakan metode Analytical Hierarchy Process
(AHP) dengan bantuan program komputer Expert Choice.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 264 contoh yang diperiksa
ditemukan 26 contoh (9,85%) dengan hasil positif terhadap MG, sedangkan 238
contoh (90,15%) menunjukkan hasil negatif. Hasil positif MG ditemukan di 10
kecamatan dan hasil negatif MG ditemukan di 12 kecamatan. Kecamatan Bakung
memiliki risiko penularan MG paling tinggi (SRR = 5,0), diikuti oleh Kecamatan
Udan Awu dengan nilai SRR 4,0. Kecamatan Gandusari dan Kecamatan
Sutojayan masing-masing memiliki nilai risiko yang sama (SRR = 3,0),
sedangkan kecamatan yang memiliki nilai SRR sama dengan 2,0 terdiri dari lima
kecamatan diantaranya adalah Kecamatan Srengat, Kecamatan Wlingi,
Kecamatan Selopuro, Kecamatan Wonotirto, dan Kecamatan Wates. Kecamatan
Binangun memiliki nilai SRR 1,0 sedangkan Kecamatan lainnya memiliki risiko
penularan MG yang paling rendah (SRR = 0,0).

v


Berdasarkan uji korelasi Cramer’s V menunjukkan bahwa peubah yang
memiliki hubungan sangat nyata (p < 0,01) terhadap hasil pengujian contoh serum
darah ayam petelur komersial di laboratorium adalah penyimpanan pakan (r =
0,252; p = 0,000), jumlah ayam yang dipelihara per kandang (r = 0,232; p =
0,001), pemberian vitamin (r = 0,194; p = 0,007), teknik pemberian pakan (r =
0,197; p = 0,001) dan intensitas penyemprotan kandang (r = 0,198; p = 0,006).
Sedangkan hasil uji analisis regresi logistik pada faktor risiko menunjukkan
bahwa faktor risiko yang berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kejadian
kejadian MG di peternakan ayam petelur komersial adalah jumlah ayam yang
dipelihara dalam satu kandang sebanyak 1501 – 3000 ekor (p = 0,004; OR = 3,4),
jumlah ayam yang dipelihara dalam satu kandang lebih besar dari 3000 ekor (p =
0,001; OR = 6,1), pemberian pakan yang diberikan satu kali dalam sehari (p =
0,002; OR = 0,3), penyemprotan kandang satu kali dalam dua minggu (p = 0,009;
OR = 1,2), dan penyemprotan kandang yang hanya dilakukan satu bulan sekali
atau hanya jika terjadi kasus penyakit (p = 0,006; OR = 3,9).
Berdasarkan analisis AHP pada faktor-faktor risiko penularan MG di
peternakan ayam petelur komersial menunjukkan bahwa faktor risiko jumlah
ayam yang dipelihara per kandang lebih dari 3000 ekor mempunyai bobot yang
paling besar (0,203) dibandingkan faktor-faktor risiko yang lain, diikuti oleh

faktor pemberian vitamin satu sampai dua kali dalam sebulan (0,127) dan yang
hanya dilakukan apabila terjadi kasus penyakit (0,119).
Kata-kata kunci: Mycoplasma gallisepticum, seroprevalensi, faktor risiko, ayam
petelur komersial, Kabupaten Blitar

vi

SUMMARY
DIYANTORO. Seroprevalence and Risk Factors of Mycoplasma gallisepticum
Infection in Commercial Layer Farms in Blitar Regency.
Supervised by I WAYAN TEGUH WIBAWAN dan EKO SUGENG PRIBADI
Mycoplasma gallisepticum (MG) may cause chronic respiratory disease
(CRD) in chickens, an endemic disease in poultry flock and economically
significant disease of poultry industry not only in Indonesia but also in many
countries around the world. CRD are included in the category of notifiable
disease, which means in CRD case occur in the field should be immediately
reported to government to be handled. Only few farmers are aware that CRD
caused economic losses from upstream to downstream. Economic losses is not
caused by high mortality, but is caused by reduced egg production, reduced
fertility and hatchability in the range of 8% to 30%, increased embrio mortality up

to 20%, increased chicks mortality up to 10%, inhibited weight gain, and
increased feed convertion.
This study aims to (1) determine a seroprevalence of MG in commercial
layer farm in Blitar Regency; (2) create an overview map of the distribution of
CRD cases in commercial layer farm; (3) identify any risk factors involved in the
CRD infection in some commercial layer farms in Blitar Regency.
The study was using cross-sectional field study design, in which data was
only taken at one time. The data of blood serum sample of commercial layer and
the data of questionnaire from farmers and poultry experts was collected. Blood
serum sample from commercial layer chickens tested in laboratory using rapid
serum agglutination (RSA) test. Data of laboratory results was processed to
determine the crude seroprevalence rate and standardized risk ratio value. Data
from the questionnaires distributed to farmers were processed using Cramer’s V
correlation test and logistic regression in SPSS version 17, while the data from
poultry expert questionnaires were processed using Analytical Hierarchy Process
(AHP) in Expert Choice computer program.
The results showed that 26 samples of 264 samples tested were found
positive for MG, while 238 were found negative, indicating a share of 9.85%
among of respiratory disease. Positive sample for MG was found in 10 subdistricts and negative sample was found in 12 sub-districts. Bakung sub-district
has the highest risk of MG infection (SRR = 5.0), followed by Udan Awu subdistrict (SRR = 4.0). Gandusari and Sutojayan sub-districts have the same SRR

value (SRR = 3.0), the other five sub-districts (Srengat, Wlingi, Selopuro,
Wonotirto, and Wates sub-districts) only has SRR value 2,0. Binangun subdistrict has SSR value 1,0 while the other sub-district has the lowest risk of MG
infection (SRR = 0.0)
Based on Cramer’s V correlation test showed that the very significant
variables (p < 0.01) of laboratory test results were the feed storage procedure (r =
0.252; p = 0.000), flocking density (r = 0.232; p = 0.001), vitamin intake (r =
0.194; p = 0.007), feeding techniques (r = 0.197; p = 0.001) and intensity of house
disinfection (r = 0.198; p = 0.006). The logistic regression analysis results showed
that the very significant risk factors of MG infection in commercial layer farm
were the flocking density of 1501 to 3000 birds (p = 0.004; OR = 3.4) and higher

vii

(p = 0.001; OR = 6.1), bird feeding once a day (p = 0.002; OR = 0.3), house
disinfection once every two weeks (p = 0.009; OR = 1.2) and once a month or
only in case (p = 0.006; OR = 3.9).
Based on AHP analysis for risk factors of MG infection in commercial layer
farm showed that risk factor for flocking density higher than 3000 birds has the
highest value (0,203) compare with the other factors, followed by vitamin intake
of twice a month (0.127) and vitamin intake only in case of a disease (0.119).

Keywords : Mycoplasma gallisepticum, seroprevalence, risk factors, commercial
layer chicken, Blitar Regency.

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENULARAN
Mycoplasma gallisepticum PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR
KOMERSIAL DI KABUPATEN BLITAR


DIYANTORO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Drh. Fachriyan H. Pasaribu

xi


Judul Tesis : Seroprevalensi dan Faktor Risiko Penularan Mycoplasma
gallisepticum pada Peternakan Ayam Petelur Komersial di
Kabupaten Blitar
Nama
: Diyantoro
NIM
: B253130051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Ketua

Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Mikrobiologi Medik

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Drh. H. Fachriyan H. Pasaribu

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr.

Tanggal Ujian:
17 Juni 2015

Tanggal Lulus:

xii

PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya maka studi dan tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan para
pengikutnya.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr.
Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak
Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS selaku komisi pembimbing yang telah sabar
dan setia meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan saran dalam
proses pembimbingan dan penyelesaian tesis. Terima kasih sebesar-besarnya
penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku
ketua program studi Mikrobiologi Medik serta seluruh dosen program studi
Mikrobiologi Medik beserta tenaga kependidikan yang turut membantu dan
mendukung secara penuh dan konsisten sehingga studi dan penelitian penulis
dapat selesai dengan baik.
Terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mempercayakan dan memberikan
Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dan kesempatan bagi
penulis untuk dapat menjalani proses pendidikan magister di Sekolah
Pascasarjana IPB.
Terima kasih kepada Dinas Peternakan Kabupaten Blitar, dan Pusat
Veteriner Farma, Surabaya, yang telah memfasilitasi dan mendukung secara
penuh terhadap kegiatan penelitian yang saya lakukan.
Terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang dengan ikhlas memberikan
dorongan, semangat dan, doa dalam proses pendidikan magister yang penulis
tempuh. Terima kasih juga diucapkan untuk seluruh keluarga besar yang turut
memotivasi dan menginspirasi penulis selama menjalani perkuliahan.
Terima kasih kepada teman-teman kelas MKM Reguler tahun 2013 yang
selalu kompak, semangat, dan sukacita dalam menempuh pendidikan magister
bersama-sama. Terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman MKM tahun
2012 yang telah memberikan warna dan keceriaan saat proses pendidikan di
Program Studi Mikrobiologi Medik, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Semoga bantuan, dukungan, dorongan, dan perhatian dari semua pihak yang
telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari
Allah SWT. Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan
adanya saran dan kritik yang dapat membangun di masa mendatang. Semoga tesis
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juni 2015

Diyantoro

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis penelitian

1
2
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Mekanisme Infeksi
Gejala Klinis dan Patologik
Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian
Kabupaten Blitar

3
3
4
4
5

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Rancangan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan Contoh Serum Darah
Teknik Uji RSA (Rapid Serum Agglutination)
Analisa Data

5
5
5
6
7
7
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Antibodi Spesifik MG
Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pemeliharaan
Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Kesehatan
Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pakan
Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Biosekuriti Peternakan
Pemetaan Besar Risiko Penularan Mycoplasma gallisepticum pada
Peternakan Ayam Petelur Komersial di Kabupaten Blitar
Hasil Uji Korelasi dan Regresi Logistik pada Kuisioner Peternak
Hasil Analisis Faktor Risiko dengan AHP

13
13
15
17
18
19
22
26

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

30
30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

33

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Pembagian kelas tiap kecamatan berdasarkan nilai SRR yang diperoleh
Bobot penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP (Saaty 2001)
Interpretasi indeks konsistensi
Prevalensi antibodi spesifik MG tiap kecamatan
Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan
Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan kesehatan
Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pakan
Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam biosekuriti peternakan
Persentase jumlah ayam petelur komersial di Kabupaten Blitar
Hasil penghitungan nilai SRR untuk tiap kecamatan
Interpretasi nilai Koefisien Korelasi (nilai r)
Data hasil uji korelasi Cramer’s V
Data hasil uji regresi logistik pada faktor risiko penularan MG
pada peternakan ayam petelur komersial

9
10
12
14
15
16
17
18
20
21
22
22
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

6
7

Peta wilayah Kabupaten Blitar
Skema penyusunan hirarki
Diagram alir penelitian
Peta chloropleth berdasarkan persentase jumlah ayam petelur komersial
di 22 kecamatan di Kabupaten Blitar
Peta chloropleth yang menunjukkan nilai SRR dari prevalensi
Mycoplasma gallisepticum pada peternakan ayam petelur
di Kabupaten Blitar
Grafik bobot risiko penularan MG pada peternakan ayam petelur
komersial
Grafik bobot faktor risiko penularan MG pada peternakan ayam
petelur komersial

6
11
12
19

21
26
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Data prevalensi Mycoplasma gallisepticum di wilayah
Kabupaten Blitar dan nilai SRR tiap kecamatan
Kuisioner peternak mengenai kondisi peternakan
yang dikelolanya
Hasil uji korelasi Cramer’s V dengan SPSS versi 17
Hasil uji regresi logistik dengan SPPS versi 17
Kuisioner untuk pakar dalam bidang perunggasan
Hasil analisis kuisioner pakar dalam perunggasan dengan AHP

33
34
38
42
45
54

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan populasi ayam dari tahun ke tahun di Indonesia semakin
meningkat walaupun banyak kendala yang sering dihadapi. Perkembangan juga
terlihat dari mutu ayam, tingkat produktifitas, hingga pengelolaan pemeliharaan.
Dalam upaya meningkatkan produktifitas ternak ayam, faktor pengelolaan
peternakan harus diterapkan secara optimal, diantaranya pengelolaan kandang,
pengelolaan pakan, dan pengelolaan kesehatan.
Beberapa mikroorganisme patogen dapat menjadi kendala dalam upaya
meningkatkan populasi ayam dan beberapa diantaranya dapat menyerang saluran
pernafasan. Salah satu diantaranya adalah Mycoplasma gallisepticum (MG), yang
merupakan agen penyakit yang sangat penting bagi pembangunan peternakan di
Indonesia. Infeksi yang disebabkan oleh MG dikenal sebagai Chronic Respiratory
Disease (CRD) pada ayam dan sinusitis menular pada kalkun (Ley 2008).
Penyakit CRD merupakan penyakit endemik pada ternak ayam yang sangat
merugikan industri perunggasan tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak
negara di dunia (BPPH 2007; Ley 2008). Menurut OIE (2008), CRD masuk dalam
kategori notifiable diseases yang berarti jika terjadi kasus CRD di lapangan harus
segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Belum banyak
peternak yang menyadari bahwa CRD mengkibatkan dampak kerugian ekonomi
dari hulu hingga hilir (Buim et al. 2009). Penyakit ini juga menyebabkan kondisi
imunosupresif pada tubuh ayam yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
vaksinasi (Szathmary dan Stipkovits 2006). Selain itu, ayam yang terinfeksi
menjadi pembawa patogen yang mengakibatkan wilayah tempat peternakan
terinfeksi menjadi daerah endemik. Kerugian ekonomi yang terjadi akibat CRD
bukan disebabkan oleh kematian yang tinggi, tetapi disebabkan oleh oleh
menurunnya produksi telur, fertilitas dan daya tetas dalam kisaran 8% sampai
30%, kematian embrio sebesar 5% sampai 20%, kematian anak ayam sebesar 5%
sampai 10%, kenaikan berat badan terhambat, serta konversi pakan naik (Yilmaz
et al. 2011; Soeripto 2001). Mortalitas penyakit rendah kecuali terjadi infeksi
sekunder oleh patogen lainnya, tetapi morbiditas dapat mencapai 100% (Yilmaz et
al. 2011).
Pengobatan CRD biasanya dilakukan menggunakan antibiotika. Namun,
pengobatan ini dinilai tidak efektif karena predileksi dari bakteri M. gallisepticum
di kantung udara (saccus pneumaticus) yang memiliki sedikit vaskularisasi
sehingga antibiotika yang diberikan tidak dapat menjangkau patogen (Buim
2007). Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama tidak disarankan,
karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu yang berbahaya
bagi masyarakat yang makan daging ayam (CSE 2014).
Kejadian CRD di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Richey dan
Dirdjosoebroto (1965). Sekarang penyakit ini sudah tersebar di seluruh Indonesia
(Soeripto 2000; BPPH 2007). Penyebaran infeksi MG dapat terjadi secara
horizontal dan vertikal (Ley 2008). Penyebaran secara horizontal dapat terjadi
secara langsung melalui udara atau percikan air liur terhadap ayam yang peka di
sekitarnya. Sedangkan secara tidak langsung dapat melalui pakan, air minum,
peralatan dan pakaian pekerja yang tercemari oleh MG (Ley 2008). Penyebaran

2

secara vertikal dapat terjadi melalui indung telur atau oviduct (Mettifogo dan
Ferreira 2007). Kejadian penyebaran vertikal biasanya tinggi pada fase akut tetapi
rendah pada fase kronik (Levisohn dan Kleven 2000; Soeripto 2000).
Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan peningkatan risiko penularan
penyakit di kelompok peternakan ayam antara lain peningkatan kontak dengan
manusia, keberagaman umur dalam satu kelompok, perpindahan mesin-mesin
peternakan antar kelompok, keberadaan burung liar, minimnya ventilasi untuk
mengurangi jumlah amoniak dan debu, tidak adanya pembuangan kotoran secara
rutin, kurang teraturnya pembersihan kandang dan pembuangan bangkai, dan
tidak adanya proses pembuangan alas kandang sebelum memasukkan ayam baru
(Sims 2009).
Perumusan Masalah
Kejadian CRD tidak hanya pada ayam pembibit saja, tetapi juga terjadi pada
ayam komersial di seluruh Indonesia (Romindo 2007; BPPH 2007). Kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh CRD mencapai nilai yang cukup besar, baik di
Indonesia maupun di Amerika Serikat (Soeripto 2002; Vance et al. 2008).
Populasi ternak ayam petelur komersial yang terbesar adalah di Kabupaten Blitar.
Pengawasan dan pencatatan kejadian penyakit CRD di lapangan di Indonesia
belum dilakukan dengan baik. Penyakit CRD merupakan penyakit yang berkaitan
erat dengan pengelolaan pemeliharaan sehingga pengelolaan yang baik dapat
menekan kasus di lapangan. Oleh karena itu, rumusan masalah dari penelitian ini
adalah
1. berapa seroprevalensi MG pada peternakan ayam petelur komersial di
Kabupaten Blitar?
2. bagaimana gambaran persebaran kasus CRD peternakan ayam petelur
komersial?
3. faktor risiko apa saja yang terlibat dalam penularan kasus CRD di beberapa
peternakan di wilayah Kabupaten Blitar?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah
1. untuk menentukan besar seroprevalensi MG pada peternakan ayam
petelur komersial
2. mengetahui pola persebaran kasus CRD
3. menentukan faktor-faktor risiko yang terlibat dalam penularan kasus
CRD di beberapa peternakan di wilayah Kabupaten Blitar
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
pada peternak mengenai faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi penularan
MG pada peternakan ayam petelur sehingga dapat dijadikan landasan dalam
upaya pencegahan munculnya kasus CRD di peternakan dan dapat meningkatkan
produktifitas peternakannya.

3

Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah peternakan yang
mengendalikan faktor-faktor risiko menurunkan angka seroprevalensi infeksi MG.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Penyebab utama kasus CRD adalah Mycoplasma gallisepticum (MG).
Patogen MG merupakan organisme prokariotik terkecil yang masuk dalam kelas
Molicutes dan memiliki dinding sel lunak (Ley 2008). Sel MG tersusun atas tiga
lapis membran plasma yang elastis. Oleh karena itu, MG tahan terhadap penisilin
dan turunannya yang menjadikan dinding sel sebagai sasaran kerjanya (Buim
2007). Ukuran sel MG beragam antara 0,2 - 0,8 μm dan berbentuk pleomorfik
yang beragam mulai dari sperikal atau seperti “buah pir” sampai filamen
bercabang atau helikal (Ley 2008). Sel MG dapat diwarnai dengan pewarnaan
Gram atau Giemsa. Koloni yang tumbuh pada media agar pleuropneumonia-like
organisms (PPLO) seperti “telur mata sapi” dengan ukuran sel berkisar dari 0,1
sampai 1,0 cm dengan bentuk bulat, permukaan halus dan di tengahnya terdapat
bagian yang padat dan menonjol yang disebut bleb (Tajima et al. 1982). Sel MG
sangat rentan terhadap suhu udara luar, dan dapat bertahan hidup di luar tubuh
ayam selama satu hari pada suhu 37 oC atau sampai tiga hari pada suhu 20 oC
(Ley 2008).
Mekanisme Infeksi
Patogen MG masuk melalui rongga hidung dan kemudian melekat pada
reseptor epitel yang disebut sialoglycoprotein (patron recognition receptors sites)
yang diperantarai oleh adhesin dan protein yang disebut bleb (pathogen associate
molecular patrons) yang terletak di ujung organ sel MG (Tajima et al. 1979;
Tajima et al. 1982). Selanjutnya, sel MG melakukan penetrasi dan merusak
mukosa epitel sambil memperbanyak diri. Sel MG bergerak menuju kantong
membran udara abdominal dengan gerakan silia epitel dan bleb (Szathmary dan
Stipkovits 2006). Infeksi MG juga masuk ke indung telur (oviduct) sehingga
menyebabkan penularan secara vertikal. Peradangan yang terjadi pada jaringan
epitel bukanlah akibat dari toksin MG, tetapi lebih disebabkan oleh adanya
tanggap kebal dari inang yang berbentuk reaksi peradangan (Razin et al. 1998).
Proses peradangan ini menyebabkan terhambatnya perkembangan sel T helper 1
(Th1) sehingga sel T sitotoksik menjadi tidak aktif yang mengakibatkan infeksi
patogen menjadi menetap. Akibat lainnya adalah karena terjadi peningkatan tumor
necrosis factor α (TNFα) yang dihasilkan dan mengakibatkan tanggap sel Th2
menurun. Hal ini menyebabkan tanggap netralisasi antibodi terhadap infeksi
bakteri juga menurun drastis (Szathmary dan Stipkovits 2006). Kondisi ini
menjelaskan kenapa infeksi MG menyebabkan kondisi imunosupresif pada ayam
yang terinfeksi MG.

4

Gejala Klinis dan Patologik
Gejala ayam yang menderita CRD beragam yang umumnya memperlihatkan
kesulitan bernafas tergantung dari derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali
dengan keluarnya cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung, bersin,
batuk, ngorok dan radang konjungtiva (conjunctivitis). Ayam jantan biasanya
memperlihatkan gejala klinis yang lebih jelas (Ley 2008). Jika infeksi berlanjut
dan disertai infeksi sekunder maka eksudat hidung yang keluar menjadi agak
kental. Gejala pernafasan ini kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan,
berat badan dan produksi telur, dan naiknya konversi pakan. Gejala pernafasan
tidak khas dan bisa dikelirukan dengan penyakit pernafasan lainnya, seperti
infectious coryza (snot), newcastle disease (ND) atau infectious bronchitis (IB).
Gejala klinis akan terlihat lebih parah bila sudah melibatkan infeksi lainnya
(infeksi sekunder), seperti infeksi Escherichia coli atau virus (Ley 2008).
Perubahan patologik yang paling spesifik untuk CRD adalah adanya
peradangan pada trakhea dan kantong membran udara, khususnya pada rongga
perut, yang disebut dengan airsacculitis. Oleh karena itu, penyakit ini sering
disebut juga dengan airsac disease (Shane 2005). Faktor predisposisi yang dapat
memperparah terjadinya infeksi adalah umur, jenis kelamin, cekaman, bau
amoniak, lingkungan yang berdebu serta perubahan suhu yang mendadak
(Levisohn dan Kleven 2000).
Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian
Pengobatan terhadap CRD sudah sering dilakukan tetapi hingga saat ini
kasus CRD masih terjadi dan tersebar di seluruh dunia. MG diketahui tidak
memiliki dinding sel sehingga pengobatan tidak bisa dilakukan dengan
menggunakan penisillin dan turunannya karena sasaran kerja antibiotika ini
adalah pada dinding sel MG (Buim 2007). Program pencegahan kasus CRD pada
ayam secara nasional belum diterapkan di Indonesia. Di Amerika, pengendalian
penyakit yang disebabkan oleh infeksi MG ini sudah diterapkan dalam program
National Poultry Improvement Plan sehingga penyebaran kasus CRD dapat
dikendalikan. Anak ayam harus berasal dari induk yang bebas dari infeksi MG
karena infeksi MG dapat terjadi secara vertikal. Kondisi ini sulit dipenuhi di
Indonesia karena peternakan ayam pembibit tidak ada yang bebas dari CRD
(Soeripto 2000; BPPH 2007). Padahal, Kementan (2011) sudah mengatur dalam
peraturan menteri pertanian tentang pedoman pembibitan ayam ras yang baik
bahwa penjualan anak ayam bibit antar pulau atau daerah baru dapat dilakukan
jika perusahaan peternakan pembibitan tidak terjangkit penyakit unggas menular,
terutama termasuk CRD sekurang-kurangnya selama 6 bulan terakhir. Oleh
karena itu, program biosekuriti dan kesehatan pada peternakan pembibit perlu
diutamakan dan harus terus ditingkatkan untuk memutus mata rantai bibit
penyakit yang masuk ke dalam peternakan.

5

Kabupaten Blitar
Kabupaten Blitar merupakan Kabupaten yang terletak di Pulau Jawa bagian
Timur. Keberadaan Sungai Brantas membagi wilayah Kabupaten Blitar menjadi
dua wilayah, yaitu wilayah Kabupaten Blitar Bagian Utara dan Wilayah
Kabupaten Blitar Bagian Selatan (Gambar 1). Wilayah Kabupaten Blitar Bagian
Utara memiliki struktur tanah yang lebih subur dibandingkan dengan wilayah
Kabupaten Blitar Bagian Selatan. Hamparan wilayah Kabupaten Blitar merupakan
daerah dengan ketinggian rata-rata ±100 meter di atas permukaan air laut.
Kabupaten Blitar berada di sebelah selatan garis khatulistiwa dan sama dengan
wilayah lain di Indonesia yang mempunyai dua jenis musim pada setiap tahunnya,
yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kabupaten Blitar terdiri dari 22
kecamatan. Jumlah populasi unggas yang paling banyak di dominasi oleh ayam
ras petelur sebanyak 15.336.300 ekor. Berikut jumlah populasi ayam ras petelur
berdasarkan tiap kecamatan yang ada : Bakung (103.400 ekor), Wonotirto (88.670
ekor), Panggungrejo (135.500 ekor), Wates (106.100 ekor), Binangun (44.100
ekor), Sutojayan (45.000 ekor), Kademangan (97.800 ekor), Kanigoro (105.800
ekor), Talun (106.500 ekor), Selopuro (85.400 ekor), Kesamben (1.456.200 ekor),
Selorejo (1.242.700 ekor), Doko (563.200 ekor), Wlingi (2.308.800 ekor),
Gandusari (1.303.100 ekor), Garum (1.082.000 ekor), Nglegok (2.322.000 ekor),
Sanankulon (588.200 ekor), Ponggok (686.700 ekor), Srengat (2.059.200 ekor),
Wonodadi (483.100 ekor), Udanawu (323.700 ekor) (BPS 2013).

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan Desember 2014
hingga Februari 2015. Pengambilan contoh serum darah ayam petelur komersial
dilakukan di Kabupaten Blitar dan pemeriksaan contoh dilakukan di Laboratorium
Peningkatan Mutu dan Pengembangan Produksi (PMPP), Pusat Veteriner Farma,
Surabaya.
Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah ayam
petelur komersial sebanyak 264 contoh dari ayam yang berbeda yang diambil
secara acak, dan antigen MG (Pusvetma). Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah siring 3 ml, tabung serum, lemari pendingin, lempeng kaca, alat
pengaduk, pipet mikro, dan kuisioner.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian lapang lintas seksional yang menggunakan
dua jenis data, yaitu data hasil serologik di laboratorium dan data hasil wawancara
dengan pemilik peternakan untuk mengetahui prevalensi, mengidentifikasi dan
menyidik faktor risiko yang berpengaruh terhadap penularan MG di peternakan

6

ayam petelur komersial. Rancangan penelitian ini terdiri dari metode
pengumpulan data, pengumpulan contoh serum darah, uji Rapid Serum
Agglutination (RSA) dan analisis data. Besaran contoh dalam penelitian ini
dihitung menggunakan rumus :
n =

4PQ
L2

dengan
n = Besaran contoh
P = Prevalensi dugaan
Q = (1 – p)
L2 = Tingkat kesalahan maksimum yang dapat diterima (Martin et al. 1987).
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai prevalensi dugaan
20% pada tingkat kepercayaan sebesar 95% dan tingkat kesalahan sebesar 5%
sehingga diperoleh contoh sebesar 256 ekor ayam. Pengambilan contoh
dilakukan menggunakan metode cluster sampling dengan cara tiap kecamatan
mendapatkan jumlah contoh yang sama, sehingga jumlah contoh yang diambil
sebanyak 264. Dari setiap kecamatan diambil satu peternakan yang dipilih
berdasarkan adanya ayam yang menderita gangguan pernafasan. Setiap
peternakan terpilih diambil masing-masing sebanyak 12 contoh.

Keterangan :
1. Udan Awu
2. Wonodadi
3. Ponggok
4. Srengat
5. Sanankulon
6. Kanigoro
7. Nglegok
8. Garum
9. Gandusari
10.Wlingi
11.Talun
12.Doko

13. Selopuro
14. Kesamben
15. Selorejo
16. Kademangan
17. Bakung
18. Sutojayan
19. Wonotirto
20. Panggungrejo
21. Binangun
22. Wates

Gambar 1 Peta wilayah Kabupaten Blitar
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
pengamatan, baik secara langsung terhadap obyek penelitian dengan tujuan untuk
memahami kondisi masing-masing peternakan yang sebenarnya, maupun melalui

7

kegiatan wawancara yang dituangkan dalam pemberian kuisioner yang berupa
kuisioner semantik differensial untuk masing-masing peternak pada peternakan
yang telah dipilih sebagai contoh, serta data diperoleh dari hasil analisis contoh
serum di laboratorium. Penyebaran kuisioner juga dilakukan kepada beberapa
pakar di bidang perunggasan yang ada di wilayah Kabupaten Blitar. Sedangkan
informasi yang diamati dan tertuang dalam kuisioner meliputi faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penularan MG seperti
1. Manajemen pemeliharaan yang, jumlah ayam per kandang, umur ayam yang
sedang dipelihara, dan tipe kandang.
2. Manajemen kesehatan yang meliputi pemberian vaksin, antibiotika, dan
vitamin.
3. Manajemen pakan yang meliputi penyimpanan pakan dan teknik pemberian
pakan.
4. Biosekuriti peternakan yang meliputi desinfeksi pengunjung atau pegawai,
intensitas truk pakan kedalam peternakan, cara penyemprotan kandang,
penanganan ayam mati.
Pengumpulan Contoh Serum Darah
Contoh dikumpulkan dari ayam petelur komersial dari beberapa peternakan.
Darah diambil dari pembuluh darah balik sayap dengan menggunakan siring 3 ml
dan diletakkan pada suhu ruang selama 1 – 2 jam hingga serum terpisah. Serum
dari masing-masing contoh dimasukkan ke dalam tabung serum dan disimpan
pada suhu 4 oC sampai dilakukan pengujian terhadap MG menggunakan uji RSA.
Teknik Uji RSA (Rapid Serum Agglutination)
Teknik uji RSA dilakukan menurut panduan dari Farmakope Obat Hewan
Indonesia (FOHI 2013). Teknik uji RSA dilakukan dengan cara mencampur
serum yang akan diuji dengan antigen MG. Sebanyak 60 µl antigen dan 30 µl
serum ayam diletakkan pada lempeng kaca dengan posisi bersampingan
menggunakan pipet mikro. Kemudian antigen dan serum dicampur menggunakan
alat pengaduk sehingga serum dan antigen tercampur secara merata. Pembacaan
reaksi aglutinasi dilakukan dua menit setelah pencampuran. Kriteria pembacaan
reaksi adalah sebagai berikut :
1. (-)
= tidak terjadi reaksi aglutinasi (penggumpalan),
2. (+)
= terjadi reaksi penggumpalan halus,
3. (++)
= reaksi penggumpalan terlihat agak kasar,
4. (+++)
= reaksi penggumpalan terlihat kasar dan jelas,
5. (++++)
= reaksi penggumpalan terlihat sangat kasar, sangat jelas dan
menyeluruh.
Adanya penggumpalan antara antigen dan serum menunjukkan bahwa
serum tersebut mengandung antibodi terhadap MG. Contoh dicatat sebagai positif
dan dimasukkan dalam penghitungan persentase seroprevalensi hanya pada
contoh serum yang memiliki nilai aglutinasi (++) atau lebih besar.

8

Analisa Data
Data yang diperoleh merupakan data hasil uji laboratorium dan data hasil
penyebaran kuisioner. Data hasil laboratorium diolah untuk mengetahui besarnya
angka prevalensi mentah dan nilai SRR masing-masing wilayah. Rumus
menentukan angka prevalensi mentah.
AP=

Jumlah contoh positif
Jumlah contoh yang diambil

Nilai SRR tiap kecamatan dihitung dengan cara membagi jumlah contoh
positif perkiraan dengan nilai harapannya. Jumlah contoh positif perkiraan tiap
kecamatan dapat dihitung dengan rumus berikut :
yi = ni x AP
dengan
yi
ni
AP

= Jumlah contoh positif perkiraan di kecamatan i
= Jumlah populasi ayam di kecamatan i
= Angka prevalensi mentah

Untuk mengetahui nilai harapannya dihitung dengan rumus :

μˆ i = ni

∑yi
∑ni

dengan
�i
ni
∑yi
∑ni

= Nilai harapan rataan dari kecamatan i
= Jumlah populasi dari kecamatan i
= Jumlah total contoh positif perkiraan di Kabupaten Blitar
= Jumlah total populasi ayam petelur di Kabupaten Blitar

Sehingga dapat diperoleh rumus untuk mengetahui nilai SRR dari masing-masing
kecamatan sebagai berikut

SRR i 

yi

̂ i

dengan
SRRi = Nilai SRR dari kecamatan i
yi
= Jumlah contoh positif perkiraan di kecamatan i
= Nilai harapan dari kecamatan i
̂ i
(Dohoo et al. 2003)

9

Semua kecamatan dibagi menjadi lima kelas berdasarkan nilai SRR seperti yang
terpapar dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Pembagian kelas tiap kecamatan berdasarkan nilai SRR yang diperoleh
Kelas
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5

Nilai SRR
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0

Risiko
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi

Untuk membuat gambaran peta chloropleth dari nilai SRR tiap kecamatan
di Kabupaten Blitar, maka data hasil uji laboratorium akan dianalisis
menggunakan Quantum GIS versi 1.8.0. Data dari hasil kuisioner yang disebarkan
kepada peternak diolah menggunakan uji korelasi Cramer’s V dan regresi logistik
dalam program komputer SPSS versi 17. Sedangkan data yang disebarkan kepada
pakar perunggasan yang ada di Wilayah Kabupaten Blitar diolah menggunakan
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan program komputer
Expert Choice. Secara garis besar prosedur AHP menurut Saaty (2001) adalah
sebagai berikut
1. Dekomposisi masalah atau menyusun hirarki
Dekomposisi masalah atau menyusun hirarki adalah langkah untuk
menetapkan suatu tujuan yang selanjutnya diuraikan secara sistematik ke dalam
struktur yang menyusun rangkaian sistem hingga tujuan dapat dicapai secara
rasional. Dengan kata lain, satu tujuan yang utuh dipecah ke dalam unsur-unsur
penyusunnya. Hirarki I adalah tujuan yang akan dicapai. Hirarki II adalah kriteria
apa saja yang harus dipenuhi oleh semua alternatif agar layak untuk menjadi
pilihan yang paling ideal. Hirarki III adalah alternatif atau pilihan penyelesaian
masalah. Penetapan hirarki adalah sesuatu yang sangat relatif dan sangat
bergantung dari persoalan yang dihadapi. Hirarki pada penelitian ini terpapar pada
Gambar 2.
2. Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen
Penilaian perbandingan berpasangan dilakukan pada hirarki III dan hirarki
II. Penilaian pada hirarki III dimaksudkan untuk membandingkan nilai pilihan
berdasarkan kriteria yang ada. Penilaian pada hirarki II dimaksudkan untuk
membandingkan nilai-nilai pada masing-masing kriteria untuk mencapai tujuan
sehingga diperoleh pembobotan tingkat kepentingan dari masing-masing kriteria
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tatakerja penilaian perbandingan
berpasangan dalam AHP mengacu pada bobot penilaian yang telah dikembangkan
oleh Saaty (2001) seperti yang terpapar dalam Tabel 2 berikut.

10

Tabel 2 Bobot penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP (Saaty 2001)
Intensitas
pentingnya
1
3
5
7
9
2,4,6,8

Definisi
Kedua elemen/alternatif sama pentingnya (equal)
Elemen A sedikit lebih esensial dari elemen B (moderate)
Elemen A lebih esensial dari elemen B (strong)
Elemen A jelas lebih esensial dari elemen B (very strong)
Elemen A mutlak lebih esensial dari elemen B (very strong)
Nilai-nilai antara diantara dua perimbangan yang berdekatan

Dalam penilaian perbandingan berpasangan ini berlaku hukum aksioma
resiprokal, artinya apabila suatu elemen A dinilai lebih esensial (5) dibandingkan
dengan elemen B, maka elemen B lebih esensial 1/5 dibandingkan dengan elemen
A. Apabila elemen A sama pentingnya denggan elemen B maka masing-masing
bernilai 1.
3. Penyusunan matriks dan uji konsistensi
Penyusunan matriks berpasangan digunakan untuk melakukan normalisasi
bobot tingkat kepentingan pada tiap-tiap elemen pada hirarkinya masing-masing.
Uji konsistensi dilakukan pada masing-masing kuisioner. Kuisioner yang tidak
memenuhi syarat dapat dianulir untuk perbaikan. Prinsip dasar pada uji
konsistensi adalah apabila A lebih penting dari B, kemudian B lebih penting dari
C, maka tidak mungkin C lebih penting dari A. Tolak ukur yang digunakan adalah
indeks konsistensi (CI, consistency index) seperti yang terpapar dalam Tabel 3
berikut.
Tabel 3 Interpretasi indeks konsistensi
Indeks
konsistensi
0
≤ 0,1
> 0,1
≥ 0,9

Interpretasi
Penilaian sangat konsisten
Penilaian cukup konsisten
Penyusunan matriks perlu diperbaiki
Penilaian sangat acak dan tidak dapat dipercaya

4. Penetapan prioritas pada masing-masing hirarki dan sintesis dari prioritas
Penetapan prioritas pada tiap-tiap hirarki dilakukan melalui proses iterasi
atau perkalian matriks.
5. Pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan dilakukan dengan mengakumulasi nilai kepekaan
masing-masing elemen.

11

Hirarki I

Hirarki II

Hirarki III

Manajemen
pemeliharaan

Faktor risiko penularan MG
pada peternakan

Manajemen
kesehatan

 Jumlah ayam per
kandang
 Umur ayam sedang
dipelihara
 Tipe kandang

 Vaksinasi
 Pemberian
antibiotika
 Pemberian
vitamin

Manajemen
pakan

 Penyimpanan
pakan
 Teknik
pemberian
pakan

Gambar 2 Skema penyusunan hirarki.

Biosekuriti
peternakan

 Desinfeksi
pengunjung
 Intensitas
truk
pakan
 Cara
semprot
kandang
 Penanganan
ayam mati

12

Peternakan

Pengambilan
darah ayam

Penyebaran
kuisioner

Preparasi
serum

Kuisioner
untuk peternak

Uji RSA

Data hasil
pengujian serum

Analisa data

Kuisioner
untuk pakar
bidang
perunggasan

Analisa data dengan
metode AHP

Analisa data melalui :
 Angka prevalensi mentah
 Nilai SRR
Expert Choice
Mapping
Faktor risiko

Gambar 3 Diagram alir penelitian.

13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Antibodi Spesifik MG
Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kabupaten Blitar
menggunakan 264 contoh serum darah ayam petelur komersial. Contoh diambil
dari 22 kecamatan, dan tiap kecamatan diambil satu peternakan berdasarkan
adanya ayam yang menderita gangguan pernafasan. Setiap peternakan terpilih
diambil masing-masing sebanyak 12 contoh. Hasil pengujian laboratorium
menunjukkan bahwa dari 264 contoh yang diperiksa ditemukan 26 contoh
(9,85%) menunjukkan hasil positif terhadap MG, sedangkan 238 contoh (90,15%)
menunjukkan hasil negatif. Hasil positif MG ditemukan di 10 kecamatan dan hasil
negatif MG ditemukan di 12 kecamatan. Jika dilakukan perbandingan terhadap
seropositif MG antar kecamatan, maka didapatkan bahwa Kecamatan Bakung
memiliki persentase seropositif paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan
lainnya, yaitu sebesar 41,67%.
Belum terdapat ketentuan ambang batas minimum keberadaan antibodi MG
pada peternakan ayam petelur baik di dunia maupun di Indonesia. Akan tetapi,
menurut McMartin et al. (1987) bahwa penularan MG pada flok dapat dijelaskan
dalam empat fase yaitu (1) fase laten (12 – 21 hari) sebelum antibodi pertama kali
terdeteksi pada ayam terinfeksi; (2) rentang waktu (1 – 21 hari) dimana infeksi
secara bertahap muncul pada 5 – 10 % dari populasi; (3) rentang waktu (7 – 32
hari) dimana 90 – 95% dari sisa populasi ditemukan antibodi terhadap MG; (4)
fase terminal (3-19 hari) dimana sisa populasi menjadi positif (McMartin et al.
1987). Hasil positif keseluruhan sebesar 9,85% yang didapatkan cukup potensial
untuk meningkatkan angka prevalensi MG pada peternakan.
Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Pemeliharaan
Kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan yang diteliti dalam penelitian ini
meliputi umur ayam pada saat pembelian, jumah ayam yang dipelihara per
kandang, umur ayam yang sedang dipelihara, tipe kandang, keberadaan lalat pada
pakan dan kandang, dan keberadaan tikus pada kandang. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa jumlah ayam yang dipelihara per kandang lebih besar dari
3000 ekor memberikan kontribusi paling besar terhadap besarnya kejadian
penularan MG di peternakan. Berdasarkan umur ayam pada saat pembelian
menunjukkan bahwa peternakan yang membeli ayam fase pullet atau ayam dara
memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan yang
membeli DOC (Day Old Chick). Hal itu mungkin diakibatkan karena ayam yang
dibeli ketika sudah fase pullet telah terinfeksi pada peternakan sebelumnya akan
tetapi sejarah penyakit tidak tercatat. Peternakan yang memelihara ayam sejak
mulai DOC memudahkan peternakan dalam menerapkan pengelolaan
pemeliharaan yang baik sehingga risiko penularan dapat diperkecil.
Hasil analisis deskriptif pada jumlah ayam yang dipelihara per kandang
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah ayam dipelihara semakin besar
prevalensi MG. Hossain et al. (2007) juga mengemukakan bahwa tingkat infeksi
MG tertinggi pada flok besar (51,4%) dibandingkan dengan salah satu flok yang
lebih kecil (41,3%). Tingkat infeksi tertinggi pada flok yang lebih besar dapat

14

dihubungkan dengan buruknya pengelolaan pemeliharaan selain penularan MG
secara horizontal dari dari ayam satu ke ayam lainnya. Kepadatan populasi ini
menyebabkan lingkungan udara menjadi rentan terhadap penyebaran infeksi di
daerah tersebut. Demikian pula pada hasil analisis peubah jumlah ayam yang
sedang dipelihara yang menunjukkan bahwa semakin tua umur ayam yang sedang
dipelihara semakin besar angka prevalensi MG. Berbeda dengan yang dilaporkan
oleh Sikder et al. (2005), infeksi MG tertinggi ditemukan pada ayam petelur umur
18 minggu (71,42%) dan terendah pada umur 63 minggu (55,17%). Demikian
pula Hossain et al. (2010) yang mencatat bahwa prevalensi MG lebih tinggi pada
ayam yang lebih muda dibandingkan dengan ayam yang lebih tua. Hal ini dapat
dihubungkan dengan besarnya frekuensi paparan MG pada ayam, frekuensi
paparan pada ayam yang lebih tua mungkin lebih tinggi daripada ayam yang lebih
muda sehingga kadar antibodi yang ada dalam tubuh lebih banyak sehingga hasil
uji aglutinasi dapat terbaca positif. Infeksi MG pada ayam bersifat kronis. Peubah
desinfeksi kandang menunjukkan bahwa semakin sering melakukan desinfeksi
kandang dapat mengurangi penularan MG di peternakan. Penelitian yang
dilakukan Adell et al. (2014) menemukan bahwa penyemprotan menggunakan
desinfektan spektrum luas lewat kurang efektif menurunkan kandungan MG di
udara.
Tabel 4 Prevalensi antibodi spesifik MG tiap kecamatan.
Kecamatan
1. Udan Awu
2. Wonodadi
3. Ponggok
4. Srengat
5. Sanankulon
6. Kanigoro
7. Nglegok
8. Garum
9. Gandusari
10. Wlingi
11. Talun
12. Doko
13. Selopuro
14. Kesamben
15. Selorejo
16. Kademangan
17. Bakung
18. Sutojayan
19. Wonotirto
20. Panggungrejo
21. Binangun
22. Wates
Total

Hasil uji laboratorium
Positif
Negatif
4
8
0
12
0
12
2
10
0
12
0
12
0
12
0
12
3
9
2
10
0
12
0
12
2
10
0
12
0
12
0
12
5
7
3
9
2
10
0
12
1
11
2
10
26
238

Jumlah
contoh
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
12
264

Persentase
positif (%)
33,33
0,00
0,00
16,67
0,00
0,00
0,00
0,00
25,00
16,67
0,00
0,00
16,67
0,00
0,00
0,00
41,67
25,00
16,67
0,00
8,33
16,67
9,85 (26/238)

15

Prevalensi ayam yang dipelihara pada kandang baterai lebih besar
diakibatkan oleh sarana penularan penyakit seperti tempat minum berupa paralon
terbuka yang biasa digunakan untuk ayam petelur di kandang baterai. Jika ada
salah satu ayam yang terserang CRD, maka saat minum eksudat dari hidung ayam
tersebut akan mencemari air minum. Akibatnya pada saat ayam melakukan
aktivitas air minum, bakteri MG dapat menginfeksi. Adanya lalat pada pakan dan
kandang, dan adanya tikus pada kandang dapat meningkatkan prevalensi MG
pada peternakan ayam petelur komersial, dengan besar prevalensi 13,46% dan
16,67% berturut-turut.
Tabel 5 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan pemeliharaan
Peubah
Umur ayam beli:
DOC
b. Pullet
Jumlah ayam yang dipelihara
per kandang
500 – 1500 ekor
1501 – 3000 ekor
> 3000 ekor
Umur ayam yang sedang dipelihara
1 – 10 minggu
11 – 20 minggu
21 – 30 minggu
> 30 minggu
Tipe kandang
Baterai
Litter
Keberadaan lalat pada pakan dan
kandang
Tidak ada
Ada
Keberadaan tikus pada kandang
Tidak ada
b. Ada

Hasil uji laboratorium
Positif
Negatif

Jumlah
contoh

Persentase
positif (%)

11
15

157
81

168
96

6,55%
15,62%

5
7
14

127
53
58

132
60
72

3,79%
11,67%
19,44%

3
11
3
9

69
97
21
51

72
108
24
60

4,17%
10,19%
12,5%
15%

23
3

169
69

192
72

11,98%
4,17%

5
21

103
135

108
156

4,63%
13,46%

12
14

168
70

180
84

6,67%
16,67%

Prevalensi MG Berdasarkan Kriteria dalam Pengelolaan Kesehatan
Vaksinasi, pemberian antibiotika dan pemberian vitamin merupakan
kriteria-kriteria dalam pengelolaan kesehatan yang diteliti dalam penelitian ini.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa peternak terpilih yang ada di
wilayah Kabupaten Blitar belum menerapkan program vaksinasi terhadap MG
pada peternakannya. Penerapan vaksin MG hanya dilakukan oleh perusahaanperusahaan pada sektor 1. Hal ini bisa dipahami karena pada umumnya Indonesia
masih mengimpor vaksin MG dari negara lain yang harganya cukup mahal,
meskipun Ferguson-Noel et al. (2012) menemukan bahwa vaksin bakterin MG

16

dan vaksin live MG strain F keduanya mampu memberikan perlindungan terhadap
MG pada ayam petelur dan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada lesi
kantong udara, lesi pada trakhea, dan regresi ovarium dibandingkan dengan
kontrol yang tidak divaksin (p ≤ 0,05).
Tabel 6 Prevalensi MG berdasarkan kriteria dalam pengelolaan kesehatan
Peubah
Vaksinasi
Tidak divaksin MG
b. Divaksin MG
Pemberian antibiotika
1 – 2 kali sebulan
b. 3 – 4 kali sebulan
hanya jika terjadi kasus
penyakit
Pemberian vitamin
1 – 2 kali sebulan
b. 3 – 4 kali sebulan
hanya jika terjadi kasus
penyakit

Hasil uji laboratorium
Positif
Negatif

Jumlah
contoh

Persentase
positif (%)

26
-

238
-

264
-

9,85%
-

12
0
14

144
24
70

156
24
84

7,69%
0.00%
16,67%

17
5
4

139
91
8

156
96
12

10,90%
5,21%
33,33%

Pemberian antibiotik dan pemberian vitamin dengan tingkat intensitas
yang lebih tinggi mampu mengurangi besar kejadian MG di peternakan.
Mycoplasma gallisepticum diketahui rentan terhadap beberapa golongan
antibiotika diantaranya makrolid, tetrasiklin, dan florokuinolon, tetapi resisten
terhadap penisilin dan antibiotik ainnya yang bekerja dengan cara menghambat
biosintesis dinding sel. Pengobatan antibiotik telah banyak digunakan untuk
penanganan penyakit pernafasan, untuk mencegah penurunan produksi telur dan
untuk mengurangi penularan melalui telur. Pengobatan dengan antibiotik yang
sesuai dapat mengurangi tingkat keparahan gejala klinis dan lesi, serta dapat
mengurangi populasi MG pada saluran pernafasan secara signifikan (Levisohn
dan Kleven 2000). Namun, pengobatan yang terus menerus dengan antibiotik
yang sama tidak disarankan karena dapat menyebabkan resistensi serta
meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen produk ayam (CSE 2014).
Infeksi MG dapat menyebabkan imunosupresif pada ayam. Imunosupresif
dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi
pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Rock
(2004) mengatakan bahwa nut