SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN.

(1)

ii

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

BRUCELLOSIS PADA SAPI

DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan, Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI KADEK ASTARI NIM 1392361010

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 12 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes. NIP. 19600605 198702 2 001 NIP. 19621231 198903 1 315

Mengetahui

Ketua Program Studi Kedokteran Hewan

Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Universitas Udayana,

Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp. S. (K) NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001


(3)

iv

Tesis Ini Telah Diuji Tanggal 12 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 0285/UN14.4/HK/2016, Tanggal 11 Januari 2016

Ketua : Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. Anggota :

1. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes. 2. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si.

3. Dr. drh. I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, M.Kes. 4. Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P.


(4)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Ni Kadek Astari

NIM : 1392361010

Program Studi : Kedokteran Hewan

Judul Tesis : Seroprevalensi Dan Faktor Risiko Brucellosis Pada Sapi Di Kabupaten Pinrang Dan Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 12 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,


(5)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Ni Kadek Astari dilahirkan di Bebetin, Buleleng, Bali pada tanggal 3 Nopember 1978. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, putri dari pasangan suami istri I Wayan Daging (alm) dan Nengah Wiari.

Penulis memulai jenjang pendidikan dasar di di SDN 3 Bebetin, Buleleng pada tahun 1985-1990. Penulis melanjutkan ke pendidikan menengah di SMPN 2 Singaraja pada tahun 1990-1993 dan SMA Laboratorium Unud Singaraja pada tahun 1993-1996. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada tahun 1996, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2002 dan Pendidikan Profesi Dokter Hewan pada tahun 2004.

Penulis pernah bekerja di PT. Bernofarm, Cabang Bali pada tahun 2004-2009. Selanjutnya penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Pertanian di Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar pada tahun 2011 sampai dengan sekarang.

Pada tahun 2013 sampai dengan sekarang, penulis menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana.


(6)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan

judul “Seroprevalensi Dan Faktor Risiko Brucellosis Pada Sapi Di Kabupaten Pinrang Dan Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan” yang disusun berdasarkan hasil penelitian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. selaku Pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan serta semangat dalam memberikan masukan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes., selaku Pembimbing II yang senantiasa tekun dan sabar dalam memberikan bimbingan, arahan dan sarannya dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD. (KEMD) dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S. (K)., atas diperolehnya kesempatan dan fasilitas yang diterima oleh penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes., selaku Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana


(7)

viii

Universitas Udayana atas kesempatan berharga untuk dapat menuntut ilmu pada program studi yang dipimpinnya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada para penguji tesis yaitu Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si., Dr.drh. I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, M.Kes. dan Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. yang telah berkenan memberikan saran, masukan dan koreksinya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Kepada para dosen pengajar di Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner Maros beserta staf yang telah memberikan ijin penggunaan data dan laboratorium serta sumbangsihnya dalam memberikan dukungan, bimbingan dan masukan kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian ini dengan baik. Kepada Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar yang telah memberikan ijin dan dukungan yang penuh kepada penulis untuk menempuh pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga; almarhum ayah, ibu, saudara-saudara, ipar, suami dan anak yang sangat memberikan dukungan, semangat dan doanya untuk kelancaran dan kesuksesan penulis sejak menempuh perkuliahan sampai penyusunan tesis ini. Kepada teman-teman kuliah angkatan


(8)

ix

2013 di Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana serta rekan-rekan kerja penulis di Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar, penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan, semangat dan dorongan yang diberikan selama ini.

Semoga Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa melimpahkan karuniaNya dan kebahagiaan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.


(9)

x ABSTRAK

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS

PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa seroprevalensi dan faktor risiko Brucellosis pada ternak sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.

Proses pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data hasil pengisian kuesioner selanjutnya dianalisis dengan uji chi square untuk dilanjutkan dengan analisis odds ratio. Pengambilan sampel darah dilakukan dengan menggunakan alat pengambilan sampel darah berupa vacutainer tube beserta needle dan holder. Selanjutnya serum dipisahkan dari clotnya menggunakan centrifugetube sehingga diperoleh sampel berupa serum yang siap untuk diuji. Pengujian menggunakan Kit ELISA yang telah disiapkan dan hasil ujinya dibaca menggunakan ELISA reader. Hasil uji kemudian dianalisa untuk mendapatkan seroepidemiologi terhadap Brucellosis di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.

Seroprevalensi terhadap brucellosis pada sapi di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,43 %, sedangkan seroprevalensi terhadap brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 50 %. Faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian Brucellosis di Kabupaten Enrekang dan Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan adalah umur sapi, kepadatan populasi dan riwayat keguguran. Khusus di Kabupaten Enrekang, faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian Brucellosis adalah riwayat keguguran, kepadatan populasi, lalu lintas ternak dan cara pemeliharaan. Sedangkan khusus untuk di Kabupaten Pinrang, faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian Brucellosis adalah umur sapi dan riwayat keguguran.

Perlunya penelitian lebih lanjut terhadap pemetaan seroprevalensi brucellosis dan faktor-faktor risiko di kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam meningkatkan efektifitas kegiatan surveilans pada program penanggulangan penyakit hewan, khususnya brucellosis di Provinsi Sulawesi Selatan.

Kata kunci : brucellosis, seroprevalensi, faktor risiko, Enrekang, Pinrang, Sulawesi Selatan


(10)

xi ABSTRACT

SEROPREVALENCE AND RISK FACTORS OF BRUCELLOSIS

IN CATTLE IN THE DISTRICT PINRANG AND ENREKANG,

PROVINCE SOUTH SULAWESI

This study aimed to analyze the seroprevalence and risk factors Brucellosis in cattle in District Pinrang and Enrekang, South Sulawesi Province.

The process of data collection by using a questionnaire. Data from the questionnaires were then analyzed with chi square test to proceed with the analysis of the odds ratio. Blood sampling using a blood instrument with vacutainer tube, needle and holder. Furthermore, serum separated from the clot using a centrifuge tube in order to obtain samples of serum are ready to be tested. Tests using ELISA kits were prepared and the results of the test is read using an ELISA reader. The test results were analyzed to obtain seroepidemiologi against Brucellosis in District Pinrang and Enrekang, South Sulawesi Province.

Seroprevalence against brucellosis in cattle in District Enrekang, South Sulawesi amounted to 6.43%, while the seroprevalence against brucellosis in cattle in District Pinrang, South Sulawesi Province by 50%. Significant risk factors on the incidence of Brucellosis in District Enrekang and Pinrang, South Sulawesi Province are aged, density of population and a history of miscarriage. In District Enrekang, a significant risk factor for the incidence of Brucellosis is a history of miscarriage, population density, traffic livestock and maintenance. \in District Pinrang, a significant risk factor for the incidence of Brucellosis is aged and a history of miscarriage.

The need for further research on mapping brucellosis seroprevalence and risk factors in districts / cities in South Sulawesi province so that it can be used as one of the considerations in improving the effectiveness of surveillance on animal disease control programs, particularly brucellosis in South Sulawesi.

Keywords: brucellosis, seroprevalence, risk factors, Enrekang, Pinrang, South Sulawesi


(11)

xii RINGKASAN

Di Indonesia, brucellosis merupakan penyakit yang termasuk dalam Penyakit Hewan Karantina Golongan II berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 3238/Kpts/PD.630/9/2009, tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa. Brucellosis berdampak pada menurunnya populasi sapi di suatu wilayah. Hal tersebut akan mengakibatkan gagalnya program Pemerintah RI untuk swasembada daging sapi. Sehingga brucellosis juga ditetapkan sebagai penyakit hewan menular strategis oleh Menteri Pertanian RI melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor. 59/ Permentan/HK.060/8/2007.

Kabupaten Pinrang dan Enrekang adalah dua dari 24 kabupaten / kota yang diketahui sebagai kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat. Kedua kabupaten tersebut juga memiliki populasi ternak sapi yang cukup tinggi dan mengalami fluktuasi naik turunnya kejadian brucellosis tiap tahunnya. Selama ini pengujian yang dipakai untuk mendeteksi antibodi secara serologi adalah uji RBT dan CFT.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study. Rancangan penelitian ini dipakai karena dapat mengamati keadaan kesehatan hewan dalam waktu yang bersamaan dan dirancang untuk mengetahui keberadaan antibodi Brucellosis pada sampel serum sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan metode ELISA serta faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Brucellosis di daerah tersebut.


(12)

xiii

Sampel serum dari dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Pinrang dan Enrekang diambil secara proporsional dengan teknik simple random sampling menggunakan metode pengukuran prevalensi penyakit dengan tingkat konfidensi 95%. Saat pengambilan serum juga dilakukan pengisian kuesioner dengan metode wawancara. Sampel penelitian serum dari darah sapi yang dikoleksi dari populasi sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 220 sampel dan kuesioner yang diisi saat pengambilan sampel serum.

Bahan penelitian ini adalah berupa kuesioner, sampel serum serta reagen / Kit ELISA untuk pengujian dan kuesioner/data aktif serta data pasif. Sampel serum diperoleh dari sapi dewasa di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Reagen / Kit ELISA yang digunakan merupakan kit komersial produksi IDEXX.

Data sampel dan data hasil pengujian sampel dianalisa untuk mendapatkan seroprevalensi brucellosis. Data dasar dan hasil kuesioner yang telah diisi dianalisa menggunakan analisis chi square dan odds ratio untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan (Widiasih dan Budiharta, 2012).

Berdasarkan hasil pengujian ELISA terhadap 220 sampel yang berasal dari Kabupaten Pinrang dan Enrekang di Sulawesi Selatan, diperoleh hasil 49 sampel positif. Hasil positif tersebut diperoleh dari Kabupaten Pinrang sebanyak 40 sampel pada sapi bali dan 9 sampel dari Kabupaten Enrekang pada sapi bali.


(13)

xiv

Seroprevalensi terhadap brucellosis pada sapi di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,43 %, sedangkan seroprevalensi terhadap brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 50 %. Seroprevalensi terhadap brucellosis pada sapi di Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan lebih tinggi dan tidak sebanding dengan prevalensi yang dilaporkan oleh Dinas Peternakan setempat. Perbedaan antara seroprevalensi dan prevalensi sesungguhnya dapat terjadi selama sensitivitas dan spesifisitas pengujian tidak mencapai 100 %. Penyebab lainnya dari perbedaan ini diperkirakan terletak pada teknik pengambilan sampel dan kejadian / suspect brucellosis yang tidak dilaporkan atau tidak dicatat pada Dinas Peternakan setempat.

Faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian Brucellosis di Kabupaten Enrekang dan Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan adalah umur sapi dan kepadatan populasi. Khusus di Kabupaten Enrekang, faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian Brucellosis adalah kepadatan populasi, lalu lintas ternak dan cara pemeliharaan. Sedangkan khusus untuk di Kabupaten Pinrang, faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian Brucellosis adalah umur sapi.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap jaring-jaring sebab akibat (the web of causation) brucellosis di Kabupaten Enrekang dan Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam meningkatkan efektifitas kegiatan surveilans pada program pemberantasan brucellosis di Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Enrekang dan Pinrang.


(14)

xv DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ……….

PERSYARATAN GELAR ………..

LEMBAR PERSETUJUAN ………

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….

UCAPAN TERIMA KASIH ………...

ABSTRAK………

RINGKASAN ………..

DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ………. BAB I PENDAHULUAN …….……….

1.1Latar Belakang ……….. 1.2Rumusan Masalah ………. 1.3Tujuan Penelitian ………...

1.3.1 Tujuan Umum ……….

1.3.2 Tujuan Khusus……….

1.4Manfaat Penelitian ………

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….

2.1 Etiologi Brucellosis ...……… 2.2 Kejadian Brucellosis di Indonesia…….…………..….. 2.3 Kejadian Brucellosis di Sulawesi Selatan….…………. 2.4 Diagnosis Brucellosis .……… 2.5 Metode Uji ELISA terhadap Brucellosis………. 2.6 Faktor Risiko Brucellosis ……… BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir ………. 3.2 Kerangka Konsep ………. BAB IV METODE PENELITIAN ……….

4.1 Rancangan Penelitian ………. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian ………. 4.4 Penentuan Sumber Data ………. 4.5 Variabel Penelitian ………. 4.6 Bahan Penelitian ……… 4.7 Instrumen Penelitian ……….. 4.7.1 Alat Ukur Penelitian ……….. 4.7.2 Cara Penelitian ………... 4.8 Prosedur Penelitian ……… 4.9 Analisis Data ………..

i ii iii iv v vi vii x xii xiv xvi xvii 1 1 3 3 3 3 4 5 5 7 7 8 9 9 11 11 12 13 13 13 13 14 15 16 17 17 17 18 19


(15)

xvi

BAB V HASIL PENELITIAN ………

5.1 Hasil Uji ELISA Brucellosis ………..……… 5.2 Hasil Analisis Variabel Sebagai Faktor Risiko…..……. 5.3 Faktor Risiko Yang Berasosiasi Dengan Kejadian Brucellosis ………..

BAB VI PEMBAHASAN ………...

6.1 Seroprevalensi Brucellosis .……… 6.2 Faktor Risiko Yang Berasosiasi Dengan Kejadian Brucellosis Pada Sapi di Kabupaten Enrekang dan Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan ………...

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.………

7.1 Simpulan ……… 7.2 Saran ………..………

DAFTAR PUSTAKA ………..

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………..

1. Kuisioner ………...……….

2. Hasil Analisis Lengkap ……….

21 21 21 24 27 27

28 31 31 32 33 36 36 38


(16)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.5 Variabel Penelitian …..……….

Tabel 4.8 Jumlah Besaran Sampel Yang Diambil ………

Tabel 5.1 Hasil Uji ELISA Brucellosis …..………. Tabel 5.2a Hasil Analisis Variabel Faktor-Faktor Risiko Di Kabupaten Enrekang ……… Tabel 5.2b Hasil Analisis Variabel Faktor-Faktor Risiko Di Kabupaten Pinrang ……… Tabel 5.3a Hasil Analisis Chi Square dan Odds Ratio Di Kabupaten Enrekang dan Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan………..………. Tabel 5.3b Hasil Analisis Chi Square dan Odds Ratio Di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan…..… Tabel 5.3c Hasil Analisis Chi Square dan Odds Ratio Di Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan……….

15 19 21

22

23

24

25


(17)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Brucellosis merupakan penyakit yang termasuk dalam Penyakit Hewan Karantina Golongan II berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 3238/Kpts/PD.630/9/2009, tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa. Brucellosis ditetapkan sebagai penyakit hewan menular strategis oleh Menteri Pertanian RI melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor. 59/ Permentan/HK.060/8/2007. Hal ini karena Brucellosis berdampak pada gangguan produktifitas berupa gangguan reproduksi yang mengakibatkan menurunnya populasi sapi di suatu wilayah. Adanya kasus Brucellosis akan mengakibatkan gagalnya program Pemerintah RI untuk swasembada daging sapi.

Wilayah penyebaran brucellosis di Indonesia, meliputi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih tergolong bebas Brucellosis karena adanya pengawasan yang ketat berupa larangan pemasukan sapi jenis lain, berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan kemurnian sapi. Selain itu prevalensi brucellosis pada beberapa provinsi di Indonesia sangat bervariasi (Widiasih dan Budiharta, 2012).

Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang sangat potensial bagi pengembangan ternak sapi, hal ini didasarkan pada luas wilayah, kondisi sosio demogeografis, yang hampir 90 % penduduknya berbasis pertanian.


(19)

2

Data kasus brucellosis, secara umum sudah mengalami penurunan dari tahun 2010 sebanyak 470 kasus, 2011 sebanyak 864 kasus. Pada awal triwulan pertama tahun 2013 sebanyak 52 kasus, secara seroprevalensi sebanyak 44 kasus dengan menggunakan uji Complement Fixation Test (CFT). Hal yang menarik bahwa laporan tentang seroprevalensi brucellosis di Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan uji Rose Bengal Test (RBT) dan CFT yang diterapkan secara umum hasilnya sangat baik, yang ditunjukkan dengan angka yang sangat rendah dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi yang cenderung lebih tinggi. Kabupaten Pinrang dan Enrekang adalah dua dari 24 kabupaten / kota yang diketahui sebagai kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat. Kedua kabupaten tersebut juga memiliki populasi ternak sapi yang cukup tinggi dan mengalami fluktuasi kejadian brucellosis tiap tahunnya. Selama ini pengujian yang dipakai untuk mendeteksi antibodi secara serologi adalah uji RBT dan CFT. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut melalui analisa terhadap faktor risiko dan analisa seroprevalensi dengan memakai metode diagnosis serologis lain yaitu uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang sampai saat ini belum pernah dilakukan dan dilaporkan oleh dinas peternakan di wilayah tersebut maupun publikasi ilmiah lainnya. Hasil Pengujian ELISA dapat dijadikan data base untuk pengembangan kedepan yang layak dipublikasikan, yang nantinya selain bisa dipakai sebagai dasar pelaksanaan pengambilan keputusan terhadap tindakan penanggulangan brucellosis oleh pemerintah atau dinas peternakan setempat dalam mengamankan sukses swasembada daging.


(20)

3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Berapakah seroprevalensi Brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan uji ELISA? 2. Apakah terdapat hubungan antara faktor-faktor risiko yang diduga

terhadap kejadian brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Melakukan analisa seroeprevalensi dan faktor risiko Brucellosis pada ternak sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Menganalisa seroprevalensi Brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan uji ELISA. b. Menganalisa hubungan antara faktor-faktor risiko yang diduga terhadap kejadian Brucellosis di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.


(21)

4

1.4 Manfaat Penelitian 1. 4.1 Bagi Peneliti

Dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu, pengetahuan dan wawasan serta kepedulian terhadap Brucellosis, faktor risikonya serta pengujian serologis ELISA dan analisanya, khususnya di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan serta dijadikan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang analisis seroprevalensi penyakit reproduksi lainnya pada sapi.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Sebagai dasar dan masukan kepada masyarakat dalam upaya kewaspadaan dini terhadap ancaman kerugian ekonomi dan zoonosis akibat kejadian penyakit Brucellosis pada sapi.

1.4.3 Bagi Program Magister Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Dapat dijadikan sebagai tambahan pustaka untuk memperkaya kajian ilmu kedokteran hewan, khususnya mengenai analisis seroprevalensi dan faktor risiko Brucellosis pada sapi di Kabupaten Pinrang dan Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.


(22)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Brucellosis

Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun 1805. Gejala khas pada penyakit ini adalah terjadinya demam dalam waktu beberapa minggu, sehingga penyakit ini disebut Undulant Fever atau Crimean Fever, karena terjadi pertama kali di Crimea, Malta (Adman, 2008).

Brucellosis dikenal sebagai penyakit keluron menular yang disebabkan bakteri dari genus Brucella. Genus ini termasuk famili Brucellaceae seperti Pasteurella sp., Bordetella sp., Haemophilus sp., dan Actinobacillus sp., berbentuk coccobacillus atau batang pendek dan termasuk gram negatif yang kesemuanya bersifat patogenik, baik pada manusia maupun hewan. Bakteri ini adalah parasit obligat karena berpredileksi di dalam sel (intraseluler) dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Gul dan Khan, 2007; Chin, 2007). Brucellosis dapat menyerang bebagai ternak diantaranya sapi, domba, kambing dan babi. Brucelosis ini bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Sumber penularan penyakit ini adalah cairan genital, semen dan susu. Dijelaskan juga bahwa padang rumput, pakan dan air yang tercemar merupakan sarana utama penyebarannya. Pada sapi dewasa yang sudah dewasa kelamin


(23)

6

terutama sapi bunting sangat peka terhadap infeksi Brucella abortus. Namun sapi dara dan tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi ini. Penularan penyakit ini juga dapat melalui kontak langsung dengan kulit luka, ambing terinfeksi dan inseminasi dengan semen yang tercemar (Manthei et al, 1950; Neta et al., 2009). Organisme ini bersifat patogen intraselular fakultatif. Kekerabatan di dalam famili Brucellaceae sangat erat sekali, sangat kecil perbedaan genetik diantara serovar yang ada. Salah satu serovar yang penting adalah Brucella abortus (1-9) (CFSPH, 2009). Kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi, suhu rendah, dan tidak ada sinar matahari, organisme ini dapat bertahan hidup selama beberapa bulan dalam air, fetus abortus, wol, jerami, lumpur, peralatan dan pakaian. Brucella mampu bertahan pada kondisi kering, terutama bila ada bahan organik dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah (Boschiroli et al., 2002; Corbel, 2006).

Bakteri ini mempunyai komponen yang terdiri dari membran sitoplasma dan dinding sel. Dinding sel Brucella abortus terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar. Membran luar terdiri dari peptidoglikan dan lipopolisakarida. Protein dinding sel dari setiap galur Brucella abortus sebagian mempunyai kesamaan dalam komposisi asam aminonya. Namun juga mempunyai perbedaan seperti dalam komposisi metionin, isoleusin, tirosin dan histidin (Verstreate et al., 1982). Protein yang paling bersifat antigenik diharapkan mampu merangsang timbulnya antibodi spesifik sedini mungkin. Antibodi tersebut berguna dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi Brucella abortus, sedangkan proteinnya sangat berguna sebagai reagen diagnosis (Noor, 2006).


(24)

7

2.2 Kejadian Brucellosis di Indonesia

Kejadian infeksi brucellosis meluas hingga seluruh dunia, sekarang ini terutama pada negara-negara berkembang. Akan tetapi, kasus brucellosis dapat menjadi sangat umum di negara yang program pengendalian penyakit hewannya belum dapat mengurangi jumlah penyakit antar hewan. Negara-negara ini biasanya tidak memiliki program kesehatan hewan domestik dan kesehatan masyarakat yang efektif dan sesuai standar (Karimuribo, et al, 2007; Aulakh, et al., 2008; Widiasih dan Budiharta, 2012).

Di Indonesia, secara serologi penyakit brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati-Pasuruan, Jawa Timur. Kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Tingginya angka prevalensi brucellosis pada ternak di Indonesia mencapai angka 40 % dan menyebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Peternakan di tahun 2000 menyebutkan bahwa kerugian ekonomi industri peternakan sapi akibat brucellosis mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun angka mortalitasnya relatif kecil (Noor, 2006).

2.3 Kejadian Brucellosis di Sulawesi Selatan

Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 24 kabupaten / kota dengan luas wilayah 62.482,54 km² dan populasi sapi sebanyak 1.152.053 ekor pada data sensus ternak tahun 2012. Jumlah sapi potong Provinsi Sulawesi Selatan berada di


(25)

8

urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan populasi 983.985 ekor, dimana rata-rata kenaikan populasi 12,83% lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya sebesar 6,4%. Hal ini membuktikan bahwa potensi Sulawesi Selatan sangat tinggi untuk mensukseskan program swasembada daging. Kejadian brucellosis di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara signifikan namun jumlah kasus masih cukup tinggi, dimana pada tahun 2012 saja terdapat 684 kasus (Noor, 2006).

Target untuk membebaskan Provinsi Sulawesi Selatan dari brucellosis merupakan prioritas yang tidak bisa ditunda lagi, sehingga diperlukan terobosan penelitian terkait seroprevalensi brucellosis dengan metode diagnosis yang lebih baik agar hasilnya benar-benar akurat dan data yang diperoleh merupakan data yang sahih sebagai dasar langkah penanggulangan lebih lanjut.

2.4 Diagnosis Brucellosis

Diagnosis definitif kejadian brucellosis harus didukung oleh uji laboratorium, meliputi uji serologis atau melalui direct diagnostic test, seperti isolasi dan karakterisasi sifat biokimia agen infeksi. Diagnosis berbasis biologi molekuler telah banyak dilakukan dalam pendeteksian secara tepat kejadian brucellosis pada manusia. Metode molekuler yang terus dikembangkan untuk mendeteksi brucellosis pada manusia dan hewan yaitu PCR-based assay (Widiasih dan Budiharta, 2012).

Uji screening terhadap kejadian brucellosis biasanya menggunakan buffer acidified plate antigen test dan Milk Ring Test (MRT), kedua uji screening


(26)

9

tersebut merupakan uji serologis dengan sensitifitas paling tinggi. Metode uji tidak langsung seperti uji competitive ELISA dan flourescent polarisation assay dapat juga digunakan sebagai uji konfirmasi. Uji serologi yang sering digunakan di laboratorium adalah Serum Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Rose Bengal Test (RBT) yang telah digunakan secara luas di berbagai negara untuk menentukan diagnosis brucellosis (Mohammed et al, 2011; Scacchia et al., 2013; Widiasih dan Budiharta, 2012).

2.5 Metode Uji ELISA Terhadap Brucellosis

Uji ELISA adalah salah satu metode yang sederhana, mudah dilakukan, cepat, sensitif, akurat, dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah banyak. Cara kerja ELISA didasarkan pada konjugasi antara virus, antibodi, dan enzim, dengan menambahkan substrat pewarna (Tittarelli, 2008).

Hasil uji ELISA lebih spesifik dibandingkan dengan CFT. Uji ELISA mampu mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil dan khususnya IgG dalam serum. Kemampuan ini diperoleh karena adanya antibodi monoklonal yang digunakan dalam kit diagnosis. ELISA mampu mendeteksi antibodi pada seluruh kasus infeksi Brucella abortus dan pada ternak yang mendapatkan vaksin dan mengkonfirmasi pada daerah yang tidak divaksin (Tittarelli, 2008)

2.6 Faktor Risiko Brucellosis

Kemampuan daya tahan hidup Brucella sp. pada tanah kering selama 4 hari di luar suhu kamar, selama 66 hari pada tanah yang lembab, pada tanah yang


(27)

10

becek 151-185 hari dan 180 hari pada fetus yang diabortuskan. Faktor yang berisiko terhadap penularan brucellosis antar ternak adalah status vaksinasi, ukuran/skala peternakan, kepadatan populasi, model atau tipe kandang, cara pemeliharaan dan sistem perkawinan (Makita et al, 2011; Putra, 2006; Widiasih dan Budiharta, 2012)

Brucella abortus tahan hidup di luar tubuh hospes antara 4-180 hari tergantung pada kondisi lingkungan dan hal ini mempengaruhi cara penyebaran penyakit di lapangan (Crawford et al., 1990).


(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Brucellosis

Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun 1805. Gejala khas pada penyakit ini adalah terjadinya demam dalam waktu beberapa minggu, sehingga penyakit ini disebut Undulant Fever atau Crimean Fever, karena terjadi pertama kali di Crimea, Malta (Adman, 2008).

Brucellosis dikenal sebagai penyakit keluron menular yang disebabkan bakteri dari genus Brucella. Genus ini termasuk famili Brucellaceae seperti Pasteurella sp., Bordetella sp., Haemophilus sp., dan Actinobacillus sp., berbentuk coccobacillus atau batang pendek dan termasuk gram negatif yang kesemuanya bersifat patogenik, baik pada manusia maupun hewan. Bakteri ini adalah parasit obligat karena berpredileksi di dalam sel (intraseluler) dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Gul dan Khan, 2007; Chin, 2007). Brucellosis dapat menyerang bebagai ternak diantaranya sapi, domba, kambing dan babi. Brucelosis ini bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Sumber penularan penyakit ini adalah cairan genital, semen dan susu. Dijelaskan juga bahwa padang rumput, pakan dan air yang tercemar merupakan sarana utama penyebarannya. Pada sapi dewasa yang sudah dewasa kelamin


(2)

terutama sapi bunting sangat peka terhadap infeksi Brucella abortus. Namun sapi dara dan tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi ini. Penularan penyakit ini juga dapat melalui kontak langsung dengan kulit luka, ambing terinfeksi dan inseminasi dengan semen yang tercemar (Manthei et al, 1950; Neta et al., 2009). Organisme ini bersifat patogen intraselular fakultatif. Kekerabatan di dalam famili Brucellaceae sangat erat sekali, sangat kecil perbedaan genetik diantara serovar yang ada. Salah satu serovar yang penting adalah Brucella abortus (1-9) (CFSPH, 2009). Kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi, suhu rendah, dan tidak ada sinar matahari, organisme ini dapat bertahan hidup selama beberapa bulan dalam air, fetus abortus, wol, jerami, lumpur, peralatan dan pakaian. Brucella mampu bertahan pada kondisi kering, terutama bila ada bahan organik dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah (Boschiroli et al., 2002; Corbel, 2006).

Bakteri ini mempunyai komponen yang terdiri dari membran sitoplasma dan dinding sel. Dinding sel Brucella abortus terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar. Membran luar terdiri dari peptidoglikan dan lipopolisakarida. Protein dinding sel dari setiap galur Brucella abortus sebagian mempunyai kesamaan dalam komposisi asam aminonya. Namun juga mempunyai perbedaan seperti dalam komposisi metionin, isoleusin, tirosin dan histidin (Verstreate et al., 1982). Protein yang paling bersifat antigenik diharapkan mampu merangsang timbulnya antibodi spesifik sedini mungkin. Antibodi tersebut berguna dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi Brucella abortus, sedangkan proteinnya sangat berguna sebagai reagen diagnosis (Noor, 2006).


(3)

2.2 Kejadian Brucellosis di Indonesia

Kejadian infeksi brucellosis meluas hingga seluruh dunia, sekarang ini terutama pada negara-negara berkembang. Akan tetapi, kasus brucellosis dapat menjadi sangat umum di negara yang program pengendalian penyakit hewannya belum dapat mengurangi jumlah penyakit antar hewan. Negara-negara ini biasanya tidak memiliki program kesehatan hewan domestik dan kesehatan masyarakat yang efektif dan sesuai standar (Karimuribo, et al, 2007; Aulakh, et al., 2008; Widiasih dan Budiharta, 2012).

Di Indonesia, secara serologi penyakit brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati-Pasuruan, Jawa Timur. Kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Tingginya angka prevalensi brucellosis pada ternak di Indonesia mencapai angka 40 % dan menyebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Peternakan di tahun 2000 menyebutkan bahwa kerugian ekonomi industri peternakan sapi akibat brucellosis mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun angka mortalitasnya relatif kecil (Noor, 2006).

2.3 Kejadian Brucellosis di Sulawesi Selatan

Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 24 kabupaten / kota dengan luas wilayah 62.482,54 km² dan populasi sapi sebanyak 1.152.053 ekor pada data sensus ternak tahun 2012. Jumlah sapi potong Provinsi Sulawesi Selatan berada di


(4)

urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan populasi 983.985 ekor, dimana rata-rata kenaikan populasi 12,83% lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya sebesar 6,4%. Hal ini membuktikan bahwa potensi Sulawesi Selatan sangat tinggi untuk mensukseskan program swasembada daging. Kejadian brucellosis di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara signifikan namun jumlah kasus masih cukup tinggi, dimana pada tahun 2012 saja terdapat 684 kasus (Noor, 2006).

Target untuk membebaskan Provinsi Sulawesi Selatan dari brucellosis merupakan prioritas yang tidak bisa ditunda lagi, sehingga diperlukan terobosan penelitian terkait seroprevalensi brucellosis dengan metode diagnosis yang lebih baik agar hasilnya benar-benar akurat dan data yang diperoleh merupakan data yang sahih sebagai dasar langkah penanggulangan lebih lanjut.

2.4 Diagnosis Brucellosis

Diagnosis definitif kejadian brucellosis harus didukung oleh uji laboratorium, meliputi uji serologis atau melalui direct diagnostic test, seperti isolasi dan karakterisasi sifat biokimia agen infeksi. Diagnosis berbasis biologi molekuler telah banyak dilakukan dalam pendeteksian secara tepat kejadian brucellosis pada manusia. Metode molekuler yang terus dikembangkan untuk mendeteksi brucellosis pada manusia dan hewan yaitu PCR-based assay (Widiasih dan Budiharta, 2012).

Uji screening terhadap kejadian brucellosis biasanya menggunakan buffer acidified plate antigen test dan Milk Ring Test (MRT), kedua uji screening


(5)

tersebut merupakan uji serologis dengan sensitifitas paling tinggi. Metode uji tidak langsung seperti uji competitive ELISA dan flourescent polarisation assay dapat juga digunakan sebagai uji konfirmasi. Uji serologi yang sering digunakan di laboratorium adalah Serum Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Rose Bengal Test (RBT) yang telah digunakan secara luas di berbagai negara untuk menentukan diagnosis brucellosis (Mohammed et al, 2011; Scacchia et al., 2013; Widiasih dan Budiharta, 2012).

2.5 Metode Uji ELISA Terhadap Brucellosis

Uji ELISA adalah salah satu metode yang sederhana, mudah dilakukan, cepat, sensitif, akurat, dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah banyak. Cara kerja ELISA didasarkan pada konjugasi antara virus, antibodi, dan enzim, dengan menambahkan substrat pewarna (Tittarelli, 2008).

Hasil uji ELISA lebih spesifik dibandingkan dengan CFT. Uji ELISA mampu mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil dan khususnya IgG dalam serum. Kemampuan ini diperoleh karena adanya antibodi monoklonal yang digunakan dalam kit diagnosis. ELISA mampu mendeteksi antibodi pada seluruh kasus infeksi Brucella abortus dan pada ternak yang mendapatkan vaksin dan mengkonfirmasi pada daerah yang tidak divaksin (Tittarelli, 2008)

2.6 Faktor Risiko Brucellosis

Kemampuan daya tahan hidup Brucella sp. pada tanah kering selama 4 hari di luar suhu kamar, selama 66 hari pada tanah yang lembab, pada tanah yang


(6)

becek 151-185 hari dan 180 hari pada fetus yang diabortuskan. Faktor yang berisiko terhadap penularan brucellosis antar ternak adalah status vaksinasi, ukuran/skala peternakan, kepadatan populasi, model atau tipe kandang, cara pemeliharaan dan sistem perkawinan (Makita et al, 2011; Putra, 2006; Widiasih dan Budiharta, 2012)

Brucella abortus tahan hidup di luar tubuh hospes antara 4-180 hari tergantung pada kondisi lingkungan dan hal ini mempengaruhi cara penyebaran penyakit di lapangan (Crawford et al., 1990).