Studi Deskriptif Mengenai Work-Family Conflict pada Karyawan Bagian Produksi PT "X" Kota Bandung.

(1)

v

Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Work – Family Conflict pada karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang. Sample dalam penelitian ini berjumlah 33 orang karyawan yang diambil berdasarkan metode purposive sampling.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah Work – Family Conflict Scale. Hasil penerjemahan oleh Indah Soca M.Psi., Psik dari alat ukur asli yang dikembangkan oleh Dawn S. Carlson, K. Michele Kacmar, dan Larry J. Williams (2000), terdiri dari 18 item yang dapat diturunkan menjadi enam dimensi, yaitu time-based conflict WIF, time-based conflict FIW, strain-based conflict WIF, strain-based conflict FIW, behavior-based conflict WIF, dan behavior-based conflict FIW. Berdasarkan hasil uji validitas dengan menggunakan metode analisis faktor, semua item dinyatakan valid dengan koefisien validitas item berkisar antara 0,50 – 0,90. Uji reliabilitas menggunakan analisis faktor dengan skala Cronbach, menunjukkan hasil 0,88 yang berarti alat ukur memiliki reliabilitas tinggi.

Data hasil penelitian diolah dengan teknik deskriptif analisis, didapatkan hasil bahwa 60,6% karyawan bagian produksi PT “X” menghayati derajat Work – Family Conflict yang rendah, sedangkan 39,4% lainnya menghayati derajat Work – Family Conflict yang tinggi.

Berdasarkan penelitian ini, disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai Work – Family Conflict yang dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik dari area kerja maupun area keluarga. Peneliti juga menyarankan agar pihak HRD PT “X”dapat melakukan intervensi dengan memberikan penyuluhan maupun training yang relevan guna meminimalisasi dampak negatif dari Work – Family Conflict.


(2)

vi

Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This research was conducted to obtain an overview of the Work – Family Conflict on the production employees of "X” Company in Serang. The samples in this research consisted of 33 employees that selected through purposive sampling method.

The measurement tool being used in this research is the Work – Family Conflict Scale. That has been translated by Indah Soca M.Psi., Psik, that originally developed by Dawn S. Carlson , K. Michele Kacmar , and Larry J. Williams ( 2000). It consists of 18 items that can be divided into six dimensions : time-based conflict WIF, time-based conflict FIW, strain-based conflict WIF, strain-based conflict FIW, behavior-based conflict WIF, and behavior-based conflict FIW. Based on the validation process by using factor analysis method, all items are proved to be valid with validity coefficients ranging from 0.50 to 0.90. The reliability testing was done by Cronbach scale with factor analysis method, and it showed the result of 0,88, which means measuring tool has high reliability.

The data of this research was analyzed in a descriptive technique. The results showed that 60,6% production employees who works “X” Company in Serang had low degree of Work – Family Conflict, and the other 39,4% employees had high degree of Work – Family Conflict.

Based on this research, it is suggested for further researcher to conduct any further research regarding Work - Family Conflict that is associated with the factors that influence it, either from the the work area and family area. Researcher also suggests human research development of “X" company to provide any interference, such as counseling or training which relevant to minimize the negative impact of Work – Family Conflict .


(3)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12

1.3.1 Maksud Penelitian ... 12

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13


(4)

xi

Universitas Kristen Maranatha

1.5 Kerangka Pemikiran ... 14

1.6 Asumsi Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 25

2.1 Definisi Peran dan Konflik Peran ... 25

2.2 Work – Family Conflict ... 26

2.2.1 Definisi Work – Family Conflict ... 26

2.2.2 Bentuk Work – Family Conflict ... 29

2.2.3 Sumber Work – Family Conflict ... 31

2.2.4 Dimensi Work – Family Conflict ... 36

2.3 Perkembangan Karier dan Kerja Masa Dewasa Awal ... 38

2.4 Perkembangan Karier dan Kerja Masa Dewasa Madya ... 39

2.5 Perkembangan Siklus Kehidupan Keluarga ... 41

2.6 Perkawinan dan Perkembangan Keluarga ... 42

2.6.1 Perkawinan ... 42

2.6.2 Keluarga ... 42

2.6.3 Tugas Perkembangan Keluarga ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

3.1 Rancangan Penelitian ... 44

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 44

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 45

3.3.1 Variabel Penelitian ... 45


(5)

xii

Universitas Kristen Maranatha

3.3.3 Definisi Operasional ... 45

3.4 Alat Ukur ... 46

3.4.1 Alat Ukur Work – Family Conflict ... 46

3.4.2 Kisi-Kisi Alat Ukur ... 47

3.4.3 Prosedur Pengisian Item... 48

3.4.4 Sistem Penilaian ... 48

3.4.5 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 50

3.4.6 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 51

3.4.6.1 Validitas Alat Ukur ... 51

3.4.6.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 51

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 52

3.5.1 Populasi Sasaran ... 52

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 53

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 53

3.6 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 55

4.1.1 Berdasarkan Usia ... 55

4.1.2 Berdasarkan Pendidikan ... 56

4.1.3 Berdasarkan Lama Menikah ... 56

4.1.4 Berdasarkan Masa Kerja ... 57


(6)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

4.1.6 Berdasarkan Jumlah Anak ... 58

4.1.7 Berdasarkan Waktu Mengasuh Anak ... 58

4.1.8 Berdasarkan Waktu Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga ... 59

4.2 Hasil Penelitian ... 60

4.2.1 Gambaran Work – Family Conflict ... 60

4.2.2 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict dengan Dimensi ... 60

4.3 Pembahasan ... 65

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 76

5.1 Simpulan ... 76

5.2 Saran ... 77

5.2.1 Saran Teoritis ... 77

5.2.2 Saran Praktis ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

DAFTAR RUJUKAN... 81 LAMPIRAN


(7)

xiv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran... 23 Bagan 2.1 Model Sumber Work - Family Conflict ... 28 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ... 44


(8)

xv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ... 47

Tabel 3.2 Sistem Penilaian ... 49

Tabel 3.3 Kriteria Reliabilitas ... 51

Tabel 3.4 Hasil Reliabilitas Alat Ukur ... 52

Tabel 3.5 Hasil Reliabilitas Alat Ukur dengan Alpha Cronbach ... 52

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 55

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan ... 56

Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Menikah ... 56

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ... 57

Tabel 4.5 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Posisi di Pekerjaan ... 57

Tabel 4.6 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak ... 58

Tabel 4.7 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Waktu Mengasuh Anak ... 58

Tabel 4.8 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Waktu Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga ... 59

Tabel 4.9 Gambaran Work – Family Conflict ... 60

Tabel 4.10 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict dengan Time – WIF ... 60

Tabel 4.11 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict dengan Time – FIW ... 61

Tabel 4.12 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict dengan Strain – WIF ... 62


(9)

xvi

Universitas Kristen Maranatha Tabel 4.13 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict

dengan Strain – FIW ... 62 Tabel 4.14 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict

dengan Behavior – WIF ... 63 Tabel 4.15 Gambaran Tabulasi Silang antara Work – Family Conflict


(10)

xvii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner Work – Family Conflict

Lampiran 2 : Hasil Validitas Lampiran 3 : Identitas Subjek Lampiran 4 : Skor WFC

Lampiran 5 : Skor Data Penunjang Lampiran 6 : Distribusi Frekuensi Lampiran 7 : Tabulasi Silang Lampiran 8 : Analisa Item


(11)

1

Universitas Krist Universitas Kristen Maranatha en Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia menggunakan sebagian besar waktunya. Meskipun berbeda, pekerjaan dan keluarga saling

interdependent satu sama lain sebagaimana keduanya berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang (Megawati Oktorina, Christine W.S., Indah Mula, 2010).

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa jumlah keluarga dengan suami – istri yang bekerja di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Selama tiga tahun terakhir, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 jumlah pasangan dengan suami – istri bekerja mengalami peningkatan dari 87,74% menjadi 88,36% pasangan. Di Provinsi Banten sendiri juga terdapat peningkatan jumlah pasangan dengan suami istri bekerja, pada tahun 2010 hanya terdapat 88,03% keluarga dengan suami – istri yang bekerja, sedangkan pada tahun 2011 di provinsi yang sama jumlahnya meningkat menjadi 88,54% (www.bps.go.id).

Kecenderungan keluarga dengan suami istri bekerja sering disebut sebagai

dual-career marriage, yang mana pasangan dual-career marriage dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Sisi positif dari dual-career marriage ialah mendapatkan penghasilan tambahan yang dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga. Hal ini dapat membuat istri menjadi lebih independent


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha dan membuat pasangan lebih kuat secara ekonomi, serta mengurangi beban suami sebagai pencari nafkah utama (Louis Harris & Associates, 1995, dalam Papalia, 2007). Selain itu, manfaat lain yang tidak secara langsung dapat terlihat dari dual-career marriage ialah hubungan yang lebih setara antara suami dan istri, kesehatan yang lebih baik, self-esteem istri yang lebih baik, serta hubungan yang lebih dekat antara ayah dan anak (Gilbert, 1994, dalam Papalia, 2007). Namun selain memberikan dampak positif, dual-career marriage juga memberikan dampak negatif, seperti tuntutan waktu dan energi pada salah satu peran, konflik antara pekerjaan dan keluarga, persaingan yang mungkin terjadi antara pasangan, serta kecemasan dan rasa bersalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan anak-anaknya (Milkie &Peltola, 1999; Warren & Johnson, 1995, dalam Papalia, 2007).

Pasangan yang keduanya bekerja dapat memberikan konsekuensi tersendiri, dengan menjalankan dua peran secara bersamaan dalam pekerjaan dan kelurga dapat mengakibatkan terjadinya konflik peran yang dipengaruhi oleh bagaimana suami dan istri memandang peran mereka masing-masing. Konflik peran adalah suatu situasi saat seseorang menjalani dua peran atau lebih secara bersamaan dan apabila harapan peran yang satu bertentangan dengan harapan peran yang lain (Myers, 1983).

Konflik yang dirasakan pasangan dual-career marriage ialah konflik antar peran (interrole conflict) yang secara spesifik dikenal dengan istilah Work – Family Conflict (WFC). Work – Family Conflict adalah sebuah bentuk interrole conflict ketika tekanan peran yang berasal dari pekerjaan dan keluarga saling


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha mengalami ketidakcocokkan, sehingga pemenuhan terhadap tuntutan peran salah satunya akan menghambat pemenuhan tuntutan pada peran lainnya (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Berdasarkan bentuknya, Work – Family Conflict dibedakan menjadi tiga, yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict.

Time-based conflict terjadi saat waktu yang disediakan untuk menjalankan suatu peran membuat individu sulit memenuhi tuntutan waktu dari peran yang lain.

Strain-based conflict terjadi saat ketegangan atau kelelahan pada satu peran mempengaruhi performa individu dalam menjalankan perannya yang lain.

Behavior-based conflict terjadi saat perilaku yang diharapkan pada satu peran bertentangan dengan perilaku yang diharapkan pada peran yang lain. Berdasarkan arahnya Work – Family Conflcit dibedakan menjadi dua, yaitu work interference with family dan family interference with work. Arah pertama, work interference with family (WIF) terjadi saat pengalaman dalam bekerja mempengaruhi kehidupan keluarga. Arah kedua yaitu family interference with work (FIW) terjadi saat pengalaman dalam keluarga mempengaruhi kehidupan kerja. Kombinasi antara bentuk dan arah ini menghasilkan enam dimensi dari Work – Family Conflict (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Work – Family Conflict seringkali dianggap hanya terjadi pada wanita yang bekerja saja, namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Pria yang bekerja dan berkeluarga juga mengalami peran ganda yang dapat menimbulkan Work - Family Conflict. Frone, Russell, dan Barnes (1996) mengungkapkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan sama-sama dipengaruhi oleh stress fisik dan psikologis, baik


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha karena pekerjaan mengganggu kehidupan keluarga, maupun sebaliknya (Papalia, 2007).

Dampak dari Work – Family Conflict juga dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang. PT “X” ialah perusahaan yang sedang berkembang dan bergerak di bidang engineering. PT “X” berdiri sejak tahun 1992 dan memfokuskan pada pengelolaan air, pembangkit listrik, rangka baja, konstruksi tangki dan kapal. Untuk menunjang pencapaian visi dan misi perusahaan, pada PT “X” terdapat beberapa divisi, seperti divisi produksi, administrasi dan keuangan, pemasaran, pengembangan sumber daya manusia, customer service, dan lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu staff HRD, beliau menyatakan bahwa tingkat absensi atau kehadiran pada saat jam kerja, komitmen dan loyalitas, serta penempatan individu pada jabatan yang sesuai dengan skill

yang dimiliki merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan suatu perusahaan. Menurut beliau, permasalahan yang sering terjadi di PT “X” yang dapat mengganggu produktivitas kerja ialah masalah absensi, banyaknya karyawan yang seringkali telat maupun meminta izin untuk pulang lebih awal sebelum jam kerja usai, serta pencapaian target yang belum sesuai dengan tuntutan perusahaan. Masalah ini merupakan masalah yang umum dan terjadi hampir pada semua divisi yang ada. Alasan pertama yang seringkali melatarbelakangi hal tersebut ialah keperluan keluarga serta alasan kedua ialah kondisi fisik yang kurang prima. Meskipun aturan mengenai jam kerja sudah diperketat, namun cara ini dirasa belum efektif untuk mengatasi permasalahan yang ada.


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha Salah satu divisi yang memegang peran signifikan dalam kemajuan perusahaan ialah divisi produksi, yang mana tanggung jawab utamanya ialah mengerjakan segala jenis project yang sedang ditangani agar dapat selesai sesuai dengan target dan permintaan pelanggan. Sebagai perusahaan engineering yang menggunakan dan membuat alat-alat berat, setiap karyawan bagian produksi dituntut untuk memiliki kepatuhan pada aturan, kedisiplinan yang tinggi, serta kinerja yang akurat. Untuk menunjang pencapaian target perusahaan tersebut, divisi produksi dibagi menjadi lima bagian, yaitu fabrikasi, logistik, material kontrol, pengecatan, dan perbaikan. Kelima bagian tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Meskipun dibedakan dalam beberapa bagian, namun secara garis besar job description yang mereka miliki hampir sama, yaitu bekerja sesuai dengan prosedur (SOP), berkewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada atasan, bekerja sama dengan bagian produksi lainnya dalam menyelesaikan target, serta mengikuti aturan tata tertib yang berlaku di perusahaan.

Salah satu aturan yang harus ditaati oleh karyawan bagian produksi ialah aturan mengenai jam kerja. Karyawan bagian produksi memiliki aturan bekerja dari hari Senin hingga Jumat dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 16.00, sedangkan pada hari Sabtu dari pukul 08.00 sampai dengan 13.00. Akan tetapi, jika terdapat project yang harus segera diselesaikan, maka karyawan bagian produksi diharapkan dapat bekerja lembur, baik pada hari Senin hingga Sabtu, atau bahkan pada hari Minggu.


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan paparan yang diungkapkan oleh manajer produksi, pada divisi produksi di PT “X” hanya terdapat satu shift kerja, sehingga apa yang menjadi permintaan pelanggan dan target perusahaan harus dapat diselesaikan oleh karyawan yang bersangkutan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Oleh sebab itu, lembur kerja menjadi suatu hal yang tak bisa dielakkan dari tanggung jawabnya dan menjadi bagian dari rutinitas kerja karyawan bagian produksi PT “X”. Karyawan bagian produksi biasanya melakukan lembur kerja sekitar lima hari dalam seminggu. Jika karyawan bagian produksi melakukan lembur pada hari Senin sampai Jumat, mereka seringkali pulang kerja pada pukul 22.00. Jika lembur kerja dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu, mereka seringkali pulang kerja pada pukul 17.00.

Menurut manajer produksi, dengan adanya kebijakan perusahaan mengenai jam lembur, para karyawan bagian produksi ada yang menanggapinya dengan senang, karena dengan lembur maka penghasilannya dapat bertambah. Akan tetapi, ada pula karyawan yang merasa terbebani untuk melakukan lembur dengan alasan pihak keluarga tidak mendukung bahkan memerotesnya jika melakukan lembur kerja. Selain itu tidak dapat dipungkiri dengan seringnya melakukan lembur kerja, jam kerja menjadi lebih panjang dan dapat membuat para karyawan merasa lelah. Meskipun begitu, banyak karyawan yang tetap memilih untuk lembur kerja dan mempertahankan pekerjaannya tersebut, sebab sebagian besar diantara mereka merasa bahwa di PT “X” ini dapat memberikan bayaran yang lebih tinggi daripada perusahaan sejenis. Terkadang mereka merasa lelah dengan


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha ritme kerja di PT “X” ini, namun disisi lain jika mereka keluar dari pekerjaannya yang sekarang, mereka belum tentu dapat diterima di tempat lain yang lebih baik.

Berdasarkan data perusahaan, didapatkan bahwa jumlah karyawan bagian produksi yang sudah menikah dan memiliki istri yang juga bekerja semakin banyak jumlahnya, sekitar 40% dari total keseluruhan pekerja bagian produksi. Manajer produksi PT “X” juga menjelaskan bahwa karyawan yang sudah berkeluarga lebih sering melakukan tindakan yang dapat mengganggu produktivitas kerja, seperti telat datang atau tidak masuk kerja, izin pulang lebih awal, absent dari jadwal kerja, bahkan berhenti dari pekerjaan karena harus mengurus keluarga. Apabila karyawan bagian produksi PT “X” melakukan absent

lebih dari satu kali dalam seminggu atau terlalu sering telat maupun meminta izin agar pulang lebih awal maka pihak perusahaan akan memberikan sanksi pada karyawan yang bersangkutan. Sanksi yang diberikan pun bentuknya bertahap, mulai dari teguran lisan, surat peringatan pertama, surat peringatan kedua, dan yang terakhir ialah surat peringatan ketiga yang berujung pada pemberhentian hubungan kerja (PHK).

Dengan menjalankan dua peran sekaligus, sebagai seorang pekerja dan juga sebagai suami maupun ayah, tidaklah mudah. Karyawan bagian produksi PT “X” yang sudah menikah, memiliki istri yang juga bekerja, serta sudah mempunyai anak memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar daripada karyawan yang masih lajang. Peran ganda pun dialami oleh karyawan tersebut karena selain berperan di dalam keluarga, karyawan tersebut juga berperan di dalam karirnya, yang mana kedua peran tersebut sama pentingnya sehingga dapat menimbulkan


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha konflik (Nurul M. Harahap, 2010). Pada satu sisi mereka merupakan suami dan ayah bagi keluarganya, namun di sisi lain merupakan karyawan bagian produksi yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai pekerja. Karyawan bagian produksi PT “X” yang tidak dapat menyeimbangkan perannya dalam pekerjaan dan keluarga akan mengalami konflik (WFC).

Berdasarkan survey awal yang dilakukan kepada 10 orang karyawan bagian produksi PT “X” yang sudah berkeluarga, diketahui bahwa tiga orang (30%) karyawan bagian produksi mengizinkan istrinya bekerja karena alasan ekonomi dengan harapan dapat lebih menyejahterakan keluarga, lima orang (50%) karyawan mengizinkan istrinya bekerja karena sebelum menikah istri sudah bekerja, sedangkan dua orang (20%) lainnya sebenarnya tidak mengizinkan istrinya untuk bekerja namun karena istrinya tetap memaksa, maka mereka yang mengalah. Karyawan yang memiliki istri yang juga bekerja merasakan tuntutan peran yang lebih besar dalam keluarga dibandingkan dengan karyawan lain yang tidak memiliki istri yang juga bekerja. Selain bekerja, mereka dituntut untuk membantu istri mencuci pakaian, mencuci piring, mengurus anak, maupun membersihkan rumah.

Dari sepuluh orang responden tersebut, didapat bahwa sebagian besar responden menyatakan kesulitan membagi waktu dalam menjalankan peran di pekerjaan dan keluarga. Terdapat sembilan orang (90%) yang menyatakan bahwa mereka merasa kesulitan dalam membagi waktu untuk keluarga karena dirinya terlalu sibuk dalam bekerja. Mereka merasa bahwa waktu yang digunakannya untuk bekerja membuat mereka kurang memiliki kedekatan dengan keluarganya.


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha Pada satu sisi, mereka ingin menghabiskan waktu bersama keluarga, namun perannya di pekerjaan tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Hal tersebut menggambarkan time-based conflict WIF, sedangkan satu orang (10%) lainnya tidak merasa waktu untuk keluarga menjadi berkurang karena harus bekerja, sebab ketika terdapat waktu bersama keluarga mereka akan memanfaatkannya sebaik mungkin dengan berkumpul bersama dan melakukan aktivitas bersama yang menyenangkan.

Sebanyak enam orang (60%) karyawan bagian produksi PT “X” merasa kesulitan dalam membagi waktu untuk bekerja karena mereka juga harus mengurus keluarga. Mereka seringkali telat datang ke kantor karena harus terlebih dahulu mengantar anak ke sekolah maupun mengantar istri ke tempat kerja. Selain itu, mereka juga terkadang meminta izin untuk pulang lebih cepat bahkan absent

dari pekerjaannya ketika istri maupun anak mereka sedang sakit. Karyawan bagian produksi PT “X” merasa kesulitan ketika harus memilih tetap masuk kerja atau izin dari tempatnya bekerja agar dapat mengurus keluarganya. Jika mereka tidak masuk kerja, maka mereka akan mendapatkan sanksi dari perusahaan, namun jika tetap memaksakan bekerja, mereka tidak dapat konsentrasi yang nantinya berdampak fatal bagi perusahaan. Hal ini menggambarkan time-based conflict FIW. Sebanyak empat orang (40%) tidak merasa waktu kerjanya tersita dengan keberadaan istri maupun anak yang sakit, karena anaknya sudah remaja dan ia dapat meminta istrinya yang cuti bekerja, maupun meminta bantuan dari pihak keluarga lainnya.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha Kelelahan sehabis pulang bekerja dirasakan oleh enam orang (60%) karyawan bagian produksi PT “X”. Mereka merasa sudah sangat lelah ketika pulang dari tempat kerja, terlebih saat jam kerja meningkat, sehingga saat berada di rumah, mereka tidak dapat menjalankan perannya dengan optimal dalam hal membantu istri membereskan rumah maupun mengurus anak. Ketika anak meminta mereka untuk menemani belajar maupun bermain, mereka ingin melakukannya, namun mereka menjadi lebih sering menolak karena terlalu lelah. Selain itu, karyawan bagian produksi PT “X” juga terkadang merasa menjadi lebih mudah marah kepada anak dan istrinya ketika terjadi perbedaan pendapat. Hal tersebut menggambarkan strain-based conflict WIF, sedangkan empat orang (40%) lainnya merasa bahwa kelelahan yang terjadi di tempat kerja tidak membuatnya menjadi mengabaikan tugas sebagai suami dan ayah untuk keluarganya. Meskipun mereka merasa lelah, namun ketika sampai di rumah kelelahan yang mereka rasakan menjadi hilang saat melihat anak dan istrinya.

Sebanyak lima orang (50%) karyawan bagian produksi PT “X” merasa kelelahan akibat menjalankan perannya di keluarga sebagai suami dan ayah, sehingga mengganggu kinerja di tempat kerja atau disebut dengan strain-based conflict FIW. Ketika terdapat masalah di keluarga, karyawan bagian produksi PT “X” lebih memfokuskan pada penyelesaian masalah keluarganya terlebih dahulu, namun mereka tidak dapat meninggalkan perannya di tempat kerja begitu saja, sehingga ketika mereka kembali menjalankan perannya di tempat kerja mereka merasa lelah dan kinerjanya menjadi kurang optimal. Misalnya ketika anak sakit, mereka akan mengurus anaknya terlebih dahulu, barulah berangkat bekerja. Saat


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha di tempat kerja, tidak jarang mereka merasa mengantuk, lelah, dan menjadi tidak konsentrasi. Sedangkan lima orang lainnya (50%) tidak merasakan kelelahan akibat mengurus keluarga yang dapat menghambat kinerjanya di tempat kerja.

Terdapat satu orang (10%) karyawan bagian produksi PT “X” yang merasa kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya di keluarga. Saat di tempat kerja, mereka dituntut untuk patuh pada aturan dan supervisi, bersikap tegas, serta memiliki kinerja dengan disiplin yang tinggi, sedangkan dalam keluarga karyawan produksi PT “X” dituntut untuk berperan sebagai kepala keluarga yang mampu bersikap hangat dan terbuka, serta mampu mengambil keputusan dalam rumah tangga. Mereka merasa kurang dapat menyeimbangkan tuntutan perilaku dalam peran tersebut, sehingga seringkali merasa ragu-ragu dan cenderung menyerahkan pengambilan keputusan kepada istri mereka. Hal ini menggambarkan behavior-based conflict WIF yang dirasakan oleh sebagian karyawan bagian produksi PT “X”. Sebanyak sembilan orang (90%) lainnya merasa bahwa dirinya mampu menyeimbangkan tuntutan perilaku ketika berada di rumah.

Sebanyak empat orang (40%) karyawan bagian produksi PT “X” merasakan kesulitan dalam mengatur perilakunya di tempat kerja, karena ketika di rumah mereka berperan sebagai kepala keluarga yang mengatur anggota keluarga lainnya, sedangkan di tempat kerja mereka diatur dan harus tunduk pada supervisi dan aturan yang berlaku. Ketika menghadapi suatu masalah, pengambilan keputusan harus dilakukan dengan berdiskusi bersama istri, berbeda ketika berada di kantor yang harus tunduk pada aturan yang ada. Hal ini menggambarkan


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha

behavior-based conflict FIW, sedangkan enam orang (60%) lainnya dapat menyesuaikan tingkah laku mereka ketika berada di tempat kerja.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa karyawan bagian produksi PT “X” yang sudah berkeluarga dan memiliki istri yang juga bekerja umumnya mengalami konflik yang ditimbulkan karena terdapat perbedaan tuntutan peran di keluarga dan pekerjaan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai Work – Family Conflict yang terjadi pada karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang.

1.2 Identifikasi Masalah

Ingin mengetahui bagaimana gambaran Work – Family Conflict pada karyawan bagian produksi di PT “X” Kota Serang.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

Work – Family Conflict pada karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh derajat Work – Family Conflict yang dilihat dari enam dimensi, yaitu time-based conflict WIF, strain

-based conflict WIF, behavior--based conflict WIF, time--based conflict FIW, strain


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha faktor-faktor yang mempengaruhinya pada karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

− Memberikan informasi dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi serta Psikologi Keluarga mengenai Work – Family Conflict yang terjadi pada karyawan.

− Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai Work – Family Conflict.

1.4.2 Kegunaan Praktis

− Memberikan informasi kepada bagian HRD PT “X” mengenai gambaran derajat Work – Family Conflict yang terjadi pada karyawan bagian produksi di PT “X” agar dapat digunakan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam pekerjaan dan rumah tangga. Hal tersebut dapat dilakukan melalui intervensi, seperti konseling maupun training yang diberikan oleh bagian HRD secara tepat sesuai dengan dimensi Work – Family Conflict yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi di PT “X” tersebut.


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pemikiran

Para karyawan bagian produksi PT “X” yang sudah berkeluarga serta memiliki istri yang juga bekerja, memiliki peran dalam keluarga dan juga dalam pekerjaan. Sebagai karyawan bagian produksi PT “X”, mereka harus dapat menjalankan dan memenuhi tuntutan peran di tempatnya bekerja, seperti menjalankan visi dan misi perusahaan serta melakukan tugas sebagaimana yang tercantum dalam job description yang sesuai dengan tuntutan pekerjaannya. Di sisi lain, tuntutan perannya dalam keluarga sebagai kepala keluarga, suami, dan ayah juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Karyawan bagian produksi PT “X” dengan istri yang juga bekerja, dituntut pula untuk dapat berpartisipasi seimbang dalam mengurus rumah tangga, mendidik anak, serta meluangkan waktu untuk keluarga.

Para karyawan yang menghayati perannya di keluarga dan pekerjaan memiliki derajat yang sama penting, dapat mengalami konflik dalam menjalankan tuntutan di kedua perannya tersebut. Karyawan akan merasakan beban yang berlebih bila tuntutan peran yang ada saling bertentangan dan harus segera dipenuhi, sebab mereka tidak dapat mengabaikan tuntutan salah satu peran demi peran lainnya. Karyawan yang menghabiskan sebagian besar waktu yang dimilikinya untuk melakukan tanggung jawab dan tuntutan pada salah satu peran, membuat mereka mencurahkan sebagian besar energi yang dimilikinya pada peran tersebut, sehingga kerapkali membuat mereka merasa lelah, hal ini dapat berdampak pula pada perilakunya baik di lingkungan kerja maupun keluarga. Ketika karyawan lebih memfokuskan diri pada salah satu perannya, mereka tidak


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha dapat mengabaikan perannya yang lain, sebab mereka dapat menghayati rasa bersalah karena mengabaikan tuntutan peran. Hal ini dapat menimbulkan konflik dalam diri karyawan yang bersangkutan mengenai tuntutan pada peran mana yang harus mereka jalankan terlebih dahulu maupun bagaimana caranya agar dapat menyeimbangkan tuntutan kedua perannya tersebut. Kesenjangan harapan antara tuntutan dua peran yakni di keluarga dan pekerjaan membuat karyawan bagian produksi PT “X” dapat mengalami konflik antar peran yang dikenal dengan istilah

Work – Family Conflict.

Work – Family Conflict ialah suatu bentuk interrole conflict yang mana tekanan atau tuntutan peran yang berasal dari pekerjaan dan keluarga saling mengalami ketidakcocokan, sehingga partisipasi untuk berperan dalam satu peran menjadi lebih sulit dengan adanya partisipasi untuk berperan dalam perannya yang lain (Greenhaus dan Beutell, 1985). Karyawan bagian produksi PT “X” yang menghayati Work – Family Conflict tinggi, mereka merasakan derajat yang tinggi terhadap interrole conflict, yang menimbulkan kesulitan dalam menjalankan kedua peranannya yakni di pekerjaan dan keluarga karena tekanan di pekerjaan dan keluarga saling mengalami ketidakcocokan. Bagi karyawan bagian produksi PT “X” yang menghayati Work – Family Conflict rendah, mereka merasakan derajat yang rendah terhadap interrole conflict, sehingga masih dapat menyeimbangkan tuntutan dari kedua perannya tersebut.

Work – Family Conflict yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat terlihat dari dua arah yaitu Work Interference with Family (WIF) dan


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha

with Family (WIF) yang artinya konflik dari pekerjaan yang mempengaruhi kehidupan keluarga. Karyawan bagian produksi PT “X” yang lebih menghayati

WIF akan merasa kesulitan dalam menjalankan perannya dalam keluarga, seperti kesulitan dalam mengurus rumah tangga, mendidik anak, membagi waktu untuk keluarga, dan sebagainya karena tuntutan peran di pekerjaan membuatnya kekurangan waktu dan tenaga untuk menjalankan perannya di keluarga.

Arah yang kedua ialah Family Interference with Work (FIW) yang artinya konflik dari keluarga yang mempengaruhi pekerjaan. Sebaliknya, karyawan bagian produksi PT “X” yang lebih menghayati FIW akan merasa kesulitan ketika menjalankan tuntutan perannya di pekerjaan karena waktu dan tenaga yang dimilikinya tercurahkan untuk memenuhi tuntutan perannya dalam keluarga, sehingga ketika berada di tempat kerja mereka menjadi sulit berkonsentrasi, kelelahan, dan seringkali mengabaikan pekerjaannya.

Selain dilihat dari arahnya, Work – Family Conflict yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” juga dapat dilihat dari bentuknya, yang terdiri dari tiga bentuk yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict. Kombinasi antara dua arah Work – Family Conflict, yaitu Work Interference with Family (WIF)dan Family Interference with Work (FIW) dengan tiga bentuk Work – Family Conflict, yaitu time, strain, dan behavior akan memunculkan enam dimensi dari Work – Family Conflit. Keenam dimensi tersebut ialah time-based conflict WIF, strain-based conflict WIF, behavior-based conflict WIF, time-based conflict FIW, strain-based conflict FIW, dan behavior-based conflict FIW (Greenhaus dan Beutell, 1985).


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha

Time-based conflict berkaitan dengan tuntutan waktu dalam satu peran menghambat pemenuhan tuntutan waktu pada peran yang lain. Ketika karyawan bagian produksi PT “X” menggunakan sebagian besar waktunya untuk menjalankan salah satu perannya, maka perannya yang lain dapat kurang terperhatikan, dengan kurang terperhatikan salah satu perannya ini, memungkinkan diterimanya sanksi negatif, hal inilah yang dapat menimbulkan

interrole conflict dari sisi waktu dalam diri karyawan yang bersangkutan.

Time-based conflict yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat dilihat dari dua arah. Arah yang pertama ialah time-based conflict WIF, yakni konflik yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” terkait dengan tuntutan waktu pada perannya sebagai pekerja yang menghambat pemenuhan tuntutan waktu dalam menjalankan perannya di keluarga. Misalnya ketika karyawan bagian produksi PT “X” telah selesai bekerja dari pagi hingga sore dan tiba terlambat di rumah karena terdapat pekerjaan yang belum rampung, membuat waktu untuk bersama anak dan keluarga menjadi lebih sedikit. Pada satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan perannya di pekerjaan terkait dengan aturan jam kerja dan pencapaian target, namun di sisi lain mereka juga tidak dapat mengabaikan tuntutan waktu dalam perannya di keluarga, hal inilah yang dapat menimbulkan konflik dalam diri karyawan.

Time-based conflict WIF yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat dipengaruhi oleh faktor dari lingkup area kerja seperti jumlah jam kerja dan jam kerja yang tidak teratur. Tuntutan pada perannya sebagai karyawan bagian produksi PT “X” yang bekerja 45 jam seminggu serta seringkali pulang


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha tidak tepat waktu karena harus lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya membuat karyawan bagian produksi PT “X” merasa kekurangan waktu untuk mengurus keluarga. Selain itu, semakin banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan kantor - rumah juga dapat membuat karyawan bagian produksi PT “X” tiba di rumah menjadi lebih malam sehingga waktu untuk menjalankan perannya dalam keluarga menjadi berkurang.

Sebaliknya, jika karyawan bagian produksi PT “X” menghayati bahwa tuntutan waktu dalam menjalankan perannya di keluarga yang menghambat pemenuhan tuntutan waktu dalam menjalankan perannya di pekerjaan hal ini disebut dengan time-based conflict FIW. Contohnya ketika sudah saatnya berangkat ke kantor, namun keadaan rumah masih berantakan ataupun anak atau istri sedang sakit membuat karyawan bagian produksi PT “X” harus mengurus keluarganya terlebih dahulu, sehingga membuatnya telat datang ke kantor atau mungkin sampai tidak masuk bekerja.

Faktor dari lingkup keluarga seperti usia anak terkecil, pekerjaan pasangan, serta keluarga yang besar dapat mempengaruhi time-based conflict FIW. Karyawan bagian produksi PT “X” yang memiliki anak usia lebih kecil serta keluarga yang besar menuntut mereka untuk dapat meluangkan waktu yang lebih banyak dibandingkan mereka yang memiliki anak dengan usia yang lebih besar maupun keluarga yang kecil. Selain itu, pekerjaan istri, seperti jam kerja yang panjang dan tidak teratur, dapat meningkatkan konflik waktu yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X”, karena tuntutannya untuk ikut serta dalam mengurus rumah tangga menjadi semakin besar.


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha Bentuk kedua dari Work – Family Conflict ialah strain-based conflict, yaitu kelelahan atau ketegangan dalam satu peran menghambat pemenuhan tuntutan pada peran yang lain. Strain-based conflict yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat pula berkaitan dengan banyaknya waktu yang digunakan untuk menjalankan tuntutan pada salah satu perannya. Misalnya karyawan bagian produksi yang lebih memfokuskan waktu yang dimiliki untuk menjalankan perannya sebagai pekerja, dapat membuat dirinya lelah dan tegang, yang mana dapat menghambatnya ketika menjalankan peran di keluarga, begitu pula sebaliknya.

Sama halnya dengan time-based conflict, strain-based conflict juga dapat terlihat dari dua arah. Arah yang pertama yaitu strain-based conflict WIF, yakni ketegangan atau kelelahan dalam menjalankan perannya sebagai pekerja bagian produksi PT “X” dapat menghambat pemenuhan tuntutan perannya dalam keluarga. Misalnya karyawan bagian produksi PT “X” yang merasakan kelelahan atau ketegangan setelah seharian bekerja, sehingga saat tiba di rumah mereka tidak dapat membantu mengurus rumah tangga, membantu istri, maupun mengurus anak dan membimbingnya belajar. Terlebih saat mereka harus lembur bekerja, waktu yang dicurahkan dalam menjalankan perannya di pekerjaan semakin banyak, sehingga kelelahan maupun ketegangan yang dirasakannya pun semakin kuat ketika tiba di rumah.

Starin-based conflict WIF dapat dipengaruhi oleh konflik dalam pekerjaan, peran yang ambigu, serta batasan aktivitas dalam bekerja. Peran di tempat kerja yang ambigu, konflik yang terjadi dalam pekerjaan, serta aktivitas yang terlalu


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha padat di tempat kerja merupakan faktor dari lingkup area pekerjaan yang dapat membuat karyawan bagian produksi PT “X” merasa kelelahan dan ketegangan baik secara fisik maupun psikologis dalam menjalankan perannya di pekerjaan, sehingga menghambat pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga.

Sebaliknya, jika karyawan bagian produksi PT “X” menghayati bahwa ketegangan dan kelelahan ketika menjalankan perannya dalam keluarga dapat menghambatnya saat menjalankan perannya di pekerjaan hal ini disebut strain-based conflict FIW. Misalnya karyawan bagian produksi PT “X” yang memiliki anak maupun istri yang sedang sakit, mereka dituntut untuk tetap berjaga hingga tengah malam saat merawat anak maupun istrinya, sehingga esok harinya mereka sudah terlalu lelah dan sulit konsentrasi ketika bekerja.

Strain-based FIW yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat dipengaruhi oleh konflik yang terjadi dalam keluarga dan rendahnya dukungan dari pasangan. Karyawan bagian produksi PT “X” yang seringkali mengalami konflik yang tak teratasi dalam keluarga ataupun rendahnya dukungan yang diberikan oleh istri dapat membuat mereka mengalami kelelahan dan ketegangan dalam menjalankan perannya di keluarga, sehingga saat tiba di kantor meraka menjadi kurang dapat memenuhi tuntutan peran sebagai karyawan bagian produksi PT “X”.

Bentuk ketiga dari Work – Family Conflict adalah behavior-based conflict.

Behavior-based conflict berkaitan dengan tuntutan pola perilaku pada satu peran tidak sesuai dengan tuntutan pola perilaku pada peran yang lain. Setiap peran yang dijalankan oleh karyawan bagian produksi PT “X” menuntut pola perilaku


(31)

21

Universitas Kristen Maranatha yang berbeda antar masing-masing peran. Jika karyawan yang bersangkutan tidak dapat menyeimbangkan tuntutan pola perilaku dalam setiap perannya, maka mereka dapat mengalami behavior-based conflict.

Behavior-based conflict juga dapat terlihat dari dua arah. Jika karyawan bagian produksi PT “X” menghayati adanya kesulitan dalam menyesuaikan pola perilakunya ketika menjalankan peran dalam keluarga karena tuntutan pola perilakunya sebagai karyawan bagian produksi PT “X” tidak sesuai dengan tuntutan pola perilaku peran dalam keluarga hal ini disebut dengan behavior-based conflict WIF. Sebagai karyawan bagian produksi sebuah perusahaan

engineering, mereka dituntut untuk memiliki sikap yang tegas, objektif, memiliki disiplin kerja dan keakuratan yang tinggi, dapat memegang rahasia, serta patuh pada aturan dan prosedur yang ada. Jika perilaku yang sama diterapkan ketika menjalankan peran di keluarga, hal ini menjadi tidak sesuai dengan tuntutan istri dan anaknya yang mengharapkan mereka dapat bersikap hangat, penuh perhatian dan kasih sayang, serta saling keterbukaan antar pasangan.

Sebaliknya, jika karyawan bagian produksi PT “X” menghayati bahwa dirinya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan pola perilakunya ketika menjalankan peran di pekerjaan karena tuntutan perannya di keluarga tidak sesuai dengan tuntutan perannya di pekerjaan hal ini disebut dengan behavior-based conflict FIW. Karyawan bagian produksi PT “X” ketika menjalankan perannya dalam keluarga dituntut untuk bersikap hangat dan terbuka, serta melakukan penyelesaian konflik yang kolaboratif, berbeda halnya dengan tuntutan peran di tempat kerja yang menuntutnya untuk dapat memegang rahasia dan bersikap


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha objektif. Jika karyawan PT “X” tidak dapat menyeimbangkan tuntutan peran di pekerjaan karena terbawa oleh perilakunya dalam menjalankan peran di keluarga, hal ini membuat karyawan yang bersangkutan mengalami behavior-based conflict FIW.

Karyawan bagian produksi PT “X” yang sudah berkeluarga dan memiliki istri yang juga bekerja dapat mengalami Work – Family Conflict, yang dilihat dari enam dimensi Work – Family Conflict seperti yang telah diuraikan di atas. Derajat

Work – Family Conflict yang dihayati oleh setiap karyawan bagian produksi PT “X” dapat berbeda-beda dan tidak menutup kemungkinan satu individu dapat memiliki derajat yang sama kuat dalam beberapa dimensi yang ada.


(33)

23

Universitas Kristen Maranatha Karyawan bagian

produksi PT “X” Kota Serang

Work Family Conflict

1. Time-based WIF

2. Strain-based WIF

3. Behavior-based WIF

4. Time-based FIW

5. Strain-based FIW

6. Behavior-based FIW

Tinggi

Rendah Lingkup area kerja :

• Jumlah jam kerja

• Jam kerja yang tidak teratur • Waktu rumah – kantor • Role conflict

Role ambiguity

• Harapan akan kerahasiaan dan objektifitas

Lingkup area keluarga : • Usia anak terkecil • Pekerjaan pasangan • Keluarga yang besar • Family conflict • Rendahnya dukungan

pasangan

• Harapan akan kehangatan dan keterbukaan


(34)

24

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian

- Work – Family Conflict yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat terlihat dari dua arah, yaitu Work Interference with Family (WIF) dan Family Interference with Work (FIW).

- Work – Family Conflict yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” juga dapat terlihat melalui tiga bentuk, yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict.

- Kombinasi antara arah dan bentuk dari Work – Family Conflict yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” menghasilkan enam dimensi Work – Family Conflict, yaitu time-based conflict WIF, strain-based conflict WIF, behavior-based conflict WIF, time-based conflict FIW,

strain-based conflict FIW, dan behavior-based conflict FIW.

- Work – Family Conflict yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat dipengaruhi oleh faktor lingkup area kerja dan faktor lingkup area keluarga.

- Derajat dan dimensi Work – Family Conflict yang dirasakan oleh karyawan bagian produksi PT “X” dapat berbeda-beda.


(35)

76

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai Work – Family Conflict pada karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Sebagian besar (60,6%) karyawan bagian produksi PT “X” menghayati derajat Work – Family Conflict yang rendah, sedangkan 39,4% lainnya menghayati derajat Work – Family Conflict yang tinggi.

2. Dalam penelitian ini, karyawan bagian produksi PT “X” yang menghayati derajat Work – Family Conflict tinggi mayoritas memiliki derajat yang tinggi pula pada keenam dimensinya, begitu pula sebaliknya.

3. Di samping faktor demografis (usia karyawan, masa kerja, lama menikah, penghasilan, dan keberadaan pengasuh atau pembantu di rumah), faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan derajat Work – Family Conflict

yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” ialah waktu tempuh rumah – kantor, usia anak terkecil, role conflict, role ambiguity, serta dukungan dari pasangan.


(36)

77

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan terkait Work – Family Conflict pada karyawan dengan menggunakan data hasil penelitian ini sebagai data awal atau acuan, terutama terkait dengan waktu tempuh rumah – kantor, role conflict, role ambiguity, serta dukungan dari pasangan.

2. Terkait dengan dimensi behavior-based conflict WIF dan FIW, disarankan untuk menggali lebih dalam mengenai penghayatan dan tuntutan peran yang dijalankan, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait dengan tuntutan pola perilaku di tempat kerja maupun keluarga.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak PT “X” Kota Serang, terutama bagian HRD dapat disarankan untuk :

• Bagi karyawan bagian produksi PT “X” yang telah menghayati derajat rendah pada konflik antara kerja dengan keluarga, dihimbau untuk tetap dapat mempertahankannya, misalnya dengan tetap menghindari peran yang ambigu dan konflik peran yang terjadi di tempat kerja, maupun menghimbau agar tetap memberikan dukungan antar pasangan.

• Bagi karyawan bagian produksi PT “X” yang menghayati menghayati derajat tinggi pada konflik antara kerja dengan keluarga, dapat dilakukan intervensi


(37)

78

Universitas Kristen Maranatha dengan memberikan training management stress supaya karyawan bagian produksi PT “X” dapat meminimalisasi konflik yang disebabkan oleh ketegangan atau kelelahan dalam menjalankan perannya.


(38)

79

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Buonocore, Filomena Dan Russo Marcello. 2010. Reducing The Effects Of Work-Family Conflict On Job Satisfaction:The Kind Of Commitment Matters. Bologna: Alma Mater Studiorum Università.

Carlson, Dawn S. Dan K. Michele Kacmar. 2000. Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict.

Journal of Vocational Behavior 56, 249-276

Duvall, E.M., & Miller, B.C. 1985. Marriage and Family Development (5th ed.). New York : Harper & Row, Publishers.

Frone. M. R.. M. Russell, M. L. Cooper. 1992. “Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict: Testing a Model of The Work-Family Interface”.

Journal of Applied Psychology Vol. 77 No.1, pp. 65-75.

Greenhaus, Jeffrey H., Nicholas J. Beutell. Sources of Conflict between Work and Family Roles. The Academy of Management Review, Vol. 10, No. 1 (Jan., 1985), pp. 76-88.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo.

Kerlinger, F.N., & Lee, H.B. 2000. Foundations of Behavioral Research (4th ed.). USA : Harcourt College Publishers.

Korabik, Karen., Donna S Lero, Denise L. Whitehead. 2008. Handbook of Work – Family Integration. Canada : Academic Press.

Kossek, E.E., Ozeki, C. 1998. Work-Family Conflict, Policies, and the Job-Satisfaction Relationship : A Review and Directions for Organizational Behavior-Human Resources Research. Journal of Applied Psychology83(2), 139-148.


(39)

80

Universitas Kristen Maranatha Kumar, R. 1999. Research Methodology : A Step–by–Step Guided for Beginners.

New Delhi : SAGE Publications.

Myers. D.G., Spencer, S.J., & Jordan, C. 1983 . Social Psychology. New York : McGraw-Hill.

Papalia, D.E., Sterns, H.L., Feldman, R.H., & Camp, C.J. 2007. Adult Development and Aging (3rd ed.). New York : McGraw-Hill.

Santrock, John W. 1999. A Topical Approach to Life – Span Development. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.


(40)

81

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Badan Pusat Statistik. 2012. Persentase Rumah Tangga menurut Provinsi, Jenis Kelamin KRT yang Bekerja, dan Daerah Tempat Tinggal, 2009-2012. (Online). (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar= 1&id_subyek=40&notab=6, diakses 20 Februari 2013)

Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Harahap, Nurul Mahvira. 2010. Hubungan Work-Family Conflict dengan Komitmen Organisasi pada Perempuan Menikah yang Bekerja. (Online). (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17669, diakses 10 Desember 2012).

Higgins, Christopher A., and Duxbury, Linda E. 1992. Work-Family Conflict: A Comparison of Dual-Career and Traditional-Career Men. Journal of Organizational Behavior, 13: 389-411.

Mufida, Alia. 2008. Hubungan Work-Family Conflict dengan Psychological Well-Being Ibu yang Bekerja. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Oktorina, Megawati, Christine W.S., Indah Mula. 2010. Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga Terhadap Kinerja dengan Konflik Pekerjaan Keluarga Sebagai Intervening Variabel. Jurnal Management dan Kewirausahaan. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Valerye, Sherlen. 2012. Studi Deskriptif mengenai Work Family Conflict pada Suami yang Bekerja di Perusahaan “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha


(1)

76 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai Work – Family Conflict pada karyawan bagian produksi PT “X” Kota Serang, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Sebagian besar (60,6%) karyawan bagian produksi PT “X” menghayati derajat Work – Family Conflict yang rendah, sedangkan 39,4% lainnya menghayati derajat Work – Family Conflict yang tinggi.

2. Dalam penelitian ini, karyawan bagian produksi PT “X” yang menghayati derajat Work – Family Conflict tinggi mayoritas memiliki derajat yang tinggi pula pada keenam dimensinya, begitu pula sebaliknya.

3. Di samping faktor demografis (usia karyawan, masa kerja, lama menikah, penghasilan, dan keberadaan pengasuh atau pembantu di rumah), faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan derajat Work – Family Conflict yang dihayati oleh karyawan bagian produksi PT “X” ialah waktu tempuh rumah – kantor, usia anak terkecil, role conflict, role ambiguity, serta dukungan dari pasangan.


(2)

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan terkait Work – Family

Conflict pada karyawan dengan menggunakan data hasil penelitian ini

sebagai data awal atau acuan, terutama terkait dengan waktu tempuh rumah – kantor, role conflict, role ambiguity, serta dukungan dari pasangan.

2. Terkait dengan dimensi behavior-based conflict WIF dan FIW, disarankan untuk menggali lebih dalam mengenai penghayatan dan tuntutan peran yang dijalankan, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait dengan tuntutan pola perilaku di tempat kerja maupun keluarga.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak PT “X” Kota Serang, terutama bagian HRD dapat disarankan untuk :

• Bagi karyawan bagian produksi PT “X” yang telah menghayati derajat rendah pada konflik antara kerja dengan keluarga, dihimbau untuk tetap dapat mempertahankannya, misalnya dengan tetap menghindari peran yang ambigu dan konflik peran yang terjadi di tempat kerja, maupun menghimbau agar tetap memberikan dukungan antar pasangan.

• Bagi karyawan bagian produksi PT “X” yang menghayati menghayati derajat tinggi pada konflik antara kerja dengan keluarga, dapat dilakukan intervensi


(3)

78

dengan memberikan training management stress supaya karyawan bagian produksi PT “X” dapat meminimalisasi konflik yang disebabkan oleh ketegangan atau kelelahan dalam menjalankan perannya.


(4)

79

Universitas Kristen Maranatha

Family Conflict On Job Satisfaction:The Kind Of Commitment Matters.

Bologna: Alma Mater Studiorum Università.

Carlson, Dawn S. Dan K. Michele Kacmar. 2000. Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of Work-Family Conflict. Journal of Vocational Behavior 56, 249-276

Duvall, E.M., & Miller, B.C. 1985. Marriage and Family Development (5th ed.). New York : Harper & Row, Publishers.

Frone. M. R.. M. Russell, M. L. Cooper. 1992. “Antecedents and Outcomes of Work-Family Conflict: Testing a Model of The Work-Family Interface”.

Journal of Applied Psychology Vol. 77 No.1, pp. 65-75.

Greenhaus, Jeffrey H., Nicholas J. Beutell. Sources of Conflict between Work and Family Roles. The Academy of Management Review, Vol. 10, No. 1 (Jan., 1985), pp. 76-88.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo.

Kerlinger, F.N., & Lee, H.B. 2000. Foundations of Behavioral Research (4th ed.). USA : Harcourt College Publishers.

Korabik, Karen., Donna S Lero, Denise L. Whitehead. 2008. Handbook of Work –

Family Integration. Canada : Academic Press.

Kossek, E.E., Ozeki, C. 1998. Work-Family Conflict, Policies, and the Job-Satisfaction Relationship : A Review and Directions for Organizational Behavior-Human Resources Research. Journal of Applied Psychology83(2),


(5)

80

Kumar, R. 1999. Research Methodology : A Step–by–Step Guided for Beginners. New Delhi : SAGE Publications.

Myers. D.G., Spencer, S.J., & Jordan, C. 1983 . Social Psychology. New York : McGraw-Hill.

Papalia, D.E., Sterns, H.L., Feldman, R.H., & Camp, C.J. 2007. Adult

Development and Aging (3rd ed.). New York : McGraw-Hill.

Santrock, John W. 1999. A Topical Approach to Life – Span Development. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.


(6)

81

Universitas Kristen Maranatha

Kelamin KRT yang Bekerja, dan Daerah Tempat Tinggal, 2009-2012.

(Online). (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar= 1&id_subyek=40&notab=6, diakses 20 Februari 2013)

Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Harahap, Nurul Mahvira. 2010. Hubungan Work-Family Conflict dengan

Komitmen Organisasi pada Perempuan Menikah yang Bekerja. (Online).

(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17669, diakses 10 Desember 2012).

Higgins, Christopher A., and Duxbury, Linda E. 1992. Work-Family Conflict: A

Comparison of Dual-Career and Traditional-Career Men. Journal of

Organizational Behavior, 13: 389-411.

Mufida, Alia. 2008. Hubungan Work-Family Conflict dengan Psychological

Well-Being Ibu yang Bekerja. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia

Oktorina, Megawati, Christine W.S., Indah Mula. 2010. Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga Terhadap Kinerja dengan Konflik

Pekerjaan Keluarga Sebagai Intervening Variabel. Jurnal Management dan

Kewirausahaan. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Valerye, Sherlen. 2012. Studi Deskriptif mengenai Work Family Conflict pada

Suami yang Bekerja di Perusahaan “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung :