Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-Tokoh Cerpen Bakdi Soemanto.

(1)

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN

ISSN 1693-749X

V

V

V

V

Volume 9 No. 1, Maret 2015

olume 9 No. 1, Maret 2015

olume 9 No. 1, Maret 2015

olume 9 No. 1, Maret 2015

olume 9 No. 1, Maret 2015

SI NTESI S V ol. 9 N o. 1 H a la m a n Yogya k a r t a I SSN 1 - 5 3 M a ret 2 0 1 5 1 6 9 3 - 7 4 9 X

GAIRAH UNTUK HIDUP DAN GAIRAH UNTUK MATI:

PEMBACAAN SIMPTOMATIK

ATAS

WASIAT KEMUHAR

KARYA PION RATULOLY

Yoseph Yapi Taum

YANG ABSURD, YANG ARIF:

ANALISIS TOKOH-TOKOH

CERPEN BAKDI SOEMANTO

Novita Dewi

KAJIAN SOSIOLOGIS DAN NILAI-NILAI

PENDIDIKAN CERPEN “MAYAT DI SIMPANG JALAN”

KARYA KOMANG ADNYANA

Y. Niken Sasanti

BAHASA INDONESIA RAGAM BAKU:

SESAT PIKIR, KEKURANGPATUHAN,

DAN REKOMENDASI

P. Ari Subagyo

PERGULATAN MULTIKULTURALISME

MASYARAKAT YOGYAKARTA

DARI PERSPEKTIF BAHASA

I. Praptomo Baryadi


(2)

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN

ISSN 1693-749X

SINTESIS

SINTESIS

SINTESIS

SINTESIS

SINTESIS

Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 1-53

Pemimpin Redaksi

Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.

Sekretaris Redaksi

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.

Anggota Redaksi

S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Drs. B. Rahmanto, Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.,

Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.

Mitra Bestari

Bernard Arps, Ph.D. (Leiden University),

Prof. Dr. Soepomo Poejosoedarmo (KBI, Universitas Sanata Dharma) Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, M.S., M.A. (FIB, Universitas Gadjah Mada)

Dr. St. Sunardi, Lic. (IRB, Universitas Sanata Dharma)

Redaksi Pelaksana

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum., Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum.

Administrasi/Sirkulasi

Thomas A. Hermawan M., A.Md.

Veronika Margiyanti

Tata Letak

Thomas A. Hermawan M., A.Md.

SINTESIS adalah jurnal ilmiah bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Indonesia (PKBSBI, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terbit pertama kali bulan Oktober dengan frekuensi terbit dua kali setahun pada bulan Maret dan Oktober.

SINTESIS menerima sumbangan karangan ilmiah khususnya hasil penelitian dari para peminat bahasa, sastra, dan budaya Indonesia. Naskah karangan hendaknya dikirim dalam bentuk cetak komputer disertai CD-nya atau dikirim melalui email yang menggunakan program Microsoft Word sepanjang maksimal halaman

spasi ganda, dengan format sebagaimana tercantum pada halaman kulit dalam-belakang Petunjuk bagi Penulis . Naskah yang masuk ke redaksi akan dievaluasi dan disunting untuk menciptakan tata tulis yang seragam dan konsisten.

Alamat Redaksi: Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Mrican, Teromol Pos , Yogyakara , Telepon , ext. , Faks. . E-mail: sintesis@usd.ac.id


(3)

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN

ISSN 1693-749X

SINTESIS

SINTESIS

SINTESIS

SINTESIS

SINTESIS

Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 1-53

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... iii Dari Redaksi ... iv Gairah Untuk Hidup dan Gairah Untuk Mati: Pembacaan Simptomatik

atas Wasiat Kemuhar Karya Pion Ratuloly ... 1-15

Yoseph Yapi Taum

Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen Bakdi Soemanto ... 16-23 Novita Dewi

Kajian Sosiologis dan Nilai-nilai Pendidikan Cerpen “Mayat Di Simpang Jalan”

Karya Komang Adnyana ... 24-36 Y. Niken Sasanti

Bahasa Indonesia Ragam Baku: Sesat Pikir, Kekurangpatuhan,

dan Rekomendasi ... 37-45

P. Ari Subagyo

Pergulatan Multikulturalisme Masyarakat Yogyakarta Dari Perspektif Bahasa ... 46-53 I. Praptomo Baryadi


(4)

DARI REDAKSI

Menurut Aristoteles, sastra merupakan jalan keempat menuju kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Kebenaran sastra adalah kebenaran yang tidak menggugat ataupun membutuhkan pembuktian logis dan rasional. Kebenaran sastra adalah kebenaran yang menyentuh secara halus dan penuh pralambang. Terkadang, kebenaran sastra tersembunyi di dalam berbagai sarana retorika, tanda-tanda semiotik, dan struktur estetika spesifik yang membutuhkan cara pendekatan tertentu dalam proses pemahamannya. Karena itulah, teori sastra menawarkan berbagai perspektif untuk membaca dan memahami karya sastra.

Sintesis Vol. 9 Nomor 1, Maret 2015 ini menawarkan perspektif pembacaan simptomatik, eksistensialisme, dan sosiologis d a l a m m e m b a c a , m e m a h a m i , d a n menginterpretasi karya-karya sastra. Yoseph Yapi Taum membaca dan menafsirkan kompulan cerpen seorang sastrawan muda dari NTT, Pion Ratulolly. Novita Dewi membaca cerpen membaca tokoh-tokoh absurd an arif dalam cerpen Bakdi Soemanto dengan pendekatan eksistensialisme. Y. Niken Sasanti membaca cerpen “Mayat di Simpang Jalan” dengan pendekatan sosiologis dan nilai-nilai pendidikan. Pembacaan mereka merupakan sebuah alternatif pemahaman terhadap teks-teks tersebut. Tentu saja terbuka kemungkinan untuk membaca dan memahami teks-teks tersebut dengan cara dan pendekatan yang berbeda karena sebuah teks sastra pada prinsipnya merupakan teks yang multi-interpretasi.

P. Ari Subagyo dalam tulisan berjudul “Bahasa Indonesia Ragam Baku: Sesat Pikir, Kekurangpatuhan, dan Rekomendasi” secara khusus menyoroti berbagai persoalan Bahasa Indonesia Ragam Baku (BIRB). Ada gejala yang menunjukkan bahwa masyarakat

i v

kadang-kadang kurang patuh pada BIRB. Persoalan bahasa baku itu sendiri pun menimbulkan sesat piker, seolah-olah BI adalah bahasa yang sudah tua dan mapan. Persoalan BIRB pun belum tepat benar, kadang terlalu sempit hanya pada masalah kaidah-kaidah EYD, tetapi kadang juga terlalu luas pada semua modus penggunaan bahasa. Secara khusus Ari Subagyo mengungkap lima sebab Kekurangpatuhan masyarakat, termasuk masyarakat akademik, kepada kaidah BIRB, yaitu: (a) latar kesejarahan bahasa Indonesia, (b) inkonsistensi acuan, (c) rendahnya mutu pembelajaran bahasa, (d) rendahnya minat baca dan tulis masyarakat Indonesia, serta (e) mentalitas bangsa Indonesia yang suka gandrung pada budaya luar, termasuk bahasa asing. Berdasarkan temuan-temuan itu, penulis ini merekomendasikan (a) pembentukan kepribadian (karakter) mahasiswa melalui perilaku ber-BIRB pada struktur makro hingga mikro, (b) pembelajaran/perkuliahan BI yang mampu mengasah kemampuan berpikir kritis, (c) keterpaduan langkah semua dosen mata kuliah apa pun untuk bersama-sama patuh pada BIRB, serta (d) keterpaduan kuliah BI dan kebiasaan ber-BIRB dengan tradisi menulis pada dosen.

Dalam makalah berjudul “Pergulatan Multikulturalisme Masyarakat Yogyakarta Dari Perspektif Bahasa,” I. Praptomo Baryadi membicarakan perjuangan masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat yang multikultural untuk mewujudkan pandangan “kesetaraan dalam perbedaan” dalam kehidupannya, dari perspektif bahasa. Masyarakat Yogya merupakan “masyarakat diglosik”, yaitu masyarakat yang menggunakan banyak bahasa dengan fungsi yang berbeda. Pembahasan menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa untuk “mengaransemen” interaksi warganya yang


(5)

v

Dari Redaksi

beragam sehingga menciptakan kehidupan bersama yang saling menghargai. Dalam hal ini bahasa berperan mengaransemen hubungan baik antaranggota masyarakat dalam satu suku maupun antaranggota

masyarakat yang berbeda suku. Masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat diglosik masih terus bergulat memperjuangkan kesetaraan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.


(6)

YANG ABSURD, YANG ARIF:

ANALISIS TOKOH-TOKOH CERPEN BAKDI SOEMANTO

Novita Dewi

Dosen Pr ogr am Magist er Kaj ian Bah asa I n ggr is, Pr ogr am Pasca Sar j an a Un iv er sit as San at a Dh ar m a, Yogy ak ar t a

( em ail: n ov it adew i@u sd. ac. id)

ABSTRAK

Artikel ini membahas penokohan dalam sejumlah cerpen karya Bakdi Soemanto yang mengedepankan absurditas lewat tokoh-tokoh utama yang konyol, bernasib sial, dan bahkan dianggap kurang waras. Lewat analogi nama, analogi lanskap, dan analogi antar tokoh, tersibaklah kearifan di balik tokoh-tokoh absurd ini. Absurditas mereka sekaligus menerangi batas-batas kabur antara kewarasan dan kegilaan ketika manusia mencoba mencari makna dalam hidup yang dalam gagasan filsafat eksistensialisme tidak punya makna.

Kata kunci: absurd, analogi nama, analogi lanskap, analogi antar tokoh.

1.

PENGANTAR

Jika dalam khasanah sastra Amerika dikenal tokoh rasis penuh kepura-puraan seperti Tom Buchanan dalam The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, tokoh Datuk Maringgih ditampilkan oleh Marah Rusli sebagai pribadi yang sangat tidak menyenangkan dalam Sitti Nurbaya. Sementara itu Nyai Ontosoroh dan hampir semua tokoh perempuan dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer selalu diingat karena tampil tegar dan bermartabat. Sebagai bandingan, simpati pembaca ditumbuhkan lewat tokoh Laura Wingfield gadis lumpuh tak berdaya dalam drama besutan Tennesse Williams The Glass Menagerie, meski kemudian tokoh ini berubah menjadi perempuan “normal”, kuat, dan percaya diri.

Cerita dengan tokoh yang menawan tidak mudah dilupakan. Tokoh mengesankan tidak selalu tampil sebagaiorang baik, suci, dan murni hatinya. Maria dalam novel Layar Terkembang, misalnya, nampak begitu mulia dibanding Tuti, terutama saat ia merelakan tunangannya Yusuf menikahi saudara kandungnya itu. Di sini, Sutan Takdir

Alisyahbana menokohkan Tuti sebagai perempuan aktif dan berpikiran maju sehingga iaterlihat lebih menarik dibandingkan tokoh Maria. Selanjutnya, tokoh dalam fiksi tidak harus kasar, bengis, maupun kejam tiada tara untuk selalu dikenang. Tidak semua tokoh diciptakan seperti Lord Voldermort musuh abadi Harry Potter yang begitu bernafsu membunuh pelajar sekolah sihir Hogwarts itu sejak ia masih seorang bocah lugu. Seorang tokoh menjadi tak terlupakan justru karena ia hadir dalam cerita sebagai orang biasa dan tidak istimewa. Bagi para penggemar sastra eksistensialis, karakter seperti Vladimir dan Estragon nampak menarik karenaulah mereka yang menimbulkan teka-teki.

Masih banyak lagi contoh yang bisa dipaparkan, tetapi jelaslah di sini bahwa dalam sastra manapun penokohan merupakan bagian terpenting dari sebuah desain cerita karena kehadiran tokohlah yang bisa merebut imajinasi pembaca. Salah satu proses yang menyenangkan dalam membaca karya sastra adalah mengawalterus perjalanan karakter di sepanjang cerita. Meskipun penokohan dalam cerita kadang berbeda


(7)

1 7

Novita Dewi –Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen ....

dalam hal latar belakang, minat, tampilan fisik, kebiasaan, posisi sosial dan lain sebagainya, tokoh-tokoh ini tidak jarang memiliki kesamaan dengan pengalaman hidup kita sendiri. Mereka memiliki hal-hal yang tidak kita miliki dan ingin kita miliki, meskipun perilaku tokoh-tokoh ini kadang membuat kita gelisah. Singkat kata, kita melihat (sebagian dari) diri kita sendiri dalam diri sang tokoh.

Artikel ini mencoba menelaah bagaimana tokoh-tokoh dirancang dalam sejumlah cerita pendek Bakdi Soemanto yang diambil dari buku Kumpulan Cerpen KOMPAS: Tart di Bulan Hujan (2014). Karya-karya yang dipilih dalam pembahasan ini adalah “Bus Kolumbus”, “Jari Telunjuk”. “Kepala”, “Mata”, dan “Pesta Sepatu Tinggi”.

2.

ANALOGI DAN PENGUATAN

TOKOH: KERANGKA

KONSEPTUAL

Terdapat dua teknik utama penokohan yakni langsung dan tidak langsung.Rimon-Kenan (1983) menguraikan lebih lanjut teknik penokohan langsung dalam fiksi naratif yang dikembangkannyadari teori karakterisasi terdahulu, misalnya dari Chatman (1977), Hamon (1970), dan Ewen (1980), untuk menyebut beberapa diantaranya. Menurut Rimon-Kenan, penokohan langsung dapat ditempuh melalui penguatan analogi, yaitu analogi nama, analogi lanskap, dan analogi antar karakter.

Asosiasi (bunyi)yang timbul lewat nama merupakan petunjuk yang baik dalam analisis tokoh suatu cerita. Hamon via Rimon-Kenan (1983: 68) menyebutkan bahwa nama bisa disandingkan dengan sifat atau keadaan (fisik) tokohsecara visual.Huruf ”o” dalam namabiasanya menunjukkantokoh yang besar dan gemuk, sedangkan huruf “i”, yang kecil dan kurus. Kucing dan tikus dalam serial kartun Tom dan Jerrymemperlihatkan visualisasi nama ini secara jelas. Contoh lain adalah Kapten Haddock dan teman baiknya sang jurnalis Tintin ciptaan kartunis Belgia Hergé dalam serial Petualangan Tintin.

Nama-nama Indonesia (atau tepatnya Jawa) yang berakhiran “i” biasanya berlaku untuk perempuan, sedangkan “o” untuk laki-laki, seperti Hartini dan Hartono, Wijayanti dan Wijayanto, Indri dan Indro, dan sebagainya. Masih perlu pembuktian apakah gejala ini lebih tepat disebut feminisasi atau maskulinasi nama. Sebagai catatan, asosiasi visualnama ini kadang-kadang berbanding terbalik dengan deskripsi diri seorang tokoh. George Milton dalam karyaJohn Steinbeck Of Mice and Men berperawakan kecil tapi berotak besar. Ia pemarah tetapi setia dansangat menyayangi sahabatnya Lennie Small, seorang pria gemuk besarberbeda jauh dengan namanya. Dengan demikian, analogi nama dapat menyoroti persamaan sekaligus menciptakan efek kontras guna memperjelas penggambaran seorang tokoh.

Analogi juga dapat terjadi lewat onomatopi, misalnya suara lalat yang terbang mendengung dalam nama Beelzebub (Hamon dalam Rimon-Kenan 1983: 68). Baal Zevuv yang secara harfiah berarti “Lord of the Flies” atau raja lalatini adalah salah satu kepala Setan.Nama seorang rentenir kikir Ebenezer Scrooge dalam Christmas Carol

diciptakan oleh Dickens untuk menimbulkan suara yang terdengar tidak nyaman di telinga agar cocok dengan kepribadian tokohnya. Konon nama Dumbledore dipilih oleh penulis serial Harry Potter dari kata Bahasa Inggris Abad Awal yang berarti lebah berbulu tebal. Tidak hanya penampilan wajahnya saja yang mirip lebah karena berbalut jenggot lebat, Dumbledore senang bersenandung dan bergumam pada diri sendiri (mumble).Film komedi Amerika Mrs. Doubtfire yang ditayang pertama kali pada tahun 1990-antetap memikat orang tua maupun anak-anak karena tokoh Mrs. Doubtfire yang misterius itu cocok dengan arti literal namanya – penebar keraguan. Analogi nama mencakup pula kombinasi morfologis, seperti YusufTukang Kayu, Sinbad Si Pelaut, termasuk nama-nama yang dipahat bersama profesinya seperti Cak Nun Sate, Mandor Mangli, Inem Pelayan Sexy, dan sebagainya. Alegori dan Metafora juga termasuk dalam teknik pemberian namadengan relasi


(8)

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 16-23 1 8

analogis. Dalam novel John Bunyan Pilgrim Progress, misalnya, tokoh-tokohnya bernama Christian (Kristiani), Hope (Harapan), Envy (Iri hati), dan masih banyak lagi termasuk empat makhluk jahat bernama Giant Grim (Raksasa Jelek), Giant Maul (Raksasa Penggempur), Giant Slay-Good (Raksasa Pembunuh Kebaikan), dan Giant Despair (Raksasa Putus Asa). Selain alegori, secara intertekstual, nama tokoh dalam mitos berbagai budaya sering disempal atau dipakai secara utuh untuk menamai tokoh karya yang baru karena kesamaan visi dan karakternya. James Joyce mencangkokkan nama seniman Daedalus (ayah Ikarus) dalam Mitologi Yunani untuk Stephen Dedalus, tokoh utama dalam The Portrait of an Artist as a Young Manyang mengabdikan diri seutuhnya untuk seni setelah melalui petualangan badani yang penuh gelora dan pengalaman spiritual yang luar biasa. Intertekstualitas juga bisa dilakukan dengan membandingkan secara langsung tokoh satu karya dengan tokoh dalam karya lain melalui gaya bahasa simile. Sebagai contoh, puisi politis D.N. Aidit “Sekarang Ia Sudah Dewasa” membuat analogi antara tentara Angkatan Darat Soeharto yang menggasak PKI dengan tokoh Hercules versus Anteus (Taum 2013: 9).

Analogi kedua, analogi lanskap, dicapai dengan memanfaatkan tempat, bangunan, manusia, dan lingkungan untuk memberi gambaran tentang tokoh yang dihadirkan, baik lewat narasi maupun dialog, atau kadang-kadang keduanya.Di hampir semua cerita pendek Edgar Alan Poe, penggambaran tokoh diperjelas lewat makam, suasana gelap,tempat yang mencekam dan mengerikan untuk menghadirkan tokoh yang penuh dedam dan memiliki obsesi pada kematian, misalnyadalam “Tell-tale Heart”, “The Fall of the House of Usher”, “The Cask of Amontilado”, and “The Black Cat”. Rumah reyot dan tak terurus juga melatarbelakangi watak tokoh yang sudah enggan hidup dalam Bukan Pasar Malam. Di sini Pramoedya memakai tokoh ayah yang sakit-sakitan untuk berkomentar tentang keadan rumah yang rapuh seiring dengan makin melemahnya

tubuh renta itu.Analogi lanskap juga berlaku untuk lingkungan non-fisik, yaitu manusia yang tinggal dan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tokoh yang diceritakan.

Analogi ketiga dicapai melalui kemiripan dan kontras antar karakter. Seperti halnya analogi nama yang dapat menonjolkan persamaan maupun perbedaan, kehadiran dua karakter atau lebih dalam cerita yang sama bisa saling menerangi karakter masing-masing tokoh. Misalnya, perbedaan mencolok terlihat pada Cinderella dan kedua saudara tirinya. Cordelia si bungsu dalam King Lear

karya Shakespeare sama sekali berbeda perangainya dengan kedua kakaknya, Regan dan Goneril, yang kelak berkomplot menggulingkan sang raja. Contoh lain terlihat pada karya Steinbeck: perwatakan George yang bertubuh kecil, bersikap kasar, dan meledak-ledak menjadi nyatadengan hadirnya Lennie si Tubuh Raksasa yang berhati lembut dan sangat menyayangi tikus kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana. Setelah diuraikan secara singkat teknik penguatan penokohan, artikel ini akan membahas sejauh mana tokoh-tokoh dalam cerita pendek Bakdi Soemanto dapat ditelusuri lewat prinsip-prinsip analogi di atas dengan atau tanpa modifikasi. Setiap karakter akan dibaca dalam terang penguatan karakter melalui penggunaan analogi nama, analogi lanskap, dan terjalinnya hubungan antar karakter. Untuk memudahkan pembahasan, terlebih dahulu akan disajikan ringkasan singkat dari setiap karya yang dibahas.

3.

SUMBER DAN IKHTISAR

CERPEN

Tart di Bulan Hujan merupakan karya terbaru sekaligus terakhir dari Bakdi Soemanto yang wafat pada 11 Oktober 2014. Buku ini merupakan antologi yang berisi 25 karya Bakdi Soemanto.Beberapa cerpen sudah pernah dimuat diharian Kompas, The Jakarta Post, dan tabloid Nova. Ada pula karya terjemahan dari cerpen-cerpen yang semula ditulis dalam Bahasa Inggris dan


(9)

1 9

Novita Dewi –Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen ....

diterbitkan dalam The Magician: A Collection of Short Stories (2001).

Artikel ini khusus mengulassejumlah cerpen yang memiliki getar absurditas. Sastra Absurd dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme, terutama sejak tahun 1940-an y1940-ang 1940-antara lain dit1940-andai deng1940-an terbitnya The Myth of Sisyphus karya Albert Camus. Seperti sudah dibahas sebelumnya, tertangkap bayang-bayang Sisyphus dalam sejumlah puisi Bakdi Soemanto (Lihat Dewi 2014: 113). Sekalipun upaya Sisyphus mendorong batu ke puncak adalah sia-sia belaka ketika batu itu bergulir lagi ke kaki bukit, ia tetap melakukannya karena baginya arti hidupnya adalah usaha yang terus-menerus itu. Menurut pandangan absurdisme, hidup itu tidak punya arti, karena arti itu adalah hidup, maka terimalah saja absurditas ini. Seperti puisi-puisinya yang menjumput hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, kelima cerpen yang dibahas di sini tidak beranjak dari pengalaman manusiawi. Dikemas dengan ringan dan kocak dengan pelbagai keanehan dan absurditas, cerpen-cerpen ini sarat dengan pesan yang menyentuh hati. Tiga judul cerpen yakni “Mata”, “Jari Telunjuk”, dan “Kepala” berhubungan dengan bagian-bagian tubuh manusia, tetapi sesungguhnya ketiga cerpen ini menggedor-gedor pintu di mana manusia apatis bersembunyi di baliknya. Dua yang lain, “Bus Kolumbus” dan “Pesta Sepatu Tinggi”, berbicara pula mengenai hati nurani dan belarasa secara lebih lugas. Berikut ringkasan karya-karya terpilih untuk memudahkan pembahasan.

Suli seorang pegawai yunior dalam cerpen “Mata” bekerja di sebuah universitas dengan tugas utama menyiapkan fotokopi makalah dan kebutuhan lainnya untuk para profesor. Suli menyenangi pekerjaan ini.Ia pun merasa terhormat ketika acap kali menerima cinderamata dari para profesor sepulang dari seminar di luar negeri. Satu-satunya hal yang membuat Suli tidak nyaman hanyalah ulah temannya, Subur, yang suka mencuri peralatan dan bahan habis pakai dari kantor. Namun Suli

berhutang budi karena Subur memberinya tumpangandi rumahnya. Namun akhirnya Suli tidak tahan melihat Subur membawa pulang bertumpuk-tumpuk kertas dan tabung tinta. Yakin bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi sendiri, Suli bertekad menguak kecurangan Subur itu. Dia telah siap menghadapi Subur yang mengancam akan mencungkil matanya keluar. Tapi kemudian Subur hanya memberi Suli bogem mentah pada bagian perut dan dalam perjalanan ke rumah sakit, Suli berteriak kesakitan, “Mataku, Subur ... mataku, bukan perutku yang tidak tahu apa-apa ...!” (Soemanto 2014: 97)

Seperti “Mata”, “Jari Telunjuk” bercerita tentang seorang pegawai personalia Zowan, lulusan IKIP yang jujur danpaham betul bahwa menjadi guru tidak mengangkat harkatnya, lebih-lebih bilamurid-muridnya berasal dari keluarga kaya. Tetapi dibandingkan dengan Sulipada cerpen sebelumnya, Zowan tidak merasa nyaman dengan pekerjaannya. Dia bertugas mengisi laporan pajak para pejabat tinggi dengan data palsu. Sementara itu, atasannya juga gelisahsetiap kali melihat jari telunjuk kiri Zowan yang seakan menuding-nuding ke arahnya. Atas perintah atasannya, jari tangan Zowan yang aneh bentuknya itu harus diamputasi. Karena takut dipecat, Zowan bersedia dioperasi. Atasannya datang menjenguk di luar jam kunjungan ketika Zowan tertidur pulas. Anehnya, jari telunjuk kanan Zowanlah yang kini beraksi: mengarah ke atasannya “bagaikan anak panah berapi, bergerak maju dan membidik ke bagian tengah hati orang itu, sambil menyingkapkan rahasia dari perbuatan-perbuatan jahatnya” (Soemanto 2014: 59). Si atasan menjerit-jerit ketakutan meneriakkan ada kebakaran sambil berseru dirinya bukan maling. Mendadak suasana seisi rumah sakit menjadi kacau-balau.

Narator “Aku” dalam cerpen “Kepala” merasa bahwa akhir-akhir ini otaknya tidak mampu berkoordinasi dengan tangannya. Juru ketik handal ini sering membuat dirinya terlihat bodoh di pertemuan-pertemuan kampung dan bahkan di tempat kerja. Tanpa


(10)

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 16-23 2 0

sadardia menyentuh barang-barang yang salah seperti minum bukan dari cangkir miliknya, bahkan makan snek yang sudah dimakan orang lain, atau lebih aneh lagi, menggaruk-garuk kepala Bosnya ketika kulit kepalanya gatal. Teman baiknya, Bu Tinny, menyarankan untuk mengambil cuti dan beristirahat saja di rumah. Namun, setelah mengundurkan diri sementara, keadaan tidak juga membaik – kepalanya tetap menolak untuk berkompromi. Akhirnya ia memutuskan untuk mencopot saja kepala bandel itu dari tubuhnya. Ketika istrinya minta tolong para tetangga untuk membantu memisahkan kepala dari tubuhnya, dia pun menjadi ngeri dibuatnya.

“Bus Kolumbus”, sebuah cerpen tentang suara hati, dibuka dengan Pak Kuniya, si supiryang tergolek di rumah sakit karena busnya melanggar pengendara sepeda motor. Istri Kuniya gusar karena polisi akan segera datang untuk melakukan penyelidikan, sementaraKuniya tenang-tenang saja karena merasa kecelakaan itu bukan murni kesalahannya. Asiman, atasan Kuniya, datang menengok sambil melaporkan bahwa urusan dengan polisi sudah beres. Asiman tidak segera beranjak dari ruang rawat inap karena hendak mengatakan sesuatu. Rupanya kecelakaan serupa pernah terjadi sebelumnya waktu Asiman masih menjadi karyawan bus perusahaan lain. Waktu itu Bus Piranha mengalami kecelakaan ketika mengangkut siswa-siswi SLTP piknik ke lereng Lawu karena Asiman yang bertanggung jawab atas pemeliharaan bus tidak melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini terulang dengan Bus Kolumbus yang hanya memenuhi persyaratan minim laik jalan saja.Naiknya harga BBM, mahalnya suku cadang, tuntutan upah pegawai, dan pungli di setiap meja memaksa Asiman menutup mata terhadap kondisi bus yang tidak prima ini. Asiman mengakui semua kesalahannya termasuk pemecatan Pak Sigra supir Bus Piranha. Kuniya hanya bisa menangis mendengar pengakuan itu.

Sudah beberapa malam Pak Zam dalam cerpen “Pesta Sepatu Tinggi” diganggu oleh mimpi akan adanya bencana yang akan menimpa kampungnya. Tak seorang pun

menghiraukan guru sekolah itu yang prihatin atas bahaya banjir menjelang musim hujan. Meski dicegah oleh istrinya, Pak Zam tetap nekad mengusulkan kepada Kepala Sekolah untuk membekali para murid dan guru dengan sepatu boot karet. Tak ayal, ia jadi bahan olok-olok dan dianggap kurang waras karena percaya mimpi. Sampai terdengarlah suatu hari pada pukul tiga malam kentongan dipukul bertubi-tubi karena banjir lumpur menyerbu, makin menebal dan meninggi.

4.

ANEH TAPI ARIF

4.1

Keganjilan Sebuah Nama

Hampir semua karakter dalam cerpen-cerpen yang dikaji terikat erat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Mereka berjuang menghadapi kesulitan hidup karena minimnya dukungan keuangan. Suli takut pada Subur yang memberinya pondokan gratis. Zowan terancam akan kehilangan pekerjaan kalau jari telunjuknya yang cacat bawaan tidak segera dioperasi sesuai perintah atasan. Si Aku pencerita dalam cerpen ”Kepala” tidak berdaya karena bagian tubuhnya yang terpenting enggan berkolaborasi, sehingga profesinya sebagai juru tulis pun dipertaruhkan. Demikianpula sopir bus Kuniya yang harus menutup mata terhadap keteledoran atasannya, atau Pak Zam yang tak dipedulikan oleh Kepala Sekolah karena percaya pada mimpi. Mereka semua dianggap absurd, aneh, tidak normal, sehingga tidak perlu diberi perhatian.

Entah disengaja atau tidak, tokoh-tokoh ini diberi nama yang tidak lazim pula. Bahkan beberapa nama merupakan malapropisme, yakni nama yang salah pilih atau tidak pada tempat yang seharusnya. Biasanya kata-kata ini tidak masuk akal dan tidak umum, tetapi sengaja dipungutuntuk menimbulkanbunyi yang lucu atau aneh. Di sini terjadi permainan kata dalam penamaan beberapa tokoh cerita. Misalnya, nama Suli bisa ditataulang menjadi Usil. Nama ini sesuai dengan penokohan Suli yang suka usil


(11)

2 1

Novita Dewi –Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen ....

(meskipun bermaksud baik), yakni meretas urusan pribadi orang lain seperti Subur, yang suka mencuri peralatan kantor itu. Sekedar berspekulasi, Bakdi Soemanto sering menamai tokoh-tokohnya dengan unsur huruf “z”, yakni onomatopi dari desingan nyamuk, lebah yang mendengung, atau mungkin suara orang yang tertidur pulas, seperti Zowan, Pak Zam, Pak Zura, Zuman, Mas Jabuz, Buzz, Bu Zwilly, Zwili Zanten, Ambuz – semua tokoh yang digambarkan dengan cara yang agak aneh.

Tokoh Zowan, misalnya mematuhi ayah dan atasannya untuk mengamputasi jari bengkoknya. Nama Zowan terdengar mirip dengan kata “sowan” dalam Bahasa Jawa.Sebagai orang Indonesia dengan latar belakang budaya Jawa, Soemanto pasti pahamakan penggunaan kata ini. Tidak jarang kata “sowan” ini dipakai ketimbang padanan kata Indonesianya ”berkunjung” guna menunjukkan kesopanan dan rasa hormat yang mendalam ketika menggambarkan seseorang yang mengunjungi orang tua atau orang yang dipandang terhormat.

Adapun dalam cerpen “Kepala”, kombinasi morfologis muncul dalam nama-nama tokoh sampingan seperti Dokter Akar Poteng, Pak Atmo Sate, Pak Karso Ludruk, Pak Sumit Cebol, Profesor Utiyoks untuk menunjukkan bahwa si pencerita berbaur dengan orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan profesi di kampungnya. Maka, kehilangan kepalanya (baca: kewarasan) adalah aib karena itu artinya ia akan segera menjadi pengangguran. Di sini kita melihat bahwa semua tokoh terjebak dalam situasi kegilaanyang tak terkendali.

Sampai di sini dapatdisimpulkan sementara bahwa situasi yang serba kebetulan sering muncul dalam cerpen Bakdi Soemanto. Meski kadang jalan cerita menjadi lebih rumit, situasi semacam ini meningkatkan ketegangan, memperbesar efek emosional dan sekaligus menggelikan. Inilah yang disebut momen absurditas. Menurut kaum absurdis, dunia inikacau-balau dan tidak dapat dijelaskan secara rasional. Maka manusia tidak perlu menambah kekacauan

ini.Sebaliknya, manusia memusatkan perhatian dan berkomitmen sajapada hal-hal penting di dunia. Tindakan ini bertujuan agar hidup manusia menjadi bermakna, jika memang benar bahwa hidup ini tidak punya arti. Irasionalitas menjadi aspek utama yang terus berlanjut dalam narasi semacam ini.

4.2

Di Balik Absurditas

Mungkin ada anggapanbahwa kisah-kisah di atas hanyalah bacaan untuk memanjakan diri sendiri. Cerpen-cerpen ini ditujukan kepada pembaca skeptis yang mencoba laridari kenyataan ataupun menghibur diri bahwa mereka bukan satu-satunya yang menderita di dunia ini. Namun, menurut kacamata eksistensialis, tokoh yang nampaknya tolol ini justru menelanjangi betapa absurdnya makhluk yang bernama manusia ini. Melalui teknik penguatan tokoh yang ke dua, yaitu analogi lanskap, pesan penting disampaikan melalui penokohan yang irasional ini.

Melalui analogi lanskap, kita bisa melihat bahwa tokoh-tokoh utama bertindak sebagai pemain tunggal yang harus melakukan hal-hal yang tidak umum di lingkungan yang sama sekali tidak bersahabat. Konsekuensinya, maksud baik sang tokoh kadang disalahpahami. Zowan dan Suli, misalnya, dianggap sebagai karyawan kantor yang tidak sukses jika kekayaan adalah satu-satunya ukuran keberhasilan, tetapi mereka punya hati nurani di lingkungan yang korup dan sarat kecurangan. Ahli ketik yang bekerja selama delapan tahun tanpa membuat kesalahan, “pakar titik dan koma”, dalam cerpen “Kepala” begitu gusar ketika bosnya mengganggap enteng pekerjaan mengetik itu.Ia begitu terhina ketika disarankan berkonsultasi pada dokter atau mahasiswa psikologi tentang perilakunya yang aneh akhir-akhir ini. Gagasan penyelamatan bencana dari Pak Zam ditertawakan bahkan guru sekolah ini diejek sebagai tukang mimpi. Dalam masyarakat yang menghargai kepuasan sesaat atau budaya instan ini, kerja


(12)

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 9, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 16-23 2 2

keras, ketekunan, dan kesetiaan seakan tidak ada harganya. Di sini Bakdi Soemanto menempatkan pelaku utama di antara orang-orang yang memiliki pandangan yang jauh berbeda. Misalnya, suami yang memiliki pandangantidak sama dengan sang istri; karyawan yang tidak bersetuju dengan atasannya, dan masih banyak lagi suasana lingkungan yang tidak mendukung. Dengan demikian, seorang tokoh bukan merupakan hasil produk dari sebuah lingkungan tertentu, tetapi justruanti-produk. Tokoh-tokoh ini menyimpang dari dunia yang normal. Mereka berkehendak baik, tetapi harus hidup melawan segala rintangan. Seperti disebut di atas, Albert Camus akan menamai mereka Sisyphus yang tak henti-hentinya mendorong batu besar ke atas hanya untuk melihatnya tergulir kembali ke bawah. Tokoh-tokoh ini meretas normativitas lingkungannya. Di sini Bakdi Soemanto melihat manusia dalam keterlibatannya yang intens bukan sebagai hukuman yang mengerikan atau kesia-siaan, tetapi sebagai arti bahwa mereka ada. Di balik absurditas inilah terletak kepahlawanan mereka.

4.3

Kewarasan di Antara Keanehan

Teknik penokohan langsung yang terakhir, yakni analogiantar tokoh, dapat membantu menerangi penokohan; dan dalam cerita pendek karya Bakdi Soemanto, tokoh-tokoh ini hadir lewat perbandingan dan kontras. Suli adalah kebalikan dari Subur. Secara ekonomi, Subur lebih unggul dari Suli. Dari segi kejujuran, Subur tertinggal jauh dari Suli. Di sini, perbandingan fisik tidak lebih kentara dibanding integritas dancara mereka memandang hidup itu sendiri.

Tokoh utama dalam “Kepala” dan “Jari Telunjuk” terlihat sebanding. Keduanya mengalami keraguan tentang (bagian) tubuh mereka yang secara simbolis adalah kebimbangan atas diri sendiri. Sekilas nampak aneh, untuk tidak mengatakan

bodoh, ketika seseorang menjadi galau atas kepala atau jari telunjuknya sendiri. Tetapi, kekonyolan ini memungkinkan kita merefleksikan kebodohan diri sendiri. Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mengelola bagian-bagian tubuh kita? Apa artinya bila salah satu anggotatubuh membelot? Demikian pula pada cerpen “Mata”, tidak ada happy ending di sana, tetapi masing-masing menawarkan narasi tentang manusiayang mencari-cari arti hidup serta kehidupan yang bermakna. Pada akhirnya, tidaklah sulit menyimpulkan bahwadalam cerpen-cerpen Bakdi Soemanto makna sungguh hadir ketika sang tokoh berupaya terus-menerus mencarinya. Apa yang merupakan penderitaan bagi kebanyakan orang mungkin tidaklah menyakitkan bagi seorang absurdis. Bukankah Camus mengingatkan kita untuk membayangkan bahwa Sisyphus adalah orang yang bahagia?

5.

SIMPULAN

Cerpen-cerpen Bakdi Soemanto menimbulkan provokasi. Inilah yang membuat alurcerita menjadi tidak sederhana. Tokoh-tokoh dalam cerpennya berperan besar mengaduk-aduk emosi sekaligus memancing tawa pembaca, sebelum kemudian melakukan refleksi diri. Absurditas semacam ini barangkali menarik danjustru ditunggu-tunggu sebagai sarana penampung aspirasi dan harapan masyarakat masa kini.Kehadiran tokoh-tokoh absurd ini sekaligus mencerminkan keraguan masyarakat akan perilaku pemimpin mereka – entah itu pejabat pemerintah, manajer, dosen, tokoh agama, dan profesi lainnya yang mempunyai otoritas tinggi. Dengan demikian, teknik penokohan sengaja dirancang untuk menerangi batas-batas kabur antara kewarasan dan kegilaan ketika manusia berusaha hidup dengan bermakna di tengah-tengah kehidupan yang, menurut pandangan eksistensialis, tak punya makna ini.


(13)

2 3

Novita Dewi –Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen ....

DAFTAR PUSTAKA

Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse. Ithaca, NY: Cornell University Press. Dewi, Novita. 2014. Sajak-sajak Sahabat Sadhar:

Sebuah Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Rimmon-Kenan, Shlomith. 1994. Narrative

Fiction: Contemporary Poetics. London: Routledge.

Soemanto, Bakdi. 2001. The Magician: A Collection of Short Stories. Yogyakarta: Kanisius.

––––––––––. 2014. Kumpulan CerpenKOMPAS:

Tart di Bulan Hujan. Jakarta: Gramedia. Taum, Yoseph Yapi. 2013. “D.N.Aidit, Sastra, dan Geliat Zamannya” SINTESIS 7.1. (Maret), hal 1 – 21.


(14)

(15)

~~zyvutsrqponmljgfedaXWVUSQPONMLJIHDBA

: lnq~S.I~l BA.n~}fdBpBq.I~l UB!BI!U~d UB~UBJ~l~)I

l3UIll3qa l3ll3Ul3SSl3l~Sl~A~UIl 'l3llSl3S Sl3lIID[l3d_:l3fl~){ l~uIl (pvutsqponmljfdaZVUQOLJ1AI) l3Ap13Wl3UIl3lIll3U~qUI~d :){~UI~pl3W 'lqf

6~£ L~9I £I :dIN (UInH"W 'srul3POSI ~pl3AJl3g OUIOldl3ld 'la JOld)

/

a~

z

qldZYVUSONMLJICl~M.~~MlI S;IOZ snlsn8v S;1 'l3Ul3){l3A80.A

os '

[jqlifdaXWVUSRPONLJIHDB00'01lZSOML OO'SZ 00'017 1%001)

=

IBlO.L (%0£)l~ql~U~dSl3l~Il3ID[

OS'"t' 00'£ OS'L OO'll usp .msun ul3dl3){8u~I~){ 'p

.

(%0£) ~8oIoPOl~UI

U13p~S13UI1OJU~fl3l13p 00'

t

00'£ OS'L

eorr

Ul3l~ql3lnUI~){trap ul3dID[m~){ 'o

(%0£) Ul3Sl3ql3qUI~dUl3UIl3Il3P~){

OO'CC 00'£ OS'L 00'1l trap dn){8uH 8ul3nlI 'q

(%00

OQ"l 00'1 OS'Z 00'17 ID[nq ~s~rnsun ul3dl3){8u~p){ 'l3

q~IO.I~d!<l: ~

0

0

~UBX !SBl!P~J}fBJ~.L !BI!U!a ~UBX

J!q}fV }fBPU !SBl!P~J}fBJ~.L IBUO!SBU.I~lUI uauodurojq

!BI!N IBUO!SBN IBUO!SBN

qB!WII IBUJDf IBW!S}fUW !BI!N

X6tL

-£691 NSSI ~Sl3l~p~l){l3l~.l ){l3p~.l Il3UO~Sl3Nql3~UIII Il3Ultlf

0

~Sl3l~p~l){l3l~.lIl3UO~Sl3Nql3~UIII Il3umfD

Il3UO~Sl3Ul~lUI11l3~UIUIl3umf

0:

ql3~Uln Il3umf ~sl3){~Iqnd~lo8~1l3){ £Z - 91: Ul3UIl3Il3Qql3IUIn

r .~

l3Ulll3Qa l3ll3Ul3SSl3l~Sl~A~uIl : l~ql~U~d'p

~1OZ l~ll3W : (unqspuamq) ~s~P3: .:)

6/1 : ~UInIoNlOUlON 'q

SISYLNIS uvvvtfupnqa)[ lfV!UllJ /vu.mj' Il3Ulnf l3UIl3N 'l3

'a'Qd '("SUOH)V'W '"S'W '~M.~a l3l~AON 'l3la

11l3~UIUIl3umf Sl3l~lU~PI Ql3~UIUIl3umf sHnu~d ,PlUl3UI~OS ~P){l3g

U~dl~J QO){Ol~QO){0.l s~s!ll3uy ]~lV 8ul3.A 'prnsqv 8ul3.A,,: (P){~UV)Q13~UlUIl3umf Inpnf

HVIW'II '1VNHilf: HVIW'II VXHV)IldMJIHA

MJIIAHll HJIJId

nvr

V -9NVaIR3:S .LVM.Vf3:S NVIV'1IN3:d 'IISVH


(1)

sadardia menyentuh barang-barang yang salah seperti minum bukan dari cangkir miliknya, bahkan makan snek yang sudah dimakan orang lain, atau lebih aneh lagi, menggaruk-garuk kepala Bosnya ketika kulit kepalanya gatal. Teman baiknya, Bu Tinny, menyarankan untuk mengambil cuti dan beristirahat saja di rumah. Namun, setelah mengundurkan diri sementara, keadaan tidak juga membaik – kepalanya tetap menolak untuk berkompromi. Akhirnya ia memutuskan untuk mencopot saja kepala bandel itu dari tubuhnya. Ketika istrinya minta tolong para tetangga untuk membantu memisahkan kepala dari tubuhnya, dia pun menjadi ngeri dibuatnya.

“Bus Kolumbus”, sebuah cerpen tentang suara hati, dibuka dengan Pak Kuniya, si supiryang tergolek di rumah sakit karena busnya melanggar pengendara sepeda motor. Istri Kuniya gusar karena polisi akan segera datang untuk melakukan penyelidikan, sementaraKuniya tenang-tenang saja karena merasa kecelakaan itu bukan murni kesalahannya. Asiman, atasan Kuniya, datang menengok sambil melaporkan bahwa urusan dengan polisi sudah beres. Asiman tidak segera beranjak dari ruang rawat inap karena hendak mengatakan sesuatu. Rupanya kecelakaan serupa pernah terjadi sebelumnya waktu Asiman masih menjadi karyawan bus perusahaan lain. Waktu itu Bus Piranha mengalami kecelakaan ketika mengangkut siswa-siswi SLTP piknik ke lereng Lawu karena Asiman yang bertanggung jawab atas pemeliharaan bus tidak melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini terulang dengan Bus Kolumbus yang hanya memenuhi persyaratan minim laik jalan saja.Naiknya harga BBM, mahalnya suku cadang, tuntutan upah pegawai, dan pungli di setiap meja memaksa Asiman menutup mata terhadap kondisi bus yang tidak prima ini. Asiman mengakui semua kesalahannya termasuk pemecatan Pak Sigra supir Bus Piranha. Kuniya hanya bisa menangis mendengar pengakuan itu.

Sudah beberapa malam Pak Zam dalam cerpen “Pesta Sepatu Tinggi” diganggu oleh mimpi akan adanya bencana yang akan menimpa kampungnya. Tak seorang pun

menghiraukan guru sekolah itu yang prihatin atas bahaya banjir menjelang musim hujan. Meski dicegah oleh istrinya, Pak Zam tetap nekad mengusulkan kepada Kepala Sekolah untuk membekali para murid dan guru dengan sepatu boot karet. Tak ayal, ia jadi bahan olok-olok dan dianggap kurang waras karena percaya mimpi. Sampai terdengarlah suatu hari pada pukul tiga malam kentongan dipukul bertubi-tubi karena banjir lumpur menyerbu, makin menebal dan meninggi.

4.

ANEH TAPI ARIF

4.1

Keganjilan Sebuah Nama

Hampir semua karakter dalam cerpen-cerpen yang dikaji terikat erat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Mereka berjuang menghadapi kesulitan hidup karena minimnya dukungan keuangan. Suli takut pada Subur yang memberinya pondokan gratis. Zowan terancam akan kehilangan pekerjaan kalau jari telunjuknya yang cacat bawaan tidak segera dioperasi sesuai perintah atasan. Si Aku pencerita dalam cerpen ”Kepala” tidak berdaya karena bagian tubuhnya yang terpenting enggan berkolaborasi, sehingga profesinya sebagai juru tulis pun dipertaruhkan. Demikianpula sopir bus Kuniya yang harus menutup mata terhadap keteledoran atasannya, atau Pak Zam yang tak dipedulikan oleh Kepala Sekolah karena percaya pada mimpi. Mereka semua dianggap absurd, aneh, tidak normal, sehingga tidak perlu diberi perhatian.

Entah disengaja atau tidak, tokoh-tokoh ini diberi nama yang tidak lazim pula. Bahkan beberapa nama merupakan malapropisme, yakni nama yang salah pilih atau tidak pada tempat yang seharusnya. Biasanya kata-kata ini tidak masuk akal dan tidak umum, tetapi sengaja dipungutuntuk menimbulkanbunyi yang lucu atau aneh. Di sini terjadi permainan kata dalam penamaan beberapa tokoh cerita. Misalnya, nama Suli bisa ditataulang menjadi Usil. Nama ini sesuai dengan penokohan Suli yang suka usil


(2)

2 1 Novita Dewi –Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen ....

(meskipun bermaksud baik), yakni meretas urusan pribadi orang lain seperti Subur, yang suka mencuri peralatan kantor itu. Sekedar berspekulasi, Bakdi Soemanto sering menamai tokoh-tokohnya dengan unsur huruf “z”, yakni onomatopi dari desingan nyamuk, lebah yang mendengung, atau mungkin suara orang yang tertidur pulas, seperti Zowan, Pak Zam, Pak Zura, Zuman, Mas Jabuz, Buzz, Bu Zwilly, Zwili Zanten, Ambuz – semua tokoh yang digambarkan dengan cara yang agak aneh.

Tokoh Zowan, misalnya mematuhi ayah dan atasannya untuk mengamputasi jari bengkoknya. Nama Zowan terdengar mirip dengan kata “sowan” dalam Bahasa Jawa.Sebagai orang Indonesia dengan latar belakang budaya Jawa, Soemanto pasti pahamakan penggunaan kata ini. Tidak jarang kata “sowan” ini dipakai ketimbang padanan kata Indonesianya ”berkunjung” guna menunjukkan kesopanan dan rasa hormat yang mendalam ketika menggambarkan seseorang yang mengunjungi orang tua atau orang yang dipandang terhormat.

Adapun dalam cerpen “Kepala”, kombinasi morfologis muncul dalam nama-nama tokoh sampingan seperti Dokter Akar Poteng, Pak Atmo Sate, Pak Karso Ludruk, Pak Sumit Cebol, Profesor Utiyoks untuk menunjukkan bahwa si pencerita berbaur dengan orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan profesi di kampungnya. Maka, kehilangan kepalanya (baca: kewarasan) adalah aib karena itu artinya ia akan segera menjadi pengangguran. Di sini kita melihat bahwa semua tokoh terjebak dalam situasi kegilaanyang tak terkendali.

Sampai di sini dapatdisimpulkan sementara bahwa situasi yang serba kebetulan sering muncul dalam cerpen Bakdi Soemanto. Meski kadang jalan cerita menjadi lebih rumit, situasi semacam ini meningkatkan ketegangan, memperbesar efek emosional dan sekaligus menggelikan. Inilah yang disebut momen absurditas. Menurut kaum absurdis, dunia inikacau-balau dan tidak dapat dijelaskan secara rasional. Maka manusia tidak perlu menambah kekacauan

ini.Sebaliknya, manusia memusatkan perhatian dan berkomitmen sajapada hal-hal penting di dunia. Tindakan ini bertujuan agar hidup manusia menjadi bermakna, jika memang benar bahwa hidup ini tidak punya arti. Irasionalitas menjadi aspek utama yang terus berlanjut dalam narasi semacam ini.

4.2

Di Balik Absurditas

Mungkin ada anggapanbahwa kisah-kisah di atas hanyalah bacaan untuk memanjakan diri sendiri. Cerpen-cerpen ini ditujukan kepada pembaca skeptis yang mencoba laridari kenyataan ataupun menghibur diri bahwa mereka bukan satu-satunya yang menderita di dunia ini. Namun, menurut kacamata eksistensialis, tokoh yang nampaknya tolol ini justru menelanjangi betapa absurdnya makhluk yang bernama manusia ini. Melalui teknik penguatan tokoh yang ke dua, yaitu analogi lanskap, pesan penting disampaikan melalui penokohan yang irasional ini.

Melalui analogi lanskap, kita bisa melihat bahwa tokoh-tokoh utama bertindak sebagai pemain tunggal yang harus melakukan hal-hal yang tidak umum di lingkungan yang sama sekali tidak bersahabat. Konsekuensinya, maksud baik sang tokoh kadang disalahpahami. Zowan dan Suli, misalnya, dianggap sebagai karyawan kantor yang tidak sukses jika kekayaan adalah satu-satunya ukuran keberhasilan, tetapi mereka punya hati nurani di lingkungan yang korup dan sarat kecurangan. Ahli ketik yang bekerja selama delapan tahun tanpa membuat kesalahan, “pakar titik dan koma”, dalam cerpen “Kepala” begitu gusar ketika bosnya mengganggap enteng pekerjaan mengetik itu.Ia begitu terhina ketika disarankan berkonsultasi pada dokter atau mahasiswa psikologi tentang perilakunya yang aneh akhir-akhir ini. Gagasan penyelamatan bencana dari Pak Zam ditertawakan bahkan guru sekolah ini diejek sebagai tukang mimpi. Dalam masyarakat yang menghargai kepuasan sesaat atau budaya instan ini, kerja


(3)

keras, ketekunan, dan kesetiaan seakan tidak ada harganya. Di sini Bakdi Soemanto menempatkan pelaku utama di antara orang-orang yang memiliki pandangan yang jauh berbeda. Misalnya, suami yang memiliki pandangantidak sama dengan sang istri; karyawan yang tidak bersetuju dengan atasannya, dan masih banyak lagi suasana lingkungan yang tidak mendukung. Dengan demikian, seorang tokoh bukan merupakan hasil produk dari sebuah lingkungan tertentu, tetapi justruanti-produk. Tokoh-tokoh ini menyimpang dari dunia yang normal. Mereka berkehendak baik, tetapi harus hidup melawan segala rintangan. Seperti disebut di atas, Albert Camus akan menamai mereka Sisyphus yang tak henti-hentinya mendorong batu besar ke atas hanya untuk melihatnya tergulir kembali ke bawah. Tokoh-tokoh ini meretas normativitas lingkungannya. Di sini Bakdi Soemanto melihat manusia dalam keterlibatannya yang intens bukan sebagai hukuman yang mengerikan atau kesia-siaan, tetapi sebagai arti bahwa mereka ada. Di balik absurditas inilah terletak kepahlawanan mereka.

4.3

Kewarasan di Antara Keanehan

Teknik penokohan langsung yang terakhir, yakni analogiantar tokoh, dapat membantu menerangi penokohan; dan dalam cerita pendek karya Bakdi Soemanto, tokoh-tokoh ini hadir lewat perbandingan dan kontras. Suli adalah kebalikan dari Subur. Secara ekonomi, Subur lebih unggul dari Suli. Dari segi kejujuran, Subur tertinggal jauh dari Suli. Di sini, perbandingan fisik tidak lebih kentara dibanding integritas dancara mereka memandang hidup itu sendiri.

Tokoh utama dalam “Kepala” dan “Jari Telunjuk” terlihat sebanding. Keduanya mengalami keraguan tentang (bagian) tubuh mereka yang secara simbolis adalah kebimbangan atas diri sendiri. Sekilas nampak aneh, untuk tidak mengatakan

bodoh, ketika seseorang menjadi galau atas kepala atau jari telunjuknya sendiri. Tetapi, kekonyolan ini memungkinkan kita merefleksikan kebodohan diri sendiri. Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mengelola bagian-bagian tubuh kita? Apa artinya bila salah satu anggotatubuh membelot? Demikian pula pada cerpen “Mata”, tidak ada happy ending di sana, tetapi masing-masing menawarkan narasi tentang manusiayang mencari-cari arti hidup serta kehidupan yang bermakna. Pada akhirnya, tidaklah sulit menyimpulkan bahwadalam cerpen-cerpen Bakdi Soemanto makna sungguh hadir ketika sang tokoh berupaya terus-menerus mencarinya. Apa yang merupakan penderitaan bagi kebanyakan orang mungkin tidaklah menyakitkan bagi seorang absurdis. Bukankah Camus mengingatkan kita untuk membayangkan bahwa Sisyphus adalah orang yang bahagia?

5.

SIMPULAN

Cerpen-cerpen Bakdi Soemanto menimbulkan provokasi. Inilah yang membuat alurcerita menjadi tidak sederhana. Tokoh-tokoh dalam cerpennya berperan besar mengaduk-aduk emosi sekaligus memancing tawa pembaca, sebelum kemudian melakukan refleksi diri. Absurditas semacam ini barangkali menarik danjustru ditunggu-tunggu sebagai sarana penampung aspirasi dan harapan masyarakat masa kini.Kehadiran tokoh-tokoh absurd ini sekaligus mencerminkan keraguan masyarakat akan perilaku pemimpin mereka – entah itu pejabat pemerintah, manajer, dosen, tokoh agama, dan profesi lainnya yang mempunyai otoritas tinggi. Dengan demikian, teknik penokohan sengaja dirancang untuk menerangi batas-batas kabur antara kewarasan dan kegilaan ketika manusia berusaha hidup dengan bermakna di tengah-tengah kehidupan yang, menurut pandangan eksistensialis, tak punya makna ini.


(4)

2 3 Novita Dewi –Yang Absurd, Yang Arif: Analisis Tokoh-tokoh Cerpen ....

DAFTAR PUSTAKA

Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse. Ithaca, NY: Cornell University Press. Dewi, Novita. 2014. Sajak-sajak Sahabat Sadhar:

Sebuah Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Rimmon-Kenan, Shlomith. 1994. Narrative

Fiction: Contemporary Poetics. London: Routledge.

Soemanto, Bakdi. 2001. The Magician: A Collection of Short Stories. Yogyakarta: Kanisius.

––––––––––. 2014. Kumpulan CerpenKOMPAS: Tart di Bulan Hujan. Jakarta: Gramedia. Taum, Yoseph Yapi. 2013. “D.N.Aidit, Sastra, dan Geliat Zamannya” SINTESIS 7.1. (Maret), hal 1 – 21.


(5)

(6)

~~zyvutsrqponmljgfedaXWVUSQPONMLJIHDBA

: lnq~S.I~l BA.n~}fdBpBq.I~l UB!BI!U~d UB~UBJ~l~)I l3UIll3qa l3ll3Ul3SSl3l~Sl~A~UIl

'l3llSl3S Sl3lIID[l3d_:l3fl~){ l~uIl (pvutsqponmljfdaZVUQOLJ1AI) l3Ap13Wl3UIl3lIll3U~qUI~d :){~UI~pl3W 'lqf

6~£ L~9I £I :dIN (UInH"W 'srul3POSI ~pl3AJl3g OUIOldl3ld 'la JOld)

/

a~

z

qldZYVUSONMLJICl~M.~~MlI

S;IOZ snlsn8v S;1 'l3Ul3){l3A80.A

os '

[jqlifdaXWVUSRPONLJIHDB00'01lZSOML OO'SZ 00'017 1%001)

=

IBlO.L

(%0£)l~ql~U~dSl3l~Il3ID[

OS'"t' 00'£ OS'L OO'll usp .msun ul3dl3){8u~I~){ 'p

.

(%0£) ~8oIoPOl~UI

U13p~S13UI1OJU~fl3l13p 00'

t

00'£ OS'L

eorr

Ul3l~ql3lnUI~){trap ul3dID[m~){ 'o

(%0£) Ul3Sl3ql3qUI~dUl3UIl3Il3P~){

OO'CC 00'£ OS'L 00'1l trap dn){8uH 8ul3nlI 'q

(%00

OQ"l 00'1 OS'Z 00'17 ID[nq ~s~rnsun ul3dl3){8u~p){ 'l3

q~IO.I~d!<l: ~

0

0

~UBX !SBl!P~J}fBJ~.L !BI!U!a ~UBX

J!q}fV }fBPU !SBl!P~J}fBJ~.L IBUO!SBU.I~lUI uauodurojq !BI!N IBUO!SBN IBUO!SBN

qB!WII IBUJDf IBW!S}fUW !BI!N

X6tL

-£691 NSSI ~Sl3l~p~l){l3l~.l ){l3p~.l Il3UO~Sl3Nql3~UIII Il3Ultlf

0

~Sl3l~p~l){l3l~.lIl3UO~Sl3Nql3~UIII Il3umfD

Il3UO~Sl3Ul~lUI11l3~UIUIl3umf

0:

ql3~Uln Il3umf ~sl3){~Iqnd~lo8~1l3){ £Z - 91: Ul3UIl3Il3Qql3IUIn

r .~

l3Ulll3Qa l3ll3Ul3SSl3l~Sl~A~uIl : l~ql~U~d'p ~1OZ l~ll3W : (unqspuamq) ~s~P3: .:)

6/1 : ~UInIoNlOUlON 'q SISYLNIS uvvvtfupnqa)[ lfV!UllJ /vu.mj' Il3Ulnf l3UIl3N 'l3

'a'Qd '("SUOH)V'W '"S'W '~M.~a l3l~AON 'l3la

11l3~UIUIl3umf Sl3l~lU~PI Ql3~UIUIl3umf sHnu~d ,PlUl3UI~OS ~P){l3g

U~dl~J QO){Ol~QO){0.l s~s!ll3uy ]~lV 8ul3.A 'prnsqv 8ul3.A,,: (P){~UV)Q13~UlUIl3umf Inpnf

HVIW'II '1VNHilf: HVIW'II VXHV)IldMJIHA

MJIIAHll HJIJId

nvr

V -9NVaIR3:S .LVM.Vf3:S NVIV'1IN3:d 'IISVH