Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IV

BAB EMPAT
KEHIDUPAN KOMUNITAS PENGUSAHA
INDUSTRI KECIL BISNIS KELUARGA BORDIR
DI KABUPATEN KUDUS

Kudus sebagai Kota Industri
Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah
bagian utara, di lereng gunung Muria, sekitar 50 km dari Kota
Semarang, ibukota Jawa Tengah. Letak wilayah Kabupaten Kudus di
antara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan
dan Kabupaten Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o 36‟ dan 110o 90‟
Bujur Timur dan antara 6o 51‟ dan 7o16‟ Lintang Selatan, jarak terjauh
dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 32 km.
Berada pada ketinggian rata-rata ± 55 meter di atas permukaan air laut.
Secara umum Kabupaten Kudus yang berada di sebelah selatan Gunung
Muria dipengaruhi iklim tropis, dan bertemperatur sedang, berkisar
antara 18,30(C ) - 29,60 (C ). Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif
rendah, yaitu rata-rata di bawah 2.000mm/tahun, dan berhari hujan

rata-rata 103 hari/tahun.
Berdasarkan luas penggunaan lahan, secara administrasi
Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan (Kaliwungu, Kota, Jati,
Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog, dan Dawe) dan 123 desa serta 9
kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tercatat sekitar 42.516
hektare atau sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah.
Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu 8.584 Ha (20,19
127

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

persen), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas
1.047 Ha (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus.

Sumber: Kudus dalam Angka, 2013

Gambar 4.1
Peta Kabupaten Kudus


Jumlah penduduk Kabupaten Kudus Tahun 2012, berdasarkan
Laporan Kudus dalam Angka 2012/2013 tercatat sebesar 791.691 jiwa,
terdiri dari 390.722 laki-laki (49,47 persen) dan 400.169 perempuan
(50,53 persen). Apabila dilihat penyebarannya, maka kecamatan yang
128

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

paling tinggi persentase jumlah penduduknya adalah Kecamatan Jati
yakni sebesar 12,90 persen dari jumlah penduduk yang ada di
Kecamatan Kudus, kemudian berturut-turut Kecamatan Jekulo 12,76
persen dan Kecamatan Dawe 12,28 persen. Dari jumlah itu, tenaga
kerja terampil yang merupakan gambaran sumber daya manusia di
Kudus sebesar 125.401 orang terdiri dari jumlah tenaga kerja
perempuan sebesar 88.610 orang (70,66 persen), sedangkan laki-laki
sebanyak 36.791 orang (29,34 persen) yang tersebar pada 1.178
perusahaan.
Berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten Kudus (Laporan
Kudus dalam Angka 2012/2013) yang memeluk agama Islam sebanyak
772.473 orang, Kristen Protestan sebanyak 12.657 orang, Kristen

Katolik sebanyak 5.159 orang, Hindu sebanyak 24 orang, Budha
sebanyak 1.114 orang dan lain-lain (aliran kepercayaan) sebanyak 464
orang dan memiliki tempat peribadatan yang beragam, yaitu masjid
657 unit, Mushola/Langgar 1.931 unit, Gereja Kristen 22 unit, Gereja
Katholik sebanyak 2 unit, Vihara Budha 11 unit, Klenteng sebanyak 3
unit. Ini menunjukan suasana kerukunan hidup beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat didambakan
masyarakat, juga menunjukan betapa hidupnya pluralisme masyarakat
Kudus.
Wilayah Kudus Kota dibelah oleh sungai Kaligelis yang
mengalir ke selatan dan membagi kota Kudus menjadi dua bagian yaitu
Kudus Kulon yakni terletak di sebelah barat sungai Kaligelis dan Kudus
Wetan yang terletak di sebelah timur sungai. Keberadaan Kaligelis
sekarang bukan sekedar sungai yang menyimpan cerita masa lalu, atau
tempat bergantung sumber ekonomi sebagian warga Kudus sekarang.
Kaligelis menjadi simbol kultur Kudus menjadi Kudus Kulon dan
Kudus Wetan. Di wilayah Kudus Kulon inilah terletak artefak
peninggalan purbakala yakni Menara Kudus yang berdampingan
dengan Masjid Al-Aqsha yang dikenal dengan sebutan Masjid Menara
Kudus dan di belakangnya terdapat Kompleks Makam Sunan Kudus.


129

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

Gambar 4.2
Masjid dan Menara Kudus

Sejarah keberadaan Kota Kudus tidak lepas dari sosok wali yang
dikenal dengan Kanjeng Sunan Kudus dan Sunan Muria, namun Sunan
Kudus pengaruhnya lebih menonjol dibanding Sunan Muria dalam
kiprah dakwahnya di Kudus. Nama Kudus menurut cerita masyarakat,
tidak lepas dari jasa Sunan Kudus atau Ja‟far Shodiq, salah seorang
Walisongo yang menjadi senopati di Demak, yang diperintahkan oleh
penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam,
1977). Namun menurut Graaf dan Pigeaud (1985), perpindahan Ja‟far
Shodiq dari Demak ke Kudus diakibatkan oleh perselisihan tentang

awal bulan Ramadhan dengan raja Demak1 dan terjadi persaingan
antara Ja‟far Shodiq dengan Sunan Kalijaga yang berasal dari Cirebon
datang mengabdi di Kerajaan Demak, maka untuk menghindari
persaingan yang tidak baik Ja‟far Shodiq meminta Sultan Demak agar
hijrah ke Kudus. Sebelum kedatangan Ja‟far Shodiq di Kudus terlebih
dahulu telah datang seorang dari Yunan bernama The Ling Sing yang
kemudian dikenal dengan nama Kyai Telingsing.
Bersama-sama dengan Ja‟far Shodiq, Kyai Telingsing
membangun daerah kecil ini menjadi besar dan berkembang. The Ling
Sing2 seorang seniman pemahat berasal Yunan-Cina dan seorang
pedagang yang kemudian menyerahkan kekuasaan Kota Kudus kepada
Ja‟far Shodiq dan The Ling Sing setelah meninggal dimakamkan di
130

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

kampung Sunggingan-Kudus. Pada waktu Ja‟far Shodiq menunaikan
ibadah Haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab telah terjadi wabah
penyakit yang membahayakan masyarakat Arab pada waktu itu.
Kemudian atas bantuan Ja‟far Shodiq wabah penyakit tersebut bisa

reda. Oleh karena itu Ja‟far Shodiq mendapat hadiah dari salah seorang
amir, namun Ja‟far Shodiq menolak hadiah yang diberikan amir
tersebut, ia hanya meminta batu sebagai kenang-kenangan. Batu3
tersebut menurut sang amir berasal dari kota Baitul Makdis atau
Jeruzalem (Al Quds) yang kemudian batu tersebut dipasang di atas
Mihrab Masjid Kudus sebagai peringatan dimana Ja‟far Shodiq sebagai
penguasa Kudus yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus,
kata “Kudus” berasal dari bahasa arab “Al Quds4” yang berari “suci”.
Geertz (1977) dalam bukunya ”Penjaja dan Raja” mengungkapkan bahwa tenaga pendorong dalam perkembangan kota secara
tetap dan pasti bukanlah perdagangan setempat dan bukan pihak
pembikinan barang setempat, melainkan perdagangan jarak jauh,
bahkan akhirnya perdagangan internasional. Perdagangan jarak jauh
itu telah menyatukan berbagai daerah di Jawa menjadi satu jaringan
perdagangan dan juga menghubungkan Pulau Jawa sebagai
keseluruhan dengan jalan lalu lintas yang vital untuk ekonomi
perdagangan yang meliputi seluruh dunia. Menurut Wikantari (1995),
kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat pada awalnya ketika
Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian di antara
masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang tidak terlalu jauh
dari Demak maupun Jepara sebagai bandar perdagangan yang cukup

ramai5 pada saat itu. Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram, daerah
sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras utama
Kerajaan Mataram. Perdagangan palawija maupun perdagangan
lainnya meningkat pesat yang memberikan banyak keuntungan bagi
para pedagang Kudus khususnya di Kudus Kulon.
Menurut Castles (1982), selama masa penjajahan Belanda
kondisi masyarakat Kota Kudus terbagi menjadi beberapa strata, yaitu
pertama, golongan priyayi yang merupakan pegawai negeri yang
bekerja untuk Pemerintah Belanda serta para intelektual dan tinggal di
131

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

kota baru seperti guru, dokter dan pejabat pemda dan sejenisnya;
kedua, golongan pedagang dengan berbagai produk industri rumahan
atau pabrikan yang mengambil sikap bersebrangan dengan Pemerintah
Belanda; ketiga, golongan wong cilik, yakni buruh, para penganggur
dan petani yang tinggal di daerah-daerah pertanian seputar kota.
Menjelang akhir abad 19, kemakmuran masyarakat kembali meningkat

karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen menjadi barang
perdagangan bagi pedagang-pedagang Kudus. Castles (1982)
mengungkapkan, daerah jelajah pedagang-pedagang Kudus juga
semakin luas walaupun masih terbatas di dalam Pulau Jawa.
Sejak tahun 1906 Industri di Kudus terutama industri rokok
berkembang sangat pesat, semula industri rokok merupakan kerajinan
rumah tangga namun kemudian berkembang menjadi industri besar
sejak kehadiran perusahaan-perusahaan rokok yang didirikan oleh
Nitesemito6. Perkembangan ini menarik kalangan masyarakat Cina
mulai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini memicu
pertentangan antar etnis yang puncaknya terjadi pada tahun 1918
dengan pecahnya “geger pecinan”. Setelah peristiwa tersebut mulailah
perkembangan rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran
dan banyak yang kemudian bangkrut dan tutup, industri rokok ini
kemudian banyak dipegang oleh etnis Cina yang mengembangkan
menjadi industri raksasa. Bahkan The Kian Wee (1994) menyimpulkan
bahwa tidak mengherankan jika industri milik pribumi di Indonesia
sampai tahun 1930-an belum banyak berarti7.
Pada masa Sunan Kudus, kehidupan para saudagar berkembang
dengan baik. Hal ini karena spirit keteladanan Sunan Kudus yang

kebetulan dikenal sebagai seorang “Wali Saudagar” sehingga kekayaan
berlimpah namun penggunaan keuntungan diutamakan untuk
kepentingan dakwah agama Islam. Sehingga tidak berlebihan bila
masyarakat Kudus disamping sebagai santri yang taat agama atau kyai
yang mengasuh pesantren, tetapi juga memiliki bermacam-macam
usaha seperti industri atau pedagang yang dikelola dengan
perhitungan–perhitungan ekonomi dan selalu didasarkan normanorma atau nilai-nilai agama yang dianut8. Jadi kalau dilihat lebih
132

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

mendalam, pola yang dikembangkan Sunan Kudus ini bersumber dari
kearifan pemahamanya tentang prinsip ekonomi Islam yang
menyatakan bahwa Allah SWT adalah pemilik sumber daya dan
pemberi rejeki bagi semua mahkluk. Karena sumber daya yang dimiliki
oleh Allah SWT di bumi sangat berlimpah dan sangat mencukupi
untuk sekedar memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memenuhi
keinginan semua mahluk di atas bumi ini. Oleh karena itu, bila terjadi
di kehidupan dapat diketahui banyak orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga ada orang miskin dan kaya,

dimana orang kaya semakin kaya maupun orang miskin semakin
miskin, sebenarnya bukan karena persoalan supply melainkan karena
distribusi yang tidak adil yang disebabkan adanya ketimpangan sosial
yaitu keserakahan (tidak memenuhi kehidupan sesuai kebutuhan).
Menurut Bapak Deny Nur Hakim, Humas YM3SK9 waktu
ditanya peneliti mengenai sukses bisnis itu karena kodrat
mengungkapkan demikian:
”Setiap orang dalam menjalankan bisnis memiliki
kesempatan yang sama dan orang harus kerja keras dan
menjalankan ibadah sholat atau dekat dengan Tuhan. Jadi
orang-orang yang melarat itu terutama karena orang itu
malas, bodoh atau berjudi atau bersenang-senang saja.
Sebaliknya orang-orang yang kaya karena mereka bekerja
keras, pandai dan tidak lupa dengan Tuhannya dan bukan
adanya kodrat Illahi, melainkan arena ikhtiar sekuat tenaga
serta wajib bersyukur kepada Allah atas nasib baik yang
didapatnya”.

Sampai sekarang masyarakat Kudus banyak dikenal sukses
sebagai pedagang antar-kota maupun antar-pulau, dimana mereka

sudah bisa memasarkan barang-barang dagangannya, seperti kain,
konfeksi, batik, bordir berhari-hari bahkan berminggu-minggu ke
kota-kota lain, khususnya kota –kota di Jawa Tengah dan Jawa Timut.
H.Moch Anshori10, seorang pengusaha bordir menceritakan kepada
peneliti sebagai berikut:
”orang-orang Kudus yang melakukan bisnis sampai ke luar
kota dalam waktu berhari-hari, bahkan sampai berbulan-

133

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

bulan, akhirnya telah membentuk komunitas perkampungan
orang-orang Kudus di luar kota Kudus, seperti di kota
Malang Jawa Timur ada daerah yang dikenal dengan daerah
Kudusan, dan jalan yang melintas di tempat itu dikenal
dengan Jalan Kudusan. Konon daerah itu tempat komunitas
orang-orang Kudus yang merantau melakukan aktivitas
bisnis dan bertempat tinggal. Demikian pula sebaliknya pasar
Kliwon Kudus yang merupakan pusat perdagangan
masyarakat Kudus, sekarang ini sebagai tujuan “kulakan” bagi
para pedagang daerah lain seperti para pedagang dari kota
Semarang, Pekalongan, Jawa Timur bahkan dari
Kalimantan”.

Kehandalan jiwa dagang masyarakat Kudus dapat ditemui dari
penelitian Clifford Geertz11 dan Lace Castles12 yang intinya menyatakan bahwa masyarakat Kudus telah ”terbiasa” melakukan
perdagangan dari satu kota ke kota lainnya di Jawa. Temuan Castles
dalam penelitiannya, umumnya orang Kudus yang merantau ke Jawa
Timur, mereka hidup mengelompok pada suatu wilayah tertentu yang
oleh mereka telah dijadikan pemukiman para pendahulunya dengan
memberikan nama kampung atau jalan “Kudus” dan umumnya
beraktivitas di sektor industri atau perdagangan pakaian dan bordir,
bahkan terdapat beberapa orang Kudus telah bermukim dan memiliki
toko di Mojokuto dengan sebutan Toko Kudus13 karena orang muda
sebagai pendatang baru yang membuka toko adalah keturunan seorang
pedagang terkemuka dari Kabupaten Kudus-Jawa Tengah.
Pada tahun 2013, industri (industri besar, industri sedang,
industri kecil dan industri rumah tangga) bagi Kabupaten Kudus
merupakan penyangga utama dari perekonomian Kabupaten Kudus
dengan kontribusi sebesar 61,44 persen terhadap PDRB Kabupaten
Kudus. Sektor ini dibedakan dalam kelompok industri besar, industri
sedang, industri kecil dan rumah tangga. Menurut BPS (2013), Industri
besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih,
Industri sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 20 s/d 29
orang dan Industri Rumah tangga memiliki tenaga kerja kurang dari 5
orang. Besarnya kontribusi sektor industri menunjukkan bahwa sektor
ini memegang peranan penting dalam menopang perekonomian di
134

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

Kudus, walaupun secara geografis Kabupaten Kudus merupakan
kabupaten dengan wilayah terkecil, namun dari sisi industri memiliki
potensi dan peluang pasar yang dapat diandalkan, lihat Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Nilai dan Pertumbuhan Sektor dalam PDRB Tahun 2011-2014
Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten Kudus
Lapangan Usaha
1. Pertanian.
2. Pertambangan &
Penggalian
3. Industri
Pengolahan
4. Listrik,Gas &
Air Bersih
5. Kontruksi
6. Perdagangan
Hotel &
Restoran.
7. Pengangkutan
& Komunikasi
8. Keuang,
Persewaan &
Jasa Perus
9. Jasa-jasa
Total BDRB

2011
( Rp)
437,630
4.294

2012
%
(Rp)
461,633 5,48
4.760 10,85

2013*
( Rp)
477.142
4.824

%
3,30
1,34

2014* *
(Rp)*
495.681
4.913

%
3,89
1,84

7.938.351

8.168.626

3,90

8.543.023

4.58

8.969.675

4,99

52.597

56.398

7,23

60.358

7.02

64.232

6,42

233.681
3.652.622

245.636
3.878.330

5,12
6,18

249.786
4.229.973

1,69
6,23

265.798
4.349.097

6,41
5,56

279.799

298.910

6,83

308.787

3.30

324.765

5,17

300.049

324.439

8.13

330.909

1,99

345.451

4,39

295.030
13.184.051

315.852
3.754.585

7.00
4,33

324.128
14.418.932

2.62
4.83

339.011
15.158.623

4,59
5,13

Keterangan : * Angka Sementara
** Angka Sangat sementara
Sumber: BPS Kabupaten Kudus Tahun 2013.

Berdasarkan data Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa, perkembangan
ekonomi masih didominasi sektor industri yang mengalami
peningkatan dari tahun 2011 sebesar 3,75%, tahun 2012 menjadi 3,90%
serta diperkirakan tahun 2014 meningkat 4,99%, ini merupakan sektor
berdaya ungkit tertinggi. Perkembangan kedua sektor industri
mendorong pertumbuhan sektor konstruksi, keuangan dan angkutan.
Sektor perdagangan berkembang hampir merata di berbagai wilayah
baik yang modern maupun tradisional. Maka dapat disimpulkan jika
kedua lapangan kerja itu menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat
Kudus. Dinas Perindagkop dan UKM pada tahun 2012 melaporkan ada
11.483 perusahaan industri dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak
244.330 orang, adapun industri yang berkembang di Kabupaten Kudus
135

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

antara lain industri rokok, garmen, kertas, elektronik, furniture,
kerajinan kuningan, bordir, hiasan dinding (handycraft) maupun
tekstil serta industri pusat kuliner (soto kudus, lentog tanjung, dan
jenang kudus). Melihat kondisi perkembangan industri di Kabupaten
Kudus sangat menggembirakan karena dapat menyediakan lapangan
kerja yang kompetitif, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, kondisi itu
sangat mengkuatirkan karena industri yang mendominasi ternyata
industri berskala besar yang sangat tergantung dengan situasi dan
kondisi dunia internasional, misalnya bahan baku, daerah pasaran
internasional maupun gejolak ekonomi internasional yang sangat sulit
dikendalikan sehingga sangat rawan terjadi goncangan dan ketidakmandiriannya terhadap kekuatan internasional.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.2 di bawah, yaitu
jumlah Perusahaan Besar sejumlah 80 perusahaan dengan menyerap
tenaga kerja sebanyak 94.822 orang, sedangkan Perusahaan Menengah
89 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3.922 orang.
Tabel 4.2
Jumlah Perusahaan Besar, Menengah serta Daya Serap Tenaga Kerja
di Kabupaten Kudus Tahun 2012
No

1
2

Kecamatan

Besar

Naker
Besar

Kaliwungu
16
23.619
Kota
15
18.614
Kudus
3
Jati
14
14.559
4
Undaan
5
Mejobo
5
4.713
6
Jekulo
8
8.379
7
Bae
10
11.886
8
Gebog
11
12.940
9
Dawe
1
121
Total
80
94.822
Sumber: Dinas Perindag & UKM, 2014

Menengah

Naker
Menengah

16
32

846
1.260

Total
Perusahaan
32
47

8
7
3
7
14
2
89

274
253
95
383
681
130
3.922

22
7
8
8
17
25
3
189

Total
Naker
24.465
19.874
14.824
253
4.808
8.379
12.269
13.621
251
98.744

Berdasarkan data BPS (2012), aktivitas ekonomi/bisnis di Kudus
cukup berkembang, antara lain: jumlah Pasar Lokal sebanyak 5 unit,
Pasar Desa 22 unit dan Pasar Hewan 1 unit serta mall dan pusat
136

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

pertokoan (ruko) yaitu Ruko Agus Salim, Ruko Jember, pasar swalayan
(Ramayana, Hypermart dan Matahari) serta pasar tradisional (Pasar
Kliwon, pusat kulakan para pedagang), Pasar Bitingan, Pasar Ploso
serta pasar tradisional di setiap kecamatan maupun industri pendukung
yaitu hotel berbintang, 24 unit dan hotel melati sebanyak 18 unit, dan
obyek wisata (Menara Kudus, Colo, Tugu Identitas, Kolam Renang
Pemda dan Notosari, Museum Kretek, air terjun Montel serta Hutan
Wisata Kajar). Ini menunjukkan bahwa industrialisasi, perdagangan,
dan aktivitas bisnis lain di Kudus lebih maju bila dibandingkan dengan
daerah lainnya di eks Karisidenan Pati.

Kudus sebagai Kota Santri
Berbicara tentang lahirnya Kota Kudus tidak lepas dari spirit
perilaku dari 2 (dua) Sunan yang menyebarkan agama Islam di Jawa
yaitu Sunan Kudus yang hidup dan tinggal di pusat Kota Kudus dan
Sunan Muria yang hidup dan tinggal di Gunung Muria, dan ini dapat
dibuktikan dari peninggalan berupa artefak yang memiliki nilai sejarah
yang tinggi berupa makam. Sunan Kudus dimakamkan di kompleks
Masjid Menara, sedangkan makam Sunan Muria yang berada di lereng
Gunung Muria. Keberadaan 2 (dua) sunan atau wali di antara sembilan
“Walisanga” di Jawa menunjukkan akar dakwah14 dan pendidikan
agama Islam sudah mulai dikembangkan sejak lama, sehingga mampu
mengajarkan masyarakat Kudus mengamalkan ajaran Islam (santri).
Strategi dakwah penyebaran agama Islam yang dilakukan
Sunan Kudus mengedepankan kedamaian dan keharmonisan dengan 2
jalur sekaligus yaitu jalur struktural dan jalur budaya. Jalur struktural,
dengan terlibat dalam sistem pemerintahan di Kusunanan Demak
sebagai senopati Kerajaan Demak sekaligus sebagai pendiri Kota Kudus
merupakan pimpinan yang tangguh, tegas dan berwibawa yang
memiliki kharisma dan figur keteladanan. Jalur kebudayaan (cultural),
dengan pendekatan budaya Sunan Kudus sangat toleran dan
menghargai perbedaan latar budaya setempat, dengan cara menciptakan ruang budaya yang dijiwai nilai-nilai Islam, seperti membangun
137

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

Menara dan Masjid Kudus yang dijiwai semangat multicultural,
mengubah cerita-cerita yang bersifat ketaukhidan maupun
perdagangan. Dampaknya perkembangan agama Islam di Kudus maju
dengan pesat.
Berdasarkan laporan Kudus dalam Angka 2012/2013, di
Kabupaten Kudus terdapat 134 unit pondok pesantren, jumlah Kyai
sebanyak 217 orang, Ustadz sebanyak 1.285 orang, dan jumlah santri
sebanyak 12.372 orang, dengan tempat ibadah masjid sebanyak 657
unit, Mushola/Langgar sebanyak 1931 unit, sedangkan pendidikan MI
sebanyak 138 unit. MTs sebanyak 63 unit dan MA sebanyak 29 unit.
Predikat sebagai “waliyyul ilmy” bagi Sunan Kudus merupakan
tanda simbolik untuk merepresentasikan citra yang melekat pada diri
yang dibangun Sunan Kudus secara internal, yaitu sosok wali yang
benar-benar memiliki pengetahuan ilmu agama yang tinggi, terutama
dalam Ilmu agama Tauhid, Sunah, Hadits, Sastra Mantiq dan lebihlebih di dalam Ilmu Fiqih yang sangat dikenal. Pada kenyatannya
predikat tersebut hanya berlaku pada daerah kota lama atau Kudus
Kulon, sementara daerah-daerah lain lebih merupakan daerah sekuler
(Bonnef, 1983). Pada mulanya Sunan Kudus tinggal dan berdakwah
dilakukan di sekitar Masjid Menara di Kudus Kulon, dalam
perkembangannya karena murid (santri) Sunan Kudus sangat banyak
serta mobilitas murid-murid cukup tinggi dan menyebar di luar Masjid
Menara Kudus, melakukan kegiatan sosial ekonomi seperti berdagang,
telah mampu menyebarkan ajaran Sunan Kudus keluar dari Kudus
Kulon sehingga Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan
pembangunan agama Islam yang terkenal di Jawa, bahkan sampai
Nusantara.
Masyarakat yang tinggal di sekitar masjid di Kudus Kulon
sering disebut sebagai orang Kudus Kulon, berbeda dengan masyarakat
pada umumnya yang tinggal di kawasan luar masjid dengan sebutan
orang Kauman. Sebutan orang Kudus Kulon mencerminkan suatu
sistem budaya dan pola kelakuan yang khas yang berbeda dengan
masyarakat yang tinggal di kawasan luar masjid. Pada umumnya,
138

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

mereka dikenal dan percaya memiliki hubungan kekerabatan dengan
pendiri masjid ini, yang dimakamkan di samping masjid Menara.
Masyarakat Kudus Kulon dikenal sebagai masyarakat muslim yang
fanatik dan tertutup.
Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan
menjauhi larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya,
masyarakat Kudus Kulon banyak menjalankan ajaran Sunan Kudus.
Ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan
kegiatan berbau mistik dan sirik, di kalangan masyarakat Kudus Kulon
tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran
wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta
aliran Kepercayaan15. Wayang kulit dalam ajaran Sunan Kalijaga yang
berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak ajaran
Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut
Sardjono (1996), wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan
Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini
dalam hal agama, masyarakat Kudus Kulon merasa sebagai penganut
Islam fanatik sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam
abangan.
Namun dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak
berguru kepada Sunan Kalijaga, sehingga cara berdakwahpun sejalan
dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan
lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat, demikian juga
Sunan Kudus sebagai “waliyyul ilmi” dan sebagai “Guru Akbar” tentu
akan bijaksana dan terbuka kepada para murid/santrinya untuk
berguru kepada siapapun termasuk kepada Sunan Kalijaga. Bentuk
toleransi Sunan Kudus yang dipelihara para pengikutnya sampai
sekarang antara lain: Sunan Kudus melarang menyembelih hewan sapi
kepada pengikutnya, meskipun hewan sapi halal bagi kaum muslim
karena masyarakat yang waktu itu menganggap hewan sapi sebagai
hewan suci, membangun pancuran atau padasan yang berjumlah
delapan yang sekarang digunakan sebagai tempat berwudhu dan setiap
pancuran dihiasi relief arca sebagai ornamen dan jumlah pancuran ada
8 (delapan) buah yang mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta
139

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

Sanghika Marga atau delapan jalan utama kehidupan manusia;
Membangun menara Kudus yang mirip dengan bangunan Candi Jago
atau bangunan Pura di Bali sebagai akulturasi budaya lokal HindhuBudha.
Sikap tolerensi yang diwariskan Sunan Kudus telah
terinternalisasikan pada diri masyarakat Kudus dan dipratikkan dalam
kehidupan sehari-hari di Kudus, secara empiris dapat diketahui dekat
Menara dan Masjid Kudus yang jaraknya sekitar seratus meter terdapat
bangunan Klenteng “Hok Ling Bio”, di Desa Langgar Dalem,
Kecamatan Kota Kudus merupakan bangunan sejarah yang memiliki
nilai sejarah tinggi. Tempat ibadah umat Tri Dharma diyakini sebagai
klenteng tertua dan bukti toleransi umat beragama yang ada di
Kabupaten Kudus sehingga jamaahnya yang mayoritas kaum Tionghoa
tetap bisa menjalankan ritual keyakinannya tanpa merasa terganggu
sedikitpun. Demikian juga bukti toleransi mayarakat Kudus yang
demikian tinggi diungkapkan dalam prasasti yang dipampangkan di
batu marmer hitam di depan Kantor Bupati Kudus sebelum masuk
pendopo, terukir kata-kata indah yang penuh makna keluhuran jiwa
masyarakat Kudus dengan tulisan:”Lamun siro banter aja nglancangi,
Lamun sira landep aja natoni, Lamun siro mandi, aja mateni” yang
artinya kurang lebih adalah “Apabila anda memiliki kecepatan jangan
mendahului, Apabila anda memiliki ketajaman janganlah untuk
menyakiti, apabila anda memiliki kesaktian, jangan untuk
membunuh”.
Dalam memposisikan Sunan Kudus sebagai tanda, pada
hubungan simbolik akan mampu membuka peluang untuk melakukan
imajinasi simbolik sehingga makna atas Sunan Kudus dengan predikat
“waliyyul ilmy” bisa jadi akan mengalami perkembangan sesuai
dinamika masyarakat yang menafikannya16 dan ini akan melahirkan
anggapan salah satu ciri masyarakat Kudus sebagai masyarakat santri.
Salah satu paradigma yang berkembang di masyarakat Kudus, menurut
Bapak Denny Nur Hakim,17 Pengurus Yayasan Masjid Menara dan
Makam Sunan Kudus (YM3SK) menjelaskan kepada peneliti:
140

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

”untuk bisa disebut wong Kudus, harus bercirikan sebagai
santri atau muslim yang taat sekaligus pandai berdagang dan
menunaikan ibadah haji, bahkan kalau mampu menjadi
pemuka agama (kyai atau ustad) serta mendirikan pesantren
setelah kembali dari tanah suci sesuatu yang sangat diidamidamkan. Gelar haji adalah gelar terhormat yang menjadi
idaman bagi setiap muslim masyarakat Kudus, apalagi
menjadi Kyai Haji. Haji menjadi puncak perwujudan
pelaksanaan rukun Islam terakhir, sedangkan Kyai
melambangkan tingginya ilmu agama Islam yang dimiliki
manusia untuk diamalkan pada sesamanya”.

Sedangkan Islam borjuis yang berkembang di Kudus juga tidak
lepas dari kesadaran dan menerima dari tanda ”santri saudagar” yang
memiliki spirit kapitalisme meskipun kapitalisme yang dibangun
dengan berbasis nilai-nilai religius (agama Islam). Hal ini tidak lepas
dari spirit Sunan Kudus yang diposisikan sebagai ”wali saudagar” yang
dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu berdagang semata-mata
dengan tujuan berdakwah agama Islam, sehingga Sunan Kudus bila
mendapatkan kelimpahan keuntungan dengan berdagang, maka
keuntungannya akan dipergunakan untuk mempercantik dan
memperindah Menara dan Masjid Kudus.
Perubahan perilaku masyarakat Kudus setelah menerima,
meresapi dan melaksanakan ajaran Sunan Kudus, khususnya mereka
yang beragama Islam bukan suatu proses yang cepat tetapi dalam
jangka panjang. Geertz (1977) menjelaskan:
“perubahan-perubahan masyarakat akan berjalan setahap
demi setahap dalam jangka waktu yang lama, yang dimulai
dari perubahan-perubahan di dalam nilai-nilai kehidupan
masyarakat, dan karakteristik fungsi lembaga masyarakat,
yang kemudian merembes melalui kehidupan keluarga,
sistem pendidikan, organisasi-organisasi ekonomi dan politik,
untuk akhirnya muncul sebagai perubahan-perubahan sosial
budaya yang besar di masyarakat, perubahan-perubahan
inilah yang berada di belakang perubahan-perubahan
variabel-variabel ekonomi18”

Dominasi pekerjaan masyarakat Kudus pada umumnya di sektor
perdagangan telah menumbuhkan pola pikir dan cara hidup rasional
141

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

dan ekonomis, sehingga kadang-kadang masyarakat Kudus dikenal
dengan sebutan “uthil” atau “pelit”. Mereka selalu memperhitungkan
dengan cermat apa yang akan dilakukan, tekun dan bersaing untuk
memperoleh keuntungan yang banyak dari orang lain. Waktu siang
hari digunakan untuk bekerja dan baru beristirahat pada maham hari,
sehingga membawa pengaruh terhadap kegiatan sosial keagamaan yang
diselenggarakan pada malam hari seperti pengajian, sunatan,
perkawinan maupun pertemuan RT/RW.

Rumah sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi
Secara umum, rumah dapat diartikan sebagai tempat tinggal
untuk melakukan kegiatan disamping sebagai tempat berlindung dari
pengaruh kondisi alam (hujan, panas, angin maupun debu) serta
merupakan tempat beristirahat dari kepenatan bekerja sehari-hari.
Menurut Sarwono (dalam Budihardjo, 1998), dalam bukunya ”Kota
yang Berkelanjutan” menyatakan, rumah merupakan sebuah
bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya.
Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses
sosialisasi pada saat seseorang individu diperkenalkan kepada norma
dan adat kebiasaan yang berlaku bagi warganya. Tempat sosialisasi bagi
manusia membutuhkan suatu ruang yang disebut ruang sosial yaitu
ruang yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu arsitektur maupun
kehidupan manusia19. Pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk sosial
yang menghuni rumah tidak hanya sebagai perlindungan dari
pengaruh alam tetapi juga sebagai ruang aktivitas seperti makan,
beribadat, beristirahat bahkan aktivitas ekonomi.
Masyarakat Kudus pada umumnya dan khususnya masyarakat
sekitar Menara Kudus dalam membangun rumah adat baik itu bentuk
dan fungsinya tidak terlepas dari nilai-nilai agama Islam yang
dianutnya, karena kehidupan ibadah merupakan ikatan sosial yang
tercermin dalam berbagai aspek, antara lain menggambarkan dimensi
sosial kehidupan masyarakat dalam menentukan pengaturan ruangruang di dalam rumah.
142

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

Rumah tradisional masyarakat Kudus tidak merupakan
bangunan tunggal tetapi kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi
untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah.
Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama yaitu: Dalem atau
rumah induk berbentuk bujur sangkar atau segi empat digunakan
untuk tidur serta kegiatan yang bersifat privat, di dalamnya dibagi dua
bagian yakni jogan serta sentong. Jogan digunakan untuk kegiatan aktif
di dalam rumah yang bersifat pribadi, Sentong terdiri dari 3 ruangan
yakni sentong kiwo (kiri) dan tengen (kanan) yang digunakan sebagai
ruang tidur pemilik rumah sera sentong tengah (krobongan) yang
keseharian dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat. Jogosatru
merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem,
karena merupakan ruang yang bisa dipamerkan pada tamu yang
datang, oleh karena itu kelengkapan dan ornamentasi pada jogosatru
paling menonjol dibanding dengan ruang-ruang yang lain. Pawon
terletak di samping Dalem yang digunakan untuk kegiatan bersama
(ruang keluarga) yang paling sering digunakan dalam kehidupan
keseharian serta tempat memasak pada bagian belakang. Bagian tengah
tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka
(plataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur
(pekiwan). Sumur terbuka tanpa atap dibatasi dinding yang membagi
dua sumur digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudhu. Sisir
terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los merupakan tempat
kerja atau tempat menyimpan (gudang) atau ruang serba guna. Kadangkadang dipakai sebagai dapur umum ketika ada hajatan atau sebagai
kamar tidur tambahan.
Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan
perumahan yang lain, tergantung pada daerah atau pun keadaan
masyarakat setempat. Sedangkan Tjahyono (2000) mengatakan bahwa,
dalam tradisi Jawa rumah merupakan suatu konsep orang Jawa dalam
mengaktualisasikan diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga
mencerminkan konsep budaya berpenghuni.20 Menurut Bourdieu
(dalam Richard Harker dkk., 2004), rumah sebagai ruang sosial
merupakan ruang dalam kelompok-kelompok status yang dicirikan
143

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

berbagai gaya hidup yang berbeda. Pertarungan simbolik atas persepsi
dunia sosial dapat mengambil dua bentuk yang berbeda pada sisi
obyektif dan sisi subyektif. Sisi obyektif, orang dapat bertindak melalui
perepresentasian baik yang bersifat individual maupun sosial agar dapat
mengendalikan berbagai pandangan tertentu yang realitas. Jadi dengan
bahasa lain, sikap, kecenderungan persepsi, berperasaan, bertindak,
dan berpikir seseorang merupakan hasil yang diinternalisasikan berkat
kondisi objektif orang tersebut.21 Sedangkan sisi subyektif, orang dapat
bertindak dengan cara menggunakan strategi presentasi diri atau
dengan mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia
sosial22.
Bourdieu menganalisis praktik budaya didasarkan pada
penetrasi timbal balik antara struktur obyektif dan subyektif dalam
suatu dialektika aktif. Inti prosesnya adalah ”internalisasi eksternalitas
dan ekternalisasi internalitas” dan praktik individu atau kelompok
sosial harus dianalisis sebagai hasil interaksi yaitu habitus23 dan ranah24.
Dalam kehidupan sehari-hari, bagi para pengusaha bordir di Kudus dan
khususnya di Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal
merupakan pusat kegiatan sehari-hari. Rumah tempat tinggal
pengusaha bordir bukanlah sekedar tempat berlindung atau
beristirahat dari kesibukkan bekerja dan memproduksi sehari-hari
seperti membordir, mendisain rencana bordir dan kegiatan potongmemotong sesuai ukuran. Karena itu, rumah pengusaha bordir akan
selalu dipenuhi mesin jahit, mesin bodir komputer, barang-barang
dagangan hasil produksi sendiri, bahkan kebutuhan bordir (kain,
benang dll,) atau produksi orang lain. Rumah mereka selalu ramai
keluar masuk dengan aktivitas para pekerja maupun calon pembeli
yang datang dari desa-desa sekitar Kudus maupun dari luar Kudus.
Pusat kegiatan pengusaha bordir dalam kehidupan sehari-hari
berada di rumah, pasar dan masjid. Rumah bagi masyarakat Kudus
bukan sekedar sebagai tempat tinggal dan tempat beristirahat tetapi
juga sebagai tempat bekerja yang bernilai komersial, sekaligus
digunakan kegiatan spiritual seperti sholat. Mereka memiliki
semboyan: ”Rumahku adalah tempat kerjaku”, tempat memproduksi
144

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

barang dagangan seperti konfeksi dan bordir. Hampir seluruh waktu
dihabiskan untuk bekerja di rumah kecuali malam hari untuk kegiatan
keagamaan dan sosial. Setelah kegiatan di rumah sebagai tempat usaha,
pasar mempunyai fungsi yang sangat penting, karena di pasar itulah
pengusaha bordir akan memenuhi kebutuhan bahan baku maupun
menjual produksi bordir, dan ini sangat menentukan nasib usaha dan
hidupnya lebih lanjut. Masjid sebagai tempat untuk melaksanakan
ibadah yaitu sholat, mengaji atau kegiatan keagaman yang lain.
Hal itu dituturkan oleh para informan yang menerangkan
kepada peneliti alasannya membuka usaha bordir di rumah, sebagai
berikut:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah25 mengatakan alasan rumah sebagai tempat
usaha bordir dan tempat tinggal yaitu:
“langkung praktis” injih meniko saget momong lare-lare, lan
masakaken bapakipun, amargi bapakipun ngasto perangkat
kelurahan Padurenan lan kawulo tetep saget usaha bordir” .
Artinya:
lebih praktis yaitu bisa menjaga anak-anak dan memasak
untuk suami karena suami bekerja sebagai perangkat
Kelurahan Padurenan dan masih dapat tetap bisa kegiatan
bisnis bordir.

Ibu Nurul Hikmah26, mengatakan rumah sebagai tempat usaha
bordir dan tempat tinggal yaitu:
“yah gimana lagi, sebetulnya ingin sekali punya rumah
tempat usaha sendiri dan tidak menjadi satu tempat tinggal,
namun karena tidak ada modal maka rumah disamping untuk
tempat tinggal juga untuk usaha bordir dan juga untuk usaha
suami membuka usaha perbaikan alat-alat rumah tangga,
seperti kulkas, mesin cuci, kipas angin maupun televisi ”.

Ibu Mirah27, seorang pengusaha bordir berusia sekitar 53 tahun
dengan 3 orang anak yang tempat tinggalnya di depan rumah
Sekretaris Kelurahan Padurenen, Bapak Achsannudin Ismanto RT
05/RW01 melakukan usaha bordir mulai tahun 1980 dan usaha bordir
ini meneruskan usaha orang tua. Ibu Mirah mengungkapkan kepada
145

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

peneliti alasannya menggunakan rumah tempat tinggalnya sebagai
tempat usaha karena:
“menawi usahanipun dateng griyo sanes injih langkung sae,

namun betahaken modal langkung katah lan kaping
kalihipun amargi Bapak gerah stroke sampun dangu, usaha
bordir injih dateng griyo kemawon, saget merawat Bapak
kaliyan ngawasi lare-lare tetep saget usaha,usaha bordir
meniko sampun tahun 1980 lan usaha meniko warisan tiyang
sepuh lan rumiyen bapak wedal tasih sehat usahanipun
konveksi, saksampun ipun gerah injih dateng griyo
kemawon”.
Artinya:
Kalau usahanya di rumah lain ya lebih baik namun
membutuhkan modal lebih banyak dan yang kedua
disebabkan bapak sakit stroke sudah lama, usaha bordir ya di
rumah saja, karena dapat merawat bapak dan ngawasi anakanak dan tetap masih bisa usaha bordir, usaha bordir dimulai
tahun 1980 dan usaha ini merupakan warisan orang tua dan
dahulu waktu bapak masih sehat usahanya konveksi, namun
setelah sakit stroke hanya di rumah saja.

Bapak H.Hasan28 Pengusaha bordir berusia 31 tahun, lulusan
SMA, memiliki 2 (dua) orang anak dan bertempat tinggal di Kelurahan
Padurenan RT 05/RW 01 Gebog Kudus, membuka usaha bordir
dirintisnya sejak tahun 2006 dengan menggunakan mesin manual dan
tahun 2011 menggunakan mesin komputer untuk memproduksi bordir.
Pengelolaan usaha bordir di rumah dan dibantu oleh keluarga sendiri
yaitu isteri. Mengungkapkan alasannya melakukan usaha di rumah
sebagai berikut:
“Kalau tempat usaha jauh dari rumah, ya siapa yang akan
menunggu, repot “wira-wiri” nambah ongkos transport beli
bensin dan tidak bisa mengawasi anak-anak”.

Bapak.H. Moch Anshori29 Pengusaha bordir berusia berusia 51
tahun, merupakan salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di
Padurenan RT 1 /RW 1 Kecamatan Gebog, seorang pengusaha bordir
yang cukup berhasil dan salah satu penggerak dan pendiri Koperasi
Simpan Pinjam (KSU) Pedurenan Jaya, menyatakan bahwa tempat
usaha jadi satu dengan rumah tinggal dengan alasan:
146

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

”langkung praktis, lan gampil pengawasanipun, menawi

tempat usaha wonten griyo sanes kedhah kagungan modal
langkung katah lan meniko saget dipun agem ngembangaken
usaha usaha ingkang langkung penting lan ingkang utami
amargi dusun Padurenen sampun dipun kenal usaha bordir,
konsumen sampun dateng kiambak dateng mriki”
Artinya:
Lebih praktis dan mudah pengawasan, disamping itu kalau di
tempat lain memerlukan modal besar dan itu bisa dipakai
untuk pengembangan usaha lebih lanjut dan yang lebih
penting Desa Padurenan sudah dikenal konsumen usaha
bordir, konsumen sudah datang sendiri ke sini.

Ibu Mufarrikhah30 seorang pengusaha bordir berusia 32 tahun,
pendidikan S1 dan beralamat di Kelurahan Padurenan RT 3 RW 6
Kecamatan Gebog, memulai usaha sejak tahun 2005, merintis produksi
bordir dengan alasan bordir memiliki keunikan dan klasik sehingga
akan terus dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, lebih banyak
memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan
lain-lain sesuai pesanan konsumen. Usaha bordir dimulai dari warisan
leluhur ibunya yang juga seorang pengusaha bordir, kemudian usaha
dikembangkan sendiri dengan bantuan suami dan anak-anaknya dan
masyarakat sudah mengenal Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus
sehingga konsumen yang akan datang ke sini. Alasan rumah tinggalnya
menjadi tempat usaha diungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
”Sebetulnya menginginkan punya bengkel dan showroom
usaha bordir terpisah dengan rumah tempat tinggal, karena
lebih bersih, kehidupan keluarga tidak terganggu dan lebih
berkonsentrasi dalam berusaha, namun karena anak-anak
masih kecil-kecil perlu pengawasan dan modal belum
terkumpul untuk membuka bengkel tersendiri”.

Sedangkan Ibu Islahiyah31, mengungkapkan kepada peneliti
sebagai berikut:
“Saya memiliki 2 (dua) tempat usaha yaitu di Desa
Padurenan-Kecamatan Gebog dan di Desa Krandon,
Kecamatan kota Kudus. Alasan memiliki 2 tempat usaha
adalah “di sini (desa Krandon) tempat tinggal asli suaminya
dan dekat dengan Kota Kudus dimana anak-anaknya sekolah

147

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

dan mendekati konsumen, kalau di Desa Padurenan
Kecamatan Gebog tempat asli saya, tetap saya pakai untuk
usaha, namun keseharian kegiatan usaha bordir Ibu Islahiyah
ada di Desa Krandon. Usahanya itu dilakukan sepenuhnya di
rumah, baik untuk produksi dan showroom produk bordir”.

Alasannya melakukan usaha di rumah adalah:
“Rumah di Desa Krandon ini cukup besar disamping mudah
di cari konsumen/pelanggan, karyawan bordir rata-rata
tinggal di Desa Krandon mudah pengawasan dalam proses
membordir oleh para karyawan, karyawan masih bisa
„nyambi‟ menjaga dan merawat anak-anak, tidak mengeluarkan ongkos dan pemasarannya dengan “getuk tular” dan
sering ikut pameran dan bazar di berbagai kota (Semarang,
Jepara, Salatiga, Kudus maupun Demak) yang dikoordinir
oleh KSU Padurenan Jaya yang bekerja sama dengan Bank
Jateng atau Bank Indonesia, karena saya sebagai anggota aktif
KSU Padurenanan Jaya”.

Pada umumnya pengusaha bordir membuka usaha bordir di
rumah disamping sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat bekerja
dan berproduksi antara lain: 1) Memilih rumah sebagai tempat usaha
tidak mengeluarkan banyak biaya sewa, dan kontrak atau menyediakan
dana cukup besar kalau membuat/membangun tempat usaha terpisah
dengan rumah tinggal, 2) Kalau rumah juga sebagai tempat usaha
mengurangi wira-wiri tidak jauh dan masih bisa mengerjakan kegiatan
domestik di rumah seperti memasak, merawat anak, memantau
kegiatan anak-anak, 3). Desa Padurenan Kecamatan Gebog Kudus
sudah dikenal sebagai pusat Desa Produktif Bordir dan Konfeksi
sehingga menjadi tujuan para calon pembeli dan pelanggan,
menurutnya bagai ”mutiara” pasti akan dicari, 4) Ada keinginan tempat
bengkel bordir atau showroom hasil bordir terpisah dengan kegiatan
keluarga di rumah supaya lebih konsentrasi, suasana lebih tertib dan
dapat tertata rapi.

148

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

Profil Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga
Bordir di Kudus
Kehidupan masyarakat Kudus mempunyai karakteristik
perilaku yang berbeda bila dibandingkan dengan perilaku daerah lain
(Jepara, Demak maupun Semarang), dimana perilaku hemat sangat
menonjol, hal ini disebabkan masyarakat Kudus menempatkan masalah
ekonomi atau kekayaan yang dimiliki mempunyai “arti” yang sangat
tinggi. Perilaku ulet dalam berusaha, rajin dan berlaku hemat
merupakan manifestasi dari tata nilai yang hidup di kalangan
masyarakat Kudus. Segala macam tindakan ekonomi dalam sistem nilai
seperti ini akan dipertimbangkan dengan prinsip-prinsip ekonomi.
Hanya dalam keadaan tertentu dan dengan alasan (agama), mereka
baru melakukan suatu tindakan ekonomi untuk kepentingan sosial
misalnya sedekah, zakat, pembangunan Masjid.
Di bawah ini, ungkapan beberapa informan pengusaha bordir
yang diwawancarai peneliti sebagai berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah32, pengusaha bordir “Fadillah Embroider”
berusia 50 tahun, memiliki 3 orang anak (2 orang perempuan dan 1
orang laki-laki), beragama Islam dengan suami bernama Bapak
H.Maskan usia 54 tahun yang bekerja sebagai perangkat Kelurahan
Padurenan yang tinggal di Jl.K.Hasyim Padurenan RT 01/RW 01Gebog yang mulai usaha sejak tahun 1980 dengan modal awal
pemberian orang tua. Dalam menjalankan usahanya Ibu Hj Sri
Murni‟ah dibantu suami dan anak pertama dan kedua. Memulai
usahanya dengan belajar dari orang tuanya yang juga seorang
pengusaha bordir dan konfeksi dengan menggunakan mesin bordir
manual dan kemudian karena permintaan konsumen sangat banyak
dan produksi mulai menggunakan mesin Komputer. Produksinya
penuh kreativitas dan inovasi sesuai dengan keinginan konsumen
tetapi tetap cengkok bordir Kudus kelihatan, berupa kain motif bordir,
jilbab, baju koko, selendang, baju wanita maupun kebaya yang
diproduksi berdasarkan pesanan maupun untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Namun meskipun saya sibuk mengurusi usaha bordir dan urusan
149

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

domestik tetapi tetap melaksanakan ibadah. Pada pagi hari, mulai jam
4.30 sudah bangun dan melaksanakan sholat subuh sebagai umat
Muslim yang taat. Kemudian mempersiapan sarapan pagi untuk suami
dan anak-anak yang mau berangkat sekolah, sedangkan untuk bersihbersih kamar dan halaman rumah, mencuci akan dikerjakan sambil
mengerjakan yang lain setelah jam 09.00 WIB karena tidak memiliki
pembantu rumah tangga. Mulai jam 7.00 WIB Ibu Hj.Sri Murni‟ah
sudah menerima para pengrajin yang menyerahkan hasil pekerjaan
bordir yang dikerjakan kemarin dan memberikan pekerjaan pesanan
bordir baru untuk dikerjakan di rumah para pekerja atau para pekerja
langsung ke bengkel bordir di belakang rumah. Ada yang membawa
pulang bahan baku untuk dikerjakan di rumah dan menjadi bahan jadi
Ibu Nurul Hikmah33, seorang pengusaha bordir berusia 36
tahun memulai usaha sejak tahun 2008 yang dirintis sendiri, belajar
dari orang tua. Beralamat di Kelurahan Padurenan RT 4 RW 2,
suaminya juga membuka usaha reparasi kulkas, mesin cuci dan pompa
air juga melakukan usaha di rumah, sehingga depan rumah banyak
barang-barang rumah tangga elektronik yang sedang dan akan diservis
mengatakan: memilih usaha di rumah meskipun kondisi rumah jadi
tidak bisa rapi karena tidak punya modal untuk membuka toko (tempat
usaha) terpisah dengan rumah tinggal, meskipun sebenarnya punya
keinginan memiliki tempat usaha terpisah dengan tempat tinggal, dan
dengan rumah tinggal sebagai tempat usaha bisa “nyambi” pekerjaan
rumah dan merawat anak di rumah. Keluarga Ibu Nurul Hikmah mulai
aktivitas kegiatan setiap hari, dimulai pagi hari jam 4.30 WIB untuk
melaksanakan sholat subuh. Setelah itu mengerjakan pesanan bordir
sebelum para pengrajin sebagai karyawan datang. Jumlah karyawan
sebanyak 5 orang yang berasal dari tetangga sebanyak 3 orang dan
kampung lain sebanyak 2 orang, dan kalau pesanan banyak dan segera
selesai misalnya membuat souvenir pernikahan bisa menggunakan
tenaga kerja lebih dari 10 orang dan semuanya dibayar dengan sistem
borongan. Produksi bordir yang dikelola Ibu Nurul Hikmah
bermacam-macam variasi berupa souvenir, jilbab, kebaya dan baju
koko taqwa masih menggunakan mesin bordir manual maupun mesin
150

Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

jahit dengan menggunakan tenaga dinamo listrik. Meskipun setiap hari
sibuk mengurusi usahanya, tidak pernah meninggalkan sholat,
pengajian, zakat atau sedekah.
Ibu Islahiyah34, seorang pengusaha bordir yang bertempat
tinggal di Padurenan RT 1 RW 1 Kecamatan Gebog dan juga memiliki
tempat usaha bordir di Krandon RT 05/RW 1 Kota Kudus. Ibu
Islahiyah mulai usaha sejak tahun 1980 dan merupakan pengusaha
bordir yang mulai belajar usaha bordir dari orang tuanya, kemudian
mengembangkan usaha bordir sendiri dengan nama “La Risma” yaitu
mengerjakan bordir untuk memenuhi pesanan dari para pelanggan
berupa kain bordir, bordir kebaya, jilbab, baju, mukenah, slayer, gamis
dan akesoris dan menyediakan stok hasil produksi bordir untuk
konsumen. Dalam melakukan usaha Ibu Islahiyah dibantu oleh suami
yang bekerja sebagai pengusaha membuat tas, sandal dan sepatu yang
kadang-kadang asesorinya dikombinasikan dengan bordir.
Di dalam memproduksi bordir mengunakan mesin yuki untuk
membuat bordir yang rumit-rumit, halus dengan kualitas yang baik
seperti bordir Icik, dan mesin komputer untuk membuat bordir yang
cepat jadi. Tenaga kerja sebanyak 9 orang yang terdiri dari tenaga
membordir 7 orang yang mengerjakan di rumahnya masing-masing
dan 2 orang mengerjakan di rumah pengusaha atau bengkel dan bila
pesanan banyak maka tenaga kerja bisa mencapai 20 orang, yang
dibayar dengan sistem borongan dan harian. Tenaga kerja berasal dari
tetangga di sekitar rumah atau tetangga kampung/desa lain, tenaga
kerja terdiri dari tenaga aktif, yang bekerja dari jam 07.00 s/d jam 16.00
bekerja di rumah pengusaha rata-rata tenaga kerja sambi

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN KUALITAS BORDIR DALAM MENINGKATKAN PARIWISATA DI KUDUS (Studi Kasus Pengrajin Bordir “Allima Bordir” di Desa Karangmalang Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus).

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB IV

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB I

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB II

0 1 67

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB III

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IX

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB V

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB VI

0 0 58

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB VII

0 3 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

0 1 28