Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB VII

BAB TUJUH

GUS-JI-GANG SEBAGAI SOCIAL CAPITAL
KOMUNITAS PENGUSAHA INDUSTRI KECIL
BISNIS KELUARGA BORDIR

Pendahuluan
Dalam bab ini dikemukakan fenomena komunitas Industri
Kecil Bisnis Keluarga (IKBK) bordir beserta karakter perilakunya yang
mendasari dan memperkuat social capital melalui dialektika sosial
pengembangan parameter social capital yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani
wong liya sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai
dasar kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak sebagai
dasar membangun jaringan usaha. (4) Sistem hubungan sosial yang
terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Perilaku Gus-ji-gang yang telah dilaksanakan tanpa disadari
oleh masyarakat Kudus sejak jaman Sunan Kudus sampai sekarang,
khususnya pengusaha IKBK Bordir sebagai suatu kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan bisnis merupakan
struktur mental/kognitif. Bourdieu mengemukakan konsep yang
disebut practice atau praktik. Dalam praktik ini maka perilaku Gus-jigang menstrukturkan dunia sosial (eksternalization of internality) dan

sebaliknya melalui praktik pula, Gus-ji-gang distrukturkan oleh dunia
sosial (internalization of ekternality). Proses menstrukturkan dan
distrukturkan berlangsung secara dialektika dalam lembaga formal dan
non formal secara terus-menerus dalam jangka panjang, dan proses
seperti inilah yang mendorong terjadinya social capital.

261

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

Perwujudan Gus-ji-gang sebagai Social Capital
Gus-ji-gang di dalam persoalan duniawi dengan melakukan
kegiatan ekonomi atau dagang dalam rangka memperoleh rejeki
dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya perilaku tawakal
adalah membangun transendensi kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Perilaku tawakal pada diri pengusaha di Kabupaten Kudus dalam
kehidupan ekonomi yang menekankan pada mencari keuntungan
dengan bekerja keras dan sungguh-sunguh serta selalu dekat dengan
Tuhannya, telah menjadikan dasar membentuk pengusaha masyarakat

Kudus memiliki kepribadian luhur atau “Gus” dalam Gus-ji-gang yaitu
perilaku bagus (jujur dan dapat dipercaya) serta perilaku “Ji” dalam
meningkatkan kekuatan religius dengan berhaji atau mengaji. “Gus”
dan “Ji” bertemu dalam kegiatan praktik disebut dagang. Pertemuan itu
oleh Bourdieu disebut dengan praktik merupakan realitas sosial, yang
dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses “dialektika
internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas”1 yang dapat
memunculkan habitus.
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan
pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu.
Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik2. Praktik diatur dan
digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar menjadi
tindakan sosial, menurut Bourdieu, lebih cenderung merupakan hasil
proses improvisasi individu dan kemampuan berperan dalam interaksi
sosial. Gus-ji-gang sebagai nilai dan norma adalah spesifik, yakni nilai
moral yang berrefleksi tentang perilaku normatif dan perilaku faktual,
dalam konteks ilmu sosial nilai-nilai berrefleksi pada perspektif
empiris-faktual (Bertens, 2003). Nilai-nilai dan norma dalam konteks
social capital di sini adalah faktor-faktor yang memegang peran
penting dalam proses perdagangan/bisnis karena memiliki derajat efek

ekonomi yang disebabkan oleh aspek ekonomi dan non ekonomi.
Menurut Yustika (2006), manifestasi nilai dan norma dapat dinyatakan
sebagai social capital, yaitu dengan mengelaborasi berdasarkan
kesesuaian dengan perspektif bentuk-bentuk social capital sebagaimana
diajukan oleh Coleman (1988) dalam Yustika (2006) yaitu: Pertama,
262

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) terpenuhi dengan
baik, adanya ekspektasi dan kepercayaan lingkungan sosial secara baik.
Artinya dalam struktur sosial memiliki kepercayaan sangat tinggi maka
akan mendatangkan social capital yang lebih baik daripada kondisi
sebaliknya. Kedua, jaringan informasi, yakni aktor (pengusaha IKBK
bordir sebagai pelaku) yang mendapatkan dan atau memiliki basis
jaringan informasi komunikasi lebih luas akan memiliki social capital
lebih besar. Ketiga, nilai dan norma sebagai struktur sosial yang
memiliki sifat kondusif bagi suatu komunitas, maka akan menjadi
pendorong terhadap kemajuan dan perubahan yang lebih baik dan
struktur sosial yang demikian ini memiliki social capital yang lebih

baik.
Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial, kebanyakan
aktor (individu atau kelompok) cenderung menerima dunia sosial apa
adanya serta terjadi interaksi antar-sruktur dan tindakan agen sebagai
elemen social capital (Hasbulah, 2006) yang terdiri dari enam elemen
yaitu keluarga dan kerabat3, kehidupan asosiasi kelompok4, jaringan
sosial5, masyarakat politik6, institusi7, dan norma atau nilai-nilai sosial8,
yang saling mempengaruhi di dalam rangka membentuk social capital.
Elemen-elemen social capital akan menjadi sumber munculnya
interaksi sosial antara orang-orang dalam satu komunitas industri kecil
berbasis keluarga.

Gus-ji-gang sebagai Dasar Pembentukan Social Capital di
Kalangan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis
Keluarga Bordir
Social capital dalam komunitas IKBK bordir di Pedurenan
Kecamatan Gebog tercipta bersumber dari anasir-anasir nilai yang
dimiliki setiap pengusaha IKBK yang bersenyawa dalam interaksi di
lingkungannya, karena dapat diterima oleh komunitas tersebut maka
menjadi tradisi kehidupan lingkungan pengusaha IKBK bordir dan

selanjutnya menjadi acuan bertindak para pengusaha IKBK bordir
dalam menjalankan usaha sehari-hari yang disebut dengan norma.
263

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

Norma yang tumbuh di lingkungan pengusaha IKBK bordir disebabkan
juga oleh keyakinan agama yang dianut (Islam) oleh sebagian besar
pengusaha IKBK bordir.
Di kalangan komunitas IKBK bordir terdapat suatu nilai atau
norma yang timbul akibat hubungan timbal balik di antara sesamanya,
yang menumbuhkan ikatan sosial atau kesetiakawanan sosial. Normanorma yang ada merupakan peraturan secara informal yang mengatur
tentang hubungan serta tata kehidupan berdagang sehingga
menumbuhkan trust atau kepercayaan antara satu sama lain.
Norma yang tumbuh di lingkungan IKBK bordir didasarkan
pada nilai keyakinan agama (Islam) yang dianutnya. Seperti yang
dikatakan Bapak H.Moch Ansori9:
“Setiap umat Islam yang melakukan kegiatan bisnis,
termasuk di Padurenan Kecamatan Gebog, pasti didasarkan

pada akidah Islam yang menuntut nilai-nilai ke-Tuhanan
yang mendasari etos kerja bagi seorang muslim, seperti
berakhak baik sebagai keutamaan karakter. Hal ini dapat
membentuk suatu sikap wirausahawan yang tidak hanya
mementingkan diri sendiri, tetapi juga memiliki tanggung
jawab sosial di lingkungannya”

Peneliti dan staf pengajar STAIN Sunan Kudus Bapak Nur
Said menjelaskan mengenai etos kerja seorang muslim di Kudus
sebagai berikut:
10

“Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, di
samping memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut
ilmu juga memiliki etos kerja yang diandalkan, kemudian
muncul konsep „Gus-ji-gang”, yaitu harus bagus akhlak,
pinter ngaji dan pinter berdagang. Memposisikan Gus-ji-gang
sebagai tanda bagi masyarakat di Kudus yang memiliki
hubungan paradigma dengan Kanjeng Sunan Kudus yang
“waliyyul ilmy” dan ”wali saudagar”.


Sebagai makhluk sosial, seorang pengusaha IKBK bordir
maupun pembeli (pelanggan) bahkan pemasok bahan baku sebagai
manusia sangat memerlukan orang lain, dan untuk itulah terdapat
kecenderungan untuk melakukan kerja sama dan saling berinteraksi
264

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

termasuk dalam melakukan transaksi. Karenanya untuk kerperluan
tersebut sangat diperlukan nilai dan norma guna mengatur dalam
berperilaku dalam bertransaksi yang saling menguntungkan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fukuyama (1999) bahwa sekumpulan nilai
informal atau norma yang menyebar di antara kelompok yang
memungkinkan kerja sama terjadi di antara mereka. Kerja sama
tersebut terjadi apabila antar anggota kelompok masyarakat tersebut
memenuhi apa yang diharapkan antara mereka bahwa lainnya akan
bertingkah laku dengan dapat diandalkan dan memiliki kejujuran,
kemudian mereka akan saling mempercayai satu sama lain.
Kepercayaan adalah seperti minyak pelumas yang membuat jalannya

organisasi lebih efisien.
Selanjutnya Lawang (2005) mengatakan bahwa, norma menjadi
social capital haruslah bersifat positif, dengan alasan, bahwa (a) social
capital itu harus mendorong pertumbuhan ekonomi; kalau tidak
demikian maka bukan dinamakan kapital, (b) social capital mampu
membuat pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada peningkatan
kesejahteraan sosial, tidak hanya sebatas bagi yang termasuk dalam
lingkungan persahabatan itu khususnya, tetapi masyarakat secara luas.
Menurut H.Gufron11 tokoh masyarakat Desa Padurenan dan
pengurus KSU Padurenan Jaya, menjelaskan bahwa nilai ke-Tuhanan
yang tinggi tersebut oleh individu pengusaha dalam menyeimbangkan
dan menyelaraskan kepentingan bisnis dan tanggung jawab sosial
sebagai mahkluk sosial yang bermasyarakat, hal itu diungkapkan
sebagai berikut:
“Hidup ini melaksanakan amanah dan menjaga amanah yang
berasal dari Allah menjadi dasar bagi perilaku seorang
pengusaha yang mampu melahirkan rasa tanggung jawab
untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai pengusaha
dalam mencapai tujuan yang diharapkan dan amanah
tersebut akan terus dilakukan secara terus menerus untuk

membangun kepercayaan, kejujuran, kerja sama usaha
kepada konsumen maupun di antara sesama pengusaha IKBK
bordir sehingga akan terbangun kinerja ekonomi yang
unggul di lingkungan IKBK bordir, bahkan tidak ketinggalan

265

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

kehidupan kebersamaan di masyarakat sini melakukan
kegiatan-kegiatan kumpulan keagamaan harus diikuti pada
malam harinya seperti pengajian, slametan”.

Bentuk-bentuk ketaatan terhadap norma agama dalam kegiatan
keagamaan masyarakat Kudus misalnya tadarusan, pengajian maupun
slametan, dan selapanan akan digunakan masyarakat sebagai ajang
silaturahmi termasuk para pengusaha, tetangga dan para kerabat
dengan tujuan untuk meningkatkan kerja sama, kepercayaan. Menurut
Baharudin (2010), ajang silaturahmi banyak dipergunakan para pelaku

usaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap usaha
bisnisnya, contoh kepercayaan adalah keluarga, sebagian besar bisnis
yang berlangsung sejak dulu hingga saat ini dalam bisnis–bisnis
keluarga. Para pengusaha IKBK bordir sebagai bisnis keluarga yang
didasarkan atas basis kepercayaan.
Betapa pentingnya kepercayaan bagi pengusaha, maka Glasser
et.al (2000) menjelaskan bahwa, kepercayaan sebagai modal dasar dan
dapat memperkuat kohesi social capital. Kepercayaan sebagai modal
dasar merupakan dasar dari social capital itu sendiri, sebab dengan
memiliki kepercayaan maka akan timbul suatu harapan dan melalui
harapan yang didasari kepercayaan dapat mempermudah melakukan
kerja sama dan dapat melakukan transaksi dalam kegiatan bisnis.
Menurut Lawang (2005) ada 3 (tiga) substansi pokok yang saling terkait
untuk membangun kepercayaan yaitu: (i) Hubungan sosial antara dua
orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang diwakili oleh
orang), (ii) dalam hubungan tersebut, terdapat harapan yang bilamana
diwujudkan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak,
(iii) Hubungan dan harapan ini dimungkinkan melalui interaksi sosial.
Jadi berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan merupakan “hubungan dua pihak atau lebih” yang

memuat harapan yang menguntungkan dua pihak atau lebih melalui
interaksi sosial12. Kepercayaan tidak saja membina sebuah hubungan
antar dua individu atau kelompok, terutama hubungan kerja sama dan
kepercayaan, juga merupakan alasan utama yang dapat sebagai social
capital dalam mencapai tujuannya. Kepercayaan menurut Coleman
266

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

(dalam Fukuyama, 2007) adalah pengharapan yang muncul dalam
sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif,
berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan
anggota yang lain dari komunitas itu. Norma yang berlaku di dalam
masyarakat, sering disebut dengan norma sosial.
Tolok ukur keberhasilan bisnis, secara ekonomis yaitu
menghasilkan keuntungan. Menurut Bertens (2000), ada tiga tolok
ukur berdasarkan sistem hukum dan menurut norma yaitu: a).Tidak
betentangan dengan suara hati nurani, yaitu sesuatu (nilai) yang terkait
dengan keyakinan terdalam. Hati nurani adalah menyangkut tentang
integritas pribadi manusia. Karena hati nurani besifat subyektif,
sehingga tidak terbuka dengan orang lain, sebagai norma moral hati
nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai ukuran umum; b) untuk
obyektivitas maka perlu disertai norma-norma lain, yaitu
memperlakukan orang lain, sebagaimana diri sendiri ingin
diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu tindakan tertentu
pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin diperlakukan
sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain, c) guna
efektivitasnya diperlukan pula ”penilaian umum” atau penilaian
masyarakat sebagai “audit sosial”, yang seluas dan seterbuka mungkin.
Pengusaha bordir sebagai manusia tidak hanya sebagai homo
economicus yang hanya mementingkan keuntungan semata, tetapi
masih memiliki aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam
menentukan pola perilaku dan tindakan dalam berdagang, misalnya
nilai dan norma, kepercayaan, hubungan timbal balik maupun
pengembangan jejaring usaha.
Pengusaha sebagai individu dan anggota suatu masyarakat
menjaga kepercayaan dalam suatu interaksi sosial akan menjadi suatu
yang sangat penting jika interaksi sosial tersebut dilandasi oleh
kepercayaan, hal ini sebagaimana yang diungkapkan beberapa
pengusaha IKBK bordir sebagai berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah13 menjelaskan bahwa:
267

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

“injih leres sanget, menawi bisnis meniko kedah kathah

rencangipun, kalian sinten kemawon lan dipunlandasi roso
pithadosan, khan aneh kekancan tanpo kepithadosan kodos
pundi”
Artinya:
Sangat benar, dalam bisnis harus banyak teman, dengan siapa
saja dan dilandasi rasa kepercayaan, kan aneh bila berteman
tanpa dilandasi kepercayaan, gimana.

Ibu Nurul Hikmah14 mengatakan:
“Hubungan antar teman usaha atau bukan teman usaha itu
harus didasari rasa percaya, kalau tidak kan lucu”

Bapak Moch Anshori15 mengatakan:
“menjalin silaturahmi dengan sesamanya itu perintah Allah,
maka pasti didasari rasa saling percaya, kalau tidak didasari
saling percaya ya silaturahmi tidak akan berjalan baik,
apalagi dalam bisnis”.

Bapak H.Hasan16 mengatakan:
“berteman dalam berbisnis itu penting, tapi yang tidak kalah
pentingnya berteman bisnis dengan menjaga kepercayaan
supaya hubungan dapat terjaga berjalan terus”.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para
informan di atas dapat dipahami bahwa setiap melakukan hubungan
antar-individu yang dibangun para pengusaha tersebut dengan orang
lain selalu dilandasi dengan kepercayaan. Menurut mereka
kepercayaan merupakan kekuatan moral17 yang di dalamnya secara
implisit ada pada kalimat ajo mitunani wong liya artinya jangan
merugikan orang lain. Menurut Suseno (2005), kalimat itu merupakan
norma moral terpenting dan atau prinsip dasarnya etika sosial Jawa.
Tujuan sikap integrasi dengan kekuatan moral aja mitunani wong liyo18
adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap baik satu sama lain,
saling membuat bahagia, dan tidak saling mengganggu. Nilai-nilai
moral tata krama Jawa yang diungkapkan dalam sikap hormat dan
sikap rukun justru sebagai usaha untuk menghasilkan itu19.

268

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Sedangkan menurut Bapak Nur Syafiq pengusaha bordir berusia
55 tahun, untuk mempercayai seseorang dalam hubungan bisnis, beliau
tidak langsung percaya pada orang yang baru dikenal, yang penting
dalam menghadapi harus bersikap baik dan ramah meskipun harus
lebih hati-hati dalam mengambil keputusan apakah akan mempercayai
orang tersebut atau tidak. Hal itu dilakukan karena sekarang banyak
sekali orang yang berpenampilan dan tutur kata baik tetapi orang
tersebut seorang penipu dan sering bohong. Kehati-hatian itu karena
modal saya kecil maka kalau ditipu bagaimana. Berikut ini ungkapan
dari Bapak Nur Syafiq20 yang menyatakan:
“Kodhos pundi jaman sakmeniko katah tiyang sering apus-

apus, kito kedhah atos-atos menawi bisnis, menopo malih
kaliyan tiyang enggal kenalipun, menawi tiyang meniko
sampun dipun kenal lami lan sampun mangertos athen-athen
nipun ya kawulo pitados, amargi modal kawulo alit, mangke
menawi dipun apusi kadhos pundi, ingkang baku kito kedah
ramah lan sopon kaliyan sinthen kemawon ,inggih
alhamdulillah kawolu dereng nate kapusan”
Artinya:
Bagaimana jaman sekarang banyak orang sering menipu, kita
harus hati-hati kalau bisnis, apalagi dengan orang yang baru
dikenal, tetapi kalau dengan orang sudah dikenal dan sudah
tahu perilakunya ya pasti percaya, sebabnya modal kecil,
kalau ditipu gimana, yang penting kita harus ramah dan
sopan dengan siapa saja, yah alhamdulillah sampai sekarang
belum pernah ditipu.

Seperti yang diterangkan di atas oleh para informan, Gus-jigang sebagai identitas karakter dan kepribadian yang unggul
masyarakat Kudus, yang merupakan satu kesatuan kata “gus” (bagus
rupa dan bagus akhlak), “ji” (kaji atau pintar ngaji) dan “gang” (pintar
dagang) yang memiliki sifat holistik dan koherensi. Konsep ”gus” dan
“ji” yaitu beraklak baik dan melakukan pembelajaran dengan mengaji
atau pergi kaji/haji itu merupakan kekuatan membangun internalisasi
kekuatan “spiritualitas” yang memiliki nilai kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dan sekaligus di dalamnya menjelaskan nilai-nilai
rasionalitas dengan parameter tidak terukur. “Gang” yaitu dagang yang
269

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

identik dengan rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur
seperti keuntungan, kerugian, transaksi.
Jadi kekuatan spiritualitas yang dimiliki masyarakat Kudus
dengan melakukan “gus” dan “ji” tersebut sebagai dasar kekuatankekuatan transendensi untuk membentuk spiritual dagang yang tidak
hanya mengekpresikan dalam keuntungan, transaksi, manajemen
tetapi juga mempersoalkan pelayanan, tanggung jawab sosial,
pengembangan, maupun keadilan. Ketiga karakter yaitu “gus”, “ji”, dan
“gang” secara harmonis melekat pada diri masyarakat Kudus, yaitu
religius yang mendorong kerja yang ulet, kuat dan hemat di dalam
melakukan kegiatan ekonomi yaitu dagang ala Kudus.
Menurut Abdul Jalil (2014), penempatan Sunan Kudus dengan
kearifan lokalnya sebagai suatu rujukan dalam berperilaku dan
berusaha, dalam batas-batas tertentu, merupakan sumber nilai bagi
masyarakat. Sehingga di Kudus, Muslim yang taat dalam beribadah dan
ulet dalam berdagang memiliki status yang tinggi di masyarakat.
Karena itu bisa dimengerti jika di Kudus Kulon sebagai asal mula
munculnya Gus-ji-gang yang kemudian berkembang di seluruh
wilayah Kudus, telah berkembang mitos larangan menikahkan anak
gadis dengan pegawai negeri, orang tua pada waktu dahulu lebih
memilih pasangan seorang santri saudagar karena cepat mendapatkan
kekayaan dan memiliki keimanan yang kuat, meskipun sekarang ini
mitos larangan sudah mulai pudar. Bahkan sekarang telah berubah
terbalik bekerja di pegawai nageri menjadi pilihan utama, baru
berdagang kalau tidak diterima sebagai pegawai negeri karena sebagai
pegawai negeri masih bisa memiliki pekerjaan sampingan berdagang.
Pada umumnya pengusaha bordir banyak yang tidak mengerti
istilah Gus-ji-gang, bila ada yang mengerti istilah itu yaitu mereka
mendengar saat mengikuti pengajian, namun pada umumnya
pengusaha Kudus telah melakukan secara operasional mempraktikkan
Gus-ji-gang yaitu “gus” berperilaku bagus, “ji” yaitu pintar mengaji dan
“gang” yaitu pintar dagang. Namun dalam kehidupan sehari-hari tanpa

270

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

mereka sadari, termasuk dalam berbisnis bordir telah melakukan
praktik Gus-ji-gang.
Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi
masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas ekonomi antara lain
berdagang, di satu pihak tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh
melalui proses yang kompleks dalam dunia kehidupannya atau pada
budaya Jawa di Kudus sesuai pada masanya. Kompleksitas memperoleh
keutamaan, menurut Bertens (2011), sama kompleksnya dengan
seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya
membaca buku-buku, instruksi, atau mengikuti kursus saja. Namun,
menurut Sonny Keraf (2002), dengan metode reflektif kritis
merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan
keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara
moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan
norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan
moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua,
masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan
keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut
oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang
manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau
sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya.
Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk
memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai keutamaan
dagang Jawa di Kudus dapat dianalisis dengan teori kritis21 terhadap
nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal.

Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral
mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui
internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud
pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan menentukan
ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifkan melalui cara
bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun22
kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai pendapat
umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun ini
271

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai penghimpunan
kekuatan social capital23. Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar
masyarakat mencapai keselarasan, tidak hanya orang-perorangan,
tetapi masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam komunitas pengusaha
IKBK bordir sebagai masyarakat Jawa memiliki habitus seperti sabar,
kerja sama, patuh dan rela berkorban, sehingga terciptanya keadaan
yang selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan
tata titi tentrem kerta raharja. Orang Jawa termasuk masyarakat Kudus
dalam hidupnya selalu mengharapkan tetap terpeliharanya keteraturan
relasi yang ada (Anderson, 1965). Menurut Geertz (1964), semua unsur
yang ada dalam keadaan keselarasan dan memuat pada konsep rukun
dan hormat dipakai sebagai dasar kehidupannya. Demikian pula dalam
kehidupan sosial, selalu menjaga keselarasan sosial dengan cara
mencegah konflik. Guna menjaga keselarasan tersebut, seseoarang
harus mampu mengontrol hawa nafsu dan mengembangkan sikap sepi
ing pamrih dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan pangkat dan
derajatnya dengan rame ing gawe. Dengan sepi ing pamrih dan rame
ing gawe tersebut diharapkan masyarakat atau komunitas pengusaha
IKBK bordir dapat slamet, tenang hidup batinnya, tenteram dan aman.

Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan rukun
tersebut sebagai acuan caranya bersikap kekeluargaan atau bergotongroyong baik di pemikiran atau tindakan (teknis pelaksanaan)24 dalam
realitas sosial25 Jawa yang modern atau sesuai di masanya.
Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang kedua
itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di Kudus.
Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa, antara
keutamaan moral dengan dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa
adalah sumber social capital merupakan satu kesatuan yang saling
mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap dan bertindak secara
terus-menerus (dinamis) baik pada dataran pemikiran pedagang atau
cara pelaksanaannya yang sesuai (modern) dan berlaku di masanya.
Hal itu seperti dalam penjelasan Peursen dan Geertz tentang
hakikat kebudayaan. Menurut Peursen, hakikat kebudayaan sama
272

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

dengan hakikat manusia, jika ditulis di buku tidak akan ada habishabisnya. Kebudayaan pada dasarnya merupakan kristalisasi dari
berbagai kegiatan serta karya manusia26. Geertz menjelaskan,
kebudayaan adalah susunan dinamisnya ide-ide dan aktivitas-aktivitas
yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain secara
terus-menerus27, karenanya, sebelum menganalis tiga hal tersebut
diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam kontruksi
teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial (social
capital) pedagang di Kudus. De Jong (1976) dalam Endraswara (2006)
mengemukakan, unsur sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus)
adalah sikap rila (rela), nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan
mendasari segala gerak dan langkah orang Jawa dalam segala persoalan.
Rela disebut juga ikhlas yaitu kesediaan menyerahkan segala milik,
kemampuan dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas
dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tapi
mengucapkan matur nuwun (terima kasih). Sabar menunjukkan
ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu yang bergolak.
Masyarakat Kudus pada umumnya (di luar orang yang tinggal di
lingkungan Menara Kudus) disebut sebagai orang awam adalah orang
kebanyakan atau orang biasa. Mereka memeluk agama tetapi tidak ahli
mengenai ilmu agama, sebagian aktif dan taat. Mereka selalu mengikuti
pengajian yang diisi oleh kyai atau ustad di masjid-masjid atau di mana
saja pengajian itu diadakan, dengan harapan akan mendapat berkah
dan pahala masuk surga. Mereka berkeyakinan semakin sering
mengikuti pengajian semakin banyak berkah dan pahala yang mereka
peroleh. Jika ditanyakan untuk apa mereka mengikuti pengajian,
biasanya akan dijawab ”kanggo sangu mati”, artinya untuk bekal nanti
kalau meninggal “munggah suwargo” atau naik ke surga. Bahkan pada
umumnya, mereka kelihatan tidak peduli apa saja yang disampaikan
para kyai atau ustad dalam pengajian, yang paling penting mereka
mengikuti pengajian, mereka akan mendapat berkah dan pahala.
Semakin banyak berkah dan pahala yang mereka kumpulkan setiap
mengikuti pengajian semakin besar kemungkinan nanti setelah mereka

273

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

meninggal akan dapat hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke
surga.
Pengajian yang mereka ikuti akan menumbuhkan kesadaran
manusia akan adanya hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, atau
sesuatu yang dipersepsikan sebagai proses transendental. Proses inilah
yang sering disebut dengan spiritualitas28.Dengan demikian spiritualitas
mencakup perilaku inner life individual, idealisme, sikap, pemikiran,
perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Mutlak. Perilaku spiritual
tersebut timbul dan mengubah jalan hidup pelaku menuju kesadaran
atas kekeliruan yang telah mereka lakukan. Kedua, perilaku spiritual
muncul ketika kita menentukan pilihan. Ketiga, perilaku spiritual
muncul ketika kita merasa istimewa, unik, dan tidak tergantikan oleh
orang lain. Keempat, perilaku spiritual membersit dalam tanggung
jawab, dan Kelima, perilaku spiritual akan mencuat dalam situasi
transendensi.
Menunjuk pada wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah,
pemilik usaha bordir “Fadillah” sama sekali tidak mengesankan cara
pandang tentang betapa lebih pentingnya suatu modal financial, tidak
pula mengunggulkan pengalaman belajar dan berusaha bordir dari
orang tuanya, pada waktu dia masih muda diajarkan teknik menjahit
dan disain bordir serta berjualan bordir. Pemilik usaha bordir
“Fadillah” tidak pernah mendapatkan pendidikan formal yang
mengajarkan teori nilai dan norma berbisnis, tentang pentingnya
jaringan usaha dan kepercayaan sebagai modal usaha. Namun mereka
hanya mendapat sentuhan pendidikan informal melalui pengajianpengajian yang selalu diikuti setiap bulan 2 s/d 3 kali, yang
disampaikan para kyai atau ustad tentang pentingnya nilai-nilai agama
maupun saran atau petuah-petuah orang tua tentang kehidupan
bahkan beliau memiliki keinginan menunaikan ibadah haji lagi
bersama suami.
Berikut wawancara peneliti dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah29
sebagai berikut:

274

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

“Menambah bekal ilmu dan membangun jaringan sosial niku
injih wajib kagem tiyang gesang., injih derek pengajian.
Dados inggih kedah seimbang, menawi derek pengajian
terus, kesupen usahanipun lajeng rejeki saking pundhi lan
ingkang baku tiyang meniko yen „Nandhure Apik Ngunduhe
Apik‟ niku ular-ular saking tiyang sepuh kawulo lan dadi
wong sing duwe sikap relo, narimo dan sabar”
Artinya:
menambah bekal ilmu dan membangun jejaring sosial itu
juga wajib buat orang hidup, ya ikut pengajian, jadi harus
seimbang, kalau ikut pengajian terus, melupakan usahanya
lalu rejeki dari mana, dan yang mendasar orang itu kalau
„menanam baik akan memperoleh hasil baik‟, itu petuah
orang tua saya dan jadi orang itu punya sikap iklas, menerima
dan sabar.

Selanjutnya Ibu Sri Murni‟ah menyampaikan kepada peneliti
bahwa:
“kawulo inggih kepengin sowan ngilen (naik haji) malih

kalian bapak (suami), injih kagem nambah ibadah lan
langkung celak kalian Gusti Allah, tambah iman lan kagem
sangu urip, supados saget nampi menepo kemawon paringane
Gusti Allah lan supados anggenipun nyambut gawe meniko
saget baroqah kagem keluarga”
Artinya:
Saya juga berkeinginan datang ke barat (menunaikan Haji)
lagi dengan suami, ya untuk menambah ibadah dan lebih
dekat dengan Gusti Allah, tambah iman dan buat sangu
hidup, supaya bisa menerima apa saja pemberian Gusti Allah,
supaya dalam bekerja bisa barokah buat keluarga.

Informan Bapak H.Noor Kholid30 pengusaha bordir menyatakan
lebih lanjut dalam cuplikan wawancara:
“Dadi wong niku sing jujur lan dipercoyo kanggo dagang

utowo urip saben dinane, trus ya kerja keras sebab kanggo
ngentukake penghasilan ya kudu usaha disik lan selain iku
ojo lali karo ibadah menurut agamane, ya bershodakhoh
kanggo wong sing membutuhkan”
Artinya:
jadi orang itu harus jujur dan dipercaya buat dagang atau
kehidupan sehari-hari, terus ya kerja keras sebab buat

275

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

mendapatkan penghasilan, ya berusaha dulu dan selain itu
jangan lupa beribadah menurut agamanya).

Hampir sama pernyataan mereka berdua yaitu Ibu Hj. Sri
Murni‟ah dan Bapak H.Noor Kholid dan seorang tokoh masyarakat
Desa Padurenan dan juga pengusaha bordir yaitu Bapak H.Moch
Anshori mengungkapkan bahwa nilai kejujuran sangat dipegang teguh
oleh Bapak H.Moch Anshori karena sejak kecil beliau tumbuh dalam
keluarga dengan nilai keagamaan yang sangat kuat yaitu dari Pondok
Pesantren, dengan kejujuran berarti mereka mepunyai akhlak mulia,
sehingga tetap berada dalam jalan yang benar dan jangan berbuat
curang dalam berbisnis maupun kehidupan sehari-hari, sekali berbuat
curang dan tidak jujur nantinya akan menghancurkan diri sendiri. Ini
berarti telah melaksanakan “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang dalam
membangun religius mereka meskipun mereka tidak menyadarinya.
Berikut petikan wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori31
selengkapnya:
“hidup itu harus didasarkan pada ahklak yang baik, sehingga
jangan main curang, karena ahklak yang baik itu adalah
tuntunan nilai-nilai agama yang senantiasa saya pegang
teguh karena saya sejak kecil dalam keluarga yang nilai
agamanya kuat dari pondok pesantren. Selain itu prinsip atau
ajaran atau petuah lain dari orang tua atau para kyai harus
terus dijalankan terus, orang dagang itu harus jujur, sekali
tidak jujur maka akhirnya akan menghancurkan diri sendiri”.

Bapak Nur Syafiq32, pengusaha bordir berusia 55 tahun
menyatakan kepada peneliti:
”manusia harus berikhtiar semaksimal mungkin, lalu ia
pasrahkan pada Yang Kuasa.” Dengan cara ini saya tenteramKabeh wis tinakdir saking Pangeran”

Pemanfaatan Parameter Social Capital oleh Pengusaha
Industri Kecil Bisnis Keluarga dalam Pengembangan Usaha
Pentingnya social capital dalam suatu komunitas seperti
pengusaha bordir ditunjukkan Coleman (dalam Lin, 2001) yang
276

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

mendifinisikan social capital sebagai sesuatu yang terdiri dari ciri-ciri
sosio-struktural atau sumber-sumber yang bermanfaat bagi beberapa
orang untuk tindakan-tindakan khusus, menekankan social capital
sebagai kebaikan publik (public good). Hal ini disebabkan social capital
adalah kebaikan publik atau kebaikan bersama, yang berarti keadaan
ini tergantung pada good will (niat baik), sedangkan niat baik tersebut
dibangun masyarakat Kudus melalui beraklak baik (bagus) dan
kemampuan ngaji (pintar ngaji) yang mampu membangun spiritualitas
sebagai dasar berniat baik para pengusaha bordir dalam melakukan
perdagangan, sangat dibutuhkan membentuk fungsi struktural menjadi
norma, kepercayaan, hubungan timbal balik, membangun jejaring
menjadi hal yang penting dalam menopang social capital di bisnis IKBK
bordir.
Meminjam istilah dari Bertens (2004), social capital merupakan
hubungan satu sama lain yang diadakan para warga masyarakat dengan
suka rela untuk mencapai tujuan yang tidak (dapat) diwujudkan selama
orang berjalan sendiri. Dalam memahami keberadaan dan
keberlangsungan social capital dalam komunitas pengusaha bordir di
Kudus dapat dari bagaimana komunitas tersebut membangun normanorma dan nilai-nilai, jejaring-jejaring, hubungan timbal balik,
kepercayaan sosial yang mempermudah koordinasi dan kerja sama
demi kemanfaatan bersama pengusaha bordir.
Bourdieu menyatakan (dalam Portes, 1988) bahwa social capital
terdiri dari dua unsur. Pertama, jalinan sosial yang memungkinkan
masing-masing anggota dapat berhubungan langsung dengan dan
dalam kelompok. Kedua, jumlah dan mutu dari sumber daya anggota
kelompok tersebut. Berdasarkan realita di lapangan, penguatan social
capital komunitas pengusaha bordir di Kudus dilakukan dengan
pengembangan parameter yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani wong liya
sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai dasar
kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak dalam
membangun
jaringan usaha. (4) Sistem interaksi sosial yang
terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan.
277

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

Prinsip Aja Mitunani Wong Liya sebagai Norma & Nilai
Manifestasi norma dan nilai dapat dinyatakan sebagai social
capital, merujuk Yustika (2006) yakni dengan mengalaborasi
berdasarkan kesesuaiannya dengan perspektif bentuk-bentuk (forms)
social capital sebagaimana diajukan Coleman (1988) dalam Yustika
(2006) yaitu: Pertama, berlangsungnya struktur kewajiban (obligations)
yang terpenuhi dengan baik, adanya ekspektasi (expectations), dan
kepercayaan (trust worthiness) lingkungan sosial, sehingga struktur
sosial tersebut akan memiliki derajat kepercayaan tinggi, maka
dipandang akan memiliki social capital yang lebih baik dari pada
kondisi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi komunikasi yang luas
(informatian channels), yakni aktor (pengusaha bordir) yang mendapat
dan atau memiliki basis jaringan informasi komunikasi lebih luas,
berarti memiliki social capital lebih besar. Ketiga, norma dan sanksi
yang efektif (norm and effective sanctions). Maka bila norma sebagai
struktur sosial yang memuat kondusif bagi sesuatu komunitas
(pengusaha bordir), maka akan menjadi pendorong kemajuan dan
perubahan yang lebih baik, dengan demikian struktur sosial memiliki
social capital yang lebih baik dan sebaliknya.
Nilai dalam struktur sosial (dengan nilai-nilai di dalamnya)
mempunyai dimensi historis, karena diciptakan untuk manusia pada
sesuatu saat tertentu, dan selanjutnya keberfungsiannya diuji dalam
kehidupan sehari-hari sehingga akan menentukan nilai-nilai itu dapat
bertahan hidup atau tidak. Menurut Berger dan Luckmann 1966
(dalam Lawang, 2005) bahwa, sesuatu struktur sosial yang fungsional
biasanya akan mempengaruhi cara berpikir orang. Nilai akan menjadi
pedoman kehidupan manusia sehingga berlangsung dengan baik. Nilai
oleh manusia sebagai pelaku ekonomi dikembangkan dan dipelihara
secara turun-temurun melalui etika berdasarkan prinsip-prinsip utama
(norma) yang dianut oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat Kudus
nilai dan norma yang dianutnya sesuai dengan religius yang
diyakininya adalah Gus-ji-gang.

278

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Sebagai mahkluk sosial, seorang pengusaha bordir dan atau pun
pembeli/konsumen sebagai manusia adalah memerlukan orang lain,
dan untuk itu terdapat kecenderungan untuk dapat kerja sama dan
saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi, maka norma dan
nilai sangat diperlukan guna mengatur dalam berperilaku, sehingga
mereka dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.
Menurut Rahardjo (1990) dalam bukunya “Etika Ekonomi dan
Manajemen” mengemukakan lima prinsip utama yang menjadi dasar
sistem nilai (etis) yaitu: Pertama, adanya prinsip bahwa hidup munusia
itu harus dipelihara dan dilindungi. Kedua, prinsip bahwa kebaikan
dan kebenaran itu perlu ditegakkan dengan: (a) mengunggulkan
kebaikan atas keburukan dan kebenaran atas kesalahan, (b) tidak
menimbulkan keburukan atau kerusakan, dan (c) mencegah agar tidak
timbul kerusakan dan lahirnya keburukkan. Ketiga, kebaikkan maupun
keburukkan itu perlu dibagi di antara manusia, sejauh mungkin secara
merata. Keempat, perlunya orang menyatakan sesuatu secara jujur dan
sebenarnya serta melaksanakan janji atau komitmen yang dibuat.
Kelima, perlunya dipelihara kebebasan individu, guna memungkinkan
adanya keluwesan dan terhindar dari kekakuan.
Norma yang berlaku di masyarakat, bentuknya dapat tertulis
maupun tidak tertulis yang senantiasa dipatuhi dan dijalankan oleh
individu dalam setiap perilakunya. Aturan-aturan yang ada dalam
perkumpulan komunitas pengusaha bordir maupun dalam masyarakat
pada umunya, yang diikuti para pengusaha bordir tidak mempunyai
aturan secara tertulis dan mengikat serta sifatnya tidak wajib dan
bukan suatu keharusan, tetapi dengan penuh kesadaran mereka
mengikuti kegiatan perkumpulan tersebut, sehingga jika para
pengusaha terpaksa tidak bisa mengikuti perkumpulan tersebut hanya
rasa ewuh pekewuh atau sungkan pada anggota lain kalau tidak bisa
datang dalam pertemuan. Oleh karena itu, walaupun tidak dapat hadir
tetap membayar iuran wajib untuk mengisi kas dengan menitipkan
kepada anggota lain atau menyuruh anak atau karyawan untuk
membayar iuran melalui pengurus. Namun dalam berperilaku
279

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

berhubungan atau beriteraksi dengan individu atau masyarakat selalu
menjaga nilai-nilai religius yang mereka anut (agama Islam).
“Gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang telah membangun
objektivikasi kebaikan tindakan moral sebagai etos dalam pluralisme
modern ada dua hal. Pertama, tereksternalisasi dalam tindakan dan
kata-kata saling percaya, merasa puas dan senang atas kepandaian,
loyalitas dan keluhuran budi. Kedua, bersikap integrasi33 kepada
berbagai pihak yang terlibat di dalamnya sehingga merasa terjalin
dalam satu pola kekeluargaan atau kekerabatan yang saling kasih
(tresno) dan dapat tercipta keadaan yang harmonis yang hangat.
Berdasarkan pada hal tersebut sebagai etos bagi pluranisme modern
sebagai inti kekuatan moral. Kekuatan moral menurut Suseno (2005)
merupakan kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam
kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya
sebagai kebenaran yang secara implisit ada pada kalimat “aja mitunani
wong liya” (jangan merugikan orang lain). Ajo mitunani wong liya
merupakan norma dan nilai moral terpenting dan atau prinsip dasarnya
etika Jawa.34 Tujuan dan sikap integrasi dengan kekuatan moral ajo
mitunani wong liya adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap
baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak saling
menganggu. Seperti yang dituturkan para informan kepada peneliti
sebagai berikut:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah35 mengungkapkan:
“ngih menawi hubungan kalian tiang niku, ngih wajib dan
kedah menghormati kalian menghargai tiang, namun
menawi Derek kempalan RT/RW utawi pengajian menawi
pas sawek repot, boten saget dumugi, ngih iuran nipun pasti
kawulo titipaken pengurus kempalan”.
Artinya:
ya, kalau hubungan sama orang, ya wajib dan harus
menghormai dan menghargai orang, namun kalau ikut
kumpulan RT/RW atau pengajian pas masih sibuk tidak bisa
datang, namun ya iuran nya pasti saya titipkan kepada
pengurus)

280

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Bapak H. Moch Anshori36, pengusaha bordir dan tokoh
masyarakat Desa Padurenan, menyampaikan sebagai berikut:
”menghormati orang lain, menghargai pendapatnya, tidak
membeda-bedakan, bertegur sapa dengan tetangga, teman
pengusaha dan orang yang kita kenal, tetapi dalam mengikuti
kumpulan Haji, pengajian, RT/RW setiap saat, pasti saya
usahakan hadir, selama saya tidak ke luar kota dan biasanya
saya ditunggu-tunggu kedatangannya untuk memberikan
masukkan dalam perkumpulan tersebut”.

Ibu Nurul Hikmah37 mengungkapkan
pentingnya ikut kumpulan sebagai berikut:

kepada

peneliti

“Hubungan dengan orang lain, ya peting sekali, karena itu
kita harus saling menghormati dan menghargai orang lain, ya
namanya kita manusia kan harus berhubungan baik dengan
manusia siapa saja, apalagi saya usaha bordir, kalau ikut
kumpulan PKK kadang-kadang ikut dan kadang-kadang
tidak bisa ikut, tetapi iuran biasanya saya titipkan karena
dikejar-kejar pesanan bordir harus segera jadi, tetapi kalau
pengajian saya usahakan bisa hadir, karena untuk menambah
sangu urip”.

Demikian pula nilai dalam kehidupan senantiasa ada dalam
setiap diri individu, nilai itu dibangun secara terus-menerus sehingga
mengkristal dalam kehidupan, dan dapat dilihat dari pandangan hidup
pengusaha bordir, seperti yang diungkapkan Bapak H. Moch Anshori
bahwa setiap mengikuti perkumpulan dan pengajian selalu mendapat
Tolabul Ilmi (mendapat tambahan ilmu dan membangun jaringan
sosial) itu wajib tetapi mendapat rejeki juga wajib, maka kita harus
seimbang bahkan pada saat ada perkumpulan, ada yang memesan
bordir. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan Bapak H. Moch
Anshori sebagai berikut:
“Tolabul ilmi setiap ikut perkumpulan itu ya penting dan
mencari rejeki juga penting. Jadi ya harus seimbang kalau
hanya ikut kumpulan saja dan dapat tolabul ilminya terus
rejeki dapat dari mana, maka setelah acara wajib kumpulan
selesai, biasanya digunakan membicarakan bisnis, bahkan

281

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

kadang-kadang saat kumpulan kami mendapat pesanan
bordir”.

Sedangkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah saat diwancarai
peneliti mengungkapkan sebagai berikut:
”yah menawi isteri pados nafkah meniko hukumipun
sunnah, amargi namun bantu suami, ingkang wajib pados
nafkah suami, lha kawulo pados nafkah meniko kan
shodaqoh kangge keluarga, lha meniko sampun manjeng
dateng niat ibadah kawulo”
Artinya:
Ya kalau isteri mencari nafkah hukumnya sunnah, sebab
hanya membantu suami, yang wajib mencari nafkah itu
suami, la saya mencari nafkah kan shodaqoh buat keluarga, la
itu sudah mendarah daging dalam niat ibadah saya.

Bapak H.Noor Kholid38, menjelaskan bahwa hidup itu untuk
mencari ridho Allah, sehingga apa yang dilakukan dilandasi dengan
niat ibadah, seperti yang dituturkan di bawah ini:
“Orang hidup bagi saya untuk mencari ridho Allah, termasuk
kegiatan bisnis yang saya lakukan ,dengan bekerja keras
dengan dilandasi niat ibadah dan peduli dengan orang lain,
supaya hidup ini tentram maka harus ikuti norma dan nilainilai yang berlaku di mana kita berada, misalnya kalau ada
pertemuan RT/RW ya diusahan ikut, apalagi kalau ada
pengajian tentunya kegiatan bisnis terganggu tidak, kalau pas
kosong pasti saya hadir tetapi kalau pas ramai pesanan yang
harus diselesaikan,ya tidak bisa hadir dan saya wakilkan
anak-anak atau isteri, karena bisnis itu juga dilandasi ibadah,
jadi ya harus seimbang lah.”

Demikian pula kehidupan sehari-hari banyak sekali nilai-nilai
ajaran atau petuah-petuah yang diterapkan oleh para pengusaha bordir,
baik itu menyangkut kehidupan usahanya maupun kehidupan
sosialnya. Prinsip ajo mitunani wong liya (jangan merugikan orang
lain) yang merupakan norma dan nilai terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan informan Ibu Hj. Sri
Murni‟ah39 bahwa:

282

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

“dodos tiyang meniko kedah boten sombong, boten paling
pinter, boten paling pener, kedah njagi tata karma, andap
asor, lembah manah lan ajo mitunani wong liyan, supados
gesang meniko tentrem lan saget dipitados kalian tiyang,
langkung-langkung tiyang ingkang usaha, kados kawulo
usaha bordir”
Artinya:
Jadi orang itu harus tidak sombong,jangan merasa paling
pinter, tidak paling benar, harus jaga tata krama, rendah
hati,sopan santun dan jangan merugikan orang lain, supaya
hidup ini tentram dan dapat dipercaya orang, apalagi orang
usaha, seperti saya usaha bordir.

Prinsip Nyaur Ngamek Sebagai Dasar Kepercayaan Bisnis
Kepercayaan (trust) yang dibangun dengan baik oleh para
pengusaha bordir akan dapat menuntun membangun jaringan
hubungan dengan konsumen, penyedia bahan baku maupun agen-agen
yang lain. Meminjam istilah Field (2010) bahwa, jaringan dengan
kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada
dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun yang
mengalami pengkhianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit bagi
dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak dilandasi
kepercayaan. Kepercayaan (trust) menurut Fukuyama (2007),
merupakan pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang
berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma
yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari
komunitas itu.
Kepercayaan antara satu orang dengan yang lain berguna untuk
tetap menjaga hubungan yang telah dibina agar tetap terpelihara
dengan baik. Kepercayaan yang dilakukan dapat menghasilkan
hubungan yang dapat saling menguntungkan, sehingga setiap
kepercayaan yang terjadi akan sangat mempengaruhi keputusan yang
diambil, apakah ia akan mempercayai seseorang atau tidak. Salah satu
contoh yang alamiah tentang adanya kepercayaan adalah keluarga.
Sebagai wujud konsekuensinya maka dari sebagian besar bisnis yang
283

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

berlangsung sejak dulu hingga saat ini adalah bisnis keluarga. Para
pengusaha IKBK bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kudus
sebagai salah satu contoh kecil dari bisnis keluarga, yang didasarkan
atas basis kepercayaan. Menurut Lawang (2005), ada 3 (tiga) substansi
pokok yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu Pertama, hubungan
sosial antara dua orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang
diwakili oleh orang), Kedua, dalam hubungan tersebut, terdapat
harapan yang bilamana diwujudkan tidak akan merugikan salah satu
atau kedua belah pihak, Ketiga, hubungan dan harapan ini
dimungkinkan melalui interaksi sosial.
Sebagai seorang pengusaha dan warga masyarakat, selalu
menekankan pada kepercayaan karena bisnis itu pada dasarnya
“kepercayaan”. Jadi setiap hubungan antar-individu atau kelompok
didasari kepercayaan, seperti yang diungkapkan para informan berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah40 mengungkapkan :
“kepercayaan pasti wonten, amargi sangat penting, masak
kekancan kalian sinten kemawon menawi boten wonten
kepercayaan khan aneh”
Artinya:
kepercayaan pasti ada, sebab sangat penting, masak berteman
dengan siapa saja kalau tidak ada kepercayaan kan aneh)

Bp.H.Moch Anshori41 juga mengungkapkan:
“Ya tentu pasti ada kepercayaan, masak sama semua orang
nggak percaya, lalu kalau kita tidak percaya siapa yang bisa
dipercaya”.

Maka berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah
diungkapkan para informan di atas dapat diketahui bahwa setiap
hubungan yang dibangun para pengusaha bordir dengan orang lain
selalu dilandasi kepercayaan, menurut mereka kepercayaan sangat
penting dan harus ada karena hubungan itu ada (tercipta) kalau ada
rasa percaya.

284

Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir

Selanjutnya, Bapak H. Moch Anshori yang banyak dikenal oleh
agen/toko penyalur bahan baku di Kota Kudus maupun di Kota
Surakarta, mengungkapkan pengalamannya:
“dengan modal kejujuran, telaten dan penuh kesabaran saya
menjalin hubungan dan mencari agen besar penyalur bahanbahan bordir agar mau melakukan kerja sama dengannya.
Rasa bersyukur. Ada seorang keturunan Cina pemilik toko
bahan–bahan

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB VII

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB I

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB II

0 1 67

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB III

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IV

0 1 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IX

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB V

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB VI

0 0 58

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

0 1 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB VII

0 0 24