Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB II

BAB DUA
PERSPEKTIF TEORI

Pendahuluan
Dalam Bab II perspektif teori ini akan dibahas teori besar yaitu
perspektif teori Max Weber dan Pierre Bourdieu yang menjadi rujukan
dalam penulisan disertasi ini. Dimana pemikiran Max Weber
mengkritisi kehidupan spirit agama untuk memobilisir kegiatan
ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga
semangat prilaku kapitalisme muncul, tumbuh dan berkembang.
Pengaruh ajaran agama Kristen Protestan yang dikembangkan oleh
kelompok Calvinisme percaya adanya doktrin predestinasi, calling
“panggilan” pelayanan kepada Tuhan, sikap asketisme seperti bekerja
keras, tidak berfoya-foya, dan hidup sederhana, serta pola perilaku
yang rasionalitas (berpikir logis dan inovatif) telah mendorong serta
menggerakan perilaku seseorang untuk mencari keuntungan (profit),
dan keuntungan yang dapat diperbarui untuk diakumulasikan usaha
lebih lanjut. Usaha-usaha kapitalistis yang rasional dilakukan secara
terus-menerus akan berakibat mengubah dunia menjadi lebih cepat
pertumbuhan ekonominya yang berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan teori Pierre Bourdieu mengupas proses
pengembangan pembentukan habitus sebagai realisasi sosial dalam
proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas
internalitas” dalam aktivitas sosial. Ekternalitas adalah struktur objektif
yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan internalitas merupakan segala
sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Dalam proses interaksi
dialektis itulah struktur objektif dan subjektif, struktur dan agen
bertemu dalam arena dan berdialektika dalam bentuk praktik.
Dinamika dialektika yang dilakukan pelaku-pelaku sosial menjadikan
43

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

dasar pembentukan social capital yang mampu menggerakan para
pelaku (actor) sehingga mampu meningkatkan kinerja aktivitasnya
dalam memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi.

Perspektif Max Weber
Max Weber dilahirkan di Erfurt, Jerman, pada 21 April 1864.

Max Weber berasal dari keluarga kelas menengah yang terpandang di
kalangan politik Partai Liberal Nasional (National Liberal Party) yang
dipimpin bangsawan Hanover, Bennigsen. Keluarga itu menetap di
Charlottenburg, waktu itu merupakan kawasan bagian barat pinggir
kota Berlin, dan keluarga pedagang linen dan produsen tekstil.
Ayahnya, Max Weber, Sr., seorang ahli hukum yang cakap dan
penasehat kota praja yang sangat menyukai kesenangan duniawi.
Sedangkan ibu Weber, Helena Fasllenstein Weber, adalah seorang
wanita Protestan terpelajar dan liberal, wanita yang berusaha
menjalankan hidup prihatin (ascetic), tanpa kesenangan yang
didambakan suaminya. Menurut Noorkholis (2006), perbedaan antara
perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada
orientasi intelektual dan perkembangan pribadi Weber kecil.
Pada awal perkembangan hidupnya, Weber cenderung lebih
berorientasi pada gaya hidup ayahnya, sehingga ibunya sangat
mengkuatirkan ketidakpedulian religius anaknya. Weber remaja
semakin kurang memiliki dasar yang sama dengan ibunya dalam
persoalan-persoalan serius. Tapi bukan berarti ia dekat dengan
ayahnya; atmosfer duniawi kehidupan intelektual modern
menjauhkannya dari pengaruh ayahnya dan dari kesolehan ibunya.

Setelah perkawinannya dengan Mariane, Weber menjalani
kehidupan sukses sebagai seorang ilmuwan muda di Berlin. Pemikiranpemikiran Weber sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya,
ayah, ibu maupun isterinya, serta guru-gurunya, koleganya maupun
lingkungan sosial dimana Weber berada. Pada tahun 1894,Weber
menerima jabatan professor penuh dalam bidang ekonomi di
44

Perspektif Teori

Universitas Freiburg.Weber meninggal pada tahun 1920 pada usia 56
tahun, selama hidupnya Weber banyak melakukan penelitian
mengenai peranan agama dan pengaruhnya terhadap etika ekonomi,
beliau menekankan penelitiannya pada dua segi utama, yaitu agama
yang mempengaruhi pandangan hidup manusia dan perubahan sosial
ekonomi yang mempengaruhi agama. Namun dilihat dari semua
karya-karyanya, Weber lebih mementingkan pengaruh agama dan
peranannya terhadap etika ekonomi.
Di

awal


penelitiannya,

Weber

mencoba

melakukan

transformasi struktural sekaligus juga melakukan lintas structural
antara bidang agama dan ekonomi. Berdasarkan data empiris statistik
yang diamati menunjukkan, perkembangan perusahan-perusahaan di
dunia Eropa modern, dimana banyak pimpinan-pimpinan perusahaan
dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai buruh
terampil (ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan
perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga
memeluk agama Kristen Protestan1. Ini menunjukkan bukanlah suatu
fakta yang kebetulan (temporer) melainkan suatu fakta sejarah.
Giddens (1985) mengatakan bahwa, beberapa negara Eropa sebagai
pusat perkembangan kapitalis di permulaan abad keenambelas

merupakan pusat yang sangat kuat unsur Protestannya2. Menurut
Weber kapitalis modern timbul sebagai hasil kumulatif kekuatan sosial,
politik, ekonomi dan agama atau dengan kata lain, ada hubungan yang
sangat signifikan antara kemajuan bidang pemikiran (immaterial) dan
kemajuan dalam bidang material. Weber menempatkan pengaruh
agama (khususnya agama Kristen Protestan) sebagai faktor yang
determinan. Agama merupakan faktor yang berpengaruh dan berdiri
sendiri. Menurut Tuner (1984), inilah yang membedakan antara
Weber dengan Marx yang menempatkan agama pada posisi nomor dua
dan dependen3.
Weber memiliki keinginan yang kuat dalam mempertanyakan
hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku
manusia artinya bagaimana hubungan “motivasi dan dorongandorongan psikologis” dari setiap perilaku kehidupan termasuk aspek
45

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

ekonomi. Kondisi psikologis dari setiap perilaku kegiatan ekonomi
berakar kuat dari pada tradisi atau doktrin-doktrin agamis (khususnya

agama Kristen Protestan). Secara literasi, ranah agama dan ekonomi
sangatlah bertolak belakang, dimana agama berada dalam ranah
ukhrawi sementara ekonomi dalam ranah duniawi. Masalah agama
tidaklah selalu dihubungkan dengan aspek teologis yaitu pemikiran
transendental yang menempatkan dogma keagamaan maupun Tuhan
sebagai kebenaran sejati. Akan tetapi, agama juga perlu dihubungkan
dengan aspek sosiologi yaitu memandang agama diterapkan secara
nyata dalam kehidupan manusia sebagai bagian subsistem dan pranata
dari sistem sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, konteks agama
dalam pandangan sosiologis ingin melihat bagaimana ajaran kebenaran
dan keyakinan agama itu dilakukan dan diwujudkan dalam norma,
nilai dan etika perilaku para pemeluknya dalam kehidupan seharihari. Dwi Suyono (2005) menyatakan bahwa, ajaran mengenai norma,
nilai, dan etika adalah bentuk dari religiusitas dan kristalisasi ajaran
agama tersebut4.
Dalam ranah ekonomi, manusia cenderung bersaing dalam
mencapai kesejahteraan di arena privat sehingga manusia sebagai aktor
ekonomi sering digambarkan sebagai serigala sesama (homo homini
lupus) dimana perilaku ekonomi selalu terjadi mengejar kegiatan
ekonomi dan mengejar keuntungan, memperlihatkan sikap acuh tak
acuh dan mengabaikan kehidupan agama, bahkan kadang-kadang

sampai melupakan serta memusuhi agamanya, karena kegiatan
ekonomi lebih mengutamakan pemenuhan material. Namun kenyataan
dalam agama Kristen Protestan tidak ada fenomena seperti itu dan
tidak nampak dan tidak ditemukan dalam agama Kristen Protestan.
Bahkan sebaliknya muncul dari agama Kristen Protestan suatu desakan
yang sangat kuat yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam
kegiatan sehari-hari dengan penuh gairah dan antusias.
Analisis Weber tersebut, mendapat dukungan dari Warner
Sombart bahwa sistem-sistem keagamaan dan gereja memang dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku kehidupan ekonomi melalui
cara-cara yang berbeda. Kekuatan sistem keagamaan dan gereja akan
46

Perspektif Teori

mengarahkan pikiran (mind) dalam tercapainya tujuan hidup.
Pengaruh-pengaruh tersebut, baik langsung maupun tidak langsung
akan memberikan kecenderungan, rangsangan dan dorongan-dorongan
tertentu. Hal ini tidak mengherankan, apabila kemudian Green (1959)
menyatakan bahwa sejarah munculnya semangat kapitalisme adalah

berjalan bergandengan dengan sejarah gereja dan sistem-sistem
keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat
kapitalis modern secara khas ditandai oleh suatu kombinasi unik dari
kegairahan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan
melakukan kegiatan ekonomi di satu pihak, disertai ketaatan yang
berakar pada suatu kepercayaan di pihak lain.
Tahun 1904, Weber menulis esai-esai tentang problem sosial
dan ekonomi Estates Junker, objektivitas dalam ilmu sosial, dan bagian
pertama Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme. Sekembali ke
Jerman, Max Weber merampungkan bagian kedua The Protestant
Ethic, yang dalam sepucuk surat kepada Rickert ia sebut ”Asketisisme
Protestan” sebagai fondasi peradaban kerja sebagai panggilan jiwa
modern-semacam konstruksi spiritual ekonomi modern (Noorkholish,
2009).
Pemikiran Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism” merupakan langkah pertamanya untuk memasuki bidang
sosiologi agama membahas masalah hubungan berbagai kepercayaan
keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi
di kalangan masyarakat Barat sejak abad keenambelas hingga sekarang.
Dalam tesisnya itu, Weber membahas reformasi terhadap ajaran

gerejawi sehingga memunculkan agama Kristen Protestan. Weber
mengikuti reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther dan John
Calvin sebagai penggerak reformasi gereja. Reformasi ini menuntut
pembaharuan terhadap gereja terutama dalam bidang administratif,
moral dan hukum5. Pada waktu itu entitas gereja dipandang sudah
tidak netral dan terindikasi korup, sehingga Martin Luther menyatakan
bahwa gereja sendiri mengandung berbagai keburukkan yang ada di
dalamnya, terutama penyelewengan surat penghapusan dosa (aflat) dan
sistem kepausan, kehidupan para pejabat gereja (klerus) yang korup
47

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

dan bersembunyi di balik jubah Paus dan menuntut penghapusan
kuasa Paus atas Jerman. Kekuasaan Paus yang terlalu absolut sudah
mengarah kepada aspek duniawi dimana Paus berhak menentukan
siapa yang masuk surga dan neraka, menentukan besaran pajak,
maupun menentukan aturan negara lainnya. Maka reformasi
digerakkan oleh Calvin, supaya kaum gerejawi kembali kepada ajaran

yang murni bukan lagi terjemahan yang kadang-kadang disusupi
kepentingan politis, serta upaya membersihkan aturan agama yang
dinilai menyimpang dan menempatkan gereja kembali lagi pada urusan
yang berhubungan dengan akherat (akrawi).
Dampak yang ditimbulkan reformasi ajaran-ajaran gerejawi
cukup besar mempengaruhi kinerja ekonomi moderen, yaitu
komponen-komponen kapitalisme rasional diperkuat oleh semangat
etika yang ada dalam agama Kristen Protestan khususnya dalam aliran
Calvinisme terutama sekte Puritanisme. Doktrin Calvinisme yang
terkenal adalah tentang kelahiran manusia di bumi dan takdir Tuhan
atas manusia yang “terpilih”6. Calvin mengatakan bahwa pada dasarnya
ketika manusia dilahirkan di bumi, manusia itu telah dilahirkan dan
ditakdirkan untuk masuk surga sebagai orang yang dipilih Tuhan atau
masuk neraka. Menurut Calvin, Tuhan sudah mengambil keputusan
tanpa mempertimbangkan kebajikan yang diperbuatnya apabila orang
itu baik atau buruk perbuatannya di dunia. Selanjutnya, ajaran
predestinasi, yaitu hanya sebagian orang yang akan dipilih untuk
diselamatkan dari siksaan dan pemilihan ini telah ditentukan
sebelumnya oleh Tuhan, sehingga umat Protestan tidak tahu apakah
mereka akan dipilih atau tidak, apapun yang terjadi diserahkan

sepenuhnya kepada Tuhan (sikap pasrah kepada Tuhan). Maka untuk
menepis kecemasan selama hidup apakah dirinya masuk surga sebagai
orang yang terpilih Tuhan atau masuk neraka, para pengikut Calvin
berusaha menjadi individu yang hidup secara “lurus” atau “benar” dan
rajin bekerja keras. Penganut Protestan hidup sederhana dan
menginvestasikan uang hasil keuntungan tidak digunakan untuk
berfoya-foya tetapi akan diinvestasikan kembali dalam usahanya.

48

Perspektif Teori

Dengan demikian, bagi penganut Calvin, kerja dilihat sebagai
suatu panggilan untuk melayani kehidupan masyarakat. Kerja tidak
sekedar pemenuhan kebutuhan tetapi sebagai tugas suci. Oleh karena
itu, untuk menjadi manusia yang terpilih, manusia harus mendapat
panggilan (calling). Konsep the calling atau “panggilan7” menurut
Weber berarti ajaran bahwa kewajiban moral yang paling tinggi dari
seseorang manusia adalah untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan
Tuhan, maka satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah
melaksanakan tugas dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaikbaiknya. Keberhasilan dalam melaksanakan hanya dapat diukur oleh
tingkat kemakmuran mereka. Tingkat kemakmuran ini juga menunjukkan apakah mereka diberkati oleh Tuhan dan apakah mereka akan
dipilih untuk lepas dari siksaan (neraka). Dengan kata lain, ketaatan
transendental penganut Protestan dapat diukur dari gairah dan etos
kerja yang dimilikinya8. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka
semakin tebal keimanannya kepada Tuhan. Begitu juga sebaliknya
semakin sedikit harta yang dimiliki, maka dapat ditegaskan bahwa
keimanannya kepada Tuhan juga rendah. Logika inilah yang mendorong semangat kapitalisme sebagai etika yang dimiliki Protestanisme.
Etika Protestan inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran dan
perkembangan sistem kapitalisme. Weber (1958) mengedepankan
kapitalisme sebagai upaya manusia untuk mendapatkan kentungan
dalam melakukan kegiatan usaha yang dikelola secara pribadi dan
kapitalis harus mengandung aspek rasionalisasi, atau setidak-tidaknya
identik dengan suatu watak rasional. Kapitalisme secara pasti identik
dengan pencarian keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat
diperbarui untuk selamanya, dengan usaha-usaha kapitalis yang
rasional dan yang dilakukan secara terus-menerus. Karena memang
demikian seharusnya; dalam suatu tatanan masyarakat kapitalistis
secara keseluruhan, suatu usaha kapitalistis individual yang tidak
memanfaatkan kesempatan yang ada mengambil keuntungan pasti
akan mengalami malapetaka, yaitu kehancuran.
Dan apa yang paling penting dalam hubungan itu karena
adanya semangat baru “semangat kapitalis” yang mencoba mengatur
49

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

kerja. Semangat kapitalis mencoba mengatur dunia ekonomi ke dalam
suatu sikap mencari keuntungan secara rasional dan sistematis, seperti
perusahaan yang telah mengalami reorganisasi produksi secara
rasional, yang diarahkan bagi efisiensi produksi sebanyak mungkin
adalah bukan karena pemasukan modal. Weber (2003) mengemukakan
suatu tindakan ekonomi kapitalistis sebagai suatu tindakan yang
didasarkan pada harapan-harapan untuk memperoleh keuntungan
dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk transaksi, yaitu
“secara formal” kesempatan memperoleh keuntungan secara damai dan
berorientasi pada perolehan keuntungan melalui pertukaran.
Samuelson (1964) menekankan, lebih penting dari itu karena
disebabkan masuknya suatu “semangat baru” dari jiwa usaha, yaitu
semangat kapitalis.9

Doktrin Calvinisme dan Semangat Kapitalisme
”The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism” menunjukkan
adanya keterkaitan antara doktrin agama dengan semangat kapilatisme.
Etika Protestan tumbuh subur di daratan Eropa yang dikembangkan
oleh seseorang yang bernama Calvin. Calvinisme sebagai gerakan
reformasi di bidang keagamaan tidak bisa terlepas dari bidang lain, baik
di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam perkembangannya, Calivinisme senantiasa bergesekan dengan persoalanpersoalan hidup dan kehidupan merupakan persoalan yang unik,
kompleks dan dilematis.
Saat itu telah muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang
pada intinya percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan Tuhan.
Sebab hanya sedikit saja orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan
kasih sayang yang abadi daripada-Nya. Ini merupakan sesuatu yang
telah diberikan kepada munusia tanpa dapat diambil atau diubah dari
sejak pertama penciptaan. Namun demikian, Weber (1958)
mengatakan, tetap masih ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan
manusia bisa mempengaruhi kebijakan Tuhan Yang Maha Suci. Ajaran
tentang predestinasi atau takdir, maka dalam menghadapi nasib dan
50

Perspektif Teori

mencari kepastian keselamatan, orang Calvinis berhadapan dengan
dirinya sendiri. Hanya saja dengan keyakinan penuh sebagai “terpilih”
dan “melakukan aktivitas duniawi secara intens” mereka merasakan
anugerah Tuhan yang akan mengantarkan keselamatannya. Kombinasi
tentang keyakinan, antara kemutlakan norma-norma yang sah dengan
determinisme yang mutlak serta transendensi Tuhan telah menjadi
karakter khas dari gerakan asketik Calvinis.
Weber (1958) menjelaskan bahwa, Calvinisme telah
menyumbangkan sesuatu yang positif dalam mengembangkan asketik,
yaitu tentang perlunya pembuktian kepercayaan seseorang dalam
aktivitas duniawi. Dengan kenyataan yang terlihat dalam perilaku
orang-orang Calivinis, dapat dikatakan doktrin mereka tentang
anugerah secara psikologis telah mendukung sikap sistemik untuk
melakukan rasionalisasi kehidupan secara metodik. Pandangan
asketisme duniawi Protestan sangat menentang kesenangan yang
bersifat spontan, menentang pemakaian kekayaan yang bersifat
irrasional serta menentang sikap tidak jujur dan tamak untuk
mendapatkan kekayaan karena sikap demikian dianggap telah keluar
dari panggilan Tuhan. Weber (1958) mengatakan, mereka bersandar
kepada dasar-dasar ekonomi yang tidak sehat, lebih mementingkan
hidup bermewah-mewah daripada hidup sederhana.
Pengikut Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia
memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif dan aktif. Sifat-sifat
yang dikutip Weber (Sudrajat,1994) sebagai ciri–ciri orang Protestan
yaitu tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam
perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik
dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional.
Bagi pengikut Calvinis berkeyakinan akan menghilangkan rasa
kuatir dan ragu-ragu dengan keselamatan yang dicarinya. Dengan
mengembangkan aktivitas dan karya yang baik dalam mengahadapi
realita di dunia, anugerah Tuhan dirasakan berada dalam dirinya.Bagi
pengikut Calvinis hanya orang-orang terpilih sajalah yang
mendapatkan kepastian keselamatannya. Menurut Weber (1958), hal
51

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

itu dilakukan dengan cara mengagungkan Tuhan secara nyata dan
melakukan aktivitas duniawi secara baik.
Karya orang–orang Kristen dalam suatu panggilan
(Beruf,Calling) di samping menunjukkan adanya anugerah Tuhan, juga
sebagai sarana yang paling baik untuk meyakinkan proses kelahiran
kembali sekaligus sebagai benih bagi perluasan sikap yang disebut Max
Weber (1958) dengan sebutan “Semangat Kapitalisme”. Semangat
kapitalisme ditandai secara khusus oleh suatu kombinasi yang khas dari
ketaatan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan
melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha
menghindari pemanfaatan penghasilan untuk kenikmatan pribadi
semata-mata. Hal ini sebagai dasar dalam suatu kepercayaan atas
penyelesaian secara efisien sebagai suatu kewajiban dan kebajikan.
Salah satu unsur yang sangat mendasar dari “Semangat
Kapitalisme” adalah terdapatnya sikap rasional berdasarkan kepada ide
tentang panggilan. Ide ini jelas terlahir dari kandungan semangat
asketik yang telah dikembangkan oleh orang puritan (seperti
Protestan). Bersumber kepada watak asketik yang menjadi ciri orangorang puritan, sekalipun bertolak dari pemikiran agama yang berbeda
telah melahirkan etika baru yang mewarnai perilaku ekonomi. Inilah
yang kemudian Max Weber sebut sebagai Semangat Kapitalisme
modern. Suatu etika pendapatan yang rasional, sistematis dan metodik
berdasarkan moral agama. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat
penting dan faktor yang sangat menentukan dalam membentuk watak
dan perilaku manusia, terutama sekali berkaitan dengan perilaku
ekonomi. Weber (1958) mengatakan, keinginan orang puritan untuk
bekerja dalam panggilan “calling” dan menguasai moralitas duniawi
berarti merupakan bagian dari dunia yang besar, yaitu orde ekonomi.
Karena melalui arketisme berusaha melakukan perbaikan terhadap
dunia dan melakukan cita-citanya di dunia maka kekayaan material
menjadi semakin meningkat. Sukses di dunia bisnis dan mengumpulkan harta kekayaan demi kemuliaan Tuhan diyakini sebagai “tanda”
atau ”konfirmasi” bahwa mereka termasuk di antara orang-orang
terpilih, atau dalam istilah Weber ”suatu tanda keberkahan Tuhan”.
52

Perspektif Teori

Hubungan Antara Agama dan Rasionalitas
Di dunia ini ada lima agama10 besar (Konfusius, Hindu, Budha,
Kristen dan Islam) merupakan sistem pengaturan hidup yang
ditetapkan secara religius yang berhasil menghimpun sejumlah besar
pengikutnya yang secara signifikasi historis dan otonomnya bagi
perkembangan etika ekonomi.
Istilah “etika ekonomi” dalam Max Weber-Sosiologi
terjemahan Noorkholish (2009), menunjuk pada dorongan praktis bagi
tindakan yang didasarkan pada konteks psikologis dan pragmatis
agama. Bahkan dalam bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang sama
secara ekternal, boleh jadi sesuai dengan etika-etika ekonomi yang
sangat berlainan dan, menurut karakter unik etika ekonomi mereka
yang dapat membuahkan hasil yang berbeda-beda tergantung pada
mentalitas kapitalisme, cara produksi kapitalis dan kerangka sosioekonomi kapitalis.11 Pada pokoknya ke semuanya itu merupakan tiga
segi dari satu gejala yang sama, yaitu usaha yang merujuk kepada
peningkatan produksi dan peningkatan intensitas modal dari sektor
penghasilan komoditi termasuk modal manusia sebagai tenaga kerja.
Usaha-usaha manusia untuk menafsirkan kehendak Tuhan
(termasuk kitab suci) dalam perkembangan jaman menimbulkan
berbagai penafsiran yang berbeda. Dalam agama Kristen, serta berbagai
agama di dunia adanya perbedaan-perbedaan penafsiran kehendak
Tuhan telah mendorong gerakan-gerakan yang pada awalnya hanya
seputar persoaalan-persoalan yang bersifat konsepsional dan masih
mengikuti tradisi-tradisi ritual agamanya secara umum, sehingga
muncul pandangan para ahli untuk mengkaji, salah satunya adalah
Weber (1905) dengan “The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalism” ia mengungkapkan bahwa moral Protestan sebagai suatu
pencarian keuntungan atau kekayaan yang sangat keras berjuang dan
tidak terbatas lewat industrialisasi telah memunculkan pola perilaku
rasional.
Collins (1992) dalam ”Weber‟s Last Theory of Capitalism”
mengatakan bahwa, sistem kapitalis yang rasionalis, menurut Weber
53

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

adalah sistem yang menggunakan perhitungan akuntansi, yaitu sistem
perhitungan pengeluaran dan pemasukan dengan sistem perhitungan
berdasarkan tata pembukuan modern. Kapitalis yang rasional memiliki
beberapa komponen. Pertama, sistem perhitungn pengeluaran dan
pemasukan berdasarkan pembukuan modern. Kedua, tenaga kerja yang
bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja
lainnya. Ketiga, adanya pengakuan hak milik pribadi. Keempat, pasar
perdagangan tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional.
Kelima, adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat serta
teknologi. Jadi kemampuan pemusatan mental serta perasaan yang
esensial tentang kewajiban untuk melakukan kerja tertentu, sering
dikombinasikan dengan suatu pendekatan ekonomi yang sangat teliti,
yang menghitung-hitung kemungkinan besarnya pendapatan dan
kontrol pribadi yang sangat mengagumkan.
Rasionalitas sebagai penghubung agama dan ekonomi kemudian
mengajak manusia untuk berinovasi dan berpikir logis dalam
mengambil suatu tindakan logis seperti menekankan penggunaan alatalat berteknologi untuk mencapai tujuannya. Dalam proses rasionalisasi
dari cita-cita kapitalisme, maka agama yang memiliki ajaran teratur
dan tersusun rapi berusaha untuk melembagakan sistem kepercayaan,
juga sistem nilai lain termasuk ekonomi untuk memberikan rasa puas
dan aman kepada pemeluknya. Agama sebagai penjelasan rasional dan
sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Di antara
bangunan kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional,
namun pemikiran rasional tidak mampu berdiri sendiri, tidak bisa
tegak sendiri, melainkan harus didampingi oleh kepercayaan.
Proses rasionalisasi yang disebut Weber (1905), berasal dari
agama itu sendiri, disamping perkembangan daya pikir manusia yang
dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya pikir tersebut
dalam arti formal sehubungan dengan konsistensi (kemantapan dalam
bertindak) dan sifat sistematika maupun dalam arti substansi (kokoh/
kuat) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung
fantasi atau mitos. Dengan demikian, kegiatan perekonomian yang
bersifat kapitalis menurut Weber (1905), adalah rasionalitas yang
54

Perspektif Teori

didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun
secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang
diharapkan. Artinya kapitalis rasional yang dikelola dengan sistem nilai
rasional atau sistem nilai orang-orang yang rasional dan diusahakan
dalam kegiatan ekonomi yang halal didasarkan pada nilai-nilai agama
yang dianutnya.
Aspek dari proses rasionalisasi yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan “teologi rasional” yang akan mempengaruhi organisasiorganisasi keagamaan. Teologi rasional berkembang dari rasionalitas
pemikiran. Perkembangan teologi rasional juga mencakup
pengembangan etika rasional yang didasarkan kepada implikasi empiris
pengalaman keagamaan dan tradisi. Dengan cara ini mereka masuk ke
dalam batasan situasi dimana manusia bertindak. Talcon Parson (1959),
menjelaskan konsepsi mereka tentang tujuan yang tepat dan sarana
untuk mencapainya menjadi terikat pada sifat-sifat praktis terhadap
kehidupan sehari-hari.
Etika Protestan (Weber, 1905) menunjukkan, teologi rasional
telah menjadi kelengkapan orientasi yang lebih dalam sehingga
mempengaruhi tindakan dan perilaku individu dan masyarakat. Weber
melihat perkembangan Protestanisme yang cenderung ke arah
asketisme yang mempunyai kesan dan pesan yang menentukan untuk
menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan
memusatkan perhatian pada kemampuan bertindak dan perilaku
manusia. Calvinis menunjukkan sikap anti magis, hilangnya sistem
perantara yang memediasi hubungan Calvinis dengan Tuhan dan
memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Weber (1958) menegaskan
bahwa, “pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu
melalui kalkulasi rasional.”
Di sini askese merupakan suatu kekuatan ”yang mencari hal-hal
yang baik, tetapi juga menciptakan yang jahat12”, apa yang jahat dalam
pengertian itu adalah kepemilikan dan godaan-godaannya. Askese
memandang pencarian kekayaan sebagai suatu tujuan dari dirinya
sendiri sebagai sesuatu yang patut dicela, tetapi hasil yang dicapai dari
55

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

itu semua sebagai buah dari suatu pekerjaannya dalam suatu panggilan
merupakan tanda rahmat dari Allah. Dan bahkan yang lebih penting
lagi adalah penafsiran keagamaan dari karya sistematis, terus-menerus
dalam suatu panggilan duniawi sebagai suatu sarana paling tinggi
kepada askese. Pada waktu yang sama merupakan bukti yang paling
pasti dan paling dapat dibuktikan akan adanya kelahiran kembali dan
iman yang murni, pasti merupakan pengungkit yang dipakai paling
kuat bagi ekspansi sikap semacam itu menuju kehidupan, ini yang
disebut sebagai semangat kapitalisme.
Ritzer (2012) menjelaskan bahwa, rasionalisasi dunia adalah
proses penghapusan segala hal yang magis atau supranatural, sehingga
dunia ini tidak lagi terpana, terpukau oleh seluruh sifat magis, karisma
dan kekudusan, tetapi telah dipenuhi kekuatan-kekuatan yang bisa
diubah, dipakai dan dipergunakan. Hanya agama yang memiliki nabinabi besar pembaharu dan rasionalis yang berhasil meng-hancurkan
kekuatan magis dan membentuk penyelenggaraan kehidupan yang
rasional. Para nabi itu telah membebaskan dunia dari magis dan
dengan berbuat demikian telah menciptakan dasar bagi ilmu dan
teknologi modern. Kapitalis yang rasional, menurut Weber adalah
kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat yang dapat menggerakkan
dengan cepat perkembangan kapitalisme (daratan Eropa dan Amerika),
tetapi ada pula masyarakat suatu wilayah yang perkembangan
kapitalismenya yang rasional sangat lambat seperti Cina dan India.

Pemahaman
Nilai-nilai
Konfusianisme

Ekonomi

dalam

Agama

Kepercayaan orang Tiongkok yaitu Konfusionisme dan
Taoisme, oleh Weber Konfusianisme dilukiskan lebih sebagai doktrin
dan ritus dan bukan sebagai agama, yang dipaksakan terhadap Cina
oleh birokratisnya. Konfusionisme dan Taoisme dipandang mencakup
etika konvensi, kontrol diri, derajat yang utilarian dan rasionalistik
serta dipertentangkan dengan bentuk kontemplasi mistik dan ekstasi
56

Perspektif Teori

organik sebagai kekacauan rasional atau barbaritas vulgar13. Masyarakat
Tiongkok memiliki akar budaya yang kuat dengan kehidupan nenek
moyang mereka sejak tahun 200M.
Konfusianisme sendiri pada dasarnya mengajarkan keharmonisan dan keselarasan dengan sekitarnya. Masyarakat konfusianisme
sendiri pada dasarnya merupakan masyarakat yang hierarkis dimana
peran sebuah pemimpin komunitas sangatlah kuat dalam membentuk
dan mengarahkan masyarakat yang dipimpinnya. Konfusianisme
meletakkan raja atau penguasa sebagai wakil dewa langit untuk
mengatur masyarakat. Ajaran nilai-nilai etos dalam konfusianisme
seperti Dao (orang-orang terpilih yang akan dipilih nenek moyang),
Ren (cara hidup manusia di dunia untuk saling berbagi dan memberi
terhadap sesama), Xin (ajaran manusia bertindak secara logis), Li
(bersikap sopan santun dalam kehidupan), De (bertindak kebajikan di
dunia), dan Yi (hidup layak). Bila ajaran konfusianisme dikomperasikan dengan ajaran Calvinisme dalam kapitalis, terdapat beberapa
nilai ajaran konfusius yang sama yaitu Dao sama dengan calling
mengenai orang terpilih dan Xi yang memiliki kesamaan dengan
rasionalisme. Namun meskipun ada persamaan tetapi ajaran Konfusius
dengan kapitalisme-Calvinis berbeda, karena ajaran konfusianisme
mengajarkan membentuk masyarakat yang harmonis, tetapi ajaran
Calvin adalah membentuk masyarakat kompetitif.
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para
pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota
Tiongkok, di situ merupakan pusat perdagangan, namun mereka tidak
mendapatkan otonomi politik dan warganya tidak memiliki hak-hak
khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kekerabatan (klan)
yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur.
Sehingga perkembangan kapitalis yang rasional terhambat oleh ikatan
kesukuan dan sistem klan yang feodal dan patriarki.14 Unit-unit
kekerabatan yang besar memberikan bentuk-bentuk kerja sama
ekonomi sehingga justru membatasi pengaruh organisasi kerja atau
aktivitas kewirausahaan individu tertentu serta sistem kakaisaran yang
mendasarkan pemerintahan pada nilai-nilai keyakinan tradisional. Etos
57

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

kerja bagi ajaran konfusianisme sebagai bentuk pengabdian dan
penghormatan kepada keluarga, pemimpin, dan negara dapat dilihat
pada nilai-nilai Yi (hidup layak), Li (sopan santun) dan Chi‟ib
(kebijaksanaan) sebagai pembentuk etos kerja15. Calhoun (2002)
menjelaskan, bentuk pengabdian tersebut adalah untuk mencari
kebahagiaan dan martabat setinggi-tingginya kepada keluarga,
pemimpin dan negara.16 Konfusianisme tidak melarang seseorang
menjadi kaya, asalkan kekayaan yang berhasil dikumpulkan didapat
melalui hasil yang benar melalui etika dan moral. Panggilan atau
calling bagi Konfusianisme adalah panggilan menjaga harga diri
keluarga, negara maupun pemimpin. Konfusianisme memberikan
pengaruh yang besar dalam pembentukan etos kerja ekonomi adanya
reformasi ajaran konfusianis melalui modernisasi ekonomi yang
dilakukan para pemimpin dan negara. Ajaran Konfusianisme dan
Taoisme yang menekankan keharmonisan dalam kehidupan digunakan
sebagai landasan etik pembangunan ekonomi. Konfusianisme di Jepang
menurut Morishima(1982), etos kerja dalam ajaran Konfusianisme
adalah Jen (kebajikan) untuk mencapai masyarakat harmonis. Jen
(kebajikan) bersumber dari Chung (kesetiaan) dan Bsin (keyakinan)
dimodifikasi menjadi perubahan ekonomi dari masyarakat melayani
negara artinya kerja keras merupakan bentuk kesetiaan kepada kaisar17.
Ini menunjukkan fakta yang unik dalam etos kerja Konfusianisme,
dimana sistem ekonomi kapitalis dan sosialis bisa berjalan seiring,
sistem kapitalis yang mengedepankan kompetisi berjalan seiring
dengan keharmonisan dalam masyarakat sehingga sosialisme
digunakan sebagai dasar harmoni dan stabilitas ekonomi kapitalis.

Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama HinduBudha
Agama Hindu-Budha mengajarkan kebahagiaan dan
kolektivitas, itulah sebabnya matrialisme ekonomi tidak berlaku
sebagai tujuan etos kerja dalam tradisi ajaran agama Hindu-Budha.
Pengejaran materialisme ekonomi hanya akan membuat ketimpangan
58

Perspektif Teori

yang tidak disukai dalam ajaran agama Hindu-Budha karena akan
menimbulkan problem perpecahan. Keuntungan dalam ekonomi harus
dibagi terhadap sesama karena akan menimbulkan perdamaian umat.
Maka tidaklah mengherankan apabila kehidupan perekonomian
dipengaruhi oleh ajaran dharma (budi pekerti dan moral) yang disebut
dharmanomic.
Dalam ajaran agama Hindu ada 2 macam dharma yaitu dharma
yang baik “asuri sampat” dan dharma yang buruk “daivi sampat”.
Dikatomi baik-buruk mencerminkan bahwa setiap orang memiliki
dharma baik yang akan senantiasa dilingkupi kebahagiaan dan dharma
yang buruk akan senantiasa dilingkupi nafsu jahat duniawi. Demikian
juga dalam cerita Mahabharata dan Ramayana yang menggambarkan
antara perbuatan baik melawan perbuatan yang buruk, dimana dharma
kebaikan akan memenangkan keburukan yaitu kejahatan akan selalu
kalah dengan kebaikan. Oleh karena itu, pelaku ekonomi dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari didasarkan pada nilai-nilai kejujuran
dan kesetiaan, kepimpinan yang mampu mengatasi masalah individual
dan kolektif, adil dan menepati janji, serta hormat-menghormati
dengan orang lain.
Di India perkembangan kapitalisme rasional terhambat
perkembangannya oleh sistem kasta. Pembedaan masyarakat dalam
kasta-kasta menjadi dasar sistem pemerintahan dan ekonomi.
Kepatuhan selama hidup terhadap nasib seseorang dipancangkan lebih
kuat dalam janji agama Hindu tentang kelahiran kembali dibandingkan
dengan etika sosial lainnya karena Hindusime tidak mengabaikannya
dengan ajaran-ajaran mengenai nilai moral stabilitas pekerjaan dan
kepatuhan yang sabar, seperti pada bentuk-bentuk kekristenan
patriakal, tetapi mengkaitkannya dengan kepentingan pribadi individu
atas penyelamatan. Doktrin penyelematan Hindu menjanjikan
kelahiran kembali sebagai raja, ningrat, dan seterusnya. Pengabaian
kewajiban-kewajiban kasta seseorang, karena didesak oleh aspirasiaspirasi yang terlalu tinggi, pasti akan membawa celaka baik dalam
kehidupan sekarang maupun masa datang. Menurut Andreski (1989),
efek-efek sistem kasta pada ekonomi adalah negatif, sebab tatanan
59

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

kasta hakekatnya adalah tradisionalistik dan antirasional. Dalam agama
Hindu di India, selama doktrin karma tetap kokoh, paham-paham
revolusioner atau progresivisme tidak dapat lahir.
Sedangkan konsep ajaran agama Budha, pengertian keuntungan
dimaknai sebagai kepentingan pribadi (suka) dan kepentingan bersama
(bita). Etos kerja ekonomi dibangun dalam ajaran Budha yang mampu
membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Konsep tersebut merujuk
pada pengertian bahwa sumber daya ekonomi sangat terbatas sehingga
setiap orang harus bisa manahan ego keserakahan untuk bertindak
berlebihan18. Maka bila dianalogikan dengan konsep calling, dalam
ajaran Budha adalah kebahagiaan dalam pemahaman etos kinerja
ekonomi dan kebahagiaan meliputi pemenuhan jiwa dan duniawi
sehingga setiap orang bisa merasakan kesetaraan yang sepadan dengan
orang lain. Ajaran Bhudisme justru masih melihat dimensi spiritual
sebagai dimensi etik.

Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama Islam
Weber meninggal tahun 1920 sebelum menyelesaikan tesisnya
mengenai perbandingan Calvinisme dengan agama-agama lain,
termasuk agama Islam, Kristen periode awal dan Katolik abad
pertengahan. Namun Weber sebelum meninggal sudah ada catatan
tesisnya tetapi belum sempurna mengenai agama Islam yang
menyangkut tentang sistem agama, sosial kemasyarakatan, dan
perekonomian.
Menurut Weber mengenai etos kerja Islam dalam rangka
Weberian yaitu Islam tidak mendukung adanya iklim sosialmasyarakat kapitalis seperti hukum rasional, pasar kerja bebas, kota
yang otonom, ekonomi uang dan kelas borjuis. Semua pra-kondisi
kapitalisme rasional-modern yang terjadi di negara-negara Barat,
tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah. Bahkan dalam
tesa sosiologis tentang Islam, tulisan Weber seringkali menulis dengan
gaya yang sangat reduksianis, utamanya tentang etika dalam agama60

Perspektif Teori

agama di dunia yang sangat dipengaruhi oleh realitas sosial yang
membentuknya, dalam konteks ini Weber memberikan contoh ketika
melihat relasi antara muatan teologis dalam agama Islam sangat
ditentukan oleh para kesatria perang.19 Menurut Weber, Islam
memeliki keyakinan predeterminasi, bukan predistinasi, dan berlaku
pada nasib orang muslim di dunia, bukan di akhirat kelak, Jika doktrin
predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras.
Namun doktrin predistinasi tidak memainkan peran dalam Islam.
Akibatnya, orang Islam bersikap kurang positif terhadap aktivitas di
dunia bisnis dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.
Pandangan Weber tentang agama Islam merupakan agama yang
menentukan keberlangsungan dari struktur-struktur agama Islam, dan
lebih jauh Weber menyimpulkan bahwa Islam adalah sebuah agama
monoteistik. Monoteistik terakhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic
Religions) yang kemudian berkembang dan bergeser menjadi semacam
agama yang menekankan adanya prestise sosial, dan hal ini sangat
berbeda sekali dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki
afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Dalam konteks ini,
Weber berargumentasi bahwa sifat alami institusi politik muslim yang
patrimonial, yang menghalangi munculnya pra-kondisi kapitalisme
yang ditandai hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom,
ekonomi uang, dan kelas bourjuis. Semua pra-kondisi kapitalisme
rasional-modern yang ada di Barat yang menurut Weber tidaklah
muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.
Temuan awal yang belum sempurna dari Weber menjelaskan
bahwa, nilai-nilai ekonomi dalam agama Islam tidak berkembang
mengikuti kondisi pra-kapitalisme karena pengaruh patrimonialisme
dan dogma agama, dan justru menimbulkan kritik yang
berkepanjangan. Pandangan Weber tentang Islam baik secara teologis
maupun sosiologis sulit diterima terutama oleh kalangan Islam atau
setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik”
Kritik tesis Weber tentang agama Islam banyak dilakukan oleh
pakar sosiologi agama yang menolak dan meragukan catatan tesis
61

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

terakhir Weber karena substansi catatan terakhirnya yang masih
sebatas asumsi subyektif yang belum terbukti validasinya, antara lain
kritik oleh Bryan.S.Tuner dan Taufik Abdullah. Kritik Bryan.S.Tuner
tentang tesa sosiologis yang dihasilkan oleh Max Weber yang
menjadikan masalah terdiri dari dua hal20. Pertama, analisanya tentang
etika Islam, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan
lepas dari analisanya dari struktur sosial ekonomi Islam. Kedua,
argumennya tidak menunjukkan sebagai seorang yang mengidealisasi
sejarah yang ada dalam agama Islam.
Kritik dari Abdulah (1979) menyatakan, Weber kurang begitu
serius (mendalami) atau tidak begitu banyak waktu yang dia luangkan
untuk mempelajari Islam karena sebelum tuntas sudah meninggal,
sehingga penafsiran-penafsiran Weber tentang Islam tidaklah bertolak
dari kurangnya pengetahuan saja, tetapi terutama dari dasar konseptual
dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Menurut Abdullah21, agama tidak
sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut
seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut
masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas.
Ada hubungan dialektika antara sistem makna yang dipercayakan
agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara
obyektif juga terkait oleh konteks ralitasnya. Perubahan sosialekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya
kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.22
Terbukti dalam etos kerja yang dibentuk agama Islam mengenal
nilai-nilai iklas, cinta, dan istiqomah begitu mendominasi, karena akan
menyeimbangkan antara kebutuhan ukrawi dan duniawi. Sifat-sifat
etos kerja yang dikutip Weber sebagai ciri khas Protestan seperti
tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan,
kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik dalam
kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional, semua
juga ditentukan dalam etika Islam.23 Dalam Islam pun ada konsep
panggilan “calling” yaitu bila seseorang yang berhasil dalam kehidupan
dinyatakan sebagai “diberkahi Tuhan” atau ”berkat dari Tuhan”.
Bekerja keras juga diutamakan dalam Islam dan dinyatakan dalam
62

Perspektif Teori

konsep “ikhtiar”.24 Namun ajaran Islam menolak tentang “takdir”
sebagai konsep Calvinisme dan ajaran Islam juga tidak mengajarkan
harta kekayaan sebagai petanda penyelamatan masuk surga atau
neraka. Islam tidak mengenal eksploitasi konsep Weber yang
membenarkan eksploitasi untuk menjamin peningkatan produktivitas
serta peningkatan pelayanan yang penuh ketaatan dan rajin bagi para
majikan untuk mencapai kekayaan yang berlimpah sebagai tanda
keselamatan dirinya dan kaum buruh.
Ajaran Islam tidak melarang orang kaya asalkan orang tersebut
dapat menguasai dirinya, sebab di dalam ajaran Islam menjelaskan
kekayaan itu tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan tetapi dicari
untuk berbakti kepada Tuhan dan untuk melaksanakan perbuatan baik,
yang bermanfaat dan penuh kasih sayang. Kekayaan pribadi adalah
amanah suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama fakir
miskin yang membutuhkan dalam bentuk zakat maupun sedekah25
sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan spiritual.

Perspektif Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi
yang memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Perancis.Bourdieu
lahir pada tahun 193026 di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil
selatan Perancis, lahir dari keluarga pada umumnya. Ayah Bourdieu
adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Perancis. Dimana
pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan antara
pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan
atas. Di sini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan
yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin
merugikan golongan masyarakat menengah ke bawah.
Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk
memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam
aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan
63

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, di sini
kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau bisa disebut
dengan aliran strukturalis seperti Durkheim, Marx, Saussure dan
lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi
mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya,
tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya.
Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan
di antara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal
dipengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh
aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga
Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur
objektivisme dan fenomena subjektivisme.
Subjektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia
sosial yang didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi
individu. Subjektivisme meliputi aliran-aliran pemikiran seperti
fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu
sosiologi interpretatif, antropologi dan analisis bahasa (yang disebut
Volosinov “subjektivisme individualistik”)27. Subjektivisme maupun
objektivisme gagal memahami apa yang disebut Bourdieu “objektivitas
subjektif” (the objectivity of the subjektive) dalam Bourdieu (1990a).
Subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk
kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan yang sebaliknya,
kegagalan mengenai realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk
oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-individu
terhadap dunia sosial.
Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai
objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung
dominasi, dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya.
Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada
tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar
struktur, dimengerti untuk menjelaskan suatu pengetahuan/
pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa
mengerti melalui bahasa yang kita pahami.
64

Perspektif Teori

Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme
dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang
habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara
keduanya. Habitus28 berada di dalam pikiran aktor sedangkan
lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua
konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.

Pierre Bourdieu: (Habitus x Capital) + Arena = Praktik
Bagian terpenting dalam pemikiran Bourdieu adalah upaya
mengatasi pilihan “wajib” dan “ritual”, antara subjektivisme dan
objektivisme. Dua momen, objektivitas dan subjektivitas, berada dalam
hubungan dialektis.29 Cara berpikir yang berusaha lepas dari pengaruh
objktivisme dan subjectivisme dalam upaya memahami realitas sosial.
Realitas sosial, dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses
“dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas internalitas.”
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan
pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu.
Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik. Praktik sosial
dipahami oleh Bourdieu sebagai hasil dinamika dialektis antara
internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior.30 Eksterior adalah
struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan interior
merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Segala
sesuatu yang diamati dan dialami yang ada di luar diri pelaku sosial
(eksterior) bergerak dinamis secara dialektis dengan pengungkapan
dari segala sesuatu yang telah diinternalisasi menjadi bagian dari diri
pelaku sosial (interior).
Bila dikaitkan antara habitus, arena dan kapital, dimana kapital
menurut Bourdieu juga memiliki arti luas, mencakup hal material dan
immaterial yang dapat memiliki nilai simbolik secara budaya, misal
prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital simbolik.
Kapital ini harus berada di dalam sebuah ranah. Karena dalam rumusan
generatif Bourdieu, ada keterkaitan antara habitus, kapital dan ranah
yang bersifat langsung. Dimana nilai yang diberikan pada kapital
65

GUS-JI-GANG DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan habitus adalah
sebagai berikut: (Habitus x Kapital) + Ranah = Praktik.

Habitus
Wacquant (1998) menyatakan bahwa, term habitus bukan
ciptaan Bourdieu sendiri, tetapi term ini Bourdieu ambil dari tradisi
filsafat: “Habitus adalah sebuah konsep filosofis tua, digunakan sesekali
oleh antara lain Aristoteles (dalam term/istilah/hexis), Hegel, Weber,
Durkheim, Mauss dan Husserl. Bourdieu mengambilnya dalam analisis
pada tahun 1967 atas pemikiran sejarahwan seni Erwin Panofsky dan
telah menyempurnakan baik secara empiris dan secara teoritis, dalam
setiap karya utamanya. Habitus merupakan upaya Bourdieu yang
paling ambisius untuk menjelaskan praktik-praktik secara khusus
(mikro) dan umum (makro) pada setiap konteks sosial budaya, namun
bukan dalam hal narasi sejarah (sebagai mana Marxisme), psikoanalisis
(Oedipus Complex), Strukturalisme (Levi-Strauss tentang objektif) atau
sesuatu yang membuat sesuatu itu otentik (Heidegger).
Singkat kata, konsep habitus merepresentasikan “niat teoritis
untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen, dalam
hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruksian obyek.”
(Bourdieu, 1985). Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai: sistem
disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable),
struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai
penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to
function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang
melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN KUALITAS BORDIR DALAM MENINGKATKAN PARIWISATA DI KUDUS (Studi Kasus Pengrajin Bordir “Allima Bordir” di Desa Karangmalang Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus).

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB II

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB I

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB III

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IV

0 1 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IX

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB V

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB VI

0 0 58

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB VII

0 3 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

0 1 28