TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER).

TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU
DALAM PENANGANAN ANAK ADHD
(ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER)

SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
dalam mencapai derajat Sarjana S-1

Diajukan Oleh :
DM. RIA HIDAYATI
F 100050125

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2009

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga dengan baik agar mampu

melewati setiap fase tumbuh kembang dalam hidupnya. Periode emas atau golden age
(0-3 tahun) merupakan masa anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara
cepat. Hal ini mengisyaratkan bahwa apabila anak diberikan banyak stimulus dan
latihan untuk mengembangkan dirinya secara menyeluruh, maka perkembangan pada
aspek kognitif, motorik, serta afektif bisa dicapai secara optimal yang akan
mendukung perkembangan anak selanjutnya. Hal ini tentu saja bisa dicapai apabila
anak tumbuh secara normal, berarti bahwa tidak ada gangguan yang diderita anak
baik secara fisik, psikologis maupun perilakunya. Sebaliknya jika anak memiliki
gangguan fisik seperti kecacatan tubuh/hendaya fisik, maupun psikologis seperti
autisme, hiperaktif, enuresis, serta gangguan perilaku, maka dapat menghambat
perkembangan dan pertubuhannya pula.
Salah satu gangguan yang cukup menghambat proses perkembangan anak
adalah gangguan perilaku, karena dapat memunculkan banyak permasalahan dalam
kehidupannya sehari-hari. Suatu bentuk gangguan perilaku yang umumya terjadi pada
anak usia dini dan usia sekolah adalah hiperaktivitas atau ADHD (Attention
Deficit/Hyperactivity Disorder). ADHD merupakan suatu gangguan perilaku yang
didalamnya mengandung simpton perhatian yang kurang, hiperaktif, dan impulsif.
Gangguan ini umumnya menyebabkan anak menghadapi berbagai permasalahan baik

pada dirinya sendiri, keluarga, sekolah, teman sebaya, dan lingkungan sekitarnya .

Secara umum ADHD paling banyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah dengan
persentase 3-5% dan lebih sering dialami oleh anak laki-laki (Walker & Michael,
1992; National Institutes Health,1998; Everett & Everett, 1999; American Academy
of Pediatrics,2000).
Persentase ADHD Di Indonesia pada anak-anak usia sekolah secara pasti
masih belum diketahui karena peningkatan jumlah kasusnya sangat bervariasi.
Ekowarni (2003) menyebutkan data dari unit Psikiatri Anak (day care) RSUD Dr.
Soetomo Surabaya menunjukkan adanya peningkatan (sebesar 3.33%) jumlah pasien
anak ADHD dengan berbagai karakteristik dari tahun 2000 ke tahun 2001, yakni dari
60 anak menjadi 86 anak. Data jumlah anak ADHD dengan berbagai karakteristik di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2001 adalah 30 anak dengan ADHD yang
tanpa disertai gangguan lain (32,96%), 15 anak dengan ADHD dan gangguan tingkah
laku (16.48%), 8 anak dengan spektrum autis (8.79%), 12 anak dengan ADHD dan
epilepsi (13.19%), 13 anak dengan ADHD dan gangguan berbahasa (14.28%), 6 anak
dengan ADHD dan kecerdasan batas ambang (6.59%) dan 2 anak dengan ADHD dan
antisosial (2.20%). Dari 30 anak ADHD pada tahun 2001 di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya terdapat 21 anak laki-laki (70%) dan 9 anak perempuan (30%). Mereka
terdiri atas berbagai golongan usia, yaitu : 9 anak dengan usia 3-5 tahun (30%), 18
anak dengan golongan usia 6-8 tahun (60%), 2 anak dengan golongan usia 9-12 tahun
(6.67%), dan 1 anak dengan golongan usia di atas 12 tahun (3.33%)

Hal yang cukup menarik diperhatikan bahwa persentase anak yang mengalami
gangguan ADHD tanpa disertai gangguan mental lainnya (seperti autism) atau

ADHD murni menunjukkan angka cukup besar yaitu 32,96%. Kenyataan ini
memberikan suatu gambaran bahwa ADHD murni banyak terjadi, dan untungnya jika
tidak disertai gangguan mental lain, maka proses terapi akan lebih mudah dilakukan
jika dibandingkan dengan anak ADHD disertai dengan gangguan mental lainnya.
Meskipun demikian, permasalahan umum anak ADHD yaitu permasalahan pada
aspek fisikal, perilaku, kognitif, akademik, sosial, dan emosi. Problem-problem
tersebut akan menghambat anak untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya dan
mengganggu orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan
sederhana namun cukup efektif untuk membantu perkembangan anak ADHD
selanjutnya (Ekowarni,2003)
Ekowarni (2003) menambahkan beberapa tindakan penanganan yang dapat
dilakukan untuk membantu anak ADHD antara lain terapi modivikasi perilaku, terapi
keluarga, manipulasi lingkungan, terapi pendukung (seperti pelatihan keterampilan
sosial, pengajaran tambahan, dan terapi kelompok), terapi diet dan terapi obat.
Penelitian ini lebih menitikberatkan pada penanganan dengan modivikasi perilaku
anak. Menurut Ross & Ross (1982) terapi modivikasi perilaku dapat membantu
mengatasi problem ADHD pada anak. Beberapa hasil penting dalam fungsi seharihari pada anak-anak ADHD yang dapat dicapai dalam modivikasi perilaku adalah :

kepatuhan mengikuti perintah, pengendalian perilaku hiperkatifitas, peningkatan
disiplin, kemandirian dan tanggung jawab, perbaikan prestasi akademik, perbaikan
hubungan dengan anggota keluarga dan relasi sosial. Salah satu bentuk modivikasi
perilaku yang umumnya dilakukan oleh terapis anak ADHD adalah time out

Time out merupakan suatu cara menghilangkan situasi negatif pada anak
dengan memberikan waktu kepadanya agar bisa berfikir lebih tenang mengenai apa
yang telah dilakukannya. Pendekatan ini merupakan alat yang tepat untuk anak-anak
berusia 18 bulan sampai 10 tahun. Cara ini bisa digunakan untuk mengendalikan
perilaku-perilaku seperti marah yang meledak-ledak, menggigit, memukul atau
melempar barang-barang (Martin, 2008)
Suatu penelitian time out telah dilakukan oleh Powers (1983) untuk
menangani kebiasaan menggigit pada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
time out yang diterapkan di tempat penitipan anak menunjukkan penurunan frekuensi
menggigit yaitu menjadi 6 kali minggu pertama, 4 kali minggu kedua, dan 0 kali pada
minggu ketujuh. Selanjutnya saat time out diberlakukan di rumah, frekuensi
menggigit mengalami penurunan secara drastis didukung dengan terlibatnya ibu
dalam pelaksanaan metode tersebut. Setelah di follow up, kebiasaan menggigit hilang
pada minggu ke 9 dan 10.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa time out merupakan salah satu

alternatif efektif untuk mengurangi intensitas perilaku anak yang tidak diharapkan
(dalam kasus ini menggigit). Hal ini berarti time out dapat pula digunakan pada
penanganan anak ADHD untuk meningkatkan perilaku yang positif dalam
keseharian. Fabiano (2003) melakukan sebuah penelitian time out pada anak ADHD
dengan 2 setting, yaitu time out dengan durasi waktu singkat (5 menit) dan lama (15
menit), serta tidak menggunakan time out pada 71 anak ADHD. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa time out lebih unggul untuk mengurangi intensitas perilaku
agresif, merusak barang-barang, serta perilaku melawan dibandingkan dengan yang

tidak menggunakan time out. Dalam hal ini, perbedaan individu (individual
differences) dianggap sebagai suatu faktor yang menybabkan perbedaan respon pada
anak terhadap pemberlakuan time out. Oleh karena itu time out diindikasikan sebagai
suatu metode efektif untuk mengurangi perilaku negatif pada anak ADHD.
Keberhasilan beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa time out telah
menjadi alternatif penanganan anak ADHD di luar negeri. Hal ini kemudian menjadi
sebuah rekomendasi untuk melakukan penelitian tentang time out sebagai alternatif
modivikasi perilaku dalam pananganan beberapa anak ADHD di suatu wilayah di
Indonesia. Oleh karena itu diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi positif
untuk pembentukan perilaku anak ADHD yang lebih terarah, karena time out
merupakan suatu pendekatan yang sederhana dan efektif jika dilakukan dengan

konsisten.
Pencapaian keberhasilan suatu terapi anak ADHD, baik terapi okupasi,
wicara, maupun modivikasi perilaku, tidak hanya ditentukan oleh kemampuan terapis
yang menangani, akan tetapi pentingnya peran orang tua dalam mendukung program
yang telah diatur dalam proses terapi agar mendapatkan hasil yang maksimal
(penelitian Powers, 1983). Selama ini, orang tua kerap kali mempercayakan kemajuan
perkembangan anak dalam proses terapi pada terapis bersangkutan tanpa adanya
peran serta secara aktif dalam setiap terapi yang diikuti oleh anak tersebut. Padahal
jika ditinjau lebih lanjut, adanya peran orang tua dalam sesi terapi anak ADHD akan
sangat membantu keberhasilan terapi tersebut.

Sebagian program untuk anak ADHD berfokus pada pelatihan bagi orang tua,
padahal program itu tidaklah berkaitan langsung dengan anaknya. Oleh karena itu,
dalam suatu proses terapi sebaiknya orang tua dan anak bekerjasama sebagai tim.
Sebuah contoh program diakukan oleh Myers (2008) yaitu a broad spectrum
approaches (pendekatan menggunakan rehabilitasi kognitif, modivikasi perilaku, dan
terapi relaksasi) yang didalamnya terintegrasikan sikap “AKU BISA” untuk
meningkatkan prestasi belajar dan perubahan perilaku. Program ini mengajarkan
orang tua dan anak kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan sosial sebagai
improvisasi motivasi dan harga diri. Program ini menunjukkan keberhasilan dimana

seorang anak ADHD akan merasa mampu menganalisis kemampuan yang seharusnya
dikuasai seperti : perhatian, konsentrasi, pengorganisasian ingatan serta kontrol diri.
Terapi lain seperti modivikasi perilaku juga melibatkan orang tua seperti yang
dipaparkan oleh Judarwato (2008) bahwa orang tua sebaiknya selalu mendampingi
dan mengarahkan kegiatan yang seharusnya dilakukan si-anak dengan melakukan
modivikasi bentuk kegiatan yang menarik minat, sehingga lambat laun dapat
mengubah perilaku anak yang menyimpang. Pola pengasuhan di rumah hendaknya
mengajarkan anak dan memberikan pengertian yang benar tentang segala sesuatu
yang harus ia kerjakan dan segala sesuatu yang tidak boleh dikerjakan serta memberi
kesempatan mereka untuk secara psikis menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin, hal ini merupakan pokok dari upaya
perbaikan perilaku anak dengan memberikan umpan balik agar anak bersedia
melakukan sesuatu dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan
bahwa dia mampu mengerjakan, pada akhirnya bila ia mampu mengerjakannya

dengan baik maka harus diberikan penghargaan yang tulus baik berupa pujian atupun
hadiah tertentu yang bersifat konstruktif. Bila hal ini tidak berhasil dan anak
menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak terkendali harus segera dihentikan atau
dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai.
Pelaksanaan terapi modivikasi perilaku dalam penelitian ini, yaitu

time out, orang tua memegang peran utama sebagai terapis di rumah,
sehingga keberhasilan orang tua dalam membentuk perilaku anak ADHD
yang lebih positif akan mempengaruhi keberhasilan anak dalam terapi dan
aspek kehidupan lainnya. Oleh karena itu, program sederhana modivikasi
perilaku anak ADHD dengan time out akan dilaksanakan oleh orang tua dan
keluarga, dimulai dari sosialisasi program pada anak, pelaksanaan, sampai
proses evaluasi, sehingga orang tua dapat memahami kondisi anak ADHD
yang sebenarnya, dan anak akan memiliki kualitas dan kuantitas komunikasi
yang lebih baik dengan keluarganya. (Martin, 2008)
Martin (2008) menjelaskan jika pelaksanaan time out dilakukan di rumah,
maka bisa dilakukan dengan menggunakan sebuah kursi yang diletakkan di tempat
yang sunyi dan membosankan. Namun jika anak melakukan kesalahan di luar rumah,
orang tua bisa memberikan “karcis time out” untuk melaksanakan hukuman saat tiba
di rumah atau memberikan time out di tempat kejadian. Durasi time out sebaiknya
diterapkan maksimal 5 menit dan kesalahan yang dilakukan merupakan pelanggaran
terhadap peraturan rumah yang telah ditetapkan sebelumnya. Prinsip pelaksanaan
time out adalah konsistensi yang tinggi agar anak memahami bahwa orang tua

memegang kendali besar dalam perilakunya sehari-hari dan penerapan time out ini
serius adanya.

Penerapan time out penting untuk diimbangi dengan adanya pemberian
penguatan positif (positive reinforcement) seperti pujian dan hadiah saat anak mampu
berperilaku baik. Sehingga anak akan mendapatkan time out saat dia melakukan
pelanggaran, namun ia akan mendapatkan hadiah atau pujian saat ia bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik atau berkelakuan menyenangkan. Hal ini
dilakukan agar anak mampu meningkatkan perilaku yang baik dengan cara
mengurangi intensitas melakukan perbuatan yang kurang menyenangkan. Ini
merupakan tujuan umum dari penanganan yang dilakukan oleh banyak terapis anak
ADHD.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkankan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1) Bagaimana efektivitas aplikasi time out dalam penanganan perilaku anak ADHD
(Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder)?
2) Apa

saja

faktor


yang

mendukung

keberhasilan

aplikasi

time

out

dalam penanganan perilaku anak ADHD (Attention Deficit/ Hyperactivity
Disorder)?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Memaparkan efektivitas aplikasi time out dalam penanganan perilaku anak
ADHD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder)
2) Memaparkan faktor pendukung keberhasilan aplikasi time out dalam penanganan

perilaku anak ADHD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder)

D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang baik adalah hasilnya dapat memberikan kontribusi konstruktif
bagi banyak pihak. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat yaitu bagi:
a) Orang tua anak ADHD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder) agar bisa
menggunakan time out sebagai alternatif terapi di rumah guna mendukung
terapi yang telah diikuti anak sebelumnya. Selain itu, pentingnya peran orang
tua dalam keberhasilan terapi sehingga akhirnya bersedia terlibat lebih intens
dalam proses terapi untuk menjadi supporter utama anak.
b) Guru dan terapis anak ADHD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder)
untuk menggunakan time out sebagai alternatif modivikasi perilaku dalam
menangani anak ADHD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder) atau
masalah perilaku anak lain di sekolah
c) Peneliti bidang psikologi khsusnya gangguan anak untuk dapat menggunakan
time out sebagai alternatif terapi dalam penanganan berbagai masalah perilaku
anak.