Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rapotivi sebagai Wadah Diskursus Masyarakat dalam Pemahaman Melek Media T1 362012002 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Enam Puluh Tewas dalam Serangan Paris, Penyandraan Masih
Berlangsung (cnnindonesia.com). Seratus Dua Puluh Tiga Dilaporkan Tewas
dalam Insiden Penembakan dan Ledakan Bom Paris (rappler.com). Seorang
Perempuan
„Meledakan
Diri‟
saat
Penggrebekan
di
Perancis
(news.liputan6.com). Enam Empat Diserang di Paris, Korban Lebih dari 100
Orang (okezone.com). Bom Meledak Setelah Peluit Akhir Jerman VS
Perancis Ditiup (okezone.com). Begitulah kumpulan headline pemberitaan
pada media online bulan November lalu. Pasca kejadian tersebut, media
sosial seperti facebook ramai dengan gerakan membuat gambar transparan
foto profil akun – akun sosial media dengan Bendera Perancis. Gerakan ini
menjadi salah satu bentuk rasa empati, solidaritas serta dukungan bagi warga
di wilayah Perancis. Pada kesempatan sebelumnya kita juga mengingat
beberapa gerakan sosial lain yang bergerak melalui media sosial sempat
marak di Indonsesia misalnya saja
#saveahok, Koin untuk Prita,
#MelawanAsap, dan lain sebagainya. Gerakan sosial media tersebut
berangkat dari kepedulian seseorang atau kelompok terhadap sebuah isu.
Prakarsa seseorang atau kelompok dalam mencetuskan suatu gagasan
gerakan sosial menunjukan bahwa aktor merupakan hal yang penting.
Sebaliknya sebuah gerakan sosial tidak mungkin terjadi tanpa adanya inisiatif
aktor. Aktor disini dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah
komunikator yang membentuk pesan sehingga dapat disebut sebagai
produsen pesan. Media sosial dapat menjadi sarana bagi para aktor dalam
menyampaikan pesan yang mereka produksi, dengan kata lain media sosial
dapat mengaspirasi pemikiran produsen pesan. Media sosial pada dasarnya
merupakan bagian dari media baru, dalam bukunya Nasrullah (2014:14)
mengangkat pendapat dari Holmes (2005) tentang kelebihan media baru.
Dalam pendapatnya media dibedakan menajdi 2 yakni media lama yang
disebut brodcast dan media baru yang disebut interactivity. Pada media baru
khalayak tidak sekedar ditempatkan sebagai obyek yang menerima pesan,
akan tetapi peran khalayak bergeser menjadi lebih interaktif pada sebuah
pesan.
Konsep interaktif ini pada akhirnya juga mengaburkan batasan-
batasan fisik dan sosial. Pada buku yang sama Nasrullah (2014:75) juga
mengangkat pendapat Nicolas Gane dan David Beer (2008) tentang
karakteristik media baru. Karakter pertama yakni network dimana media baru
memungkinkan jariangan yang menghubungkan tidak hanya antar perangkat
komputer namun juga antar individu. Karakteristik kedua interactivity
dimana media baru membangun struktur dari perangkat keras dan lunak yang
melibatkan manusia sehingga manusia pengguna ini dapat berkomunikasi
secara interpersonal dengan orang lain dengan cara yang baru. Hal inilah
yang juga pada akhirnya menghapuskan sekat sekat sosial dan ekonomi
diantara komunikasi interpersonal tersebut. Bahkan dimungkinkan juga
komunikasi terjalin antara pihak pihak yang berbeda latar belakang.
Karakteristik interativity media baru tersebut membawa media baru
memiliki
keunggulan
–
keunggulan
tersendiri.
Diantaranya
adalah
memungkinkan adanya feedback secara langsung. Daryanto, (2010:27)
menerangkan Feedback merupakan jawaban tanggapan dari penerima pesan
dalam
bentuk
perkembangannya
sebuah
media
pesan
verbal
baru juga
maupun
dimanfaatkan
non
verbal.
Pada
masyarakat
guna
memberikan feedback berupa kritik dan saran bagi media konvensional lain
salah satunya televisi. Sehingga dalam hal ini siapa saja dimungkinkan untuk
bisa menjadi aktor yang memproduksi pesan.
Berbeda dengan media masa konvensional dimana tidak semua orang
dapat menjadi produsen pesan. Produsen pesan pada media masa
konvensional pada umumnya tentulah instansi atau lembaga media massa itu
sendiri. Pembaca, pendengar, pemirsa hanya menjadi penikmat media yang
pasif menerima pesan yang disampaikan oleh media.
Fakta yang terjadi, media masa selalu memiliki kepentingan –
kepentingan media. Misalnya saja kepentingan politik. Sudah bukan hal baru
2
lagi ketika Hary Tanoe nampak sering mengiklankan partai politiknya pada
media – media MNC Group. Begitu pula dengan ICAL yang sering nampak
pula pada media massa yang ia gawangi. Selain kepentingan politik,
kepentingan untuk meraih keuntungan maksimal juga merupakan fakta yang
terjadi pada media massa saat ini. Keuntungan seringkali diraih dengan
berbagai macam cara. Kuswandi, (2009:41) mengemukakan bahwa
kemunculan televisi swasta tidak dapat dibendung, para pemiliknyapun tidak
lain adalah para konglomerat yang memiliki hubungan dengan pemerintahan.
Hal tersebut menunjukan kekuatan televisi swasta Indonesia lebih
didominiasi oleh kuatnya modal. Tak jarang hal ini pada akhirnya
mempengaruhi isi pesan dan juga tayangan yang disajikan pada pemirsa.
Terdapat 3 faktor utama dalam melihat persoalan televisi sawasta
Indonesia yakni (1) menyangkut isi acara televisi, (2) prospek acara TV
terhadap daya jual iklan, dan (3) eksistensi stasiun TV di mata pemirsa.
Ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh kehadiran Lembaga Survei Riset
Indonesia (SRI) AC Nielsen dalam menentukan klasifikasi pemirsa dan rating
TV yang kualitasnya masih diragukan. (Kuswandi, 2009:41) Rating dan
Share menjadi patokan televisi dalam mengeluarkan produk tayangan
sehingga industri pertelevisian hanya berkutat untuk menghasilkan program
tayangan yang dapat menarik pemirsa dan pengiklan dan seringkali
melanggar kode etik dan juga hukum penyiaran. Karena fokusnya “yang
penting program laku” maka tak jarang juga media massa konvensional
mendapat teguran KPI atas pelanggaran tayangan. Misalnya saja progam
program variety show seperti YKS TrasnTV, Dahsyat RCTI, EatBulaga
ANTV yang tak hanya sekali namun berulang kali medapat teguran
(www.kpi.go.id). Acara – acara gosip seperti RUMPI TransTV yang
dibawakan oleh Feni Rose juga sempat mendapat skorsing program 5 hari
yakni mulai tanggal 7 hingga 11 September 2015. Teguran serupa juga
dilayangkan KPI pada Insert Pagi TransTV yang mendapat skors 2 hari yakni
tanggal 7 hingga 9 September 2015. Kedua program ini dinilai menyajikan
tayangan berbau seks dengan narasumber Ria Rara Kalsum (www.kpi.go.id).
3
Masalah kualitas tayangan televisi atau media masa konvensional lain
merupakan hal yang tak dapat dihentikan. Kebutuhan hiburan pemirsa dan
juga istilah “yang penting program laku”, seringkali dijadikan alasan media
massa dalam memproduksi program tayangan yang sembarangan dan tidak
berkualitas. Sehingga satu satunya cara mengubah isi tayangan menjadi lebih
berkualitas adalah mengubah kebutuhan masyarakat terhadap tayangan itu
sendiri. Masyarakat media yang berdaya berarti memiliki kompetensi media
atau disebut media literate setidaknya memiliki kemampuan menganalisis
pesan-pesan media, mengevaluasi sumber informasi, dan membahas isu-isu
tentang bias dan kredibiltas media (Yosal, 2009:68). Hal senada disampaikan
Antonius yang mengutip pendapat Livingstone (2004) tentang definisi media
literasi yakni sebagai “ the ability to access, analyse, evaluated and create
messages across a variety of contexts”. (Antonius, 2012:29). Diperlukan
orang – orang yang melek media sehingga mereka dapat memberikan standart
bagi televisi dan media lain dalam membentuk program acara. Yosal (2009:
18) juga mengemukakan melek media dikembangkan guna melindungi warga
masyarakat dari dampak negatif media massa. Sebenarnya ada beberapa cara
yang dapat dilakukan pemirsa TV Indonesia dalam menuntut haknya apabila
mengalami kerugian akibat tayangan televisi (Kuswandi, 2009: 19), yaitu: (1)
Melakukan pengaduan tertulis maupun lisan kepada lembaga terkait
(Lembaga Konsumen Indonesia, surat pembaca, KPI, DPR, atau melalui jalur
hukum); (2) Pemirsa dapat memberikan aduan resmi melalui Menkominfo
untuk merekomendasikan somasi terhadap acara tertentu; (3) Pemirsa dapat
langsung mendatangi pihak televisidan mengajukan keberatan secara tertulis
maupun lisan; (4) Pemirsa dapat menggugat pihak televisi melalui badan
hukum legal guna meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi atas kerugian
yang ditimbulkan oleh tayangan televisi. Yosal juga menyatakan bahwa
kemampuan melek media yang dimiliki seseorang idealnya akan membuatnya
memiliki kesadaran dan melakukan analisis atas apa yang dikonsumsinya,
melakukan refleksi, dan akhirnya bertindak. Tindakan tersebut terntunya
4
dilandasi oleh pengetahuan (2009:78). Sayangnya tak banyak masyarakat
mengetahui dan memiliki akses melakukan hal – hal tersebut.
Namun faktanya, masih banyak orang yang menikmati media massa
terutama televisi sebagai penonton pasif yang tidak memahami tentang melek
media tersebut. Selain itu, tak semua orang yang memiliki pemahanan tentang
melek media dapat menyampaikan pemikirannya karena tak ada akses untuk
memberikan kritik terhadap media massa.
Rapotivi dapat menjadi salah satu wadah masyarakat yang telah
memiliki pemahaman dan kesadaran tentang melek media untuk dapat
memberikan kritik terhadap tayangan televisi yang mereka rasa tidak
berkualitas dan tidak sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran yang
ditetapkan KPI yang juga tercantum dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Penyiaran. Rapotivi menjadi tempat atau wadah diskursus masyarakat dalam
memberikan dan menyalurkan pendapat mereka berkenaan dengan kualitas
tayangan televisi di Indonesia. Rapotivi sendiri sebenarnya adalah sebuah
aplikasi pada media baru yang merupakan ciptaan Remotivi. Aplikasi ini
memfasilitasi masyarakat penikmat televisi untuk dapat memberikan
kritiknya terhadap tayangan yang mereka lihat. Media ini baru saja dijalankan
Februari 2015 lalu dan terakses kepada KPI yang memiliki wewenang untuk
menjatuhkan sanksi bagi stasiun televisi yang memberikan tayangan tidak
sesuai dengan ketetapan yang telah dibuat oleh KPI.
Penelitian ini hendak melihat bagaimana pemahaman literasi media
yang ada dalam diri para penulis di Rapotivi. Dalam konsep ANT (actor net
theory), dikenal istilah aktor dan networking atau jaringan. Aktor
dimaksudkan disini tak hanya manusia namun juga perangkat – perangkat
yang berperan dalam pembentukan dan pengolahan pesan yang memiliki
jaringan satu dengan yang lainnya. Sehingga dalam penelitian kali ini, penulis
hendak melihat peranan Rapotivi serta para penulis di media ini menjadi
bagian dari aktor dalam memberikan ruang diskursus bagi masyarakat dalam
pemahaman melek media.
5
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Rapotivi memberi ruang diskursus masyarakat dalam pemahaman
“Melek Media” ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan 2 hal yakni:
1. Menjelaskan bentuk ruang diskursus Rapotivi dalam pemahaman “Melek
Media”.
2. Menjelaskan peran para aktor yang berjejaring dalam membentuk ruang
diskursus tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memberikan pemahaman bentuk diskursus pada media
Rapotivi serta pemahaman media literasi yang dibagun oleh para
penulis media ini. Selain itu juga memberikan sumbangsih pada teori
Actor Net Theory dalam hal penerapannya pada penggunaan media
Rapotivi.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memberikan pemahaman kepada penulis dan pembaca
mengenai bentuk ruang diskursus masyarakat pada media Rapotivi serta
kaitannya dalam pemahaman melek media.
Selain itu penelitian ini dapat memberikan masukan bagi media Rapotivi
dalam mengembangkan dan juga memperluas kinerjanya.
6
1.5. Batasan-batasan
1.5.1. Wadah Diskursus
Diskursus sendiri berasal dari kata latin discurcus yang berarti bolak – balik.
Diskursus merupakan suatu bentuk komunikasi baik lisan maupun tertulis.
Foucault mengemukakan diskursus sebagai suatu sistem berfikir, ide – ide,
pemikiran, dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur
atau budaya. Diskursus dibangun oleh asumsi – asumsi yang umum yanng
kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan baik oleh suatu kelompok
tertentu maupun dalam sebuah periode sejarah tertentu.
1.5.2. Melek Media
Pada penelitian ini pemahaman melek media diambil dari definisi oleh
Hobbs, 1990
yang dimuat dalam National Leadership Conference on
Media Education yang menyatakan lietasi media sebagai kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomuniaksikan pesan
dalam berbagai bentuknya. (Yosal 2009 : 17)
Pemahaman lain yang serupa diambil dari definisi yang dibuat oleh salah
satu institusi gerakan literasi media yakni Center for Media Literacy yang
menyimpulkan
bahwa
media
literasi
merupakan
kemampuan
berkomunikasi secara kompeten melalui semua media baik cetak maupun
elektronik disamping juga kemampuan untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi suara, kata – kata dan gambar yang berpenagaruh yanhg
membentuk kultur media massa kontemporer. (Yosal 2009 : 18). Sehingga
pada penelitian ini melek media atau media literasi ditekankan pada
kemampuan
yang
dimiliki
seseorang
dalam
menilai
mengkomunikasikan penilaiannya terhadap tayangan televisi.
7
hingga
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Enam Puluh Tewas dalam Serangan Paris, Penyandraan Masih
Berlangsung (cnnindonesia.com). Seratus Dua Puluh Tiga Dilaporkan Tewas
dalam Insiden Penembakan dan Ledakan Bom Paris (rappler.com). Seorang
Perempuan
„Meledakan
Diri‟
saat
Penggrebekan
di
Perancis
(news.liputan6.com). Enam Empat Diserang di Paris, Korban Lebih dari 100
Orang (okezone.com). Bom Meledak Setelah Peluit Akhir Jerman VS
Perancis Ditiup (okezone.com). Begitulah kumpulan headline pemberitaan
pada media online bulan November lalu. Pasca kejadian tersebut, media
sosial seperti facebook ramai dengan gerakan membuat gambar transparan
foto profil akun – akun sosial media dengan Bendera Perancis. Gerakan ini
menjadi salah satu bentuk rasa empati, solidaritas serta dukungan bagi warga
di wilayah Perancis. Pada kesempatan sebelumnya kita juga mengingat
beberapa gerakan sosial lain yang bergerak melalui media sosial sempat
marak di Indonsesia misalnya saja
#saveahok, Koin untuk Prita,
#MelawanAsap, dan lain sebagainya. Gerakan sosial media tersebut
berangkat dari kepedulian seseorang atau kelompok terhadap sebuah isu.
Prakarsa seseorang atau kelompok dalam mencetuskan suatu gagasan
gerakan sosial menunjukan bahwa aktor merupakan hal yang penting.
Sebaliknya sebuah gerakan sosial tidak mungkin terjadi tanpa adanya inisiatif
aktor. Aktor disini dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah
komunikator yang membentuk pesan sehingga dapat disebut sebagai
produsen pesan. Media sosial dapat menjadi sarana bagi para aktor dalam
menyampaikan pesan yang mereka produksi, dengan kata lain media sosial
dapat mengaspirasi pemikiran produsen pesan. Media sosial pada dasarnya
merupakan bagian dari media baru, dalam bukunya Nasrullah (2014:14)
mengangkat pendapat dari Holmes (2005) tentang kelebihan media baru.
Dalam pendapatnya media dibedakan menajdi 2 yakni media lama yang
disebut brodcast dan media baru yang disebut interactivity. Pada media baru
khalayak tidak sekedar ditempatkan sebagai obyek yang menerima pesan,
akan tetapi peran khalayak bergeser menjadi lebih interaktif pada sebuah
pesan.
Konsep interaktif ini pada akhirnya juga mengaburkan batasan-
batasan fisik dan sosial. Pada buku yang sama Nasrullah (2014:75) juga
mengangkat pendapat Nicolas Gane dan David Beer (2008) tentang
karakteristik media baru. Karakter pertama yakni network dimana media baru
memungkinkan jariangan yang menghubungkan tidak hanya antar perangkat
komputer namun juga antar individu. Karakteristik kedua interactivity
dimana media baru membangun struktur dari perangkat keras dan lunak yang
melibatkan manusia sehingga manusia pengguna ini dapat berkomunikasi
secara interpersonal dengan orang lain dengan cara yang baru. Hal inilah
yang juga pada akhirnya menghapuskan sekat sekat sosial dan ekonomi
diantara komunikasi interpersonal tersebut. Bahkan dimungkinkan juga
komunikasi terjalin antara pihak pihak yang berbeda latar belakang.
Karakteristik interativity media baru tersebut membawa media baru
memiliki
keunggulan
–
keunggulan
tersendiri.
Diantaranya
adalah
memungkinkan adanya feedback secara langsung. Daryanto, (2010:27)
menerangkan Feedback merupakan jawaban tanggapan dari penerima pesan
dalam
bentuk
perkembangannya
sebuah
media
pesan
verbal
baru juga
maupun
dimanfaatkan
non
verbal.
Pada
masyarakat
guna
memberikan feedback berupa kritik dan saran bagi media konvensional lain
salah satunya televisi. Sehingga dalam hal ini siapa saja dimungkinkan untuk
bisa menjadi aktor yang memproduksi pesan.
Berbeda dengan media masa konvensional dimana tidak semua orang
dapat menjadi produsen pesan. Produsen pesan pada media masa
konvensional pada umumnya tentulah instansi atau lembaga media massa itu
sendiri. Pembaca, pendengar, pemirsa hanya menjadi penikmat media yang
pasif menerima pesan yang disampaikan oleh media.
Fakta yang terjadi, media masa selalu memiliki kepentingan –
kepentingan media. Misalnya saja kepentingan politik. Sudah bukan hal baru
2
lagi ketika Hary Tanoe nampak sering mengiklankan partai politiknya pada
media – media MNC Group. Begitu pula dengan ICAL yang sering nampak
pula pada media massa yang ia gawangi. Selain kepentingan politik,
kepentingan untuk meraih keuntungan maksimal juga merupakan fakta yang
terjadi pada media massa saat ini. Keuntungan seringkali diraih dengan
berbagai macam cara. Kuswandi, (2009:41) mengemukakan bahwa
kemunculan televisi swasta tidak dapat dibendung, para pemiliknyapun tidak
lain adalah para konglomerat yang memiliki hubungan dengan pemerintahan.
Hal tersebut menunjukan kekuatan televisi swasta Indonesia lebih
didominiasi oleh kuatnya modal. Tak jarang hal ini pada akhirnya
mempengaruhi isi pesan dan juga tayangan yang disajikan pada pemirsa.
Terdapat 3 faktor utama dalam melihat persoalan televisi sawasta
Indonesia yakni (1) menyangkut isi acara televisi, (2) prospek acara TV
terhadap daya jual iklan, dan (3) eksistensi stasiun TV di mata pemirsa.
Ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh kehadiran Lembaga Survei Riset
Indonesia (SRI) AC Nielsen dalam menentukan klasifikasi pemirsa dan rating
TV yang kualitasnya masih diragukan. (Kuswandi, 2009:41) Rating dan
Share menjadi patokan televisi dalam mengeluarkan produk tayangan
sehingga industri pertelevisian hanya berkutat untuk menghasilkan program
tayangan yang dapat menarik pemirsa dan pengiklan dan seringkali
melanggar kode etik dan juga hukum penyiaran. Karena fokusnya “yang
penting program laku” maka tak jarang juga media massa konvensional
mendapat teguran KPI atas pelanggaran tayangan. Misalnya saja progam
program variety show seperti YKS TrasnTV, Dahsyat RCTI, EatBulaga
ANTV yang tak hanya sekali namun berulang kali medapat teguran
(www.kpi.go.id). Acara – acara gosip seperti RUMPI TransTV yang
dibawakan oleh Feni Rose juga sempat mendapat skorsing program 5 hari
yakni mulai tanggal 7 hingga 11 September 2015. Teguran serupa juga
dilayangkan KPI pada Insert Pagi TransTV yang mendapat skors 2 hari yakni
tanggal 7 hingga 9 September 2015. Kedua program ini dinilai menyajikan
tayangan berbau seks dengan narasumber Ria Rara Kalsum (www.kpi.go.id).
3
Masalah kualitas tayangan televisi atau media masa konvensional lain
merupakan hal yang tak dapat dihentikan. Kebutuhan hiburan pemirsa dan
juga istilah “yang penting program laku”, seringkali dijadikan alasan media
massa dalam memproduksi program tayangan yang sembarangan dan tidak
berkualitas. Sehingga satu satunya cara mengubah isi tayangan menjadi lebih
berkualitas adalah mengubah kebutuhan masyarakat terhadap tayangan itu
sendiri. Masyarakat media yang berdaya berarti memiliki kompetensi media
atau disebut media literate setidaknya memiliki kemampuan menganalisis
pesan-pesan media, mengevaluasi sumber informasi, dan membahas isu-isu
tentang bias dan kredibiltas media (Yosal, 2009:68). Hal senada disampaikan
Antonius yang mengutip pendapat Livingstone (2004) tentang definisi media
literasi yakni sebagai “ the ability to access, analyse, evaluated and create
messages across a variety of contexts”. (Antonius, 2012:29). Diperlukan
orang – orang yang melek media sehingga mereka dapat memberikan standart
bagi televisi dan media lain dalam membentuk program acara. Yosal (2009:
18) juga mengemukakan melek media dikembangkan guna melindungi warga
masyarakat dari dampak negatif media massa. Sebenarnya ada beberapa cara
yang dapat dilakukan pemirsa TV Indonesia dalam menuntut haknya apabila
mengalami kerugian akibat tayangan televisi (Kuswandi, 2009: 19), yaitu: (1)
Melakukan pengaduan tertulis maupun lisan kepada lembaga terkait
(Lembaga Konsumen Indonesia, surat pembaca, KPI, DPR, atau melalui jalur
hukum); (2) Pemirsa dapat memberikan aduan resmi melalui Menkominfo
untuk merekomendasikan somasi terhadap acara tertentu; (3) Pemirsa dapat
langsung mendatangi pihak televisidan mengajukan keberatan secara tertulis
maupun lisan; (4) Pemirsa dapat menggugat pihak televisi melalui badan
hukum legal guna meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi atas kerugian
yang ditimbulkan oleh tayangan televisi. Yosal juga menyatakan bahwa
kemampuan melek media yang dimiliki seseorang idealnya akan membuatnya
memiliki kesadaran dan melakukan analisis atas apa yang dikonsumsinya,
melakukan refleksi, dan akhirnya bertindak. Tindakan tersebut terntunya
4
dilandasi oleh pengetahuan (2009:78). Sayangnya tak banyak masyarakat
mengetahui dan memiliki akses melakukan hal – hal tersebut.
Namun faktanya, masih banyak orang yang menikmati media massa
terutama televisi sebagai penonton pasif yang tidak memahami tentang melek
media tersebut. Selain itu, tak semua orang yang memiliki pemahanan tentang
melek media dapat menyampaikan pemikirannya karena tak ada akses untuk
memberikan kritik terhadap media massa.
Rapotivi dapat menjadi salah satu wadah masyarakat yang telah
memiliki pemahaman dan kesadaran tentang melek media untuk dapat
memberikan kritik terhadap tayangan televisi yang mereka rasa tidak
berkualitas dan tidak sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran yang
ditetapkan KPI yang juga tercantum dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Penyiaran. Rapotivi menjadi tempat atau wadah diskursus masyarakat dalam
memberikan dan menyalurkan pendapat mereka berkenaan dengan kualitas
tayangan televisi di Indonesia. Rapotivi sendiri sebenarnya adalah sebuah
aplikasi pada media baru yang merupakan ciptaan Remotivi. Aplikasi ini
memfasilitasi masyarakat penikmat televisi untuk dapat memberikan
kritiknya terhadap tayangan yang mereka lihat. Media ini baru saja dijalankan
Februari 2015 lalu dan terakses kepada KPI yang memiliki wewenang untuk
menjatuhkan sanksi bagi stasiun televisi yang memberikan tayangan tidak
sesuai dengan ketetapan yang telah dibuat oleh KPI.
Penelitian ini hendak melihat bagaimana pemahaman literasi media
yang ada dalam diri para penulis di Rapotivi. Dalam konsep ANT (actor net
theory), dikenal istilah aktor dan networking atau jaringan. Aktor
dimaksudkan disini tak hanya manusia namun juga perangkat – perangkat
yang berperan dalam pembentukan dan pengolahan pesan yang memiliki
jaringan satu dengan yang lainnya. Sehingga dalam penelitian kali ini, penulis
hendak melihat peranan Rapotivi serta para penulis di media ini menjadi
bagian dari aktor dalam memberikan ruang diskursus bagi masyarakat dalam
pemahaman melek media.
5
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Rapotivi memberi ruang diskursus masyarakat dalam pemahaman
“Melek Media” ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan 2 hal yakni:
1. Menjelaskan bentuk ruang diskursus Rapotivi dalam pemahaman “Melek
Media”.
2. Menjelaskan peran para aktor yang berjejaring dalam membentuk ruang
diskursus tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memberikan pemahaman bentuk diskursus pada media
Rapotivi serta pemahaman media literasi yang dibagun oleh para
penulis media ini. Selain itu juga memberikan sumbangsih pada teori
Actor Net Theory dalam hal penerapannya pada penggunaan media
Rapotivi.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memberikan pemahaman kepada penulis dan pembaca
mengenai bentuk ruang diskursus masyarakat pada media Rapotivi serta
kaitannya dalam pemahaman melek media.
Selain itu penelitian ini dapat memberikan masukan bagi media Rapotivi
dalam mengembangkan dan juga memperluas kinerjanya.
6
1.5. Batasan-batasan
1.5.1. Wadah Diskursus
Diskursus sendiri berasal dari kata latin discurcus yang berarti bolak – balik.
Diskursus merupakan suatu bentuk komunikasi baik lisan maupun tertulis.
Foucault mengemukakan diskursus sebagai suatu sistem berfikir, ide – ide,
pemikiran, dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur
atau budaya. Diskursus dibangun oleh asumsi – asumsi yang umum yanng
kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan baik oleh suatu kelompok
tertentu maupun dalam sebuah periode sejarah tertentu.
1.5.2. Melek Media
Pada penelitian ini pemahaman melek media diambil dari definisi oleh
Hobbs, 1990
yang dimuat dalam National Leadership Conference on
Media Education yang menyatakan lietasi media sebagai kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomuniaksikan pesan
dalam berbagai bentuknya. (Yosal 2009 : 17)
Pemahaman lain yang serupa diambil dari definisi yang dibuat oleh salah
satu institusi gerakan literasi media yakni Center for Media Literacy yang
menyimpulkan
bahwa
media
literasi
merupakan
kemampuan
berkomunikasi secara kompeten melalui semua media baik cetak maupun
elektronik disamping juga kemampuan untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi suara, kata – kata dan gambar yang berpenagaruh yanhg
membentuk kultur media massa kontemporer. (Yosal 2009 : 18). Sehingga
pada penelitian ini melek media atau media literasi ditekankan pada
kemampuan
yang
dimiliki
seseorang
dalam
menilai
mengkomunikasikan penilaiannya terhadap tayangan televisi.
7
hingga