Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis terhadap Legal Standing General Manager Mewakili Pengusaha: studi kasus Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg T1 312009063 BAB I

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan harmonis dan dinamis, tidak tertutup kemungkinan setiap saat hubungan itu akan diwarnai perselisihan.1Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi.Ditambah lagi kondisi dalam masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan hubungan kerja.2 Dalam suatu perselisihan, bisa terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha.3

Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar menajemen organisasi perusahaan yang dijalankan oleh seorang manager, yang menempatkan pekerja sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun

1

Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, h. 10.

2

Aloysius Uwiyono, et.al, Asas – Asas Hukum Perburuhan, Ed. 1, Cet. 3, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 127.

3


(2)

di luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.4 Di Indonesia hubungan industrial (industrial relation) merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 1 angka 16 UU No. 13 Tahun 2003).5 Dalam proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.6

Sarana yang dibutuhkan untuk terciptanya hubungan industrial yang ideal di Indonesia, yaitu: serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, peraturan perundang-undanganketenagakerjaan dan lembaga penyelesaian hubungan industrial.7

Istilah pekerja/buruh mucul sebagai pengganti istilah buruh. Pada zaman feodal atau zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda dahulu disebut dengan blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan

pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang bisa duduk di meja disebut dengan white collar (berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para

4

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di luar Pengadilan, Ed. 3, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta, 2007, h 16.

5

Ibid., h 17.

6Ibid. 7


(3)

bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya.8 Namun kemudian, dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja/buruh.9

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum, tetapi maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja, baik perseorangan, persekutuan, badan hukum maupun badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diberikan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.10 Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja/buruh diperluas. Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa:

“termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah:11

a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun tidak;

b. Mereka yang memborong pekerjaan, kecuali yang memborong adalah perusahaan; c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Istilah yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah

8

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Ed. Revisi, Cet. 3, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 17-18.

9

Ibid., h 19.

10

R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I, Penerbit CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, h. 73.

11


(4)

majikan yaitu orang atau badan yang memperkerjakan buruh.12 Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pengusaha adalah:

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan milknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di wilayah Indonesia.

Maksud dari defenisi tersebut adalah:13

 Orang perseorangan adalah orang pribadi yang menjalankan atau mengawasi operasional perusahaan;

 Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum seperti CV, Firma, Maatschap, dan lain-lain. Baik yang bertujuan untuk mencari keuntungan untuk mencari keuntungan maupun tidak;

 Badan Hukum (recht persoon) adalah suatu badan yang oleh hukum dianggap sebagai orang, dapat mempunyai harta kekayaan secara terpisah, mempunyai hak dan kewajiban hukum dan berhubungan hukum dengan pihak lain. Contoh badan

12

Lihat UU No. 21 Tahun 1954 jo UU No. 22 Tahun 1957.

13

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet II, Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, h 25.


(5)

hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan (Stichting), Koperasi, Pemerintah Daerah, Negara, dan lain-lain.

Sebagai pemberi kerja pengusaha adalah seorang majikan dalam hubungannya dengan pekerja/buruh. Pada sisi yang lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya adalah seorang pekerja/buruh dalam hubungannya dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham karena bekerja dengan menerima upah atau imbalam dalam bentuk lain.14

Perlu pula dibedakan antara pengusaha dan perusahaan karena ada pengusaha yang sekaligus pemilik perusahaan dan ada yang tidak. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 perusahaan adalah:15

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Kuasa adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu, wewenang atas sesuatu, dan wewenang untuk menentukan/memerintah/menduduki atau mengurus.16 Sedangkan Surat kuasa adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu.17 Lebih lanjut, yang dapat betindak sebagi kuasa/wakil dalam perkara perdata padaumumny adalah advokat sesuai Pasal 32 UU 18/2003; Jaksa dengan kuasa

14

Maimun, Op. Cit., h 26.

15

Maimun, Op. Cit., h 26.

16

Sudarsono, Kamus Hukum, Cet 5, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h 232.

17


(6)

khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004; biro hukum pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;mereka yang mendapat kuasa insidentiil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan (misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri) untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/lurah.18

Ketentuan atau prinsip pokok pemberian kuasa, merujuk kepada BAB KEENAM BELAS, BUKU KETIGA KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa. Menurut 1792 KUH Perdata, pemberian kuasa (lastgeving, mandate) adalah:19

 Persetujuan (overeekomst, agreement) antara pemberi kuasa (lastgever, mandator or principal), dengan penerima kuasa (lasthebber, mandatory);

 Dengan pemberian kuasa itu, penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama (for and on behalf) pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam surat kuasa,

 Dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan atas namanya sendiri, tetapi atas nama pemberi kuasa.

Apa yang dikemukan di atas, tidak mengurangi kemungkinan seorang kuasa atau agen (agent), bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan atau perhitungan orang lain. Namun umumnya, kuasa bukan bertindak atas namanya sendiri dalam melakukan perbuatan hukum,

18

Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 84.

19

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. I, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009 (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h. 404.


(7)

tetapi untuk dan atas nama pemberi kuasa atau principal.20 Berakhirnya kuasa terjadi karena pemberi kuasa menarik kembali kuasa, salah satu pihak meninggal dunia, atau penerima kuasa melepas kuasa yang diterimanya.21

Kewajiban kuasa menurut Pasal 1800 KUH Perdata, antara lain:

1) Melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya;

2) Menyelesaikan semua urusan atau perbuatan hukum yang yang dilimpahkan kepadanya sebelum jangka waktu perjanjian kuasa berakhir;

3) Kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang tindakan apa saja yang dilakukannya, serta memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang diterimanya (Pasal 1802 KUH Perdata);

4) Bertanggung jawab atas tindakan yang dibuat orang yang ditunjuknya, padahal kepadanya tidak diberi hak substitusi, atau kepadanya diberi hak substitusi tanpa menyebut namanya, dan ternyata orang yang ditunjuknya tidak cakap dan tidak mampu (Pasal 1803 KUH Perdata);

5) Kuasa wajib menanggung segala kerugian dan bunga yang timbul atas keingkaran atau kelalaian kuasa melaksanakan apa yang dikuasakan kepadanya.

Adapun kewajiban pemberi kuasa, yang terpenting di antaranya:22

1) Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh kuasa dengan pihak ketiga, sepanjang perikatan itu masih dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepada kuasa (Pasal 1807 KUH Perdata);

20

Ibid.

21

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, ed., Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2009, h 44-45.

22


(8)

2) Pemberi kuasa wajib membayar ganti rugi kepada kuasa tentang kerugian yang diderita sewaktu menjalankan kuasa, dengan syarat asal kuasa tidak bertindak kurang hati-hati (carelessly) (Pasal 1809 KUH Perdata).

Jadi menurut prinsip hukum perjanjian, pemberi kuasa bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan hukum yang dilakukan kuasa dengan syarat perbuatan yang dilakukannya tidak melampaui wewenang yang diberikan pemberi kuasa sesuai dengan hal-hal yang dirinci atau ditentukan dalam surat kuasa, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam putusan MA No. 311K/Sip/1973. Pemberian ganti rugi itu kepada kuasa adalah sebesar yang telah dikeluarkannya, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa.23

Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG). Pasal 123 Ayat (1) Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR) mengatakan, selain kuasa lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijozondere schriftelijke machtiging.

Cara penunjukan ini dikaitkan dengan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG). Menurut Pasal 118 Ayat (1) HIR (Pasal 142 Ayat (1) RBG), gugatan perdata diajukan secara tertulis dalam bentuk surat gugatan yang ditandatangani oleh penggugat. Berdasarkan Pasal 123 Ayat (1), penggugat dalam gugatan itu dapat langsung mencantumkan dan menunjuk kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan. Penunjukan kuasa yang demikian, sah dan memenuhi syarat formil, karena Pasal 123 ayat (1) jo Pasal 118 ayat (1) HIR, telah mengaturnya secara tegas.24

23

M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 406.

24


(9)

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.25 Pasal 1 angka 2 dan Pasal 98 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang No. 40 Tahun 2007 menegaskan Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.

Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang sendiri telah menentukan, Direksi bertindak sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari perseroan.

Hak Direksi memberi kuasa diatur di dalam Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbunyi sebagai berikut:

Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

Selanjutnya, Penjelasan pasal ini berbunyi:

Yang dimaksud “kuasa” adalah Kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.

25


(10)

Ketentuan Pasal 87 UU No.2/2004 yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi organisasi pengusaha untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak pernah dipergunakan. Dengan diintrodusirnya ketentuan Pasal 87 UU/2004, bagi hakim hal ini merupakan pekerjaan rumah sendiri. Betapa tidak? Karena pengurus serikat pekerja//serikat buruh yang bertindak sebagai kuasa hukum pekerja/buruh , oleh karena mayoritas tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu hukum, mereka sama sekali tidak atau relatif kurang memahami hukum acara. Akibatnya, ketua majelis hakim harus menyediakan kelonggaran waktu untuk membimbing mereka beracara di persidangan. Tentu saja, kesabaran dan ketekunan hakim dituntut untuk itu.26

Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir dan bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengkhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Sedangkan putusan yang bukan putusan akhir (Putusan Sela dan Putusan Antara) adalah putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela hanya dimintakan banding bersama-sama dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama.27

Isi pertimbangan Hakim dalam Putusan Sela Nomor. 03/G/2014/PHI.Smg yang menolak Kuasa Hukum Tergugat, adalah: Majelis Hakim menimbang bahwa mengenai Kuasa Hukum Tergugat yang diwakili oleh General Manager dan HRD Manager, Majelis Hakim menyatakan bahwa orang yang berhak mewakili Pengusaha untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial adalah Organisasi Pengusaha, sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang –Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Oleh karena Undang-undang tersebut merupakan Lex Spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan

26

Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc. Cit.

27

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 3, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 101-102.


(11)

Hubungan Industrial maka ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pula pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tersebut, bukan kepada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT).

Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Majelis Hakim bahwa Kuasa Hukum Tergugat bukan Organisasi Pengusaha, akan tetapi adalah karyawan Tergugat, maka tidak memenuhi syarat sebagai kuasa yang ditentukan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas, oleh karenanya menurut Majelis Kuasa Hukum Tergugat tidak mempunyai legal standing untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili Tergugat.

Bertolak dari kesenjangan antara Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI jo Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan putusan hakim yang menyatakan General Manager tidak bisa mewakili Pengusaha adalah keliru atau tidak tepat, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi dengan judul

TINJAUAN YURIDIS TERHADAPLEGAL STANDING GENERAL MANAGER

MEWAKILI PENGUSAHA (Studi Kasus Putusan Sela Nomor 03/G/2014/PHI.Smg)”

B. Rumusan Masalah

Apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili Pengusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili Pegusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(12)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya pada hukum ketenagakerjaan, pada umumnya dalam pengembangan Hukum Perdata.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Hakim dalam memutus perkara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), memberikan pemahaman bagi pekerja, advokat dan Pengusaha dalam bertindak sebagai pemberi dan penerima kuasa dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

E. Metode Penelitian

Agar tujuan dan manfaat penelitian ini dapat tercapai sebagaimana yang telah direncanakan, maka untuk itu dibutuhkan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder bahan belaka.28

28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 1, Ed. 13, Penerbit Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, h 13.


(13)

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.29 Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statuta Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, 30 dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.31

3. Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan , catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.32

29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cetakan ke-3, 2007, h 93

30 Ibid. 31Ibid

., h 95

32Ibid


(14)

Bahan hukum primer yang digunakan berupa legislasi dan regulasi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.33

Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku hukum, dan kamus hukum.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, ideks kumulatif, dan seterusnya.34

4. Unit Analisis

Legal standingGeneral Manager mewakili Pengusaha sebagai Tergugat.

33

Ibid. 34


(1)

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.25 Pasal 1 angka 2 dan Pasal 98 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang No. 40 Tahun 2007 menegaskan Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.

Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang sendiri telah menentukan, Direksi bertindak sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari perseroan.

Hak Direksi memberi kuasa diatur di dalam Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbunyi sebagai berikut:

Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau

lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan

hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

Selanjutnya, Penjelasan pasal ini berbunyi:

Yang dimaksud “kuasa” adalah Kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.

25


(2)

Ketentuan Pasal 87 UU No.2/2004 yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi organisasi pengusaha untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak pernah dipergunakan. Dengan diintrodusirnya ketentuan Pasal 87 UU/2004, bagi hakim hal ini merupakan pekerjaan rumah sendiri. Betapa tidak? Karena pengurus serikat pekerja//serikat buruh yang bertindak sebagai kuasa hukum pekerja/buruh , oleh karena mayoritas tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu hukum, mereka sama sekali tidak atau relatif kurang memahami hukum acara. Akibatnya, ketua majelis hakim harus menyediakan kelonggaran waktu untuk membimbing mereka beracara di persidangan. Tentu saja, kesabaran dan ketekunan hakim dituntut untuk itu.26

Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir dan bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengkhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Sedangkan putusan yang bukan putusan akhir (Putusan Sela dan Putusan Antara) adalah putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela hanya dimintakan banding bersama-sama dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama.27

Isi pertimbangan Hakim dalam Putusan Sela Nomor. 03/G/2014/PHI.Smg yang menolak Kuasa Hukum Tergugat, adalah: Majelis Hakim menimbang bahwa mengenai Kuasa Hukum Tergugat yang diwakili oleh General Manager dan HRD Manager, Majelis Hakim menyatakan bahwa orang yang berhak mewakili Pengusaha untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial adalah Organisasi Pengusaha, sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang –Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Oleh karena Undang-undang tersebut merupakan Lex Spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan

26

Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc. Cit.

27

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 3, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 101-102.


(3)

Hubungan Industrial maka ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pula pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tersebut, bukan kepada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT).

Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Majelis Hakim bahwa Kuasa Hukum Tergugat bukan Organisasi Pengusaha, akan tetapi adalah karyawan Tergugat, maka tidak memenuhi syarat sebagai kuasa yang ditentukan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas, oleh karenanya menurut Majelis Kuasa Hukum Tergugat tidak mempunyai legal standing untuk

beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili Tergugat.

Bertolak dari kesenjangan antara Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI jo Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan putusan hakim yang menyatakan General Manager tidak bisa mewakili Pengusaha adalah keliru atau tidak tepat, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi dengan judul

TINJAUAN YURIDIS TERHADAPLEGAL STANDING GENERAL MANAGER

MEWAKILI PENGUSAHA (Studi Kasus Putusan Sela Nomor 03/G/2014/PHI.Smg)”

B. Rumusan Masalah

Apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili Pengusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili Pegusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(4)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya pada hukum ketenagakerjaan, pada umumnya dalam pengembangan Hukum Perdata.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Hakim dalam memutus perkara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), memberikan pemahaman bagi pekerja, advokat dan Pengusaha dalam bertindak sebagai pemberi dan penerima kuasa dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

E. Metode Penelitian

Agar tujuan dan manfaat penelitian ini dapat tercapai sebagaimana yang telah direncanakan, maka untuk itu dibutuhkan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder bahan belaka.28

28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 1, Ed. 13, Penerbit Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, h 13.


(5)

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.29 Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statuta Approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, 30 dan pendekatan konseptual (Conceptual

Approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.31

3. Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan , catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.32

29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cetakan ke-3, 2007, h 93

30

Ibid.

31Ibid ., h 95 32Ibid


(6)

Bahan hukum primer yang digunakan berupa legislasi dan regulasi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.33

Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku hukum, dan kamus hukum.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, ideks kumulatif, dan seterusnya.34

4. Unit Analisis

Legal standingGeneral Manager mewakili Pengusaha sebagai Tergugat.

33

Ibid.

34


Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147