Pengelolaan konflik pada pasangan yang menikah muda

(1)

PENGELOLAAN KONFLIK PADA PASANGAN

YANG MENIKAH MUDA

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Rosa Mutiara Putri

NIM : 089114096

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh –

Confusius

Setiap orang mempunyai mimpi. Yang terpenting bukan seberapa besar mimpi yang kamu punya tetapi seberapa

besar kamu mau mewujudkannya.

Karyaku ini kupersembahkan untuk: Ibu dan bapakku yang selalu memberikanku semangat untuk terus maju meraih kesuksesan dan mengajarkan jangan takut gagal untuk meraih keberhasilan... Terimakasih...


(5)

(6)

vi

PENGELOLAAN KONFLIK PADA PASANGAN YANG MENIKAH

MUDA

Rosa Mutiara Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya konflik pada rumah tangga pasangan yang menikah muda dan juga bagaimana mereka mengelola konflik rumah tangganya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara. Penelitian ini melibatkan 2 pasang subjek. Subjek dipilih menggunakan criterion sampling berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat enam penyebab terjadinya konflik pada pasangan yang menikah muda yaitu mendiskusikan kembali penyebab pertengkaran setelah masalah dianggap selesai, komunikasi yang kurang antara pasangan, pengasuhan anak, teman sebaya, kurangnya perhatian dari pasangan, dan kecemburuan terhadap pasangan. Kedua pasang subjek penelitian mengelola konflik dengan menggunakan 4 gaya pengelolaan konflik yaitu gaya pengelolaan akomodasi atau kerelaan untuk membantu, menghindar, kompromi, dan kompetisi atau mendominasi. Selain itu, terdapat cara lain yang digunakan oleh kedua subjek untuk mengelola konflik yaitu melibatkan orangtua dalam menyelesaikan konflik rumah tangganya.


(7)

vii

CONFLICT MANAGEMENT ON EARLY COUPLES MARRIAGE

Rosa Mutiara Putri ABSTRACT

This research aims to find out the causes of marriage conflict among couples who had early marriage and also how they managed their conflict. The research use qualitative approach to answer the research question. The data was collected using interview method. This research involves two pair of subjects. The subjects are selected using criterion sampling based on appropriate criteria with purpose of research. Results of the research indicate that there are six causes of conflict on early marriage couples. There are re-discussing the cause of conflict after problem considered completed, less communication among couples, parenting, peers, lack of attention among couples, and jealously among couples. Both of these couples manages conflict using four styles of conflict management which are accommodation or obliging, avoiding, compromising, and competiting or integrating. Furthermore, there is another method to manage the conflict are involves parents in their conflict resolving.


(8)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmah-Nya, akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan dengan lancar. Skripsi yang berjudul “Pengelolaan Konflik pada Pasangan yang Menikah Muda” ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan, doa dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan menginspirasi selama proses penelitian ini berlangsung. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada: 1. Allah SWT atas segala berkat yang diberikan sehingga saya akhirnya

dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Ratri Sunar M.Si., selaku Kaprodi dan dosen pembimbing skripsi. Terimakasih atas masukan dan kesabarannya dalam menunggu perkembangan skripsi saya sehingga akhirnya skripsi saya dapat terselesaikan.

3. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum., App. Psych selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan inspirasi yang bermanfaat bagi penelitian ini.

4. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan pengetahuan baru bagi saya.


(10)

x

5. Ibu Debri Pristinella, M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan pengetahuan baru bagi saya.

6. Ibu Agnes Indar E S.Psi., M.Si., Psi selaku dosen pendamping akademik yang telah mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni yang telah membantu saya selama belajar di kampus ini. 9. Semua subjek penelitian, terima kasih atas bantuan, kesediaan dan

informasi yang telah kalian berikan sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan lancar.

10. Segenap keluarga yang telah memberikan dukungan dan doanya untuk saya agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

11. Teman-teman Psikologi: Ela, Irin, Dessy, Novi, Intan, Oshin, Tiwi, Nindi, dan semua teman yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, terima kasih teman atas segala hiburan, masukan dan ceritanya.

12. Tak lupa untuk mas Susilo, akhirnya saya bisa menyusul untuk lulus juga. Terimakasih karena selalu mengingatkan dan mendorongku untuk cepat lulus.

13. Sahabat-sahabatku: Puput yang senantiasa menemani untuk mencari subjek dan mengantarkanku untuk mengambil data, Rifta, Agin, Ika, Nindya, dan Januar, terima kasih atas motivasinya.


(11)

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9


(13)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Pengelolaan Konflik ... 10

1. Pengertian Pengelolaan Konflik ... 10

2. Pengelolaan konflik dalam pernikahan ... 11

a. Faktor - faktor yang memicu terjadinya konflik dalam keluarga ... 12

b. Macam – macam gaya pengelolaan konflik ... 13

c. Budaya dalam pengelolaan konflik di keluarga ... 21

B. Pernikahan Usia Muda ... 23

1. Pengertian Pernikahan Muda ... 23

2. Pernikahan Usia Muda dalam Tinjauan Psikologis ... 25

3. Konsekuensi Pernikahan Muda ... 26

a. Konsekuensi Positif ... 26

b. Konsekuensi Negatif ... 26

C. Dinamika Pengelolaan Konflik pada Pernikahan Usia Muda ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. Jenis Penelitian ... 31

B. Fokus Penelitian ... 31

C. Subjek Penelitian ... 32

D. Metode Pengumpulan Data ... 33

E. Prosedur Analisis Data ... 35


(14)

xiv

2. Pengkodean ... 35

3. Interpretasi ... 36

4. Rangkuman Hasil Penelitian ... 36

F. Kredibilitas dan Reliabilitas ... 36

1. Kredibilitas ... 36

2. Reliabilitas ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Proses Penelitian ... 39

1. Persiapan Penelitian ... 39

2. Pelaksanaan Penelitian ... 40

3. Proses Analisis Data ... 41

4. Jadwal Pengambilan Data ... 42

B. Profil Subjek ... 45

1. Subjek 1, suami (BA) ... 45

2. Subjek 1, istri (AB) ... 46

3. Subjek 2, suami (GR) ... 47

4. Subjek 2, istri (WH) ... 47

C. Rangkuman Tema Penelitian ... 49

D. Deskripsi Tema ... 58

1. Penyebab Terjadinya Konflik ... 58

2. Cara Pengelolaan Konflik ... 60


(15)

xv

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Keterbatasan Penelitian ... 74

C. Saran ... 74.

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 74

2. Bagu Pasangan yang Menikah Muda ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan wawancara tentang pengelolaan konflik pada pasangan yang

menikah muda ... 34

Tabel 2. Jadwal wawancara dengan subjek 1, suami (BA) ... 42

Tabel 3. Jadwal wawancara dengan subjek 1, istri (AB) ... 43

Tabel 4. Jadwal wawancara dengan subjek 2, suami (GR) ... 44

Tabel 5. Jadwal wawancara dengan subjek 2, istri (WH) ... 44

Tabel 6. Sejarah pernikahan ... 49


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema hasil penelitian subjek 1 (BA) ... 80

Lampiran 2. Skema hasil penelitian subjek 1 (AB) ... 82

Lampiran 3. Skema hasil penelitian subjek 2 (GR) ... 84

Lampiran 4. Skema hasil penelitian subjek 2 (WH) ... 86

Lampiran 5. Protokol wawancara ... 88

Lampiran 6. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 1 (BA)... 93

Lampiran 7. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 1 (AB)... 105

Lampiran 8. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 2 (GR)... 119

Lampiran 9. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 2 (WH) ... 130

Lampiran 10. Surat pernyataan persetujuan wawancara subjek 1 (BA) ... 138

Lampiran 11. Surat pernyataan persetujuan wawancara subjek 1 (AB) ... 140

Lampiran 12. Surat pernyataan persetujuan wawancara subjek 2 (GR) ... 142


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suami istri adalah dua individu yang berbeda hampir dalam berbagai hal sehingga tidak jarang dapat menimbulkan konflik. Mc Gonagle dkk (dalam Sears dkk, 1988) menyatakan bahwa pada pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan hal yang biasa terjadi. Hal tersebut sesuai dengan data yang dikutip dalam buku Sears dari Gurin yang menyatakan bahwa konflik senantiasa terjadi dalam kehidupan pernikahan Data menunjukkan bahwa 45% orang melaporkan adanya masalah yang muncul dalam kehidupan berpasangan. Bahkan 32% pasangan yang menilai pernikahan mereka sangat membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami pertentangan. Selain itu, Burger dan Wallin menemukan bahwa 80% dari 1000 orang yang telah bertunangan memiliki beberapa ketidaksesuaian diantara mereka (dalam Sears dkk, 1988).

Scanzoni (dalam Sadarjoen, 2005) menyatakan bahwa penyebab konflik pernikahan diantaranya adalah keuangan (perolehan dan penggunaannya), pendidikan anak-anak, hubungan pertemanan, hubungan dengan keluarga besar, rekreasi (jenis, kualitas dan kuantitasnya), aktivitas yang tidak disetujui oleh pasangan, pembagian kerja dalam rumah tangga, berbagai macam masalah (agama, politik, seks, komunikasi dalam perkawinan, dan aneka masalah-masalah sepele) serta masalah-masalah yang tidak terspesifik.


(19)

Konflik menurut Johnson & Johnson (1991) adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu pihak lain (dalam Supratiknya, 1995). Selain itu, konflik juga berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang. Setiap hubungan mengandung unsur konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan sehingga diperlukan suatu cara untuk mengelola konflik tersebut. Pengelolaan konflik atau manajemen konflik adalah suatu cara yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi ataupun menghadapi pertentangan dan perbedaan pendapat diantara dua atau lebih individu.

Penelitian yang dilakukan oleh Greeff (2000) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara gaya mengelola konflik dengan kepuasaan pernikahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa gaya pengelolaan konflik kolaboratif mempunyai korelasi tinggi dengan kepuasan pernikahan dan kepuasan pasangan sedangkan pasangan yang menggunakan gaya kompetitif mempunyai kepuasan pernikahan yang rendah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Undiyaundeye (2006) menemukan bahwa pasangan memerlukan keterampilan pengelolaan konflik untuk mencapai kebaikan dalam hubungan pernikahan.

Bloom & Bloom (2012) menyebutkan sebagian besar perceraian terjadi karena tidak adanya atau kurang adanya keterampilan dalam membina hubungan seperti mengelola konflik, menangani perbedaan, tanggung jawab pada diri sendiri, saling menghargai, dan lain-lain. Hal itulah yang menyebabkan


(20)

pengelolaan konflik sangat penting dilakukan dalam kehidupan pernikahan (www.psychologicaltoday.com).

Pasangan yang menikah muda mempunyai potensi yang lebih tinggi untuk mengalami konflik, karenanya isu tentang pengelolaan konflik menjadi lebih menonjol dalam kehidupan pernikahan pasangan yang menikah muda. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kemunculan konflik dan pengelolaan konflik merupakan isu yang menonjol pada pasangan yang menikah muda. Diantara penelitian-penelitian tersebut misalnya penelitian yang dilakukan oleh Utami (2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pasangan suami istri yang menikah muda tidak dapat menerima kondisi pasangan apa adanya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kamban (2011) menunjukkan bahwa pernikahan di usia muda dapat memberikan dampak negatif bagi pasangan suami istri yaitu seringkali mereka menghadapi percekcokan dan pertengkaran yang tidak terkendali karena adanya ketidaksiapan mental dan fisik serta egoisme yang masih tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2010) menyebutkan bahwa tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Klaten erat kaitannya dengan tingginya angka perkawinan saat usia muda. Penelitian yang dilakukan di PA Klaten ini menyebutkan bahwa terdapat perceraian yang disebabkan karena pasangan menikah pada usia relatif muda berjumlah lebih dari 50% per tahun (dari jumlah pernikahan dini tiap tahunnya). Pernikahan usia muda menurut


(21)

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Dr. Wendy Hertanto, lebih banyak memicu terjadinya perceraian. Berdasarkan data dari 300 ribu kasus perceraian, 10% diantaranya berasal dari kasus pernikahan usia muda. Hal ini terjadi karena pernikahan tidak bisa jika hanya mengandalkan cinta karena pernikahan memerlukan kedewasaan mental dan biaya. (liputan6.com). Dalam tinjauan psikologi perkembangan, kematangan emosional dan sosial seseorang merupakan faktor yang berperan dalam membentuk kemampuan seseorang mengelola konflik interpersonal. Seperti yang dikemukakan Havighurst (dalam Mappiare, 1983) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai emosi stabil akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang ada pada dirinya.

Menimbang tinjauan teoretis diatas, maka diasumsikan bahwa konflik lebih rentan muncul pada pasangan yang menikah muda karena adanya faktor kekurangmatangan persiapan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan muda. Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang didasari adanya kematangan diantara suami dan istri baik itu kematangan biologis maupun psikologis. Dengan bertambahnya usia seseorang, diharapkan keadaan psikologisnya juga akan bertambah matang. Dalam pernikahan dibutuhkan kematangan psikologis yang merupakan syarat penting bagi seseorang agar mampu menghadapi masalah keluarga dan mencari pemecahannya. Kematangan psikologis ini dapat berupa kematangan emosi dan kematangan dalam gaya berpikir. Kematangan psikologis


(22)

akan dicapai ketika seseorang berusia diatas 21 tahun atau selama awal masa dewasa (Walgito, 2010).

Adhim (2002) menyebutkan bahwa kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia muda. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada di antara mereka. Oleh karena itu, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang dilakukan ketika kedua individu yang akan menikah sudah mencapai usia masa dewasa awal (muda) atau masa pertengahan.

Kremer (1989) menambahkan bahwa perbedaan dalam gaya berpikir memiliki implikasi besar bagi kemampuan seseorang dalam menangani masalah kehidupan termasuk menyelesaikan konflik. Pasangan yang mampu memahami sesuatu dengan didasari cara pandang yang luas cenderung lebih mampu menyelesaikan konflik yang dimilikinya. Kemampuan untuk memahami masalah secara baik ditandai dengan adanya integrasi antara emosi dan logika. Hal tersebut biasanya akan mulai dicapai seseorang ketika ia menginjak usia dewasa muda hingga usia pertengahan. Dengan bertambahnya usia, seseorang cenderung lebih mampu membuat keputusan dan menganalisis masalah dengan menggabungkan antara alasan logis dan alasan emosi. Hal inilah yang mendasari adanya asumsi bahwa adanya kematangan logika dan emosi pada kedua pasangan akan menjadi faktor penting yang mempengaruhi keabadian pernikahan.


(23)

Kematangan tersebut diasumsikan akan lebih sulit tercapai bila pasangan menikah pada usia remaja atau pada usia sekitar 20an (Cavanaugh & Kail, 2010).

Paparan diatas menjelaskan bahwa menikah pada usia muda memiliki potensi yang lebih besar untuk mengalami konflik dan lebih mengemukakan persoalan-persoalan yang terkait dengan pengelolaan konflik. Namun demikian, data di lapangan menunjukkan bahwa angka pernikahan yang dilakukan di usia muda masih cukup tinggi. Masih adanya individu-individu yang melakukan pernikahan di usia muda salah satunya dapat dilihat dari data permohonan dispensasi menikah dibawah ini:

Diagram 1. Data permohonan dispensasi menikah di Kabupaten Bantul hingga Oktober 2011 (www.kompas.com).

Pengelolaan konflik merupakan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pernikahan. Setiap pasangan yang baru menikah memiliki harapan untuk menjadikan pernikahannya bahagia. Pernikahan bahagia merupakan faktor penting pembentuk kualitas hidup seseorang yang sudah menikah. Santrock

70 82 115 135 0 20 40 60 80 100 120 140 160

2008 2009 2010 2011

Ju

m

la

h


(24)

(2007) menyebutkan bahwa orang yang mempunyai pernikahan bahagia akan hidup lebih lama dibandingkan dengan orang yang bercerai dan orang yang mempunyai kehidupan pernikahan yang tidak bahagia. Individu yang mempunyai pernikahan bahagia cenderung kurang merasa stress secara emosi dan fisik serta kurang merasa mempunyai masalah psikologis seperti merasa cemas ataupun depresi. Penelitian yang dilakukan pada 493 wanita yang berumur 42 sampai 50 tahun menunjukkan orang yang mempunyai pernikahan bahagia kurang berisiko terhadap penyakit seperti tekanan darah, kolesterol, dan berat tubuh dibandingkan orang yang mempunyai pernikahan tidak bahagia (Santrock, 2007).

Menurut Sadarjoen (2005), untuk membangun keluarga yang sukses dan harmonis dapat ditempuh dengan berbagai cara diantaranya menciptakan kebersamaan, menjadi orang tua, mengatasi krisis, mencari dan mendapatkan tempat yang aman untuk konflik, menggali kehidupan seksual dan keintiman, berbagi tawa, memberikan pelayanan emosional dan memelihara visi bersama.

Greer, Ph.D, seorang konsultan ahli relasi suami istri, menyatakan ada beberapa nilai yang membuat pernikahan bahagia yaitu ungkapan kasih sayang, melakukan hal bersama-sama, saat keadaan sulit ditanggulangi bersama, tetap berhubungan, tidak mempermasalahkan hal sepele, mampu menangani konflik, saling memberi hadiah, dan tidak pernah kehilangan rasa humor (www.metrotvnews.com).


(25)

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengelolaan konflik yang terjadi pada rumah tangga orang yang menikah muda. Dalam penelitian tersebut, peneliti bermaksud untuk mengungkap apa saja yang memicu munculnya konflik pernikahan pada pasangan muda serta bagaimana pasangan muda tersebut mengatasi konflik atau mengelola konflik yang terjadi dalam rumah tangga mereka.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Apa saja faktor pemicu terjadinya konflik pada pasangan yang menikah muda?

2. Bagaimana pasangan yang menikah muda mengelola konflik dalam rumah tangganya?

C. Tujuan

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui atau mengungkap faktor-faktor penyebab terjadinya

konflik pada pasangan yang menikah muda.

2. Untuk mengetahui pengelolaan konflik yang dilakukan oleh pasangan yang menikah muda dalam rumah tangga mereka.


(26)

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial dan Psikologi Perkawinan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan perkawinan pada pasangan muda.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada masyarakat umum, khususnya bagi seseorang yang ingin menikah muda tentang cara-cara dalam pengelolaan konflik serta masalah-masalah yang akan timbul dalam pernikahan. Selain itu, diharapkan pasangan yang akan menikah muda akan lebih memiliki persiapan psikologis yaitu memiliki kematangan emosi dan gaya berpikir yang luas jika melangsungkan pernikahannya kelak.


(27)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengelolaan Konflik

1. Pengertian Pengelolaan Konflik

Konflik mempunyai berbagai pengertian, menurut Cross, Names dan Beck (Borisoff & Victor, 1989) konflik dipandang sebagai suatu perbedaan diantara individu, perbedaan itu dapat berasal karena ada perbedaan tujuan, nilai, motivasi ataupun ide. Sedangkan Thomas (dalam Borisoff & Victor, 1989) menjelaskan bahwa konflik merupakan suatu proses yang berasal saat salah satu individu memahami bahwa pihak lain menghalangi beberapa tujuan atau fokusnya.

Hocker & Wilmot (Borisoff & Victor, 1989) menjelaskan konflik sebagai suatu pertentangan diantara setidaknya dua pihak yang merasa berlawanan tujuan dan gangguan dari dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.

Sedangkan pengertian manajemen konflik sendiri juga telah diungkap oleh para ahli. Tjosvold & Tjosvold (dalam Astuti, 2003) mendefinisikan manajemen konflik merupakan tugas mengolah permasalahan yang timbul akibat salah paham atau perselisihan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, apabila dapat diatasi dengan baik maka hubungan akan meningkat


(28)

dan dapat mencapai persetujuan. Johnson & Johnson (1994) mendefinisikan manajemen konflik sebagai tugas mengelola suatu permasalahan yang timbul akibat salah paham atau perselisihan yang dilakukan oleh individu atau kelompok.

Menurut Wirawan (2010), manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik atau pengelolaan konflik adalah suatu tugas mengelola permasalahan yang timbul akibat perselisihan atau salah paham yang ada pada individu atau kelompok untuk mengendalikan konflik sehingga dapat menghasilkan tujuan yang diinginkan.

2. Pengelolaan Konflik dalam Pernikahan

Pengelolaan konflik dalam keluarga adalah suatu proses pengorganisasian yang digunakan untuk mengatasi perbedaan diantara anggota keluarga, misal antara suami dengan istri, mertua dengan menantu, orangtua dengan anak, atau perbedaan diantara anggota keluarga yang lainnya. Pengelolaan konflik dapat juga dipengaruhi oleh gaya pengelolaan konflik dan juga oleh kebudayaan. Individu yang berkonflik dapat mengelola konflik dengan menggunakan berbagai macam gaya pengelolaan konflik yaitu


(29)

avoiding, akomodasi atau obliging, integrating atau kolaborasi, dominating atau kompetisi dan kompromi Pada budaya kolektivis, gaya pengelolaan konflik yang biasa dipakai adalah gaya obliging atau akomodasi, avoiding, integrating atau kolaborasi dan kompromi. Sedangkan pada budaya individualis, biasa menggunakan gaya dominating atau kompetisi untuk menyelesaikan konflik.

a. Faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik dalam keluarga

Manurung & Manurung (1995) menyebutkan, terjadinya konflik dalam rumah tangga disebabkan oleh tiga faktor yaitu dari suami istri itu sendiri, pengaruh dari salah satu orangtua atau dari kedua belah pihak, serta pengaruh dari salah seorang anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:

1) Kurangnya saling pengertian diantara suami dan istri

2) Adanya kecurigaan dari pemakaian uang maupun dari hubungan intim dengan orang lain.

3) Ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani keluarga atau sebaliknya.

4) Ketidakpuasan suami terhadap istrinya atau sebaliknya.

5) Adanya ketidaksepakatan pernikahan dari pihak orangtua atau dari suami istri itu sendiri sehingga sering terjadi konflik pendapat antara orangtua dengan anak dan antara suami dengan istri.


(30)

6) Sering adanya campur tangan orangtua dalam urusan rumah tangga anaknya. Orangtua yang menganggap anaknya belum dewasa.

7) Adanya status sosial yang lebih tinggi dari orangtua dibandingkan dengan besan atau menantunya sehingga menganggap rendah besan dan menantunya.

8) Pengaruh negatif dari anggota keluarga lain yang dapat mempengaruhi keluarga inti.

b. Macam-macam gaya pengelolaan konflik

Beberapa ahli berpendapat bahwa seseorang mengelola konflik dengan bermacam-macam gaya. Thomas & Killman (dalam Beebe dkk, 1996) menyebutkan bahwa ada dua dimensi utama dalam pengelolaan konflik yaitu berpusat pada orang lain dan berpusat pada diri sendiri. Dari dua dimensi konflik tersebut, didapat lima gaya pengelolaan konflik. Lima gaya manajemen konflik menurut Thomas & Killman adalah:

1) Menghindar (avoidance)

Gaya pengelolaan konflik menghindar adalah mengelola konflik dengan cara mundur atau mencoba mengesampingkan konflik yang sedang dihadapi. Strategi seperti ini menunjukkan bahwa individu memiliki fokus yang rendah pada diri sendiri maupun orang lain. Orang dengan gaya pengelolaan konflik seperti ini berharap bahwa masalah yang ada akan selesai dan hilang dengan sendirinya.


(31)

Menurut Thomas & Killman, bentuk teknik menghindar bisa berupa menjauhkan diri dari masalah, menunda masalah hingga menunggu waktu yang tepat serta menarik diri dari konflik yang merugikan. Gaya pengelolaan konflik ini biasa disebut pendekatan kalah – kalah atau

“lose lose approach”. Penggunaan gaya menghindar akan mendatangkan keuntungan jika permasalahannya sepele atau ada permasalahan yang lebih penting untuk diselesaikan. Selain itu, dapat mensuplai waktu untuk berpikir tentang masalah yang ada agar dapat memberikan respon lain terhadap konflik yang sedang dihadapi. Menghindar juga mempunyai kerugian karena penghindaran dapat memberikan kesan pada orang lain bahwa kita tidak peduli pada perasaan mereka dan hanya fokus pada diri sendiri. Penghindaran hanya akan menyimpan konflik dan membangun suatu ledakan pada nantinya.

Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik menghindar (Winardi, 2002):

a) Bila ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan. b) Bila potensi mengganggu lebih besar daripada potensi yang

menguntungkan.

c) Untuk membiarkan orang menjadi tenang terlebih dahulu dan mengurangi ketegangan.


(32)

2) Akomodasi (accommodation)

Gaya pengelolaan akomodasi ini adalah teknik mengelola konflik yang berfokus pada pihak lain dibandingkan dengan diri sendiri. Individu yang menggunakan teknik ini membiarkan keinginan pihak lain menonjol dan mendapatkan yang diinginkan oleh pihak tersebut. Orang yang melakukan gaya akomodasi mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya. Akomodasi biasa dipakai karena individu merasa takut ditolak jika mereka mengganggu pihak lain yang sama-sama berkonflik. Gaya pengelolaan konflik ini biasa disebut dengan pendekatan kalah - menang atau “winlose approach”. Akomodasi mempunyai keuntungan yaitu menunjukkan kepada orang lain bahwa individu benar-benar ingin membantu pihak lain. Selain itu jika individu merasa salah, akomodasi tepat untuk digunakan. Kerugian jika terus menerus menggunakan akomodasi adalah pihak lain akan memanfaatkan individu lainnya karena mengurangi kemampuannya untuk menyelesaikan konflik serta adanya ekspektasi dari pihak lain bahwa individu tersebut akan memberikan keinginannya lagi.

Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik akomodasi (Winardi, 2002):


(33)

b) Untuk meminimalkan kerugian bila kita berada pada posisi yang kalah.

c) Bila harmoni dan kestabilan sangat penting ditekan dalam suatu hubungan

3) Kompetisi (competition)

Strategi dengan menggunakan kompetisi adalah pengelolaan konflik dengan cara mendominasi orang lain dan memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu serta menggunakan kekuasaan yang ada. Individu yang menggunakan gaya kompetisi ingin mengontrol orang lain, biasanya mereka tidak berorientasi pada pihak lain tetapi berorientasi pada diri mereka sendiri. Gaya pengelolaan kompetisi sering disebut pendekatan menang – kalah atau

“win-lose approach”. Kompetisi dapat menguntungkan jika seseorang harus memutuskan tindakan cepat atau dalam keadaan darurat.

Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi (Winardi, 2002):

a) Bila kecepatan dan tindakan pengambilan keputusan bersifta vital (dalam keadaan darurat)

b) Untuk melawan orang-orang yang mengambil keuntungan dari orang-orang yang mengalah.


(34)

c) Bila kita mempunyai kekuasaan atau sumbenr lainnya untuk memaksakan sesuatu pada pihak lain yang sedang berkonflik. 4) Kompromi (compromise)

Gaya pengelolaan konflik dengan cara kompromi adalah gaya mengelola konflik yang bertujuan untuk menemukan titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan dari kedua belah pihak sehingga tidak ada yang merasa menang atau kalah. Saat menggunakan kompromi, fokus pada orang lain sama baiknya dengan fokus pada diri sendiri. Penggunaan kompromi biasanya melaksanakan upaya tawar menawar untuk mencapai pemecahan-pemecahan yang dapat diterima oleh semua pihak tetapi bukan pemecahan yang optimal. Gaya pengelolaan ini biasa disebut pendekatan kalah/menang – kalah/menang atau

“lose/win-lose/win approach”. Keuntungan dari penggunaan kompromi adalah jika membutuhkan resolusi konflik yang cepat serta menyeimbangkan kekuatan yang ada pada kedua belah pihak. Selain itu, kompromi dapat berguna jika membutuhkan solusi konflik untuk sementara.

Beberapa alasan menggunakan manajemen konflik kompromi (Winardi, 2002):


(35)

b) Untuk dapat mencapai suatu keputusan yang berguna dalam waktu yang terbatas.

c) Bila pihak-pihak yang berkonflik mempunyai kekuatan yang sama dan seimbang.

5) Kolaborasi atau kerja sama (collaboration)

Teknik kolaborasi mempunyai fokus yang tinggi pada diri sendiri dan orang lain. Orang yang menggunakan gaya kolaborasi memandang konflik sebagai suatu permasalahan bukan suatu permainan yang ada menang dan kalahnya. Kolaborasi berusaha mencapai kepuasaan sepenuhnya yang benar-benar memenuhi harapan dari kedua belah pihak serta mencapai keuntungan sebagai hasilnya. Gaya pengelolaan ini biasa disebut dengan pendekatan menang –

menang atau “win-win approach”. Kolaborasi akan menguntungkan saat kedua belah pihak membutuhkan sesuatu atau ide yang baru. Kolaborasi juga meningkatkan hubungan karena adanya keterlibatan kedua belah pihak yang sama-sama menguntungkan.

Beberapa alasan penggunaan manajemen konflik kolaborasi (Winardi, 2002):

a) Menciptakan solusi yang intergratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting untuk dikompromikan.


(36)

b) Untuk menggabungkan pengetahuan atau informasi dari orang-orang yang berbeda pandangannya.

c) Kedua belah pihak tidak mempunyai kekuasaan yang cukup untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.

Jika digambarkan dengan bagan, maka akan tampak sebagai berikut:

Diagram 2. Gaya Pengelolaan Konflik menurut Thomas dan Killman (Beebe dkk, 1996).

Tidak jauh berbeda dengan Thomas & Killman, Hendrick (2006) membedakan lima gaya dalam manajemen konflik sebagai berikut:

1) Penyelesaian konflik dengan mempersatukan (intergrating)

Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan ini adalah individu-individu yang terlibat konflik saling melakukan

Kompromi

Kompetisi Kolaborasi

Menghindar Akomodasi

Tinggi Tinggi

Rendah Fokus pada

Diri Sendiri


(37)

menukar informasi yang ada. Individu yang terlibat mempunyai keinginan untuk mengamati perbedaan serta mencari suatu solusi yang dapat diterima oleh semua individu yang mengalami konflik. Dengan gaya pengelolaan konflik ini, dapat memunculkan suatu pikiran yang kreatif karena pihak yang berkonflik berusaha mempersatukan informasi-informasi dari perspektif yang berbeda-beda.

2) Penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) Penyelesaian konflik secara obliging membuat nilai tinggi pada orang lain sedangkan untuk dirinya sendiri dinilai rendah. Dalam gaya obliging, digunakan untuk membuat seseorang merasa lebih baik dan senang, kadang-kadang mengorbankan sesuatu yang penting dalam dirinya. Jika gaya rela membantu digunakan secara efektif maka akan dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan.

3) Penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating)

Dominating ini adalah lawan dari obliging. Jika dalam gaya obliging penekananya pada orang lain, dalam dominating yang ditekankan adalah diri sendiri. Strategi dominasi dapat efektif jika persoalan yang ada itu kurang penting atau membutuhkan keputusan yang cepat. Dominasi paling baik digunakan dalam keadaan yang terpaksa.


(38)

4) Penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding)

Penyelesaian konflik yang keempat adalah penyelesaian konflik dengan cara mengindari masalah yang ada. Dalam teknik ini, para individu yang menghindari permasalahan tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri maupun orang lain. Dalam gaya ini, aspek negatifnya adalah menghindar dari tanggung jawab dan mengelak atau mengkesampingkan suatu persoalan.

5) Penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)

Teknik penyelesaian kompromi menempatkan diri sendiri dan orang lain dalam tingkat yang sedang. Kompromi akan menjadi efektif bila ada keseimbangan kekuatan dari individu yang berkonflik. Teknik kompromi biasa dipakai oleh orang yang berselisih untuk mendapatkan jalan keluar atau pemecahannya.

c. Budaya dalam pengelolaan konflik di keluarga

Selain ada bermacam-macam gaya pengelolaan konflik seperti yang telah dijelaskan diatas, variasi dalam cara pengelolaan konflik juga dapat dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang budaya dari individu-individu yang bersangkutan. Misalnya budaya Amerika memandang bahwa anggota keluarga harus benar-benar terbuka satu sama lain dan memiliki keterampilan sosial yang tinggi untuk menghadapi konflik. Pada keluarga Irlandia menggunakan alkohol disertai dengan humor atau


(39)

candaan. Sedangkan pada keluarga Yahudi sering dianggap argumentatif karena nilai mereka yang tinggi pada analisis masalah dan mendiskusikan panjang lebar. Pada beberapa etnis dan “blue collar family”, cenderung agak tenang dan menghindari konflik yang berkaitan dengan faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan sosial (Noller & Fitzpatrick, 1993).

Keterbatasan referensi yang menjelaskan secara spesifik gaya pengelolaan konflik yang khas sesuai budaya Indonesia menyulitkan penulis untuk membuat paparan lebih rinci tentang pengelolaan konflik pada budaya Indonesia. Namun, di dalam buku psikologi lintas budaya terdapat penjelasan lebih umum yang membedakan budaya dalam kelompok besar yaitu budaya kolektivis dan individualis.

Indonesia adalah negara yang termasuk dalam budaya kolektivis. Dalam budaya kolektivis, mengetahui perasaan-perasaan yang dialaminya dirasa kurang penting sehingga yang lebih penting adalah mengetahui status atau afiliasi-afiliasinya terhadap lingkungan sekitar. Menurut Toomey (1988), pada kelompok kolektivistik, pemeliharaan keselarasan merupakan tujuan utama dari kelompok tersebut. Selain itu, dalam budaya kolektivis, perilaku dianggap paling kooperatif dalam situasi dilema kelompok tunggal tetapi kurang kooperatif dalam situasi dilema antar kelompok. Berbeda dengan individualis yang gaya pengelolaan konfliknya lebih mendominasi, pada budaya kolektivis, gaya pengelolaan konflik


(40)

yang muncul adalah obliging, avoiding, integrating, dan kompromi. Dalam budaya kolektivis juga lebih fokus pada penghindaran konflik dengan memelihara harmoni, menahan ekspresi emosi dan menghindari kehilangan muka (Dayakisni & Yuniadi, 2008).

B. Pernikahan Usia Muda

1. Pengertian Pernikahan Muda

Pernikahan usia muda terdiri dari dua kata yaitu pernikahan dan usia muda. Dalam arti yang luas, ada beberapa pengertian pernikahan yang dapat kita ketahui. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai sepasang suami dan istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Kartono (1992) lebih menjelaskan bahwa pernikahan adalah suatu proses dimana sepasang calon suami dan istri dipertemukan secara formal dihadapan kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin yang kemudian disahkan secara resmi sebagai suami istri dengan suatu upacara tertentu.

Horby (dalam Walgito, 2010) mengatakan bahwa “marriage: the

union of two persons as husband and wife”, yang berarti bahwa pernikahan adalah bersatunya dua orang manusia sebagai sepasang suami dan istri. Disamping itu Purwadarminta (dalam Walgito, 2010) mengatakan bahwa kawin adalah suatu perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami dan


(41)

istri. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu hubungan lahir dan batin diantara pria dan wanita yang disahkan menjadi sepasang suami dan istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Istilah usia muda pada penelitian ini dimaksudkan sebagai usia saat seseorang masih dalam rentang usia remaja. Masa remaja dipandang sebagai transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Hurlock membagi remaja menjadi dua golongan, yaitu remaja awal dengan rentang usia antara 13 – 17 tahun dan remaja akhir dengan usia rentang usia 17 – 21 tahun. Kemudian Gunarsa menyebutkan bahwa remaja di Indonesia berumur antara 12 – 22 tahun. Senada dengan Gunarsa, setelah meninjau berbagai literatur dari luar negeri, Surachmad membatasi rentang usia remaja menjadi 12 – 22 tahun (Mappiare, 1982). Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa rentang usia seseorang jika masih disebut remaja menunjukkan pada usia 12 – 22 tahun.

Setelah melihat uraian mengenai pengertian pernikahan serta rentang usia remaja, dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan usia muda adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita berusia kurang dari 22 tahun yang disahkan menjadi sepasang suami dan istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


(42)

2. Pernikahan Usia Muda dalam Tinjauan Psikologis

Dalam beberapa penelitian sebelumnya mengenai pernikahan pada usia muda atau pernikahan remaja, lebih mengarah kepada konsekuensi negatif dibandingkan dengan konsekuensi positif. Peneliti (Ababa, 2006; Dahl, 2010; Bayisenge) yang menganggap bahwa pernikahan usia muda lebih mengarahkan ke keadaan negatif memandang bahwa pernikahan usia muda akan lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan ataupun depresi. Pernikahan usia muda juga lebih akan mengalami perceraian, pembatasan pendidikan, mengalami kekerasan rumah tangga bahkan kemiskinan.

Tetapi ada juga peneliti (Boykin, 2004) yang memandang pernikahan usia muda dapat berjalan sukses jika pasangan dapat belajar bersama dalam kehidupan pernikahannya dan juga dapat mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman kepada pasangannya untuk membantu rumah tangganya agar berjalan lebih baik. Sedangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kesuksesan pernikahan adalah pasangan yang telah berpacaran kurang lebih satu tahun, telah lulus sekolah menengah atas dan tidak terjadi kehamilan sebelum menikah.

Pernikahan usia muda akan berdampak negatif jika mempunyai pendidikan yang rendah, adanya paksaan atau tekanan dari budaya setempat


(43)

untuk menikah, ketidakmatangan pasangan, serta kurangnya komunikasi antar pasangan.

3. Konsekuensi Pernikahan Muda

Pernikahan pada usia muda menyebabkan beberapa konsekuensi, baik konsekuensi positif maupun konsekuensi negatif.

a. Konsekuensi Positif

Menurut Soekata & Soenarja (1959), keuntungan menikah muda yaitu dapat mencegah pergaulan bebas dan anak-anak yang dilahirkan oleh ibu dan bapak yang masih muda dapat mengenal orangtuanya lebih baik. Sedangkan Rice (1993) mengatakan bahwa suami istri yang menikah muda lebih dapat meningkatkan kepribadiannya selama menikah dibandingkan dengan yang belum menikah. Jika pernikahan yang dilakukan dapat bertahan maka akan mengembangkan kematangan sosial. b. Konsekuensi Negatif

Selain adanya dampak positif dalam menikah muda, terdapat pula dampak negatif yang dihasilkan dari menikah muda. Beberapa dampak negatif yang dihasilkan dari menikah muda (Rice, 1993):

1) Kekhawatiran keuangan dalam rumah tangga.

Pasangan yang menikah muda biasanya memperoleh pendapatan yang belum sesuai dengan harapan yang ada. Dengan penghasilan yang belum memadai, seseorang yang menikah muda


(44)

biasanya mendapatkan bantuan dari orangtuanya untuk keperluan rumah tangga. Tidak hanya penghasilan yang kecil tetapi kurangnya pengalaman dalam mengelola keuangan dapat membuat masalah dalam keuangan rumah tangga karena biasanya remaja langsung dapat membeli sesuatu yang diinginkan dari orangtuanya.

2) Seseorang yang menikah muda memiliki pencapaian yang rendah dalam pendidikan.

Tidak hanya pencapaian yang rendah dalam pendidikan tetapi juga rendahnya keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Orang yang menikah muda terutama perempuan mempunyai sedikit kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.

3) Adanya resiko kesehatan jika hamil di usia muda.

Anak-anak yang lahir dari remaja perempuan lebih cenderung lahir prematur denga berat badan yang rendah dan fisik yang cacat. Selain itu, kematian pada bayi banyak ditemukan pada ibu-ibu muda. Tetapi hal tersebut tidak hanya bersangkutan dengan masalah umur, ada faktor dari ekonomi yang rendah serta perawatan kehamilan. 4) Pengambilan keputusan sering tidak matang dan mungkin bisa

disesali.

Pada usia yang relatif muda, kematangan untuk berpikir rasional masih terbatas, kematangan ini akan kalah dengan keadaan


(45)

emosi yang cenderung naik turun sehingga saat masalah muncul maka akan sulit mempertimbangkan berbagai kondisi (www.kompas.com).

C. Dinamika Pengelolaan Konflik pada Pernikahan Usia Muda

Penelitian mengenai pengelolaan konflik pada usia muda bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan konflik yang dilakukan pasangan-pasangan yang menikah pada usia yang tergolong muda saat terjadinya suatu konflik pada rumah tangganya. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan konflik pada rumah tangga pasangan muda.

Rumusan tujuan diatas dipilih dengan menimbang masih adanya pernikahan yang dilakukan pada usia muda. Sementara wacana yang lebih banyak dijumpai baik pada tataran akademis maupun populer, pernikahan usia muda tidak lagi dianggap ideal. Justru fenomena yang semakin lebih mudah dijumpai adalah penundaan usia pernikahan. Maka banyak studi yang justru menyoroti tentang konsekuensi-konsekuensi negatif pada pernikahan usia muda.

Pada penelitian sebelumnya, pernikahan usia muda lebih cenderung mempunyai dampak negatif dibandingkan dampak positif yang diperoleh. Para peneliti kebanyakan meneliti pernikahan usia muda berhubungan dengan kehamilan yang tidak diinginkan, tekanan dari budaya setempat ataupun orangtua dalam pengambilan keputusan untuk menikah muda. Pernikahan usia muda juga memicu terjadinya keributan ataupun percekcokan dalam rumah tangga.


(46)

Pasangan yang menikah muda memiliki potensi lebih besar untuk mengalami konflik. Untuk mengatasi ataupun mengelola konflik maka dibutuhkan suatu kematangan psikologis untuk mengintegrasikan antara emosi dan logika agar dapat memahami masalah dengan baik. Kematangan-kematangan seperti itu biasanya sulit dicapai pada saat individu remaja. Selain itu, adanya penelitian yang menyebutkan bahwa pasangan yang menikah muda lebih cenderung mengalami keributan ataupun pertengkaran, menegaskan bahwa pengelolaan konflik sangat penting dilakukan pada pasangan yang menikah muda. Oleh sebab itu, fokus penelitian yang akan dilaksanakan adalah pengelolaan konflik pada pasangan yang menikah muda.

Secara teoritis, pengelolaan konflik dipengaruhi oleh banyak hal, bisa oleh gaya pengelolaan konflik, latar belakang budaya, dan juga kematangan psikologis. Dalam pernikahan, kematangan psikologis berperan dalam diri individu agar mampu mengatasi dan menghadapi masalah keluarga dan mencari pemecahan masalahanya. Havigurst (dalam Mappiare, 1983) mengemukakan bahwa individu yang mempunyai emosi stabil akan dapat memecahkan berbagai persoalan yang ada pada dirinya. Seseorang yang mempunyai kematangan emosi lebih mampu mengelola perbedaan pada masing-masing pasangan sehingga dapat menjaga kelangsungan pernikahannya. Selain itu, pasangan yang mampu memahami sesuatu dengan didasari cara pandang yang luas cenderung lebih mampu menyelesaikan konflik yang dimilikinya. Kemampuan untuk memahami


(47)

masalah secara baik ditandai dengan adanya integrasi antara emosi dan logika (Kremer, 1989). Gaya dalam pengelolaan konflik juga mempengaruhi individu untuk menentukan bagaimana individu tersebut bertindak dalam mengatasi konflik yang ada. Dalam gaya pengelolaan konflik, ada dua dimensi utama yang digunakan individu untuk mengelola konflik, yaitu berpusat pada diri sendiri dan berpusat pada orang lain. Latar belakang budaya juga mempengaruhi seseorang dalam mengelola konflik. Pada beberapa budaya, konflik dihadapi dengan komunikasi yang terbuka atau mendiskusikan panjang lebar antar anggota keluarga, tetapi budaya lain lebih tenang dan menghindari konflik agar tercipta keadaan yang harmonis.

Menimbang paparan diatas, maka diasumsikan bahwa pengelolaan konflik pada pasangan yang menikah muda merupakan proses psikologis yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak hal seperti kematangan psikologis individu, gaya pengelolaan konflik serta latar belakang budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu. Oleh karena itu, pengelolaan konflik pada pasangan muda perlu untuk dieksplorasi secara mendalam.


(48)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena yang dialami manusia secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009). Penelitian kualitatif mendasarkan diri pada kekuatan narasi agar dapat mengungkap kompleksitas realitas sosial yang ditelitinya (Poerwandari, 2005).

Penelitian yang berjudul “Pengelolaan Konflik pada Pasangan Muda” ini

bersifat deskriptif karena tujuannya mendeskripsikan pengelolaan konflik yang dilakukan oleh pasangan yang menikah muda dalam rumah tangganya.

B. Fokus Penelitian

Ada dua fokus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Faktor penyebab timbulnya konflik dalam rumah tangga pada pasangan yang menikah muda (Apa sajakah faktor pemicu terjadinya konflik pada pasangan yang menikah muda?)


(49)

Penyebab konflik dalam rumah tangga menurut Manurung & Manurung (1995) diantaranya adalah:

a. Kurangnya saling pengertian diantara suami dan istri b. Adanya kecurigaan terhadap pasangan

c. Ketidakpuasan suami terhadap istri dan sebaliknya.

d. Ada camput tangan orang lain dalam rumah tangga pasangan.

2. Strategi atau cara pengelolaan konflik yang dilakukan oleh pasangan yang menikah muda (Bagaimana pasangan yang menikah muda mengelola konflik dalam rumah tangganya?)

C. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, jumlah subjek yang akan diteliti adalah 2 pasang suami istri yang melakukan pernikahan muda. Peneliti menggunakan prosedur pengambilan sampel dengan kriteria tertentu (criterion sample) sesuai dengan topik yang akan diteliti sehingga diperoleh kriteria sebagai berikut:

1. Subjek adalah orang yang melaksanakan pernikahan pada usia muda yaitu pada usia dibawah 23 tahun atau sama dengan 22 tahun.

2. Subjek mempunyai usia pernikahan dibawah 5 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Jacobson, Kephart, dan Monahan (dalam Ihromi, 1999), menunjukkan bahwa perceraian paling banyak terjadi pada kelompok usia pernikahan dibawah 5 tahun. Selain itu, sebuah penelitian


(50)

terbaru tentang masa pernikahan yang dilakukan oleh firma hukum Inggris terhadap 2000 orang yang menikah menunjukkan bahwa 5 tahun pertama pernikahan adalah waktu yang tersulit membangun kebahagiaan. (vivalife.com)

D. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Hal ini berguna untuk melakukan eksplorasi terhadap isu yang akan diteliti. Selain itu wawancara dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami oleh individu berkenaan dengan topik yang diteliti (Banister dkk, dalam Poerwandari 2005).

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan pedoman umum. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek, apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005). Peneliti juga dapat bersifat fleksibel dalam mengembangkan pertanyaan sesuai dengan respon yang diberikan subjek. Daftar pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti digunakan agar peneliti tetap fokus dengan tujuan penelitian. Panduan pertanyaan tersebut disusun sesuai dengan fokus penelitian dan bersifat terbuka agar tidak mengarahkan subjek pada jawaban tertentu.


(51)

Berikut ini adalah panduan wawancara yang digunakan dalam proses wawancara:

Tabel 1

Panduan Wawancara Tentang Pengelolaan Konflik pada Pasangan yang Menikah Muda

No Fokus Contoh Pertanyaan

1 Penyebab konflik rumah tangga Faktor-faktor seperti apakah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik pada rumah tangga anda selama ini?

2 Strategi pengelolaan konflik Saat terjadi konflik, bagaimana anda mengatasinya atau bagaimana cara yang anda lakukan untuk mengatasi konflik pada rumah tangga anda? Pada proses wawancara dalam penelitian ini, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui:

1. Mencari subjek yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian serta sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

2. Peneliti membangun hubungan baik (rapport) pada subjek penelitian. Dalam hal ini, peneliti dapat menjelaskan tujuan penelitian dan memastikan bahwa subjek bersedia menjadi subjek penelitian.

3. Menyusun panduan atau pertanyaan wawancara yang bersifat semi terstruktur. 4. Menyusun jadwal wawancara dengan subjek penelitian.


(52)

5. Melakukan proses wawancara.

Data wawancara akan direkam menggunakan handphone kemudian hasil wawancara akan disalin dalam bentuk verbatim berupa transkrip.

E. Prosedur Analisis Data

Penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan yang absolut untuk mengolah dan menganalisis data. Dalam analisis data pada penelitian kualitatif, peneliti wajib memonitor dan melaporkan proses dan prosedur analisisnya secara jujur dan lengkap (Paton dalam Poerwandari, 2005).

Langkah-langkah analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai berikut:

1. Organisasi Data

Analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data. Data mentah yang diperoleh dari hasil rekaman diubah menjadi bentuk transkrip verbatim. Mentranskripkan wawancara sebaiknya dilakukan setelah wawancara selesai untuk menjaga keaslian data sesuai dengan kondisi yang ada pada diri subjek saat proses wawancara.

2. Pengkodean

Setelah melakukan transkrip verbatim, peneliti secara urut melakukan penomoran pada baris-baris transkrip tersebut. Kemudian peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Peneliti harus memberikan kode yang mudah diingat. Kegunaan dari koding


(53)

dimaksudkan untuk mengorganisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

3. Interpretasi

Setelah pengkodean selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis dengan mencari pola atau tema dari data yang tersedia. Jika tema telah ditemukan, peneliti akan mengklasifikasikan tema tersebut dengan memberi label, definisi ataupun deskripsi. Dalam proses ini, akan menghasilkan daftar tema. Sedangkan kegunaan tema adalah dapat mendeskripsikan fenomena yang muncul dari hasil penelitian.

4. Rangkuman Hasil Penelitian

Jika peneliti telah selesai melakukan analisis tema (menemukan tema-tema) maka peneliti dapat mendeskripsikan tema-tema tersebut. Kemudian peneliti dapat membuat rangkuman secara keseluruhan berupa hasil tabel.

F. Kredibilitas dan Reliabilitas

1. Kredibilitas

Pada penelitian kualitatif, istilah kredibilitas dipilih untuk mengganti konsep validitas yang ada pada penelitian kuantitatif. Kredibilitas pada penelitian kualitatif dilihat dari keberhasilannya dalam mencapai maksud dari eksplorasi masalah ataupun deskripsi setting, proses, kelompok sosial atau


(54)

interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005). Kredibilitas dalam penelitian ini dicapai dengan cara:

a. Mengonfirmasikan kembali hasil wawancara dengan analisisnya kepada subjek penelitian (validitas komunikatif). Subjek diminta membaca kembali hasil wawancara serta mengkoreksi jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh subjek.

b. Membuktikan hasil dan kesimpulan penelitian dengan data mentah yang telah ada (validitas argumentatif). Validitas ini dapat juga dilihat dari ketelitian peneliti selama berlangsungnya proses koding.

c. Melakukan pengambilan data pada kondisi apa adanya dari subjek penelitian (validitas ekologis)

Selain itu, sebelum melakukan wawancara, peneliti mendiskusikan panduan wawancara dengan dosen pembimbing terkait dengan pertanyaaan yang akan ditanyakan pada subjek penelitian. Peneliti juga mendiskusikan data yang diperoleh dengan dosen pembimbing sehingga dosen pembimbing dapat memberikan perbaikan ataupun tambahan pertanyaan untuk lebih menggali informasi dari subjek.

2. Reliabilitas

Reliabilitas pada penelitian kualitatif dapat diperoleh dengan cara diskursus (Poerwandari, 2005) yaitu peneliti mendiskusikan hasil temuan


(55)

penelitian serta analisisnya dengan orang yang ahli. Orang yang ahli dalam penelitian ini adalah dengan dosen pembimbing.


(56)

39

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan beberapa langkah persiapan. Proses persiapan yang dilakukan peneliti adalah:

a. Peneliti mencari subjek yang menikah pada saat usia muda sesuai dengan topik penelitian. Peneliti mendapatkan informasi tentang orang yang menikah muda dengan bantuan teman. Peneliti melakukan rapport pada subjek dengan cara berkomunikasi secara langsung ataupun berkomunikasi melalui handphone.

b. Peneliti memastikan kepada subjek bahwa subjek menikah saat usia masih muda. Setelah itu, peneliti meminta kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

c. Setelah subjek bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian, peneliti meminta subjek untuk membaca surat persetujuan untuk terlibat dan meminta tanda tangan. Selain itu, peneliti juga mengatakan kepada subjek bahwa peneliti menjamin kerahasiaan semua data yang diberikan oleh subjek dan hanya akan dipergunakan untuk kepentingan penelitian.


(57)

d. Peneliti mempersiapkan handphone sebagai alat untuk merekam setiap sesi hasil wawancara yang akan dilakukan. Peneliti juga mempersiapkan cadangan alat perekam lainnya untuk mengatasi tidak berfungsinya alat perekam utama.

e. Setelah itu, peneliti membuat janji kepada subjek untuk melakukan wawancara.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian melewati beberapa tahap mulai dari meminta persetujuan wawancara, pelaksanaan, dan menunjukkan hasil verbatim kepada subjek untuk mendapatkan keterangan keabsahan hasil wawancara. Berikut ini akan dijabarkan secara urut tentang tahapan pelaksanaan penelitian:

a. Peneliti melakukan wawancara dengan kedua pasang subjek dengan jadwal yang sudah disetujui sebelumnya. Untuk membantu proses wawancara, peneliti menggunakan panduan wawancara yang sudah disusun sebelumnya.

b. Sesi wawancara setiap subjek berbeda sesuai dengan ketersediaan waktu dari setiap subjek. Pemilihan tempat wawancara disesuaikan dengan kesepakatan bersama subjek.

c. Peneliti bertemu dengan subjek untuk menunjukkan hasil verbatim wawancara dan memastikan apakah hasil wawancara sudah sesuai dengan keadaan yang dialami subjek.


(58)

3. Proses Analisis Data

Proses analisis data meliputi pengorganisasian data, pengkodean, interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci tentang proses analisis data yang sudah dilakukan dalam penelitian ini: a. Setelah proses wawancara untuk masing-masing subjek telah selesai,

peneliti melakukan organisasi data yaitu memindahkan hasil rekaman dari handphone ke dalam bentuk tulisan dan menghasilkan transkrip verbatim. b. Transkrip verbatim dibuat dalam bentuk tabel yang terdiri dari 4 kolom.

Kolom pertama berisi penomoran untuk setiap baris kalimat pertanyaan dan jawaban, kolom kedua berisi verbatim hasil wawancara, kolom ketiga berisi koding awal, kolom keempat berisi analisis tema-tema yang muncul dari hasil wawancara.

c. Peneliti membaca hasil transkrip verbatim dari masing-masing subjek. Kemudian peneliti melakukan proses pengkodean pada kalimat atau kata-kata subjek yang sesuai dengan fokus penelitian. Kalimat atau kata-kata-kata-kata subjek yang mengarah pada fokus penelitian kemudian dituliskan kembali secara ringkas tanpa mengubah inti kalimat yang disampaikan subjek kedalam kolom koding awal.

d. Setelah itu, peneliti mencoba membuat analisis dari hasil koding untuk menemukan kemungkinan tema-tema yang muncul.


(59)

4. Jadwal Pengambilan Data

Berikut adalah jadwal wawancara dengan kedua pasang subjek penelitian:

Tabel 2

Jadwal wawancara dengan Subjek I, suami (BA)

Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan

Selasa, 29 Januari 2013

12.00 WIB Rumah subjek

Memastikan subjek untuk ikut dalam penelitian, meminta tanda tangan persetujuan wawancara, melakukan rapport.

Kamis, 31 Januari 2013

10.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian

Minggu, 10 Maret 2013

10.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian untuk

melengkapi data


(60)

Tabel 3

Jadwal wawancara dengan Subjek I, istri (AB)

Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan

Selasa, 29 Januari 2013

12.00 WIB Rumah subjek

Memastikan subjek untuk ikut dalam penelitian, meminta tanda tangan persetujuan wawancara, melakukan rapport.

Kamis, 31 Januari 2013

11.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian

Kamis, 7 Februari 2013

11.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian untuk

melengkapi data

wawancara sebelumnya. Minggu, 10 Maret

2013

11.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian untuk

melengkapi data


(61)

Tabel 4

Jadwal wawancara dengan subjek II, suami (GR)

Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan Jumat, 19 April

2013

15.00 WIB Rumah subjek

Memastikan keikut sertaan subjek dalam penelitian, membina rapport dengan

subjek, meminta

persetujuan subjek untuk menandatangani surat persetujuan wawancara Rabu, 24 April

2013

14.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan kepada subjek tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian

Tabel 5

Jadwal wawancara dengan subjek II, istri (WH)

Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan

Jumat, 19 April 2013

15.00 WIB Rumah subjek

Memastikan kembali subjek untuk mengikuti penelitian, membina


(62)

rapport, meminta tanda tangan untuk persetujuan wawancara

Rabu, 24 April 2013

13.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian

Minggu, 26 Mei 2013

13.00 WIB Rumah subjek

Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian dan juga melengkapi wawancara sebelumnya.

B. Profil Subjek

1. Subjek 1, suami (BA)

Subjek 1 dalam penelitian ini adalah seorang suami yang berinisial BA. Laki-laki berbadan kurus tinggi ini adalah lulusan sebuah SMK di Yogyakarta dan sekarang bekerja pada salah satu tempat di daerah Sleman. Subjek menikah di usia 20 tahun. Sampai pada tahun 2013, usia pernikahannya memasuki tahun ketiga. Saat ini, BA mempunyai anak perempuan yang berusia satu tahun. Alasan BA menikah karena subjek merasa yakin bahwa istrinya dapat memahami wataknya dan menerima dia apa adanya. Pada saat menikah, subjek merasa tidak terlalu muda dan dia juga


(63)

telah mempertimbangkan resiko-resiko yang akan terjadi dalam rumah tangganya. Sebelum menikah, subjek sering pergi dan berkumpul dengan teman-temannya tetapi setelah menikah, ia tidak leluasa pergi tanpa ijin dari istrinya dan berusaha menempatkan posisinya sebagai orang yang telah menikah. Setelah menikah, hubungan dengan tetangga sekitar meningkat karena subjek lebih sering mengikuti acara di kampung dibandingkan dengan sebelum menikah. Selama berumah tangga, subjek dan istri bertempat tinggal di rumah orang tua subjek walaupun terkadang berada di rumah orang tua istrinya.

2. Subjek 1, istri (AB)

Subjek adalah istri dari pasangan BA. Awal mula perkenalan subjek dengan suami karena mereka dikenalkan oleh seorang teman. Subjek yang mempunyai postur tubuh gemuk ini memiliki pendidikan terakhir SMK di Yogyakarta. Ia menikah pada saat dirinya berusia kurang lebih 20 tahun. Saat ini kegiatan subjek adalah mengasuh anak di rumah dan mengurus keperluan suami. Subjek merasa masih muda saat ia melangsungkan pernikahan. Alasan subjek untuk menikah karena saat itu ia sudah bekerja dan juga ia tidak melanjutkan studinya di bangku kuliah karena keadaan ekonomi orangtuanya. Tetapi ia mempunyai keinginan untuk kuliah lagi jika ada biaya dan waktu yang sesuai dengan keadaannya sekarang. Alasan lainnya adalah subjek merasa nyaman dengan suaminya karena adanya kecocokan antara dirinya


(64)

dan suaminya yang sesuai dengan pengharapan subjek saat itu. Setelah menikah, intensitas bertemu dengan teman-temannya berkurang tetapi hal tersebut tidak mengganggu hubungan pertemannya karena subjek masih menghubungi mereka melalui telepon ataupun pesan singkat. Hubungan dengan tetangga subjek mengalami peningkatan setelah menikah. Sebelum menikah, subjek tidak pernah ikut arisan atau pengajian di kampungnya, tetapi setelah menikah ia aktif mengikutinya.

3. Subjek 2, suami (GR)

Subjek 2 mempunyai inisial nama GR. Ia bekerja dengan sistem shift. Kadang-kadang pekerjaannya mengharuskan dia meninggalkan istri dan anak di saat malam hari. Subjek menikah pada saat dirinya berusia 21 tahun. Dia memutuskan untuk melamar istrinya setelah kedua orangtua subjek memberikan saran kepada subjek. Selain itu, alasan ia menikah karena sudah bekerja dan tidak melanjutkan studi lagi. Selama berumah tangga, subjek dan istrinya tinggal terpisah dari orangtua.

4. Subjek 2, istri (WH)

Awal mula perkenalan WH dengan suami yaitu dari sms. Pertama kali ia tidak menanggapi sms dari GR tetapi lama kelamaan, subjek akhirnya membalasnya. Dalam keluarganya, subjek adalah anak tunggal yang jarang melakukan pekerjaan rumah tangga karena yang mengerjakan semua pekerjaan adalah ibu subjek. Saat menikah, subjek berusaha melakukan


(65)

pekerjaan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Alasan subjek menikah pada saat usia 19 tahun karena ia merasa sudah cukup umur, sudah bekerja dan tidak kuliah. Selain itu, subjek juga merasa tidak enak terhadap orang tua GR kalau tidak menerima lamaran dari GR. Setelah menikah, subjek jarang berkumpul dengan teman-temannya karena kesibukannya mengurus anak dan suami. Namun dalam pergaulan dengan tetangga sekitar mengalami peningkatan. Subjek biasa berkumpul dengan ibu-ibu sekitar rumah saat mengasuh anaknya.


(66)

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian

Tabel 6

Sejarah Pernikahan

Tema Penelitian Pasangan Subjek 1 Pasangan Subjek 2 Bekerja dan

tidak

melanjutkan pendidikan menjadi alasan untuk menikah

Saat menikah merasa masih terlalu muda tetapi mau gimana lagi, dulu pengennya kuliah, gara-gara gak bisa kuliah, ada dendam di hati, istilahnya kagol. Kalau gak bisa kuliah ya apalagi kalau gak nikah, akhirnya menikah deh”. (AB, no. 57-64)

Aku pikir, mending cepetan nikah saja, mau nunggu apalagi, dia juga sudah kerja kok. (GR, np. 45-48)

Aku kan gak kuliah, mau nunggu apalagi. Gak ada yang perlu ditunggu, gak nunggu lulus kuliah atau apa. Sama-sama sudah kerja. (WH, no. 53-57) Dorongan dari

orangtua merupakan alasan untuk menikah

Yang nyuruh orang tua. Orang tuanya dia nyuruh cepet-cepet menikah. Kalau akunya ya ga k enak sama mereka. (WH, no. 29-33)

Tapi orangtuaku bilang kenapa lama-lama pacaran, sekarang lamaran aja. Dari situ aku langsung telpon WH kalau mau melamar dia. (GR, no. 60-65)

Rasa nyaman Aku yakin sama AB karena AB yang bisa mengerti watak


(67)

terhadap pasangan

menjadi alasan untuk menikah

aku dan AB yang bisa menerima apa a ku apa adanya. (BA, no.30-33)

Kalau ngomong nyambung, suka sama cowok yang ngomongnya nyambung dan jarang ngomong, suami jarang ngomong. Terus seneng sama cowok yang sukanya marah-marah karena perhatian. (AB, no. 50-56)

Tabel 7

Konflik dalam Pernikahan

Tema penelitian Pasangan subjek 1 Pasangan subjek 2 Mendiskusikan

penyebab pertengkaran setelah masalah dianggap selesai dapat

menyebabkan pertengkaran

“He’em, nanti nek didiskusiin lagi malah diungkit-ungkit, bertengkar lagi. (AB, no. 352-354)

Gak mengungkit-ungkit lagi, soalnya kalau diungkit-ungkit gitu, pasti lagi. (BA, no. 297-299).

Gak pernah. Nanti dia marah-marah lagi. Buat apa didiskusikan, soalnya nanti malah bikin WH ma rah lagi. Didiamkan saja. Dulu pernah didiskusikan tapi malah marah-marah. (GR, no. 222-228).


(68)

yang kurang antar pasangan sebagai pemicu konflik

misalnya aku kadang ngasih informasi, trus aku ga k, telat-telat ngasih informasi kan jadi pikiran to. (BA, no. 242-246)

Aku sama AB tu yaitu paling komunikasi. Komunikasinya apa ya. Aku sering komuniksi trus aku tahu-tahu gak berkomunikasi, gitu aja. (BA, no. 261-267)

Perbedaan pengasuhan anak dapat menyebabkan konflik dalam rumah tangga.

“Misale mengurus anak, aku

sering bertengka r ka rena mengurus Aku mau kesana, mau kesana, gak boleh po, gak boleh gini, gak boleh ba wa ini, dia ngomonge gitu trus aku nganu, opo nglawan trus

bertengkar…” (AB, no.298 -313)

“Masalah anak mungkin.

Kalau aku sudah pulang kerja, biasanya si RZ (anak) langsung dikasih ke aku. Padahal aku itu capek banget. Apalagi kalau pas dapat shift malam. Pengennya itu istirahat, tapi malah dilimpahin anak”. (GR,no. 354-365)

Katanya dia juga capek ngurus RZ. (GR, no. 369-370)

Teman sebaya menjadi pemicu konflik

“Kalau di luar paling ya

kumpul sama teman-teman. Tapi ya dengan posisiku. AB pasti a wal-a walnya ma rah kalau aku pamitin tapi kalau

Misalnya saja temennya ada yang punya barang baru, dia juga kepengen. Kaya ikut-ikutan. Ada satu barang yang lagi populer di


(69)

aku sudah pulang, dia biasa

lagi”. (BA, no 189-194).

“Kalau yang sms teman laki -lakinya, pasti membahas yang aneh-aneh, itu yang bikin

jengkel”. (AB, no. 627-630).

temen-temennya, dia juga ikutan beli. Kebutuhan anak malah jarang dipikirkan. (GR, no. 386-393)

Rasanya jengkel aja. Sudah punya anak kok tidak mikir anaknya. Resiko nikah masih muda ya begitu. Masih kepengen senang-senang dulu dibandingin keluarga, masih ikut-ikutan teman

(….)Kalau dikasih tahu, dia biasanya ngeyel terus marah-marah.”(GR, no.404 -422)

Kurangnya perhatian dari pasangan

sebagai pemicu konflik

“Ada lagi sih, kadang -kadang aku suka jengkel kalau WH pergi itu masih memikirkan diri sendiri. WH masih pengen maen-maen. Lupa mungkin kalau dia

sudah punya anak.” (GR, no

376-381)

Katanya aku lebih mementingkan mereka daripada dia, padahal sebelumnya gak apa-apa itu, aku juga sudah minta ijin


(70)

sama dia dan katanya dibolehin, gak apa-apa tapi kenyataannya ma rah-marah. (GR, no. 429-436) Kecemburuan

dari pasangan sebagai pemicu pertengkaran

“Ada, istri cemburuan.

Contohnya saja, kalau cerita sama dia menyangkut teman kerja cewek, pasti dia langsung marah-marah.” (BA, no. 450-453).

Awal mulane emang anu apa, banyak pertengkaran, yo biasalah cemburu. (AB, no. 89-91).

Selain itu, awal-a wal nikah dulu, ada mantannya suami yang coba sms suami saya. Dia ngakunya mau ngundang reuni, tapi ternyata itu hanya akal-akalan dia saja, jelas aku marah-marah karena gak terima. (AB, no. 637-644)

“Aku sama WH paling

cemburu saja. Dari dulu

biasanya cemburu”. (GR,

no.168-170)

“Kalau aku sendiri, karena

salah paham, cemburu. Salah paham kalau sering ada cewek yang sms. Cuma itu sih, masalah sepele, gara-gara ada cewek yang sms. Temen dia banya k, cewek-cewek banyak yang sms. Kalau aku kan gak punya teman cowok. Temenku

cewek semua”.(WH, no. 145 -154)

Mengalah terhadap

pasangan adalah salah satu cara menyelesaikan pertengkaran

“Aku sebagai kepala rumah

tangga, harus mengalah. Harus mengalah juga to, meskipun aku benar, a ku harus mengerti istri aku, soalnya aku

kepala rumah tangga”. (BA,

Kalau dari dia biasanya langsung marah-marah sama aku. Kalau aku, ngalah saja. (GR, no. 196-198)

Aku dulu. Aku mencoba yang mengalah. Sebagai


(71)

no. 370-375)

“Soal’e nek aku bertengkar tu

biasane aku yang diem, aku yang ngalah, agak ngalah (…..). Cuma aku nek misale pas bertengkar yo kadang kan ada perbedaan pendapat, aku gini, dia gini, trus aku menyikapine ya aku ngalah lah. Wis diem wae, ntar dia juga sadar sendiri. Yo wis

gitu”. (AB, no. 272-283)

seorang suami, dan WH yang keras kepala, aku ngalah. (GR, no. 263-266)

“Aku saja yang mengalah,

WH itu gak pernah mau mengalah. Jadi selama ini, aku yang mengalah,

mengajak baikan dulu”. (GR,

no. 345-349)

Suami aku, karena dia tidak betah lama-lama bertengkar dengan aku. Kalau dari aku, aku tidak mau memulai untuk berbaikan. Kalau aku betah lama bertengka r. (WH, no. 246-251)

Yang mengajak berbaikan itu suami. Kalau dari aku itu cuek. Sorry aja buat ngajak berbaikan, gak mau. (WH, no. 285-289)

“Misal aku yang salah atau

dia yang salah, tetap tidak mau memulai baikan, biar suami saja yang mulai. Sudah kebiasaan seperti itu dari dulu, dari pacaran. Untungnya suamiku tidak


(72)

betah lama bertengkar”.

(WH, no. 304-311) Melibatkan

orang lain digunakan untuk

menyelesaikan pertengkaran

Paling ya sama apa, sama orangtua aja lah supaya gak tahu to, malu kalau sama orang lain. (BA, no. 381-383)

“Kalau itu perma salahannya gak selesai, ya udah, kalau orangtua tahu, kalau maju ya udah lah gak apa-apa”. (BA, no. 414-418)

“Sama ibu, yo kadang nek ibu

kan biasanya ngomong sama bapak. Ngomong sama bapak, trus nanti bapa k kan ngasih

nasehat sama aku”. (AB, no. 422-426)

“Kalau dulu hanya sama orangtuaku saja”. (GR, no.

272-273)

Menghindar dari pasangan atau masalah digunakan untuk meredakan masalah dalam rumah tangga

“Kalau suamiku tu gini, nek

lagi bertengkar, dia trus

pergi.” (AB, no. 483-485)

“Diem-dieman, gak mau menyapa, gak mau dekat-dekat. Namanya juga baru

marahan”. (WH, no. 157-159)

Menuruti kemauan

pasangan adalah

Ya kita bicaranya mau gimana, aku turutin, aku nurutin AB. (BA, no.

428-“ibu mau apa, nanti ayah

beliin deh. Kalau kaya k gitu,


(73)

salah satu cara untuk

menyelesaikan pertengkaran

430).

“dia kemauannya apa. Misalnya minta apa ya, misal minta cium ya tak kasih cium. Asal dia baikan lagi. Menuruti

kemauannya lah”. (BA, no.

443-447)

no. 308-311)

Membicarakan berdua dengan pasangan

sebagai salah satu cara menyelesaikan konflik

Rencananya kita mau membicarakan

permasalahannya. Misalkan kita, aku ajak AB kemana, misal ke kafe atau kemana, itu aja to. (BA, no. 407-411)

Ngomong baik-baik, trus udah baik lagi. (AB, no. 502-503)

“Cara yang efektif, ngomong

baik-baik, bicara dari hati ke

hati, bicara berdua.” (AB, no.

519-601) Saling

memahami atau pengertian antara pasangan digunakan untuk meredakan konflik

Ho’o, yo aku mengerti dia, dia

yo mengerti aku. (AB, no. 113-114)

(....) knapa to kok kayak gini, kok bisa ka yak gini. Trus yo istilahe curhat lah. Aku kayak gini, aku ngene-ngene, kayak

gitu.” (AB, no. 603-607)

“Saling mengerti dan saling

tidak egois kedua-duanya.” (GR, no. 341-342)


(74)

“Ya aku memahami, kalau aku salah, aku juga minta maaf.”

(BA, no. 272-273) Mengajak

bercanda dan merayu antar pasangan digunakan untuk menyelesaikan pertengkaran Pandang-pandangan. Hahaha (AB, no. 337)

Aku biasanya langsung ngerayu-ngerayu WH. (GR, no. 302-304)

Kalau gak kayak gitu, ya aku goda-godain aja, aku ajak bercanda. Soalnya aku itu gak betah lama-lama untuk bertengkar. Repot kalau pas bertengkar sama WH. (GR, no.311-316)

Caranya dengan dira yu-rayu atau diajak bercanda. Itu yang efektif. (GR, no. 349-351)

Sikap biasa seperti tidak bertengkar digunakan agar masalah tidak membesar

“Ya kita emang biasa aja, (...) Tetep biasa meskipun dia itu marah. Kalau aku terus pas posisi marah, trus aku nyapa AB trus marah-marah, nanti ngelunjak to kemarahannya. Mending aku seperti biasa aja, meskipun dianya dongkol, aku sapa baik-baik saja”. (BA, no. 302-311)


(75)

D. Deskripsi Tema

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan pada kedua pasang subjek penelitian, sehingga diperoleh rumusan tema mengenai penyebab terjadinya konflik serta cara mengelola konflik pada rumah tangga pasangan yang menikah muda.

1. Penyebab Terjadinya Konflik.

Analisis data yang dilakukan pada keseluruhan subjek menemukan bahwa ada enam penyebab terjadinya konflik atau pertengkaran dalam rumah tangga kedua pasangan yang menikah muda. Keenam penyebab itu adalah: a. Mendiskusikan kembali penyebab pertengkaran ketika masalah dianggap

telah selesai dapat menyebabkan pertengkaran.

Kedua pasang subjek penelitian mengemukakan bahwa mendiskusikan penyebab pertengkaran yang dianggap selesai dapat menyebabkan mereka mengalami pertengkaran lagi dengan pasangannya. Oleh karena itu, mereka tidak akan membicarakan lagi penyebab terjadinya pertengkaran untuk menghindari terjadinya masalah atau konflik. Pernyataan tersebut terungkap dalam wawancara dengan subjek AB maupun subjek GR (AB, no. 352-354 dan GR, no 222-228).

b. Komunikasi yang kurang antar pasangan sebagai pemicu konflik.

Komunikasi dinilai sebagai salah satu penyebab terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga. Hal ini terjadi pada salah satu pasang


(76)

subjek penelitian. Pada subjek 1 (BA, no. 242-246) mengatakan bahwa jika ia terlambat memberikan kabar pada pasangan saat ia berada di luar rumah dapat mengakibatkan mereka bertengkar..

c. Pengasuhan anak dapat menyebabkan konflik dalam rumah tangga.

Kedua pasang subjek menyatakan bahwa pengasuhan anak dapat mengakibatkan pertengkaran dengan pasangan masing-masing. Pada subjek 1, cara mengurus anak dapat menjadikan mereka mengalami konflik (AB, no. 298-313). Sedangkan pada subjek 2, pembagian tugas pengasuhan anak sebagai pemicu konflik rumah tangganya (GR, no.354-365).

d. Teman sebaya menjadi pemicu konflik

Yang dimaksud teman sebaya disini adalah teman bermain subjek saat mereka belum menikah. Kedua pasang subjek mengatakan bahwa hubungan pertemanan pasangan dapat mengakibatkan konflik dalam rumah tangganya. Pada pernyataan subjek 2 (GR, no. 404-422), pasangan yang masih terpengaruh teman untuk bermain-main dapat menyebabkan pertengkaran. Hal ini didukung oleh pasangan subjek 1 yang mengatakan hal serupa (AB, no. 627-630).

e. Kurangnya perhatian dari pasangan sebagai pemicu konflik

Pasangan yang masih memikirkan kepentingannya sendiri dibandingkan dengan kepentingan rumah tangga menyebabkan konflik


(77)

pada rumah tangganya. Hal ini dialami oleh pasangan subjek 2 (GR, no. 376-381). Kurangnya perhatian juga dirasakan saat pasangan dianggap lebih mementingkan keluarganya dibanding dengan pasangannya sendiri (GR, no. 429-436)

f. Kecemburuan dari pasangan sebagai pemicu pertengkaran

Kedua pasang subjek penelitian mengatakan bahwa kecemburuan dari pasangan sebagai pemicu terjadinya konflik. Kecemburuan subjek biasa terjadi saat pasangan membicarakan ataupun bergaul dengan teman lawan jenisnya. Hal ini didukung oleh pernyataan subjek 1 dan subjek 2 (BA, no. 450-453 dan WH, no. 145-154).

2. Cara Pengelolaan Konflik.

Dalam mengelola konflik rumah tangga, kedua pasang subjek penelitian melakukan beberapa cara agar konflik rumah tangga dapat mereda dan dapat terselesaikan. Beberapa cara tersebut adalah:

a. Mengalah pada pasangan adalah salah satu cara untuk menyelesaikan konflik.

Mengalah merupakan cara untuk mengelola konflik rumah tangga yang dilakukan oleh kedua pasang subjek penelitian. Pada penelitian ini, kedua pasang subjek menyatakan bahwa salah satu pasangan harus lebih mengalah terhadap pasangannya, hal ini terdapat pada isi wawancara pada salah satu subjek penelitian (GR, no. 345-349). Mengalah juga dilakukan


(1)

140

LAMPIRAN 11

Surat Pernyataan Persetujuan

Wawancara Subjek 1 (AB)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

142

LAMPIRAN 12

Surat Pernyataan Persetujuan

Wawancara Subjek 2 (GR)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

143

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

144

LAMPIRAN 13

Surat Pernyataan Persetujuan

Wawancara Subjek 2 (WH)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

145

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI