Pola pengelolaan usaha komunitas musik ``Indie`` : studi kasus Monophone Band, Apolli-10 Band, Captain OI Band, Flower Market Band, Yogyakarta - USD Repository

  

POLA PENGELOLAAN USAHA KOMUNITAS MUSIK

“INDIE”

(Studi Kasus: Monophone Band, Apollo-10 Band, Captain OI Band, Flower

Market Band, Yogyakarta)

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Pendidikan Ekonomi

  

DI SUSUN OLEH :

EDY SISWANTO

NIM : 011324008

  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

  Yogyakarta, 27 Mei 2008 Penulis

  (Edi Siswanto)

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Edi Siswanto Nomor Mahasiswa : 011324008

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

Pola Pengelolaan Usaha Komunitas Musik “Indie”…………………………….

  

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 27 Mei 2008 Yang menyatakan (Edi Siswanto)

  

“… Rawe-rawe Rant as M alang-malang

Putung… ”

( Berjuanglah sampai titik darah terakhir demi cita-cita,

  Bung Tomo 1945 )

   Buah karya ini kupersembahkan untuk : Bapa Jesus Kristus dan Bunda Maria

Yang Tercinta Almarhum Ayahanda

Ibunda Yang Kukasihi……

  

ABSTRAK

POLA PENGELOLAAN USAHA KOMUNITAS MUSIK “INDIE”

(Studi Kasus: Monophone Band, Apollo-10 Band, Captain OI Band, Flower

Market Band, Yogyakarta)

  

Edi Siswanto

011324008

Universitas Sanata Dharma

2008

  Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola pengelolaan usaha yang dilakukan oleh komunitas musik indie, yaitu mencakup aspek produksi, pemasaran, keuangan, dan aspek personalia.

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif yang dilaksanakan pada Monophone Band, Apollo-10 Band, Flower Market Band, dan Captain OI Band pada bulan September 2007. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh grup band indie yang ada di Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 4 grup band, diambil menggunakan purposive sampling, yakni berdasarkan album musik rekaman yang sudah dimiliki. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan analisa data kualitatif.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Pola pengelolaan produksi yang dilaksanakan hanya bersifat insidental, tanpa ada perencanaan yang lebih matang.

  2. Pola pengelolaan pemasaran selain dominan melalui konser panggung (live performance) juga melalui berbagai media seperti surat kabar, internet, televisi dan radio lokal.

3. Pola pengelolaan keuangan yang dilaksanakan masih minimalis, yakni tidak dimilikinya modal tetap usaha maupun besarnya pendapatan yang akan diraih.

  Sehingga baik biaya maupun besaran dana yang dikeluarkan untuk kesejahteraan anggota memiliki besaran yang tidak pasti.

  4. Pola pengelolaan personalia didominasi oleh keberadaan manajer band yang memiliki tanggung jawab penuh atas kegiatan produksi, pemasaran, keuangan, ataupun personalia dan didukung oleh pihak-pihak lain sebagai anggota.

  

ABSTRACT

THE PATTERN OF MANAGEMENT OF “INDIE” MUSIC COMMUNITY

(A Case Study of: Monophone Band, Apollo-0 Band, Flower Market Band,

Captain OI Band, Yogyakarta)

  

Edi Siswanto

011324008

Sanata Dharma University

Yogyakarta

  

2008

  The research aims to describe the pattern of the management of indie music community, which includes four aspects like production, marketing, finances, and personnel.

  The research is an Explorative Description research conducted at Monophone Band, Apollo-10 Band, Captain OI Band, and Flower Market Band in September 2007. The populations of this research were 4 group bands required by

  

purposive sampling , based on indicator like album music record. The techniques

  of data analysis were interview, observation, and documentation. Data analysis method used in this research was qualitative data analysis.

  The result of this research shows that: 1. The pattern of production management which is done is just accidental, without well plan management.

  2. The pattern of marketing, besides the dominant factor, namely life performance, done by some means of media like newspaper, internet, TV and local radio.

  3. The pattern of financial management is very simple. There is no fixed capital and no good management in managing the future income so the cost of production and the wages of the personnel are not certain.

  4. The pattern of personnel management is dominated by the manager of the band group who is responsible for the activity of production, marketing, finance as well as the personnel and other members.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur pada Tuhan atas kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul” Pola Pengelolaan Usaha Komunitas Musik Indie” dengan baik.

  Banyak kesulitan dan hambatan yang penulis alami selama proses penyusunan skripsi ini. Namun atas dukungan berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini penulis dengan tulus hati mengucapkan banyak terima kasih kepada:

  1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

  2. Bapak Y. Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial, Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Koperasi Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen pembimbing I yang senantiasa dengan penuh kerelaan, kesabaran dan ketekunan membimbing serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  3. Bapak Indra Darmawan, S.E.,M.Si., selaku Dosen pembimbing II yang senantiasa dengan penuh kerelaan, kesabaran, dan ketekunan membimbing serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  4. Bapak Y.M. Vianey Mudayen, S.Pd yang telah memberikan masukan demi kelancaran penulisan skripsi ini.

  5. Almarhum ayahandaku tercinta yang walaupun tidak sempat melihat keberhasilanku dalam menyelesaikan studi, pada akhirnya aku mampu meneruskan cita-cita untuk meraih gelar sarjana.

  6. Ibuku tercinta yang kini menjanda tetap memberikan cinta, semangat dan motivasi agar aku bisa tetap survive dalam meraih cita-citaku.

  7. Kedua kakakku yang dengan penuh pengertian memberikan perhatian dan pengorbanan baik materi ataupun psikologis dengan harapan agar aku pantang menyerah.

  8. Bapak Heri Antono selaku dosen Prodi Sastra Indonsia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma yang telah begitu besar memberikan dorongan dan motivasi baik materiil dan spiritual. Terima kasih banyak pak, mudah- mudahan saya bisa membalas budi baik bapak.

  9. Nonikku sayang yang rela bersabar hati dan menungguku untuk cepat meraih gelar sarjana, untuk akhirnya kembali bersamanya.

  10. Teman-teman mahasiswa PDU 2001 atas kebersamaannya selama kuliah 11.

  Sumanto, Lojon, Joyo, Sigit, Setip, Ronald, Srie P, Hohok, Bruno, Dion, Agnes, Elis dan yang mungkin terlupakan, terimakasih atas dukungan dan semangatnya.

  12. Penghuni tetap Tutul 23b, Pegy, Nonok, Putra, Dewok, Wahde, Komang, Ale, Martin yang sudah memberikan banyak masukkan dalam penulisan skripsiku.

  Terimakasih kawan akhirnya aku mampu menyusul kalian juga…

  13. Kawan-kawan BMC AAYKPN, Samuel, Lobor, Komet, Gondang, Komeng, Penjol, Sekar, Tolok, Lindut, Vita, Ana Piglet, yang telah memberikan ruang untuk berbagi suka dan duka bersama.

  14. Kawan-kawan Tunas Patria APMD, Zeca, Suryo, Teddy, Erwin, Moli, Om Doel, Waley, Koko, Fitri dan yang mungkin tidak tersebut, makasih atas dukungan kalian selama ini.

  15. Semua pihak yang tidak tercantum namanya disini, namun telah banyak berjasa bagi penulis.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.

  Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yang memerlukan.

  Yogyakarta, Juni 2008 Penulis.

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………............... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………. iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………..... iv

PERSETUJUAN PUBLIKASI…………………………………………... v

MOTO…………………………………………………………………….. vi

ABSTRAK ……………………………………………………………….. vii

ABSTRACT ……………………………………………………………. viii

KATA PENGANTAR…………………………………………………..... ix

DAFTAR ISI................................................................................................ xii

  

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1

A. Latar belakang Masalah……………………………………. ……... 1 B. Rumusan Masalah………………………………………….. ……... 6 C. Tujuan Penelitian…………………………………………............... 7 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 7

BAB II LANDASAN TEORI….……………………………………….... 8

A. Globalisasi dan Budaya Pop………………………………………. 8 B. Perkembangan Industri Musik Nasional dan Internasional………. 14 C. Pasar Bebas dan Pasar Indie Label………………………………... 17 D. Prinsip Dasar Pengelolaan Usaha………………………………….. 18

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………. 27

A. Jenis Penelitian……………………………………………………...27 B. Subjek dan Objek Penelitian……………………………………... 27

  E.

  Teknik Pengumpulan Data………………………………………… 29 F. Metode Analisis Data……………………………………………… 30 G.

  Kisi-kisi Pedoman Wawancara…………………………………….. 33

  

BAB IV. GAMBARAN UMUM ………………………………………... 37

A. Sejarah Singkat Yogyakarta……………………………………….. 37 B. Letak Geografis…………………………………………………… 39 C. Kependudukan……………………………………………... …….. 39 D. Perkembangan Musik Yogyakarta dari Major Label Sampai Indie Label……………………………………………………………… 40 E. Profil Band Indie Yogyakarta……………………………………. 45 1. Flower Market Band……………………………………......... 45 2. Monophone Band…………………………………………….. 47 3. Apollo-10 Band…………………………………………........ 48 4. Captain OI band……………………………………………… 50

BAB V. PEMBAHASAN…………………………………………............ 53

A. Komunitas Musik Indie Sebagai Perlawanan Anak Muda Terhadap Monopoli Pasar oleh Pihak Major Label ……………………….

  53 B. Pola Pengelolaan Produksi Komunitas Musik Indie………………. 58 C. Pola Pengelolaan Keuangan Komunitas Musik Indie……………... 63 D.

  Pola Pengelolaan Pemasaran Komunitas Musik Indie ……………. 73 E. Pola Pengelolaan Personalia Komunitas Musik Indie……………... 78

  

BAB VI. PENUTUP………………………………………………………. 85

A. Kesimpulan………………………………………………………… 85 B. Saran ………………………………………………………………. 90

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. xiv

LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada masa Orde Baru masih berkibar kegiatan perekonomian di Negara Indonesia seperti dibelenggu oleh sebuah pasungan yang menyebabkan

  berbagai ketimpangan pasar. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatur perekonomian, tidak jarang selalu mengorbankan pasar-pasar kecil dengan hanya beracuan pada keberadaan sebuah identitas pasar yang dinilai mampu lebih banyak mendatangkan keuntungan. Bentuk-bentuk usaha yang bergerak dalam sektor perkebunan ataupun pertanian dan lainnya yang pada mulanya mendominasi, dengan segera tergeser oleh kehadiran bentuk-bentuk usaha yang bersifat modern seperti industri migas, ekspor, impor, dan lain sebagainya.

  Dominasi bentuk-bentuk usaha yang lebih modern terhadap usaha-usaha kecil dan menengah merupakan akibat dari kekalahan dalam proses pemasaran yang cenderung dipengaruhi oleh modal. Kepemilikan modal yang minim dalam usaha- usaha kecil atau menengah memaksa mereka untuk lebih bekerja keras dalam usahanya untuk menjadi pesaing bagi bentuk-bentuk usaha modern. Sedangkan asumsi yang lain adalah bisa jadi hal tersebut memang sebuah unsur kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang berharap segala bentuk usaha kecil sirna sehingga pasar secara global hanya dapat dikuasai oleh bentuk-bentuk usaha yang memiliki skala lebih besar atau identik dipegang oleh pihak-pihak yang bermodal besar (kapitalis).

  Bentuk-bentuk monopoli pasar tidak hanya tercipta dalam aspek perdagangan saja, melainkan merambah hingga aspek-aspek yang lain seperti pendidikan, budaya, dan lain sebagainya hingga tidak terkecuali adalah aspek hiburan yaitu musik dan gaya hidup.

  Musik merupakan bentuk media hiburan yang sedang ngetrend di era yang sekarang ini. Tak ubahnya sebuah serum, trend tersebut mampu merasuk dan menyebar dengan cepat keseluruh organ tubuh dan sekaligus mengkontaminasi setiap orang yang terjangkiti sehingga mereka merasa kecanduan untuk menikmatinya berulangkali. Seperti halnya yang terjadi pada generasi muda sekarang, trend musik pun dengan cepat mampu merasuki mereka dan dengan cepat pula menjelma menjadi sebuah kebiasaan yang sepertinya wajib mereka konsumsi.

  Berbagai macam jenis musik pun bermunculan dari Pop, Rock, Reggae, Ska, dan masih banyak jenis lain yang mungkin masih akan bermunculan.

  Tidak hanya dalam jenis musik saja yang menimbulkan keragaman, dengan tidak mau kalah para pengemar dari berbagai macam jenis musik itupun berusaha mengidentitaskan diri mereka sesuai dengan jenis musik yang mereka sukai yang pada akhirnya juga menimbulkan keragaman. Seperti para pengemar musik Punk menamakan diri mereka sebagai Punker, para pengemar musik Reggae menamakan diri mereka sebagai Rasta Mania, begitu menyebut dirinya sebagai Rocker, dan mungkin masih banyak identitas- identitas lain ada yang selalu menyesuaikan identitas mereka dengan jenis,

  genre atau aliran musik yang mereka gemari.

  Oleh karena hal di atas muncul asumsi masyarakat ditinjau dari sudut pandang ekonomi, bahwa musik merupakan sebuah bidang usaha yang bergerak dalam bidang jasa yang memiliki nilai jual yang tinggi, karena secara kasat mata sangat diminati oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mengkonsumsinya. Berdasar pada asumsi tersebut dengan cepat para kaum pemodal menciptakan peluang usaha dengan menciptakan perusahaan- perusahaan industri rekaman dengan tujuan mampu memberikan kepuasan bagi para pengemar musik untuk dapat menikmati alunan musik sesuai jenis- jenis musik yang sedang ngetrend untuk dinikmati, entah itu musik Pop, Rock, Reggae atau jenis musik yang lain.

  Sebelum perusahaan industri musik rekaman ada, para pengemar musik hanya mampu mendengar sekaligus menonton para musisi idola mereka pada saat konser atau tampil secara langsung diareal terbuka, di layar televisi atau pada moment- moment tertentu saja. Hal tersebut mengakibatkan para pengemar musik sering dipaksa untuk merogoh sakunya lebih dalam hanya untuk menikmati alunan musik yang mereka sukai. Sebagai contah jika hal tersebut dibuat dalam perhitungan adalah, berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan ketika inggin menonton konser para musisi idola mereka, belum lagi ditambah biaya transportasi yang juga harus ditanggung jika lokasi yang digunakan sebagai ajang konser berjauhan dengan rumah kediaman para pengemar itu sendiri.

  Berdasarkan acuan-acuan diatas dan sekaligus dampak dari modernisasi maka tanpa mau menyia-nyiakan peluang yang ada, maka para pemodal yang sebelumnya sudah memahami fenomena yang terjadi dengan segera menjadikan hal tersebut sebagai lahan subur dalam berbisnis, yaitu dengan mendirikan perusahaan industri musik rekaman. Sebut saja studio rekaman dalam skala besar seperti Sony record music yang sampai sekarang mampu mendominasi pasar musik rekaman dari studio-studio lain yang ada baik itu lingkup nasional maupun internasional.

  Di tengah derasnya budaya pop yang cenderung seragam, studio rekaman yang sudah dikenal berskala besar seperti Sony record music, sering diidentitaskan sebagai Major Label. Perusahaan ini mengadopsi aliran-aliran musik yang tidak semaunya mereka pilih. Sasaran pihak major adalah jenis- jenis musik yang sedang populer dikalangan masyarakat terutama para kawula muda seperti sekarang ini, sehingga jenis musik lain yang dianggap sudah tidak popular memiliki peluang yang kecil untuk bisa masuk keperusahaan ini.

  Dampak susahnya jenis atau aliran musik yang sudah dianggap tidak popular untuk masuk dalam perusahaan berkelas Major Label membuat banyak para musisi vakum (berhenti dari kreativitasnya untuk sementara waktu) dalam berkreasi dan beralih profesi. Kepercayaan diri mereka seperti hilang karena jenis atau aliran musik yang biasa mereka bawakan sudah tidak

  Dari persamaan asumsi jenis atau aliran musik yang dinyatakan sudah tidak populer dimasyarakat banyak, band-band ataupun musisi yang sulit memperoleh peluang masuk dalam industri Major label melahirkan suatu bentuk perlawanan bahwa mereka juga inggin diakui bahwa me reka ada.

  Band-band tersebut akhirnya membentuk sebuah kelompok-kelompok dan

  1

  menjadi sebuah komunitas yang biasa di sebut dengan Indie . Indie berarti cap simbolik untuk menunjukkan semangat independent (merdeka), tanpa sudi di kendalikan pihak manapun, terutama institusi pasar. ( Triyono Lukmantoro)

  Di Yogyakarta tidak sedikit para musisi muda dengan berbagai bakat dan talenta, ikut bergerak dalam bidang musik dengan berpayung pada indie label.

  Mereka tidak lagi peduli untuk bisa masuk dalam kelas major label dengan harapan bisa cepat terkenal ataupun memiliki nilai jual yang tinggi, karena mereka mereka memilki asumsi bahwa setiap orang atau individu memiliki selera musik yang berbeda-beda, sehingga tidak menutup peluang bahwa jenis atau aliran musik tersebut adalah yang mereka bawa.

  Sebut saja Flow Market Band, Produk, Apollo-10 Band, Monophone Band, Captain OI Band, dan lain sebagainya, merupakan band-band yang bernaung dalam identitas “Indie Label”. Dengan segala kemerdekaannya mereka berjuang untuk mendapatkan pasarnya sendiri, dengan visi dan misi diakui masyarakat banyak bahwa mereka memang benar-benar ada dengan bukti autentik karya-karya mereka.

  Prinsip dasar yang digunakan untuk memproduksi indie label adalah merupakan manifestasi terhadap hegemoni pasar yang selama ini menguntungkan media dominan. Indie label mencoba untuk melakukan resistensi terhadap dominasi logika industri budaya (culture industry) yang semakin meraksasa.

  Dengan dasar ingin mendapat pengakuan dari masyarakat, sekaligus sebagai upaya mensejajarkan diri dengan perusahaan Major Label maka, dalam menjalankan kreativitasnya dalam bermusik komunitas indie menerapkan sistem pengelolaan yang bersifat swadaya, yaitu pola-pola pengelolaan yang sepenuhnya mereka jalankan sesuai dengan kemampuan yang mereka meliki. Adapun bentuk-bentuk pengelolaan yang menjadi fokus penelitian disini meliputi pola pengelolaan keuangan, pola pengelolaan produksi, pola pengelolaan personalia, dan pola pengelolaan pemasaran.

B. Rumusan Masalah

  Bertolak dari kerangka pemikiran diatas studi ini akan mengkaji masalah- masalah pokok yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pengelolaan aktivitas produksi musik indie? 2.

  Bagaimana pola pengelolaan keuangan kelompok musik indie? 3. Bagaimana pola pengelolaan susunan personalia kelompok musik indie? 4. Bagaimana pola pengelolaan pemasaran kelompok musik indie?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk mencari data-data yang dapat mendukung terhadap masalah penelitian antara lain:

  1. Mendeskripsikan laju produksi yang dikelola oleh kelompok musik indie 2.

  Mendeskripsikan pengelolaan keuangan yang menyokong laju produktifitas komunitas musik indie.

  3. Mendeskripsikan perihal personalia yang menyangkut susunan perorangan yang sudah ada dalam komunitas musik indie secara jelas.

  4. Mendeskripsikan model-model pemasaran yang diambil oleh komunitas musik indie dalam usahanya meraih pasar sesuai dengan apa yang mereka ingginkan.

D. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti, sekaligus sebagai sumbangan bagi mahasiswa lain yang tertarik menyikapi keterkaitan budaya pop yang sedang merajalela dengan idealisme kemerdekaan dalam hal bermusik terhadap kegiatan ekonomi menyangkut pola pengelolaan proses produksi, pemasaran, personalia (struktur organisasi), dan permodalan dalam komunitas musik “Indie”. Dengan harapan mampu merangsang bentuk-bentuk penelitian baru yang lebih khusus.

BAB II LANDASAN TEORI A. Globalisasi dan Budaya Pop Indonesia merupakan Negara yang masuk dalam kategori Negara sedang

  berkembang, dan identik dengan faham konsumerisme dalam memajukan sektor pembangunannya.

  Faham konsumerisme ditegaskan oleh Fiske, yaitu merupakan faham yang menyatakan setuju atas pengekploitasian pendapatan terhadap segala bentuk keingginan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain faham ini menyatakan bahwa masyarakat akan cenderung selalu memiliki keingginan terhadap sega la sesuatu yang mereka inggin peroleh atau miliki walaupun tanpa didukung oleh segi keuangan yang mereka miliki. Misalnya masyarakat lebih rela berhutang hanya untuk memiliki sebuah sepeda motor yang sebenarnya suatu saat (jangka panjang) mampu mereka miliki dengan perencanaan yang lebih matang, fenomena lain adalah banyaknya kalangan pelajar yang rela menunda uang SPP hanya untuk digunakan membeli HandPhone yang sedang ngetrend disaat itu, terdorong oleh asumsi yang dijadikan sebagai alasan tidak mau dikatakan “udik” atau ketinggalan jaman.

  Keberadaan perekonomian yang memang relatif masih tertinggal dalam negara-negara sedang berkembang, mengadopsi paradigma-paradigma untuk segera mengambil langkah sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan dan

  Adapun proses dari globalisasi itu sendiri muncul akibat dari keingginan setiap negara untuk meraih kesetaraan posisi dengan negara- negara maju.

  Beracuan pada perihal tersebut maka faham liberaralisasi perdagangan pun di munculkan, yaitu kebebasan setiap negara untuk memasarkan segala bentuk sumber daya alam, budaya, seni dan lain sebagainya sebagai asset yang selalu berbeda dengan negara lain dengan tujuan lebih meningkatkan sektor perekonomian negara itu sendiri.

  Seperti halnya negara sedang berkembang lainnya, dengan mengadopsi faham- faham liberalisasi tanpa disadari Indonesia juga sudah menjadi pelaku faham globalisasi. Faham liberalisasi sangat jelas terlihat pada aktivitas- aktivitas produksi, keuangan dan perdagangan sering didominasi oleh institusi- institusi moneter internasional. Akibat yang ditimbulkan adalah bahwa sektor nasional yang sudah dimiliki menjadi terbengkalai dan tidak berkembang.

  Berdasarkan konteksnya ciri utama dari globalisasi adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Proses ini ditandai dengan semakin sedikitnya perusahaan transnasional yang mampu meraih pangsa besar atau peningkatan proporsi secara cepat dari sumberdaya ekonomi, produksi dan pangsa pasar.

  Globalisasi dalam perkembangannya mengadopsi berbagai faham budaya baru tak terkecuali budaya pop. Budaya pop didefinisiskan sebagai salah satu bentuk budaya populer, yaitu kecenderungan trend yang sedang ada dan berkembang sebagai paradigma awam kelompok masyarakat.

  Kelemahan negara sedang berkembang dalam menghadapi globalisasi berakar dari sejumlah faktor. Secara ekonomi, NSB lemah unt uk memulai integrasi dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi domestik dan infrastruktur sosial sebagai warisan masa penjajahan.

  Stuart Hall (dalam Storey 1994) menggambarkan budaya pop sebagai:

  Sebuah arena konsensus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah dimana hegemoni berlangsung. Ia bukan ranah dimana sosialisme, sebuah kultur sosialis yang telah terbentuk sepenuhnya dapat sungguh-sungguh ‘diperlihatkan’. Namun, ia salah satu tempat dimana sosialis me boleh jadi diberi legalitas. Itulah mengapa budaya pop menjadi suatu yang penting.

  Keberadaan globalisasi dan budaya pop merambah hingga pada aspek-aspek tertentu tidak terkecuali aspek penelitian yaitu musik.

  Pada 1941, Adorno mempublikasikan sebuah esai yang sangat berpengaruh ‘On Popular Music’ (dalam Storey 1994). Tiga pernyataan spesifik perihal musik pop, yaitu pertama, ia menyatakan bahwa musik pop itu ‘distandarisasikan’, dengan kata lain sekali pola musikal/ lirikal ternyata sukses, ia dieksploitasi hingga kelelahan komersial, yang memuncak pada kristalisasi standar. Untuk menyembunyikan standarisasi, industri musik menggunakan apa yang Adorno sebut ‘Pseudo-individualisasi’ : dengan kata lain, standarisasi hit-hit lagu manjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya.

  Pernyataan kedua, bahwa musik pop mendorong pendengaran pasif. Musik pop beroperasi didalam semacam dialektika yang letih, yaitu untuk konsumsi terhadap musik pop menghasilkan pengalihan dan pemalingan perhatian dalam diri konsumen.

  Pernyataan ketiga, adalah klaim bahwa musik pop beroperasi seperti ‘semen sosial’. Fungsi sosial-psikologisnya adalah meraih penyesuaian fisik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri konsumen musik pop.

  ‘Penyesuaian’ ini memanifestasikan dirinya sendiri dalam ‘dua tipe sosial- psikologis utama perilaku massa’, yaitu tipe penurut “ritmis” dan tipe “emosional”. Yang pertama menari- nari dalam pemalingan perhatian dalam ritme eksploitasi dan operasinya sendiri. Yang kedua berkubang dalam kesengsaraan yang sentimental, lupa akan kondisi eksistensi yang nyata.

  Ditegaskan oleh argument Leon Resselson yang menganalisis bahwa kekuatan dari industri musik adalah melalui pendekatan ekonomi politik budaya, yaitu:

  Lebih dari setiap seni pertunjukan lain, dunia lagu didominasi oleh lelaki berduit disatu sisi dan sensor moral terhadap media disisi lain.kemungkinan suara -suara alternatif yang membuat mereka didengarkan senantiasa lirih kadang kala, seperti saat ini, tidak ada. Merupakan ilusi bahwa lagua adalah komoditas yang tersedia secara bebas…kenyataanya adalah bahwa lagu merupakan properti privat dari organisasi-organisasi bisnis. (Leon Resselson)

  Asumsi yang dibuat adalah bahwa industri musik menentukan nilai guna produk-produk yang dihasilkan. Industri musik merupakan industri kapitalis, karenanya produk-produknya adalah produk-produk kapitalis, dan juga pembawa ideologi kapitalis.

  Rosselson berpendapat bahwa ‘musik rakyat’ (lantaran asal- usulnya dalam masyarakat prakapitalis maupun praktik-praktik ‘anti-komersial’nya dibawah naungan kapitalisme) merupakan musik alternatif bagi musik kapitalis dalam industri musik.

  Sebagaimana ditunjukkan Frith (1983), industri musik tidak menjual single, gagasan hegemonik, melainkan sebaliknya sebuah medium yang harus melalui ratusan gagasan yang berkompetisi mengalir yang pada akhirnya pencarian keuntungan yang efisien tidak mencakup penciptaan ‘kebutuhan- kebutuhan baru’ dan ‘memanipulasi’ khalayak melainkan, sebaliknya pemberian respons pada kebutuhan-kebutuhan yang ada dan ‘pemuasan’ khalayak.

  Dalam karya Stuart Hall dan Paddy Whanel (1964), bahwa ‘potret anak muda sebagai orang lugu yang dieksploitasi’ oleh industri musik pop ‘terlalu disederhanakan’.

  Sosiolog Amerika Devis Riesman (1990) menaruh perhatian pada bagaimana khalayak musik pop bisa dibagi dalam dua kelompok, ‘kelompok mayoritas, yang menerima gambaran dewasa tentang anak muda secara agak kritis, dan kelompok minoritas yang disitu beberapa tema pemberontakan sosial terangkum. Sebagaimana ia tunjukkan, kelompok minoritas senantiasa kecil.

  Pemberontakan kelompok minoritas mengambil suatu bentuk simbolik seperti tang ditegaskan oleh Riessman sebagaimana berikut:

  Tuntutan terhadap standar penilaian dan standar selera yang tegas…, pilihan pada band- band kecil yang di iklankan dan tidak dikomersialkan ketimbang band-band yang sudah punya nama; pengembangan bahasa khusus (privat) atau untuk kalangan sendiri dan selanjutnya meninggalkannya ketika bahasa khusus itu (hal yang sama juga berlaku pada aspek-aspek lain gaya khusus) diambil alih oleh kelompok mayoritas. (Riesman, 1990)

  Jadi, mengkonsumsi musik tertentu menjadi sebuah cara mengada (way of

  being) di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya

  kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain. Menjadi bagian dari subkultural anak muda berarti memperlihatkan selera musikal tertentu dan mengklaim bahwa konsumsinya adalah tindakan kreasi komunal.

  Menurut Riesman, tidak menjadi soal apakah komunitas itu bersifat nyata atau imajiner. Yang penting adalah bahwa musik menyediakan sense (pengertian) akan komunitas. Ia adalah komunitas yang tercipta melalui tindakan konsumsi: ‘tatkala ia mendengarkan musik, bahkan jika tak ada orang lain di sekelilingnya, ia mendengarkan dalam sebuah konteks “orang lain” atau imajiner, tindakannya mendengarkan tentu saja seringkali merupakan sebuah upaya menjalin hubungan dengan mereka’.

  Tatkala kita mengatakan musik populer, seringkali yang ada di benak kita

  1

  adalah lagu. Sebagaimana Gabriel Marcus uraikan, ‘kata-kata adalah bunyi yang bisa kita rasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami’.

B. Perkembangan Industri Musik Nasional dan Internasional

  Secara umum perkembangan industri musik lingkup nasional maupun internasional belum bisa di paparkan secara jelas, hal ini akibat dari identitas musik yang tidak lepas dari khasanah tradisi suatu wilayah yang selalu memunculkan keragaman dalam perkembangannya.

  Musik (music) bersumber dari kata “muse” yang kemudian diambilalih kedalam bahasa Inggris dan jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai bentuk ‘renungan’. Jadi pada hakikatnya musik adalah suatu perenungan kehidupan.

  Menurut Cambell (1977), musik lahir dari paduan ingatan manusia tentang alam semesta ciptaan para dewa, dengan demikian musik tidak hanya menghibur tetapi juga merupakan hasil perenungan penciptanya berdasarkan ingatan- ingatan akan pengalaman hidupnya dan ketika disajikan pun akan menggugah seseorang untuk merenungkan hidupnya seperti yang terungkap dalam musik.

  Habermayer (1999) menjelaskan bahwa musik adalah bagian integral dari kehidupan seseorang karena musik merupakan aspek vital kehidupan seseorang yang juga merupakan bahan dasar kehidupan yang menjadikan seseorang memiliki hakikat sebagai manusia. Hal tersebut lebih dipertegas oleh teori Brown (1997) yang mengatakan bahwa musik berkaitan langsung dengan emosi (emotion) dan perasaan (feelings).

  Globalisasi yang merambah hingga pada aspek hiburan yaitu musik, mengadopsi penguasa-penguasa yang memiliki modal besar (kapitalis) untuk mendirikan sejumlah perusahaan industri musik rekaman yang di adopsi oleh pihak-pihak dari ‘luar’. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan segera meraksasa mendominasi perindustrian musik rekaman. Sebut saja EMI

  (Entertainment Music Industrial) dan atau Sony Music Record (SMR) yang secara nyata menegaskan sebuah kebenaran bahwa mereka memayungi industri musik yang komersial.

  Bukan hanya di Indonesia, industri musik di tingkat internasional juga membenarkan bahwa keberadaan industri musik rekaman merupakan sebuah acuan kemajuan dari dunia musik. Sebut saja WBM (Warner Broz Music),

  Atlantic Record , dan Sony Music Record yang juga mendominasi dunia musik

  di luar negeri. (Colorado, 2003) Keberadaan perusahaan-perusahaan industri rekaman yang dengan cepat meraksasa, memberikan dampak bagi genre atau aliran-alairan musik yang tidak memenuhi kriteria untuk bisa masuk dan dikomersialkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

  Dengan berbenderakan ‘Major label’ perusahaan-perusahaan diatas mampu memonopoli pasar musik baik lingkup nasional maupun internasional.

  Adapun kriteria yang disesuaikan adalah bahwa jenis, genre atau aliran musik yang berhak di komersilkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah jenis, aliran musik yang sedang populer atau memiliki prospek finansial yang tinggi.

  Sebagai akibat dari pengkriteriaan industri musik yang dimonopoli oleh pihak major label, terciptalah pemberontakan dari para musisi ataupun komponis yang mengantungkan hidupnya secara total dalam bermusik. Berbagai genre, bentuk, jenis atau aliran musik yang selama ini tidak mendapatkan tempat di perusahaan ‘major label’, bergumul dengan waktu membuktikan bahwa mereka ada dan dinamakan sebagai komunitas ‘Indie’.

  Indie merupakan cap simbolik yang beasal dari kata independent yang berarti merdeka, yaitu kemerdekaan dalam berkreatifitas tanpa sudi di kendalikan pihak manapun, terutama institusi pasar. (Triyono Lukmantoro, Kompas, Februari 2007 )

  Musik dalam budaya pop menjadi sebuah keseragaman, yaitu jenis-jenis aliran musik yang berpeluang banyak diadopsi oleh studio-studio rekaman adalah jenis atau aliran musik yang dominan digemari oleh masyarakat banyak, sehingga memiliki peluang keuntungan (profitable) yang jelas dalam pasar.

  Musik Indie dapat diartikan sebagai ruang kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi dengan tujuan sebagai ajang promosi kreatif, bebas, tidak terstandarisasikan dan ditujukan pada masyarakat umum serta produser musik. (admin, Rockisnotdead)

  Berdasarkan tujuan diatas sangat jelas bahwa komunitas musik yang bernaung pada bendera “Indie Label” lebih menitikberatkan keberhasilannya pada kebebasan untuk berkarya, sesuai dengan kemauan mereka tanpa harus mempedulikan entah produksi yang mereka hasilkan setara dengan jumlah pengorbanan yang selama ini mereka keluarkan atau malah tanpa hasil apa- apa.

C. Pasar Bebas dan Pasar Indie label

  Pasar dalam konteks ekonomi umum memiliki pengertian sebagai mata penjual dan pembeli, antara dunia usaha dan masyarakat konsumen. Pasar akan tercipta jika ada suatu pertemuan antara orang yang mau menjual dan orang yang mau membeli suatu barang atau jasa tertentu dengan harga tertentu.

  Berdasarkan pada pengertian pasar secara umum maka dapat didefinisikan bahwa

  pasar bebas diera yang modern ini merupakan suatu wadah yang lebih luas meliputi adanya proses transaksi yang menghubungkan antara produsen dan konsumen, penjual dan pembeli, antara dunia usaha dan masyarakat konsumen tanpa harus dipatok pada satu tempat atau lokasi, melainkan sebuah kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi (transaksi) sesuai dengan harga atau kesep akatan tertentu. (Martin Khor, 1993)

  Hal ini didukung oleh keberadaan tehnologi yang serba canggih, tanpa harus beranjak kemana- mana setiap orang berkesempatan menjadi salah satu pengguna pasar bebas, seperti layanan internet yang mampu mengakses berbagai macam informasi, hiburan, pendidikan, ekonomi, pemasaran, bahkan hingga keperihal transaksi jual beli.

  Mengutip asumsi Syahrani selaku musisi Jazz di Indonesia pada salah satu surat kabar harian, ia menyatakan bahwa :

  “dalam pengembangan usahanya komunitas indie membentuk pasarnya sendiri, yaitu dengan memanfaatkan berbagai media baik itu media cetak maupun media elektronik yang semakin menglobal akibat modernisasi massa”. ( Kompas, 11 Mei 2007)

  Semangat independent yang dimiliki komunitas “indie”, membawa asumsi bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan oleh komunitas tersebut tidak mau dikekang oleh institusi- institusi yang ada baik itu dalam hal berkarya ataupun dalam konteks pasar.

  Adapun media- media yang ssering dilibatkan sebagai bentuk pemasaran berupa media cetak yang berupa majalah-majalah, atau tabloid yang banyak dijumpai dimana- mana, ataupun media elektronik yaitu sarana internet, website, ataupun stasiun radio-radio lokal yang mampu memberikan informasi secara cepat kemasyarakat publik.

D. Prinsip Dasar Pengelolaan Usaha

  Sebuah usaha muncul akibat pemahaman akan sebuah ide, adapun langkah-langkah yang ditujukan dalam mengembangkan ide tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1.

   Perencanaan Usaha

  Adalah suatu cetak biru tertulis (blue print) yang berisikan tentang misi usaha, usulan usaha, operasional usaha, rincian finansial, strategi usaha, peluang pasar yang mungkin diperoleh, dan kemampuan serta ketrampilan pengelolaannya.

  Adapun fungsi dari perencanaan usaha ada dua, yaitu:

  a) Sebagai pedoman untuk mencapai keberhasilan manajemen usaha

  Sebuah perencanaan usaha yang matang cenderung sudah mempertimbangkan berbagai resiko yang dihadapi dan selanjutnya siap untuk dilaksanakan. Konsistensi pelaku dalam menjalankan kegiatannya dengan beracuan pada perencanaan usaha yang sudah disusun juga mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha yang dijalankan. b) Sebagai alat untuk mengajukan kebutuhan permodalan yang bersumber dari luar

  Minimnya modal yang dimiliki juga berpengaruh pada bentuk usaha yang akan dijalankan. Maka, adalah suatu tindakan yang sangat tepat memiliki perencanaan usaha yang mampu menjadi perhitungan untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam menyediakan modal usaha. Menurut Zimmerer (1993: 331) beberapa unsur yang harus ada dalam perencanaan usaha antara lain, ringkasan pelaksana/ eksekutif, profil usaha, strategi usaha, produk dan jasa, strategi pemasaran, analisis pesaing, ringkasan karyawan dan pemilik, rencana operasional, data financial (keuangan), proposal/ usulan pinjaman, dan jadwal operasional.

  Secara rinci dapat diuraikan bahwa ringkasan eksekutif atau pelaksana menjelaskan tentang maksud usaha didirikan, usulan finansial sebagai penopang keuangan dalam kegiatan usaha, permintaan dana dan cara pembayaran kembali pinjaman sebagai bentuk antisipasi kurangnya modal usaha.

  Perencanaan usaha secara detail memuat berbagai komponen meliputi: 1) latar belakang usaha, yaitu memuat laporan singkat sejarah perusahaan atau situasu yang ada saat itu. 2)

  Gambaran usaha secara detail, yaitu keunikan yang dimiliki dan atau faktor- faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan seperti kualitas,