BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak 1. Pengertian Anak - DICO BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak 1. Pengertian Anak Secara umum apa yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau

  generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.

  Kemudian didalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib (2010), menyatakan bahwa:

  ”kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah ”. Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain: a. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

  Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. b. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

  c. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  d. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990.

  Anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.

  e. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun.

  Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun).

2. Hak-hak Anak

  Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain: a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

  Dalam Bab II Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengatur tentang hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu: 1) Hak atas pelayanan. 2) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan. 3) Hak atas perlindungan lingkungan hidup. 4) Hak mendapatkan pertolongan pertama.

  5) Hak untuk memperoleh asuhan. 6) Hak untuk memperoleh bantuan. 7) Hak diberi pelayanan dan asuhan. 8) Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus. 9) Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan.

  b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Hak anak dalam Undang-undang ini diatur dalam Bab III bagian kesepuluh, pasal 52-66, yang meliputi: 1) Hak atas perlindungan 2) Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan 3) taraf kehidupannya. 4) Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. 5) Bagi anak yang cacat fisik dan atau mental hak: (a) memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus. (b) untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, (c) berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 6) Hak untuk beribadah menurut agamanya. 7) Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing. 8) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. 9) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. 10) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. 11) Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

  Selain itu, secara khusus dalam Pasal 66 Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang hak anak-anak yang dirampas kebebasannya, yakni meliputi: 1) Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup. 2) Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. 3) Hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

  4) Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

  c. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi: 1) Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2) Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. 3) Hak untuk beribadah menurut agamanya. 4) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. 5) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. 6) Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus.

3. Kewajiban Anak

  a. Pasal 19 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Setiap anak berhak untuk; 1) Menghormati oran tua, wali dan guru 2) Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman 3) Mencintai tanah air, bangsa dan negara 4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya,dan 5) Melaksanakan etika dan akhlam yang mulia.

  b. Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  “Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik”. c. Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  “Jika anak telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dala garis lurus keatas bila mereka itu memerluka bantuanya ”.

  d. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  “Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicbut dari kekuasaannya

  ”.

  e. Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  “Jika anak telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dala garis lurus keatas bila mereka itu memerluka bantuanya”.

  f.

  Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  “Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicbut dari kekuasaannya”.

4. Perlindungan Anak

  Salah satu instrumen yang digunakan dalam perlindungan anak adalah hukum. Perlindungan Hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kekerasan dan hak anak serta berbagai upaya yang berhubungan dengan kesejahteraan anak, ada beberapa konsep dan pengertian yang telah dikemukakan menegenai perlindungan anak. perlindungan anak menurut arief gosita merupakan suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi (Gosita, 2005).

  Oleh karena itu, setiap hak anak harus dijunjung tinggi demi pencapaian tujuan yaitu lahirnya generasi muda yang sehat untuk kelangsungan kehidupan berbangsa. Anak adalah manusia yang merupakan pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban yang disebut subjek hukum. Pengertian anak diatur dalam

  Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai kriteria anak. Kriteria anak berpengaruh pada kedudukan hukum anak sebagai subjek hukum. Dalam hukum indonesia terdapat pluralisme mengenai batasan usia, hal ini yang menyebabkan tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai kriteria tentang anak (Prints, 2001).

  Negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dan sudah sewajarnya negara memberikan perhatian lebih kepada para korban kejahatan yang mungkin mengalami penderitaan baik secara ekonomi, fisik maupun psikis. Negara juga mempunyai tanggung jawab untuk memrikan kesejahteraan pada masyarakatnya warga negaranya. Dengan demikian pada saat anggota masyarakatnya mengalami kejadian/peristiwa yang mengakibatkan kesejahteraannya terusik dan menjadi korban kejahatan, maka sudah sewajarnya apabila negaranya bertanggung jawab untuk memulihkan kesejahteraan warga negaranya, mengingat mengingat negara telah gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

  Mengabaikan perlindungan anak adalah suatu yang tidak dapat dipeertanggung jawabkan, dan juga kurang perhatian dan tidak diselanggarakannya perlindungan anak akan membawa akibat yang sangat merugikan diri sendiri dikemudian hari. Salah satu contoh kurang diperhatikannya maslah penegakan hukum pidan dimana masalah ini berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidan, dan dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukakan korban kejahatan kurang memperoleh hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immteril maupun material.

  Pengertian perlindungan anak berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

  “Perlindungan Anak Adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ini dibentuk mempunyai tujuan, yakni untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhalak mulia, dan sejahtera. Seseorang manusia mempunyai hak asasi manusia yang telah diundangkan oleh Negara kepada warga negaranya, berarti seseorang manusia mempunyai hak asasi sedari sejak diahirkan, begitupun dengan anak, anak mempunyai hak yang sedikit berbeda dengan orang yang sudah dewasa menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia ini.

  Setiap anak selama dalam pengasuahan orang tuanya yang bertanggung jawab atas pengasuhan, layak mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang salah menurut peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini. Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak, oleh sebab itu masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.

  Negara Indonesia ini terdapat kenyataannya yang dapat kita lihat bahwa kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindakan kejahatan. Tindak kejahatannya seperti penelantaran anak yang dapat dikatakan sebagai tidak manusiawi terhadap anak. Pemajuan dan perlindungan yang berpihak pada anak dan memegang tegak prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak serta partisipasi anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya merupakan prasyarat yang mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif.

  Pada prinsipnya perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang dilakukan berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945. Prinsip perlindungan tersebut diatur berdasarkan kepentigan terbaik bagi anak (The best interest of the Child), dimana prinsip ini mengatur bahwa dalam semua tindakan yang nenyangkut anak dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislative dan yudikatif, maka kepentingan anak harus menjadi pertimbangan yang utama.

  Realitas keadaan dan nasib mereka belum seperti ungkapan yang kerap kali memposisiskan anak bernilai penting, penerus, masa depan bangsa dan sejumlah simbolik lainnya. Pada tataran hukum, kebutuhan yang diberikan kepada anak belum sepenuhnya bisa ditegakkan.

  Pemenuhan kebutuhan anak sebagaimana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan anak masih belum cukup bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak.

  Anak sebenarnya merupakan harta yang tak ternilai harganya baik dilihat dari perspektif sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, maupun perspektif keberlanjutan sebuah generasi keluarga, suku dan bangsa. Dilihat dari sosial sebagai kehormaatan harkat martabat keluarga tergantunga pada sikap dan prilaku anak untuk berprestasi, dan budaya anak merupakan harta dan kekayaan yang harus dijagadan sekaligus merupakan lambang kesuburan sebuah keluarga, dari politik anak merupakan penerus suku, bangsa, dan ekonomi dilihat dari segi hukum, anak mempunyai posisi dan kedudukan strategis di depan hukum, tidak saja sebagai penerus dan ahli waris keluarga tetapi sebagai bagian dari subyek hukum dengan segala pemenuhan kebutuhan uuntuk anak yan mendapat jaminan hukum (Krisnawati, 2005).

  Anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan yang berasal dari lingkungannya. Anak juga tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecendrungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan bersifat memaksa (Soemitro, 2000).

  Anak didalam masa pertumbuhan secara fisikmdan mental membutuhkan perawatan, perlindungan, khusus serta perlindungan hukum sebelum maupun sesudah lahir. Disamping itu, juga patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Untuk perkembaangan kepribadiannya maka membutuhkan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang.

B. Tinjauan Perlindungan Hukumn 1. Pengertian Perlindungan Hukum

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah perbuatan untuk menjaga dan melindungi subyek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kemendikbud, 2009).

  Menurut Mertokusumo (2005) perlindungan hukum adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subyek hokum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi- sanksi bila ada yang melakukan wanprestasi.

  Dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan:

  “Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini

  ”. Dalam hal ini undang-undang tersebut menyatakan bahwa suatu perlindungan telah diberikan kepada setiap orang, baik orang dewasa maupun anak-anak yang menjadi saksi dan/atau korban dalam suatu tindak pidana.

  Upaya perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia telah memiliki suatu aturan hukum yang nantinya digunakan sebagai pedoman dalam meningkatkan kesejahteraan anak dan memperkecil kemungkinan anak menjadi korban tindak pidana, hal ini dikarenakan Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum sehingga segala sesuatu yang dilakukan dan dijalankan di Negara ini haruslah didasarkan pada hukum.

2. Perlindungan Hukum terhadap Anak

  Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 bahwa:

  “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah telah membuat berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai hak-hak anak.

  Soetodjo (2010) mengklasifikasikan hak-hak anak sebagai berikut:

  a. Bidang hukum, melalui Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

  b. Bidang kesehatan melalui Undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (2).

  c. Bidang pendidikan 1) Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1).

  2) Undang-undang No. 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17.

  d. Bidang ketenagakerjaan, melalui Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita jo Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 stbl. No. 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Keselamatan Kerja Anak-anak dan Orang-orang muda di atas Kapal jo Undang-undang No. 1 Undang-undang Keselamatan Kerja stbl. 1947 No. 208 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia.

  e. Bidang kesejahteraan sosial, melalui Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

  Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang hukum juga ditur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan perUndang-undangan, namun secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2, Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meliputi:

  a. Perlindungan di bidang agama 1) Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

  2) perlindungan anak dalam memeluk agamanya dijamin oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial. Perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. b. Perlindungan di bidang kesehatan 1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak. 2) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak jika tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka pemerintah wajib memenuhinya. 3) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. 4) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain. 5) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan: a) pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak; b) jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

  c) penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

  c. Perlindungan di bidang pendidikan 1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. 2) Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. 3) Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus. 4) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. 5) Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

  d. Perlindungan di bidang sosial 1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.

  2) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat:

  a) berpartisipasi;

  b) bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; c) bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; d) bebas berserikat dan berkumpul;

  e) bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan f) memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. 3) Anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar. 4) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak.

  e. Perlindungan Khusus 1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter. 2) Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata, meliputi: a) pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan

  b) pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. 3) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, meliputi:

  a) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b) penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

  c) penyediaan sarana dan prasarana khusus;

  d) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 4) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana meliputi: a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. 5) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. 6) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, meliputi: a) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

  b) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

  c) pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. 7) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 8) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 9) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perUndang- undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 10) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat dilakukan melalui upaya: a) perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; b) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan c) memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. 11) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

C. Tinjauan Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

  Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Kartonegoro, 2008).

  Poernomo (2000), pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Defenisi menurut teor i memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar

  feit

  ” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang- undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Tindak pidana menurut Moeljatno (2008) yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Menurut E.Utrecht (2003) pengertian tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

  Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara yuridis atau secara kriminologis. Tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil (Nawawi, 2003).

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

  Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu: a. Unsur Subyektif Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi: 1) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 2) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; 3) Ada atau tidaknya perencanaan;

  b. Unsur Obyektif Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku. 1) Memenuhi rumusan undang-undang 2) Sifat melawan hukum; 3) Kualitas si pelaku; 4) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

  Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

3. Jenis Tindak Pidana

  Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van

  Toelichting ) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah

  “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian (Moeljanto, 2003).

  a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari: 1) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

  2) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana. 3) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku. 4) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

  5) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada kejahatan. 6) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

  b. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu.

  c. Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan.

  d. Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan dalam rumusannya.

  e. Tindak pidana Comissionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Terdapat delicta commisionis perommisionem

  

commissa yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat

  sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat (Moeljanto, 2003)

  f. Tindak pidana aduan merupakan tindak pidana yang timbul karena adanya pengaduan dari korban atau keluarga korban yang dirugikan.

  Contoh: Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

  g. Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang sebagian besar telah tercantum dalam KUHP dimana dalam tindak pidana biasa tersebut tanpa ada aduan dari siapapun, pelaku dari tindak pidana tersebut dapat dituntut secara hukum.

  h. Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang pada umumnya, tindak pidana memang diberlakukan pada semua orang. Tindak Pidana Propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (Moeljanto, 2003). Contoh: Pasal 346 KUHP tentang seorang wanita yang menggugurkan kandungannya sendiri. i. Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan pasalnya telah ditulis secara lengkap dengan kata lain terkandung pengertian yurudis dari tindak pidana tersebut, contoh: Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan dalam bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

D. Tinjauan Tindak Pidana Anak 1. Pengertian Tindak Pidana Anak

  Tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak- anak. Tindak pidana anak dapat dihubungkan dengan istilah Juvenile

  Deliquency , yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan beragam

  istilah, yaitu kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda, taruna tersesat, ataupun jalin quersi anak. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa “Juvenile” berarti “anak” sedangkan “Deliquency” berarti “kejahatan”. Dengan demikian “Juvenile Deliquency” adalah “Kejahatan Anak”, sedangkan apabila menyangkut subjek atau pelakunya, maka Juvenile Deliquency berarti penjahat anak atau anak jahat.

  Soetodjo (2010) menyebutkan bahwa yang dimaksud juvenile

  delinquency adalah:

  Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.

  Rusli Muhammad (2007) merumuskan bahwa yang dikatakan sebagai juvenile delinquency adalah: Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang sempurna, sedangkan perangai anak si anak apabila diselidiki adalah merupakan suatu kritik nilai saja, karena dalam proses pertumbuhan ke masa remaja, sedang dalam proses mencari identitas diri. Dalam proses pencarian jati diri tersebut terkadang anak-anak tidak dapat mengendalikan diri sehingga mudah melakukan kenakalan yang menjurus pada tindak kejahatan.

2. Bentuk Tindak Pidana Anak

  Menurut Sudarsono (2004) norma-norma hukum yang sering dilanggar oleh anak-anak remaja pada umumnya adalah pasal-pasal tentang:

  a. Kejahatan-kejahatan kekerasan 1) Pembunuhan 2) Penganiayaan

  b. Pencurian 1) Pencurian biasa 2) Pencurian dengan pemberatan

  c. Penggelapan

  d. Penipuan

  e. Pemerasan

  f. Gelandangan g. Anak sipil

  h. Remaja dan narkotika Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dinyatakan bahwa tindak pidana anak merupakan salah satu dari pelanggaran terhadap pasal

  489, 490, 492, 497, 503, 505, 514, 517, 518, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, yaitu:

  a. Pelanggaran keamanan umum, seperti: 1) Mabuk di muka umum dan merintangi lalu lintas, menganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain.

  2) Menyebabkan kebakaran di muka umum.

  b. Melakukan pelanggaran terhadap ketertiban, meliputi: 1) Membuat kegaduhan, keramaian sehingga mengaganggu masyarakat.

  2) Menggelandang. 3) Penadah. 4) Pemalsuan. 5) Perusakan informasi di muka umum.

  c. Melakukan pelanggaran kesusilaan, meliputi: 1) Menyanyikan lagu, berpidato, dan menyebarkan tulisan yang melangggar kesusilaan di muka umum.

  2) Mabuk di muka umum.

E. Tinjauan Sanksi Pidana 1. Pengertian Sanksi Pidana

  Sanksi pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.

  Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat- syarat tertentu. Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik (Chazawi, 2002).

2. Jenis-jenis Pidana

  Jenis-jenis pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri atas:

  a. Pidana Pokok 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda; 5) Pidana tutupan

  b. Pidana Tambahan 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim.

  Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar hukum dari pidana. Muladi (2000) mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.

3. Jenis Pidana bagi Anak

  Berdasarkan ketentuan Pasal 69 Undang-undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dinyatakan bahwa seorang anak dapat dijatuhi pidana setelah berumur 14 tahun, sedangkan anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Selanjutnya jenis pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan bagi anak nakal. Selanjutnya dalam Pasal 71 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak dapat dijatuhi pidana sebagai berikut:

  a. Pidana pokok 1) Pidana peringatan 2) Pidana dengan syarat:

  a) pembinaan di luar lembaga

  b) pelayanan masyarakat, atau

  c) pengawasan 3) Pelatihan kerja 4) Pembinaan dalam lembaga, dan 5) Penjara

  b. Pidana tambahan terdiri atas: 1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau 2) Pemenuhan kewajiban adat

  Selanjutnya apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

  Pelaksanaan pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak.

  Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak menurut Pasal 82 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, meliputi:

  a. Pengembalian kepada orang tua/Wali

  b. Penyerahan kepada seseorang

  c. Perawatan di rumah sakit jiwa

  d. Perawatan di LPKS

  e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

  g. Perbaikan akibat tindak pidana F.

   Tinjauan tentang Narkotika 1. Pengertian Narkotika

  Segi yuridis, menurut Undang-undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009, arti narkotika dapat dilihat dalam Bab I Pasal 1 ayat (1)

  “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.”

  Memberikan suatu pengertian atau definisi tentang narkotika dewasa ini tidaklah menimbulkan kesulitan, oleh karena narkotika bukan lagi merupakan sesuatu hal yang baru di Negara ini, terutama dikalangan ilmuwan dan prakrisi dari beberapa disiplin ilmu.Dimana narkotika dalam perkembangan di era globalisasi saat ini sudah dibahas dalam berbagai media baik itu media cetak ataupun media elektronik.Narkotika dalam perkembangan saat ini sudah merupakan masalah yang global yang dihadapi oleh hampir seluruh Negara di Dunia.

  Na rkotika berasal dari bahasa Yunani “narke” yang berarti terbius, sehingga tidak merasakan apa-apa.Jadi narkotika merupakan suatu bahan-bahan yang menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya (Soedarto, 2001).

  Narkotika atau sering disebut sebagai drug adalah sejenis zat.Zat narkotika ini merupakan zat yang memiliki ciri-ciri tertentu.Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkan ke dalam tubuh.

  Pengaruh tersebut berupa pembiusan , hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan (Dirdjosisworo, 2003).

  Narkotika atau zat yang menyebabkan ketidaksadaran atau pembiusan, karena zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral atau saraf pusat dengan cara menghisap atau menyuntikan zat tersebut secara terus menerus kedalam badan (Wresniwiro, 1999).

  Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik yang sintetis maupun semi sintetisnya yang dapat menyebabkan penurunan atau penambahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

  Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan trauma rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan (Mardani, 2007).

  Bosu (2002) memberikan pengertian bahwa narkotika adalah: “sejenis zat yang apabila dipergunakan atau dimasukkan kedalam tubuh sipemakai akan menimbulkan pengaruh-pengaruh seperti berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan atau halusinasi”.

  Supramono (2009) menyatakan bahwa pengertian narkotika adalah: “suatu obat yang merusak pikiran menghilangkan rasa sakit, menolong untuk dapat tidur dan dapat menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat” 2.

   Jenis-jenis Narkotika

  Setiap jenis obat dapat membahayakan tubuh bila digunakan berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan.Akibat atau efek yang ditimbulkan terhadap tubuh manusia tergantung pada jenis narkotika yang dipakai oleh sipemakai. Oleh karena bahaya narkotika tersebut seperti pendapat para sarjana dan perundang- undangan, maka Pemerintah Indonesia membagi penggolongan jenis-jenis narkotika sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, terdiri atas 3 (tiga) golongan: a. Narkotika Golongan I Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan I yaitu: 1) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kejuali bijinya.

  2) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.

  3) Opium masak terdiri dari: