BAB II PROFIL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL A. Situasi Tegal pada Tahun 1920- 1927. - RADEN AJENG KARDINAH (1881 – 1970) PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA TEGAL - repository perpustakaan

BAB II PROFIL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL A. Situasi Tegal pada Tahun 1920- 1927. Pada sekitar tahun 1900-1942 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan

  politik balas jasa, pintu terbuka, dan politik etis (politik kemakmuran). Perubahan besar yang terjadi di masyarakat, mengakibatkan dibukanya penanaman modal di Hindia Belanda. Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina menyampaikan pidato yang kemudian menjadi titik awal dilaksanakannya politik etis. Kebijakan ini mendapat sambutan positif dari golongan sosialis Belanda. Politik etis pada prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi agar pemerintah mengupayakan peningkatan kesehatan dan angkutan serta menyelenggarakan berbagai proyek pengembangan perkotaan, mendirikan sekolah-sekolah, bahkan pada tahun 1918 merestui pembentukan Volksraad, yang fungsinya adalah memberi nasihat kepada pemerintah (Lombard, 2005 : 76-77).

  Tiga proyek utama politik etis, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi (kependudukan). Secara umum bertujuan memperbaiki kondisi material penduduk Hindia Belanda. Pencetus politik etis ini adalah C. Th. Van Defenter. Di balik itu tujuan politik etis sebenarnya untuk tetap melanggengkan kolonialisme Belanda pada tanah jajahannya. Rakyat Hindia Belanda dalam gagasan politik etis ini dibimbing memasuki dunia modern dan diperkenalkan pada peradaban barat.

  Beberapa kalangan menyebut politik etis yang membangun pola pikir modern

  28 masyarakat pribumi. Dengan dilksanakannya politik etis, pemerintah Belanda mengirimkan tenaga-tenaga ahli di berbagai bidang diantaranya adalah seorang arsitek bernama Herman Thomas Kartsen yang ditugaskan untuk mengembangkan konsep perencanaan kota-kota di Indonesia dan menyusun sistem ordinansi pembangunan kota di Jawa (Dewi, 2015 : 2).

  Tegal, berdasarkan Instelling Ordonantie, Staatsblad van Nederlands

  Indie tahun 1906 Nomor 123, dibentuk Gemunte (gemeente) Tegal (Ordonantie

  tanggal 21 Februari 1906, Staatsblad 1906 No. 123 yang berlaku sampai tanggal 1 April 1906), dalam pelaksanaan pemerintah dibentuk dewan kota (Gemunteraad).

  Kepala daerah adalah assistent resident yang membawahi kabupaten Tegal. Dewan kota terdiri dari 13 anggota, yaitu 8 warga negara Belanda, 4 warga negara pribumi , 1 warga negara bukan bumiputera bukan Belanda. Penduduk berjumlah 32.000 jiwa terdiri dari 27.700 jiwa rakyat asli/penduduk asli 2.700 jiwa Cina 1.000 jiwa Arab dan Asia yang lain 600 jiwa Belanda (Eropa) (Dewi, 2015 : 2 ).

  Di Indonesia pelaksanaan politik etis dimulai dengan perbaikan jalan- jalan, perhubungan laut, darat, udara, perikanan, pertanian, dan lain-lain. Belanda mulai banyak memperhatikan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang ada dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya penduduk pun mulai memadat.

  Politik etis di Tegal terjadi bukan karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga didorong oleh desakan yang kuat terhadap kritik kebijakan tanam paksa yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh radikal penentang kebijakan pemerintah Belanda. Douwes Dekker dengan bukunya Max Havelaar, dan golongan liberalis yang menginginkan peluang pengelolaan perusahaan-perusahaan pemerintah di tanah jajahan ke pihak swasta. Dalam sistem liberal kemudian pemerintah Belanda membuka politik pintu terbuka dengan membuka kesempatan modal swasta untuk menanamkan modal di tanah jajahannya (Dewi, 2015 : 3).

  Di Tegal kemudian didirikan pabrik-pabrik gula dan penanaman tebu yang ditanam di sawah-sawah penduduk Tegal dengan sistim sewa paksa dengan harga yang sangat murah. Tenaga-tenaga kerja diberi upah yang murah, sementara hasil keuntungan dibawa ke negeri Belanda. Berita kekejaman para pengusaha Belanda akhirnya sampai ke negeri Belanda. Hal ini mendapat kritik pedas seorang pendeta Baron van Hoevell yang mengecam tindakan pengusaha, agar tidak mencari keuntungan pribadi semata dan mengorbankan kepentingan rakyat yang dijajah. Kritikan itu begitu keras sehingga Belanda mengubah kebijakan terhadap tanah jajahan dengan melemparkan kebijakan politik etis yang dimaksudkan, kebijakan ini agar dianggap sebagai balas budi pemerintah Belanda kepada negeri jajahan. Perluasan pendidikan ini dan hal-hal mengenai nasib rakyat diperjuangkan oleh E. Dekker (Multatuli) diperjuangkan di Volksraad, tahun 1867. Pada tahun 1870 mulailah secara bertahap diadakannya penghapusan praktek tanam paksa, tetapi baru tahun 1915 tanam paksa dihapuskan sama sekali.

  Politik etis dilaksanakan di Tegal dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah tingkat dasar, yakni Hollanscb Inlandsche School (HIS) pada tahun 1917- 1933 di daerah Pungkuran sekarang menjadi SMP 10 dan SD Mangkukusuman Tegal dan sekolah lanjutan pertama ,yakni MULO Meer Uwitgebreid Laager Onderwijs sekarang menjadi SMP N 1 Tegal, pada awalnya dipegang oleh seorang kepala sekolah berkebangsaan Belanda, yakni Sleyer, setelah MULO dibubarkan kemudian diubah menjadi SMP Tegal dengan seorang kepala sekolah seorang bumiputera, yakni Raden Anwar (Dewi, 2015 : 4).

  Meskipun politik etis telah dilaksanakan di Tegal, tetapi hasilnya tidak dirasakan oleh rakyat Tegal. Kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik antara bangsa asing dan bumiputera masih sangat besar, bahkan diskriminasi semakin kuat. Ternyata politik etis di bidang pendidikan untuk kepentingan Belanda dengan mendidik pribumi terpelajar yang mengisi jabatan tata praja (amsbtenaar) harus loyal kepada pemerintah Belanda, tetapi tidak semua penduduk Tegal bisa mengenyam pendidikan. Orang-orang bumiputra hanya boleh sekolah di Eesste School (Sekolah Angka Siji), sekolah tingkat dasar yang diperuntukkan para priyayi, sedangkan sekolah dasar bagi rakyat pedesaan disebut Tweede School (Sekolah Angka Loro), kedua sekolah tadi belum menggunakan pengantar bahasa Belanda, tetapi memakai bahasa daerah dan melayu, sedangkan sekolah dasar yang menggunakan pengantar bahasa Belanda adalah HIS (Hollansch Inlandsche

  School) (Dewi, 2015 : 5).

  Selain itu Tegal juga memiliki pelabuhan yang dikenal sejak kekuasaan Mataram dan menjadi strategis terkait era culturstelsel dan kapitalisme perkebunan. Daya dukung pelabuhan Tegal secara geografis disebabkan faktor- faktor, yaitu (1) ombak yang bersahabat dan memungkinkan kapal-kapal berlabuh, (2) tidak adanya batu karang dalam perairan sekitar pelabuhan, (3) letak pelabuhan yang menghubungkan daerah hinterland melalui sungai Gung. Selain sebagai pertanian, kawasan Tegal mulai bergeliat saat dikenalnya komersialisasi lahan perkebunan tebu dimulai pada pertengahan abad XIX. Komoditas gula merupakan komoditas terpenting di Hindia Belanda. Bahkan pulau Jawa mampu mengekspor produk gula mengungguli Kuba hingga pertengahan tahun 1920.

  Sementara eksploitasi tanah untuk keperluan penanaman tebu di kawedanan Tegal karesidenan Pekalongan sampai tahun 1930 mencapai 31% dari total lahan pertanian sawah. Industri gula tumbuh pesat di karesidenan Pekalongan sebagai konsekuensi industrialisasi perkebunan. Pesatnya industri gula berpengaruh dalam pertumbuhan infrastruktur kota di Tegal, salah satunya adalah jaringan transportasi kereta api. Memang jauh sebelum pembangunan rel kereta api di wilayah Tegal terbentuk, jalur utama seperti jalan groote postweg dan jalan-jalan yang menghubungkan wilayah pedalaman dan kawasan sekitarnya yang sudah terbentang luas sejak tahun 1841. Namun pada masa hujan, kerap terjadi banjir yang merusak jalan dan jembatan. Kerusakan jalan akibat banjir ini berdampak pada pengangkutan hasil komoditas perdagangan. Rencana pembuatan jalan kereta api sebagai jalur alternatif pengganti jalan mulai digagas pada 18 januari 1882 dengan membuka jalur Tegal-Balapulang melalui Banjaran dan Slawi. Dari Banjaran percabangan akan menghubungkan daerah ke wilayah Pangkah. Makna pembuatan jalur rel kereta api itu diantaranya untuk mempermudah jalur pengangkutan komoditas gula seperti di Pangkah dan Balapulang, dengan kata lain pembukaan jalur kereta api makin memudahkan pengiriman hasil perkebunan di pedalaman Tegal menuju pelabuhan Tegal. Pembangunan pelabuhan niaga sebagai pendukung transportasi komoditas perkebunan yang sudah ada semasa

  culturstelsel. Di kawasan pelabuhan Tegal terdapat gudang-gudang penyimpanan kopi dan gula (Suputro, 1959: 59).

  Gula merupakan ekspor paling penting sampai pertengahan tahun 1920, dan baru berakhir ketika kedudukanya digantikan oleh karet. Pabrik gula tidak diizinkan memiliki tanah untuk ditanami tebu, melainkan harus menyewa tanah rakyat. Terjadilah perusakan berat industri gula terhadap kesuburan tanah milik petani karena sepanjang tahun tanah ditanami tebu dan irigasi menyerap air, menyababkan petani sawah kekurangan air. Faktor penyebab keuntungan industri gula yang melimpah, ialah bahwa rakyat dipaksa menyewakan sawah beserta tenaga kerjanya secara murah. Sewa tanah berdasarkan pendapat bersih dari panen padi dan palawija, bukan berdasarkan nilai tanah yang disesuaikan dengan harga gula di pasaran internasional, dengan demikian keuntungan yang diperoleh karena sewa yang murah itu jatuh pada orang-orang Eropa agar sistem ini berjalan dengan baik, pemaksaan penyewaan tanah terhadap kaum tani dilakukan oleh elit birokrastis setempat, yaitu kepala desa atau pangreh praja (Lucas, 1989 : 17).

  Menjelang pertengahan tahun 1920 Karesidenan Pekalongan, sejumlah 17 pabrik gula telah menjepit petani padi, sehingga mereka kurang atau sama sekali tidak dapat menanami sawahnya dengan padi. Di kewedanan Slawi, 31 persen dari sawah ditanami tebu dan di Kewedanan Adiwerna terdapat tiga pabrik gula. Inilah kenyataan mengenai apa yang terjadi pada kaum tani di tahun 1930-an, dengan kepadatan penduduk Adiwerna tertinggi di Jawa, hanya 21,8 persen dari angkatan kerjanya, dengan beban pajak yang berat bekerja dalam pertanian, sedangkan 25,3 persen terpaksa lari ke bidang industri dan 28,9 persen lainnya merupakan tenaga kerja sebagai buruh lepas. Dalam tahun 1921 petani sering mengeluh kerena pamong desa sering menggunakan air untuk kepentingan pribadi. Sengketa mengenai air demikian hangatnya dan sering menimbulkan bentrokan sehingga sawah harus dijaga agar tidak ada pencurian air. Ketergantungan petani pada tuan tanah kaya untuk mendapatkan pinjaman uang dan padi, terutama di musim pancekelik menyurutkan mereka untuk menuntut pembagian air yang lebih adil.

  Kemrosotan yang menyolok bagi industri gula semasa depresi ekonomi merupakan krisis utama bagi karesidenan Pekalongan. Investasi bagi pemeliharaan dan pembuatan irigasi baru terhenti, upah merosot, kerja musiman di pabrik juga terhenti. Jalan kembali ke ekonomi subsisten bukanlah menuju penyerderhanaan kehidupan masyarakat pedesaan, tetapi pemiskinan dan kesengsaraan. Namun pada tahun 1920 terjadi perubahan-perubahan sosial di kalangan penduduk pribumi dan pada pemikiran penguasa kolonial Belanda. Para bupati itu semakin terasing dari kalangan cendikiawan rakyatnya, sedangkan pemerintah Belanda lebih mementingkan kejujuran dan kesopanan dalam jabatannya. Perubahan dalam masalah-masalah sosial dan hubungan antara bupati dengan penguasa kolonial menjadi kaku dan kurang demokratis (Lucas, 1989 : 17- 24).

  Sebelum pemberontakan komunis tahun 1926, telah banyak terdengar keluhan yang menyangkut ketidakpuasan rakyat mengenai gaji dan keadaan kerja di perkebunan Eropa dan kecilnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Pada tahun 1920 keluhan-keluhan itu di tanggapi oleh pimpinan Sarekat Islam yang aktif menyerang diskriminasi antara priyayi dan rakyat. Anggota gerakan nasional, yaitu kaum pergerakan merasakan tajamnya diskriminasi ini di bidang pendidikan karena hanya menguntungkan anak-anak priyayi, terutama karena terbatasnya tempat bagi pribumi untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dasar berbahasa Belanda (HIS). Sesudahnya gagalnya panen padi di Jawa pada tahun 1918 terjadilah pergerakan masa tani oleh sayap kiri Sarekat Islam Keresidenan Pekalongan, khususnya di daerah pantai timbul kerusuhan-kerusahan di perkebunan karet dan pemogokan-pemogokan di bidang industri, di tumpangi dengan memburuknya hubungan orang-orang Eropa dan pribumi, seperti di dinas kehutanan Pemalang. Pemimpin sarekat buruh gula menyampaikan keluhan kepada gubernur jendral, sehubungan dengan adanya intimidasi polisi dan laporan-laporan palsu yang diedarkan oleh para pejabat Belanda dan pangreh praja. Setelah sarekat islam pecah pada tahun 1923, banyak cabang Sarekat Islam menjadi Sarekat Rakyat, suatu organisasi yang didirikan PKI untuk para petan yang sealiran dan berada di luar pusat-pusat kota. Menjelang Januari 1926 jumlah anggota Sarekat Rakyat cabang Tegal sekitar 3.500 orang, dan cabang Pekalongan 3.2301 orang termasuk 160 orang Cina (Lucas, 1989 : 25).

  Pada tahun 1923 pemogokan buruh kereta api yang digerakkan oleh Perserikatan Buruh Kereta Api dan Tram (VSTP) yang merupakan awal dari pertumbuhan yang pesat dari PKI. Dengan banyaknya anggota SI dan VSTP Pekalongan untuk berkumpul, maka dibatasi oleh penguasa kolonial. Pada akhir Februari situasi politik di Tegal dan Pekalongan memantapkan golongan komunis untuk memberontak terhadap penguasa, terutama dengan adanya ranting-ranting partai di sepanjang pantai antara Cirebon dan Pekalongan. Kejadian yang meletus di Dukuh Karangcegak, Kecamatan Tarub, merupakan salah satu akibat dari ketidakpuasan rakyat, di samping pajak yang dipungut, keharusan untuk bekerja di kecamatan pun dirasakan oleh rakyat sangat berat. Mulai tanggal 24 Februari 1926 menjadi penjaga dan peronda desa merupakan tugas kewajiban. Kewajiban ini ditentang oleh suatu kelompok yang disebut Persaoedaraan Setia Hati yang dipimpin oleh Suleiman, seorang tokoh SI. Walaupun Suleiman dan kawan- kawannya telah ditangkap, rakyat tetap melanjutkan tindakan menentang tugas dan kewajiban itu karena Wedana Adiwerna dan Camat Tarub datang ke Dukuh Karangcegak untuk menyaksikan keadaan sebenarnya karena keadaan itu dianggap serius, keesokan harinya enam orang polisi didatangkan untuk mengatasi huru-hara tersebut. Polisi itulah yang sebenarnya menciptakan huru- hara karena mendobrak pintu rumah para pemimpin SI yang dituduh memimpin penentangan terhadap wajib jaga tersebut sehingga membangkitkan kemarahan rakyat yang segera mengepung wedana. Rakyat yang marah itu meningkat jumlahnya, lebih dari 200 orang dengan bersenjatakan pentung, bambu runcing, dan parang pemotong tebu, mereka bersiap siaga. Sambil meneriakan „‟Sabilillah‟‟ mereka menyerbu rumah seorang haji setempat karena terdapat beberapa polisi dan agen PID yang sedang bersembunyi di tempat itu. Insiden ini membawa kerusakan perabot rumah dan luka ringan di kalangan yang bersembunyi di rumah haji. Residen Pekalongan panik dan mengirim kawat kilat kepada gubernur Jendral di Bogor. kemudian, datanglah bala bantuan polisi dari Sukabumi, Semarang, dan Kudus ke Karangcegak untuk menumpas pemberontakan itu. Sejumlah 5.326 anggota Sarekat Rakyat diintrogasi atau ditahan di sembilan kecamatan, dan sebanyak 3.510 kartu keanggotaan disita polisi. Dalam tahun 1926 dari Karangcegak sedikitnya 8 orang telah dibuang ke

  Boven Digul dan lebih dari 60 orang dipenjarakan di beberapa tempat di Jawa (Lucas, 1989 : 27).

  Pada bulan September 1926 di Desa Bangle, Kewedanaan Adiwerna, pabrik gula Pagongan menolak mengembalikan tanah yang disewa, padahal sesuai dengan kontrak tanah itu harus dikembalikan kepada rakyat ketika musim penanaman padi. Pabrik menolak penebangan tebu karena kadar gula masih rendah sehingga menimbulkan pertengkaran. Mandor tebu lalu melaporkan kejadian itu kepada wedana. Enam orang yang berdiri membawa pisau penyabitan rumput ditembak di tempat sebagai tindakan balas dendam asisten residen (Lucas, 1989 : 28).

  Perlawanan PKI yang meletus pada bulan Agustus dan September 1926 menunjukan adanya semangat tinggi organisasi partai yang kuat. Perlawanan yang meletus sebelum matang, ini membuat Belanda dapat membersihkan gerakan revolusioner dengan bantuan mata-mata dan informannya. Belanda dapat menangkap seluruh pimpinan partai di Tegal dan Pekalongan sebelum 12 November 1926, yaitu tanggal yang direncanakan untuk memulai revolusi.

  Dengan adanya penangkapan itu banyak tempat-tempat yang telah mempersiapkan diri untuk memberontak, menjadi tidak berdaya (Lucas, 1989 : 28).

  Pada tahun 2009-2013 jumlah penduduk kota Tegal menunjukkan, bahwa pada tahun 2013 sebanyak 245.202 jiwa, terdiri dari 121.712 penduduk laki-laki dan 123.490 penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 99. Angka ini relatif stagnan dalam periode tahun 2010-2013. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penduduk laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan penduduk perempuan. Angka pertumbuhan penduduk kota Tegal mayoritas adalah beragama islam. Pada tahun 2013, jumlah muslim di kota Tegal mencapai 232.492 jiwa atau sebesar 95 % ( Hafiz, 2013 : 6).

  Pada tahun 2013 pertumbuhan kota Tegal tercatat sebesar 0,6 persen. Angka ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan hal itu, persebaran penduduk kota Tegal terbesar berada di kecamatan Tegal timur , yaitu mencapai 76.224 jiwa (30,82 persen) dan persebaran terendah di wilayah Margadana yaitu 45.788 jiwa (18,84 persen). Persebaran ini masih relatif sama dengan tahun sebelumnya, kecamatan Tegal timur memiliki distribusi terbanyak dan terendah adalah kecamatan Margadana. Pada tahun 2013, kepadatan penduduk rata-rata di kota Tegal adalah 6.146 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tertinggi berada di kelurahan Debong Kidul Selatan, yaitu 14.520 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah berada di kelurahan Muarareja kecamatan Tegal barat sebesar 696 jiwa/ km2 (www. Pemkot.com diunduh tanggal 3 Agustus 2016).

  Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran keadaan suatu perekenomian dari suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan meningkatnya jumlah barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat pula dinikmati masyarakat sampai dilapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata (www.

  Pemkot.com diunduh tanggal 3 Agustus 2016).

  Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah dibidang ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas dasar harga konstan, meskipun dapat pula berdasarkan harga berlaku. PDRB mempunyai fungsi, sebagai parameter tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat kemakmuran masyarakat, tingkat inflasi dan deflasi, struktur perekonomian serta tingkat produktifitas tenaga kerja. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu. Data PDRB sangat dibutuhkan dan perlu disajikan karena dapat dipakai sebagai bahan evaluasi dan analisis perencanaan pembangunan, juga merupakan barometer untuk mengukur hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Besarnya PDRB kota Tegal pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku sebesar

  Tabel 1. PDRB kota Tegal tahun 2008-2012 Tahun PDRB Adh Berlaku Rp (000,-) PDRB Adh Konstan 2000 Rp (000,-)

  3.093.943.825,27 ribu rupiah dan atas dasar harga konstan 2012 sebesar 1.396.227.214,74 ribu rupiah. Adapun pertumbuhan ekonomi kota Tegal selama tahun 2012 adalah sebesar 4,62 % dengan laju inflasi 3,09 % . Dari data BPS kota Tegal, angka PDRB kota Tegal sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 dapat ditampilkan pada tabel berikut.

  2008 2.139.214.566,39 1.166.587.874,62 2009 2.387.809.680,97 1.225.102.106,91 2010 2.633.940.493,40 1.281.528.201,39 2011 2.859.932.192,56 1.340.227.744,49 2012 3.093.943.825,27 1.396.227.214,74 Sumber : BPS kota Tegal tahun 2012 Berdasarkan tabel di atas PDRB kota Tegal selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Angka beban tanggungan merupakan angka yang menunjukkan perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif (usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun) dengan banyaknya orang yang termasuk usia produktif. Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur maka angka beban tanggungan (depency ratio) penduduk kota Tegal tahun 2012 sebesar 45,69. Hal tersebut berarti setiap 100 penduduk usia produktif (usia 15

  • – 64
tahun) harus menanggung beban hidup sekitar 46 jiwa penduduk usia 0

  • – 14 tahun dan usia > 65 tahun (Hafiz.2013 : 7).

  Pembangunan kesehatan masyarakat kota Tegal, diharapkan mengacu kepada visi pembangunan kota Tegal, yaitu terwujudnya masyarakat yang bermoral, berbudaya, dan berdaya saing untuk memperkuat kota Tegal sebagai pusat perdagangan, jasa, industri, dan maritim menuju masyarakat yang partisipatif dan sejahtera. Di samping itu juga untuk mencapai masyarakat kota Tegal yang sehat dan mandiri. Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia

  IPM) dari aspek kesehatan di samping aspek pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah) dan ekonomi (pengeluaran perkapita). Angka harapan hidup yang dipergunakan dalam hal ini adalah angka harapan hidup 0 tahun, yang menggambarkan rata

  • – rata lamanya hidup yang mungkin dicapai oleh penduduk sejak usia 0 tahun. Angka ini menggambarkan derajat kesehatan masyarakat secara umum, sistem pelayanan kesehatan maupun kesadaran masyarakat dalam hal perilaku hidup sehat (Hafiz.2011 : 10).

  Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat ditingkat dasar. Puskesmas berdasarkan pelayanan yang diberikan dibedakan menjadi empat, yaitu (1) puskesmas perawatan, (2) puskesmas non perawatan, (3) puskesmas pembantu, (4) puskesmas keliling.

  Kegiatan yang diselenggarakan di puskesmas adalah promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak (KIA) termasuk Keluarga Berencana (KB), perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan. Puskesmas perawatan, disamping menyelenggarakan pelayanan kesehatan seperti puskesmas pada umumnya, juga menyediakan fasilitas pelayanan rawat inap. Dengan demikian puskesmas perawatan juga berfungsi sebagai pusat rujukan antara yang melayani penderita gawat darurat sebelum dirujuk ke rumah sakit. Jumlah puskesmas di kota Tegal pada tahun 2011 sebanyak 3 puskesmas non perawatan, 1 puskesmas perawatan, dan 25 puskesmas pembantu. Bila dibandingkan dengan konsep wilayah kerja puskesmas, dengan sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah puskesmas rata

  • – rata 30.000 penduduk per puskesmas, maka rasio jumlah puskesmas per 30.000 penduduk di kota Tegal pada tahun 2011 adalah sebesar 0,5 (Hafiz, 2011 : 48).

  Salah satu indikator kinerja rumah sakit adalah persentase pemanfaatan tempat tidur atau Bed Occupation Rate (BOR). Angka Bed Occupation Rate (BOR) yang tinggi (> 85 %) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu untuk pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. Bed Occupation Rate (BOR) yang ideal untuk suatu rumah sakit adalah antara 60 % sampai dengan 80 %. Sementara itu persentase rata-rata pemakaian tempat tidur di RSUD Kardinah kota Tegal pada tahun 2011 adalah sebesar 71,1%. Sedangkan BOR di rumah sakit umum swasta kota Tegal pada tahun 2011, yaitu (1) RSUI Harapan Anda sebesar 74,6 %, (2) RSU Mitra Keluarga sebesar 38,4 %, (3) RSIA Kasih Ibu sebesar 33,3 %. Rata

  • – rata lama rawat seorang pasien/Average Length Of Stay (ALOS) (Hafiz, 2011 : 48-49).

Rata-rata lama rawat seorang pasien (ALOS) yang ideal antara 6 – 9 hari

  Rata-rata lama rawat seorang pasien untuk tahun 2011 di RSUD Kardinah kota Tegal sebesar 4,3, RSUI Harapan Anda sebesar 4,6, RSU Mitra Keluarga sebesar

  2,9, dan RSIA Kasih Ibu sebesar 2,3. Rata-rata hari tempat tidur tidak ditempati / Turn Of Inteval (TOI) angka TOI dan ALOS merupakan indikator untuk mengukur efisiensi penggunaan tempat tidur, semakin besar TOI maka semakin jelek efisiensi penggunaan tempat tidur. Angka ideal untuk rata-rata tempat tidur tidak ditempati / TOI adalah 1

  • – 3 hari. TOI di RSU yang ada di kota Tegal selama tahun 2011 adalah untuk RSUD Kardinah sebesar 1,8 hari, RSUI Harapan Anda sebesar 1,6 hari, RSU Mitra Keluarga sebesar 4,7 dan RSIA Kasih Ibu sebesar 4,6. Angka kematian umum penderita yang dirawat di RS / Gross Death Rate (GDR) angka GDR dipergunakan untuk mengetahui mutu pelayanan atau perawatan rumah sakit semakin rendah nilai GDR berarti semakin baik mutu pelayanan rumah sakit tersebut. Angka GDR yang masih ditolerir adalah maksimum sebesaar 45. GDR di RSU yang ada di kota Tegal selama tahun 2011 adalah untuk RSUD Kardinah sebesar 63,9, RSUI Harapan Anda sebesar 67,5, RSU Mitra Keluarga sebesar 24,5 dan RSIA Kasih Ibu sebesar 0,00. Angka kematian yang dirawat < 48 jam / Net Death Rate (NDR) Sebagaimana GDR, nilai NDR juga untuk mengetahui mutu pelayanan atau perawatan di rumah sakit. Nilai NDR yang dapat ditoleril adalah 25 per 1.000 penderita keluar. NDR di RSU yang ada di kota Tegal selama tahun 2011 adalah untuk RSUD Kardinah sebesar 50,1; RSUI Harapan Anda sebesar 22, RSU Mitra Keluarga sebesar 7,3 dan RSIA Kasih Ibu sebesar 0,00 (Hafiz, 2011 : 49).

  Jumlah sarana pelayanan kesehatan menurut kepemilikan/pengelola sarana pelayanan kesehatan, terdiri dari RSU, RSJ, RSB, RS khusus lainnya, puskesmas perawatan, puskesmas non perawatan, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, klinik, apotek, gudang farmasi, industri obat tradisional, dan praktek dokter perorangan. Pada tahun 2011 sarana pelayanan kesehatan yang ada di kota Tegal sejumlah 608 sarana. Dari sarana pelayanan kesehatan tersebut, 37 sarana merupakan milik pemerintah kota Tegal, 2 sarana milik TNI/Polri dan 569 milik swasta (Hafiz, 2011 : 50).

  Sarana pelayanan kesehatan yang dimiliki/dikelola oleh swasta di kota Tegal pada tahun 2011 sebanyak 569 sarana.

  Tabel 2. Pelayanan swasta Tahun 2011 Jenis Lembaga/Instansi Jumlah

  Praktek dokter perorangan 224 Unit Apotik

  63 Unit Klinik

  45 Unit Rumah sakit

  2 Unit Praktek dokter bersama

  2 Unit Rumah sakit ibu dan anak

  2 Unit Upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat terdiri dari kelurahan siaga, yaitu poskesdes, polindes, dan posyandu. Total UKBM yang ada di kota Tegal pada tahun 2011 sebanyak 194 posyandu balita dan 104 posyandu lansia (Hafiz, 2011 : 50).

C. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

  Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah kota Tegal merupakan salah satu lembaga teknis daerah, yakni sebagai unsur pendukung walikota Tegal yang bertugas melaksanakan kebijakan daerah dibidang pelayanan kesehatan. Sebagai unsur pendukung, RSUD Kardinah berkewajiban mendukung dan mewujudkan visi dan misi walikota Tegal periode 2014-2019, yaitu terwujudnya kota Tegal yang sejahtera dan bermartabat berbasis pelayanan prima. Dalam mewujudkan dukungan tersebut RSUD Kardinah memiliki peran strategis dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Tohari, 2015: 1).

  Dalam implementasi kegiatan RSUD Kardinah menetapkan visi, misi, motto, falsafah, dan nilai serta program kegiatan yang menjadi pijakan dalam mendukung visi dan misi walikota Tegal sebagai kepala daerah. Arah pengembangan pelayanan rumah sakit, yaitu memprioritaskan pelayanan kepada pasien secara terpadu, peningkatan kesehatan lingkungan, peningkatan mutu, pelayanan pendidikan dan penelitian sebagai pengembangan riset ilmu pengetahuan kesehatan masyartakat, dan ilmu pengetahuan secara umum serta peningkatan kompetensi petugas. Pengembangan ini selaras dengan tujuan masa depan rumah sakit bertaraf nasional dan kelas dunia (Tohari, 2015 : 1).

  RSUD Kardinah kota Tegal bermula dari balai pengobatan yang didirikan pada tahun 1927 oleh Raden Ajeng Kardinah, beliau merupakan adik kandung dari Raden Ajeng Kartini tokoh nasional perintis emansipasi wanita, yang sangat peduli dengan nasib rakyat, khususnya dalam hal pengobatan yang masih sangat tradisional. Pada tahun 1971 setelah Raden Ajeng Kardinah wafat, balai pengobatan yang sudah mengalami berbagai peningkatan sarana dan prasarana diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II kota madya Tegal dan kemudian berubah menjadi rumah sakit yang kemudian diberi nama rumah sakit umum Kardinah. Pada tahun 1983, dengan surat keputusan walikota madya dati II Tegal nomor : 61/1/1004/1983, ditetapkan sebagai rumah sakit umum Kardinah tipe C, selanjutnya pada tahun 1995 dengan surat keputusan menteri kesehatan nomor : 92/MENKES/SK/1995, ditetapkan sebagai rumah sakit umum daerah kelas B non pendidikan. Lulus akreditasi dengan sertifikasi akreditasi rumah sakit 5 (lima) pelayanan dasar pada tahun 1998, dan pada tahun 2005 lulus akreditasi dengan 12 pelayanan. pada tahun 2008 dengan surat keputusan walikota Tegal nomor : 445/244/2008, tanggal 31 Desember 2008 ditetapkan sebagai rumah sakit umum daerah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah secara penuh meraih sertifikasi ISO 9001 : 2008, certificate of registration no. D.0023.1.1023.12.11 tentang manajemen mutu. Pada tanggal 16 Desember 2011. Rumah sakit umum daerah Kardinah kota Tegal banyak mendapatkan penghargaan serta rekomendasi umum, yaitu (1) berdasarkan surat keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 451/MENKES/SK/XII/2012 tanggal

  28 Desember 2012 RSUD Kardinah menjadi rumah sakit rujukan bagi orang terkena HIV dan AIDS, (2) berdasarkan surat keputusan gubernur Jawa Tengah nomor 440/110 tahun 2013, tanggal 23 Agustus 2013 RSUD Kardinah ditetapkan sebagai selah satu rumah sakit rujukan regional provinsi Jawa Tengah, (3) Pada tahun 2015 mendapat sertifikat sistem management mutu ISO 9001 : 2015, (4) lulus akreditasi rumah sakit versi 2012 kars tingkat utama pada tahun 2015. Hal ini merupakan upaya yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada para pengguna jasa (Tohari, 2015 : 2-3).

  Letak RSUD Kardinah berada di kelurahan Kejambon kecamatan Tegal Timur berbatasan dengan wilayah kelurahan Debong Tengah dan Randugunting kecamatan Tegal Selatan kota Tegal dan kelurahan Dukuturi kabupaten Tegal.

  Posisinya yang strategis berada di persimpangan jalan utama antara kota Tegal dan Purwokerto, sekaligus menjadi pintu masuk tempat sarana pelayanan kesehatan wilayah pantura pulau Jawa, jika berasal dari wilayah selatan. Hal ini menjadi akses untuk menuju RSUD Kardinah mudah dijangkau, karena letaknya yang sangat strategis tersebut, itu juga salah satu yang mendukung sebagaian besar pasien di luar kota Tegal lebih memilih RSUD Kardinah dari pada RSU yang ada di wilayahnya (Tohari, 2015 : 3).

  Visi RSUD Kardinah adalah menjadikan rumah sakit bertaraf nasional mandiri pelayanan prima. Makna yang terkandung dalam visi tersebut adalah RSUD Kardinah harus menjadi rumah sakit yang menerapkan standar pelayanan mutu melalui akreditasi nasional dan mandiri dalam tata kelola yang kredibel, transparan, adil, dan bertanggungjawab (Good Coorporate Governance). Dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan profesional yang menjunjung tinggi standar dan etika profesi dalam upaya mewujudkan tata kelola klinik yang baik (Good Clinical Governance) dan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi pada keselamatan pasien (patient safety) serta kepuasan pengguna jasa , maka RSUD Kardinah melaksanakan beberapa langkah yang dirumuskan dalam misi ada 3, yakni (1) mengembangkan manajemen rumah sakit yang efektif dan profesional (Good Coorporate Governance) yang bertujun meningkatkan kemandirian organisasi dan manajemen yang efektif dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan sasaran meningkatnya pendapatan operasional BLUD, (2) memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi standar dan etika profesi serta berkeadilan (Good Clinical Governance) adalah meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi pada kepuasan pengguna jasa dengan sasaran tercapainya kepuasan pengguna jasa, (3) mengembangkan pelayanan kesehatan sesuai dengan perkembangan teknologi kedokteran terkini berwawasan lingkungan bertujuan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi pada standar mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan sasaran tercapainya mutu pelayanan kesehatan sesuai SPM (Tohari, 2015 : 4).

  Motto, falsafah, dan nilai yang dimiliki RSUD Kardinah adalah sebagai pijakan dalam mengembangkan moral disetiap pengguna jasa ataupun petugas jasa rumah sakit tersebut, yaitu (1) motto kesembuhan dan kepuasan anda adalah keutamaan bagi kami, (2) falsafah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan atas dasar keikhlasan, kesungguhan, beretika dan amanah menjadikan setiap langkah pelayanan menjadi ibadah, (3) nilai kerjasama team, kemanusian, integritas, dan profesional (Tohari, 2015 : 4).

  Moto yang dimiliki RSUD Kardinah memberikan dorongan semangat pelayanan yang harus diberikan seluruh pegawai rumah sakit untuk mengutamakan kesembuhan pasien dan kepuasan bagi seluruh pengguna baik internal maupun eksternal. Ketika pengguna internal puas maka pelayanan terhadap pengguna eksternal akan memuaskan juga, sehingga tujuan akhir bagi kesembuhan pasien dan kesehatan masyarakat akan tercapai. Dalam menopang motto yang ada tersebut diperlukan falsafah atau filosofi dalam memberikan pelayanan, yakni keikhlasan, kesungguhan, beretika, dan amanah yang akan menjadikan setiap langkah yang dilakukan selutuh pegawai rumah sakit Kardinah sebagai bagian dari ibadah. Nilai yang ditanamkan ketika memberikan pelayanan adalah mengedepankan kerjasama tim, karena adanya banyak keahlian profesional yang ada di RSUD Kardinah, kemudian integritas dilakukan harus melebihi ekspetasi atau kegiatanya harus memiliki keyakinan membantu sesama manusia dengan melaksanakan tugas secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun hukum. Sebagai rumah sakit rujukan regional harus memenuhi kriteria dan standar yang telah ditetapkan antara lain, sebagai berikut : (1) klasifikasi rumah sakit rujukan regional minimal harus kelas B dan pendidikan, (2) rumah sakit rujukan regional harus sudah terakreditasi Versi 2012 minimal lulus tingkat utama, (3) ketenagaan dokter spesialis dan sub spesialis, sarana prasarana dan alkes harus sesuai ketentuan Permenkes No.56 Tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit, (4) pelayanan unggulan spesialistik minimal 2 pelayanan, (5) perlu mengembangkan sarana prasarana, alkes dan SDM guna penguat SPGDT (IGD, IBS, ICU, ICCU, NICU, PICU,TT Kelas III, dan ambulans, (6) perlu kerjasama sister hospital dengan rumah sakit rujukan Nasional (Tohari, 2015 : 5).

  Dari kriteria-kriteria tersebut di atas RSUD Kardinah belum menjadi rumah sakit pendidikan, oleh karena itu RSUD Kardinah berupaya untuk bisa menjadi rumah sakit pendidikan, dengan salah satunya mengadakan kerjasama dengan fakultas kedokteran sebagai rumah sakit pendidikan utama (Tohari,2015:5).

D. Sumber daya Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

  Sarana dan prasarana salah satu modal utama dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pengguna, baik internal maupun eksternal. RSUD Kardinah dibangun diatas tanah seluas 48.065 meter persegi dengan luas bangunan 36.690,6 meter persegi. Rumah sakit ini mempunyai daya listrik sebesar 1.062 KVA dan generator set sebesar 1.335 KVA yang menopang seluruh pelayanan. Untuk kebutuhan air tersedia jaringan PDAM sebanyak 11 buah, sumur arteris dan pompa dangkal juga tersedia sebanyak 14 buah. Dalam operasionalnya didukung oleh ambulans sebanyak 6 unit. Selama tahun 2015 dalam rangka meningkatkan kualitas layanan maka RSUD Kardinah melaksanakan beberapa penataan ruangan perawatan disesuaikan dengan penambahan gedung. Ada 438 tempat tidur dengan fasilitas kelas III ada 194 tempat tidur, kelas 1 ada 80 tempat tidur, kelas II ada 24 tempat tidur, perawatan intensive berupa ICU ada 9 tempat tidur dan HCU ada 1 tempat tidur. Untuk mampu secara kompetitif dalam persaingan menjadi pusat rujukan di kota Tegal dan sekitarnya maka RSUD mengembangkan layanan VIP sebanyak 83 tempat tidur. Sehingga setelah ditambah dengan layanan One Day care (ODC) 6 tempat tidur, perinatologi 11 tempat tidur, dan unit stroke 9 tempat tidur jumlah tempat tidur dan mesin haemodialisa sebanyak 20, jumlah kamar operasi sebanyak 8, radiologi dan laboratorium patologi klinik, bank darah, laboratorium mikrobiologi klinik semuanya terfasilitasi dengan lengkap sesuai kebutuhan pengguna jasa (Tohari, 2015 : 7).

  Dalam perkembanganya RSUD dari tahun 1927 sampai sekarang begitu sangat pesat dari sebelumnya sabagai perjuangan kemanusiaan yang dilakukan oleh Kardinah untuk masyarakat Tegal karena kurangnya praktek kesehatan yang memadai, sekarang telah menjadi pusat kesehatan rujukan yang ada di wilayah Jawa Tengah, dan sekitarnya dengan berbagai pelayanan spesialis kedokteran. RSUD Kardinah bukan hanya menjadi pusat kesehatan kota Tegal saja, tetapi memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Tegal, dengan cara mempublikasikan tokoh R.A. Kardinah dan sejarah singkatnya di dalam bangunan RSUD Kardinah, maka peristiwa sejarah akan terus hidup untuk generasi muda agar lebih menghargai jasa- jasanya (Tohari, 2015 : 8).