STATUS HUKUM PERKAWINAN PERSPEKTIF IMAM AL-SHAFI’I DALAM KITAB AL-UMM
STATUS HUKUM PERKAWINAN MAFQUd perspektif Imam Al-Shafi‟i dalam
kitab al-Umm?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (kajian
kepustakaan), yaitu penelitian dengan menggunakan upaya pencarian dokumen
atau kepustakaan yang berdasarkan kitab, buku, dan lainnya. Metode
Penelitiannya menggunakan metode Normatif.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa:1. Penggunaan asal kata mafqu>d
adalah dari Al-Qur‟an Surat Yusuf ayat 72. Karena kata mafqu>d memiliki arti
kehilangan yang dapat dipakai untuk menyebutkan orang yang hilang. Perspektif
Imam Al-Shafi’i> tentang mafqu>d dalam kitab Al-Umm adalah orang dapat
dikatakan hilang ketika lebih dari 4 (empat) tahun tidak diketahui keberadaannya
atau sudah lewat masa yang orang-orang seperti dia tidak dapat hidup lagi
menurut adat. 2. Epistemologi pendapat Imam Al-Shafi>’i> tentang mafqu>d adalah
ditentukan tenggang waktu vonis kematian kepada mafqu>d, diterangkan juga
orang hilang dikatakan meninggal dunia adalah 90 tahun menurut Abu Hanifah.
Hal ini dilatarbelakangi dengan melihat umur orang-orang yang sebayanya di
wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam AlShafi>’i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan.
Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati.3. Status hukum perkawinan dan
kewarisan mafqu>d perspektif Imam Al-Shafi’i> dalam kitab Al-Umm dijelaskan
bahwa Al-Shafi‟i > berpendapat bahwa istri dari suami hilang (mafqu>d), maka
istrinya tetap menjadi miliknya.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT. yang
telah melimpahkan segala nikmat, taufik dan rahmad-Nya, sehingga dapat
menyelesaikan tesis dengan judul, “Status Hukum Perkawinan Mafqud Perspektif
Imam Al-Shafi‟i Dalam Kitab Al-Umm”.
Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad saw. beserta para sahabat yang selalu berpegang teguh
dalam memperjuangkan agama Allah SWT. Keberhasilan Penulis dalam
menyelesaikan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Hj. Siti Maryam Yusuf, M.Ag. selaku Rektor IAIN Ponorogo yang
telah menerima Penulis untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan ini.
2. Bapak Dr. Aksin, M.Ag. Selaku Direktur Pascasarjana (IAIN) Ponorogo
3. Bapak Dr. Abid Rohmanu, M.H.I. selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
4. Bapak Iza Hanifuddin, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, serta penyusunan laporan penelitian ini hingga
dapat diselesaikan.
5. Segenap Dosen dan civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ponorogo yang telah memberikan ilmu, bantuan dan kemudahan.
6. Kedua orang tua yang telah mengiringi masa-masa perkuliahanku dengna do‟a.
7. Suamiku yang telah memberi motivasi kepada saya,
8. Semua pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya
penyusunan tesis ini yang tak mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga semua amal baik mereka diridhoi Allah Swt, dan diterima sebagai
amal shalih serta dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Akhirnya peneliti
berharap semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan
demi sempurnanya penelitian ini.
Ponorogo, 9 Agustus 2017
Penulis
Ani Saul Muthohharoh
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan
pedoman transliterasi berdasarkan buku pedoman penulisan Tesis Pasca
Sarjana IAIN Ponorogo 2017 sebagai berikut:
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
ء
‘
ض
d{
ب
B
ط
t{
ت
T
ظ
z{
ث
Th
ع
‘
ج
J
غ
gh
ح
h{
ف
f
خ
Kh
ق
q
د
D
ك
k
ذ
Dh
ل
l
ر
R
م
m
ز
Z
ن
n
س
S
و
w
ش
Sh
ه
h
ص
s{
ي
y
2. Untuk menunjukkan bunyi hidup panjang caranya dengan menuliskan
coretan horisontal diatas huruf u>, i>, dan a>,
3. Bunyi hidup dobel (diftong) Arab ditransliterasikan dengan menggabung
dua huruf ‚ay‛ dan ‚aw‛
Contoh: bayna, „alayhim, qawl, mawd}ū’ah.
4. Kata yang ditransliterasikan dan kata-kata dalam bahasa asing yang belum
terserap menjadi baku Indonesia harus dicetak miring.
ix
5. Bunyi huruf hidup akhir sebuah kata tidak dinyatakan dalam transliterasi.
Transliterasi hanya berlaku pada huruf konsonan akhir
Contoh:
Ibn Taymiyah bukan Ibnu Taymiyah. Inna al-din‟inda Allah al Islam
bukan Inna al-dina‟inda Allahi al-Islamu … fahuwa wa>jib bukan fahuwa
wa>jibu atau fahuwa wa>jibun.
6. Kata yang berakhir dengan ta‟marbuthah dan berkedudukan sebagai sifat
(na‟at) dan idhafah ditransliterasikan dengan “ah” sedangkan mudhaf
ditransliterasikan dengan “at”
Contoh:
1. Na‟at dan mud}a>f ilayh : sunnah sayyi‟ah
2. Mud{af: d}awa>bith al-qira>’ah
7. Kata yang berakhiran dengan (ya‟ bertashdid) ditransliterasikan dengan i>.
Jika i> diikuti oleh ta‟ marbut}ah maka transliterasinya adalah i>yah. Jika ya‟
bertashdid berada di tengah kata ditransliterasikan yy.
Contoh:
1. Al-Ghaza>li>, al-Nawawi>
2.
Ibn Taymi>yah, Al-Jawzi>yah.
3. Sayyid, mua>yyid, muqayyid
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................
i
NOTA PERSETUJUAN ............................................................................
ii
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN TESIS .......................................
iii
PERNYATAAN DAN KEASLIAN TULISAN ........................................
iv
MOTTO ......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN .......................................................................................
vi
ABSTRAK...................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................
ix
HALAMAN DAFTAR ISI ..........................................................................
xi
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Penegasan Istilah .............................................................
9
C. Rumusan Masalah ...........................................................
9
D. Tujuan Penelitian ............................................................
10
E. Kegunaan Penelitian ........................................................
10
F. Kajian Terdahulu .............................................................
11
: KAJIAN MADZHAB DAN HUKUM ISLAM TENTANG
MAFQUD
A. Pengertian mafqu>d...........................................................
13
B. Mafqu>d Menurut Para Madzhab ......................................
20
xi
BAB III
BAB IV
BAB V
C. Mafqu>ddalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.............
23
D. Perkawinan......................................................................
27
: METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ......................
56
B. Teknik Pengumpulan Data ..............................................
56
C. Objek Penelitian ..............................................................
57
D. Sumber Data…................................................................
57
E. Metode Analisis Data ......................................................
58
F. Sistematika Pembahasan..................................................
59
: BIOGRAFI IMAfi>’i ......................
69
6. Kelebihan Imam al-Sha>fi>’i.........................................
71
7. Wafatnya Imam al-Sha>fi>’I .........................................
79
: ANALISIS PENDAPAT IMAFI>’I
A. Analisis tentang Pendapat Imam Shafi>’i> tentang Mafqu>d
dalam Kitab Al-Umm .......................................................
B. Analisis
tentang
Epistemologi
Imam
Al-Shafi>’i>
Mengenai Mafqu>d dalam Kitab Al-Umm .........................
xii
80
83
C. Analisis
tentang Status Hukum Perkawinan Dan
Kewarisan Mafqu>d Perspektif Imam Al-Shafi>’i> dalam
Kitab Al-Umm .................................................................
BAB VI
87
: PENUTUP ...........................................................................
A. Kesimpulan ....................................................................
93
B. Saran-saran .....................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Islam membahas berbagai hal tentang kehidupan
manusia. Di antaranya adalah yang akan dibahas pada penelitian ini mengenai
status perkawinan dan kewarisan. Selain kedua hal tersebut masuk pada
wilayah hukum Islam, antara perkawinan dan kewarisan tentunya memiliki
keterkaitan yang erat. Bukti dari hal tersebut adalah dalam ilmu mawaris
tentunya terdapat pembahasan tentang penyebab warisan. Penyebab seseorang
berhak menerima warisan adalah adanya perkawinan, nas}ab(kekerabatan),
wala‟1(memerdekakan hamba sahaya atau budak), dan aspek keislaman. 2
Begitu pula mengenai status perkawinan dan kewarisan mafqu>d. Untuk
menentukan seseorang dikatakan hilang (mafqu>d) tentu bukanlah hal yang
mudah. Di dalam KUH Perdata (BW) pasal 467 dijelaskan bahwa seseorang
yang telah pergi meninggalkan tempat kediamannya dalam jangka 5 tahun,
atau telah lewat 5 tahun sejak terakhir didapat berita kejelasan tentang keadaan
orang tersebut, tanpa memberi kuasa untuk mewakili urusan-urusan dan
kepentingan-kepentingannya, dapat dimohonkan oleh pihak yang memiliki
kepentingan keperdataan dengan orang tersebut ke pengadilan untuk dipanggil
menghadap ke persidangan untuk memastikan keberadaan dan nasibnya.
1
2
Otje Salman, Hukum Waris Islam (Bandung:PT.Refika Aditama, 2010, 49.
Abu Ihsan, S}ahi>h Fiqih Sunnah (Jakarta: Pustaka At-Tazkiya, 2006), 585-589.
1
2
Jangka waktu ini adalah dalam waktu 3 bulan.3
Dalam menentukan tenggang waktu yang dijadikan ukuran seseorang
yang hilang tersebut masih dalam keadaan masih hidup atau sudah mati, Imam
Al-Shafi’imenjelaskan dari pendapatnya „Umar ibn Khattab bahwa tenggang
waktu yang diperbolehkan untuk memberikan vonis kematian kepada si
mafqu>dialah 4 tahun, maka dengan adanya keputusan hakim tersebut harta si
mafqu>d itu boleh dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuannya. 4
Tenggang waktu tersebut disandarkan kepada perkataan Sayyidina „Umar r.a.,
yang mengatakan:
(ﻗـﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ) ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﺍﻥﹼ ﻋﻤﺮ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ
ﻓﻘﺪﺕ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﱂ ﺗﺪﺭ ﺍﻳﻦ ﻫﻮ ﻓﺎﻧﻬﺎ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻊ ﺳﻨﲔ ﰒ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻌﺔ ﺍﺷﻬﺮ ﻭﻋﺸﺮ
“Imam Al-Shafi’i berkata: Ima>m Malik menggambarkan kepada saya dari
Yah}}ya bin Sa‟id bin Musayyab bahwasanya „Umar bin Khattab berkata; setiap
perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang tiada mengetahui di
mana suaminya, maka ia diminta menaati 4 (empat) tahun. Kemudian setelah
itu beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal (HR. Bukha>ri> dan
Shafi’i.‛
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa Imam Al-Shafi’i
membolehkan seorang hakim dalam memutuskan orang yang hilang (mafqu>d)
setelah menanti lebih dari 4 (empat) tahun atau sudah lewat masa yang orangorang seperti dia tidak dapat hidup lagi menurut adat.
Ada dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
kejelasan status hukum orang yang hilang, di antaranya adalah berdasarkan
3
Subekti, Kitab UU Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, tt), 144.
Ima>m Sha>fi>’i>, Al-Umm.Terj., 395.
Ima>m Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Shafi>’i>, Al-UmmJuz 7 (Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah: Beirut, 2002), 403.
4
5
3
bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara syari‟at Islam, misalnya putusan
tersebut berdasarkan persaksian dari orang yang adil dan terpercaya. Jika
demikian hal nya, maka si mafqu>d sudah hilang status mafqu>dnya, ia
ditetapkan seperti orang yang mati hakiki sejak diputuskan. Selain itu juga
dapat dilihat berdasarkan batas waktu lamanya kepergian. 6
Sedangkan, untuk menentukan hidup atau matinya orang yang hilang,
ulama-ulama berbeda pendapat. Seorang yang hilang dianggap sudah
meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah
mati (pendapat ini dipegang oleh ulama‟ H{anafiyah), sedangkan diukur dengan
jangka waktu Imam Abu H{ani>fah mengemukakan harus melewati waktu 90
tahun. Pendapat Imam Al-Shafi’i mengenai batas waktu orang yang hilang
adalah 90 Tahun yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebayanya di
wilayahnya. Namun, pendapat yang paling shohih menurut anggapan Imam AlShafi’iadalah batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan
tetapi cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam AlShafi’iseorang hakim hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang
yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati
sesudah berlalunya waktu tertentu, kebanyakan orang tidak hidup melebihi
waktu tersebut. Seseorang yang hilang di anggap sudah meninggal dunia
apabila telah terlewati tenggang waktu 70 tahun. Sepotong Hadis Nabi
menyatakan bahwa”Umur umatku antara 70 dan 60 tahun”. Hasan bin Ziyad
6
Idris Djakfar dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1995), 52.
4
berpendapat harus ditunggu secara sempurna 120 tahun 7.
Menurut bahasa, kata mafqu>d dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna
menghilang.Kata mafqu>d merupakan bentuk isim maf‟ul dari kata faqida yafqadu
yang artinya hilang. 8Jadi, katamafqu>d secara bahasa artinya ialah hilangnya
seseorang karena suatu sebab-sebab tertentu. Adapun pengertian mafqu>dmenurut
istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama yaitu:
Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mafqu>d ialah:orang yang tidak
diketahui hidup dan matinya. 9 Sementara
Kalangan Malikiyyah menjelaskan
bahwa: mafqu>d ialah orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa
kehilangan orang tersebut hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang
tersebut.10Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan mafqu>d ialah orang hilang
yang tidak diketahui apakah masih hidup yaitu bisa dharapkan kehadirannya
ataukah sudah mati berada dalam kubur.11
Orang yang hilang dalam Fiqih disebut ‚mafqu>d” yakni orang yang
terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. 12 Menurut
H{as}biAs}-S}iddiqi bahwa mafqu>d adalah orang pergi (tidak ada di tempat) yang
tidak diketahui alamatnya (tempat tinggalnya) dan tidak pula diketahui apakah
dia masih hidup atau sudah meninggal dunia. 13
7
Amis syarifuddin, Hukum kewarisan islam.
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 321.
9
Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir Juz 6 (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,t.th), 133.
10
Abu bakar bin Hasan Al- Kasynawi, Ashal Al- MadarikJuz 1(Beirut: Dar Al- KutubAlIlmiyah, t.th), 407.
11
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu(Damaskus: Dar Al- Fikr, 2006), 7187.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2012),
135.
13
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, 151.
8
5
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa mafqu>dyaitu
hilangnya seseorang dari suatu tempat, tidak diketahui kabar dan keberadaannya
secara pasti, serta tidak diketahui apakah dirinya masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Suami yang mafqu>dyakni seorang suami yang hilang dari
keluarganya tanpa diketahui dimana dia berada dan kapan dia akan kembali.
Kepergian suami mungkin karena kesengajaan dengan motif melarikan diri akibat
suatu hal, atau mungkin karena ia meninggal dunia dan tidak diketahui kabarnya,
atau mungkin karena hal lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
suami yang mafqu>dadalah seorang suami yang hilang dari keluarganya tanpa
diketahuitempat tinggalnya dan kabar mengenai hidup atau matinya.
Orang yang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa
(seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat jatuh dan
temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang harus diselidiki selama 4
tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi,
pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama Hanabilah. Sedangkan apabila
kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian
(seperti pergi berdagang atau merantau) ulama Hanabilah berbeda pendapat,
yaitu: menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada
ijtihad hakim.ia jelas hidup pada saat kematian pewaris dan diantara syarat
pemaris ialah pasti tentang kematiannya. Ketidakpastian tersebut menimbulkan
masalah dalam kewarisan. mafqu>d dalam kewarisan ini menyangkut dua hal
yaitu: dalam posisinya sebagai pewaris, berkaitan dengan peralihan hartanya
kepada ahli waris. Kedua dalam posisi sebagai ahli waris, berkaitan dengan
6
peralihan harta pewaris kepadanya secara legal. 14
Dalam faraid dijelaskan, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing. 15 Unsure-unsur Hukum waris di Indonesia ada tiga
yaitu: (a.) Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan
sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik
keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui
persekutuan hidup dalam rumah tangga. (b.) Harta warisan adalah harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Harta warisan tersebut terdiri atas: harta bawaan atau harta asal,
harta perkawinan, harta pusaka dan harta yang menunggu. (c.) Ahli waris
adalah orang yang berhak menerima warisan. 16
Nikah dalam syari‟at Islam maksudnya adalah akad perkawinan. 17
Mengenai permasalahan seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya
hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai, ini adalah pendapat dari
madzhab Al-Shafi’i, H{anafi, , Dha>hiriyah. Sedangkan menurut riwayat
ImamMalik, bahwa apabila ada laki-laki yang hilang di negara Islam dan
terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada hakim, dan apabila
hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu
menunggu selama 4 tahun, dan kalau waktu 4 tahun sudah terlewati, maka
14
Ibid.
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dimensi KHI.
16
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesi (Jakarta:Sinar Grafika,2012, 2-3.
17
Syekh Mahmud al-Mashri, Bekal Pernikahan (Jakarta: Qisthi Press, 2012), 11.
15
7
istrinya beriddah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh
suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain. Dengan
riwayat tersebut berarti seseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah
lewat waktu 4 tahun.
Selain perkawinan, hukum kewarisan dalam Islam juga mendapat
perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat
yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya.
Naluri manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang
untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut,
termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri.
Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang
ini.Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik pengadilan agama
maupun pengadilan negeri menunjukkan krusialnya fenomena tersebut.18
Turunnya ayat-ayat al-Qur‟an yang mengatur pembagian harta warisan
yang menunjukkannya bersifat qath’i> al-dalalah adalah merupakan refleksi
sejarah dari adanya kecenderungan materialistis umat manusia, disamping
sebagai rekayasa sosial terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat. 19
Hukum kewarisan sebagai suatu pernyataan tekstual yang tercantum dalam alQur‟an merupakan suatu hal yang absolut dan universal bagi setiap muslim
untuk mewujudkan dalam kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal,
hukum kewarisan Islam mengandung nilai-nilai abadi dan unsur yang berguna
untuk senantiasa siap mengatasi segala kesulitan sesuai dengan kondisi ruang
18
19
Akhmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia(Jakarta: Grafindo, 1998), 355.
Ibid.
8
dan waktu.20 Namun demikian, masih terdapat masalah-masalah mengenai
hukum waris yang tidak tercantum dalam al-Qur‟an sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum fikih, diantara salah satunya adalah
pusaka orang yang hilang (mafqu>d).
Dalam konteks kewarisan seseorang yang hilang (mafqu>d), dia dapat
berperan sebagai pewaris ataupun ahli waris. Bila dalam kepergiannya
meninggalkan harta, maka ia berperan sebagai pewaris. Sedangkan, jika ia
adalah orang yang berhak mendapat warisan, maka ia disebut ahli waris.
Dalam hal ini para ulama sepakat menetapkan bahwa harta dari pewaris yang
hilang ditahan dahulu sampai ada berita yang jelas. Namun, para ulama‟
berbeda pendapat sampai kapan penangguhan dilakukan, apakah ditetapkan
berdasarkan perkiraan waktu saja atau diserahkan kepada ijtihad hakim.
Islam menganjurkan pernikahan dan menyatakan bahwa nikah termasuk
sunnah dan jejak para Rasul. Allah berfirman,”Dan sesungguhnya kami telah
mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka
istri-istri dan keturunan21 Dalam qaul jadid (Kitab Al-Umm) ditetapkan bahwa
istri yang ditinggal suami tanpa berita, maka istrinya tidak diperbolehkan
menikah dengan orang lain sampai diperoleh kepastian bahwa suaminya telah
mati atau telah menceraikannya dan kemudian ia menjalani iddah. 22
Dari uraian di atas peneliti melakukan penelitian mengenai status
perkawinan dan kewarisan mafqu>d menurut perspektif Imam Al-Shafi’idalam
20
Idris Djakfar dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1995), 1.
21
ibid
22
Terj,kitab Al-Umm.
9
kitab Al-Umm. Maka atas dasar latar belakang tersebut, peneliti mengadakan
penelitian dengan judul “Status Hukum Perkawinan Mafqu>d Perspektif Imam
Al-Shafi’i> dalam Kitab Al-Umm”.
B. Penegasan Istilah
1. Perkawinan: ikatan yang menghalalkan pergaulan danmembatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antaraseorang laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanyabukan merupakan mahram.
2. Hukum kewarisan Islam: hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan
mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.
3. Mafqu>d: orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidupmatinya.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antaralain:
1. Bagaimana perspektif Imam Al-Sha>fi>’i tentang mafqu>d dalam kitab AlUmm?
2. Bagaimana epistimologi Imam Al-Sha>fi>’i mengenai mafqu>d dalam kitab AlUmm?
3. Bagaimana status hukum perkawinan dan kewarisan mafqu>d perspektif
Imam Al-Sha>fi>’i dalam kitab Al-Umm?
10
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan perspektif Imam Al-Shafi’itentang mafqu>d dalam kitab
Al-Umm.
2. Untuk menjelaskan epistimologi Imam Al-Shafi’imengenai mafqu>d dalam
kitab Al-Umm.
3. Untuk menjelaskan status hukum perkawinan dan kewarisan mafqu>d
perspektif Imam Al-Shafi’idalam kitab Al-Umm.
E. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan apa yang telah diungkapkan dalam tujuan penelitian, besar
harapan penulis untuk bisa memberikan manfaat dari penyusunan tesis ini, baik
secara khusus bagi pribadi penulis maupun secara umum bagi para pembaca.
Setidaknya ada 2 hal yang menjadi kegunaan penyusunan tesis ini, yaitu:
1. Secara teoritis
Diharapkan dapat memberikan kontribusi khazanah keilmuan dalam
kajian hukum Islam, khususnya dalam kajian ilmu waris Islam dan hukum
perkawinan.
2. Secara praktis
Tulisan ini diharapkan memberikan pemahaman yang bisa diterima
oleh masyarakat muslim tentang permasalahan penetapan status hukum
perkawinan dan kewarisan dari mafqu>d menurut perspektif Imam Al-
11
Shafi’idalam kitab Al-Umm. Sehingga nantinya, masyarakat dapat mengerti
ketentuan dan prosedur waris dari mafqu>d.
F. Kajian Terdahulu
Di samping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan
ini, penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang jenis
penelitiannya ada relevansinya dengan penelitian ini.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ahlis Hanawa
pada
tahun 2016
mahasiswa
UIN
SunanKalijaga
Yogyakartajurusan
Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah dan Hukum, yang berjudul “Orang
Hilang (Al- mafqu>d) dalam Ilmu Waris (Menurut Imam Al-Shafi’idan Imam
Abu H{anifah)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwaImam Al-Shafi’idan
Imam Imam Abu H{anifah memutuskan menggunakan is}tish}ab al-h}al, terkait
memutuskan kondisi orang yang hilang.Mereka juga memberikan kewenangan
kepada hakim untuk ikut serta dalam menangani kasus ini, membuat keputusan
kematian atau hidupnya orang yang hilang.Dalam putusan mereka juga harus
terdapat unsur maqa>sid. Karena dalam kasus ini menyangkut pula tujuan
hukum Islamyang dirangkum dalam teori maqa>sid, yakni menjaga harta, terkait
warisan dan menjaga keturunan, terkait perselisihan mengenai pembagian harta
peninggalan.Persamaan antara penelitian pertama ini dengan penelitian yang
akan
dilakukan
peneliti
adalah
terletak
pada
pembahasan
tentang
mafqu>dmengenai hal kewarisan. Perbedaannya adalah pada penelitian yang
akan dilakukan oleh peneliti selain membahas tentang status kewarisan,
dibahas pula menegenai status perkawinan. Selain itu, perbedaannya juga
12
terletak pada perspektif yang digunakan. Pada penelitian pertama ini menurut
Imam Al-Shafi’idan Ima>m Abu H{anifah, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti menurut hukum Islam dan perdata.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Andreas Pangoloan pada tahun
2016 mahasiswa Universitas Pasundan Bandung jurusan Ilmu Hukum fakultas
Hukum, yang berjudul “Analisis Hukum tentang Pembagian Harta Warisan
Orang
Hilang
(Mafqu>d)
Menurut
Hukum
Islam.”.Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa dalam pembagian warisan harta kekayaan menurut hukum
Islam dapat dilakukan apabila pewaris telah meninggal dunia dan ahli waris
mendapatkan hak-haknya setelah dikurangi oleh biaya-biaya hutang pewaris
dan bahwa batas waktu orang hilang yang dipersangkakan meninggal adalah
setelah 3 kali pemanggilan pengadilan atau dalam kurun waktu minimal 4
tahun tidak dapat diketahui keberadaanya maka dapat dinyatakan meninggal
oleh hakim melalui penetapan pengadilan. Persamaan antara penelitian pertama
ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah terletak pada
pembahasan tentang mafqu>d dan waris dalam hukum Islam. Perbedaannya
adalah pada penelitian kedua ini membahas tentang pembagian harta warisan
orang hilang (mafqu>d). Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti mengenai status hukum perkawinan
orang yang hilang (mafqu>d).
Peneliti akan membahas bagaimanakah status perkawinan orang yang mafqu>d
tersebut, boleh menikah lagi atau harus menunggu suami yang mafqu>d
tersebut. Peneliti konsentrasi pada kitab al-Umm supaya lebih focus untuk
mengkaji salah satu kitab.
13
BAB II
KAJIAN MADZHAB DAN HUKUM ISLAM TENTANG MAFQUD
A. Pengertian Mafqud
Mafqud ialah bila seseorang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak
diketahui tempatnya dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati,
sedang hakim menetapkan kematiannya. 23 Menurut bahasa, kata mafqu>d dalam
bahasa Arab secara harfiah bermakna menghilang. Kata mafqu>d merupakan
bentuk isim maf‟ul dari kata faqida, yafqadu yang artinya hilang. 24Jadi,
katamafqu>d secara bahasa artinya ialah hilangnya seseorang karena suatu sebabsebab tertentu. Adapun pengertian mafqu>d menurut istilah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ulama yaitu:
Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mafqu>d ialah:orang yang tidak
diketahui hidup dan matinya. 25 Sementara
Kalangan Malikiyyah menjelaskan
bahwa: mafqud ialah orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa
kehilangan orang tersebut hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang
tersebut.26Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan mafqu>d ialah orang hilang
yang tidak diketahui apakah masih hidup yaitu bisa dharapkan kehadirannya
ataukah sudah mati berada dalam kubur.27
23
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Bandung: Pt. Al-Ma‟arif, 1987, 306.
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997), 321.
25
Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir,Juz 6, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,t.th, hlm. 133
26
Abu bakar bin Hasan Al- Kasynawi, Ashal Al- Madarik, Juz 1, Beirut: Dar Al- Kutub
Al- Ilmiyah, t.th, hlm. 407.
27
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al- Islami Wa Adillatuhu, Juz. 9, Damaskus: Dar Al- Fikr, 2006, hlm.
7187.
13
14
Orang yang hilang dalam Fiqih disebut ‚mafqu>d” yakni orang yang
terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. 28 Menurut
H{as}biAs}-S}iddiqi> bahwa mafqu>d adalah orang pergi (tidak ada di tempat) yang
tidak diketahui alamatnya (tempat tinggalnya) dan tidak pula diketahui apakah
dia masih hidup atau sudah meninggal dunia. 29
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa mafqu>dyaitu
hilangnya seseorang dari suatu tempat, tidak diketahui kabar dan keberadaannya
secara pasti, serta tidak diketa/hui apakah dirinya masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Suami yang mafqu>d yakni seorang suami yang hilang dari
keluarganya tanpa diketahui dimana dia berada dan kapan dia akan kembali.
Kepergian suami mungkin karena kesengajaan dengan motif melarikan diri akibat
suatu hal, atau mungkin karena ia meninggal dunia dan tidak diketahui kabarnya,
atau mungkin karena hal lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
suami yang mafqu>dadalah seorang suami yang hilang dari keluarganya tanpa
diketahuitempat tinggalnya dan kabar mengenai hidup atau matinya.
Ketetapan hakim dalam memutuskan kematian ada kalanya berdasarkan
dalil, seperti kesaksian orang-orang yang adil. Dalam keadaan seperti ini
kematiannya pasti dan tetap sejak adanya dalil mengenai kematiannya.Ada
kalanya berdasarkan tanda-tanda yang tidak adil, dimana hakim memutuskan
kematian mafqu>d berdasarkan daluwarsa maka kematiannya adalah kematian
secara hukum, karena mungkin dia masih hidup.Dalam pembagian harta waris
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2012), 135.
29
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, 151.
15
terhadap
masalah
mafqu>d ini para ulama sepakat mensistematisasi
pembagiannya seperti pembagian
waris dengan jalan perkiraan, seperti kewarisan khunsa dan anak dalam
kandungan.Batas waktu untuk menetapkan lematian mafqu>d para ulama fiqih
berselisih pendapat tentang batas waktu untuk menetapkan kematian mafqu>d
Imam Malik berpendapat bahwa masa tunggu seseorang yang dapat
dikategorikan sebagai mafqu>d adalah empat tahun. Hal ini didasarkan pada
sebuah hadis yang mengatakan:
“Setiap isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya, sedang dia tidak
mengetahui di mana suaminya maka dia menunggu empat tahun.”30
Adapun menurut Imam Abu H{ani>fah, mengatakan bahwa masa tunggu
seseorang yang dapat dikategorikan sebagai mafqu>d tidak adanya ketentuan
batas waktu. Tetapi hal ini diserahkan kepada ijtihad hakim di setiap masa.
ImamAh}mad
berpendapat
bahwa
apabila
dia
pergi
ketempat
yang
memungkinkan diamati maka sesudah diselidiki dengan teliti ditetapkan
kematiannya dengan berlalunya waktu empat tahun, karena biasanya dia sudah
meninggal.Yang demikian ini serupa dengan berlalunya masa yang tidak
mungkin dia hidup dalam masa seperti itu. 31
Dalam menentukan tenggang waktu yang dijadikan ukuran seseorang
yang hilang tersebut masih dalam keadaan masih hidup atau sudah mati, Imam
Al-Shafi>’i> menjelaskan dari pendapatnya „Umar ibn Khattab bahwa tenggang
waktu yang diperbolehkan untuk memberikan vonis kematian kepada si
30
31
Ibid, 151-152.
Ibid.
16
mafqu>d ialah 4 tahun, maka dengan adanya keputusan hakim tersebut harta si
mafqu>d
itu
boleh
dibagikan
kepada
ahli
warisnya
sesuai
dengan
ketentuannya. 32 Tenggang waktu tersebut disandarkan kepada perkataan Umar
Ibn Khattab yang mengatakan:
(ﻗـﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ) ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﺍﻥﹼ ﻋﻤﺮ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ
ﻓﻘﺪﺕ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﱂ ﺗﺪﺭ ﺍﻳﻦ ﻫﻮ ﻓﺎﻧﻬﺎ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻊﺳﻨﲔ ﰒﹼ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻌﺔ ﺍﺷﻬﺮ ﻭﻋﺸﺮ
‚Ima>m Shafi’i> berkata: Ima>m Malik menggambarkan kepada saya dari Yah}ya
bin Sa‟id bin Musayyab bahwasanya „Umar ibn K}hattab berkata; setiap
perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang tiada mengetahui di
mana suaminya, maka ia diminta menaati 4 (empat) tahun.”
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa Imam Al-Shafi’i>
membolehkan seorang hakim dalam memutuskan orang yang hilang (mafqu>d)
setelah menanti lebih dari 4 (empat) tahun atau sudah lewat masa yang orangorang seperti dia tidak dapat hidup lagi menurut adat.
Ada dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
kejelasan status hukum orang yang hilang, diantaranya adalah berdasarkan
bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara syariat Islam, misalnya putusan
tersebut berdasarkan persaksian dari orang yang adil lagi terpercaya. Jika
demikian hal nya, maka si mafqu>d sudah hilang status mafqu>dnya, ia di
tetapkan seperti orang yang mati hakiki sejak diputuskan. Selain itu, juga dapat
dilihat berdasarkan batas waktu lamanya kepergian.34
Ima>m Shafi>’i>, Al-Umm.Terj., 395.
Ima>m Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Shafi>’i>, Al-UmmJuz 7 (Dar Al-Kotob AlIlmiyah: Beirut, 2002), 403.
34
Idris Djakfardan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, 52.
32
33
17
Sedangkan, untuk menentukan hidup atau matinya orang yang hilang,
ulama-ulama berbeda pendapat.Seorang yang hilang dianggap sudah
meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah
mati (pendapat ini dipegang oleh ulama’ H{anafiyah), sedangkan diukur dengan
jangka waktu Imam Abu H{ani>fah mengemukakan harus melewati waktu 90
tahun yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebayanya diwilayahnya.
Namun, pendapat yang paling sa}hi>h menurut anggapan Imam Al-Shafi’i adalah
batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi cukup
dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya
sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Al-Shafi’Iseorang hakim
hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak
lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati sesudah berlalunya waktu
tertentu, kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut.Seseorang
yang hilang di anggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati tenggang
waktu 70 tahun.
Orang yang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa
(seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat jatuh dan
temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang harus diselidiki selama 4
tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi,
pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama Hanabilah. Sedangkan apabila
kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian
(seperti pergi berdagang atau merantau) ulama Hanabilah berbeda pendapat,
yaitu; menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada
18
ijtihad hakim.
Pembahasan
tentang
kewarisan
tidak
terlepas
dari
beberapa
pemasalahan yang dihadapi, salah satunya adalah mengenai status kewarisan
terkait orang hilang. Dari akibat hukum perkawinan di atas salah satunya
adalah timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Dari akibat tersebut,
dalam hubungannya dengan masalah kewarisan lebih rinci dijelaskan pada
pembahasan mengenai sebab-sebab timbulnya kewarisan. Sebab yang
menimbulkan waris-mewarisi dalam Islam, menurut Sayid Sabiq ada 3 yaitu:
hubungan kerabat atau nasab, perkawinan dan wala‟. Adapun pada literatur
hukum Islam lainnya ada 4 sebab, yakni: perkawinan, kekerabatan atau
nasa>b,wala‟ dan hubungan sesama Islam. 35
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya
sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah
dan Al-Shafi’i. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedu
masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya
meninggal atau telah menceraikannya.5
Mereka cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan
menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan
bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan
kaidah istishab, yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada
dalil yang menunjukan hukum lain. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa
35
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 72.
19
persoalan status hukum istri yang suaminya mafqu>d itu sebenarnya tidak ada
alasan, kecuali jika suami yang hilang itu tidak meninggalkan apapun yang
menjadi kewajibannya bagi istrinya. Hal ini berarti bahwa suami itu dianggap ada
disamping istrinya. Karena tidak ada hak istri yang tidak dibayarkan selain dari
bersetubuh, sedangkan bersetubuh adalah hak suami.
7
Akan tetapi anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus
menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena
harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum
bagi si mafqu>d karena yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang
tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang itu telah wafat
atau belum.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam
mencari kejelasan status hukum bagi si mafqu>d yaitu:
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat
menetapkan suatu ketetapan hukum. Misalnya, ada dua orang yang adil dan
dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah
meninggal dunia, maka Hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut
untuk memutuskan status kematian bagi si mafqu>d Jika demikian halnya, maka
si mafqu>d sudah hilang statusmafqu>d. Ia ditetapkan seperti orangyang mati
hakiki.
Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqu>d pergi atau berdasarkan
kadaluwarsa. Dalam kondisi seperti ini, Hakim menghukuminya sebagai orang
yang telah meninggal secara hukumi setelah berlalunya waktu yang lama,
20
karena
masih
8
ada kemungkinan orang tersebut masih hidup. Sedangkan
Pendapat kedua mengatakan bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh
suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka diaberhak menuntut cerai. Ini
adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.9
B. Mafqu>d Menurut Para Mazhab
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqu>ditu
telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqu>d itu dianggap telah wafat
jika orang-orang yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat,
sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70
tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku
berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.36
Ulama Al-Shafi>’iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90
tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya.
Tetapi, pendapat yang sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan
berdasarkan pada bilangan waktu tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti,
yakni jika telah ada bukti bagi hakim tentang kematian mafqud bersangkutan,
maka berdasarkan bukti itu hakim menetapkan kematian mafqu>d bersangkutan
36
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group), 2012), 136.
21
dan itu setelah berlangsung suatu periode di mana secara kebiasan bahwa
seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup di atas usia tersebut.37
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika mafqu>d itu hilang dalam
suasana yang memang memungk
kitab al-Umm?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (kajian
kepustakaan), yaitu penelitian dengan menggunakan upaya pencarian dokumen
atau kepustakaan yang berdasarkan kitab, buku, dan lainnya. Metode
Penelitiannya menggunakan metode Normatif.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa:1. Penggunaan asal kata mafqu>d
adalah dari Al-Qur‟an Surat Yusuf ayat 72. Karena kata mafqu>d memiliki arti
kehilangan yang dapat dipakai untuk menyebutkan orang yang hilang. Perspektif
Imam Al-Shafi’i> tentang mafqu>d dalam kitab Al-Umm adalah orang dapat
dikatakan hilang ketika lebih dari 4 (empat) tahun tidak diketahui keberadaannya
atau sudah lewat masa yang orang-orang seperti dia tidak dapat hidup lagi
menurut adat. 2. Epistemologi pendapat Imam Al-Shafi>’i> tentang mafqu>d adalah
ditentukan tenggang waktu vonis kematian kepada mafqu>d, diterangkan juga
orang hilang dikatakan meninggal dunia adalah 90 tahun menurut Abu Hanifah.
Hal ini dilatarbelakangi dengan melihat umur orang-orang yang sebayanya di
wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam AlShafi>’i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan.
Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati.3. Status hukum perkawinan dan
kewarisan mafqu>d perspektif Imam Al-Shafi’i> dalam kitab Al-Umm dijelaskan
bahwa Al-Shafi‟i > berpendapat bahwa istri dari suami hilang (mafqu>d), maka
istrinya tetap menjadi miliknya.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT. yang
telah melimpahkan segala nikmat, taufik dan rahmad-Nya, sehingga dapat
menyelesaikan tesis dengan judul, “Status Hukum Perkawinan Mafqud Perspektif
Imam Al-Shafi‟i Dalam Kitab Al-Umm”.
Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad saw. beserta para sahabat yang selalu berpegang teguh
dalam memperjuangkan agama Allah SWT. Keberhasilan Penulis dalam
menyelesaikan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Hj. Siti Maryam Yusuf, M.Ag. selaku Rektor IAIN Ponorogo yang
telah menerima Penulis untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan ini.
2. Bapak Dr. Aksin, M.Ag. Selaku Direktur Pascasarjana (IAIN) Ponorogo
3. Bapak Dr. Abid Rohmanu, M.H.I. selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
4. Bapak Iza Hanifuddin, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, serta penyusunan laporan penelitian ini hingga
dapat diselesaikan.
5. Segenap Dosen dan civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Ponorogo yang telah memberikan ilmu, bantuan dan kemudahan.
6. Kedua orang tua yang telah mengiringi masa-masa perkuliahanku dengna do‟a.
7. Suamiku yang telah memberi motivasi kepada saya,
8. Semua pihak yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya
penyusunan tesis ini yang tak mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga semua amal baik mereka diridhoi Allah Swt, dan diterima sebagai
amal shalih serta dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Akhirnya peneliti
berharap semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan
demi sempurnanya penelitian ini.
Ponorogo, 9 Agustus 2017
Penulis
Ani Saul Muthohharoh
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan
pedoman transliterasi berdasarkan buku pedoman penulisan Tesis Pasca
Sarjana IAIN Ponorogo 2017 sebagai berikut:
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
ء
‘
ض
d{
ب
B
ط
t{
ت
T
ظ
z{
ث
Th
ع
‘
ج
J
غ
gh
ح
h{
ف
f
خ
Kh
ق
q
د
D
ك
k
ذ
Dh
ل
l
ر
R
م
m
ز
Z
ن
n
س
S
و
w
ش
Sh
ه
h
ص
s{
ي
y
2. Untuk menunjukkan bunyi hidup panjang caranya dengan menuliskan
coretan horisontal diatas huruf u>, i>, dan a>,
3. Bunyi hidup dobel (diftong) Arab ditransliterasikan dengan menggabung
dua huruf ‚ay‛ dan ‚aw‛
Contoh: bayna, „alayhim, qawl, mawd}ū’ah.
4. Kata yang ditransliterasikan dan kata-kata dalam bahasa asing yang belum
terserap menjadi baku Indonesia harus dicetak miring.
ix
5. Bunyi huruf hidup akhir sebuah kata tidak dinyatakan dalam transliterasi.
Transliterasi hanya berlaku pada huruf konsonan akhir
Contoh:
Ibn Taymiyah bukan Ibnu Taymiyah. Inna al-din‟inda Allah al Islam
bukan Inna al-dina‟inda Allahi al-Islamu … fahuwa wa>jib bukan fahuwa
wa>jibu atau fahuwa wa>jibun.
6. Kata yang berakhir dengan ta‟marbuthah dan berkedudukan sebagai sifat
(na‟at) dan idhafah ditransliterasikan dengan “ah” sedangkan mudhaf
ditransliterasikan dengan “at”
Contoh:
1. Na‟at dan mud}a>f ilayh : sunnah sayyi‟ah
2. Mud{af: d}awa>bith al-qira>’ah
7. Kata yang berakhiran dengan (ya‟ bertashdid) ditransliterasikan dengan i>.
Jika i> diikuti oleh ta‟ marbut}ah maka transliterasinya adalah i>yah. Jika ya‟
bertashdid berada di tengah kata ditransliterasikan yy.
Contoh:
1. Al-Ghaza>li>, al-Nawawi>
2.
Ibn Taymi>yah, Al-Jawzi>yah.
3. Sayyid, mua>yyid, muqayyid
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................
i
NOTA PERSETUJUAN ............................................................................
ii
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN TESIS .......................................
iii
PERNYATAAN DAN KEASLIAN TULISAN ........................................
iv
MOTTO ......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN .......................................................................................
vi
ABSTRAK...................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................
ix
HALAMAN DAFTAR ISI ..........................................................................
xi
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Penegasan Istilah .............................................................
9
C. Rumusan Masalah ...........................................................
9
D. Tujuan Penelitian ............................................................
10
E. Kegunaan Penelitian ........................................................
10
F. Kajian Terdahulu .............................................................
11
: KAJIAN MADZHAB DAN HUKUM ISLAM TENTANG
MAFQUD
A. Pengertian mafqu>d...........................................................
13
B. Mafqu>d Menurut Para Madzhab ......................................
20
xi
BAB III
BAB IV
BAB V
C. Mafqu>ddalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.............
23
D. Perkawinan......................................................................
27
: METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ......................
56
B. Teknik Pengumpulan Data ..............................................
56
C. Objek Penelitian ..............................................................
57
D. Sumber Data…................................................................
57
E. Metode Analisis Data ......................................................
58
F. Sistematika Pembahasan..................................................
59
: BIOGRAFI IMAfi>’i ......................
69
6. Kelebihan Imam al-Sha>fi>’i.........................................
71
7. Wafatnya Imam al-Sha>fi>’I .........................................
79
: ANALISIS PENDAPAT IMAFI>’I
A. Analisis tentang Pendapat Imam Shafi>’i> tentang Mafqu>d
dalam Kitab Al-Umm .......................................................
B. Analisis
tentang
Epistemologi
Imam
Al-Shafi>’i>
Mengenai Mafqu>d dalam Kitab Al-Umm .........................
xii
80
83
C. Analisis
tentang Status Hukum Perkawinan Dan
Kewarisan Mafqu>d Perspektif Imam Al-Shafi>’i> dalam
Kitab Al-Umm .................................................................
BAB VI
87
: PENUTUP ...........................................................................
A. Kesimpulan ....................................................................
93
B. Saran-saran .....................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Islam membahas berbagai hal tentang kehidupan
manusia. Di antaranya adalah yang akan dibahas pada penelitian ini mengenai
status perkawinan dan kewarisan. Selain kedua hal tersebut masuk pada
wilayah hukum Islam, antara perkawinan dan kewarisan tentunya memiliki
keterkaitan yang erat. Bukti dari hal tersebut adalah dalam ilmu mawaris
tentunya terdapat pembahasan tentang penyebab warisan. Penyebab seseorang
berhak menerima warisan adalah adanya perkawinan, nas}ab(kekerabatan),
wala‟1(memerdekakan hamba sahaya atau budak), dan aspek keislaman. 2
Begitu pula mengenai status perkawinan dan kewarisan mafqu>d. Untuk
menentukan seseorang dikatakan hilang (mafqu>d) tentu bukanlah hal yang
mudah. Di dalam KUH Perdata (BW) pasal 467 dijelaskan bahwa seseorang
yang telah pergi meninggalkan tempat kediamannya dalam jangka 5 tahun,
atau telah lewat 5 tahun sejak terakhir didapat berita kejelasan tentang keadaan
orang tersebut, tanpa memberi kuasa untuk mewakili urusan-urusan dan
kepentingan-kepentingannya, dapat dimohonkan oleh pihak yang memiliki
kepentingan keperdataan dengan orang tersebut ke pengadilan untuk dipanggil
menghadap ke persidangan untuk memastikan keberadaan dan nasibnya.
1
2
Otje Salman, Hukum Waris Islam (Bandung:PT.Refika Aditama, 2010, 49.
Abu Ihsan, S}ahi>h Fiqih Sunnah (Jakarta: Pustaka At-Tazkiya, 2006), 585-589.
1
2
Jangka waktu ini adalah dalam waktu 3 bulan.3
Dalam menentukan tenggang waktu yang dijadikan ukuran seseorang
yang hilang tersebut masih dalam keadaan masih hidup atau sudah mati, Imam
Al-Shafi’imenjelaskan dari pendapatnya „Umar ibn Khattab bahwa tenggang
waktu yang diperbolehkan untuk memberikan vonis kematian kepada si
mafqu>dialah 4 tahun, maka dengan adanya keputusan hakim tersebut harta si
mafqu>d itu boleh dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuannya. 4
Tenggang waktu tersebut disandarkan kepada perkataan Sayyidina „Umar r.a.,
yang mengatakan:
(ﻗـﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ) ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﺍﻥﹼ ﻋﻤﺮ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ
ﻓﻘﺪﺕ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﱂ ﺗﺪﺭ ﺍﻳﻦ ﻫﻮ ﻓﺎﻧﻬﺎ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻊ ﺳﻨﲔ ﰒ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻌﺔ ﺍﺷﻬﺮ ﻭﻋﺸﺮ
“Imam Al-Shafi’i berkata: Ima>m Malik menggambarkan kepada saya dari
Yah}}ya bin Sa‟id bin Musayyab bahwasanya „Umar bin Khattab berkata; setiap
perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang tiada mengetahui di
mana suaminya, maka ia diminta menaati 4 (empat) tahun. Kemudian setelah
itu beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal (HR. Bukha>ri> dan
Shafi’i.‛
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa Imam Al-Shafi’i
membolehkan seorang hakim dalam memutuskan orang yang hilang (mafqu>d)
setelah menanti lebih dari 4 (empat) tahun atau sudah lewat masa yang orangorang seperti dia tidak dapat hidup lagi menurut adat.
Ada dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
kejelasan status hukum orang yang hilang, di antaranya adalah berdasarkan
3
Subekti, Kitab UU Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, tt), 144.
Ima>m Sha>fi>’i>, Al-Umm.Terj., 395.
Ima>m Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Shafi>’i>, Al-UmmJuz 7 (Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah: Beirut, 2002), 403.
4
5
3
bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara syari‟at Islam, misalnya putusan
tersebut berdasarkan persaksian dari orang yang adil dan terpercaya. Jika
demikian hal nya, maka si mafqu>d sudah hilang status mafqu>dnya, ia
ditetapkan seperti orang yang mati hakiki sejak diputuskan. Selain itu juga
dapat dilihat berdasarkan batas waktu lamanya kepergian. 6
Sedangkan, untuk menentukan hidup atau matinya orang yang hilang,
ulama-ulama berbeda pendapat. Seorang yang hilang dianggap sudah
meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah
mati (pendapat ini dipegang oleh ulama‟ H{anafiyah), sedangkan diukur dengan
jangka waktu Imam Abu H{ani>fah mengemukakan harus melewati waktu 90
tahun. Pendapat Imam Al-Shafi’i mengenai batas waktu orang yang hilang
adalah 90 Tahun yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebayanya di
wilayahnya. Namun, pendapat yang paling shohih menurut anggapan Imam AlShafi’iadalah batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan
tetapi cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian
divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam AlShafi’iseorang hakim hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang
yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati
sesudah berlalunya waktu tertentu, kebanyakan orang tidak hidup melebihi
waktu tersebut. Seseorang yang hilang di anggap sudah meninggal dunia
apabila telah terlewati tenggang waktu 70 tahun. Sepotong Hadis Nabi
menyatakan bahwa”Umur umatku antara 70 dan 60 tahun”. Hasan bin Ziyad
6
Idris Djakfar dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1995), 52.
4
berpendapat harus ditunggu secara sempurna 120 tahun 7.
Menurut bahasa, kata mafqu>d dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna
menghilang.Kata mafqu>d merupakan bentuk isim maf‟ul dari kata faqida yafqadu
yang artinya hilang. 8Jadi, katamafqu>d secara bahasa artinya ialah hilangnya
seseorang karena suatu sebab-sebab tertentu. Adapun pengertian mafqu>dmenurut
istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama yaitu:
Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mafqu>d ialah:orang yang tidak
diketahui hidup dan matinya. 9 Sementara
Kalangan Malikiyyah menjelaskan
bahwa: mafqu>d ialah orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa
kehilangan orang tersebut hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang
tersebut.10Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan mafqu>d ialah orang hilang
yang tidak diketahui apakah masih hidup yaitu bisa dharapkan kehadirannya
ataukah sudah mati berada dalam kubur.11
Orang yang hilang dalam Fiqih disebut ‚mafqu>d” yakni orang yang
terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. 12 Menurut
H{as}biAs}-S}iddiqi bahwa mafqu>d adalah orang pergi (tidak ada di tempat) yang
tidak diketahui alamatnya (tempat tinggalnya) dan tidak pula diketahui apakah
dia masih hidup atau sudah meninggal dunia. 13
7
Amis syarifuddin, Hukum kewarisan islam.
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 321.
9
Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir Juz 6 (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,t.th), 133.
10
Abu bakar bin Hasan Al- Kasynawi, Ashal Al- MadarikJuz 1(Beirut: Dar Al- KutubAlIlmiyah, t.th), 407.
11
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu(Damaskus: Dar Al- Fikr, 2006), 7187.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2012),
135.
13
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, 151.
8
5
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa mafqu>dyaitu
hilangnya seseorang dari suatu tempat, tidak diketahui kabar dan keberadaannya
secara pasti, serta tidak diketahui apakah dirinya masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Suami yang mafqu>dyakni seorang suami yang hilang dari
keluarganya tanpa diketahui dimana dia berada dan kapan dia akan kembali.
Kepergian suami mungkin karena kesengajaan dengan motif melarikan diri akibat
suatu hal, atau mungkin karena ia meninggal dunia dan tidak diketahui kabarnya,
atau mungkin karena hal lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
suami yang mafqu>dadalah seorang suami yang hilang dari keluarganya tanpa
diketahuitempat tinggalnya dan kabar mengenai hidup atau matinya.
Orang yang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa
(seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat jatuh dan
temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang harus diselidiki selama 4
tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi,
pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama Hanabilah. Sedangkan apabila
kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian
(seperti pergi berdagang atau merantau) ulama Hanabilah berbeda pendapat,
yaitu: menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada
ijtihad hakim.ia jelas hidup pada saat kematian pewaris dan diantara syarat
pemaris ialah pasti tentang kematiannya. Ketidakpastian tersebut menimbulkan
masalah dalam kewarisan. mafqu>d dalam kewarisan ini menyangkut dua hal
yaitu: dalam posisinya sebagai pewaris, berkaitan dengan peralihan hartanya
kepada ahli waris. Kedua dalam posisi sebagai ahli waris, berkaitan dengan
6
peralihan harta pewaris kepadanya secara legal. 14
Dalam faraid dijelaskan, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing. 15 Unsure-unsur Hukum waris di Indonesia ada tiga
yaitu: (a.) Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan
sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik
keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui
persekutuan hidup dalam rumah tangga. (b.) Harta warisan adalah harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Harta warisan tersebut terdiri atas: harta bawaan atau harta asal,
harta perkawinan, harta pusaka dan harta yang menunggu. (c.) Ahli waris
adalah orang yang berhak menerima warisan. 16
Nikah dalam syari‟at Islam maksudnya adalah akad perkawinan. 17
Mengenai permasalahan seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya
hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai, ini adalah pendapat dari
madzhab Al-Shafi’i, H{anafi, , Dha>hiriyah. Sedangkan menurut riwayat
ImamMalik, bahwa apabila ada laki-laki yang hilang di negara Islam dan
terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada hakim, dan apabila
hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu
menunggu selama 4 tahun, dan kalau waktu 4 tahun sudah terlewati, maka
14
Ibid.
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dimensi KHI.
16
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesi (Jakarta:Sinar Grafika,2012, 2-3.
17
Syekh Mahmud al-Mashri, Bekal Pernikahan (Jakarta: Qisthi Press, 2012), 11.
15
7
istrinya beriddah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh
suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain. Dengan
riwayat tersebut berarti seseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah
lewat waktu 4 tahun.
Selain perkawinan, hukum kewarisan dalam Islam juga mendapat
perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat
yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya.
Naluri manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang
untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut,
termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri.
Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang
ini.Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik pengadilan agama
maupun pengadilan negeri menunjukkan krusialnya fenomena tersebut.18
Turunnya ayat-ayat al-Qur‟an yang mengatur pembagian harta warisan
yang menunjukkannya bersifat qath’i> al-dalalah adalah merupakan refleksi
sejarah dari adanya kecenderungan materialistis umat manusia, disamping
sebagai rekayasa sosial terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat. 19
Hukum kewarisan sebagai suatu pernyataan tekstual yang tercantum dalam alQur‟an merupakan suatu hal yang absolut dan universal bagi setiap muslim
untuk mewujudkan dalam kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal,
hukum kewarisan Islam mengandung nilai-nilai abadi dan unsur yang berguna
untuk senantiasa siap mengatasi segala kesulitan sesuai dengan kondisi ruang
18
19
Akhmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia(Jakarta: Grafindo, 1998), 355.
Ibid.
8
dan waktu.20 Namun demikian, masih terdapat masalah-masalah mengenai
hukum waris yang tidak tercantum dalam al-Qur‟an sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum fikih, diantara salah satunya adalah
pusaka orang yang hilang (mafqu>d).
Dalam konteks kewarisan seseorang yang hilang (mafqu>d), dia dapat
berperan sebagai pewaris ataupun ahli waris. Bila dalam kepergiannya
meninggalkan harta, maka ia berperan sebagai pewaris. Sedangkan, jika ia
adalah orang yang berhak mendapat warisan, maka ia disebut ahli waris.
Dalam hal ini para ulama sepakat menetapkan bahwa harta dari pewaris yang
hilang ditahan dahulu sampai ada berita yang jelas. Namun, para ulama‟
berbeda pendapat sampai kapan penangguhan dilakukan, apakah ditetapkan
berdasarkan perkiraan waktu saja atau diserahkan kepada ijtihad hakim.
Islam menganjurkan pernikahan dan menyatakan bahwa nikah termasuk
sunnah dan jejak para Rasul. Allah berfirman,”Dan sesungguhnya kami telah
mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka
istri-istri dan keturunan21 Dalam qaul jadid (Kitab Al-Umm) ditetapkan bahwa
istri yang ditinggal suami tanpa berita, maka istrinya tidak diperbolehkan
menikah dengan orang lain sampai diperoleh kepastian bahwa suaminya telah
mati atau telah menceraikannya dan kemudian ia menjalani iddah. 22
Dari uraian di atas peneliti melakukan penelitian mengenai status
perkawinan dan kewarisan mafqu>d menurut perspektif Imam Al-Shafi’idalam
20
Idris Djakfar dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya, 1995), 1.
21
ibid
22
Terj,kitab Al-Umm.
9
kitab Al-Umm. Maka atas dasar latar belakang tersebut, peneliti mengadakan
penelitian dengan judul “Status Hukum Perkawinan Mafqu>d Perspektif Imam
Al-Shafi’i> dalam Kitab Al-Umm”.
B. Penegasan Istilah
1. Perkawinan: ikatan yang menghalalkan pergaulan danmembatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antaraseorang laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanyabukan merupakan mahram.
2. Hukum kewarisan Islam: hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan
mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.
3. Mafqu>d: orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidupmatinya.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antaralain:
1. Bagaimana perspektif Imam Al-Sha>fi>’i tentang mafqu>d dalam kitab AlUmm?
2. Bagaimana epistimologi Imam Al-Sha>fi>’i mengenai mafqu>d dalam kitab AlUmm?
3. Bagaimana status hukum perkawinan dan kewarisan mafqu>d perspektif
Imam Al-Sha>fi>’i dalam kitab Al-Umm?
10
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan perspektif Imam Al-Shafi’itentang mafqu>d dalam kitab
Al-Umm.
2. Untuk menjelaskan epistimologi Imam Al-Shafi’imengenai mafqu>d dalam
kitab Al-Umm.
3. Untuk menjelaskan status hukum perkawinan dan kewarisan mafqu>d
perspektif Imam Al-Shafi’idalam kitab Al-Umm.
E. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan apa yang telah diungkapkan dalam tujuan penelitian, besar
harapan penulis untuk bisa memberikan manfaat dari penyusunan tesis ini, baik
secara khusus bagi pribadi penulis maupun secara umum bagi para pembaca.
Setidaknya ada 2 hal yang menjadi kegunaan penyusunan tesis ini, yaitu:
1. Secara teoritis
Diharapkan dapat memberikan kontribusi khazanah keilmuan dalam
kajian hukum Islam, khususnya dalam kajian ilmu waris Islam dan hukum
perkawinan.
2. Secara praktis
Tulisan ini diharapkan memberikan pemahaman yang bisa diterima
oleh masyarakat muslim tentang permasalahan penetapan status hukum
perkawinan dan kewarisan dari mafqu>d menurut perspektif Imam Al-
11
Shafi’idalam kitab Al-Umm. Sehingga nantinya, masyarakat dapat mengerti
ketentuan dan prosedur waris dari mafqu>d.
F. Kajian Terdahulu
Di samping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan
ini, penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang jenis
penelitiannya ada relevansinya dengan penelitian ini.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ahlis Hanawa
pada
tahun 2016
mahasiswa
UIN
SunanKalijaga
Yogyakartajurusan
Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah dan Hukum, yang berjudul “Orang
Hilang (Al- mafqu>d) dalam Ilmu Waris (Menurut Imam Al-Shafi’idan Imam
Abu H{anifah)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwaImam Al-Shafi’idan
Imam Imam Abu H{anifah memutuskan menggunakan is}tish}ab al-h}al, terkait
memutuskan kondisi orang yang hilang.Mereka juga memberikan kewenangan
kepada hakim untuk ikut serta dalam menangani kasus ini, membuat keputusan
kematian atau hidupnya orang yang hilang.Dalam putusan mereka juga harus
terdapat unsur maqa>sid. Karena dalam kasus ini menyangkut pula tujuan
hukum Islamyang dirangkum dalam teori maqa>sid, yakni menjaga harta, terkait
warisan dan menjaga keturunan, terkait perselisihan mengenai pembagian harta
peninggalan.Persamaan antara penelitian pertama ini dengan penelitian yang
akan
dilakukan
peneliti
adalah
terletak
pada
pembahasan
tentang
mafqu>dmengenai hal kewarisan. Perbedaannya adalah pada penelitian yang
akan dilakukan oleh peneliti selain membahas tentang status kewarisan,
dibahas pula menegenai status perkawinan. Selain itu, perbedaannya juga
12
terletak pada perspektif yang digunakan. Pada penelitian pertama ini menurut
Imam Al-Shafi’idan Ima>m Abu H{anifah, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti menurut hukum Islam dan perdata.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Andreas Pangoloan pada tahun
2016 mahasiswa Universitas Pasundan Bandung jurusan Ilmu Hukum fakultas
Hukum, yang berjudul “Analisis Hukum tentang Pembagian Harta Warisan
Orang
Hilang
(Mafqu>d)
Menurut
Hukum
Islam.”.Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa dalam pembagian warisan harta kekayaan menurut hukum
Islam dapat dilakukan apabila pewaris telah meninggal dunia dan ahli waris
mendapatkan hak-haknya setelah dikurangi oleh biaya-biaya hutang pewaris
dan bahwa batas waktu orang hilang yang dipersangkakan meninggal adalah
setelah 3 kali pemanggilan pengadilan atau dalam kurun waktu minimal 4
tahun tidak dapat diketahui keberadaanya maka dapat dinyatakan meninggal
oleh hakim melalui penetapan pengadilan. Persamaan antara penelitian pertama
ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah terletak pada
pembahasan tentang mafqu>d dan waris dalam hukum Islam. Perbedaannya
adalah pada penelitian kedua ini membahas tentang pembagian harta warisan
orang hilang (mafqu>d). Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti mengenai status hukum perkawinan
orang yang hilang (mafqu>d).
Peneliti akan membahas bagaimanakah status perkawinan orang yang mafqu>d
tersebut, boleh menikah lagi atau harus menunggu suami yang mafqu>d
tersebut. Peneliti konsentrasi pada kitab al-Umm supaya lebih focus untuk
mengkaji salah satu kitab.
13
BAB II
KAJIAN MADZHAB DAN HUKUM ISLAM TENTANG MAFQUD
A. Pengertian Mafqud
Mafqud ialah bila seseorang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak
diketahui tempatnya dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati,
sedang hakim menetapkan kematiannya. 23 Menurut bahasa, kata mafqu>d dalam
bahasa Arab secara harfiah bermakna menghilang. Kata mafqu>d merupakan
bentuk isim maf‟ul dari kata faqida, yafqadu yang artinya hilang. 24Jadi,
katamafqu>d secara bahasa artinya ialah hilangnya seseorang karena suatu sebabsebab tertentu. Adapun pengertian mafqu>d menurut istilah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ulama yaitu:
Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mafqu>d ialah:orang yang tidak
diketahui hidup dan matinya. 25 Sementara
Kalangan Malikiyyah menjelaskan
bahwa: mafqud ialah orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa
kehilangan orang tersebut hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang
tersebut.26Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan mafqu>d ialah orang hilang
yang tidak diketahui apakah masih hidup yaitu bisa dharapkan kehadirannya
ataukah sudah mati berada dalam kubur.27
23
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Bandung: Pt. Al-Ma‟arif, 1987, 306.
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997), 321.
25
Ibnu Humam Al Hanafi, Fathul Qadir,Juz 6, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,t.th, hlm. 133
26
Abu bakar bin Hasan Al- Kasynawi, Ashal Al- Madarik, Juz 1, Beirut: Dar Al- Kutub
Al- Ilmiyah, t.th, hlm. 407.
27
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al- Islami Wa Adillatuhu, Juz. 9, Damaskus: Dar Al- Fikr, 2006, hlm.
7187.
13
14
Orang yang hilang dalam Fiqih disebut ‚mafqu>d” yakni orang yang
terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. 28 Menurut
H{as}biAs}-S}iddiqi> bahwa mafqu>d adalah orang pergi (tidak ada di tempat) yang
tidak diketahui alamatnya (tempat tinggalnya) dan tidak pula diketahui apakah
dia masih hidup atau sudah meninggal dunia. 29
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa mafqu>dyaitu
hilangnya seseorang dari suatu tempat, tidak diketahui kabar dan keberadaannya
secara pasti, serta tidak diketa/hui apakah dirinya masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Suami yang mafqu>d yakni seorang suami yang hilang dari
keluarganya tanpa diketahui dimana dia berada dan kapan dia akan kembali.
Kepergian suami mungkin karena kesengajaan dengan motif melarikan diri akibat
suatu hal, atau mungkin karena ia meninggal dunia dan tidak diketahui kabarnya,
atau mungkin karena hal lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
suami yang mafqu>dadalah seorang suami yang hilang dari keluarganya tanpa
diketahuitempat tinggalnya dan kabar mengenai hidup atau matinya.
Ketetapan hakim dalam memutuskan kematian ada kalanya berdasarkan
dalil, seperti kesaksian orang-orang yang adil. Dalam keadaan seperti ini
kematiannya pasti dan tetap sejak adanya dalil mengenai kematiannya.Ada
kalanya berdasarkan tanda-tanda yang tidak adil, dimana hakim memutuskan
kematian mafqu>d berdasarkan daluwarsa maka kematiannya adalah kematian
secara hukum, karena mungkin dia masih hidup.Dalam pembagian harta waris
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2012), 135.
29
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, 151.
15
terhadap
masalah
mafqu>d ini para ulama sepakat mensistematisasi
pembagiannya seperti pembagian
waris dengan jalan perkiraan, seperti kewarisan khunsa dan anak dalam
kandungan.Batas waktu untuk menetapkan lematian mafqu>d para ulama fiqih
berselisih pendapat tentang batas waktu untuk menetapkan kematian mafqu>d
Imam Malik berpendapat bahwa masa tunggu seseorang yang dapat
dikategorikan sebagai mafqu>d adalah empat tahun. Hal ini didasarkan pada
sebuah hadis yang mengatakan:
“Setiap isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya, sedang dia tidak
mengetahui di mana suaminya maka dia menunggu empat tahun.”30
Adapun menurut Imam Abu H{ani>fah, mengatakan bahwa masa tunggu
seseorang yang dapat dikategorikan sebagai mafqu>d tidak adanya ketentuan
batas waktu. Tetapi hal ini diserahkan kepada ijtihad hakim di setiap masa.
ImamAh}mad
berpendapat
bahwa
apabila
dia
pergi
ketempat
yang
memungkinkan diamati maka sesudah diselidiki dengan teliti ditetapkan
kematiannya dengan berlalunya waktu empat tahun, karena biasanya dia sudah
meninggal.Yang demikian ini serupa dengan berlalunya masa yang tidak
mungkin dia hidup dalam masa seperti itu. 31
Dalam menentukan tenggang waktu yang dijadikan ukuran seseorang
yang hilang tersebut masih dalam keadaan masih hidup atau sudah mati, Imam
Al-Shafi>’i> menjelaskan dari pendapatnya „Umar ibn Khattab bahwa tenggang
waktu yang diperbolehkan untuk memberikan vonis kematian kepada si
30
31
Ibid, 151-152.
Ibid.
16
mafqu>d ialah 4 tahun, maka dengan adanya keputusan hakim tersebut harta si
mafqu>d
itu
boleh
dibagikan
kepada
ahli
warisnya
sesuai
dengan
ketentuannya. 32 Tenggang waktu tersebut disandarkan kepada perkataan Umar
Ibn Khattab yang mengatakan:
(ﻗـﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ) ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﺍﻥﹼ ﻋﻤﺮ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ
ﻓﻘﺪﺕ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﱂ ﺗﺪﺭ ﺍﻳﻦ ﻫﻮ ﻓﺎﻧﻬﺎ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻊﺳﻨﲔ ﰒﹼ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺍﺭﺑﻌﺔ ﺍﺷﻬﺮ ﻭﻋﺸﺮ
‚Ima>m Shafi’i> berkata: Ima>m Malik menggambarkan kepada saya dari Yah}ya
bin Sa‟id bin Musayyab bahwasanya „Umar ibn K}hattab berkata; setiap
perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang tiada mengetahui di
mana suaminya, maka ia diminta menaati 4 (empat) tahun.”
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa Imam Al-Shafi’i>
membolehkan seorang hakim dalam memutuskan orang yang hilang (mafqu>d)
setelah menanti lebih dari 4 (empat) tahun atau sudah lewat masa yang orangorang seperti dia tidak dapat hidup lagi menurut adat.
Ada dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
kejelasan status hukum orang yang hilang, diantaranya adalah berdasarkan
bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara syariat Islam, misalnya putusan
tersebut berdasarkan persaksian dari orang yang adil lagi terpercaya. Jika
demikian hal nya, maka si mafqu>d sudah hilang status mafqu>dnya, ia di
tetapkan seperti orang yang mati hakiki sejak diputuskan. Selain itu, juga dapat
dilihat berdasarkan batas waktu lamanya kepergian.34
Ima>m Shafi>’i>, Al-Umm.Terj., 395.
Ima>m Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Shafi>’i>, Al-UmmJuz 7 (Dar Al-Kotob AlIlmiyah: Beirut, 2002), 403.
34
Idris Djakfardan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, 52.
32
33
17
Sedangkan, untuk menentukan hidup atau matinya orang yang hilang,
ulama-ulama berbeda pendapat.Seorang yang hilang dianggap sudah
meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah
mati (pendapat ini dipegang oleh ulama’ H{anafiyah), sedangkan diukur dengan
jangka waktu Imam Abu H{ani>fah mengemukakan harus melewati waktu 90
tahun yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebayanya diwilayahnya.
Namun, pendapat yang paling sa}hi>h menurut anggapan Imam Al-Shafi’i adalah
batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi cukup
dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya
sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Al-Shafi’Iseorang hakim
hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak
lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati sesudah berlalunya waktu
tertentu, kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut.Seseorang
yang hilang di anggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati tenggang
waktu 70 tahun.
Orang yang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa
(seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat jatuh dan
temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang harus diselidiki selama 4
tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi,
pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama Hanabilah. Sedangkan apabila
kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian
(seperti pergi berdagang atau merantau) ulama Hanabilah berbeda pendapat,
yaitu; menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada
18
ijtihad hakim.
Pembahasan
tentang
kewarisan
tidak
terlepas
dari
beberapa
pemasalahan yang dihadapi, salah satunya adalah mengenai status kewarisan
terkait orang hilang. Dari akibat hukum perkawinan di atas salah satunya
adalah timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Dari akibat tersebut,
dalam hubungannya dengan masalah kewarisan lebih rinci dijelaskan pada
pembahasan mengenai sebab-sebab timbulnya kewarisan. Sebab yang
menimbulkan waris-mewarisi dalam Islam, menurut Sayid Sabiq ada 3 yaitu:
hubungan kerabat atau nasab, perkawinan dan wala‟. Adapun pada literatur
hukum Islam lainnya ada 4 sebab, yakni: perkawinan, kekerabatan atau
nasa>b,wala‟ dan hubungan sesama Islam. 35
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya
sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah
dan Al-Shafi’i. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedu
masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya
meninggal atau telah menceraikannya.5
Mereka cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan
menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan
bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan
kaidah istishab, yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada
dalil yang menunjukan hukum lain. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa
35
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 72.
19
persoalan status hukum istri yang suaminya mafqu>d itu sebenarnya tidak ada
alasan, kecuali jika suami yang hilang itu tidak meninggalkan apapun yang
menjadi kewajibannya bagi istrinya. Hal ini berarti bahwa suami itu dianggap ada
disamping istrinya. Karena tidak ada hak istri yang tidak dibayarkan selain dari
bersetubuh, sedangkan bersetubuh adalah hak suami.
7
Akan tetapi anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus
menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena
harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum
bagi si mafqu>d karena yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang
tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang itu telah wafat
atau belum.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam
mencari kejelasan status hukum bagi si mafqu>d yaitu:
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat
menetapkan suatu ketetapan hukum. Misalnya, ada dua orang yang adil dan
dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah
meninggal dunia, maka Hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut
untuk memutuskan status kematian bagi si mafqu>d Jika demikian halnya, maka
si mafqu>d sudah hilang statusmafqu>d. Ia ditetapkan seperti orangyang mati
hakiki.
Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqu>d pergi atau berdasarkan
kadaluwarsa. Dalam kondisi seperti ini, Hakim menghukuminya sebagai orang
yang telah meninggal secara hukumi setelah berlalunya waktu yang lama,
20
karena
masih
8
ada kemungkinan orang tersebut masih hidup. Sedangkan
Pendapat kedua mengatakan bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh
suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka diaberhak menuntut cerai. Ini
adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.9
B. Mafqu>d Menurut Para Mazhab
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqu>ditu
telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqu>d itu dianggap telah wafat
jika orang-orang yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat,
sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70
tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku
berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.36
Ulama Al-Shafi>’iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90
tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya.
Tetapi, pendapat yang sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan
berdasarkan pada bilangan waktu tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti,
yakni jika telah ada bukti bagi hakim tentang kematian mafqud bersangkutan,
maka berdasarkan bukti itu hakim menetapkan kematian mafqu>d bersangkutan
36
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group), 2012), 136.
21
dan itu setelah berlangsung suatu periode di mana secara kebiasan bahwa
seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup di atas usia tersebut.37
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika mafqu>d itu hilang dalam
suasana yang memang memungk