PENGEMBANGAN W I L A Y A H D A L A M REFORMASI TATA PEMERINTAHAN DESA: Pelajaran dari Lima Provinsi dan Beberapa Tantangan Ke Depan

Project Working Paper Series No.zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA
06

PENGEMBANGAN WILAYAH D A L A M
REFORMASI TATA PEMERINTAHAN DESA:
Pelajaran dari Lima Provinsi dan Beberapa Tantangan
Ke Depan

Penulis:

Eka Intan Kumala Putri
Arya Hadi Dhannawan

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-IPB
Bekerjasama d e n g a n

Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia

Pengembangan Wilayah
dalam Reformasi Tata Pemerintahan Desa:
Pelajaran d a r i L i m a P r o v i n s i dan Beberapa T a n t a n g a n K e D e p a n


Penulis:

Eka Intan Kuraala Putri
Arya Hadi Dharmawan

Layout dan Design Sampul:
Dyah Ita M . dan Husain Assa'di

Diterbitkan pertama kali, Juli 2006
Oieh

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB
Bekerjasama dengan

Kemitraan bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia-UNDP
Kampus IPB Baranangsiang
Gedung Utama, Bagian Selatan, Lt. Dasar
Jl. Raya Pajajaran Bogor 16151
Telp. 62-251-328105/345724

Fax. 62-251-344113

\ Email. pspipb(a)indo.net.id

H a k Cipta dilindungi oleh undang-undang
D i l a r a n g mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

I S B N : 979-8673-38-0

KATA PENGANTAR

Kebijakan O t o n o m i Daerah (OTDA) adalah keputusan politik yang menjadi
tonggak penting sejarah sistem tata-pengaturan dan pemerintahanzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJ
(governance and
government system) d i Indonesia. Undang-Undang no. 32/2004 yang melegitimasi
O T D A , merupakan produk hukum yang pantas disambut baik oleh se^nua pihak,
karena memberikan platform yang jelas pada penegakan kedaulatan lokal,
keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat
dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan.

Keputusan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah (OTDA) melalui
implementasi Undang-Undang (UU) No. 22/1999 yang dilanjutkan oleh U U . No.
32/2004 tersebut, memberikan tantangan akademik yang sangat menarik bagi
para sarjana, pemikir dan praktisi pengembangan wilayah (regional development).
Teori-teori pengembangan wilayah (regional development theories) seolah tertantang
untuk mendalami makna dan mengelaborasinya secara intensif untuk menjawab
pertanyaan yang selama i p i hampir tak pernah terjawab, yaitu: benarkah
pembangunan wilayah ala O T D A yang berintikan prinsip desentralisme dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan distribusi kesejahteraan sosial jauh lebih
baik bila dibandingkan dengan pola pembangunan ala sentralisme? Prasyarat apa
saja yang harus dipenuhi pada suatu sistem kawasan, untuk bisa mencapai derajat
perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial seperti yang dicita-citakan
banyak orang itu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, studi-aksi partnership-based rural governance
reform memberikan peluang olah-akademik yang mencukupi untuk melihat
kembali dan melakukan ekspektasi ke depan, berkaitan dengan relevansi antara
O T D A dan perkembangan sosio-ekonomi suatu wilayah atau kawasan. Studi-aksi
tersebut dilaksanakan sepanjang Februari 2006 - Agustus 2006 oleh Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor.
Singkatnya waktu dan terbatasnya ruang yang tersedia jelas menjadi pembatas

yang signifikan bagi peneliti dan penulis untuk menuangkan pengalamanpengalaman (lessons learned) secara lebih leluasa daiam woTkffi^'papeFNj n i.
Namun, penulis berusaha tidak mengurangi kelengkapan informasi dalam
membahas O T D A dan kaitannya dengan pengembangan wilayah d i lima provinsi
studi. Akhir kata semoga^w^rkmgpap^} i n i dapat menambah khasanah kajian
otonomi desa khususnyk yang berkaitan dengan diskursus pengembangan wilayah
di Indonesia.

Bogor, Juli 2006
Penulis

iii

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar
Daftar Isi

ii
iv


1.

LATAR B E L A K A N G : A S U M S I , URGENSI D A N M A S A L A H

1

2.

LANDASAN TEORETIK- KONSEPTUAL

5

2.1. Konsep Wilayah: Pengertian dari Beragam Perspektif

5

2.2. Pengembangan Wilayah berbasiskan Partisipasi dan Kemitraan
via Penguatan Ruang Politik dan Kelembagaan Lokal

7


PERENCANAAN D A N PENATAAN W I L A Y A H PADA LIMA
PROVINSI D A L A M K O N T E K S U U 32/2004 D A N U N D A N G U N D A N G O T O N O M I KHUSUS

10

3.1.
32.
3.3.
3.4.
3.5.

12
14
19
23
26

3.


4.

IV

Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam
Sistem Nagari d i Minangkabau
r
Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat
Sinergisme di Bali
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung di Papua....

PERMASALAHAN D A N H A M B A T A N P E M B A N G U N A N
WILAYAH DALAM
PENYELENGGARAAN O T D A PADA
L I M A PROVINSI

32

4.1. Kemampuan Nanggroe Aceh Darussalam dalam O t o n o m i
Khusus

4.2. Respons Sumatera Barat terhadap Otonomi Daerah
4.3. Ketidakoptimalan Otonom Daerah di Jawa Barat
4.4. Efektivitas O t o n o m i Daerah di Bali
4.5. Ketertinggalan O t o n o m i Khusus di Papua

32
32
33
34
34

PENUTUP: R E N C A N A STRATEGIS P E N G E M B A N G A N
WILAYAH

36

DAFTAR R U J U K A N

38


zywvutsrqponmlkjihgfed

1

LATAR BELAKANG: ASUMSI, URGENSI DAN MASALAH

Keputusan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah (OTDA) melalui
implementasi Undang-Undang (UU) No. 22/1999 yang dilanjutkan oleh U U . No.
32/2004 memberikan tantangan akademik yang sangat menarik bagi para sarjana,
pemikir dan praktisi pengembangan wilayahzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
(regional development). Teori-teori
pengembangan wilayah (regional development theories) seolah tertantang untuk
mendalami makna dan mengelaborasinya secara intensif untuk menjawab
pertanyaan yang selama i n i hampir tak pernah terjawab, yaitu: benarkah
pembangunan wilayah ala O T D A yang berintikan prinsip desentralisme dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan distribusi kesejahteraan sosial jauh lebih
baik bila dibandingkan dengan pola pembangunan ala sentralisme? Prasyarat apa
saja yang harus dipenuhi pada suatu sistem kawasan, untuk bisa mencapai derajat
perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial seperti yang dicita-citakan
banyak orang itu? Untuk menjawab pertanyaan i t u , studi-aksi partnership-based

rural governance reform memberikan ruang-akademik yang mencukupi untuk
melakukan studi-elaboratif tentang relevansi O T D A dengan perkembangan sosioekonomi suatu wilayah atau kawasan.
Sebagaimana diketahui, perkembangan pemikiran terkini yang dapat ditangkap
dalam diskursus-diskursus akademis pada studi pengembangan wilayah,
memberikan pelajaran yang sangat berharga dan menantang. Pendugaan dampak
sosio-ekonomi yang berlangsung di suatu wilayah sebagai akibat dijalankannya
kebijakan O T D A tidak lagi dapat ditelisik (bang scrutinized) hanya dengan
mengandalkan teori-teori pengembangan wilayah klasikal seperti central-place theory
atau growtb-pole theory yang sangat sedikit mengakomodasi asumsi-asumsi prosesproses politik-administratif di dalam alam-pemikirannya. Dalam teori
pengembangan wilayah konvensional, sebuah kawasan diasumsikan hanya akan
tumbuh dan berkembang bila d i dalamnya terdapat pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi dan pelayanan yang dihela secara mandiri dan kuat oleh sektor
ekonomi andalan. Pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan-pelayanan fungsi
kehidupan masyarakat dikembangkan secara terpola mengikuti rasionalitas yang
dianut oleh para pelaku ekonomi konvensional. Dalam asumsi sistem ekonomi
yang demikian i t u , setiap pelaku bergerak atau mengambil keputusan terhadap
sejumlah pilihan yang tersedia berdasarkan landasan etika-moral optimalisasi
manfaat, minimisasi biaya, dan akumulasi modal. Teori pengembangan wilayah
konvensional, tidak memandang aspek tata-pengaturan (governance) atau sistemadministrasi pemerintahan sebagai faktor penting yang ikut menentukan
pertumbuhan dan perkembangan perekonomian suatu kawasan.

Oleh karena keterbatasan teori-teori konvensional dalam menjelaskan "dimensi
tata-pengaturan", maka diperlukan tools of analysis yang sepantasnya diturunkan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

melalui teoretisasi yang agak berbedazywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
(inkonvensional) dari pandangan-pandangan
klasikal dalam membedah efektivitas dan relevansi O T D A yang sesungguhsungguhnya terhadap perkembangan suatu kawasan (pedesaan dan perkotaan) di
bentang wilayah tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah, teori atau pendekatan
alternatif apakah yang bisa digunakan dalam hal ini? Bagaimana pendekatanpendekatan alternatif itu dioperasionalisasikan d i lapangan?
Sebagaimana diketahui, asumsi dasar peluncuran kebijakan O T D A adalah,
membiarkan
pemegang
otoritas-administrasi
pembangunan
di
suatu
kota/kawasan yang memiliki hierarkhi-kewenangan lebih bawah (kabupaten/kota)
daripada pemerintah-pusat untuk melakukan improvisasi dalam menghimpun
sumber-sumber ekonomi, menggerakkannya dan mengembangkan wilayahnya
sesuai potensi dan aspirasi-lokal. Melalui OTDA, perencanaan pengembangan
suatu kawasan harus dibebaskan dari kekuatan sentralitasyang tunggal dan mendikte
(blue-print model). Oleh karena itu, kebijakan O T D A mendekonstruksi peran
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang berkedudukan di pusat, dan
memperkuat posisi administratif-politis Badan Perencana Pembangunan Daerah
di Kabupaten dan Kota. Pemerintah kabupaten dan kota juga diberikan ruang
yang mencukupi untuk mengalokasikan anggaran pembangunan sesuai keinginan
lokal.
Semua itu dilakukan, oleh karena selama masa pemerintahan yang sentralistik,
pembangunan sosio-ekonomi dan pengembangan wilayah, terlalu bias pada
kepentingan dan cita-rasa penguasa politik dan pemerintahan di pusat (Jakarta).
Aspirasi dan kebutuhan di tingkat lokalitas, saat itu sangat diabaikan dan tidak
banyak dikomodasi oleh sistem kekuasaan dan pemerintahan sentralistikotoritarian tersebut. Demikianlah, sehingga O T D A dihadirkan dengan semangat
untuk mendekonstruksi dan mereduksi proses-proses perencanaan pembangunan
wilayah yang terpusat ("centralgovernment-biased") yang terkesan elitis, tidak
membumi, kurang memihak rakyat kecil, dan mengabaikan keberadaan organisasiorganisasi atau kekuatan-kekuatan civil-society di tingkat grass-root. Artinya, O T D A
(seharusnya) membawa missi perencanaan pembangunan wilayah yang lebih
populis, membumi (down-to-earth), dan mengakar pada kebutuhan masyarakat serta
mengakomodasi proses-proses politik perencanaan pembangunan yang partisipatif
di tingkat lokal. Benarkah semua cita-cita itu bisa diwujudkan? Fakta-fakta atau
pengalaman pelaksanaan O T D A sejak tahun 1999 hingga 2006, yang bisa dipetik
dan diinventarisasikan dari lapangan, justru memberikan gambaran yang berbeda
secara diametral dengan apa yang dicita-citakan tersebut. Seperti apakah
faktual O T D A yang perlu dipertimbangkan dalam
persoalan-persoalan
mengembangkan suatu kawasan? Beberapa persoalan penting O T D A d i bawah i n i
bisa dicermati.
Pengembangan wilayah dalam kerangka OTDA, menghadapi sejumlah persoalan
struktural yang dapat diinventarisasi sebagai berikut:

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Des^: Pelajaran dari Lima Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

1. O T D A yang mengimplementasikan prinsip desentralisme dan otonomisasi
perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten, seolah "menutup mata"
terhadap kenyataan adanya keeratan hubungan jejaring eko-geografis antar
mengingkari
kawasan kabupaten-kabupaten "sehamparan". O T D A juga telahzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONML
realitas (adanya fakta) keniscayaan hubungan fungsional-interaksional perekonomian
yang terjalin secara kuat antar berbagai organisasi ekonomi-produksi di wilayah
kabupaten-kabupaten sekawasan. Pemerintah kabupaten menerjemahkan prinsip
atau cita-cita kemandirian-daerah yang diinginkan oleh O T D A melalui
"bahasa perencanaan pembangunan wilayah" yang samasekali menyalahi
proposisi teori pembangunan wilayah apapun dan dimanapun. Alih-alih
mengembangkan jejaring fungsional, dengan O T D A , setiap kabupaten justru
mtn-single-out diri (mengisolasikan diri mereka dari pengaruh luar) dan
berasumsi seolah-olah kawasan itu menjadi pusat pertumbuhan-mandiri yang
memang sepantasnya bebas/steril dari pengaruh serta tidak memerlukan
dukungan fungsional dari wilayah kabupaten tetangganya dan sebaliknya.
2.

Pemberlakuan kebijakan O T D A yang sangat "daerah-or/Vwtaf, telah
menumbuhkan dan menguatkan egoisme-regional serta menajamkan potensi
konflik antar-regional dalam perencanaan dan operasionalisasi pembangunan
wilayah sekawasan. Kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh satu pemerintah
kabupaten seringkah saling bertentangan dengan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah kabupaten-kabupaten tetangganya. Akibatnya, bukan sinergisme
pertumbuhan sekawasan yang bisa dihasilkan, melainkan sebuah proses
netralisasi-pembangunan, dimana kebijakan ekonomi d i satu daerah justru
berdampak counter-productive bagi perkembangan perekonomian di daerah
lainnya (lihat Dharmawan, 2005).

3. O T D A memberikan kegamangan dan ketidaksiapan bagi pengemban otoritas
pemerintahan daerah dalam membuat perencanaan pembangunan wilayah di
tingkat kabupaten. Pengalaman dari berbagai studi terdahulu memberikan
petunjuk bahwa, dalam setiap proses working-out rencana pembangunan,
pemerintah kabupaten selalu kehilangan esensi dari mata-rantai perencanaan
pembangunan internal yang justru dibangunnya dengan susah-payah. Fakta
menunjukkan bahwa, kepada setiap unsur masyarakat di setiap desa dan
kecamatan (otoritas administrasi di bawah kabupaten) diberikan peluang
untuk ikut melakukan proses-proses perencanaan pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan wilayahnya (melalui proses-proses politik lokal), namun di
pihak lain, apa yang diperoleh desa d i kemudian hari selalu saja tidak seperti
apa yang telah direncanakan semula. O T D A dalam hal i n i menghadapi
proses ketidakpercayaan internal dalam ruang kelembagaan pemerintahan atau
ruang-politik perencanaan pembangunan (lihat Piliang, 2003 dan Dwiyanto et
al, 2003).
4.

O T D A membuat sibuk pemerintah kabupaten untuk terus-menerus
menghimpun dana (Pendapatan Asli Daerah atau PAD), sementara mereka

Pengembangan Wilayah d a l a m Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e D e p a n

melupakan untuk apa (kemana) dana yang telah dikumpulkan itu
sesungguhnya harus/akan dimanfaatkan. Hal i n i terbukti, bahwa fungsifungsi pelayanan sosial (fasilitas pendidikan, pusat kesehatan masyarakat,
infrastruktur fisik) dan fasilitas kegiatan ekonomi masyarakat lainnya tidak
serta-merta meningkat kualitasnya dengan meningkatnya PAD. D i beberapa
kabupaten yang dapat dikategorikan "kaya dengan sumberdaya alam dan
menghasilkan PAD dalam jumlah yang besarpun", fenomenazywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLK
kemelaratan dan
ketertinggalan dan ketidakpuasan atas pelayanan publik masih menjadi
persoalan yang menonjol (lihat Dwiyanto et al, 2003).
5. OTDA menyisakan sejumlah persoalan penting yang perlu menjadi perhatian
bersama ke depan. Hasil investigasi empirik yang dilakukan oleh Dwiyanto
et al (2003) atau Dharmawan (2006) menerangkan bahwa persoalan-persoalan
terscout adalah:
(a)

(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)

Ketidahepahaman tentang pemahaman OTDA oleh setiap pemerintah
daerah, dimana ketidakselarasan i n i berpotensi mengganggu atau
mendistorsi
implementasi kebijakan O T D A secara utuh dan
keseluruhan,
Kapasitas kelembagaan pemerintahan serta komitmen kelembagaan pemerintah
pada kepentingan publik yang masih sangat terbatas,
Konflik-konflik antar kelembagaan pemerintahan dan antar pemerintahan
baik secara horisontal maupun vertikal,
Pelayanan administrasi publik yang masih mengecewakan dimana isyu
Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) tetap menjadi isyu sentral,
transparansi pengelolaan anggaran dan pengawasan kegjatan pembangunan
yang masih kurang memuaskan,
penegakan hukum yang tidak konsisten, dan
intensitas dan luasnya partisipasi masyarakat dalam proses politik lokal
serta tata-pemerintahan yang masih terkendala, sehingga mendistorsi
pembentukan tatanan pemerintahan yang mandiri, berdaya dan
legitimate.

Pertanyaannya
kemudian, bagaimanakah sesungguhnya
formulasi konsep
pembangunan wilayah di masa OTDA sebaiknya disusun dan dijalankan?
Pengalaman apa yang bisa dipetik dari studi aksi partnership-based ruralgovernance
reform di lima wilayah provinsi di Indonesia, yang dapat menjadi pertimbangan
bagi konsep pembangunan wilayah pedesaan selanjutnya? Rencana strategis apa
yang sepantasnya disusun ke depan bagi pembangunan kawasan yang
mengedepankan prinsip good-ruralgovernance dan berbasiskan kemitraan itu?

R

i

2

LANDASAN TEORETIK-KONSEPTUAL

2.1.

Konsep Wilayah: Pengertian dari Beragam Perspektif

Sebelum membahas tentang konsep pembangunan wilayah yang relevan bagi
OTDA, perlu disepakati terlebih dahulu tentang apa batasan-maknazywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPON
region,
wilayah atau kawasan itu. Meski setiap orang bisa menunjuk pada maksud yang
sama, namun "wilayah atau kawasan" dalam wacana pengembangan wilayah
(regional development) memiliki makna yang berbeda-beda tergantung dari sudutpandang dan perspektif mana yang hendak dipakai. Secara sederhana Dawkins
(2003) memaknai konsep wilayah pada pengertian "kesatuan atau entitas dimana
aktivitas-aktivitas ekonomi berlangsung atau sekedar "kumpulan ruang atau tempat
yang disatukan oleh batas-batas geografis tertentu"'. Namun, pengertian wilayah atau
kawasan tentu tidak sesederhana itu maknanya, sejak ilmu pengetahuan juga terus
berkembang dan memberikan alternatif cara memandang sesuatu persoalan.
Sebagai konsep ruang yang saling terkait satu sama lain (spatially interdependent),
wilayah atau kawasan dapat menunjuk pada pengertian "nodai regions" dimana
satuan-satuan aktivitas pertukaran dalam perekonomian saling dihubungkan satu
sama lain sehingga membentuk jejaring kawasan yang lebih luas. Menurut
Hoover dan Giarratani (1985) sebagaimana dikutip oleh Dawkins (2003) kawasan
nodai memiliki dua karakteristik:
(1)

mereka secara fungsional-internal terintegrasi satu sama lain sedemikian
rupa sehingga tenaga kerja, modal dan komoditas perdagangan cenderung
saling dialirkan dan dipertukarkan di dalam kawasan daripada ke luar
kawasan,

(2)

d i dalam kawasan, aktivitas-aktivitas selalu diarahkan ke satu titik (node),
dimana diasumsikan bahwa setiap titik (node) memiliki kawasan periferal
yang mengelilinginya. Setiap titik (node) menjadi pusat pertumbuhan
ekonomi yang ikut membawa kemakmuran bagi kawasan periferalnya.
Pengertian i n i jelas memaknai kawasan sebagai satuan wilayah dengan
menggunakan asumsi pergerakan ekonomi semata-mata dan menegasikan
kehadiran
elemen lain dalam kehidupan yang semestinya
juga
diperhitungkan.

Dalam pada itu, perspektif traditional functional economic area dan perspektif local
political approach memberikan makna pada konsep kawasan berbeda secara
substansial. Sebuah wilayah dalam pengertian yang dianut oleh mereka dari
perspektif kawasan ekonomi fungsional tradisional selalu menunjuk kawasan dengan
batas-batas geografis yang "maya" sesuai dengan kuatnya pengaruh pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi yang secara struktural-fungsional terjalin-terpadu dengan
kawasan-kawasan pelayanan sosial di sekelilingnya. Pendekatan politik-lokal
memaknai kawasan sebagai ruang dimana suatu ideologi-politik tertentu dan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depa".

praktek kehidupan politik berasaskan ideologi tertentu tersebut
berlangsung secara intensif.

hidup dan

Batas-batas geografis atau luas-wilayah kawasan berbasiskan pengertian politiklokal, jelas tidak-setangkup dengan luas-wilayah berdasarkan pengertianzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSR
kawasan
ekonomi fungsional dimana aktivitas-aktivitas ekonomi dijalankan. Dalam
perspektif politik lokal, suatu kawasan dapat dikenali dengan jelas sesuai dengan
luasannya dan besarnya jumlah penganut suatu gagasan atau ideologi politik
tertentu, dimana ideologi tersebut diimplementasikan secara efektif di kawasan
yang bersangkutan. Dengan pengertian seperti i n i , maka secara geografis, luaswilayah tata-pemerintahan (berbasiskan kesatuan ideologi-politik yang dianut
masyarakat dan membentuk kesatuan wilayah hukum tertentu) seringkah tidak
kongruen satu sama lain dengan luas-wilayah ekonomi dimana aktivitas-aktivitas
pertukaran-perdagangan
barang-jasa-modal
dan pelayanan-pelayanan
sosial
berjalan secara fungsional dan operasional. Dalam banyak kasus, luas-wilayah
pertukaran dan pelayanan ekonomi bisa lebih sempit ataupun lebih luas daripada
coverage (jangkauan) pelayanan administrasi dan tata-politik pemerintahan lokal
di suatu kawasan.
Dari sudut pandang yang agak berbeda, wilayah atau region dapat dipahami
sebagai kesatuan atau "gugusan elemen sumberdaya alam yang tersusun secara teratur
dan tertib" pada batasan geografis tertentu. Perspektif i n i memahami wilayah
sebagai: "ekosistem dimana batas-batas geografis di dalamnya dapat ditelusuri dari
intensitas
hubungan-hubungan
sosio-ekologi-dan-ekonomikal yang saling
bergantung sesamanya antara natural resource systems dan human populations".
Sementara itu, Markusen (1987) sebagaimana dikutip oleh Dawkins (2003)
mendefinisikan wilayah atau kawasan dalam perspektif kesatuan tata-kehidupan
komunitas dan sumberdaya alam secara sekaligus, sebagai: "sebuah tempat
kehidupan dimana terdapat pemukiman beserta aktivitas-aktivitas ekonomi yang
saling berdekatan, berkaitan dan terpusat
(contiguous territorial society) yang
berkembang secara historis dimana di dalamnya terlibat sejumlah elemen seperti
physical environment, socioeconomic, political, and cultural milieu yang sangat
dinamis". Dengan konstelasi yang demikian, maka sebuah kawasan atau wilayah
akan menampilkan kekhasan spasial secara struktural (spatial structure) yang
tampilannya secara nyata jelas berbeda terhadap kawasan lainnya. Definisi i n i
sangat mengapresiasi keberadaan suatu kawasan dalam konteks historis dimana
tumbuhnya aktivitas-aktivitas sosio-ekonomi atau kehidupan secara umum
disebabkan oleh interaksi antara manusia (komunitas manusia) dan sumberdaya
alam lokal (tbe interaetion between humans and local natural resources) sepanjang
waktu.
Hingga titik i n i , pengertian kawasan atau wilayah, paling tidak
diidentifikasi atau dimaknai dari beberapa perspektif penting, seperti:
(1)
(2)

perspektif ruang-geografis,
perspektif ruang-politis,

dapat

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e D e p a n

(3)zywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
perspektifjejaringfungsional,
(4)
perspektif sumberdaya alam dan lingkungan,
(5)

perspektif entitas komunitas-sosiologis.

Setiap perspektif mendefiniskan ruang, wilayah atau kawasan secara berbeda-beda
menurut pemahaman dan asumsi yang mendasarinya. Persoalannya kini adalah,
menggunakan perspektif atau teori yang manakah analisis tentang pembaruan
tata-pemerintahan desa dalam konteks pembangunan wilayah harus dilakukan?

2.2.

Pengembangan Wilayah berbasiskan Partisipasi dan Kemitraan via
Penguatan Ruang Politik dan Kelembagaan Lokal

Sebenarnya, kebijakan O T D A yang memberikan otonomi dan keleluasaan
kewenangan lebih besar kepada daerah (kabupaten) dalam mengambil keputusankeputusan ekonomi-politik pembangunan, dapat menjadi peluang yang sangat
berarti bagi kekuatan-kekuatan politik lokal untuk secara aktif memperjuangkan
gagasan pengembangan wilayahnya sesuai aspirasi dan sumberdaya lokal.
Pertanyaannya, sudah mampukah setiap elemen politik lokal merespons,
memiliki kesiapan, serta berkapasitas penuh untuk merumuskan tahapan
pengembangan wilayahnya dalam kerangka OTDA? Mampukah elemen-elemen
politik pada setiap satuan terkecil wilayah-perekonomian menggerakkan aktivitas
ekonomi lalu menjalinnya
menjadi jaringan pertumbuhan wilayah yang
integratif? Ruang politik (lokal) seperti apakah yang mampu meggerakkan
perekonomian dan kesejahteraan wilayah? Ruang politik lokal seperti apakah
yang ada dan telah terbentuk saat ini? Benarkah atau sudah siapkah ruang
politik lokal yang ada akan mampu menjadi "wadah sekaligus mesin penggerak"
pertumbuhan atau perkembangan daerah? Jika jawabannya "belum-siap", maka
apa yang harus diperbaiki, diperkuat, diberdayakan, dan dikembangkan?
Secara
paradigmatik, perspektif teori politik-lokal berkeyakinan
bahwa
pembangunan wilayah yang kondusif bisa didekati dan dimulai melalui ruang
politik lokal yang berdaya dan mandiri. Kawasan yang dinamis dan bergairah
hanya bisa diwujudkan bila elemen-elemen politik lokal memiliki kesiapan dan
kapasitas yang mencukupi untuk melakukan perencanaan pembangunan wilayah
secara mandiri (bebas dari "kekuatan penekan" manapun).
Pertanyaannya
kemudian, jika ternyata ruang politik perencanaan wilayah yang ada belum
berdaya, lalu bagaimanakah elemen-elemen politik lokal itu harus diberdayakan?
Dapatkah penguatan ruang politik lokal dimulai dari organisasi tata-pemerintahan
desa sebagai unit-keputusan terkecil dalam hierarkhi kewenangan pembangunan?
Secara filosofis, terdapat dua ranah/pespektif dalam teori pembangunan wilayah
yang mendekati persoalan penumbuhan ekonomi lokal melalui perspektif "ruangpolitik lokaf\ yaitu:
(1)

growth machine theory (GMT) atau teori mesin pertumbuhan, dan

Pengembangan WilayahzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaYWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA
dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran d a r i L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan Ke Depan

(2)zywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
new institutional economics (NI E) atau teori ekonomi kelembagaan baru.
Kedua teeri tersebut diturunkan dari kritik yang tegas atas kelemahan teori-teori
klasikal pembangunan wilayah, yang selama ini mengabaikan faktor kelembagaan
politik dalam "model" pemutusan kebijakan pengembangan suatu wilayah atau
kawasan (lihat Dawkins, 2003).
Teori mesin pertumbuhan (GMT) menjelaskan bahwa ruang-politik lokal yang
gagasan-gagasan
serta
mapan
dan
matang
mampu
menelurkan
mengoperasionalisasikan gagasan tersebut menjadi fakta-konkret d i lapangan.
Menurur teori ini, pertumbuhan ekonomi regional dapat terbentuk sebagai akibat
langsung dari aktivitas tata-pengaturan administrasi-politik lokal (local political
organization), dan bukan sebaliknya. Artinya, "kekuatan organisasi pengaturan politik
lokaT dapat berfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal.
Mesin pertumbuhan yang diperkenalkan oleh teori i n i menunjuk pada keberadaan
sejumlah organisasi sosial lokal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah. Teori i n i kemudian dikenal sebagai teori politik lokal, karena
organisasi-organisasi sosial tersebut dalam operasionalisasinya mampu mengenerate keputusan-keputusan politik yang decisive bagi pertumbuhan wilayah.
Manakala kebijakan-kebijakan yang dirumuskan bisa berjalan secara efektif, maka
keputusan-keputusan tersebut pastilah memiliki dampak pada perbaikan atau
jalannya aktivitas-aktivitas perekonomian lokal. Berkembangnya aktivitas
ekonomi lokal (local economic activity) juga berarti sebuah dorongan bagi
pertumbuhan perekonomian suatu kawasan. Pertumbuhan perekonomian suatu
kawasan adalah inti dari perkembangan suatu wilayah (Molotch, 1976 seperti
dikutip oleh Dawkins, 2003). Menurut perspektif teori GMT, kebijakan O T D A
yang memberikan platform otonomi desa sebagai kekuatan penggerak perubahan
wilayah desa, pergerakannya akan sangat ditentukan sejauhmana rural governance
system berlangsung dan dijalankan oleh semua pihak terkait pada proses-proses
perencanaan pembangunan wilayah.
Sementara itu, teori ekonomi kelembagaan baru (NIE) mengembangkan proposisi
yang intinya adalah bahwa perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat
didekati melalui perubahan kelembagaan (institutional change) dan penataan
kelembagaan sebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Pendekatan i n i adalah
turunan (derivat) dari mazhab institusionalisme yang mengembangkan keyakinan
bahwa kelembagaan menjadi kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi
regional. Gagasan ini dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang
mengajukan proposisi bahwa kelembagaan memastikan bekerjanya sistem
organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan beban biaya tinggi yang
diperlukan untuk memonitor ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang
harus ditanggung oleh para pihak berinteraksi. North (1990) mengukuhkan
proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori institutional adaptalion and change
yang berbasisikan pada asumsi-kerja bahwa kelembagaan politik dan ekonomi
memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan dan dikembangkan guna

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

menekanzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
transaction cost dilemma yang selalu hadir pada suatu sistem sosialekonomi yang berkembang makin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran
ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan kapitalistik. Dalam pandangan
North (1990) perkembangan perekonomian dan pertukaran (transaksi ekonomi)
di suatu wilayah yang terus meninggi perlu diimbangi dengan pengembangan
sistem tata-pengaturan kelembagaan yang kompatibel, jika tidak, maka akan
muncul informal forms of governance yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan
dan pemanfaatan kesempatan untuk menangguk short-term profits.
Secara instrumental, baik perspektif GMT maupun NIE dapat digunakan saling
mendukung untuk menganalisis persoalan dan hubungan antar-persoalan yang
terkait dalam pengembangan wilayah (desa) d: era O T D A . Pertanyaan yang
hendak dijawab disini, adalah: bagaimanakah organisasi pemerintahan desa dan
tata-pemerintahan desa sebagai basis-kelembagaan ruang politik lokal, diberdayakan
agar mampu menjadi penggerak perkembangan suatu wilayah (desa)? Hal-hal
(governance system) apa sajakah yang perlu diperbaiki dan disempurnakan? Sudah
cukupkah organisasi pemerintahan desa menjadi ruang publik dan "arena
bermain" yang memadai bagi segenap stakeholder untuk berpartisipasi dalam
perumusan kebijakan pengembangan wilayah (di tingkat lokal - desa)?

3I I PERENCANAAN DAN PENATAAN WILAYAH PADA
LIMA PROVINSI DALAM KONTEKS U U 32/2004 DAN
UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS
Undang-undang No. 32/2004 telah membawa reorientasi (nilai) perubahan cukup
besar bagi proses demokrasi perencanaan pembangunan di Indonesia, yang
sebenarnya telah berubah ke arah yag lebih demokratis pada saat U U No.
22/1999. U U No. 22/1999 pada dcsarnya lebih akomodatif untuk menjalankan
demokrasi dan desentralisasi lokal pada aras pedesaan. U U No. 32/2004 secara
substansi makin menjauh dari U U No. 22/1999 dengan meresentralisasi dan
merebirokratisasi kehidupan politik d i pedesaan, yang ditunjukkan pada desain
hubungan pusat-daerah dan akuntabilitas kepala daerah (bupati/walikota)
maupun kepala desa. Demikian pula halnya dengan U U otonomi khusus
(OTSUS), tidak jauh berbeda kondisinya dengan keberadaan U U No. 32 tahun
2004 tersebut.
Dari sisi perencanaan dan penataan wilayah sedikit banyak juga mengalami
'sentuhan' perubahan dengan adanya U U No. 32 tahun 2004, hanya saja
perubahan i n i ada yang disikapi dengan serius untuk menuangkannya ke dalam
rencana tataruang wilayahnya namun ada pula yang belum menuangkannya
dalam rencana tataruang wilayah. Semua itu memang tergantung kemauan,
keinginan dan komitmen dari kepala daerah (bupati/walikota) nya masingmasing. Bagaimana perencanaan dan penataan wilayah yang ada di lima provinsi
penelitian, disajikan pada Gambar 1.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa perencanaan dan pembangunan di Sumatera Barat
dan Bali relatif telah berjalan dengan baik dan efektif dibandingkan dengan
daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat dan Papua. Efektivitas program
perencanaan dan pembangunan di 2 (dua) provinsi tersebut diatas didukung
dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai, dan didukung dengan
tersedianya peraturan yang mendukung penataan tata ruang wilayah serta cukup
partisipatifnya keterlibatan internal pemerintahan administratif dalam penataan
ruang. Sedangkan bagi 3 (tiga) provinsi yang lain, yang menunjukkan bahwa
perencanaan pembangunan wilayahnya lemah adalah masih besarnya peran
Pemerintah dan sangat mengandalkan negarazywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
(state driven) dalam segala tata
kehidupan, sehingga hampir tidak ada perencanaan yang muncul secara murni
dari wilayah pembangunan itu sendiri. Dengan kata lain, program pembangunan
akan direncanakan dan dilaksanakan jika telah ada 'petunjuk' dan arahan dari
pihak atasan, sehingga sangat kental dengan nuansa 'top down' nya.
Demikian pula halnya dengan pemicu pertumbuhan ekonomi dan wilayah, pada
2 (dua) daerah Sumbar dan Bali itu sudah memiliki "generator penggerak

Pengembangan W i l a y a h dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi dan
Beberapa Tantangan Ke D e p a n

pertumbuhan" yang menggerakkan ekonomi wilayah, yang masing-masing
berbasiskan pada sektor pertanian dan pariwisata, dibandingkan dengan ke-3
(ketiga) wilayah yang lain. Penggerak ekonomi wilayah di dua(2) wilayah tersebut
berjalan dengan baik karena didukung kesiapan kelembagaan yang ada disana,
dominan dengan keberadaan lembaga adat yang memang sudah :'establishecf dan
berakar pada masyarakat setempat disana.
Berikut akan dibahas satu per satu bagaimana respon penerapan U U No. 32
tahun 2004 dan U U otonomi khusus masing-masing wilayah di lima provinsi
yang diteliti terhadap perencanaan dan penataan wilayahnya.
Faktor Pengaruh

Kondisi Infrastruktur

NAD

Terbatas

Sumbar

Jabar

Tersedia & baik

Tersedia & baik

Bali

Tersedia &

Papua

Terbatas

baik
Peraturan Terkait Penataan

Tidak ada

Perda 16/2005

ada

ada

Tidak ada

Tidak ada

Dominan

Tidak Ada

Dominan

Tidak ada

Tidak ada

Cukup

Tidak ada

Partisipatif

Tidak ada

State driven

dominan

State dnven

Tidak Ter-

Ter-planning

Wilayah
Peran Adat dalam Penataan
Wilayah
Keterlibatan Internal
Pemerintahah Administratif

partisipatif

dalam Penataan Wilayah
Keterpengaruhan pihak

State dnven

dominan

Tci-planning

bottom up dalam Penataan
Wilayah
Model Penataan Wilayah

Tidak ter-

Yang Ada

planning

Orientasi Penataan Wilayah

Tertinggal

Maju dengan

Maju dengan

Maju

Tertinggal

di Masa Depan

dengan

pertanian

pertanian-

dengan

dengan

homogeni-tas

berbasis

industri-budaya

peran adat

heterogenitas

pertanian

lokalitas

sangat

tinggi

Tidak ada

Ada, walau

planning

Tidak ada
planning

dominan
Pendorong Pertumbuhan

Tidak ada

Ada

Tidak Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

lambat

Wilayah: growth machinc &
ketersediaan mang politik lokal
Pendorong Pertumbuhan

Ada tapi 'mati'

Ada

Wilayah: new institutional
economics

kelembagaan

Sumber: Catatan Harian Lapang, 2006.

Gambar 1. Perencanaan dan Penataan Wilayah d i Lima Provinsi Penelitian

Pengembangan W i l a y a h d a l a m Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

3.1.

O t o n o m i Khusus d i Nanggroe Aceh Darussalam ( N A D )

Hasil diskusizywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
focus group discussion di lokasi penelitian yang dipusatkan d i Desa
Babah Jurong dan Desa Cot Geundreud menunjukkan bahwa sedikit sekali atau
bahkan dapat dikatakan b e l u m ada perubahan yang dirasakan oleh masyarakat
lokal sebagai dampak dari penerapan OTSUS di N A D . Seperti kita ketahui
bersama, bahwa pemerintahan N A D masih berkutat dengan urusan konflikpolitis internal karena instabilitas sosio-politis di level makro N A D (yang dijajagi
dengan perjanjian damai GAM-RI) yang membelenggu gerak dinamika politik
dan sosial pemerintah maupun masyarakat daerah-lokal sehingga kevakuman
dalam tata pemerintahan tidak dapat dihindari. Kehidupan dan kekuatan civil
society meredup dan bahkan padam samasekali.
Konflik sosio-politis N A D membawa pengaruh yang besar pada kehidupan
masyarakat yang saat i n i berada pada kondisi apatisme yang tinggi dan 'saling
curiga' satu dengan lainnya (internal distrust antar masyarakat yang cukup tinggi)
serta tingginya ketidakpedulian diantara masyarakat. Pada kondisi masyarakat
seperti itu sulit bagi pemerintahan N A D untuk melakukan perencanaan dan
pembangunan wilayahnya. Terlebih lagi dengan datangnya musibah Tsunami di
N A D , makin memperburuk perencanaan dan pembangunan N A D , hampir
seluruh energi dan sumberdaya yang ada terkuras habis untuk merecovery
(memulihkan kembali) N A D , yang infrastrukturnya hancur porak-poranda
sehingga melumpuhkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lokal disana.
Undang-undang OTSUS N A D sebenarnya lebih mengakomodir perencanaan dan
pembangunan wilayah yang didesentralisasikan kepada pemerintahan di tingkat
bawah (desa sekalipun), yang diterjemahkan dalam bentuk musrenbang
(musyawarah perencanaan pembangunan) di tingkat kabupaten ataupun desa,
namun karena ketidakberdayaan aparat pemerintahan desa dan masyarakat lokal
sehingga berdampak pada stagnannya proses perencanaan pembangunan dari
bawah (bottom up). Salah satu contoh cdalah ketidakberdayaan dan hancurnya
kelembagaan pengelolaan sumberdaya air di level desa, yang disebut 'kajeureun
biang', melumpuhkan tata kelola air antar desa dan antar kawasan hulu-hilir yang
akhirnya melumpuhkan pertumbuhan ekonomi lokal. Kelembagaan pengelolaan
sumberdaya air i n i merupakan sumber berkembangnya aktivitas ekonomi lokal
(local economic activity). Dengan hancur dan matinya 'kajeureun biang 5 maka hal
ini juga berarti pertumbuhan ekonomi kawasan itu hancur atau mati. Itu artinya,
hancurnya kelembagaan pengelolaan air akan ada perubahan ekonomi lokal yang
akhirnya berdampak pada' hancurnya kehidupan sosial masyarakat di kawasan
atau wilayah tersebut nantinya.
Berbagai kondisi ketidakberdayaan pemerintahan daerah (kabupaten dan desa)
dan masyarakatnya membuat pemerintah pusat yang mengambil alih urusan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

_ _

perencanaan pembangunan wilayah disana. Walaupun diambil alih pemerintah
pusat, namun penyusunan perencanaan pembangunan selalu disesuaikan dengan
kehidupan dan kebutuhan masyarakat NAD. Syariah Islamiyah diterapkan dalam
segala tata aturan pemerintahan maupun perilaku kehidupan politik disana.
Berbagai 'quanon-quanon' dibuat agar rencana pembangunan d i N A D dapat
lebih mudah diimplementasikan dan direalisasikan.
Lebih lanjut, menarik untuk dibahas disini adalah masih kentalnya kehidupan
adat di wilayah N A D , yang sedikit banyak mempengaruhi proses perencanaan
pembangunannya. Hal i n i perlu dilakukan untuk meminimalisir keragu-raguan
sebagian orang akan mampukah konsep desentralisisasi dan tata pemerintahan
desa diterapkan d-tengah-tengah menguatnya pembangunan masyarakat modern
dan global. Eksistensi masyarakat desa termasuk masyarakat adat 'gampong' saat
ini mengalami paradoks dan marginalisasi akibat pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat. Pemecahan dan pengambilan keputusan yang dahulu
selalu diselesaikan d i tingkat desa melalui 'meunasah' dengan membangun
solidaritas sosial diantara masyarakat desa, hal itu sekarang juga sudah
termarjinalkan.
Dampak dari paradoks dan marjinalisasi pembangunan i n i muncul sebagai
dampak dari diterapkannya model pembangunan yang umumnya digunakan
sebagai acuan oleh negara Indonesia, seperti yang diterapkan oleh negara-negara
berkembang lainnya di dunia i n i , yaitu model yang evolusionistik, berkembang
secara bertahap, linier, ekuilibrium dan makro, seperti model pertumbuhan
ekonomi Rostow (Anonimous, 2005). Model pertumbuhan Rostow dengan
cirinya yang makro terfokus pada pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan materi
dan tingkat kemampuan konsumsi, telah menyebabkan model i n i didalam
pelaksanaannya mengabaikan variasi-vasiasi lokal yang ada didalam suatu
masyarakat-negara. Ideologi dan paradigma modernisasi pembangunan tersebut
menganggap 'tradisi dan kearifan lokal' yang melingkupi kehidupan masyarakat
desa dan masyarakat hukum adat adalah suatu masalah dan menghambat
pembangunan, sehingga tidak jarang muncul konflik antara pemerintah dan
masyarakat de:a yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan masalah
adat.
Konflik dan resistensi masyarakat desa atau masyarakat hukum adat - khususnya
yang berada di wilayah kaya sumberdaya alam - terhadap kondisi tersebut diatas
tidak sedikit yang memunculkan kegiatan separatis ingin memisahkan dari N K R I
(Negara Kesatuan Republik Indonesia), termasuk di N A D i n i . Adanya U U No.
22/1999 dan U U No. 32/2004 berusaha menggantikan perangkat-perangkat
hukum dan perundang-undangan yang selama i n i sentralistik, otoriter dan
represif. Demikian pula halnya dengan N A D , melalui U U OTSUS berusaha
'menekan' sentralistik, otoriter dan represif tadi dan menggantikannya dengan
pendekatan yang lebih desentralistik, demokrasi dan persuasif, dengan tanpa
mengabaikan hukum-hukum atau pranata adat 'gampong' yang berlaku di N A D .

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

3.2.

Sistem Nagari d i Minangkabau

Perencanaan dan pembangunan wilayah di Sumatra Barat yang diteliti
dikonsentrasikan pada wilayah Kabupaten Solok, dengan mengambil contoh 2
(dua) desa dengan karakteristik satu dan lainnya berbeda, yaitu Desa Paninggahan
(desazywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
urban dengan tata kehidupan masyarakat yang lebih mudah menerima
perubahan dari luar desa) dan Desa Semanau (desa rural-urban dengan tata
kehidupan masyarakat yang masih mempertahankan keasliannya). Kabupaten itu
merupakan kabupaten yang relatif
lebih siap dalam menghadapi otonomi
dibandingkan dengan daerah atau kabupaten lainnya d i Sumatra Barat. Segala
aturan tata ruang yang menyangkut wilayah telah dituangkan ke dalam Peraturan
Daerah (Perda), sebagai contoh Perda No. 1 Tahun 2004 tentang Rencana Teknik
Ruang Kota Ibukota Kabupaten Solok, dan Perda No. 27 tahun 2000 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Solok.
Hal yang menarik dalam perencanaan dan pembangunan wilayah d i Sumatra
Barat, khususnya d i Kabupaten Solok, adalah adanya keterlibatan masyarakat
lokal secara bottom up dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang, yang tertulis
dalam Perda tersebut, bahwa peran serta dan masukan-masukan (saran)
masyarakat dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan mulai dari tingkat
Nagari ke Kecamatan dan kepada Kepala Daerah serta pejabat yang berwenang di
wilayahnya.
Khusus untuk Kabupaten Solok, dalam rangka penerapan undang-undang mulai
dari U U No. 22 tahun 1999 hingga U U No. 32 tahun 2004 dan penyesuaiannya
sekarang dengan Peraturan Pemerintah (PP) no. 72 tahun 2005 maka Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) melakukan peningkatan pelayanan publik dengan
menyerahkan 105 kewenangan kepada Nagari. Tujuan penyerahan wewenang dan
urusan ke Nagari adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat loka!
secara cepat dan efisien, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal secara langsung. Diserahkannya kewenangan kepada Nagari
karena Nagari merupakan satuan administratif terendah yang diakui oleh
masyarakat adat dan dalam hirarkhi pemerintahan setara dengan desa di Provinsi
Sumatra Barat yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Pada implikasinya kewenangan i n i berbeda dengan urusan. Pada satu kewenangan
ada beberapa urusan, termasuk kewenangan pendidikan yang terdiri dari beberapa
urusan, termasuk urusan disiplin guru, kurikulum pendidikan sekolah, dan lain
sebagainya, disamping kewenangan pengurusan KTP yang langsung berhubungan
dengan masyarakat lokal. D i Kabupaten Solok, Wali Nagari lah yang langsung
memberikan pelayanan publik, termasuk menandatangani KTP dan bukan Bupati
atau di level Kabupaten, hal ini berbeda dengan daerah lain di Provinsi Sumatra
Barat. Namun setelah dikeluarkannya PP72 tahun 2005 oleh Pemerintah Pusat
maka pelayanan publik tersebut mengalami perubahan, dimana berimplikasi Wali

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi d a n
Beberapa Tantangan K e Depan

Nagari tidak memiliki kewenangan lagi untuk menandatangani KTP atau akta
lainnya,
namun
Wali
Nagari
tetap
harus
memberikan
surat
pengantar/rekomendasi ke kecamatan. Dampak PP No.72 tahun 2005 i n i
penandatangani KTP kembali ke kabupaten (dalam hal i n i oleh kecamatan)
sehingga rantai birokrasi lebih panjang dan memakan waktu bisa mencapai 12
hari, sementara itu ketika penandatangani KTP dilakukan oleh Wali Nagari
hanyalah memakan waktu lima hari.
Tanggapan Pemerintah Kabupaten (daerah) terhadap U U 32 tahun 2004, yang
merupakan bentuk penyempurnaan terhadap U U 22 tahun 1999, memberikan
kewenangan lebih luas dalam hal kaitannya dengan aktivitas tata-pengaturan
administrasi-politik lokalzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
(local political organization), yang pada gilirannya dapat
memotivasi secara langsung pertumbuhan ekonomi regional. Selaras dengan teori
sebelumnya manakala kebijakan-kebijakan yang dirumuskan berjalan efektif,
maka keputusan-keputusan tersebut harus memiliki dampak pada aktivitas
ekonomi lokal dan kehidupan sosial masyarakat lokal. Dalam hal i n i , perubahan
dan implementasi U U 22 tahunl999 terhadap U U 32 tahun 2004 dan
penyempurnaan PP 93 tahun 2004 menjadi PP 72 tahun 2005 d i Provinsi
Sumatra Barat direalisasikan dengan Perda Nagari (Perna) yang saat i n i sedang
diproses perubahannya. Proses pelimpahan wewenang mengikuti mekanisme
sebagai berikut, yaitu U U dituangkan menjadi PP, kemudian dituangkan menjadi
Perda, khusus d i tingkat Nagari dituangkan menjadi Perna, yang langsung
'bersentuhan' dengan masyarakat lokal Nagari.
Khusus d i Kabupaten Solok, seluruh desa sudah menjadi Nagari, yang mana
perubahan tersebut diikuti dengan semangat perubahan Perna No.4 tahun 2001
menjadi Perna No.8 tahun 2005. Segala perubahan tersebut, seperti yang sudah
dibahas diatas, bahwa membawa pada proses perubahan di seluruh sendi-sendi
kehidupan Nagari, termasuk sosial dan ekonomi. Menyangkut perkembangan
ekonomi, di masing-masing Nagari membangun Badan Usaha M i l i k Nagari
(BUM-Nag) yang setara dengan Badan Usaha M i l i k Desa (BUM-Des) dan
dominan diarahkan pada aktivitas-aktivitas pertanian (dalam arti luas: pertanian,
perikanan dan kehutanan) berbasiskan sumberdaya lokal, disamping memberikan
dana tersendiri dalam bentuk D A U N (Dana Anggaran U m u m Nagari) yang
besarannya berkisar pada 20 juta rupiah per Nagari. D i bidang sosial, yang juga
mengalami perubahan adalah menyangkut masalah aksesibilitas, human capital
dari sumberdaya manusia (SDM), peningkatan pendapatan, fasilitas pendidikan
dan kesehatan. Pada intinya, pembangunan daerah (Nagari) di Kabupaten Solok
diprioritaskan pada 3 (tiga) bidang arahan, mencakup: (1) ekonomi kerakyatan,
(2) pendidikan, dan (3) kesehatan.
Dalam rangka O T D A , Kabupaten Solok merupakan satu-satunya kabupaten d i
Provinsi Sumbar yang sudah melaksanakan peningkatan pelayanan publik dengan
menerapkan sistem "Pos Pelayanan Satu Pintu Plus" dengan tujuan untuk
merealisasikan "good governance /elean governance" disana dengan menerapkan

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintahan Desa: Pelajaran dari L i m a Provinsi dan
Beberapa Tantangan K e Depan

akuntabilitas melalui penegakan hukum dan tranparansi pelayanan publik.
P.ealisasinya "Pos Pelayanan Satu Pintu Plus" dapat berjalan baik apabila dapat
memenuhi kriteria 3 (tiga) kejelasan, yaitu (1) ada jelas syaratnya, (2) ada jelas
biayanya, dan (3) ada jelas waktu pelayanannya.
Sebelum disahkan dan direalisasikan, konsep 'pelayanan satu pintu plus' itu
dilakukan melalui beberapa tahapan proses, yang menerapkan pendekatan
partisipatif danzywvutsrqponmlkjihgfedcbaWVUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
bottom up yang melibatkan seluruh stakeholders yang terlibat,
yaitu:
(1)

(2)

(3)

Tahap Diskusi: didiskusikan terlebih dahulu secara matang, transparan dan
antisipatif ke depan segala kemungkinan yang akan terjadi jika"Pos
Pelayanan Satu Pintu Plus" i n i diterapkan pada masyarakat lokal maupun
masyarakat luar (pendatang).
Tahap Sosialisasi: diterapkan aturan bagi hasil lima persen per instansi bagi
instansi yang terlibat dan berada dibawah tata pemerintahan (11 dinas
dengan 32 jenis pelayanan tidak masuk pertanahan (karena dekonsentrasi),
agama, dan sebagainya.
l a h a p Legalisasi: diterbitkannya berbagai Peraturan Nagari (Perna) yang
mengatur tentang jaminan pelayanan publik.

Realisasinya, untuk kecamatan yang letak wilayahnya jauh dapat dilayani dengan
pos dan yang kira-kira membutuhkan transport bagi masyarakat, dengan hanya
mengeluarkan tambahan biaya pos, disamping biaya untuk mengurus
pelayanannya itu sendiri. Selanjutnya, sistem penerimaan pada akhir bulan pada
instansi terkait, diatur sedemikian rupa, meliputi:
(1)

(2)

(3)

Pelayanan satu pintu plus merupakan milik Pemkab, yang dimasukkan
sebagai kas daerah, sementara Provinsi melakukan kewenangan dana
perimbangan.
Pencairan dana dimasukkan kedalam BPKD (Badan Pengelola Keuangan
Daerah) yang berfungsi sebagai bank, yang juga menerapkan pelayanan satu
pintu.
Jasa pemborongan dengan menerapkan SPM (surat perintah membayar)
dengan menandatangani "Pakta Integritas", yang merupakan komitmen
janji kejujuran: tidak boleh memberi dan menerima dari pihak manapun
untuk suatu kegiatan apapun. Pengalaman pembangunan yang diterapkan
selama i n i , kabupaten pernah menolak program-program atau proyek
nasional sejauh ada "fee", sebagai contoh penolakan yang menyangkut
pembangunan terminal di Kabupaten Solok.

Disamping hal tersebut diatas, bagi Pemerintah Kabupaten Solok memberi ruang
gerak yang lebih luas, yaitu adanya keleluasaan dan kewenangan bagi seluruh
Nagari untuk berotonomi. Contoh konkrit yang berhubungan dengan
keleluasaan dan kewenangan itu adalah ketika rencana membangun gedung SD
yang diprogramkan oleh pemerintah pusat (top down) padahal jika dilihat dari

Pengembangan Wilayah dalam Reformasi Tata-Pemerintah