Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman - Yogyakarta - USD Repository

  

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN

KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI

BELAJAR SISWA

  

Survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta

di Kabupaten Sleman – Yogyakarta

SKRIPSI

  

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

  

Oleh:

Tadius Sudarna

NIM: 021334021

  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  • ii -
  • iii -

  • iv -

  

ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA

DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI

BELAJAR SISWA

  

Survei Pada Siswa-Siswa Kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta

di Kabupaten Sleman – Yogyakarta

Tadius Sudarna

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar locus of control

siswa; (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

  Penelitian dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kabupaten

Sleman. Responden dalam penelitian ini sebanyak 373 siswa, dari total populasi

sebanyak 10.476 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling.

Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik

analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar locus of control

siswa ( , 003 < α = 0,05); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kultur keluarga

ρ =

pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ( ρ = 0,005

α = 0,05); (3) ada pengaruh positif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan

< antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ( = 0,007 < α = 0,05).

  ρ

  

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE

AND SCHOOL CULTURE TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN

EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING

  

ACHIEVEMENT

th

  

A Survey at 3 Grade Students ( IX) of Junior High Schools

in Sleman Regency - Yogyakarta

Tadius Sudarna

Sanata Dharma University

  

Yogyakarta

2007

This research was aimed to identify whether or not: (1) there was a positive

influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence

and students’ learning achievement; (2) there was a positive influence of family

culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning

achievement; (3) there was a positive influence of school culture toward the

relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.

  This research was carried out at private and public Junior High Schools’

(“SMP”) in Sleman Regency. The respondents’ of the research were 373 students,

from total population 10.476 students. The sample taking technique used was

purposive sampling. The data collecting method used was questionnaire and

documentation. The data analysis technique used was regression model developed by

Chow.

  The results of the data showed: (1) there was a positive and significant

influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence

and the students’ learning achievement ( = 0,003< α = 0,05 ); (2) there was a

ρ

positive and significant influence of family culture toward the relationship between

emotional intelligence and the students learning achievement ( = 0,005< α = 0,05);

  ρ

(3) there was a positive and significant influence of school culture toward the

relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement

α = 0,05).

  ( ρ = 0,007 <

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Baik, atas segala

berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi, FKIP, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

  Keberhasilan penyusunan skripsi tidak lepas berkat bantuan, dukungan, dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan limpah terima kasih

kepada :

  

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

  2. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo JR, selaku Ketua Jurusan Pendidikkan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas sanata Dharma.

  3. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi

  

4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang

dengan sabar, tekun, dan setia membimbing dan mendampingi penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

  5. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dan membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

  6. Bapak Ig. Bondan Suratno, S.Pd.,M.Si., selaku Dosen Tamu yang turut

  7. Para Kepala Sekolah SMP Negeri (SMP N. 2 Pakem, SMP N. 1 Mlati dan SMP

N. 4 Kalasan) dan SMP Swasta (SMP Budi Mulia-Minggir, SMP St. Aloysius-

Turi, SMP Muh. Godean dan SMP Karitas-Nandan) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di sekolah-sekolah yang Bapak/Ibu dan Bruder pimpin.

  8. Para Bruder Budi Mulia yang telah memberi kepercayaan, dan juga anak-anak Asrama Budi Mulia-Padon. “Trims mau mengerti aku”

9. Sahabat-sahabatku (Ning dan Edi) yang telah memotivasi dan memberi inspirasi bagiku.

  

10. Teman-teman PAK A’02 dan juga bagi siapa saja yang telah memberi dukungan,

dan dorongan kepada penulis sehingga penulis menjadi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

  

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, sumbang

saran dari pembaca, penulis harapkan. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembaca.

  Yogyakarta, 3 April 2007 Tadius Sudarna

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v ABSTRACT ................................................................................................. vi KATA PENGANTAR .................................................................................. vii DAFTAR ISI................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................

  1 B.

Batasan Masalah .........................................................................

  6 C. Rumusan Masalah .......................................................................

  7 D.

Tujuan Penelitian ........................................................................

  7 E. Manfaat Penelitian ......................................................................

  7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A.

  Locus of Control .........................................................................

  9 B. Kultur Keluarga ..........................................................................

  15 C. Kultur Sekolah ............................................................................

  18 D.

Kecerdasan Emosional................................................................

  22 E. Prestasi Belajar............................................................................

  24

  F.

  Kerangka Teoritik ....................................................................... 31 G.

  Hipotesis ..................................................................................... 37

  BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian............................................................................ 39 B.

  39 Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................

  

C. Subjek dan Objek Penelitian .......................................................

  39 D. Variabel Penelitian dan pengukurannya ..................................... 40

  E. Populasi dan sampel 1.

  Populasi ................................................................................ 46 2. Sampel .................................................................................. 46

  3. Teknik Pengambilan Sampel ............................................... 47 F.

  47 Tehnik Pengumpulan Data.......................................................... .

  G. Uji Coba Instrumen Penelitian 1.

  Uji Validitas .......................................................................... 48 2. Uji Reliabilitas ......................................................................

  52 H. Tehnik Analisa Data 1.

  Deskripsi data........................................................................ 53

  2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a.

  Uji Normalitas................................................................. 53

  b. Uji Linieritas ................................................................... 54

  3. Pengujian Hipotesis Penelitian ............................................. 55

  BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A.

  58 Deskripsi Data..........................................................................

  1.

  58 Deskripsi Responden penelitian.........................................

  2. Deskripsi Variabel Penelitian ............................................

  58 a) Locus of Control .........................................................

  61 b) Kultur Keluarga ..........................................................

  62 c) Kultur Sekolah .............................................................

  67

  d)

  73 Kecerdasan Emosional.................................................

  e)

  74 Prestasi Belajar.............................................................

  

B. Analisa Data.............................................................................

  75 1. Pengujian Prasyarat Analisa Data ......................................

  75 2. Pengujian Hipotesis ...........................................................

  76 C.

  91 Pembahasan Hasil Penelitian ...................................................

  1. Pengaruh Locus of Control pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ................

  91

  2. Pengaruh Kultur Keluarga pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ................

  93

  3. Pengaruh Kultur Sekolah pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ....................................

  95 BAB V PENUTUP

  A. Kesimpulan .............................................................................. 98 B.

  100 Keterbatasan Penelitian............................................................

  C. Saran ........................................................................................ 100

Daftar Pustaka ............................................................................................... 103

  DAFTAR LAMPIRAN halaman Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ................................................................ 106

  Lampiran 2 Validitas dan Reliabilitas ......................................................... 113 Lampiran 3 Data Variabel Penelitian .......................................................... 121 Lampiran 4 Distribusi Frekuensi ................................................................. 177 Lampiran 5 PAP Tipe II .............................................................................. 215 Lampiran 6 Kuder-Richardson 20 ............................................................... 222 Lampiran 7 Normalitas dan Linieritas......................................................... 224 Lampiran 8 Regresi ..................................................................................... 226 Lampiran 9 Daftar Tabel Statistik ............................................................... 237 Lampiran 10 Surat Ijin Penelitian ................................................................. 241

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian yang dilakukan UNDP (United Nation Development Program)

  dalam laporan HDI (Human Development Index) menyebutkan bahwa mutu pendidikan Indonesia pada tahun 1999 adalah peringkat ke-109 dari 174 negara, kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Matabaca

Vol 3 No 9 Mei 2005 hal 1). Salah satu masalah pendidikan yang tak henti-

hentinya dibicarakan adalah sistem pendidikan yang belum mampu membangun generasi yang dapat mengatasi tantangan perubahan zaman seperti krisis ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Berbagai kalangan menyoroti, bahkan mempertanyakan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya masalah prestasi

  . belajar Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Pada umumnya orang menilai prestasi belajar dengan berfokus pada indikator prestasi akademis pada setiap bidang studi. Namun beberapa pihak menambahkan indikator lain, misalnya prestasi bidang kesenian, olahraga, kepemimpinan, keterampilan, dan kualitas kepribadian siswa. Keberhasilan belajar umumnya dikaitkan dengan tinggi atau rendahnya intelligence quotient (IQ) siswa. Oleh banyak kalangan praktisi pendidikan, IQ dipandang sebagai penentu keberhasilan proses belajar.

  

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga pendidikan yang mempergunakan

tes IQ dalam menyeleksi calon siswa.

  Namun dewasa ini telah timbul kesadaran baru bahwa keberhasilan

seseorang tidak semata-mata diukur dari IQ saja, tetapi oleh tingkat kecerdasan

emosional (EQ) seseorang. Kecerdasan emosional (emotional intelligence)

adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri

dan dalam hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman, 2001:512). Semakin

tinggi kecerdasan emosional seseorang, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan

seseorang dalam belajar.

  Derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

tersebut di atas diduga kuat berbeda pada orientasi locus of control, kultur

keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda. Locus of control adalah suatu

keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Cakupan

dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus of control

eksternal. Pada siswa yang memiliki locus of control internal, derajat hubungan

antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat akan lebih

tinggi dibandingkan pada siswa dengan locus of control eksternal. Hal demikian

disebabkan siswa dengan locus of control internal mempunyai tingkat keyakinan

diri yang lebih tinggi akan hasil dari apa yang dilakukannya, mampu mengontrol

tujuan hidupnya, dan mempunyai orientasi hidup yang jelas. Hal ini berbeda

dengan siswa dengan locus of control eksternal yang cenderung lebih menggantungkan diri pada nasib atau takdir hidupnya saja. Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/keluarga

yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Pada

siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga akan lebih

tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga bercirikan power

besar. Hal demikian disebabkan pada kultur keluarga dengan power distance

distance kecil, siswa mempunyai ketaatan kepada norma keluarga, menghormati

orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, otoritas orang tua

berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Sedangkan pada

kultur keluarga dengan power distance besar bercirikan sebaliknya.

  Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan collectivism,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga

kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga

yang bercirikan individualism. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari

keluarga dengan kultur collectivism tinggi mempunyai demokratis dalam

keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama, mampu

mengelola keuangan, kebutuhan untuk berkomunikasi, merasa bersalah jika

melanggar peraturan dan keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga.

  

Sedangkan pada kultur keluarga yang bercirikan individualism memiliki

karakteristik yang sebaliknya.

  Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga

kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga

  

yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari

keluarga dengan kultur masculinity mempunyai dominasi penetapan aturan dalam

keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan

hasrat untuk hidup lebih baik. Sedangkan pada kultur keluarga yang bercirikan

femininity memiliki karakteristik yang sebaliknya.

  Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty

avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang

berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Hal

demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur uncertainty

yang lemah mampu menyikapi situasi ketidakpastian sebagai sesuatu avoidance

yang wajar, tidak cemas menghadapi persoalan hidup dan mempunyai

.

feleksibilitas dalam penetapan aturan keluarga Sedangkan pada kultur keluarga

bercirikan uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang

sebaliknya.

  Kultur sekolah diduga kuat juga menjadi pembeda derajat hubungan

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur sekolah adalah suatu

nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya

siswa. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat

hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan

lebih tinggi dibandingkan dengan power distance besar. Hal demikian

disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan kultur power distance kecil

perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran terpusat pada

  

siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua

arah (di kelas), peran orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam

sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan

dengan proses pembelajaran sekolah. Sedangkan pada kultur sekolah yang

bercirikan power distance besar memiliki karakteristik yang sebaliknya.

  Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga

kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari sekolah yang

bercirikan individualism. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari

sekolah yang bercirikan collectivism mempunyai kebebasan mengungkapkan

pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain,

sikap positif dalam mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi. Sedangkan pada

kultur sekolah yang bercirikan individualism memiliki karakteristik sebaliknya.

  Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga

kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pada sekolah yang bercirikan

femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah yang

bercirikan masculinity siswa mampu menciptakan suasana kompetisi di kelas,

berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru dalam mengajar. Sedangkan pada

kultur sekolah yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang sebaliknya.

  Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty

avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Hal

demikian disebabkan siswa dengan uncertainty avoidance yang lemah memiliki

tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru, kejelasan guru dalam

menerangkan dan adanya kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua.

  

Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat

memiliki karakteristik yang sebaliknya.

  Penelitian ini berusaha menganalisis dan menguji apakah variabel

moderating locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda

memberi pengaruh terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Berdasarkan uraian dan persoalan di atas, maka penulis mengambil judul “PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR”. Penelitian

ini merupakan survei pada siswa SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kabupaten

Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Batasan Masalah

  

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar

anak di sekolah, diantaranya locus of control, motivasi belajar, sarana dan prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur

sekolah dan sebagainya. Secara khusus penulis dalam penelitian ini bermaksud

untuk menyelidiki secara lebih spesifik bagaimana pengaruh locus of control,

kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional

  C. Rumusan Masalah 1.

  Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

  2. Apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

  3. Apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa? D. Tujuan Penelitian:

  1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

  2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

  3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

E. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada siswa bahwa sifat, sikap dan perilaku siswa berbeda, maka pihak sekolah harus memberikan perlakuan yang berbeda dalam rangka pencapaian prestasi siswa.

  2. Bagi penelitian selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian yang bisa memajukan pendidikan di Indonesia dan mutu pendidikan bisa semakin meningkat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Locus of Control

  1. Pengertian Locus of Control

Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter yaitu

suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Ia membagi locus

ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of control internal dan locus of

of control control eksternal. Individu yang mempunyai locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh dari dirinya, dari apa yang ia lakukan, dan ia mampu mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Namun ketika individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit kendali atas apa yang terjadi, percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari takdir, kesempatan, keberuntungan dan nasib, mereka diklasifikasikan sebagai individu dengan locus of control eksternal.

  Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar sosial (social learning theory). Ini berarti bahwa locus of control berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan pribadi menjadi individu dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan locus of

  Gibson, et al (1996:161) menyebutkan letak kendali (locus of control)

individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku

mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri mereka. Sebagian orang

percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka sendiri. Tetapi

sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka sebagai korban dari takdir,

mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh

keberuntungan atau kesempatan. Robbins (1999:42) menggarisbawahi apa

yang dikatakan oleh Rotter bahwa tempat kendali (locus of control)

dibedakan menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Orang yang percaya

bahwa dirinya sebagai penentu dari takdir mereka sendiri termasuk dalam

kelompok locus of control internal. Sedangkan orang yang menganggap

dirinya sebagai korban dari takdir, percaya bahwa apa yang terjadi pada diri

mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan, termasuk dalam

kelompok locus of control eksternal.

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of control

adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya baik

perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang

dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control internal

akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Keberhasilan dirinya

tergantung dari diri sendiri. Sedang individu dengan locus of control

eksternal, keberhasilan dirinya tergantung dari luar dirinya.

  2. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal Adanya perbedaan individu dengan locus of control internal dan individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara hidupnya. Dalam hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of control internal cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Orang yang mempunyai locus of control internal kurang konformis karena rasa percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan kemampuan dan keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang dilakukannya.

  Di sisi lain, orang dengan locus of control eksternal cenderung menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap otoritas (Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu dengan locus of control eksternal cenderung konform terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan memiliki kecemasan yang tinggi.

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu mempunyai kecenderungan locus of control internal apabila individu merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan akibat- akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of

  control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain dan keberuntungan.

  3. Faktor-Faktor Pembentuk Locus of Control Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam diri individu yang bersifat bawaan, namun terbentuk dan berkembang dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan mengembangkan locus of control adalah sebagai berikut (J.Phares dalam London dan Exner, 1978:291).

  a. Faktor Usia Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam hidupnya.

  Dengan kata lain, locus of control bergerak dari kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan bertambahnya usia.

  b. Pengalaman akan suatu perubahan Penelitian Kiehlbauch (London dan Exner, 1978:292) menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah yang telah lama.

  Locus of control teman serumah yang akan berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus of control individu ke arah eksternal.

  c. Generalitas dan Stabilitas perubahan Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan mempengaruhi locus of control. Misalnya adanya bom nuklir, perang, skandal politik. Pengalaman perubahan peristiwa tersebut menyebab- kan kecenderungan ke arah locus of control eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa takut dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dan mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup mereka.

  d.

  Pelatihan dan Pengalaman De Charms (London dan Exner, 1978:293) berhasil membuktikan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld dan Dozier (London dan Exner, 1978:293) mengenai pengalaman berorganisasi dalam masyarakat.

  Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri, keberanian dan kemandirian pribadi. e.

  Efek Terapi Beberapa peneliti; Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal. Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi masalah- masalahnya.

  4. Prosedur Penaksiran Setiap individu memiliki locus of control yang berbeda. Rotter

membedakannya menjadi dua yaitu individu dengan locus of control

internal dan locus of control eksternal. Untuk melihat perbedaan ini, Rotter menyusun skala pengukuran dan menginventarisasikan menjadi 29 item. Tes ini dinamakan skala control internal-eksternal (I–E scale). Rotter,

(1964:58) mengklasifikasikan menjadi enam kebutuhan yaitu status recognition (pengakuan status) merupakan kebutuhan untuk mengungguli, ingin dianggap dirinya kompeten di bidang akademik, baik di sekolah, jabatan, profesi, atletik; independence (ketidaktergantungan) merupakan kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri, menggantungkan pada diri sendiri, mengembangkan keterampilan untuk dapat memperoleh kepuasan

dan mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain; protection dependency (perlindungan-ketergantungan) merupakan kebutuhan untuk melindungi orang lain agar terhindar dari frustasi, menyediakan perlindungan/ keamanan, dan membantu orang lain mencapai tujuannya; love and

affection (cinta dan kasih sayang) merupakan kebutuhan untuk dicintai dan disenangi orang lain, ingin mendapatkan kehangatan, ketertarikan, perhatian dan kasih sayang; dominance (dominasi) merupakan kebutuhan untuk mengontrol aktivitas orang lain, termasuk keluarga dan teman, ingin diposisikan untuk berkuasa agar orang lain mengikuti keinginan dan kesukaan dirinya; physical comfort (kenyamanan fisik) merupakan kebutuhan untuk kepuasan fisik yang berkaitan dengan keamanan untuk menghindari sakit dan kesukaan terhadap kesenangan jasmani. Sedangkan Weiner (1980:251) mengklasifikasikan menjadi enam kategori yaitu; academic recognition, social recognition, love and affection, dominance, social political belief, dan life philosophy.

B. Kultur Keluarga

  1. Pengertian Kultur Keluarga Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002:169), yang dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku. Dalam ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1) keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya; (2) mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya (Kotter dan Heskett, 1992:3-4).

  Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus dan peneliti. Schein (1991:9) mendefinisikan kultur sebagai: “a pattern of basic assumption-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.

  Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan

dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti benar

saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok,

maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara

pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di

masa mendatang.

  Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez (1993:41), menyatakan bahwa:

“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting,

acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive

achievement of human group, including their embodiments in artifacts: the

essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically derived and

sellected) ideas and especially their attached values”.

  Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif.

Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya

dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi kultur

adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu.

Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing-masing kelompok

selama bertahun-tahun dan diyakini mengandung nilai luhur, sehingga

sangat sulit untuk berubah. Nilai-nilai itu dalam diri masyarakat tampak

dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.

  Sementara Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:

a collective phenomenon, because it is at least partly shared with people

who live or lived within the same social environment, which is there it was

learned. It is the collective programming of the mind wich distinguishes the

members of one group or category of people from another”.

  

Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai: “software of the mind”.

Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur

cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu yang

lama dan perlahan-lahan.

  2. Dimensi Kultur Keluarga Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah, jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan secara bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan (1995:7) menyebutkan bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga, struktur pendidikan, organisasi keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.

  Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from

  Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan weak to strong). tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Pada keluarga, dimensi power distance (jarak kekuasaan) mencakup indikator: ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, otoritas orang tua berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism vs individualism mencakup tingkat kebebasan anggota keluarga untuk menyatakan pendapat, loyalitas pada anggota keluarga lain, keleluasaan untuk mandiri, kebutuhan untuk berkomunikasi dan perasaan yang muncul akibat melanggar aturan atau norma keluarga. Dimensi femininity vs masculinity mencakup derajat dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan hasrat untuk hidup lebih baik. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator yang meliputi: toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai inisiatif, keluarga menjadi tempat belajar dan memiliki aturan.

C. Kultur Sekolah

  1. Pengertian Kultur Sekolah Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur

  Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut. Antropolog

Clifford Geertz mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman

terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun

implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2004) kultur adalah

kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan atau norma, tata