Studi Etnografi Sunda Wiwitan dan Global

DINAMIKA GLOBALISASI DALAM SUNDA
WIWITAN: STUDI ETNOGRAFIS WARGA DESA
CIREUNDEU
Dikerjakan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Mata Kuliah studi-Studi Budaya
Dosen oleh:
Dra. Junita Budi Rahman, M.Si., Ph.D.

Tutor oleh:
Deden Habibi

170210100122

Disusun oleh:

Aditya Oktora
Muhammad Adam
M. Oktabrian
Resti Asih Anggraeni
Rizma H.
Trinidyasari

Inggrid Ayu R
Majma Albahraini

Yanti Silviana

170210110071

1702101000
20
1702101100
24
1702101100
44
1702101100
45
1702101100
69
1702101100
80
1702101100

90

Melardi Putrohadi
Ilham Rachmadi
Yoga Miftahul Ihsan
Azhary Rizky
Indita H. H.
Agnes Bangkit
Triatmo
M. Faris Imam
Muslim

17021011010
2
17021011010
6
17021011011
3
17021011011
9

17021011012
8
17021011014
3
17021011014
7

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Globalisasi sekarang ini semakin terus berkembang membuat teknologi
dan komunikasi ikut menjalar masuk kesetiap plosok-plosok daerah di berbagai
belahan dunia. Hal ini menjadi sebuah trend yang bahkan manusia sudah
mencapai tahap terbiasa dengan banyaknya perubahan dan kemajuan yang telah

tercipta akibat dari globalisasi itu sendiri. Namun adapula masyarakat yang masih
bertahan dengan identitas aslinya. Pertemuan antara masyarakat yang masih
memegang identitas aslinya dengan nilai-nilai yang masuk akibat globalisasi
menghadirkan fenomena dimana masyarakat seperti ini dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh globalisasi, layaknya hubungan antara struktur dan agen dalam
konstruktivisme.
Hubungan antara identitas dengan globalisasi ini membawa keingintahuan
kami untuk meneliti bagaimana proses tersebut berlangsung. Lingkungan studi
kami yang lekat dengan budaya Sunda sebagai suatu identitas, menjadi
pertimbangan

kami

untuk

mengkaji

bagaimana

identitas


khas

Sunda

mempengaruhi/dipengaruhi globalisasi. Hingga kemudian kami bermaksud
mengangkat Sunda Wiwitan yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Sunda
sebagai suatu identitas yang masih eksis bertahan di tengah pengaruh globalisasi.
Sunda Wiwitan adalah salah satu kepercayaan dan budaya tertua di
Indonesia khususnya di Jawa Barat. Pada hakikatnya masyarakat yang menganut
Sunda Wiwitan akan menjauhi dunia luar dan terus menjaga kelestarian
kepercayaannya akan penghormatan terhadap alam. Lewat metode Etnografi kami
tim peneliti mencoba untuk lebih mengenal dan meneliti bagaimana masyarakat
Sunda Wiwitan dalam menghadapi Globalisasi itu sendiri serta kami mencari tahu
apakah adanya faktor akulturasi yang sudah terjadi diantara para penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan itu sendiri. Kami juga akan mencari tau dan menilit
problem apasajakah yang sering muncul dari pada penganut kepercayaan Sunda

Wiwitan itu sendiri, karena sampai sekarang masyarakat Sunda Wiwitan adalah
masyarakat yang paling gigih dalam memperjuangkan keekstensian kepercayaan

atau agamanya agar dapat diterima di publik bahkan diakui oleh pemerintah
Indonesia sendiri tanpa dengan tanpa adanya syarat ataupun peraturan-peraturan
yang mengikat mereka.
Objek studi kami akan berfokus pada masyarakat Sunda Wiwitan yang
berada Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat karena letaknya yang masih terjangkau
dengan mudah. Perlu diketahui bahwa di Jawa Barat sendiri Sunda Wiwitan
terbagi menjadi dua aliran yang berpusat pada Cireundeu dan Baduy yang kedua
aliran ini memiliki norma-norma yang cukup berbeda sehingga kami akan
berfokus pada satu aliran saja yaitu yang terletak di Cireundeu karena Sunda
Wiwitan yang satu ini lebih terbuka dengan masyakat pada umumnya sehingga
diharapkan mampu menjawab bagaimana hubungan antara Sunda Wiwitan
dengan Globalisasi itu sendiri.

I.2. Rumusan Masalah
Apakah Sunda Wiwitan di era globalisasi mengalami glokalisasi atau
grobalisasi bila dilihat dari sistem pengetahuan pangannya?
I.3. Tujuan Penelitian
Memahami dinamika globalisasi antara glokalisasi dan grobalisasi yang
mungkin terjadi pada budaya kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Cireundeu.
I.4. Manfaat Penelitian

Memperkaya khazanah keilmuan studi Hubungan Internasional dalam isu
globalisasi melalui pendekatan cultural studies dengan meminjam metodologi dari
disiplin ilmu antropologi, yakni penelitian etnografi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Globalisasi
Secara etimologis, globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti bola
dunia, sedangkan akhiran sasi mengandung makna sebuah “proses” atau keadaan
yang sedang berjalan atau terjadi saat ini. Jadi, secara etimologis, globalisasi
mengandung pengertian sebuah proses mendunia yang tengah terjadi saat ini
menyangkut berbagai bidang dan aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara-negara di dunia. Hal ini sejalan dengan Lodge yang mengemukakan bahwa
“globalisasi adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin
terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek
kehidupan. baik dalam aspek budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun
lingkungan” (Lodge, 1995). Sebagai sebuah proses, globalisasi berlangsung
melalui dua dimensi dalam interaksi antarbangsa, yakni dimensi ruang dan waktu.
Dimana dimensi ruang semakin sempit dan waktu semakin singkat dalam

interaksi dan komunikasi di skala dunia.
Globalisasi sendiri merupakan istilah yang berkaitan dengan peningkatan
keterkaitan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya popular dan bentuk interaksi lainnya. Namun secara
definitif, kata ‘globalisasi’ bisa diartikan ke dalam 5 pengertian umum (Scholte,
2007:13-15) :
1. Internasionalisasi, yang berarti sebuah intensifikasi dari hubungan-hubungan
yang melewati batas negara serta saling ketergantungan antara negara-negara.
2. Liberalisasi, yang berarti sebagai sebuah proses untuk menghapus laranganlarangan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai gerakan yang dilakukan oleh
negara-negara untuk menciptakan ekonomi dunia yang “terbuka” dan
“terintegrasi”.

3. Universalisasi, yang berarti penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada
masyarakat di seluruh penjuru dunia.
4. Westernisasi, sebagai bentuk kritik bagi imperialisme kultural, khususnya
dalam bentuk “Americanized”.
5. Deteritorialisasi, yang berarti perubahan dalam geografi, tepatnya pada wilayah
teritorial, jarak teritorial, dan batas teritorial yang kehilangan beberapa
pengaruhnya
Menurut


Smith

dan

Baylis

dalam

bukunya

yang

berjudul

The

Globalizations of World Politics, “proses meningkatnya keterkaitan dimana apa
yang dilakukan perkumpulan-perkumpulan di suatu bagian dunia bisa memiliki
pengaruh lebih besar pada perkumpulan-perkumpulan di belahan dunia

lainnya”(Smith, 2001:1-12). Dalam perkembangan zaman saat ini era globalisasi
sudah tidak dapat terbendung lagi pergerakannya, dimana revolusi komunikasi
sebagai pionir utama dalam kemajuan globalisasi yang menyebabkan kejadian
apapun dan dimana pun dapat diketahui dengan mudah dari berbagai belahan
dunia tanpa mengenal tempat, batas, dan waktu. Teknologi informasi dan
komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Perkembangan
teknologi yang begitu cepat membuat segala informasi dengan berbagai bentuk
dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi
tidak dapat kita hindari kehadirannya. Dan kehadiran dari adanya globalisasi ini
tentu saja membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia.
Disi sisi lain, globalisasi akan berpengaruh besar dalam aspek kebudayaan.
Kebudayaan pun dapat memegang peran penting dalam proses globalisasi.
Dimana budaya dapat mejadi sebuah filtrasi atau justru hanya menjadi batu
loncatan dari globalisasi. Namun, dengan adanya globalisasi makin banyak orang
yang beranggapan bahwa ketika kita ingin maju, maka budaya kita harus seperti
budaya lain. Sehingga tak jarang ke khasan budaya yang ada semakin hilang
tergerus perkembangan zaman yang diboncengi masuknya berbagai budaya asing.
Oleh karena itu, faktor budaya ini mampu mempengaruhi keberhasilan dalam
proses globalisasi.


Negara-negara Barat memang lebih maju, tetapi bukan berarti semua unsur
budaya Barat dapat berkembang di Indonesia, tetapi harus diseleksi dan
disesuaikan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa.
Salah satu contoh penerapan nilai nilai glokalisasi adalah pada ajang
terbesar dunia yaitu Miss World di Bali pada tahun 2013 lalu. Seperti yang kita
ketahui Miss World merupakan sebuah ajang kecantikan para perempuan didunia
ini, tidak hanya dinilai dari kecantikannya saja melainkan kecerdasan dan prilaku
sangat menjadi pertimbangan untuk menjadi juara. Dalam rangkaian acaranya
selalu terdapat peragaan busana bikini, yang mengharuskan para finalis tersebut
menggunakan bikini untuk memperlihatkan keindahan bentuk tubuh dari para
finalis. Namun ada yang berbeda pada penyelenggaraaan Miss World tahun 2013
di Bali ini, karena ditiadakannya peragaan busana bikini. Ini dikarenakan budaya
Indonesia tidak membenarkan adanya pameran aurat, karena mayoritas agama di
Indonesia adalah muslim, jadi harus menghormati budaya lokal ini. Disini lah
letak nilai glokalisasi ini, rangkaian ajang Miss World yang bersifat Global, masih
bisa disamakan nilai lokalnya dengan ditiadakannya peragaan busana bikini.

II.2. Glokalisasi
Budaya lokal merupakan identitas masyarakat yang sangat dijunjung
tinggi dalam suatu masyarakat dalam suatu tempat sesuai dengan nilai-nilai dan
konteks yang berlaku ditempat itu. “Men unmodified by the customs of particular
places do not in fact exist, have never existed, and most important, could not in
the very nature of the case exist” 1. Dari Geertz dapat dikaji bahwa manusia tidak
dapat dimodifikasi dengan adat yang tidak ada disekitar mereka. Mereka
dipengaruhi oleh keadaan sekeliling mereka. Budaya tersebut menjadi entitas
dalam diri mereka.

1

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York: Basic Books, 1973
(hal. 35), tersedia online di diakses pada 1 Mei 2015

“it is these cultural barriers that separate “us”; it defines us;
ultimately, it finished us: “culture, rather than being added on, so to
speak, to finished or virtually finished animal, was ingredient, and
centrally ingredient, in the production of that animal itself”2
Glokalisasi muncul ketika budaya lokal yang dipegang oleh kelompok
masyarakat dengan budaya global yang dibawa oleh sapuan arus globalisasi.
Glokalisasi didefinisikan oleh beberapa ahli; kebudayaan lokal adalah melengkapi
kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki
dalam bentukan kebudayaan nasional.
Roland Robertson mengenalkan konsep berkaitan dengan globalisasi, yaitu
glokalisasi yang merupakan integrasi antara global dengan lokal. Glokalisasi
adalah percampuran yang melibatkan kombinasi dari dua atau lebih elemenelemen budaya dari bagian-bagian dunia yang berbeda. Istilah lain yang dapat
digunakan untuk menunjuk glokalisasi adalah creolization atau kreolisasi, yang
berasal dari kata creole (biasa diartikan sebagai ras campuran). Kendati terjadi
percampuran, globalisasi tetap mempertahankan elemen-elemen asal, sehingga
heterogenitas tetap terjaga3.
Thomas L. Friedman, mendefinisikan glokalisasi sebagai kemampuan
sebuah budaya (lokal) ketika bertemu dengan budaya kuat lainnya (global), akan
menyerap pengaruh-pengaruh tersebut dan secara alami masuk dan memperkaya
budaya (lokal) tersebut, menolak hal-hal yang bersifat sangat asing. Menyaring
budaya tersebut, dan dinikmati dalam perayaan perbedaan4.
“In the short, the word “glocalization” is meant to point to a
strategy involving a substantial reform of the different aspects of
globalization, with the goal being both to reestablish a link between
the benefits of the global dimension- in terms technology,
information, and economics – and local realities. While, at the same
2

Ibid. (hal. 47)
Roland Robertson, Globalization. Social Theory and Global Culture, London : Sage Publication,
1992 (hal. 186)
44
Thomas L. Friedman, The Lexus and The Olive Tree: Understanding Globalization, New York:
Farrar, 1999 (hal. 284) teredia online di (books.google.com> diakses pada 1 Mei 2015
3

time, establishing of planet’s resource and on authentic social and
cultural rebirth of disadvantages population”.5
Budaya lokal yang dimediasi oleh perusahaan lokal mutinasional, industri
hiburan dan media, disesuaikan dengan kondisi lokal yang terkait dengan identitas
masyarakat lokal tersebut sesuai dengan tempat, kondisi pemukiman, dan etnisitas
agar dapat bertahan dari serangan global darti kapitalisme, media dan industri.
Dalam glokalisasi budaya, terdapat beberapa kategori yang mempresentasi
proyeksi glokalisasi dalam fenomena sosial, identitas budaya dan makna. Ada
empat faktor untuk menganalisa kategori tersebut; penerimaan budaya, jarak
sosial, ritual sosial, dan kebiasaan kolektif dan pola-pola asosiasi. Antara lain ada
empat kategori dari proyeksi glokalisasi:
1. Relativitas; pelaku sosial berusaha untuk melestarikan budaya mereka
sebelum institusi, praktik dan makna dalam lingkungan baru, sehingga
mencerminkan komitmen untuk diferensiasi dari budaya lokal.
2. Akomodasi: pelaku sosial pragmatis menyerap praktek-praktek, lembagalembaga dan makna yang terkait dengan masyarakat lain, untuk
mempertahankanunsur-unsur kunci dari budaya lokal sebelumnya.
3. Hibridasi: aktor sosial mensintesis fenomena budaya lokal dan lainnya untuk
menghasilkan praktik budaya yang berbeda dan hybrid, institusi dan makna.
4. Transformasi: aktor sosial yang datang untuk mendukung praktek, lembaga
atau makna yang terkait dalam budaya. Transformasi bisa mendapatkan
bentuk-bentuk budaya segar atau lebih kstem meninggalkan budaya lokal
dalam

mendukung

alternatif

yang

atau

mendukung

budaya-budaya

hegemoninya.

Kristen Toraja
5

CERFE, Glocaliization: Research Study and Policy Recommendations, Roma:
Global Forum, 2003 (hal. 13-14), tersedia online di
diakses pada 1 Mei 2015

Stanislaus Sandarupa, Ph.D dalam artikelnya Warisan dan Pewarisan
Budaya: Glokalisasi Warisan Budaya6 memberi contoh adanya bentuk glokalisasi
antara agama Kristen yang masuk ke Tanah Toraja melalui Belanda sejak tahun
1905 dengan kepercayaan lokal, yaitu Alukta. Ketika itu para zending menilai
bahwa kepercayaan lokal ini perlu dimurnikan dari kepercayaan pada takhyul ke
kepercayaan universal Yesus Kristus. Karena itu persoalan utama yang mereka
hadapi adalah persoalan inkulturasi satu aspek dari glokalisasi warisan budaya.
Salah satu contoh inkulturasi antar keduanya ada pada praktik tau-tau atau
patung sebagai badan baru arwah, calon dewa. Dewa-dewa ini sangat dipercayai
kekuatannya oleh penganut Alukta. Hal-hal inilah yang membuat pihak gereja
mencap praktik ini sebagai kepercayaan tahyul, sehingga selama beberapa dekade
patung-patung ini dilarang pemakaiannya dalam upacara kematian.
Keadaan berubah ketika kesadaran baru muncul untuk menemukan
kembali tradisi yang sudah ditinggalkan. Konsep universal arwah yang langsung
menghadap Tuhan, suatu ajaran Calvin dan Luther, kemudian diterima dan
ditunjang oleh universalisme teknologi kamera yang diperkenalkan ke daerah itu
sejak kedatangan Belanda. Terjadilah reinterpretasi dengan mendialogkan yang
lokal dan global. Pemakaian patung dibolehkan gereja kembali sejauh tau-tau
tersebut foto almarhum. Dengan kata lain penekanannya pada representasi suatu
momen kehidupan almarhum sebagaimana layaknya makna foto. Perubahan
konsep ini menyebabkan terjadinya perubahan pada ciri-ciri patung yang dibuat.
Hingga akhirnya, semua ciri dualitas Alukta pada saat ini diubah ke ciri monoteis
Kristen seperti posisi tangan dan lain-lain. Inilah bentuk glokalisasi antara Alukta
dengan Kristen.

II.3. Grobalisasi
6

Sandarupa, Stanislaus. 2013. Warisan dan Pewarisan Budaya: Glokalisasi
Warisan Budaya. dalam

diunduh pada 3 Mei 2015.

Grobalisasi merupakan suatu pandangan modern yang berfokus pada
kemampuan dari organisasi-organisasi dan negara-negara modern yang semakin
meningkat di seluruh dunia yang dimana sebagian besar kemampuan tersebut
bersifat kapitalistik dan memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan mereka
dan menjangkau dunia.7 Pengertian dari grobalisasi tersebut di sampaikan oleh
George Ritzer, seorang sosiolog, professor, dan juga penulis yang mempelajari
mengenai globalisasi, metateori, pola konsumsi, dan teori sosial modern dan
postmodern, yang berasal dari Amerika.8 Pada kenyataanya, grobalisasi
merupakan suatu ambisi imperialistik dari negara-negara atau perusahaanperusahaan multinasional yang ingin menempatkan diri mereka di berbagai
wilayah geografis. Perhatian utama mereka adalah melihat adanya kekuatan,
pengaruh mereka, dan di beberapa kasus mereka juga melihat adanya
“pertumbuhan” keuntungan mereka di seluruh dunia.
Menurut Ritzer, terdapat dua teori yang membentuk landasan perspektif
grobalisasi, yaitu yang pertama adalah teori Marxian yang memandang bahwa
satu dari banyaknya kekuatan yang menjadi pendorong utama dari suatu proses
globalisasi adalah kebutuhan suatu perusahaan akan peningkatan keuntungan dan
kekuatan pendorong lainnya adalah kebutuhan perusahaan tersebut akan
dukungan dari pihak lain. Teori kedua yang membentuk landasan perspektif
grobalisasi adalah teori Weberian yang dimana teori tersebut menekankan pada
ketersediaan yang semakin lama semakin bertambah dari struktur-struktur yang
dirasionalisasikan dan control mereka yang juga semakin meningkat atas orangorang di seluruh dunia. Teori Weberian ini juga membiasakan kita kepada
penyebaran “grobal” dari struktur-struktur rasional.
Berbeda dengan glokalisasi yang bersifat “mencampurkan”, grobalisasi
bersifat “menyamakan”, grobalisasi bertujuan menciptakan homogenitas dan
cenderung menyingkirkan elemen-elemen lokal yang kemudian menggantikanya
dengan alternatif-alternatif global. Maka dari itu, grobalisasi lebih mengarah
kepada pluralistic yang sifatnya homogeny. Ritzer telah membuktikan bahwa
7
8

http://adiksikopi.blogspot.com/2013/11/glokalisasi-dan-grobalisasi.html
http://en.wikipedia.org/wiki/George_Ritzer

kapitalisme, Mcdonaldisasi, dan Amerikanisasi merupakan serangkaian proses
yang paling utama bagi berlangsungnya grobalisasi.9 Ketiga proses tersebut juga
menjadi kekuatan utama dalam penyebaran kehampaan global ditambah juga
dengan media yang mendukung melalui internet yang menyediakan ruang
penyebaran kehampaan yang canggih dan efektif. Meskipun tidak terdapat
hubungan hukum di antara ketiganya tetapi terdapat sebuah elective affinity
(hubungan tarik-menarik) di antara ketiganya dan salah satunya di antara ketiga
paham tersebut cenderung menggantikan eksistensi yang lainnya.
Secara alamiah, grobalisasi mengarah kepada keragaman ide-ide yang
sebagian besar merupakan antitesis:10
1. Dunia semakin lama semakin tumbuh dan menjadi serupa. Teori
grobalisasi cenderung meminimalkan perbedaan-perbedaan di dalam dan
diantara wilayah-wilayah yang ada di dunia.
2. Proses-proses sosial sebagain besar mengarah kepada satu arah dan
deterministic.

Grobalisasi

cenderung

menyergap

yang

lokal

dan

membatasi kemampuanya untuk bertindak kembali kepada grobal.
3. Individu-individu dan kelompok-kelompok secara relatif memiliki
kemampuan untuk melakukan adaptasi, memperbarui, dan melakukan
maneuver dalam sebuah dunia yang tergrobalisasi.
4. Komoditas-komoditas dan media adalah kekuatan pokok dan wilayah
perubahan budaya, serta mereka juga dipandang sebagian besar
menentukan diri sendiri dan kelompok-kelompok di seluruh wilayah dunia
yang mengalami proses grobalisasi.

Grobalisasi dalam Matryoshka

9

http://rohmadsosiawan.blog.uns.ac.id
http://www.kursikayu.com/2011/06/globalisasi-pertarungan-antara.html

10

Dalam penelitian terdahulu yang berjudul Dampak Perubahan Sistem
Pemerintahan dan Globalisasi di Rusia terhadap Modifikasi Matryoshka sebagai
Bentuk Rusifikasi11, Dariyah menjelaskan bahwa Boneka Matryoshka mengalami
kedua proses globalisasi, baik glokalisasi maupun grobalisasi. Pada fase
grobalisasi, matryoshka mengalami apa yang disebut Rietzer dalam Rethinking
Globalization (2003) sebagai grobalization of nothing. Pada fase ini, matryoshka
disebarkan ke luar Rusia bahkan produksi itu sendiri terjadi di luar Rusia seperti
di Tiongkok.
Pembuatan matryoshka di luar Rusia dianggap mengurangi jiwa dari
matryoshka itu sendiri. Larisa Solo’eva (1995) menekankan bahwa matryoshka
merupakan penerus tradisi kuno seperti ikon. Dalam matryoshka terdapat ekspresi
kehidupan Rusia. Sehingga, matryoshka buatan bangsa Rusia memiliki makna
lebih tinggi terutama pada proses pembuatannya, daripada buatan bangsa lain
yang mungkin kurang memahami makna matryoshka dan kehidupan Rusia.
Dariyah kemudian menjelaskan adanya fase pemaknaan kembali,
grobalization of something melalui pameran-pameran matryoshka yang dilakukan
di luar Rusia. Pameran-pameran ini dapat menjadi cara melestarikan (kembali)
matryoshka sebagai simbol budaya Rusia.
Untuk membedakan proses glokalisasi dan globalisasi, Dariyah juga
menjelaskan proses glokalisasi-grobalisasi matryoshka secara garis besar. Pada
tahap glokalisasi, matryoshka sebagai produk budaya lokal menjadi produk
industri budaya dalam rangka masuknya wisatawan ke Rusia. Selain itu,
matryoshka sebagai suvenir berkembang seiring dengan masuknya wisatawan dan
informasi dunia luar ke Rusia yang menginspirasi seniman matryoshka
menciptakan motif-motif baru. Selanjutnya, pada tahap grobalisasi, matryoshka
memperluas penyebarannya tidak hanya dijual di Rusia.
BAB III
11

Dariyah. 2010. Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan dan Globalisasi di
Rusia terhadap Modifkasi Matryoshka sebagai Bentuk Rusifkasi. Depok:
Universitas Indonesia. dalam diunduh pada 3 Mei 2015.

METODE PENELITIAN

Pada bab pertama dan kedua penelitian ini, peneliti telah menjelaskan latar
belakang penelitian dan pada bab kedua telah dijelaskan kajian teoritis yang akan
digunakan serta beberapa konsep yang dirasa sesuai dengan penelitian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pembaca dalam memahami alur penelitian ini.
Pada bab tiga ini akan dijelaskan metodologi penelitian dan teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini.

III.1. Metode Etnografi
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode etnografi.
Metode

etnografi

merupakan

seni

dan

ilmu

yang

digunakan

untuk

mendeskripsikan sebuah kelompok atau budaya (Fetterman, 1998). Menurut
Angrosino (2007) ethnografer mencari pola prediksi di dalam pengalaman hidup
manusia dengan cara mengamati dan berpartisipasi dalam kehidupan orang-orang
yang diteliti. Etnografi juga melibatkan penuh peneliti di dalam kehidupan seharihari atau budaya yang akan diteliti. Etnografi sebagai metode memiliki
karakteristik khas tertentu (Angrosino,2007). Etnografi juga mengumpulkan data
dengan berbagai cara melalui triangulasi jangka waktu. Proses ini bersifat
induktif, holistik dan membutuhkan komitmen jangka panjang dari peneliti.
Menurut Wolcott (1999) terdapat beberapa keuntungan di dalam
menggunakan metode etnografi :
1. Metode penelitian etnografi dapat dilakukan sepenuhnya oleh satu individu.
2. Hal yang diteliti bersifat alamiah sehingga memungkinkan peneliti untuk
mengamati dan melakukan perubahan catatan dari waktu ke waktu.
3. Hal ini dapat dilakukan hampir di setiap tempat.
4. Metode ini berfokus pada bekerja dengan orang lain daripada memperlakukan
mereka sebagai obyek.

5. Metode ini memberikan data rinci dan kaya untuk penyelidikan lebih lanjut di
dalam menulis.
6. Peneliti dapat membuat penelitian ini tidak hanya menarik tetapi sebagai
petualangan.
7. Hal ini tidak memerlukan peralatan yang mahal atau rumit.
8. Dengan menggunakan metode ini peneliti mendapatkan kesempatan untuk
belajar dan menggunakan bahasa lain.
9. Metode ini dapat menyediakan data wawasan yang mendalam.
10. Metode

etnografi

dapat

digunakan

untuk

mempelajari

kelompok

terpinggirkan, individu yang tertutup di apabila diteliti dengan penelitian lain.
11. Hal ini memungkinkan Anda untuk mengumpulkan data dalam pengaturan
yang realistis atau naturalistik di mana orang bertindak secara alami, dengan
fokus pada kedua perilaku baik verbal dan nonverbal.

III.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan suatu proses untuk mengumpulkan dan
mencari informasi yang berkaitan dengan penelitian. Di dalam metode penelitian
etnografi terdapat tiga model pengumpulan data (Angrosino, 2007) yang akan
digunakan di dalam penelitian ini :
1. Observasi
Observasi adalah tindakan mengamati kegiatan dan hubungan timbal balik dari
orang-orang di sekitar lingkungan lapangan. Dalam observasi, terdapat
penggabungan antara partisipasi peneliti dengan kehidupan orang-orang yang
diteliti, namun peneliti juga tetap memberikan jarak secara profesional sebagai
peneliti (apa yang mau kita observasi).
2. Wawancara

Wawancara adalah proses mengarahkan percakapan untuk mengumpulkan
informasi (siapa yang akan kita wawancara).
3. Penelitian arsip
Ini merupakan analisis bahan yang disimpan untuk penelitian, layanan atau tujuan
lain resmi dan tidak resmi (arsip resmi dan tidak resmi kita dapat darimana).

III.3. Teknik Analisis Data
Agar data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dapat
dengan mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain, peneliti harus
kembali memilah dan mengolah data hingga menghasilkan hasil penelitian yang
baik. Di dalam penelitian ini peneliti atau etnografer dapat mengumpulkan data
dalam jumlah yang besar untuk menggambarkan seseuatu dari penelitian dalam
bentuk seperti kepercayaan sunda wiwitan dan bagaimana para penganut sunda
wiwitan ini berperilaku dalam situasi sehari-hari. Oleh karena itu peneliti perlu
memahami materi penelitian dengan baik (Roper & Shapira, 2000).
Pertama melalui proses pemahaman induktif di mana peneliti mulai
dengan belajar melalui data praduga tentang materi peneliti. Analisis data juga
harus dimulai sementara data sedang dikumpulkan sehingga peneliti dapat
menemukan

tema

tambahan

di

dalam

penelitian.

Roper dan Shapira

mengemukakan strategi di dalam analisis etnografis :
1. Coding for descriptive labels
Karena data yang dikumpulkan dalam bentuk kata-kata tertulis, kata-kata
pertama harus dikelompokkan ke dalam kategori yang bermakna atau label
deskriptif kemudian membandingkan data- data dan mengidentifikasi polapola. Pertama, tingkat pengkodean dilakukan untuk mendapatkan data yang
penting. Sebelum seseorang mulai proses coding, mungkin akan lebih mudah
apabila merumuskan domain dasar yang dapat mengkategorikan berbagai
fenomena, misalnya; pengaturan, jenis kegiatan, peristiwa, hubungan dan

struktur sosial, perspektif umum, strategi, proses, makna dan frase yang
diulang.
2. Sorting for patterns

Langkah berikutnya adalah menyortir kelompok label deskriptif dalam set
yang lebih kecil. Dimulai dengan mengembangkan tema dari pengelompokan
dan hubungan antara informasi- informasi yang didapatkan.
3. Identifying outliers

Kasus, situasi, peristiwa atau pengaturan yang tidak "cocok" dengan sisa
temuan dapat diidentifikasi. Kasus-kasus ini harus disimpan dalam pikiran
sebagai

langkah

yang

berbeda

di

dalam

proses

penelitian

yang

dikembangkan, misalnya, ketika muncul pertanyaan apakah kita harus
mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang kasus tersebut?.
4. Generalizing constructs and theories
Pola atau temuan terhubung terkait dengan teori untuk memahami dan
memperkaya data kompleks yang telah dikumpulkan. Literatur juga
digunakan di dalam ulasan data.
5. Memoing with reflective remarks
Memo merupakan wawasan atau ide-ide yang dikumpulkan dan menjadi
sebuah data. Memo telah tertulis sehingga peneliti dapat mengetahui apakah
ada data yang perlu diklarifikasikan lebih lanjut atau dilakukan pengujian.
Hal ini juga dapat membantu peneliti untuk tetap stabil di dalam asumsi
peneliti dan opini seluruh proses penelitian secara keseluruhan.

III.4. Validitas Data
Validitas diartikan sebagai alat kontrol kunci terhadap sebuah isu melalui
pengumpulan dan penginterpretasian data secara akurat sehingga mencerminkan
dan mewakili fakta yang ada di lapangan. Validitas di dalam penelitian lapangan
ini melalui kepercayaan yang ditempatkan pada kemampuan peneliti untuk
mengumpulkan dan menganalisis data yang akurat dan mewakili kehidupan atau
budaya yang sedang diteliti (Neuman, 2003). Validitas data di dalam penelitian ini
menggunakan validitas ekologi.
Validitas ekologi adalah sejauh mana data yang dikumpulkan dan
dijelaskan oleh peneliti dapat mencerminkan budaya yang sedang diteliti
(Neuman, 2003). Sejarah alam merupakan deskripsi lengkap dan pengungkapan
peneliti berupa tindakan, asumsi, dan prosedur lain untuk mengevaluasi. Jika
penelitian ini diterima dan kredibel untuk orang lain di dalam dan di luar lokasi
lahan penelitian tersebut maka penelitian tersebut sah di dalam hal sejarah alam.
Peneliti juga harus memeriksa validasi anggota dengan mengambil hasil
lapangan kembali kepada orang-orang yang diteliti untuk menilai kecukupan dan
akurasi dari perspektif peneliti (Neuman, 2003). Selain itu, peneliti harus
memiliki kinerja kompeten yang merupakan kemampuan peneliti sebagai bukan
anggota dari kelompok atau budaya yang diteliti untuk berinteraksi secara efektif
sebagai anggota (Neuman, 2003). Akhirnya, penelitian harus memiliki validitas
pragmatis dan pengalihan yang sejauh mana hasil penelitian dan kesimpulan
memiliki relevansi di luar studi itu sendiri (Angrosino, 2007).

BAB IV
SUNDA WIWITAN KAMPUNG CIREUNDEU

Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan
merupakan salah satu pusat penghayat Sunda Wiwitan di barat Jawa selain di
Kanekes/Baduy (Banten) dan Kuningan (Jawa Barat). Dalam meneliti keterkaitan
Globalisasi dengan Sunda Wiwitan, maka perlu adanya kajian terhadap objek
yang akan diteliti. Karena Sunda Wiwitan merupakan objek yang sifatnya
intangible, dalam artian, bukanlah benda hidup maupun mati, melainkan suatu
bentuk kebudayaan, maka perlu adanya penjelasan terhadap kebudayaan tersebut.
Menurut Koentjaraningrat melalui bukunya Pengantar Ilmu Antropologi
(1985), dalam menjelaskan kebudayaan manusia, antropolog biasa menggunakan
tujuh unsur kebudayaan (cultural universal) sebagai pedoman, diantaranya (1)
sistem bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem ekonomi, (4) sistem organisasi
sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian, (7) sistem religi. Ketujuh unsur
kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat diuraikan kembali menjadi sembilan
unsur. Berikut penjelasan tentang Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu hasil
observasi

yang

telah

diuraikan

berdasarkan

sembilan

unsur

menurut

Koentjaraningrat:
1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di
kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah
pohon untuk bahan obat herbal. Oleh karena itu, kampung ini disebut Kampung
Cireundeu.12 Kampung Cireundeu merupakan sebuah kampung yang secara

geografis terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung
Gajahlugu.13 Namun, secara administratif, Kampung Cireundeu lebih dikenal
terletak dekat Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwi Gajah, Kecamatan
12

Disparbud. 2012. Kampung Adat Cireundeu. dalam
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.phpeidl1033&langlid
[3 Juni 2015]
13
Ibid.

Cimahi Selatan. Dengan lingkungan alam yang berupa perbukitan, Kampung
Cireundeu dahulunya dikenal sebagai TPAS di mana masyarakat luar akan
berpikir dan berharap menemukan pemandangan lahan sawah yang menguning
dan menghijau. Namun, kini setelah kejadian longsor pada TPAS tahun 2005,
Kampung Cireundeu menjadi kampung adat yang terkenal dengan pemandangan
penanaman ketela atau singkong dengan rumah-rumah warga yang kecil dan
sederhana diantaranya.14
Pada Kampung Cireundeu, terdapat sekitar 50 kepala keluarga dan 800
jiwa manusia yang menetap di mana sebagian dari mereka memeluk kepercayaan
Sunda Wiwitan dan sebagian besar lagi memeluk agama Islam. Kampung
Cireundeu memiliki luas kurang lebih 64 ha di mana 60 ha digunakan untuk
pertanian, dan 4 ha digunakan untuk pemukiman. Dari 60 ha tersebut, wilayah
terbagi menjadi 3 bagian hutan yaitu Leuweung Larangan (hutan terlarang) yang
merupakan hutan yang tidak boleh ditebang karena merupakan penyimpanan air
untuk masyarakat Cireundeu; Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yang
merupakan hutan yang boleh dipergunakan dan ditebang namun harus ditanam
kembali dengan pepohonan yang baru; dan Leuweung Baladahan (hutan
pertanian) yang boleh digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu
seperti jagung, kacang tanah, singkong, ketela dan umbi-umbian.15

2. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
Wiwitan adalah kata dalam bahasa Sunda yang artinya permulaan (awal),
sehingga Sunda Wiwitan merupakan Sunda yang paling awal. Menurut Kang
Yana, tidak ada asal mula khusus dari masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu.
Namun umumnya masyarakat Cireundeu memiliki hubungan dengan masyarakat
Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat.

14

Ibid.
Kompasiana. 2014. Kampung Adat Cireundeu, Masyarakat Tradisional yang
Cerdas. dalam http://sosbud.kompasiana.com/2014/01/17/kampung-adatcireundeu-masyarakat-tradisional-yang-cerdas-626967.html [3 Juni 2015]
15

Penghayat Sunda Wiwitan sudah ada jauh sebelum Belanda menduduki
Jawa. Namun, institusionalisasi Sunda Wiwitan lahir ketika Pangeran Madrais
seorang tokoh keturunan Kesultanan Gebang (Cirebon), diasingkan (dilindungi
dari Kolonialis Belanda) ke Kuningan, Jawa Barat. Sederhananya, determinasi diri
golongan atau kelompok masyarakat Sunda Wiwitan baru muncul pada zaman
Pangeran Madrais ini.
Pada 1918, determinasi diri masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu
semakin kuat ketika para leluhur penghayat Sunda Wiwitan di sana memisahkan
(membedakan) diri dari masyarakat di sekitarnya yang umumnya beragama Islam.
Pemisahannya bukan dengan membagi-bagi wilayah, namun apabila kita melihat
kelompok orang yang tidak memakan nasi di Cireundeu, melainkan hanya
memakan olahan singkong, maka bisa dipastikan ia penghayat Sunda Wiwitan.
Bentuk determinasi diri ini dilakukan leluhur Sunda Wiwitan Cireundeu karena
ketika itu, mereka khawatir di masa yang akan datang generasi penerus mereka
akan kesulitan mendapatkan bahan makanan pokok. Karenanya, pada 1924
masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu mulai beralih mengkonsumsi
olahan singkong dan rasi (beras singkong).
Dari kekhawatiran dan kepedulian leluhur akan generasi anak-cucunya ini,
lahirlah beberapa prinsip yang menunjukkan determinasi kelompok penghayat
Sunda Wiwitan di Cireundeu, diantaranya:
"Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas
Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.”
Maknanya, Tidak Bertani Asal Punya Padi, Tidak Punya Padi Asal Punya Beras,
Tidak Punya Beras Asal Bisa Memasak, Tidak Memasak Asal Makan, Tidak
Makan Asal Kuat. Namun meski mereka penghayat Sunda Wiwitan, tidak berarti
mereka sama dengan penghayat Sunda Wiwitan di Baduy, Banten yang tertutup.
Mereka juga memiliki prinsip:
“Ngindung ka waktu, Mibapa ke jaman.”

Makna denotasinya adalah mengibu ke waktu dan mebapak ke zaman. Sementara
konotasinya berarti kita harus menghargai waktu dan zaman meski kita
teguh/tegas terhadap perubahan zaman. Sederhananya, mereka pada dasarnya
mengikuti perkembangan zaman, namun tetap memegang teguh identitas diri
mereka sebagai masyarakat Sunda Wiwitan.

3. Bahasa
Bahasa yang digunakan di Kampung Cireundeu dalam kesehariannya
adalah Bahasa Sunda dan Indonesia. Sebagian besar dari penduduk Kampung
Cireundeu merupakan keturunan leluhur yang asli penduduk Kampung Cireundeu
jauh semenjak penjajahan Belanda dan Jepang bahkan sebelumnya. Oleh karena
itu, sebagian besar warga menggunakan Bahasa Sunda yang telah diturun
temurunkan dalam kesehariannya. Namun, mereka juga mampu berbahasa
Indonesia dikarenakan (1) keluarga mereka yang berasal dari luar kampung, (2)
tuntutan administratif, (3) dipelajari di sekolah dasar dan menengah. Selain dari
faktor tersebut, karena Kampung Cirendeu sudah dilabeli sebagai ‘Desa Wisata’
maka ada tuntutan dalam penggunaan bahasa Indonesia bagi wisatawan domestik
dan bahasa Inggris bagi wisatawan asing.
Di samping itu, di sekolah-sekolah dasar hingga menengah ke atas, muridmurid dituntut untuk dapat berbahasa 3 bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan
Sunda, sementara guru-guru Bahasa Sunda di sekolah-sekolah dasar pun tidak
begitu menguasai dan paham Bahasa Sunda yang baik, sehingga anak-anak yang
masih berada di sekolah terpaksa diajarkan kembali dalam keluarganya dan dalam
komunitas yang dibentuk bersama untuk saling belajar dan mengajar bersamasama guna meningkatkan kemampuan anak-anak serta memelihara Bahasa Sunda
yang baik dan benar. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Sunda Wiwitan
tidak hanya berfokus pada spiritualitas dan kepercayaan, tetapi juga budaya
yang membawa masyarakat penghayat Sunda Wiwitan seperti pada Bahasa
Sunda. Di waktu yang bersamaan, warga Kampung Cireundeu pun masih
mengalami kesulitan menguasai bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan lain-lain.

4. Sistem Teknologi
Warga Kampung Cireundeu dan kampung itu sendiri secara keseluruhan
sudah sangat terbuka dengan dunia luar. Hal ini dapat dilihat bagaimana
difokuskannya Kampung Cireundeu sebagai Desa Wisata yang berhasil menarik
para pengunjung yang tidak hanya lokal, tetapi juga internasional. Pada dasarnya
di Sunda Wiwitan klasik, sistem teknologi yang digunakan oleh warga berupa
barang hasil alam yang diolah menjadi perangkat atau alat-alat tertentu, contohnya
seperti tulang, kayu pohon, bebatuan, serat-serat daun, bambu dan lain-lain.
Bagaimana pun, karena prinsipnya terhadap zaman cukup fleksibel, warga Sunda
Wiwitan Kampung Cireundeu sudah tidak hanya menggunakan alat-alat dan
perkakas tradisional lagi, tetapi juga telah menggunakan keramik, kaca beling,
plastik, alumunium, seng, dan lain-lain.
Teknologi modern yang diadaptasi oleh warga Cireundeu dapat dilihat
dalam penggunaan peralatan dapur bersama untuk memproduksi berbagai olahan
singkong yang dijual kembali dan pada warga sekitar yang sehari-hari telah turut
menggunakan handphone, kalkulator, komputer dan teknologi-teknologi terkini
lainnya. Perumahan dan bangunan-bangunan pun dapat dilihat telah menggunakan
ubin dan genteng dengan dinding yang sudah kokoh dari batu-bata dan tidak
sekedar anyaman bambu atau tanah liat dengan lantai semen atau tanah. Peralatan
dapur pun telah menggunakan kompor gas, sendok-garpu alumunium, piring
plastik dan kaca yang diiringi dengan kendaraan bermotor dan pakaian modern
seperti celana atau rok jeans dan kaos oblong.

5. Sistem Mata Pencaharian (Ekonomi)
Warga Kampung Cireundeu pada umumnya bermata pencaharian petani
yang menanam ketela dan umbi-umbian. Namun, berbeda dengan petani-petani
lainnya, petani Kampung Cireundeu memiliki pola tanam khusus yang
menyesuaikan dengan panen ketela yang harus mereka peroleh setiap bulan untuk
kebutuhan pangan umumnya. Di Kampung Cireundeu, setiap masyarakat

memiliki 3 hingga 5 petak kebun ketela yang berbeda-beda masa tanamnya.
Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya
akan berbeda masa panennya, maka sepanjang tahun ladang mereka selalu
menghasilkan ketela.16
Selain dari petani, mata pencaharian yang berada di Kampung Cireundeu
tidak lain adalah peternak, seperti ternak bebek, ayam dan ikan, penjual obat
herbal yang merupakan sisa tanaman pohon reundeu di Cireundeu dan
wirausahawan yang membentuk UKM dan menjual-belikan olahan-olahan
singkong atau ketela. Mata pencaharian warga Kampung Cireundeu tidak terlalu
bervarian, karena warga Kampung Cireundeu kebanyakan tidak suka merantau
atau berpindah-pindah dengan orang-orang kerabatnya, sehingga warga pun hanya
memanfaatkan apa yang ada di dalam Kampung.

6. Organisasi Sosial
Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu bercakup hanya pada satu
kampung, dan tidak satu desa atau kelurahan. Organisasi sosial yang benar-benar
dipakai pun tidak sesuai administrasi negara dengan Kepala RW dan RT
walaupun Kampung Cireundeu melingkupi satu RW dan terdapat pula Kepala
RW dan Kepala RT. Kampung Cireundeu memiliki sistem kekerabatan khusus
yang merupakan sistem keluarga dalam suku Sunda yang bersifat bilateral, yaitu
garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Sistem tersebut dalam
adat Sunda dikenal sebagai pancakaki.
Dalam adat Sunda, ayah adalah kepala keluarga. Ikatan keluarga yang lain
merupakan ikatan yang kuat di mana terdapat istilah-istilah yang menunjukkan
hubungan kekerabatan. Pertama, saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh
ke bawah atau vertical, yaitu anak, incu (cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng
atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gatungsiwur. Kedua, saudara
yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak dari paman, bibi,
atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara dari piut. Ketiga saudara
16

Op. Cit. Kompasiana.

yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan
anak dari kakak, keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem
kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma.
Sedangkan Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak laki-laki disebut Akang,
kang dan untuk Kakak perempuan disebut Ceu, Eceu.17
Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahim khas Sunda
(pancakaki) yang sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk
menyebarkan keselamatan. Di samping itu, warga Kampung Cireundeu juga
memiliki sistem gotong-royong dalam berbagai kegiatan bersama yang masih
terasa diantara warganya, mau warga tersebut Sunda Wiwitan ataupun bukan.
Setiap pengambilan keputusan diantara warga Kampung Cireundeu khususnya
untuk yang Sunda Wiwitan dilakukan dengan cara musyawarah. Tidak ada
pemilihan kepemimpinan kepala suku dan lain-lain, karena semua terjadi dari
seleksi alam. Adapun interaksi kepala suku dan pengikut, yaitu ada sesepuh, Ais
Pangampih dan Paniten yang terpilih 3 tahun sekali kemudian dievaluasi.

7. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu bisa
dikatakan unik dan prematur. Bila kita melihat sejarah tentang leluhur di sana
yang mengalihkan masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu agar mengkonsumsi
singkong, kita bisa melihat bagaimana para leluhur mengajarkan generasi
penerusnya untuk peka terhadap alam.
Para leluhur tahu dan mengajarkan, apabila seluruh lahan ditanami sawah,
maka pepohonan yang merupakan tempat berlindung hewan-hewan harus
ditebang, kondisi tanah dan air tanah akan terganggu, erosi lebih rentan terjadi,
ekosistem alam juga tidak akan seimbang, apalagi melihat kondisi geografi
Cireundeu yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, perlu ada pepohonan dan semak
yang cukup. Singkong menjadi alternatif pohon kecil. Berbeda dengan sawah,
17

Ibid.

singkong bisa ditanam di bawah pepohonan rindang. Sehingga, pohon-pohon
tetap lestari, tidak seluruhnya ditebang untuk lahan persawahan.
Selain peka terhadap alam, mereka juga diharuskan peka terhadap
lingkungan. Karenanya, selain faktor alam di atas, ada faktor lain yaitu
meningkatnya populasi. Para leluhur khawatir para penerusnya akan mengalami
kelangkaan dalam memperoleh makanan pokok karena harus berebut dengan
orang lain. Menurut Kang Yana, ada cerita bahwa para leluhur berkorban selama
enam tahun tidak memakan makanan pokok agar penerusnya tahan pangan.
Melalui bantuan pemerintah, para penghayat Sunda Wiwitan di Cireundeu
mengembangkan olahan singkong yang memiliki gizi yang baik. Sebelumnya,
melalui para leluhur, mereka telah sadar bahwa rasi justru memiliki kadar (manis)
glukosa yang lebih rendah daripada nasi. Sehingga aman dari ancaman diabetes.
Selain rasi, adapula Dendeng dari Kulit Singkong sebagai salah satu contoh
pengembangan olahan singkong yang kaya akan gizi. Kulit singkong merupakan
bagian yang sering dibuang dan tidak memiliki kandungan gizi sebanyak
dagingnya, maka mereka memanfaatkan kulitnya untuk diolah, mereka juga
menambahkan daging ikan dalam membuat Dendeng Kulit Singkong sebagai
sumber proteinnya.
Secara umum, masyarakat Sunda Wiwitan di Cireundeu memiliki sistem
pengetahuan di bidang pangan yang lebih dahulu maju daripada masyarakat
Indonesia pada umumnya. Kebiasaan mereka mengkonsumsi singkong
membuat mereka ahli dalam mengolah makanan dari bahan alternatif, bukan
bahan pokok.
Sayangnya, selain di bidang pangan, para penghayat Sunda Wiwitan di
Cireundeu memperoleh perkembangan dalam sitem pengetahuannya melalui
media-media modern. Internet, televisi, sosial media serta labeling ‘Desa
Wisata’ justru dianggap para penghayat sebagai instrumen untuk menambah
pengetahuan, Sunda Wiwitan di Desa Cireundeu tidak khawatir dengan perubahan
zaman dan arus informasi yang masuk.

Identitas diri mereka terjaga melalui aktivitas rutin setiap malam minggu.
Setiap malam minggu, di Bale Sarasehan Desa Cireundeu, selalu ada latihan
kesenian, seusai latihan diadakan diskusi nilai, pikiran dan pendapat. Aktivitas ini
menjadi media dalam mentransfer pengetahuan dari leluhur ke generasi
penerus untuk menjaga identitas mereka dan memegang teguh prinsip-prinsip
mereka sekaligus mengiringi perkembangan zaman. Bahkan untuk melakukan
harmonisasi dengan zaman, para penghayat tetap menyekolahkan anak-anaknya
ke sekolah dasar dan sekolah menengah.

8. Sistem Religi
Karena Sunda Wiwitan di Cireundeu memiliki hubungan dengan para
penghayat di Kuningan, maka para penghayat memiliki kesamaan prinsip:
o Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak
orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain.
o Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang
mereka peluk.
Sementara prinsip utama Sunda Wiwitan secara umum yang mendasar adalah:
 Monoteisme
Sang Hyang Kersa; atau Batara Tunggal; atau Gusti; atau dalam bahasa
Indonesia disebut Tuhan Yang Maha Kuasa/Yang Maha Esa.
 Hubungan dengan Tuhan, Hubungan dengan Alam dan Hubungan dengan
Manusia.
 Pikukuh Tilu
1. Ngaji Badan
Merupakan bentuk olah jasad dan ruh melalui 20 sifat. Secara sederhana
praktik ini dapat pula disebut kontemplasi dan introspeksi. Praktik ini
biasanya dilakukan malam sebelum tidur untuk bersyukur dan evaluasi diri
serta pagi ketika bangun untuk bersyukur dan niat baik mengawali hari.
2. Mikukuh kana taneuh

Secara denotasi diartikan setia terhadap tanah. Secara konotasi, tanah di sini
terbagi dua: taneuh adegan dan taneuh hamparan.
- Taneuh Adegan adalah raga atau jasmani. Prinsip ini mengajarkan kita
untuk cinta terhdap diri secara fisik dalam artian bersyukur akan
kesempatan mengisi dan mengolah raga ini. Prinsip ini menekankan pada
cara-ciri manusia.
o Cara-ciri manusia yaitu welas asih. Welas muncul dari dalam diri,
dari niat. Asih merupakan bentuk tindakan dari niat yang diolah
melalui rasa. Sehingga kita tidak boleh hanya berwelas, melainkan
harus pula diamalkan, mengasih. Amal tidak hanya dengan ucapan
(doa), tapi tindakan.
- Taneuh hamparan adalah tanah yang kita pijak. Selain itu, harus cinta
pada bumi yang kita pijak, dimana lebih diartikan sebagai sifat pribadi
bangsa. Sebagai seorang manusia yang telah diciptakan sebagai anggota
salah satu sukubangsa harus dapat mencintai dan menghargai cara-ciri
bangsa sendiri.
o Cara-ciri bangsa di sini dapat digolongkan ke dalam bentuk bangsa
atau ras. Penghayat Sunda Wiwitan Cireundeu mengacu pada
terminologi ‘Sunda Besar’ (bukan hanya Sunda Kecil) karenanya
mereka memiliki larangan dalam pernikahan. Mereka boleh menikahi
non-penghayat, namun cara-ciri bangsanya harus sama. Mereka tidak
boleh menikah dengan orang kulit putih, bermata biru, berambut
pirang dan segala yang tidak mencirikan cara-ciri bangsa Sunda
Besar. Sunda Besar sendiri menurut Kang Yana meliputi Indonesia
termasuk Maluku dan Papua, Melayu, Indochina, India hingga
Madagaskar.
3. Madep ka ratu-raja anu 3-2-4-5 lilima 6
- Ratu-raja 3: sir, rasa, pikir (tekad, ucap, perbuatan)
Niat dari dalam diri harus diolah dengan rasa, karenanya niat yang baik
kemudian harus diyakini dan diteguhkan dalam hati. Setelah itu

diselaraskan dengan dengan pikiran yang menghasilkan tindakan (di
sinilah lahir konsep benar dan salah, sesuai atau tidak).
- Ratu-raja 2: Hukum Keseimbangan
Dalam hidup selalu ada yang berpasang-pasangan seperti adanya siang
dan malam, atau laki-laki dan perempuan.
- Ratu-raja 4: Filosofi Empat Mata Angin
Proses wiwaha yuda nagara (perang dalam diri sendiri). Bagaikan arah
mata angin yang pasti mengarah kea rah yang tepat, maka ketika menuju
suatu tujuan, kita harus teguh tidak boleh tergoda oleh hal-hal lain.
- Ratu-raja 5: Lima Pancaran Getaran Jasmani
Lima pancaran daya sukma salira. Menjaga lima pancaindera
-

Ratu-raja Lillima: Lima Pancaran Getaran Rohani
Lima pancaran daya sukmasejati. Memfungsikan indera dari pancaran
hati nurani dan pengalaman indrawi karena rangsangan dari alam.

- Ratu-raja 6: Genep
Dalam bahasa Sunda, enam berarti genep yang berarti menggenapkan
wujud diri manusia seutuhnya.
‘Ratu-raja’ sendiri memiliki makna agar menghargai ibu terlebih dahulu.
Urutan angka tiga mendahului angka dua karena ‘sir, rasa, pikir’ adalah
salah satu prinsip utama dalam Sunda Wiwitan. Sementara tidak adanya
angka satu karena angka tersebut hanya dimiliki oleh Sang Hyang Kresa.
 Atribut Religik
Penghayat Sunda Wiwitan tidak memiliki atribut religi tertentu. Mereka
hanya memiliki atribut kebudayaan yang juga dikenakan oleh adat sunda nonpenghayat. Mereka mengedepankan spiritualitas diri dengan Tuhan, sesama
manusia dan alam, bukan atribut-atribut keagamaan.
Dalam pemakamanpun, penghayat Sunda Wiwitan di kampung tersebut
tidak memiliki atribut tert

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52