Agresi Militer Cina terhadap India pada

Makalah Mata Kuliah Analisis Politik Luar Negeri
ANALISIS KEBIJAKAN AGRESI MILITER CINA TERHADAP
INDIA PADA PERANG SINO-INDIAN

Oleh :
 Jaka Haritstyo Prabowo (11141130000039)
 Putri Larasati (11141130000043)
 Nanda Khairunnisa Jusuf (11141130000051)

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kedekatan Cina dan India mulai dari awal kemerdekaan India pada 1947
memunculkan optimisme bahwa kedua negara ini dapat membentuk kerjasama
yang kuat pasca masa kolonialisme di dunia. Kedekatan wilayah dan potensi yang
dimiliki masing-masing memunculkan optimisme akan terjalinnya hubungan kuat

dari berbagai bidang. Kedua negara ini menjalin masa damai dari 1949 hingga
1957, bahkan saling memperkuat hubungan diplomasi mereka. Akan tetapi
keberlangsungan hubungan yang baik ini tidak bertahan lama.1
Pada awal tahun 1950-an muncul permasalahan serius terkait perbedaan
mengenai batas negara. Sengketa wilayah Cina-India ini berawal dari
ketidaksepahaman berkaitan dengan perjanjian di masa sebelum India merdeka,
yaitu pada masa penjajahan Inggris di India. Pada pertemuan Simla di tahun
1913-1914 terjalin kesepakatan antara India yang saat itu dijajah Inggris, Tibet,
dan Cina mengenai batas wilayah yaitu garis McMahon.
Namun, batas ini sendiri cenderung samar-samar dan Cina sendiri mengaku
tidak secara formal menandatangani perjanjian tersebut. Hal tersebut berujung
kepada pertanyaan mengenai legitimasi dari kesepakatan tersebut oleh pemerintah
Cina baik dari petinggi nasionalis maupun komunis di sana.2
Makalah ini akan menjelaskan agresi Cina terhadap India yang memicu
terjadinya perang Sino-Indian serta faktor penyebab dan dampak dari perseteruan
antara kedua negara ini. Selain itu, pemakalah juga akan menganalisis kasus ini
menggunakan pendekatan security dilemma, sovereignty, dan bioregional.
2. Rumusan Masalah

1 Wahelguru Pal Singh Sidhu, China and India: Cooperation or Conflict?, Amerika

Serikat: International Peace Academy, 2003, hlm. 10.
2 Ibid., hlm. 10-15.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah dalam makalah ini sebagai
berikut:
1) Apa yang melatarbelakangi agresi Cina ke India yang berujung kepada
Perang Sino-Indian pada 1962?
2) Bagaimana pelaksanaan kebijakan agresi militer Cina terhadap India pada
Perang Sino-Indian?
3) Bagaimana hubungan Cina dan India pasca agresi militer Cina ke India
pada Perang Sino-Indian?
3. Kerangka Teori
Makalah ini akan menganalisis faktor-faktor penyebab dibuatnya kebijakan
agresi militer oleh Cina terhadap India pada Perang Sino-Indian. Dalam
menganalisis hal tersebut, terdapat tiga konsep kunci yang sekiranya dapat
memaparkan analisis dengan baik, yaitu konsep security dilemma (dilema
keamanan), sovereignty (kedaulatan), dan bioregion yang mana semuanya dpaat
pula termasuk menjadi bagian dari national interest (kepentingan nasional).
Dengan konsep-konsep yang menjadi acuan dalam menganalisis kebijakan
agresi militer oleh Cina terhadap India pada Perang Sino-Indian, dapat diketahui

bahwasanya unit analisis dalam analisis ini bersumber dari pertanyaan “Mengapa
Cina melakukan agresi militer terhadap India pada Perang Sino Indian?”. Dari
pertanyaan tersebut, maka dapat diketahui bahwa unit analisisnya adalah negarabangsa. Sedangkan unit eksplanasi berangkat dari pernyataan “Karena Cina
mengalami security dilemma, ingin mempertahankan dan meraih sovereignty,
serta memiliki kepentingan bioregional.” Dari pernyataan tersebut, unit
eksplanasinya ialah negara-bangsa. Maka hubungan antara unit analisis dengan
unit eksplanasi ialah analisis korelasional.

A. Security Dilemma (Dilema Keamanan)

Dilema keamanan adalah sesuatu yang muncul ketika ada aksi dari suatu
negara untuk meningkatkan keamanan negaranya, yang di sisi lain dapat
menimbulkan reaksi dari negara lain berupa peningkatan keamanan di negara lain
tersebut, yang kemudian dapat melemahkan kekuatan keamanan negara pertama.
Menurut Barry R. Posen, keamanan memang menjadi first concern dari tiap-tiap
negara karena adanya sistem global yang anarki. Sistem global yang anarki
mengindikasikan bahwa tidak ada negara yang lebih kuat dari negara lain. Namun
hal tersebut justru menimbulkan kecemasan dan kecurigaan suatu negara terhadap
negara lain akan kapasitas keamanannya.3
Benjamin Miller menjelaskan bahwa terdapat lima metode dalam konsep

keamanan, yaitu the origin of threats, the nature of threats, changing response,
changing responsibility of security, dan core values of security.4 The origin of
threats adalah metode yang menyoroti ancaman eksternal dan internal yang
dihadapi oleh suatu negara. Pada masa Perang Dingin, ancaman yang dihadapi
oleh suatu negara lebih sering bersifat eksternal, yaitu ancaman yang datang dari
negara lain. Namun pasca Perang Dingin, ancaman internal lebih banyak
dirasakan oleh negara-negara ketimbang ancaman eksternal. Ancaman internal ini
biasanya disebabkan oleh sentimen budaya, etnis, dan agama.
Metode yang kedua yaitu the nature of threats. The nature of threats
sebenarnya menyoroti kepada ancaman militer yang tradisional. Namun seiring
berkembangnya hubungan internasional, ancaman tidak hanya berupa aspek
militer, tapi juga aspek lain seperti ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup,
demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya. Metode ini dihasilkan
dari maraknya interaksi antar aktor hubungan internasional. Kemudian metode
yang ketiga yaitu changing response di mana telah terjadi perubahan cara dalam
merespon isu-isu internasional dari cara militer menjadi cara nonmiliter.
3 Barry R. Posen, “The Security Dilemma and Ethnic Conflict”, dalam Michael
Brown, ed., Ethnic Conflict and International Security, Cambridge: MIT Press,
1993.
4 Benjamin Miller, “The Concept of Security: Should it be Redefined?”, dalam

Journal of Strategic Studies, 24:2, 2001, hlm. 13-42.

Metode keempat ialah changing responsibility of security, yaitu usaha
untuk mendefinisikan ulang tentang apa itu keamanan. Jika sebelumnya hanya
negaralah aktor tunggal yang berhak untuk menjadi sentral penjaga keamanan,
kini keamanan lebih bergantung kepada interaksi individu secara mengglobal.
Metode core values of security memisahkan antara tradisionalis dan
nontradisionalis. Penganut tradisionalis memetakan nilai kemanan hanya pada
independensi, integritas teritorial, dan kedaulatan. Sedangkan nontradisionalis
menambahkan nilai-nilai baru dalam keamanan, yaitu perlindungan terhadap
HAM, demokratisasi, pemberantasan organisasi kejahatan transnasional, dan lain
sebagainya.
Pada tanggal 19 sampai 25 April 1960, Perdana Menteri Cina, Zhou,
melakukan kunjungan diplomatik ke India. Saat itu, Perdana Menteri Zhou
melakukan negosiasi dengan Perdana Menteri India yaitu Perdana Menteri Nehru
perihal solusi atas sengketa perbatasan yang tak berkesudahan. Namun sangat
disayangkan, negosiasi tersebut gagal dan tidak menghasilkan keputusan yang
berarti. Setelah pertemuan Perdana Menteri kedua negara tersebut menemui jalan
buntu, India menerapkan Forward Policy.
Kebijakan Forward Policy oleh India adalah peningkatan kesiagaan

pasukan militer India di wilayah yang diklaim oleh Cina. India pada saat itu
menambah pasukan yang bersiaga terutama di titik penting yang menjadi wilayah
persengketaan seperti Aksai Chin, Arunachal Pradesh, hingga teritorial wilatah
Lakhsa. Kebijakan ini diharapkan mampu membuat Cina hengkang dari
perebutan teritorial tersebut.5
Pada kenyataannya, dalam merespon Forward Policy India, Cina justru
meningkatkan kehadiran militernya di wilayah yang dipersengketakan. 20
Oktober 1962, pasukan Cina menyerang pasukan India dari pos Dhola di sektor
timur. Selain itu juga, pos barat diserang pula oleh Cina. Kekuatan pasukan Cina

5 Wahelguru Pal Singh Sidhu, Op. Cit., hlm. 14.

dengan mudah menaklukan tentara India di sana.6 Perdana Menteri Zhou
sebenarnya sudah mengusahakan adanya gencatan senjata, namun Presiden Nehru
menolak ajakan gencatan senjata tersebut. Penolakan ajakan gencatan senjata
tersebut membuat Cina semakin meningkatkan kapasitas militernya di wilayah
yang dipersengketakan.
Kebijakan agresi militer Cina terhadap India dalam Perang Sino-Indian ini
merupakan respon terhadap ancaman eksternal tradisionalis yang berbentuk
peningkatan kapasitas militer oleh India di wilayah yang dipersengketakan. Dapat

dikatakan bahwa Cina mengalami security dilemma ketika India melaksanakan
kebijakan Forward Policy di wilayah perbatasan. Atas dasar security dilemma
tersebut, akhirnya Cina memutuskan untuk melakukan kebijakan agresi militer
terhadap India di wilayah yang dipersengketakan.

B. Sovereignty (Kedaulatan)
Menurut Kasner, terdapat empat pengertian kedaulatan, yaitu:
1. Kedaulatan domestik, yaitu bagaimana berjalannya suatu organisasi yang
memiliki otoritas publik di suatu negara dan sejauh mana otoritas tersebut
dapat dijalankan.
2. Kedaulatan interdependen, yaitu bagaimana sebuah otoritas publik dapat
mengatur lalu-lintas transnasional seperti barang, manusia, ide, penyakit, dan
lain sebagainya, yang keluar dan masuk ke dalam wilayah kewenangannya.
3. Kedaulatan hukum internasional, yaitu pengakuan suatu entitas politik dalam
sistem internasional.
4. Kedaulatan Westphalian, yaitu pengaturan institusional untuk mengatur
kehidupan politik yang berdasarkan pada teritorialitas dan ketiadaan aktor
eksternal dalam struktur otoritas domestik.7
6 Ibid., hlm. 15.
7 Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, Princeton University

Press, 1999, hlm. 9-25.

Pada 1954, Perdana Menteri Nehru dari India dan Mao sebagai pemimpin
pemerintah komunis dari Cina menandatangani “Panscheel Agreement”. Isi utama
perjanjian ini adalah India mengakui Tibet sebagai wilayah dari Cina. Hal tersebut
dilakukan India agar Cina dapat menerima pula penentuan batas wilayah menurut
garis McMahon. Namun menurut Cina, kedua hal tersebut ialah masalah yang
berbeda dan Cina tetap tidak mau mengakui batas wilayah berdasarkan garis
McMahon. Justru Perdana Menteri Zhou dari Cina menyarankan batas wilayah
baru berdasarkan LAC (Line of Actual Control).8
LAC adalah garis batas wilayah yang ditentukan oleh Cina pasca agresi
militernya ke Tibet. Perdana Menteri Nehru dari India menolak tawaran Perdana
Menteri Zhou tersebut karena LAC yang mengharuskan India mengakui bahwa
Aksai Chin yang berada di perbatasan Cina-India menjadi milik Cina. 9 Di sisi
lain, Cina juga tidak setuju dengan klaim India yang ingin mengontrol Arunachal
Pradesh. Dengan kata lain, Cina ingin mendapatkan kedua wilayah tersebut agar
bisa memiliki otoritas di sana. Otoritas yang ingin didapatkan oleh Cina di kedua
wilayah tersebut berkaitan dengan keinginan Cina untuk meraih atau
mempertahankan kedaulatan Westphalian-nya. Cina ingin memiliki otoritas untuk
mengatur kedua wilayah tersebut demi kepentingan domestiknya tanpa ada

campur tangan pihak eksternal, yang mana dalam kasus ini adalah India.

C. Bioregion
Definisi bioregion bersifat dinamis dan dapat berkembang mengikuti
dimensi waktu. Menurut Berg dan Dasmann, bioregion adalah regional yang tidak
memiliki batas yang jelas tetapi diidentifikasi ciri-ciri alami geographic terrain
dan terrain of consciousness.10 Bioregion juga dapat didefinisikan sebagai
kesatuan pemahaman secara ekologi, antropologi, dan geografi berdasarkan ilmu
8 Wahelguru Pal Singh Sidhu, Op. Cit., hlm. 13-14.
9 Ibid.
10 Peter Breg, The Bioregional Approach for Making Sustainable Cities, Japan
Urban Green Technology, 2003.

pengetahuan dan pengetahuan lokal.11 Bioregion pun dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu natural region (fisiografis, vegetasi, dan hidrologis) dan social
region (kultural, politik, dan ekonomi).12
The Bioregional Association of North Americas (BANA) menetapkan
definisi bioregion sebagai: a) penemuan, pemahaman, restorasi, dan pemeliharaan
sistem alam lokal; b) pembangunan dan penerapan cara-cara praktis berkelanjutan
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia; c) mendukung pembangunan budaya

baru berdasarkan situasi hakikat fenomena suatu daerah. 13 Dari beberapa poin
tersebut, nampak jelas bahwa sasaran utama pendekatan bioregion adalah
mengembalikan dan memelihara sistem alam, serta mengembangkan perangkat
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Cina melakukan agresi militer terhadap India pada Perang Sino-Indian
untuk meraih kedaulatan di wilayah Aksai Chin dan Arunachal Pradesh yang
diklaim oleh India. Kedaulatan tersebut menjadi sangat penting jika melihat
keuntungan yang mungkin didapatkan oleh Cina dari memegang kontrol di dua
wilayah tersebut. Menurut data yang telah dihimpun oleh berbagai lembaga riset,
Cina memiliki kepentingan strategis di Aksai Chin, terutama kepentingan
militer.14 Sejak Tibet berada di bawah kontrol Cina, Aksai Chin merupakan jalur
penghubung antara Cina dan Tibet yang paling mudah diakses. Tibet sendiri
memang harus sering dipantau oleh Cina karena berbagai kestrategisan yang
dimilikinya.
Tibet merupakan wilayah dengan berbagai macam kekayaan logam, mulai
dari batu bara, emas, hingga perunggu. Selain itu juga, Tibet adalah wilayah
dengan persediaan air bersih terbesar ketiga di dunia. Dengan mendapatkan
11 M. V. McGinnis, Bioregionalism, London: Routledge, 1999, hlm. 167-170.
12 Donald Alexander, Bioregionalism: The Need for a Firmer Theoretical
Foundation, University of Waterloo, 1996.

13 Ivan V. Ageung, Pendekatan Bioregion (Kawasan Pengelolaan Sumber Daya
Alam), 2005.
14 Tan Chung, ed., Across The Himalayan Gap: An Indian Quest for Understanding
China, 1998.

wilayah teritorial Tibet, Cina mendapatkan keuntungan karena dapat mengadakan
perencanaan berkaitan dengan sumber air seperti saluran irigasi, kontrol banjir,
hingga pembangkit listrik tenaga air. Selain itu pula, Tibet merupakan lahan yang
tepat untuk membangun lapangan militer. Oleh karena itu, bila Cina menguasai
Aksai Chin, mobilitas pembangunan dan kemudahan lainnya oleh Cina15
Sedangkan wilayah Arunachal Pradesh diinginkan oleh kedua belah pihak
baik Cina dan India karena memiliki potensi dalam sektor pariwisata dan
perairan. Arunachal Pradesh ialah wilayah yang memiliki keindahan alam yang
sangat melimpah, khususnya yang berupa perairan. Itulah mengapa di Arunachal
Pradesh digalakkan beberapa proyek besar untuk membangun dam dan
memberdayakan

pembangkit

listrik

tenaga

air.

Namun

sayang,

akibat

pembangunan infrastruktur besar-besaran tersebut, tatanan sosial masyarakat di
sana justru tidak stabil. Bahkan oleh UNESCO, masyarakat Arunachal Pradesh
dinobatkan sebagai “endangered languages and location”.16
Data tersebut membuat Cina tergiur untuk memiliki otoritas di Arunachal
Pradesh. Selain ingin mengembangkan natural region, Cina dengan peradabannya
yang maju juga memiliki indikasi untuk membangun social region di Arunachal
Pradesh. Kemungkinan besar selain dengan memberdayakan sumber alam di
Arunachal Pradesh, Cina juga akan melakukan doktrin sosial, ekonomi, politik,
dan budaya yang khas dimiliki oleh Cina. Cina memang terkenal sebagai bangsa
yang ingin memperluas cakupan peradabannya.

15 Commodore Katherine Richards, China-India: An Analysis of the Himalayan
Territorial Dispute, Australia: Australian Defence College, hlm. 8.
16 Shripad Dhamardhikary, Massive Dam Plans for Arunachal, 2008, diakses dari
http://indiatogether.org/arunachal-environment, pada tanggal 5 Juni 2016, pukul
07:41 WIB.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Agresi Militer Cina terhadap India pada Perang SinoIndian
A. Ketidaksepahaman Batas Wilayah
Setelah India dan Tibet resmi menetapkan garis McMahon sebagai
batas wilayah, Cina melakukan invansi di Tibet pada 1950 di mana pada saat
itu India dan Cina berbagi batas wilayah berdasarkan kesepakatan
peninggalan kolonialisme yang dibiarkan begitu saja baik oleh India maupun
Cina. Dari perspektif Cina sendiri melihat kesepakatan garis McMahon adalah
ilegal dan tidak sesuai dengan bagaimana batas negara dalam tingkat
internasional.17
Di tahun 1950 ini, Cina masuk ke wilayah Lhasa dan membawa Tibet
di bawah kontrol mereka. Hal ini juga disebabkan pimpinan dari Tibet yaitu
Dalai Lama menyetujui tujuh belas poin perjanjian pada Mei 1951 yang
menghapuskan klaim Tibet untuk merdeka.18
Perdana Menteri India pada saat itu, yaitu Perdana Menteri Nehru
mengambil tindakan sebagai respon dari keberadaan Cina di Tibet dengan
meningkatkan kesiagaan di batas wilayah Nepal, Bhutan, dan Sikkim hingga
India sendiri dan menambah penjagaan di Tawang yang merupakan kota yang
dekat dengan garis McMahon. Nehru juga mengusahakan negosiator dari
India untuk mundur dari Tibet namun gagal.19
Pada 1954, Perdana Menteri Nehru dari India dan Mao sebagai
pemimpin pemerintah komunis dari Cina menandatangani “Panscheel
Agreement”. Isi utama perjanjian ini adalah India mengakui Tibet sebagai
wilayah dari Cina. India menggunakan perjanjian ini sebagai jalan agar Cina
menerima batas wilayah sebagaimana garis McMahon peninggalan masa

17 Commodore Katherine Richards, Op. Cit., hlm. 4.
18 Wahelguru Pal Singh Sidhu, Op. Cit., hlm. 12.
19 Ibid., hlm. 12-13.

kolonial. Namun dari perspektif pemerintah Cina, kedua hal tadi adalah hal
berbeda. Cina tetap menolak keberadaan garis McMahon.20
Kemudian, pada 1958, Perdana Menteri Zhou dari Cina mengirim
surat kepada Perdana Menteri Nehru yang mengatakan bahwa baik dari Cina
dan India sebaiknya saling mempertahankan status quo hingga ada kejelasan
dan pembahasan di masa depan berkaitan dengan sengketa wilayah dan tidak
bertindak melewati batas. Zhou lebih lanjut menawarkan apa yang disebut
sebagai LAC (Line of Actual Control) yaitu merupakan garis batas antara
Cina dan India. Perbedaan LAC dari garis McMahon adalah garis ini
ditentukan oleh Cina pasca agresi ke Tibet. Nehru menolak tawaran Zhou
tersebut karena dari LAC yang ditawarkan tersebut mengharuskan India
mengakui bahwa Aksai Chin yang berada di perbatasan Cina-India menjadi
milik Cina.21
Setelah tawaran Zhou gagal, ia memutuskan untuk melakukan
kunjungan diplomatik ke India pada 19 hingga 25 April 1960 dan bertemu
dengan Nehru untuk membahas penyelesaian terkait permasalahan wilayah
ini.

Namun, negosiasi dan pembicaraan mengenai solusi tentang

permasalahan batas wilayah ini menemui jalan buntu.22
B. Forward Policy oleh India
Setelah pertemuan Perdana Menteri kedua negara tersebut menemui
jalan buntu, India menerapkan Forward Policy. Kebijakan ini membuat setiap
pasukan India mensiagakan diri di wilayah yang diklaim oleh Cina. Kebijakan
ini diharapkan mampu menahan pasukan Cina dari menduduki teritorial yang
menjadi sengketa kedua negara. Namun Cina juga memutuskan untuk
meningkatkan kehadiran militer dan mensiagakan pasukan di area yang tidak
jauh dari pasukan India. Hal tersebut menyebabkan konfrontasi dari kedua
pasukan Cina dengan India. Setelah itu, perang tidak bisa terelakkan pada 20
Oktober 1962.23
20
21
22
23

Ibid., hlm. 13.
Ibid., hlm.13-14.
Ibid., hlm. 14.
Loc. Cit.

C. Kepentingan Cina di wilayah Tibet
Tibet merupakan wilayah yang sangat sentral berkaitan dengan
sengketa wilayah Cina dengan India. Tibet juga merupakan wilayah strategis
yang merupakan pintu penghubung India dan Cina. Kekayaan alam yang ada
di Tibet selain perlu diamankan oleh Cina, juga memerlukan komponen
penting agar mobilitas dari wilayah Cina lainnya menuju Tibet yang saat itu
baru masuk wilayah Cina agar lebih terjangkau dan pembangunan dapat lebih
cepat disana.24
Sebelumnya, keberhasilan PLA (People Liberation Army) dari Cina
menaklukkan Tibet memberikan keuntungan dalam segi geopolitik. Tibet
merupakan tempat yang strategis untuk membuat pangkalan udara dan
meningkatkan kekuatan militer. Hal inilah yang membuat India cenderung
lebih mendukung kemerdekaan dari Tibet ketimbang mereka harus masuk di
bawah wilayah Cina.25
Tibet merupakan wilayah dengan berbagai macam kekayaan logam
mulai dari batu bara, emas, hingga perunggu. Selain itu juga, Tibet adalah
wilayah dengan persediaan air bersih terbesar ketiga di dunia. Di mana aliran
dari sungai yang ada mengalir ke sungai-sungai yang ada di Cina. Dengan
mendapatkan wilayah teritorial Tibet, Cina mendapatkan keuntungan karena
dapat mengadakan perencanaan berkaitan dengan sumber air seperti saluran
irigasi, kontrol banjir, hingga pembangkit listrik tenaga air.26
Banyaknya keuntungan yang didapat dari Tibet ini menunjukkan
betapa pentingnya untuk memastikan siapakah yang memegang kontrol
wilayah tersebut. Bagi Cina, kekuasaan atas teritorial Tibet akan membawa
dampak positif bagi pembangunan negara baik dari segi perekonomian

24 Commodore Katherine Richards, Op. Cit., hlm. 7.
25 Ibid., hlm. 8-10.
26 Ibid., hlm. 8

maupun segi militer. Maka dari itu , Cina merasa diperlukan akses yang lebih
cepat ke Tibet untuk meningkatkan mobilitas dan kemudahan lainnya.

2. Agresi Militer Cina hingga Perang Sino-Indian 1962
Setelah Forward Policy diberlakukan oleh India, pasukan India yang
berada di perbatasan bersiaga dan meningkatkan persenjataan mereka di
sepanjang wilayah yang diklaim oleh Cina. Konfrontasi dari pasukan kedua
negara tidak dapat terelakkan. 20 Oktober 1962, pasukan Cina menyerang
pasukan India dari pos Dhola di sektor timur. Selain itu juga pos barat
diserang pula oleh Cina. Kekuatan pasukan Cina dengan mudah menaklukan
tentara India di sana.27
Kemudian sehari setelahnya, Cina menarik pasukannya dan Perdana
Menteri Zhou secara pribadi menemui Perdana Menteri Nehru kembali untuk
mengupayakan gencatan senjata dan penarikan pasukan. Zhou sangat berharap
penyelesaian masalah ini dapat cepat terlaksana agar menghindari kerugian
perang yang lebih besar.28
Namun, Nehru memutuskan menolak pengajuan genjatan senjata dari
Zhou tersebut. Pada akhirnya Cina meningkatkan kekuatan militer dalam
skala besar dan kekalahan India tidak dapat terelakkan. 29 Perang Sino-Indian
tersebut berakhir pada 22 November 1962 di mana Cina memutuskan secara
sepihak melakukan gencatan senjata di perbatasan tersebut. India kalah dan
terpaksa kehilangan wilayah mereka yang jatuh ke tangan Cina dan selain itu
pula dipermalukan dalam skala besar oleh Cina. Kemudian, hubungan
diplomatik Cina dan India terputus hingga pertengahan 1970 sebelum mereka
kembali membuka negosiasi terkait sengketa batas wilayah yang terjadi.30
27 Wahelguru Pal Singh Sidhu, Op. Cit., hlm. 15.
28 Loc. Cit.
29 Navile Maxwell, “Sino-Indian Border Dispute Reconsidered”, dalam Economic
and Political Weekly, 1999, hlm. 913.
30 Wahelguru Pal Singh Sidhu, Op. Cit., hlm. 15-16.

3. Hubungan Diplomatik Cina-India Pasca Perang Sino-Indian
Penyelesaian permasalahan diawali pada Desember 1988, dimana PM
India Rajiv Gandhi mengunjungi Tiongkok. India mengajak Tiongkok untuk
membentuk JWG atau Joint Working Group dan ini menjadi kerangka dasar
untuk melakukan kerjasama pertahanan dan keamanan di perbatasan kedua
negara. Selama pertemuan berlangsung, keduanya menyepakati pertukaran
pengembangan

akademik,

militer,

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi.

Selanjutnya, Menteri Pertahanan India Sharad Pawar mengunjungi Tiongkok
pada Juli 1992 yang mengawali untuk melakukan hubungan dalam bidang
militer. Selain itu, kunjungan ini pun menghasilkan dilakukannya Perjanjian
yang disebut, ”The Agreement on Maintaining Peace and Tranquility in the
Border Areas aling the Line Actual Control”, untuk Memelihara Perdamaian
dan Keamanan di sepanjang Garis Kontrol Aktual atau LAC yang
ditandatangani pada 7 September 1993.31
Kemudian dibuat pula “The Agreement on Confidence-Building
Measures in Military Fields along the Line of Actual Control in the IndiaTiongkok Border”, yaitu kerangka CBM atau Confidence Building Measures
pada 29 November 1996 untuk menyatakan dan menegaskan kembali
perjanjian yang di buat pada tahun 1993. Implementasi dan pelaksanaan CBM
dalam penerapan disepanjang LAC ini, maka dibentuk dalam bentuk protocol,
yang disebut “Protocol between the Government of the Republic of India and
the Government of the People’s Republic of Tiongkok on Modalities for the
Implementation of Confidence Building Measures in the Military Field along
the Line of Actual Control in the India-Tiongkok Border Areas”. Protokol ini
dilaksanakan setelah kunjungan PM Tiongkok Wen Jiabao ke India pada April
2005 dan ditandatangani pada 11 April 2005. Dalam protokol ini diuraikan
31 Rup Narayan Das, India-Tiongkok Defence Cooperation and Military
Engagement, New Delhi: Institute for Defence Studies and Studies and Analyises,
2010, hlm 110.

ketentuan

yang

harus

dilakukan

untuk

implementasi

CBM

yang

ditandatangani pada 1996. Hal ini semakin menjelaskan komitmen keduanya
untuk meningkatkan hubungan alam bidang pertahanan dan keamanan.
Dalam kesepakatan CBM ini keduanya menyepakati untuk membatasi
penggunaan peralatan militer seperti tank, kendaraan militer, senjata-senjata
dengan standar tinggi, penggunaan misil darat, misil udara dan sistem
persenjataan lain. Kemudian keduanya melakukan pertukaran data dan
informasi dalam bidang pertahanan untuk mengurangi dan melindungi
wilayah atau zona pengawasan di sepanjang perbatasan India dan Tiongkok.32
Pertemuan selanjutnya dilakukan dalam rangka kewajiban untuk
menjalin hubungan secara berlanjut semenjak perjanjian sebelumnya
disepakati. Kunjungan ini dilakukan oleh Menteri Pertahanan India, Praneb
Mukherjee ke Tiongkok pada Mei 2006 dan menghasilkan poin penting yakni
ditandatanganinya MoU. MoU ini membahas tentang mekanisme dan waktu
mengenai kunjungan-kunjungan yang dilakukan Menteri Pertahanan. MoU ini
kemudian dipertegas dengan ditandatanganinya Joint Declaration pada 21
November 2006. Joint Declaration ini pada dasarnya membahas tentang
diperkuatnya rasa saling percaya dan rasa saling memahami diantara kedua
negara.
Kemudian pada tahun 2012 India dan Tiongkok membuat mekanisme
untuk membangun rasa saling percaya antara kedua negara di sepanjang garis
LAC dan memperkuat kemampuan komandan yang bertugas di sepanjang
wilayah guna menghilangkan kesalahpahaman.33 Hal ini dilakukan agar
pelaksanaan perjanjian-perjanjian sebelumnya berjalan lancar. Perjanjian ini
disebut, “Agreement between the Government of the Republic of India and the
Government of the People's Republic of Tiongkok on the Establishment of a
32 Ibid, hlm. 111.
33 Mandiph Singh, China’s Defence Minister in India: Raising Military Relations to
the Next Level?, New Delhi: IDSA (Institute of Defence Studies & Analyses), 2012,
hlm. 3.

Working Mechanism for Consultation and Coordination on India-Tiongkok
Border Affairs”.
Kemudian, India dan Tiongkok kembali melakukan kerjasama
pertahanan terkait persoalan di perbatasan, yaitu “Indo-Tiongkok Border
Defence Cooperation Agreement (BDCA)”, pada tahun 2013. Perjanjian ini
dilakukan untuk meningkatkan kembali kerjasama demi mencapai keamanan
dan perdamaian di wilayah perbatasan.
Tujuan dibuatnya perjanjian kerjasama pertahanan di perbatasan atau
BDCA ini adalah untuk memperluas hubungan dan meresmikan aturan dalam
melakukan pengawasan guna mencegah terjadinya ketegangan diantara
keduanya.34 Persoalan perbatasana India dan Tiongkok manjadi persoalan
yang sensitif, sehingga sangat mudah bagi keduanya untuk menimbulkan
konflik. Dengan bagitu perlu upaya untuk meencegah hal-hal yang dapat
menjadi akar permasalahan.

34 Vishaka Sharma dan A.K.Ghildial, Relevance of Five Principles of Peaceful
Coexistence (Panchsheel) in Post Cold War Era, Asian Journal of Multidisciplinary
Studies 2, 2014, hlm. 60.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Konflik Cina-India merupakan salah satu konflik perebutan batas
wilayah yang paling terkenal di seluruh dunia karena CIna dan
Indiamerupakan dua negara terbesardi dataran Asia. Konflik perbatasan ini
memakan waktu selama puluhan tahun dan mengalami proses yang panjang
dalam menemukan pemecahannya, bahkan hingga saat ini.
Masing-masing dari Cina maupun India memiliki kepentingan di
wilayah-wilayah

persengketaan

sehingga

sulit

mencari

titik

tengah

penyelesaiannya. Berdasarkan referensi yang kami dapatkan, dapat diketahui
bahwa kasus ini tergolong dalam unut analisi korelasional, di mana unit
analisisnya adalah sebab-sebab Cina melakukan agresi militer terhadap India,
sedangkan unit eksplanasinya adalah poin-poin yang menjadi alasan agresi
tersebut.
Selain itu, pasca Perang Sino-Indian ini, CIna dan India tidak
memutuskan hubungan diplomatiknya, melainkan semakin mengeratkan
hubungannya. Hal ini terwujud dari beberapa perjanjian damai yang telah
ditandatangani oleh kedua negara ini pasca Perang.
2. Saran
Dalam menilai kasus persengketaan seperti ini penulis beranggapan
bahwa sebaiknya tiap-tiap negara melakukan negosiasi yang mengedepankan
kepentingan bersama. Diplomasi adalah salah satu cara yang penting untuk
menghindari konflik bersenjata dan meminimalisir kerugian yang diperoleh
oleh negara-negara yang berunding. Sehingga stabilitas keamanan dunia pun
dapat terus dijaga dan ditingkatkan.

Daftar Pustaka
1. Ageung, Ivan V. 2005. Pendekatan Bioregion (Kawasan Pengelolaan Sumber
Daya Alam).
2. Alexander, Donald. 1996. Bioregionalism: The Need for a Firmer Theoretical
Foundation. University of Waterloo.
3. Breg, Peter. 2003. The Bioregional Approach for Making Sustainable Cities.

4.

Japan Urban Green Technology.
Chung, Tan. ed. 1998. Across The Himalayan Gap: An Indian Quest for

5.

Understanding China.
Das, Rup Narayan. 2010. India-Tiongkok Defence Cooperation and Military
Engagement. New Delhi: Institute for Defence Studies and Studies and

Analyises.
6. Dhamardhikary, Shripad. 2008. Massive Dam Plans for Arunachal. Diakses
dari http://indiatogether.org/arunachal-environment, pada tanggal 5 Juni 2016,
pukul 07:41 WIB.
7. Katherine Richards, Commodore. 2015. China-India: An Analysis of the
Himalayan Territorial Dispute. Australia: Australian Defence College.
8. Krasner, Stephen D. 1999. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton
University Press.
9. Maxwell, Navile. 1999. “Sino-Indian Border Dispute Reconsidered”, dalam
Economic and Political Weekly.
10. McGinnis, V. 1999. Bioregionalism. London: Routledge.
11. Miller, Benjamin. 2001. “The Concept of Security: Should it be Redefined?”,
dalam Journal of Strategic Studies, 24:2.
12. Pal Singh Sidhu, Wahelguru. 2003. China and India: Cooperation or
Conflict?. Amerika Serikat: International Peace Academy.
13.
Posen, Barry R. 1993. “The Security Dilemma and Ethnic Conflict”,
dalam Michael Brown, ed., Ethnic Conflict and International Security.
Cambridge: MIT Press.

14.

Sharma, Vishaka dan A.K.Ghildial. 2014. Relevance of Five

Principles of Peaceful Coexistence (Panchsheel) in Post Cold War Era. Asian
Journal of Multidisciplinary Studies 2.

15. Singh, Mandiph. 2012. China’s Defence Minister in India: Raising Military
Relations to the Next Level?. New Delhi: IDSA (Institute of Defence Studies
& Analyses).

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22