Telaah Studi Hubungan Internasional Kela
Tugas Mata Kuliah International Relations
Jurusan Diplomasi Pertahanan
Universitas Pertahanan
Telaah Studi Hubungan Internasional: Kelahiran Ilmu HI,
Paradigma, dan Tawaran Pencegahan Perang
Oleh:
Budi Hartono
“Sivis pacem para pactum [if you want peace,
agree to keep the peace].”
-Andrew Carnegie.1
“Sivis pacem parabellum [if you want peace
prepare for war].”
-Vegetius.2
Studi Hubungan Internasional Sebagai Ilmu
Kutipan di atas secara implisit menjelaskan mengenai ide utama
dari dua paradigma besar di dalam studi Hubungan Internasional (HI),
yaitu liberalisme dan realisme. Meskipun kedua paradigma tersebut
memiliki tujuan yang sama seperti tujuan dasar dibentuknya ilmu HI
yaitu mencegah perang, akan tetapi terdapat perbedaan logika dan cara
dalam
mencapai
tujuannya
itu.
Tulisan
ini
bertujuan
untuk
1
Richard Bartholdt, (1907), “The Interpaliamentary Plan” dalam Robert Erskine
Ely, Proceedings of the National Arbitration and Peace Congress New York, April 14th
to 17th, 1907, New York: The National Arbitration and Peace Congress.
2
Renatus, F. V. (1996). Vegetius: Epitome of military science (Vol. 16). Liverpool
University Press.
1
mendeskripsikan mengenai kelahiran ilmu HI dan paradigma di dalam
ilmunya. paradigma yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya berfokus
pada paradigma liberalisme pasca Perang Dunia I dan realisme dari
pemikiran E. H. Carr. Adapun fokus dari pembahasan mengenai
liberalisme dan realisme dalam tulisan ini adalah bagaimana kedua
paradigma tersebut melihat penyebab perang? Selanjutnya apa tawaran
dari kedua paradigma terkait dengan pencegahan perang?.
Ilmu HI secara tradisional merupakan studi yang berfokus pada
interaksi antar negara. Inti dari studi HI tradisional berkaitan dengan isu
perkembangan negara-negara berdaulat dalam konteks sistem negara
bangsa. Fokus utama studi HI adalah perang dan perdamaian melalui
analisis negara dan interaksinya dengan negara lain di dalam sistem
internasional.3
Sedangkan
pada
perkembangannya,
studi
HI
kontemporer
berfokus bukan hanya pada interaksi antar negara. Studi HI kontemporer
menambahkan subjek lain dalam kajiannya seperti interdepedensi
ekonomi, hak azasi manusia, perusahaan transnasional, organisasi
internasional, lingkungan hidup, dll. Perkembangan tersebut membuat
sebagian penstudi HI memilih nama world politics sebagai nama dari HI
kontemporer.4
Secara garis besar terdapat empat paradigma penting di dalam
keilmuan HI yaitu realisme, liberalisme, masyarakat internasional, dan
ekonomi politik internasional. Namun pada perkembangannya terdapat
pendekatan-pendekatan alternatif yang membuat paradigma HI semakin
beragam.
Pemikiran
HI
tidak
berdiri
sendiri,
melainkan
dibangun
berdasarkan subjek-subjek akademik lain. Subjek akademik yang
membangun studi HI antara lain filsafat, hukum, sejarah, sosiologi, dan
ekonomi. Selain itu pemikiran HI turut menjawab perkembangan historis
dan kontemporer dalam dunia nyata. Fenomena yang dikaji HI meliputi
3
Robert Jackson & Georg Sorensen, (1999), “Introduction to International
Relations”, New York: Oxford University Inc., hal. 44.
4
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 44.
2
perang, perdamaian, dan ekonomi yang telah menggerakkan keilmuan HI
di abad keduapuluh.5
Terdapat tiga perdebatan besar dalam HI sejak pembentukannya di
akhir Perang Dunia I dan sekarang berada dalam tahap keempat; bahkan
kelima. Perdebatan besar pertama antara liberalisme dan realisme; kedua
antara
pendekatan
tradisional
dan
behavioralisme;
ketiga
antara
neorealisme, neoliberalisme dan neomarxisme; keempat antara paradigma
yang telah mapan dan paradigma alternatif pasca positivisme. Namun
seperti yang telah ditekankan di atas, bahwa tulisan ini hanya berfokus
pada liberalisme pasca Perang Dunia I dan kritik realisme atas liberalisme.
Perang Dunia I, Kelahiran HI, dan Liberalisme Sebagai Paradigma
Awal HI
Dorongan awal dari pembentukan studi HI disebabkan oleh
munculnya Perang Dunia I (1914-1918). Tujuan utama HI adalah
mencegah perang dunia (war to end all wars) terulang kembali, mengingat
bahwa pada Perang Dunia I jutaan manusia telah menjadi korban. Citacita untuk tidak mengulang kesalahan tersebut memerlukan usaha dalam
mengatasi masalah peperangan total (total war) antara pasukan dan
penggunaan senjata modern yang dapat mengakibatkan kehancuran total.
Pembenaran atau justifikasi bagi semua kematian dan kehancuran itu
menjadi semakin kurang jelas seiring meningkatnya jumlah korban dan
gagalnya menyingkap sisi rasional dalam perang. 6 Bahkan Gillbert
menyebut bahwa pada situasi Perang Dunia I, “Jutaan orang dibunuh.
Eropa sudah gila. Dunia sudah gila.” 7 Kutipan disamping menjadi
gambaran sejarah kelamnya situasi Eropa pada era Perang Dunia I.
Teori HI pasca Perang Dunia I bertujuan untuk menjawab
pertanyaan utama yaitu “mengapa perang?” Setiap paradigma di dalam
HI memiliki jawaban yang berbeda dalam menjawab pertanyaan tersebut.
5
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 45.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 46.
7
Gillbert Kennan, (1954), “Realities of American Foreign Policy”, Princeton:
Princeton University Press, hal. 257.
6
3
Menurut paradigma liberal, Perang Dunia I merupakan akibat dari
perhitungan yang salah, egois, dan tanpa pikir panjang dari pemimpin
otokrasi misalnya Prusia (sekarang Jerman) dan Austria. Perang Dunia I
membuat pemikir liberal berkesimpulan bahwa perdamaian bukan
merupakan kondisi natural, melainkan harus dikonstruksi.8
Kaum liberal melihat bahwa pemimpin yang tidak demokratis
cenderung mengambil keputusan yang fatal, sehingga menyeret negara ke
dalam kondisi perang. Selain itu, Prancis dan Inggris merespon situasi
tersebut dengan terjun ke dalam konflik melalui sistem aliansi yang
berkaitan satu dengan yang lain. Terjadi sebuah paradoks di dalam sistem
aliansi ini, dimana yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga
perdamaian justru mendorong negara-negara di Eropa ke dalam perang.
Ketika Austria dan Jerman menghadapi Serbia dengan kekuatan
bersenjata, Rusia memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu Serbia,
sehingga Inggris dan Prancis memiliki tanggung jawab yang sama dimana
kedua negara tersebut terikat aliansi dengan Rusia. Pada situasi itu, kaum
liberal melihat bahwa sistem balance of power telah usang dan harus diganti
sehingga bencana perang tidak akan perang terjadi lagi.9
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah mengapa awal studi
HI identik dengan liberalisme? Terdapat beberapa pernyataan terkait
dengan pertanyaan tersebut. Pada periode Perang Dunia I, pada tahun
1917 Amerika Serikat akhirnya terlibat perang. Keterlibatan AS sangat
menentukan hasil perang, dimana intervensi militernya telah menjamin
kemenangan pihak sekutu (Prancis, Inggris, Italia, Rusia) dan kekalahan
bagi Jerman, Austria, dan Turki.
Ketika itu, AS yang dipimpin oleh Presiden Woodrow Wilson
memiliki misi utama yaitu membawa nilai-nilai demokratis liberal ke
Eropa dan seluruh dunia.10 Wilson melihat dengan membawa nilai-nilai
demokrasi, perang dapat dicegah, sehingga cara berpikir liberal memiliki
8
Tim Dunne, “Liberalism”, dalam John Baylis & Steve Smith, (2001), “The
Globalization of World Politics: An introduction to International Relations”, New York:
Oxford University Press, hal, 191.
9
Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 48.
10
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 48.
4
dukungan kuat dalam sistem internasional pasca Perang Dunia I. Pada
perkembangannya para pemikir liberal memiliki gagasan bagaimana
menghindari bencana perang melalui reformasi sistem internasional dan
reformasi dari politik domestik negara yang sebelumnya menganut sistem
otokrasi.
Presiden Wilson memiliki visi atas dunia yang aman bagi
demokrasi. Hal tersebut dirumuskan dalam program yang disampaikan
pada pidato Kongres AS pada tahun 1918. Wilson menyatakan bahwa, “A
general association of nations must be formed.” 11Gagasan Wilson tersebut
mempengaruhi
permusuhan
Konferensi
dan
Perdamaian
membangun
tatanan
Paris
yang
internasional
mengakhiri
baru
yaitu
internasionalisme liberal. Adapun program utama Wilson menghendaki
adanya pengakhiran dari diplomasi rahasia, dimana kesepakatankesepakatan yang ada harus diketahui publik. 12 Pernyataan lainnya
seperti kebebasan navigasi di laut, pembebasan hambatan-hambatan di
bidang ekonomi, pengurangan senjata (arms control) hingga ke titik
rendah, serta penyelesaian klaim kolonial. 13 Program-program di atas
menjadi dasar terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919 sebagai
wadah untuk mencapai tujuan Wilson yaitu menjaga perdamaian.
Terdapat
dua
pernyataan
Wilson
terkait
dalam
menjaga
perdamaian. Pertama, pernyataan mengenai demokrasi dan hak dalam
menentukan nasib sendiri (berdaulat). Asumsi dalam pernyataan ini
adalah negara yang menganut sistem demokrasi tidak akan berperang
dengan negara yang menganut sistem yang sama (demokrasi).14 Logika
Wilson bahwa pertumbuhan demokrasi liberal di Eropa akan mengakhiri
pemerintahan otokratis yang gemar berperang. Pernyataan kedua Wilson
berkaitan dengan pembentukan suatu organisasi internasional yang
mewadahi hubungan antar negara pada suatu landasan institusi, dimana
11
John
Baylis & Steve Smith, Loc. Cit., hal. 191.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 49.
13
J. Vasquez, (1995), “The Post-Positivist Debate”, dalam K. Booth & S. Smith,
“International Relations Theory Today”, Cambridge: Polity Press, hal. 217-40.
14
S. Brown, (1994), “The Causes and Prevention of War”, New York: St. Martin’s
Press, hal. 24.
12
5
interaksi tiap negara diatur dalam hukum internasional. Jelas bahwa
kaum liberal melihat suatu institusi internasional dapat memajukan
kerjasama yang damai antar negara.
Ide kaum liberal dapat dirangkum sebagai berikut. Kaum liberal
meyakini bahwa organisasi internasional dapat mengakhiri perang dan
mencapai perdamaian. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan elemen
politik domestik suatu negara seperti kementerian luar negeri, angkatan
bersenjata, dll. Melainkan melalui organisasi internasional setidaknya sifat
negara dapat “dijinakkan”.
Kaum liberal melihat dalam lingkungan internasional dimana tidak
ada otoritas yang mengatur setiap negara dalam berinteraksi dianalogikan
sebagai “hutan”, sehingga untuk tetap survive, makhluk-makhluk (negara)
dapat melakukan tindakan apapun untuk mencapai tujuan. Sementara
dengan pembentukan LBB, makhluk-makhluk tersebut dimasukkan
dalam kandang dengan pengendalian organisasi internasional. Dapat
dikatakan bahwa pembentukan organisasi internasional untuk mencapai
perdamaian, berdasarkan pada pemikiran Immanuel Kant di dalam
karyanya yang berjudul “Perpectual Peace”.
Optimisme kaum liberal atas dunia yang lebih damai merupakan
kekuatan dari paradigma liberal. Akan tetapi paradigma tersebut justru
diserang oleh paradigma lain yaitu realisme. Bahkan proyeksi dari kaum
liberal hanya dikatakan sebagai omong kosong belaka. Menjadi
pertanyaan besar bahwa mengapa pandangan yang memiliki visi ideal
seperti liberalisme dalam mencegah perang dengan berupaya untuk
meningkatkan kerjasama antar negara dan pembentukan suatu organisasi
internasional justru diserang habis-habisan oleh para pengkritiknya? “The
Twenty Years Crisis” karya E. H. Carr dapat menjawab pertanyaan
tersebut.
6
‘The Twenty Year’s Crisis’: Kritik E. H. Carr atas Liberalisme
Setelah gagalnya pemikiran kaum liberal di tahun 1930an dalam
mencegah perang, akademisi HI mulai merujuk pemikiran kaum realis
klasik. Pemikir realis klasik antara lain Thucydides, Machiavelli, dan
Hobbes memiliki inti kata di dalam karya mereka yaitu power. Melalui
pemikir-pemikir klasik tersebut, para pemikir HI mulai membangun
logikanya dalam melihat dunia.
The Twenty Year’s Crisis (1939) merupakan karya E. H. Carr yang
bertujuan untuk mengkritik kebijakan negara pemenang Perang Dunia I
(Perjanjian Versailles dan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa). Buku ini
merupakan kritikan terhadap paradigma liberal mengenai gagasan
keamanan kolektif melalui Liga Bangsa-Bangsa. Carr berpendapat bahwa
para pemikir liberal HI telah salah menilai fakta dan salah memahami
sifat dasar dari hubungan internasional.15 Kaum liberal salah memahami
bahwa hubungan semacam itu dapat didasarkan pada persamaan
kepentingan antara negara-negara. Carr justru melihat sebaliknya –
terdapat
konflik
kepentingannya,
antara
negara
negara,
berupaya
sehingga
untuk
untuk
mencapai
mempertahankan
dan
memelihara posisi khususnya (status quo). Secara garis besar, hubungan
internasional adalah mengenai perjuangan negara untuk mencapai
kepentingan yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Dari
argumen yang ada, Carr menamakan paradigma liberal sebagai ‘utopia’
sebagai lawan dari posisinya yang dia namakan sebagai ‘realis’.16
Carr melihat bahwa realisme merupakan sebuah koreksi yang
diperlukan atas maraknya utopianisme yang telah mengabaikan power
dalam politik internasional.17 Akar penyebab konflik dan perang tidak
akan pernah dapat dipahami apabila analisa tidak berdasarkan distribusi
kekuasaan di dalam sistem internasional. Carr menilai kaum liberal terlalu
15
Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 54.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 54.
17
Carr, E. H., & Cox, M. (1964). The twenty years' crisis, 1919-1939: an introduction
to the study of international relations (Vol. 1122). New York: Harper & Row
, hal. 14.
16
7
memaksa untuk berupaya menghapuskan perang, sehingga mereka
(kaum liberal) mengabaikan apa alasan-alasan yang mendasarinya.18
Kesalahan fatal kaum liberal terlihat ketika mereka memasukkan
kepentingan umum ke dalam kepentingan negara. Kaum liberal memiliki
ide bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang sama terkait
perdamaian, dan negara yang bersikap agresif dianggap tidak bermoral
dan rasional.19 Carr melihat argumen dari kaum liberal tersebut tidak
lebih dari sebuah ekspresi dari negara pemenang perang dengan menjaga
kepentingan pribadi demi mempertahankan status quo.
Sistem pasca perang (Perjanjian Versailles dan Liga Bangsa-Bangsa)
diciptakan aktor pemenang perang (AS, Prancis, Inggris) yang digunakan
untuk memperoleh keuntungan dengan mengesampingkan kekuatan
negara revisionis20. Carr berpendapat utopia (liberal) membentuk sistem
sebagai sarana mencapai kepentingan pribadi dan diselewengkan ke
dalam status quo – suatu selubung kepentingan pribadi mereka yang
memiliki hak istimewa.21 Situasi tersebut tentu tidak dapat diterima oleh
negara kalah perang seperti Jerman yang dirugikan akibat Perjanjian
Versailles pada tahun 1918.
Selain itu, Carr juga menyangkal ide kaum liberal bahwa
perdamaian internasional dapat dicapai dengan menerapkan pandangan
mereka di lingkungan internasional. Penolakan Carr terhadap ide ini
disebabkan karena prinsip yang bersifat universal seperti perdamaian,
keselarasan kepentingan, keamanan kolektif, perdagangan bebas bukan
suatu prinsip, melainkan hanya berupa refleksi atas kepentingan nasional
di waktu tertentu. 22 Sehingga prinsip yang terlihat universal yang
merupakan ide utama kaum liberal, tidak lebih dari kepentingan pribadi
dan elit penguasa dari negara pemenang perang.
18
Scott Burchill & Andrew Linklater, (1996), “Theories of International Relations”,
New York: ST Martin’s Press Inc., hal. 92.
19
Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 67.
20
Perilaku negara yang ingin merubah sistem.
21
Scott Burchill & Andrew Linklater, Op. Cit., hal. 93.
22
Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 111.
8
Carr memberikan contoh ekonomi laissez-faire untuk membuktikan
gagasan universal tidak lain hanya gagasan sebagian pihak yang
diuntungkan. Laissez-faire merupakan ide para elit penguasa di dalam
negara yang memiliki kapabilitas kuat dalam bidang ekonomi, yang
mengklaim bahwa apa yang baik bagi mereka terbukti menguntungkan
bagi semua. Di abad ke-19, para pengusaha Inggris menemukan bahwa
laissez-faire yang meningkatkan kemakmuran mereka, juga dapat
meningkatkan kemakmuran Inggris secara keseluruhan.23
Kemudian, negawaran Inggris mendapati bahwa laissez-faire
meningkatkan kemakmuran Inggris, meyakini dengan menerapkan
laissez-faire, juga dapat meningkatkan dunia secara keseluruhan.24 Carr
menilai bahwa perdagangan bebas merupakan kebijakan tepat bagi
Inggris yang secara industri memang dominan, namun tidak untuk
negara-negara yang justru kemampuan industrinya lemah. Laissez-faire
dalam hubungan internasional merupakan “surga” bagi negara-negara
yang memiliki kemampuan kompetisi ekonomi kuat. Negara yang lemah
secara ekonomi, membentuk undang-undang proteksi dan bea cukai
untuk mengimbangi kekuatan dari negara yang memiliki perekonomian
yang lebih dominan. Dari penjelasan di atas, terlihat tidak ada keselarasan
mendasar antara kepentingan negara-negara, yang ada justru kekuatan
bersifat asimetris.
Disamping ide mengenai kepentingan bersama, kaum liberal turut
menghilangkan power sebagai pertimbangan negara di dalam sistem
internasional. Di sisi lain, para kaum realis dimana Carr salah satunya,
percaya bahwa pencarian power merupakan dorongan alami yang
memiliki resiko kegagalan apabila diabaikan oleh negara. Argumen Carr
adalah negara yang menjauhkan diri dari pencarian pursuit of power
sebagai
pegangan
prinsip
pada
dasarnya
justru
membahayakan
keamanan mereka (negara) sendiri.25
23
Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 103.
Scott Burchill & Andrew Linklater, Op. Cit., hal. 94-95.
25
Scott Burchill & Andrew Linklater, Ibid., hal. 95.
24
9
Mengapa negara yang menjauhkan diri dalam pengejaran power
justru membahayakan keamanan mereka? Carr melihat pada lingkungan
internasional, dimana intesitas hubungan antar negara yang kompleks,
benturan-benturan kepentingan nasional tidak dapat dihindarkan. Apa
tawaran Carr di dalam kondisi tersebut? menurutnya, satu-satunya cara
untuk meminimalkan benturan-benturan tersebut yang terkadang
berakibat perang, adalah memastikan bahwa terdapat keseimbangan
kekuatan antar negara yang nyata dalam sistem internasional. Dengan
kata lain, pencegahan perang terbaik menurut kaum realis adalah
mencegah satu negara memiliki kekuatan yang lebih besar (balance of
power). Berbeda dengan kaum liberal bahwa pencegahan perang terbaik
adalah melalui sistem keamanan kolektif. Namun pandangan tersebut
menurut kaum realis tidak lebih hanya merupakan pandangan bagi
negara-negara pemenang perang, yang kemudian akan melembagakan
status quo.
Kesimpulan
Studi dan teori HI muncul karena kebutuhan; yaitu mencegah
perang. Pada perkembangannya terdapat paradigma utama dalam awal
terbentuk HI yaitu liberal dan diikuti oleh realis. Meskipun kedua
paradigma tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah perang,
namun terdapat logika yang berbeda terkait dalam mencapai tujuannya
itu. Liberal melihat penyebab perang merupakan hasil dari pemerintahan
otokrasi yang haus perang, sehingga dalam pencegahan perang adalah
menanamkan nilai-nilai demokrasi tehadap seluruh negara di dunia dan
juga pembentukan keamanan kolektif.
Pandangan liberalisme berbeda dengan realisme yang menyatakan
bahwa perang merupakan produk ‘alami’ hasil interaksi negara di dalam
lingkungan internasional. Tawaran yang diberikan oleh realisme adalah
perang dapat dicegah apabila terdapat perimbangan kekuasaan (balance of
power) di dalam lingkungan internasional, sehingga tidak ada satu negara
yang dapat mendominasi negara lain.
10
Daftar Pustaka
Baylis, John & Smith, Steve. (2001). “The Globalization of World Politics: An
introduction to International Relations”. New York: Oxford University
Press.
Brown, S. (1994). “The Causes and Prevention of War”. New York: St.
Martin’s Press.
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). “Theories of International
Relations”. New York: ST Martin’s Press Inc.
Carr, E. H., & Cox, M. (1964). The twenty years' crisis, 1919-1939: an
introduction to the study of international relations (Vol. 1122). New
York: Harper & Row.
Erskine Ely, Robert. (1907). “Proceedings of the National Arbitration and Peace
Congress New York, April 14th to 17th”. New York: The National
Arbitration and Peace Congress.
Gillbert Kennan, Gillbert. (1954). “Realities of American Foreign Policy”.
Princeton: Princeton University Press.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). “Introduction to International
Relations”. New York: Oxford University Inc.
K. Booth & S. Smith. (1995). “International Relations Theory Today”.
Cambridge: Polity Press.
Renatus, F. V. (1996). Vegetius: Epitome of military science (Vol. 16).
Liverpool: University Press.
Steans, J., & Pettiford, L. (2001). International relations: Perspectives and
themes. Longman Pub Group.
11
Jurusan Diplomasi Pertahanan
Universitas Pertahanan
Telaah Studi Hubungan Internasional: Kelahiran Ilmu HI,
Paradigma, dan Tawaran Pencegahan Perang
Oleh:
Budi Hartono
“Sivis pacem para pactum [if you want peace,
agree to keep the peace].”
-Andrew Carnegie.1
“Sivis pacem parabellum [if you want peace
prepare for war].”
-Vegetius.2
Studi Hubungan Internasional Sebagai Ilmu
Kutipan di atas secara implisit menjelaskan mengenai ide utama
dari dua paradigma besar di dalam studi Hubungan Internasional (HI),
yaitu liberalisme dan realisme. Meskipun kedua paradigma tersebut
memiliki tujuan yang sama seperti tujuan dasar dibentuknya ilmu HI
yaitu mencegah perang, akan tetapi terdapat perbedaan logika dan cara
dalam
mencapai
tujuannya
itu.
Tulisan
ini
bertujuan
untuk
1
Richard Bartholdt, (1907), “The Interpaliamentary Plan” dalam Robert Erskine
Ely, Proceedings of the National Arbitration and Peace Congress New York, April 14th
to 17th, 1907, New York: The National Arbitration and Peace Congress.
2
Renatus, F. V. (1996). Vegetius: Epitome of military science (Vol. 16). Liverpool
University Press.
1
mendeskripsikan mengenai kelahiran ilmu HI dan paradigma di dalam
ilmunya. paradigma yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya berfokus
pada paradigma liberalisme pasca Perang Dunia I dan realisme dari
pemikiran E. H. Carr. Adapun fokus dari pembahasan mengenai
liberalisme dan realisme dalam tulisan ini adalah bagaimana kedua
paradigma tersebut melihat penyebab perang? Selanjutnya apa tawaran
dari kedua paradigma terkait dengan pencegahan perang?.
Ilmu HI secara tradisional merupakan studi yang berfokus pada
interaksi antar negara. Inti dari studi HI tradisional berkaitan dengan isu
perkembangan negara-negara berdaulat dalam konteks sistem negara
bangsa. Fokus utama studi HI adalah perang dan perdamaian melalui
analisis negara dan interaksinya dengan negara lain di dalam sistem
internasional.3
Sedangkan
pada
perkembangannya,
studi
HI
kontemporer
berfokus bukan hanya pada interaksi antar negara. Studi HI kontemporer
menambahkan subjek lain dalam kajiannya seperti interdepedensi
ekonomi, hak azasi manusia, perusahaan transnasional, organisasi
internasional, lingkungan hidup, dll. Perkembangan tersebut membuat
sebagian penstudi HI memilih nama world politics sebagai nama dari HI
kontemporer.4
Secara garis besar terdapat empat paradigma penting di dalam
keilmuan HI yaitu realisme, liberalisme, masyarakat internasional, dan
ekonomi politik internasional. Namun pada perkembangannya terdapat
pendekatan-pendekatan alternatif yang membuat paradigma HI semakin
beragam.
Pemikiran
HI
tidak
berdiri
sendiri,
melainkan
dibangun
berdasarkan subjek-subjek akademik lain. Subjek akademik yang
membangun studi HI antara lain filsafat, hukum, sejarah, sosiologi, dan
ekonomi. Selain itu pemikiran HI turut menjawab perkembangan historis
dan kontemporer dalam dunia nyata. Fenomena yang dikaji HI meliputi
3
Robert Jackson & Georg Sorensen, (1999), “Introduction to International
Relations”, New York: Oxford University Inc., hal. 44.
4
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 44.
2
perang, perdamaian, dan ekonomi yang telah menggerakkan keilmuan HI
di abad keduapuluh.5
Terdapat tiga perdebatan besar dalam HI sejak pembentukannya di
akhir Perang Dunia I dan sekarang berada dalam tahap keempat; bahkan
kelima. Perdebatan besar pertama antara liberalisme dan realisme; kedua
antara
pendekatan
tradisional
dan
behavioralisme;
ketiga
antara
neorealisme, neoliberalisme dan neomarxisme; keempat antara paradigma
yang telah mapan dan paradigma alternatif pasca positivisme. Namun
seperti yang telah ditekankan di atas, bahwa tulisan ini hanya berfokus
pada liberalisme pasca Perang Dunia I dan kritik realisme atas liberalisme.
Perang Dunia I, Kelahiran HI, dan Liberalisme Sebagai Paradigma
Awal HI
Dorongan awal dari pembentukan studi HI disebabkan oleh
munculnya Perang Dunia I (1914-1918). Tujuan utama HI adalah
mencegah perang dunia (war to end all wars) terulang kembali, mengingat
bahwa pada Perang Dunia I jutaan manusia telah menjadi korban. Citacita untuk tidak mengulang kesalahan tersebut memerlukan usaha dalam
mengatasi masalah peperangan total (total war) antara pasukan dan
penggunaan senjata modern yang dapat mengakibatkan kehancuran total.
Pembenaran atau justifikasi bagi semua kematian dan kehancuran itu
menjadi semakin kurang jelas seiring meningkatnya jumlah korban dan
gagalnya menyingkap sisi rasional dalam perang. 6 Bahkan Gillbert
menyebut bahwa pada situasi Perang Dunia I, “Jutaan orang dibunuh.
Eropa sudah gila. Dunia sudah gila.” 7 Kutipan disamping menjadi
gambaran sejarah kelamnya situasi Eropa pada era Perang Dunia I.
Teori HI pasca Perang Dunia I bertujuan untuk menjawab
pertanyaan utama yaitu “mengapa perang?” Setiap paradigma di dalam
HI memiliki jawaban yang berbeda dalam menjawab pertanyaan tersebut.
5
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 45.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 46.
7
Gillbert Kennan, (1954), “Realities of American Foreign Policy”, Princeton:
Princeton University Press, hal. 257.
6
3
Menurut paradigma liberal, Perang Dunia I merupakan akibat dari
perhitungan yang salah, egois, dan tanpa pikir panjang dari pemimpin
otokrasi misalnya Prusia (sekarang Jerman) dan Austria. Perang Dunia I
membuat pemikir liberal berkesimpulan bahwa perdamaian bukan
merupakan kondisi natural, melainkan harus dikonstruksi.8
Kaum liberal melihat bahwa pemimpin yang tidak demokratis
cenderung mengambil keputusan yang fatal, sehingga menyeret negara ke
dalam kondisi perang. Selain itu, Prancis dan Inggris merespon situasi
tersebut dengan terjun ke dalam konflik melalui sistem aliansi yang
berkaitan satu dengan yang lain. Terjadi sebuah paradoks di dalam sistem
aliansi ini, dimana yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga
perdamaian justru mendorong negara-negara di Eropa ke dalam perang.
Ketika Austria dan Jerman menghadapi Serbia dengan kekuatan
bersenjata, Rusia memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu Serbia,
sehingga Inggris dan Prancis memiliki tanggung jawab yang sama dimana
kedua negara tersebut terikat aliansi dengan Rusia. Pada situasi itu, kaum
liberal melihat bahwa sistem balance of power telah usang dan harus diganti
sehingga bencana perang tidak akan perang terjadi lagi.9
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah mengapa awal studi
HI identik dengan liberalisme? Terdapat beberapa pernyataan terkait
dengan pertanyaan tersebut. Pada periode Perang Dunia I, pada tahun
1917 Amerika Serikat akhirnya terlibat perang. Keterlibatan AS sangat
menentukan hasil perang, dimana intervensi militernya telah menjamin
kemenangan pihak sekutu (Prancis, Inggris, Italia, Rusia) dan kekalahan
bagi Jerman, Austria, dan Turki.
Ketika itu, AS yang dipimpin oleh Presiden Woodrow Wilson
memiliki misi utama yaitu membawa nilai-nilai demokratis liberal ke
Eropa dan seluruh dunia.10 Wilson melihat dengan membawa nilai-nilai
demokrasi, perang dapat dicegah, sehingga cara berpikir liberal memiliki
8
Tim Dunne, “Liberalism”, dalam John Baylis & Steve Smith, (2001), “The
Globalization of World Politics: An introduction to International Relations”, New York:
Oxford University Press, hal, 191.
9
Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 48.
10
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 48.
4
dukungan kuat dalam sistem internasional pasca Perang Dunia I. Pada
perkembangannya para pemikir liberal memiliki gagasan bagaimana
menghindari bencana perang melalui reformasi sistem internasional dan
reformasi dari politik domestik negara yang sebelumnya menganut sistem
otokrasi.
Presiden Wilson memiliki visi atas dunia yang aman bagi
demokrasi. Hal tersebut dirumuskan dalam program yang disampaikan
pada pidato Kongres AS pada tahun 1918. Wilson menyatakan bahwa, “A
general association of nations must be formed.” 11Gagasan Wilson tersebut
mempengaruhi
permusuhan
Konferensi
dan
Perdamaian
membangun
tatanan
Paris
yang
internasional
mengakhiri
baru
yaitu
internasionalisme liberal. Adapun program utama Wilson menghendaki
adanya pengakhiran dari diplomasi rahasia, dimana kesepakatankesepakatan yang ada harus diketahui publik. 12 Pernyataan lainnya
seperti kebebasan navigasi di laut, pembebasan hambatan-hambatan di
bidang ekonomi, pengurangan senjata (arms control) hingga ke titik
rendah, serta penyelesaian klaim kolonial. 13 Program-program di atas
menjadi dasar terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919 sebagai
wadah untuk mencapai tujuan Wilson yaitu menjaga perdamaian.
Terdapat
dua
pernyataan
Wilson
terkait
dalam
menjaga
perdamaian. Pertama, pernyataan mengenai demokrasi dan hak dalam
menentukan nasib sendiri (berdaulat). Asumsi dalam pernyataan ini
adalah negara yang menganut sistem demokrasi tidak akan berperang
dengan negara yang menganut sistem yang sama (demokrasi).14 Logika
Wilson bahwa pertumbuhan demokrasi liberal di Eropa akan mengakhiri
pemerintahan otokratis yang gemar berperang. Pernyataan kedua Wilson
berkaitan dengan pembentukan suatu organisasi internasional yang
mewadahi hubungan antar negara pada suatu landasan institusi, dimana
11
John
Baylis & Steve Smith, Loc. Cit., hal. 191.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 49.
13
J. Vasquez, (1995), “The Post-Positivist Debate”, dalam K. Booth & S. Smith,
“International Relations Theory Today”, Cambridge: Polity Press, hal. 217-40.
14
S. Brown, (1994), “The Causes and Prevention of War”, New York: St. Martin’s
Press, hal. 24.
12
5
interaksi tiap negara diatur dalam hukum internasional. Jelas bahwa
kaum liberal melihat suatu institusi internasional dapat memajukan
kerjasama yang damai antar negara.
Ide kaum liberal dapat dirangkum sebagai berikut. Kaum liberal
meyakini bahwa organisasi internasional dapat mengakhiri perang dan
mencapai perdamaian. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan elemen
politik domestik suatu negara seperti kementerian luar negeri, angkatan
bersenjata, dll. Melainkan melalui organisasi internasional setidaknya sifat
negara dapat “dijinakkan”.
Kaum liberal melihat dalam lingkungan internasional dimana tidak
ada otoritas yang mengatur setiap negara dalam berinteraksi dianalogikan
sebagai “hutan”, sehingga untuk tetap survive, makhluk-makhluk (negara)
dapat melakukan tindakan apapun untuk mencapai tujuan. Sementara
dengan pembentukan LBB, makhluk-makhluk tersebut dimasukkan
dalam kandang dengan pengendalian organisasi internasional. Dapat
dikatakan bahwa pembentukan organisasi internasional untuk mencapai
perdamaian, berdasarkan pada pemikiran Immanuel Kant di dalam
karyanya yang berjudul “Perpectual Peace”.
Optimisme kaum liberal atas dunia yang lebih damai merupakan
kekuatan dari paradigma liberal. Akan tetapi paradigma tersebut justru
diserang oleh paradigma lain yaitu realisme. Bahkan proyeksi dari kaum
liberal hanya dikatakan sebagai omong kosong belaka. Menjadi
pertanyaan besar bahwa mengapa pandangan yang memiliki visi ideal
seperti liberalisme dalam mencegah perang dengan berupaya untuk
meningkatkan kerjasama antar negara dan pembentukan suatu organisasi
internasional justru diserang habis-habisan oleh para pengkritiknya? “The
Twenty Years Crisis” karya E. H. Carr dapat menjawab pertanyaan
tersebut.
6
‘The Twenty Year’s Crisis’: Kritik E. H. Carr atas Liberalisme
Setelah gagalnya pemikiran kaum liberal di tahun 1930an dalam
mencegah perang, akademisi HI mulai merujuk pemikiran kaum realis
klasik. Pemikir realis klasik antara lain Thucydides, Machiavelli, dan
Hobbes memiliki inti kata di dalam karya mereka yaitu power. Melalui
pemikir-pemikir klasik tersebut, para pemikir HI mulai membangun
logikanya dalam melihat dunia.
The Twenty Year’s Crisis (1939) merupakan karya E. H. Carr yang
bertujuan untuk mengkritik kebijakan negara pemenang Perang Dunia I
(Perjanjian Versailles dan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa). Buku ini
merupakan kritikan terhadap paradigma liberal mengenai gagasan
keamanan kolektif melalui Liga Bangsa-Bangsa. Carr berpendapat bahwa
para pemikir liberal HI telah salah menilai fakta dan salah memahami
sifat dasar dari hubungan internasional.15 Kaum liberal salah memahami
bahwa hubungan semacam itu dapat didasarkan pada persamaan
kepentingan antara negara-negara. Carr justru melihat sebaliknya –
terdapat
konflik
kepentingannya,
antara
negara
negara,
berupaya
sehingga
untuk
untuk
mencapai
mempertahankan
dan
memelihara posisi khususnya (status quo). Secara garis besar, hubungan
internasional adalah mengenai perjuangan negara untuk mencapai
kepentingan yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Dari
argumen yang ada, Carr menamakan paradigma liberal sebagai ‘utopia’
sebagai lawan dari posisinya yang dia namakan sebagai ‘realis’.16
Carr melihat bahwa realisme merupakan sebuah koreksi yang
diperlukan atas maraknya utopianisme yang telah mengabaikan power
dalam politik internasional.17 Akar penyebab konflik dan perang tidak
akan pernah dapat dipahami apabila analisa tidak berdasarkan distribusi
kekuasaan di dalam sistem internasional. Carr menilai kaum liberal terlalu
15
Robert Jackson & Georg Sorensen, Op. Cit., hal. 54.
Robert Jackson & Georg Sorensen, Ibid., hal. 54.
17
Carr, E. H., & Cox, M. (1964). The twenty years' crisis, 1919-1939: an introduction
to the study of international relations (Vol. 1122). New York: Harper & Row
, hal. 14.
16
7
memaksa untuk berupaya menghapuskan perang, sehingga mereka
(kaum liberal) mengabaikan apa alasan-alasan yang mendasarinya.18
Kesalahan fatal kaum liberal terlihat ketika mereka memasukkan
kepentingan umum ke dalam kepentingan negara. Kaum liberal memiliki
ide bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang sama terkait
perdamaian, dan negara yang bersikap agresif dianggap tidak bermoral
dan rasional.19 Carr melihat argumen dari kaum liberal tersebut tidak
lebih dari sebuah ekspresi dari negara pemenang perang dengan menjaga
kepentingan pribadi demi mempertahankan status quo.
Sistem pasca perang (Perjanjian Versailles dan Liga Bangsa-Bangsa)
diciptakan aktor pemenang perang (AS, Prancis, Inggris) yang digunakan
untuk memperoleh keuntungan dengan mengesampingkan kekuatan
negara revisionis20. Carr berpendapat utopia (liberal) membentuk sistem
sebagai sarana mencapai kepentingan pribadi dan diselewengkan ke
dalam status quo – suatu selubung kepentingan pribadi mereka yang
memiliki hak istimewa.21 Situasi tersebut tentu tidak dapat diterima oleh
negara kalah perang seperti Jerman yang dirugikan akibat Perjanjian
Versailles pada tahun 1918.
Selain itu, Carr juga menyangkal ide kaum liberal bahwa
perdamaian internasional dapat dicapai dengan menerapkan pandangan
mereka di lingkungan internasional. Penolakan Carr terhadap ide ini
disebabkan karena prinsip yang bersifat universal seperti perdamaian,
keselarasan kepentingan, keamanan kolektif, perdagangan bebas bukan
suatu prinsip, melainkan hanya berupa refleksi atas kepentingan nasional
di waktu tertentu. 22 Sehingga prinsip yang terlihat universal yang
merupakan ide utama kaum liberal, tidak lebih dari kepentingan pribadi
dan elit penguasa dari negara pemenang perang.
18
Scott Burchill & Andrew Linklater, (1996), “Theories of International Relations”,
New York: ST Martin’s Press Inc., hal. 92.
19
Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 67.
20
Perilaku negara yang ingin merubah sistem.
21
Scott Burchill & Andrew Linklater, Op. Cit., hal. 93.
22
Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 111.
8
Carr memberikan contoh ekonomi laissez-faire untuk membuktikan
gagasan universal tidak lain hanya gagasan sebagian pihak yang
diuntungkan. Laissez-faire merupakan ide para elit penguasa di dalam
negara yang memiliki kapabilitas kuat dalam bidang ekonomi, yang
mengklaim bahwa apa yang baik bagi mereka terbukti menguntungkan
bagi semua. Di abad ke-19, para pengusaha Inggris menemukan bahwa
laissez-faire yang meningkatkan kemakmuran mereka, juga dapat
meningkatkan kemakmuran Inggris secara keseluruhan.23
Kemudian, negawaran Inggris mendapati bahwa laissez-faire
meningkatkan kemakmuran Inggris, meyakini dengan menerapkan
laissez-faire, juga dapat meningkatkan dunia secara keseluruhan.24 Carr
menilai bahwa perdagangan bebas merupakan kebijakan tepat bagi
Inggris yang secara industri memang dominan, namun tidak untuk
negara-negara yang justru kemampuan industrinya lemah. Laissez-faire
dalam hubungan internasional merupakan “surga” bagi negara-negara
yang memiliki kemampuan kompetisi ekonomi kuat. Negara yang lemah
secara ekonomi, membentuk undang-undang proteksi dan bea cukai
untuk mengimbangi kekuatan dari negara yang memiliki perekonomian
yang lebih dominan. Dari penjelasan di atas, terlihat tidak ada keselarasan
mendasar antara kepentingan negara-negara, yang ada justru kekuatan
bersifat asimetris.
Disamping ide mengenai kepentingan bersama, kaum liberal turut
menghilangkan power sebagai pertimbangan negara di dalam sistem
internasional. Di sisi lain, para kaum realis dimana Carr salah satunya,
percaya bahwa pencarian power merupakan dorongan alami yang
memiliki resiko kegagalan apabila diabaikan oleh negara. Argumen Carr
adalah negara yang menjauhkan diri dari pencarian pursuit of power
sebagai
pegangan
prinsip
pada
dasarnya
justru
membahayakan
keamanan mereka (negara) sendiri.25
23
Carr, E. H., & Cox, M, Op. Cit., hal. 103.
Scott Burchill & Andrew Linklater, Op. Cit., hal. 94-95.
25
Scott Burchill & Andrew Linklater, Ibid., hal. 95.
24
9
Mengapa negara yang menjauhkan diri dalam pengejaran power
justru membahayakan keamanan mereka? Carr melihat pada lingkungan
internasional, dimana intesitas hubungan antar negara yang kompleks,
benturan-benturan kepentingan nasional tidak dapat dihindarkan. Apa
tawaran Carr di dalam kondisi tersebut? menurutnya, satu-satunya cara
untuk meminimalkan benturan-benturan tersebut yang terkadang
berakibat perang, adalah memastikan bahwa terdapat keseimbangan
kekuatan antar negara yang nyata dalam sistem internasional. Dengan
kata lain, pencegahan perang terbaik menurut kaum realis adalah
mencegah satu negara memiliki kekuatan yang lebih besar (balance of
power). Berbeda dengan kaum liberal bahwa pencegahan perang terbaik
adalah melalui sistem keamanan kolektif. Namun pandangan tersebut
menurut kaum realis tidak lebih hanya merupakan pandangan bagi
negara-negara pemenang perang, yang kemudian akan melembagakan
status quo.
Kesimpulan
Studi dan teori HI muncul karena kebutuhan; yaitu mencegah
perang. Pada perkembangannya terdapat paradigma utama dalam awal
terbentuk HI yaitu liberal dan diikuti oleh realis. Meskipun kedua
paradigma tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah perang,
namun terdapat logika yang berbeda terkait dalam mencapai tujuannya
itu. Liberal melihat penyebab perang merupakan hasil dari pemerintahan
otokrasi yang haus perang, sehingga dalam pencegahan perang adalah
menanamkan nilai-nilai demokrasi tehadap seluruh negara di dunia dan
juga pembentukan keamanan kolektif.
Pandangan liberalisme berbeda dengan realisme yang menyatakan
bahwa perang merupakan produk ‘alami’ hasil interaksi negara di dalam
lingkungan internasional. Tawaran yang diberikan oleh realisme adalah
perang dapat dicegah apabila terdapat perimbangan kekuasaan (balance of
power) di dalam lingkungan internasional, sehingga tidak ada satu negara
yang dapat mendominasi negara lain.
10
Daftar Pustaka
Baylis, John & Smith, Steve. (2001). “The Globalization of World Politics: An
introduction to International Relations”. New York: Oxford University
Press.
Brown, S. (1994). “The Causes and Prevention of War”. New York: St.
Martin’s Press.
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). “Theories of International
Relations”. New York: ST Martin’s Press Inc.
Carr, E. H., & Cox, M. (1964). The twenty years' crisis, 1919-1939: an
introduction to the study of international relations (Vol. 1122). New
York: Harper & Row.
Erskine Ely, Robert. (1907). “Proceedings of the National Arbitration and Peace
Congress New York, April 14th to 17th”. New York: The National
Arbitration and Peace Congress.
Gillbert Kennan, Gillbert. (1954). “Realities of American Foreign Policy”.
Princeton: Princeton University Press.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). “Introduction to International
Relations”. New York: Oxford University Inc.
K. Booth & S. Smith. (1995). “International Relations Theory Today”.
Cambridge: Polity Press.
Renatus, F. V. (1996). Vegetius: Epitome of military science (Vol. 16).
Liverpool: University Press.
Steans, J., & Pettiford, L. (2001). International relations: Perspectives and
themes. Longman Pub Group.
11