UU RS menjamin kepastian hukum penyeleng

UU RS menjamin kepastian hukum penyelenggara dan
pengguna Rumah Sakit
Era baru dunia rumah sakit telah tiba. Setelah sempat mengendap selama tiga tahun, rancangan
tentang rumah sakit yang sudah siap sejak tahun 2006 dan diserahkan kepada Panitia Khusus
RUU di Komisi IX DPR RI untuk dibahas pada 2008, akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat RI menjadi Undang-Undang Rumah Sakit, Senin (28/9). Kini, Untuk pertama kalinya
Indonesia mempunyai Undang-Undang Rumah Sakit. Sebuah undang - undang yang ditujukan
untuk peningkatan pelayanan publik.
Yang menarik meski baru ditetapkan Senin (28/9) lalu ternyata beberapa rumah sakit di Bali
seperti RSUP Sanglah, dan beberapa rumah sakit lainnya mengaku siap untuk menjalani
peraturan yang tercantum dalam UU RS tersebut. Salah satunya dalam hal kesiapan penentuan
pola tarif terutama kelas III yang nantinya akan ditetapkan oleh Pemerintah.
Undang-undang tentang rumah sakit yang disahkan DPR RI pada Senin (28/9), antara lain,
mengatur pengelolaan dan penyelenggaraan rumah sakit, termasuk pola tarif rumah sakit dan
penetapan besaran tarif perawatan kelas tiga di rumah sakit. Seperti yang dikatakan oleh Ketua
Pansus RUU Rumah Sakit Charles J Mesang di Jakarta, "Pola tarif akan diatur pemerintah, akan
ada standar minimumnya. Untuk kelas tiga, besaran tarifnya ditetapkan oleh pemerintah.
Undang-undang, juga mewajibkan tenaga kesehatan memberikan informasi mengenai jenis
tindakan pelayanan kesehatan yang diberikan beserta efek dan besaran biayanya" ujarnya.
Charles menjelaskan, pengaturan pola tarif dan berbagai hal terkait pengelolaan dan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit ditujukan untuk memberikan kepastian

hukum dan perlindungan kepada pasien dan pengelola rumah sakit. "Supaya ada kepastian
hukum bagi pasien dan pengelola rumah sakit. Dan harapannya, ke depan pelayanan rumah sakit
bisa lebih baik," katanya.
Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari mengatakan, "dengan disahkannya undang-undang
rumah sakit, ini adalah terobosan baru dimana pemerintah bisa mengatur dan dapat lebih
mengawasi seluruh rumah sakit termasuk rumah sakit swasta demi perlindungan kepada
masyarakat. Dalam perundangan tersebut diatur hak dan kewajiban rumah sakit serta pasien.
Kalau terjadi pelanggaran akan ada sanksinya," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah
Supari, kepada wartawan di Jakarta.
Lebih rinci dalam perundangan itu disebutkan, pasien berhak memperoleh layanan yang
manusiawai, adil, jujur dan tanpa diskriminasi. Pasien juga berhak mengajukan pengaduan atas
kualitas pelayanan yang didapatkan. Bahkan, menggugat dan menuntut rumah sakit apabila
rumah sakit diduga memberikan pelayanan tidak sesuai standar, baik secara pidana maupun
perdata. Termasuk, mengeluhkan pelayanan ruamh sakit yang tidak sesuai standar pelayanan
melalui media cetak dan elektronik.
Dijelaskannya, undang-undang baru tentang rumah sakit itu antara lain mengatur tentang
persyaratan penyelenggaraan rumah sakit, pengklasifikasian rumah sakit, masalah perijinan,
kewajiban dan hak pasien dalam hubungan hukum dengan rumah sakit serta kewajiban dan hak

rumah sakit. "Dan terpenting, ada aturan tentang perlindungan bagi pasien dan pengelola rumah

sakit," tegasnya.
Terdapat 20 kewajiban rumah sakit dan diantaranya ditegaskan rumah sakit melaksanakan fungsi
sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin,
pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis , pelayanan korban bencana alam,
kejadian luar biasa atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Kewajiban rumah sakit lainnya mulai dari memberikan informasi yang benar tentang rumah sakit
kepada pasien, menghormati hak pasien dan melindungi para pekerja kesehatan di rumah sakit
tersebut. Pelanggaran atas seluruh kewajiban tersebut dikenakan sanksi administratif mulai dari
teguran, teguran tertulis atau denda hingga pencabutan izin rumah sakit.
Dalam perundangan tersebut, menteri menetapkan pola tarif nasional untuk rumah sakit
pemerintah. Pola tarif nasional menjadi pedoman dasar yang berlaku secara nasional dalam
pengaturan besaran tarif rumah sakit.
Menkes menambahkan undang-undang juga mengatur pengelolaan, penyelenggaraan, akreditasi,
pembentukan jaringan dan pelaksanaan sistem rujukan di rumah sakit serta pola tarif dan
pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Disebutkannya, menurut undang-undang pemerintah bertanggungjawab menanggung
pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi fakir miskin dan kurang mampu. "Dan kalau ada
pelanggaran, akan ada sanksi pidananya baik pidana penjara maupun denda," kata Siti Fadilah.
Pendapat senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Sjafii Achmad,
pengaturan pola tarif akan dilakukan dengan memerhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat

dan mutu pelayanan rumah sakit. "Tarif ditetapkan berdasarkan unit cost pembiayaan dalam satu
pola tarif nasional. Ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dalam peraturan pelaksanaan," katanya.
Mengenai hal tersebut Direktur Utama RSUP Sanglah, Dr. I Gusti Lanang M. Rudiartha, MHA
mengatakan selama ini pola penetapan tariff terutama kelas III di RSUP Sanglah dari awal
memang selalu melalui persetujuan pemerintah terlebih dahulu. "Sebagai rumah sakit rujukan
pusat dalam menaikkan tariff kelas III kami usulkan proposal ke pemerintah dalam hal ini Dirjen
atas nama Menkes Jika disetujui baru direalisasikan," ujarnya saat dikonfirmasi terkait terbitnya
UU Rumah Sakit.
Dirut RSUP Sanglah kembali menambahkan dengan adanya peraturan penetapan tarif kelas III
oleh pemerintah maka akan lebih menegaskan lagi apa yang harus dilakukan oleh pihak RS
dalam hal penentuan harga. "Selama ini kami juga tidak pernah menaikkan tariff rumah sakit
tanpa persetujuan pemerintah dalah hal ini Menteri Kesehatan," imbuhnya.
"Untuk penetapan tariff kelas II hingga VIP Dr. Lanang menjelaskan pola tarifnya ditentuka oleh
Depkes dan Menteri Keuangan. Hitung¬hitungannya sesuai dengan kemampuan masyarakat dan
memperhatikan tariff rumah sakit di sekitar atau pesaing kita. Sebagai Rumah Sakit BLU dalam
penentuan tariff tidak ada kewajiban untuk mencari untung," jelasnya.
Berkenaan dengan hal itu, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
Pusat Adib Yahya mengatakan, pengesahan undang-undang tentang rumah sakit tersebut akan
memperkuat peraturan tentang penyelenggaraan rumah sakit yang selama ini sudah ada. "Selama
ini kan sudah diatur juga, cuma sekarang ini aturannya lebih kuat karena berupa undang-undang.


Implikasinya terhadap rumah sakit apa saja saya belum bisa memberi penjelasan secara detail
karena belum baca undang-undangnya," katanya.
Ia menambahkan, pola tarif rumah sakit sebelumnya ditetapkan berdasar unit pembiayaan
dengan mempertimbangkan kemampuan finansial rumah sakit dan masyarakat serta jenis
tindakan pelayanan yang diberikan. "Tentang aturan pola tarif dalam undang-undang rumah sakit
saya belum tahu karena belum baca undang-undangnya, jadi belum tahu juga implikasinya ke
rumah sakit nanti seperti apa," demikian Adib Yahya.
Penghapusan klasifikasi kelas pelayanan sebagai implementasi pemberlakuan Undang Undang
(UU) Rumah Sakit tidak akan menghilangkan pendapatan rumah sakit milik pemerintah hingga
di tingkat daerah. Sebab, meski hanya memiliki klasifikasi pelayanan kelas III, rumah sakit
pemerintah tidak akan rugi, mengingat pasien yang dirawati dijamin melalui program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Melalui program Jamkesmas ini, segala bentuk pelayanan
yang dilakukan akan ditanggung oleh masing- masing pemerintah. Artinya klaim rumah sakit
pasti dibayar. Dihapuskannya pelayanan rumah sakit kelas I dan II semata- mata untuk memberi
kepastian hukum pelayanan kesehatan yang menjadi hak dasar masyarakat. Rumah sakit
pemerintah -hingga di tingkat daerah sekalipun-- masih memiliki kesempatan untuk
meningkatkan pendapatannya melalui pengadaan fasilitas tambahan yang mekanismenya diatur
badan layanan umum (BLU), demikian beberapa pendapat yang disampaikan pemerhati
kesehatan.

karena pelaksanaan klasifikasi kelas sebagaimana diatur dalam UU Rumah Sakit ini masih harus
menunggu aturan pelaksananya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), maka dengan demikian pihak
pengelola rumah sakit pemerintah, masih memiliki waktu untuk mempersiapkan langkahlangkah yang harus diambil dengan penghapusan klasifikasi kelas ini. Bahkan penghapusan
klasifikasi semacam ini sudah diterapkan di sejumlah negara maju, seperti Inggris dan Australia.
Hal ini semata - mata merupakan bagian dari upaya untuk meningkatan kualitas pelayanan
kesehatan.
Dengan adanya peraturan mengenai penetapan tarif yang ditentukan oleh pemerintah, maka
diyakini ke depannya akan berpengaruh positif terhadap standarisasi pelayanan dalam jangka
panjang, peningkatan mutu pelayanan, perlindungan terhadap konsumen, serta tidak ada lagi
persaingan tidak sehat antara rumah sakit
Undang- undang ini harusnya disikapi sebagai semangat untuk meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap pasien, tanpa membedakan kelas. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan pelayanan
kesehatan yang sama. Undang-undang ini sangat positif karena memberi kepastian hukum
masyarakat dalam hal hak mendapatkan pelayanan kesehatan.