FAKTOR FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN PENERA

MAKALAH
MANAGEMENT STRATEGI

FAKTOR - FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN
PENERAPAN BALANCE SCORECARD (BSC) di
PERUSAHAAN

Dosen pengampu: Winanto Nawarcono, SE.,MM

Disusun oleh
Priscilla Sitompul
NIM: MA/15/1698

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
NUSA MEGARKENCANA
YOGYAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Dengan semakin majunya perekonomian di Indonesia, dan semakin
bertambahnya perusahaan - perusahaan di Indonesia yang berskala
national maupun international. Maka dibutuhkan manajemen strategi
yang tepat pada perusahaan - perusahaan saat ini.
Salah satu metode management strategi yang berhasil diterapkan di
dalam perusahaan adalah Balance scorecard (BSC), dimana BSC
adalah salah satu alat manajemen yang telah terbukti telah membantu banyak
perusahaan dalam mengimplementasikan strategi bisnisnya.
Melalui metode Balance scorecard ini, perusahaan dapat melakukan evaluasi
baik dari dalam perusahaan, maupun dari luar perusahaan. Dengan hasil
evaluasi, yang dapat memperbaiki dan memajukan management perusahaan.
Dari segi eksternal, misal: pelanggan. Pelanggan dapat memberikan masukan
atau saran kepada perusahaan, dan dampak perusahaan terhadap lingkungan
sekitar.
Dari segi internal, misal: penilaian karyawan terhadap manajemen perusahaan,
hak yang didapatkan, fasilitas dan keluhan - keluhan dari internal perusahaan.
Tanpa penerapan Balance scorecard (BSC) pada perusahaan, maka akan sulit
untuk melakukan evaluasi sistem manajemen perusahaan dan penataan
manajemen sehingga sulit untuk menganalisis manajemen strategi perusahaan

untuk tahun kedepan.
Dikarenakan faktor - faktor tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk
menulis makalah yang berjudul “Faktor - Faktor kunci keberhasilan penerapan
balance scorecard (BSC) pada perusahaan”.

Untuk menambah pengetahuan penulis dan juga untuk tugas makalah mata
kuliah management strategi.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang pembahasan makalah ini, penulis akhirnya
berinisiatif membahas beberapa persoalan dalam tema ini, yaitu :
1. Asal mula “Balance scorecard”
2. Pengertian Balance scorecard
3. Konsep Balance Scorecard
4. 4 hal yang menjadi perhatian pimpinan organisasi jika ingin mendapatkan
hasil yang lebih maksimal atas implementasi BSC
5. Balance scorecard ditinjau dari manajemen strategi perusahaan

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Dengan pemilihan tema dan penyusunan makalah ini diharapkan para pembaca
dan penulis sendiri mampu memahami faktor - faktor kunci keberhasilan
penerapan Balance scorecard pada perusahaan. Sekaligus, makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas kuliah penulis dalam jurusannya di bidang manajemen.

BAB II
PEMBAHASAN
FAKTOR - FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN PENERAPAN
BALANCE SCORECARD (BSC)
I. ASAL MULA BALANCE SCORECARD (BSC)
Konsep Balanced Scorecard selanjutnya akan disingkat BSC. BSC adalah
pendekatan terhadap strategi manajemen yang dikembangkan oleh Drs.Robert
Kaplan (Harvard Business School) and David Norton pada awal tahun 1990.
BSC berasal dari dua kata yaitu balanced (berimbang) dan scorecard (kartu
skor). Balanced (berimbang) berarti adanya keseimbangan antara performance
keuangan dan non-keuangan, performance jangka pendek dan performance
jangka panjang, antara performance yang bersifat internal dan performance
yang bersifat eksternal. Sedangkan scorecard (kartu skor) yaitu kartu yang
digunakan untuk mencatat skor performance seseorang. Kartu skor juga dapat
digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh seseorang di

masa depan.
Mula-mula BSC digunakan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja
eksekutif. Awal penggunaannya kinerja eksekutif diukur hanya dari segi
keuangan. Kemudian berkembang menjadi luas yaitu empat perspektif, yang
kemudian digunakan untuk mengukur kinerja organisasi secara utuh. Empat
perspektif tersebut yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta
pembelajaran dan pertumbuhan.

II. PENGERTIAN BALANCE SCORECARD (BSC)
Balanced scorecard secara singkat adalah suatu sistem manajemen untuk
mengelola implementasi strategi, mengukur kinerja secara utuh,
mengkomunikasikan visi, strategi dan sasaran kepada stakeholders. Kata
balanced dalam balanced scorecard merujuk pada konsep keseimbangan antara

berbagai perspektif, ganga waktu (pendek dan panjang), lingkup perhatian
(intern dan ekstern). Kata scorecard mengacu pada rencana kinerja organisasi
dan bagian-bagiannya serta ukurannya secara kuantitatif.
Balance Scorecard adalah suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitasaktivitas operasional suatu perusahaan dalam skala yang lebih kecil sejalan
dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan strategi.
BSC adalah suatu mekanisme sistem manajemen yang mampu menerjemahkan

visi dan strategi organisasi ke dalam tindakan nyata di lapangan. BSC adalah
salah satu alat manajemen yang telah terbukti telah membantu banyak
perusahaan dalam mengimplementasikan strategi bisnisnya.

III. KONSEP BALANCE SCORECARD

BSC adalah suatu metodologi pengukuran kinerja organisasi yang
dikembangkan oleh Kaplan dan Norton pada tahun 1992. BSC kemudian
dikembangkan sebagai alat perencanaan strategi untuk menjabarkan visi dan
misi organisasi ke dalam beberapa strategi yang lebih jelas dan mudah
dijalankan (actionable). Sebagai alat manajemen strategi, BSC memiliki
beberapa kegunaan seperti (1) membantu pimpinan organisasi dalam
melakukan transformasi kelembagaan melalui penjabaran visi, misi dan nilainilai organisasi, (2) merupakan suatu kerangka yang digunakan untuk
menetapkan indikator kinerja utama, (3) membantu pimpinan organisasi
untuk melaksanakan strategi yang dijalankan secara terstruktur dan
menyeluruh.

Pada dasarnya, BSC memiliki empat perspektif dalam mengukur kinerja
organisasi yaitu: (1) financial perspective; yaitu kinerja organisasi dinilai dari
perspektif investor/pemilik modal (sharehoders), (2) customer perspective;

suatu area pengukuran dimana kesuksesan organisasi dilihat dari sudut
pandang pelanggan/mitra kerja sebagai pengguna barang dan jasa, (3)
internal process; suatu fokus pengukuran yang dilihat dari segi kemampuan
organisasi dalam menciptakan prosedur kerja yang lebih efisien dan efektif
agar mampu menciptakan nilai tambah dan kualitas produk/layanan, dan (4)
learning and growth; suatu perspektif dari sudut pandang pegawai yaitu

pengukuran tentang bagaimana organisasi melakukan peningkatan
kemampuan dan kepuasan pegawai agar lebih produktif, inovatif dan
memiliki komitmen yang tinggi kepada organisasi.

Setelah menetapkan strategi yang tepat, proses sel`anjutnya adalah membuat
peta strategi organisasi. Peta strategi merupakan visualisasi kebijakan yang
integral mulai dari lagging indicator sampai kepada leading indicator. Yang
dimaksud dengan lagging indicator ialah financial perspektif sedangkan
leading indicator yaitu learning and growth, internal process dan customer
perspective. Leading indicator terdiri dari beberapa fokus pengukuran yang
menjadi pemicu/penyebab tercapainya tujuan akhir jangka panting
organisasi. Sementara lagging indicator adalah indikator capaian jangka
panjang atas investasi yang dilakukan. Strategi yang tepat dan terpadu

normalny`a disertai dengan asumsi logis dalam strategi yang dijalankan.
Asumsi yang biasa dipakai ialah adanya hubungan sebab akibat atas strategi
yang satu dengan yang lain sehingga investasi yang dilakukan pada satu
dimensi akan menpengaruhi kesuksesan/kinerja pada elemen yang lain.
Dengan demikian, para manajer perlu menghubungkan strategi menjadi satu
rangkaian yang logis untuk mencapai manfaat (value) jangka panjang yang
diharapkan.

Kemudian, langkah selajutnya adalah proses cascading dan alignment.
Cascading adalah penjabaran strategi korporasi yang diturunkan kepada unitunit kerja yang lebih rendah. Biasanya proses ini dilakukan dengan top-down
approachuntuk menyelaraskan strategi yang akan dilakukan para unit kerja
sesuai dengan level dan kewenangannya. Sedangkan alignment adalah proses
penyelarasan strategi dalam satu unit kerja agar lebih terarah dan menyatu
untuk mencapai tujuan suatu entitas.

Langkah berikutnya dalam implementasi BSC adalah menetapkan indikator
kinerja utama (IKU) (key performance indicators) untuk setiap bidang
pengukuran. Setiap IKU mempunyai target yang akan dicapai back oleh
individu, seksi/bagian maupun suatu unit kerja yang berguna sebagai bahan
evaluasi dan penilaian kinerja. Biasanya pelaporan dan monitoring kinerja


dilakukan secara elektronik seperti e-performance untuk kecepatan dan
ketepatan informasi yang diperlukan oleh pimpinan organisasi dalam
mengambil keputusan (decision-making).

4 hal yang menjadi perhatian pimpinan organisasi jika
ingin mendapatkan hasil yang lebih maksimal atas
implementasi BSC
1. Kepemimpinan (Leaderships)

Kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi BSC dalam
mencapai perubahan, perbaikan kinerja dan kejujuran dalam pelaporan
kinerja. Kesuksesan suatu alat manajemen sangat ditentukan oleh bagaimana
pemimpin organisasi menjalankan perannya sebagai perintis, pengarah dan
pendorong strategi yang akan dilaksanakan. Kepemimpinan yang bersifat
konsultatif yang mengakomodasi setiap gagasan yang berguna bagi
perbaikan sistem sangat cocok dalam implementasi BSC. Meminjam istilah
Stephen R. Covey dalam bukunya ‘the 8 habit’ (Covey 2005), pemimpin
perlu memiliki sifat ethos, pathos dan logos. Ethos artinya sifat seorang
pemimpin yang dapat diteladani dan dapat dipercaya melalui integritas dan

kompetensinya, pathos adalah seorang pemimpin yang berusaha memahami
lebih dahulu (empati) lalu kemudian logos yang berarti menyampaikan logika
dan pemikirannya yang mampu meyakinkan atau mempengaruhi orang lain.

Kemudian, kepemimpinan yang sesuai dengan BSC adalah suatu tipe
kepemimpinan dengan pendelegasian kewenangan yang lebih luas, jelas,
trekker dan proporsional kepada para pejabat yang bertanggung jawab
terhadap pencapaian target. Pemberian kewenangan dilengkapi dengan
kewenangan untuk mengelola sumber daya yang tersedia sesuai dengan
kapasitasnya. Moynihan dan Pandey (2005) menemukan bahwa pengambilan
keputusan yang terpusat berdampak negatif terhadap pengelolaan kinerja

organisasi. Para manajer yang mempunyai kewenangan yang lebih fleksibel
menunjukkan tingkat kinerja yang lebih tinggi daripada manajer yang tidak
mempunyai kewenangan dalam melaksanakan kebijaksanaannya.

2. Partisipasi dan keterlibatan para pegawai

Para pegawai adalah pihak yang terlibat langsung dalam melaksanakan
rutinitas organisasi sehingga keterlibatan mereka sangat krusial dalam

implementasi BSC. Ada beberapa dampak positif keterlibatan dan partisipasi
pegawai dalam pelaksanaan dan evaluasi BSC. Pertama, keterlibatan pegawai
akan meningkatkan kepemilikan (buy-in) atas sistem yang dipakai. Kedua,
proses implementasi akan lebih mudah dipahami oleh seluruh elemen
organisasi. Ketiga, keterlibatan pegawai sangat penting dalam penetapan
ukuran dan target yang akan dicapai. Keempat, partisipasi dan keterlibatan
pegawai akan mengurangi perilaku yang menyimpang dalam penyusunan dan
pelaporan kinerja.

Wouter dan Wilderom (2008) mengingatkan bahwa sistem pengukuran
kinerja seyogyanya tidak hanya dibangun untuk melayani kepentingan
manajer sebagai alat kontrol perilaku pegawai namun hendaknya juga
disusun untuk mendukung pegawai agar dapat berkinerja lebih baik.
Beberapa hal yang dapat dilaksanakan untuk melibatkan pegawai antara lain
memberikan masukan (feedback), indentifikasi masalah, memberikan
kesempatan untuk memperbaiki sistem dan membantu mengerjakan prioritas
utama. Dengan menyediakan kesempatan ‘bersuara’ atas sistem yang
dibangun akan mampu memberikan dampak yang positif dalam pencapaian
hasil yang diharapkan. Hal senada disampaikan oleh Folz et.al (dalam Goh,
2012) yang menyarankan pentingnya keterlibatan para pemangku

kepentingan tentang pemilihan kinerja yang akan diukur, bagaimana cara
mengumpulkan informasi, perhitungan dan pelaporan informasi, serta
bagaimana informasi terkait dapat dikomunikasikan kepada para pengambil
keputusan. Dengan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para
pegawai untuk memberikan saran akan dapat menambah motivasi mereka
dalam implementasi BSC secara disiplin dan jujur.

3. Budaya Organisasi (organizational cultures)

Para akademisi berpendapat pentingnya perubahan budaya organisasi yang
mendukung peningkatan pengetahuan dan pembelajaran organisasi dalam
penerapan BSC. Budaya organisasi yang berlaku di pemerintahan adalah
budaya administrasi sehingga perlu diubah menjadi budaya kinerja. Budaya
tersebut terkait dengan dorongan yang kuat untuk meningkatkan kapasitas
seperti mendorong penyebaran pengetahuan (knowledge sharing), belajar
dari pengalaman (learning through experience), dan belajar dari kesalahan
(learning from mistakes). Selain itu, budaya organisasi juga perlu mendukung
evaluasi indikator kinerja untuk mendukung peningkatan pengetahuan
organisasi sehingga dapat memperbaiki program-program yang akan
dilaksanakan selanjutnya.

Lye berpendapat bahwa manfaat utama penerapan sistem pengelolaan kinerja
adalah potensi sistem dimaksud yang memberi ruang umpan balik (feedback)
dan pembelajaran. Hal serupa ditekankan oleh Micheli dan Pavlof yang
mengemukakan upaya peningkatan kinerja pelayanan publik harus diarahkan
untuk penciptaan budaya yang berorientasi pada hasil. Tanpa budaya yang
memfasilitasi pembelajaran dan motivasi untuk perbaikan organisasi, sistem
pengukuran kinerja tidak akan dapat dimanfaatkan sebaik mungkin dalam
rangka peningkatan kinerja organisasi pubik (Goh 2012).

4. Pengembangan Sumberdaya Manusia (HRM Practices)

Keberhasilan BSC juga sangat didukung oleh pengembangan sumberdaya
manusia sebagai investasi seperti peningkatan kepuasan kerja dan motivasi
pegawai. Hal tersebut didasari atas sebuah paradigma bahwa anggota
organisasi akanberkinerja tinggi apabila mereka dihargai sebagai pribadi
yang utuh. Pengenalan manusia sebagai pribadi yang utuh adalah ketika
organisasi memberi perhatian yang serius atas tubuh, pikiran, jiwa dan hati
pegawi (Covey 2005 p. 158). Oleh karena itu, implemetasi BSC perlu

dihubungkan dengan performance-based pay atau penghasilan berdasarkan
kinerja setiap pegawai. Selain itu, setiap pegawai yang berkinerja tinggi perlu
dihargai dalam bentuk promosi. Contoh lain ialah memberikan kesempatan
kepada pegawai untuk mengikuti seminar atau konferensi agar mereka dapat
lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas. Pengelolaan
sumberdaya yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pegawai
(employee’s satisfaction), kepuasan kerja (job satisfaction) dapat dilakukan
melalui penerapan performance-based pay dan kebijakan kepegawaian yang
lebih transparan.

Balanced scorecard ditinjau dari sistem manajemen
strategi perusahaan
Di dalam sistem manajemen strategik (strategic management system), ada 2
tahapan penting, yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced
scorecard awalnya berada pada tahap implementasi. Fungsi balanced scorecard
di sini hanya sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif kepada para
eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen. Dampak dari
keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk
menggunakan balanced scorecard pada tahapan perencanaan strategik. Mulai
saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja
namun berkembang menjadi strategik management sistem. Strategi korporasi
diturunkan dan Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi, sehingga kalau
tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006)
menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu:


komunikasi yang sulit antar staf,



komitemen manajemen operasional lemah,



gagal menerima umpan balik dan mekanismenya,



basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak valid,



perencanaan fungsional tidak konsisten, dan



penilaian sumberdaya tidak konsisten.

Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa
BSC adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai pengukuran kinerja mungkin
itu adalah hal yang paling mudah diketahui, karena masing-masing perspektif
yang kemudian diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran
kinerja. Akan tetapi, bila diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan
strategi sebagai awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan
masing-masing perspektif dengan strategi sangat kuat.

Balance Scorecard merupakan alat bantu yang diperkenalkan oleh Kaplan &
Norton (1996) yang dapat digunakan untuk menterjemahkan visi dan strategi
perusahaan kedalam 4 perspektif yaitu financial, customer, internal business
process, dan learn and growth perspective.
1

perspektif keuangan, sumber atau asset/harta

2

perspektif kemampuan dan kerapihan operasional

3

perspektif pembelajaran/kualitas pengetahuan bersama

4
perspektif kualitas hubungan dengan pihak-pihak terkait di
luar organisasinya.
Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC bukanlah adanya pengendalian
terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi sedemikian rupa akan
berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya dengan visi, misi
dan strategi korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya
struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai merealisasikan
visi dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa sebelum BSC
dikenalkan telah banyak dikenal berbagai program pengukuran yang mengarah
kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan terus-menerus,
tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri
menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan
tetapi yang membedakan BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa
pada BSC manajer memahami, setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi.
Lebih dari penjelasan itu, BSC juga mengarahkan manajer ke depan daripada
melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami karena 4 perspektif: keuangan,
pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan yang
oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu dengan

lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan cause and effect relationship.
Adapun kaitan masing-masing perspektif dapat dijelaskan sebagai berikut
1
Perspektif pelanggan. Perspektif ini menunjukkan seperti
apa perusahaan di mata pelanggan. Pelanggan mempunyai kemampuan
teknis melihat korporasi dari berbagai sisi: waktu, kualitas, kinerja dan
jasa, dan biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan untuk memperoleh
pelayanan. Dimensi kebutuhan pelanggan demikian pada akhirnya akan
menentukan bagaimana perusahaan dilihat oleh pelanggan. Semakin baik
persepsi pelanggan, semakin baik pula nilai korporasi dimata pelanggan.
2
Perspektif keuangan. Pertanyaan yang harus dijawab
korporasi di sini adalah bagaimana kita dilihat oleh pemegang saham baik
pada jangka pendek maupun jangka panjang. Korporasi bisa rugi pada
waktu tertentu, akan tetapi pemegang saham menyadari bahwa setelah itu
korporasi akan mendapat keuntungan, sehingga dividen akan diperoleh.
Semakin baik korporasi dimata pemegang saham, semakin aman
korporasi memperoleh sumber modal.
3
Perspektif proses bisnis internal. Ukuran ini menunjukkan
dalam proses produksi seperti apa korporasi lebih baik. Orientasi kepada
pelanggan memang mutlak, akan tetapi permasalahan bagi manajemen
adalah bagaimana caranya menyiapkan kompetensi yang dapat memenuhi
kebutuhan pelanggan
4
Perspektif pembelajar dan pertumbuhan. Perspektif ini
menunjukkan bagaimana korporasi dapat bertahan dan kmampu berubah
sesuai dengan tuntutan eksternal.
Perhatikan bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal
ini menjadi kunci yang secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan
sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi. Bilamana visi dan misi dinyatakan
dengan baik maka ini akan menjadi mesin penggerak semua kegiatan. Visi dan
misi yang terformulasi oleh Kaplan dinyatakan dengan 4 perspektif seperti di
atas. Menurut Kaplan, terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas
haruslah diuji dengan masing-masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3)
sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut.
Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas menunjukkan adanya
satu siklus: keuntungan perusahaan hanya dapat tumbuh bilamana perusahaan
mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara posisi di benak

pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses belajar. Satu hal
yang sangat nyata dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa
satu dengan lainnya saling berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir
(Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara empiris. Selanjutnya Kaplan
secara jitu menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai
rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke empat perspektif sebagaimana
dikemukakan di atas, Kaplan (1996) juga menjelaskan bahwa posisi persfektif
seperti diatas berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam
penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui perumusan inisiasi yang
akan digunakan.

Keunggulan BSC dalam hal ini diakui oleh para peneliti bahwa BSC
menyajikan satu kerangka logis yang terstruktur yang mengakibatkan setiap
devisi perusahaan dapat berinisiasi aktif untuk menentukan kinerja. Akan tetapi
penentuan kinerja ini bagaimanapun harus diikuti dengan menentukan strategi
yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berkaitan
dengan hal ini, Kaplan dalam wawancaranya dengan Lagace (2008)
menjelaskan tantangan penerapan strategi menjadi operasional: 1) banyak
perusahaan menerapkan berbagai program seperti TQM, Six Sigma, dan lainlain, tetapi gagal mencatat bagaimana perbaikan organisasi terjadi bersamaan
dengan program demikian; 2) perencanaan anggaran dan pembiayaan lepas dari
strategi, maka apa yang diperoleh senantiasa tidak menjadi ukuran yang dapat
diterima.
Yang paling sulit adalah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan
keberhasilan satu perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar
bagian. Adapun 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya
haruslah diikuti pemahaman mendalam saat perencanaan strategis dimulai.
Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai sehingga dapat
ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan
diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi
bermanfaat, karena penyusun strategi akan dapat menentukan. Hendrick (2004)
menunjukkan kendala penerapan BSC (1) sedikit pemeriksaan tentang faktor
yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan keyakinan
bahwa dengan pengadopsian BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan.
Selanjutnya melaporkan bahwa kunci daripada penerapan BSC adalah :

1

Keterlibatan kepemimpinan senior

2

Mengartikulasi visi dan strategi perusahaan

3
Mengidentifikasi kategori kinerja yang menghubungkan visi
dan strategi terhadap hasil
4

Terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi, dan tingkatan

fungsi
5
Kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang
berarti (jangka pendek dan panjang, memimpin, dan tertinggal)
6
Kenakan penganggaran yang tepat, Teknologi Informasi,
Komunikasi , dan sistem imbal jasa
7
Melihat BSC sebagai proses kontinius, membutuhkan
perbaikan, penilaian ulang, dan pemutakhiran, dan ;
8
Percaya bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan
organisasi.
Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya
dengan adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat
dilakukan oleh pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal yang umum
dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus dapat
mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun
perusahaan dimana mereka berada. Akhirnya bahwa dalam mengimplementasi
BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar berbagai
perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun perusahaan.
Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut banyak hal,
akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa
capaian dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). Apa yang
harus dicatat dari berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk
mengimplementasikan BSC sekalipun dibutuhkan strategi. Sehingga, dapat
diketahui bahwa dalam BSC sangat dinyatakan bahwa rancangan strategi
implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini merupakan koreksi terhadap
keleamahan strategi pada umumnya.

BAB III

KESIMPULAN
Akhirnya, penggunaan alat manajemen yang berasal dari luar negeri
memerlukan faktor-faktor pendukung demi kesuksesan pencapain tujuannya.
Selain melakukan rekonstruksi BSC agar sesuai kebutuhan organisasi,
kepemimpinan yang bersifat konsultatif, partisipatif dan keterlibatan
stakeholder serta pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan
kesejahteraan pegawai adalah beberapa faktor penting yang perlu secara terusmenerus dibenahi. Apabila keempat hal tersebut diperhatikan dengan serius,
hasil yang diharapkan seperti peningkatan kinerja organisasi, perubahan
organisasi serta pengukuran kinerja yang lebih jujur akan dapat dicapai oleh
organisasi sektor publik. Singkatnya, sejauh mana kinerja BSC dalam organisasi
publik sangat ditentukan ole perubahan mindset pemimpin, keterlibatan seluruh
elemen organisasi, budaya organisasi serta pengelolaan manusia dalam rangka
peningkatan karir dan kesejahteraan pegawai.

DAFTAR PUSTAKA
Behn, R. D. 2003. "Why measure performance? Different purposes requires
different measures." Public Administration Review 63 (5): 586- 606.

Cohey, S. R. 2005. The 8th habit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Goh, S. C. 2012. "Making performance measurement systems more effective
in the public sector organizations." Measuring Business Excellence 16 (1):
31-42.

Kaplan, R. S. and D. P. Norton. 1996. The balanced scorecard. Boston,
Massachusetts: Harvard Business School Press.

Kaplan, R. S. 2001. "Strategic performance measurement and management in
nonprofit organizations." Nonprofit Management and Leadership 11 (3): 353370.

Moore, M. H. 1995. "Defining public value." In Creating public value:
Harvard University Press

Norreklit, H. 2000. "The balance on the balance scorecard: a critical analysis
of some of its assumtions." Management Accounting Research 11: 65-88