Sekilas tentang Antropologi Psikologi ipi
SEKILAS TENTANG ANTROPOLOGI PSIKOLOGI
Amilda
Permasalah tentang manusia tidak dapat dikaji hanya dari satu disiplin
ilmu saja karena manusia adalah makluk yang sangat kompleks.
Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji manusia dari system ide, tingkah
laku, maupun hasil karyanya memerlukan ilmu lain diantaranya adalah
psikologi. Manusia, pada dasarnya adalah individu yang memiliki
dorongan secara naluriah, namun dorongan individu ini dimanipulasi
oleh norma dan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Sejak
dari sebelum lahir hingga ia dewasa manusia akan selalu diintervensi
oleh nilai-nilai tersebut, melalui proses internalisasi dan akulturasi
dengan nilai-nilai masyarakatnya. Antropologi psikologi memfokuskan
kajiannya pada bagaimana nilai-nilai budaya tersebut mempengaruhi
perilaku dan kepribadian seorang individu. Tulisan ini memberikan
sekelumit gambaran tentang berbagai penelitian yang dilakukan dalam
antropologi psikologi.
Antropologi Psikologi (Psychological Anthropology) merupakan subdisiplin dalam
Antropologi, pada awalnya dikenal dengan nama Culture and Personality atau kerap
disebut juga dengan Ethnopsychology. Robert A. Le Vine menyatakan bahwa Culture
and Personality adalah ilmu induk dari Antropologi Psikologi (Psychological
Anthropology), Psikologi Suku-Bangsa (Ethnopsychology), dan Psikiatri Lintas
Budaya (Transcultural Psychiatry). Penggunaan nama Culture and Personality
dianggap kurang tepat karena seakan-akan kebudayaan dan kepribadian sebagai dua
konsep yang berbeda (Hsu, 1961:6), pada kenyataannya tidaklah seperti itu. Ruth
Benedict (1932:24) menyatakan bahwa kebudayaan adalah psikologi individu yang
disorot-besarkan ke layar, sehingga memberikannya berukuran raksasa serta
berjangka waktu yang lama .
Subdisiplin bersifat
interdisiplin karena teori, konsep, dan metode
penelitiannya dipinjam dari berbagai disiplin ilmu seperti Antropologi, Psikologi,
Psikiatri, dan Psikoanalisa. Subdisiplin ini juga dibangun oleh ahli dari berbagai ilmu
tersebut, misalnya Ralp Linton dan Margaret Mead (Antropologi), Abram Kardiner
(ahli Psikiatri), W.H.R River (ahli Psikologi), Erik H. Erikson (ahli Psikonalisa Neo
Freudian), Geza Roheim (ahli Psikoanalisa Freudian ortodoks). Sehingga terjadi
Dosen Antropologi Budaya Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang.
pertemuan antara Antropologi budaya dan social bertemu dan berhubungan dengan
ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatri, dan psikoanalisa.
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada cara hidup berbeda yang
dikembangkan masyarakat diberbagai tempat berbeda di dunia. Sedangkan psikologi
kepribadian, perkembangan, dan psikiatri adalah ilmu yang meneliti kepribadian
manusia, menyangkut usaha untuk mengerti mengapa dan bagaimana pribadi berbeda
satu sama lain. Sehingga antropologi psikologi adalah ilmu yang menjembatani
kebudayaan dan kepribadian, yang merupakan fokus dari dua ilmu yang berbeda
tersebut (Barnouw, 1963:3). Penelitian yang disebut karya antropologi psikologi
apabila mempermasalahkan individu sebagai tempat atau wadah kebudayaan dan
karya tersebut menempatkan kebudayaan sebagai variabel bebas (independent
variabel) maupun variabel terikat (dependent variabel), yang mana berhubungan
dengan masalah kepribadian.
Ruang lingkup antropologi psikologi, bersifat studi lintas budaya (cross
culture studies) mengenai kepribadian dan system social budaya. Kajian ini meliputi
(1) hubungan social dan nilai-nilai budaya dengan pola rata-rata (modal pattern)
pengasuhan anak; (2) hubungan antara pola rata-rata pengasuhan anak dengan struktur
kepribadian rata-rata (modal personality), seperti yang diungkapkan dalam perilaku;
(3) hubungan antara struktur kepribadian rata-rata dengan system peran (role system)
dan aspek proyeksi dari kebudayaan lain; dan (4) hubungan semua variabel di atas
dengan perilaku menyimpang (deviant behavior pattern) yang berbeda satu kolektif
dengan kolektif lainnya.
Ciri khas penelitian antropologi psikologi adalah menekankan perhatiannya
pada perbedaan pada kelompok-kelompok alami (natural groups), perbedaan individu
dan perbedaan kolektif yang sengaja dibentuk untuk kepentingan penelitian
(experimentally produced group) bukan kajian antropologi psikologi. Perbedaan
kelompok dalam suatu masyarakat menjadi kajian antropologi psikologi, seperti pada
penelitian Marvin K. Opler mengenai tipe-tipe penyakit jiwa skisofrenia pada dua
suku bangsa di Amerika. Dalam mengkaji konsep kepribadian-kebudayaan
(personality culture) yang timbul sebagai akibat dari interaksi dari ilmu psikologi dan
antropologi menyebabkan kajian mengenai perilaku, antropologi psikologi akan selalu
memperhatikan faktor-faktor penyebab pendahuluannya (antecedents), dan tidak akan
puas hanya pada pelukisan mengenai sifat-sifat khas saja, seperti yang umumnya
dilakukan oleh ahli psikologi sosial (Hsu, 1961:2). Singer (1961:15) membagi dua
2
kelompok besar permasalahan penelitian dalam antropologi psikologi, yaitu (1)
hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian; dan (2)
hubungan kebudayaan dengan kepribadian abnormal.
Perkembangan Antropologi Psikologi di Indonesia
Penelitian antropologi psikologi di Indonesia dimulai pada tahun 1913, oleh
A.W Niewenhuis, seorang antropolog Belanda. Ia meneliti sifat pembawaan manusia
(human nature) dari beberapa suku bangsa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
metode product analysis dan thematic analysis. Selain itu terdapat pula penelitian I.Q
terhadap beberapa suku bangsa di Indonesia (Danandjaja, 1994:18).
Penelitian Engelhard tahun 1923, menggunakan test proyeksi, berupa gambar-
gambar, di antara orang Jawa dari Surakarta, untuk mengetahui sifat dan tingkat
kecerdasan suku bangsa tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Schilfgaarde,
tahun 1925. Penelitian berikutnya dilakukan oleh A. Kits van Heiningen terhadap
sejumlah murid dan guru sekolah rakyat serta beberapa orang tentara di kota Langsa
(Aceh). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji valid atau tidak instrumen
test-test psikologi yang dikembangkan di Eropa terhadap masyarakat bukan Eropa
(Koentjaraningrat, 1958:180).
Kruyt, melakukan penelitian etnografi pada masyarakat Toraja menyimpulkan
bahwa terdapat kepribadian yang khas sebagai suku bangsa. Ia beranggapan bahwa
tiap suku bangsa akan menunjukkan variasi tabiat yang besar pada masing-masing
individunya, namun beberapa norma kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut
akan menyebabkan beberapa unsur tabiat harus ditekan, sedangkan tabiat yang lain
harus dipentingkan. Ia juga mengungkapkan bahwa hubungan antar diri yang dialami
seorang anak kecil pada masa tumbuh-kembangnya memberikan pengaruh yang
penting terhadap pembentukan kepribadian pada masa dewasanya. Hubungan
antardiri dipengaruhi oleh susunan kekerabatan dan masyarakat, akibatnya tabiat para
individu pada umumnya akan dipengaruhi oleh susunan kekerabatan dari masyarakat
tersebut (Danandjaja, 1994:19). Pentingnya pengalaman masa kanak-kanak dalam
pembentukan kepribadian orang dewasa sangat penting karena sejalan dengan konsep
childhood determinism (Koentjaraningrat, 1958:111).
Du Bois melakukan penelitian di Atimelang, Pulau Alor, menghasilkan
konsep mengenai kepribadian rata-rata (modal personality) orang Alor. Ia
menggunakan metode life story, dengan mengumpulkan riwayat hidup penduduk di
3
sana serta mengetes beberapa penduduk laki-laki dan perempuan dengan
menggunakan bermacam-macam test proyeksi seperti Rorschach test, Porteus Maze
Test, Word Association Test, dan gambar kanak-kanak. Margaret Mead dan Gregory
Bateson melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kepribadian khas
orang Bali dengan cara mempelajari cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede.
Metode yang digunakan adalah metode antropologi visual (visual anthropologi), yakni
pengamatan dengan menggunakan alat kamera (Bateson & Mead. 1942).
Dua penelitian tentang hubungan kebudayaan dan kepribadian individu yang
tidak normal . Penelitian yang dilakukan oleh P.M van Wulfften-Palthe tentang
amok (mengamuk), yaitu suatu keadaan emosi yang bersifat sangat bergairah (manic)
dan kecenderungan untuk membunuh orang yang dijumpai. Keadaan ini terjadi
setelah orang mengalami depresi. Penyakit jiwa ini sering terdapat pada orang-orang
Melayu. Penyakit jiwa ini umumnya menyerang orang-orang yang meninggalkan
lingkungannya ke suatu lingkungan asing, dan mereka gagal menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru tersebut. Penelitian kedua dilakukan oleh J.P Kleiweg de
Zwaan, yang melakukan penelitian pada penderita penyakit ayan (epilepsy) dalam
kepercayaan rakyat Sumatra (Danandjaja, 1994:20).
Pada perkembangan berikutnya, penelitian anthropology psikologi lebih focus
pada dimensi akulturasi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena
akulturasi pada orang Indonesia adalah merupakan krisis social. Dimana orang
Indonesia harus menyesuaikan diri mereka dengan perubahan yang cepat, dengan
merubah dasar pandangan hidup dan cara berfikir. Vaan Baal melihat proses
akulturasi ini tidak hanya sekedar proses masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam
kebudayaan asli, tetapi juga suatu proses perubahan dan penyesuaian diri dari cara
hidup pribumi ke modern (Danandjaja, 1994:22).
Hildred Geertz (1961) pada penelitiannya di Mojokuto berkesimpulan bahwa
stabilitas dan kesinambungan keluarga dan masyarakat Jawa Tengah, diperkuat oleh
nilai budaya masyarakatnya. Nilai budaya tidak hanya sebagai pedoman moral bagi
perilaku kekerabatan Jawa, tetapi lebih utama lagi ia berlaku sebagai pusat terpenting
bagi kehidupan mereka. Pada penelitian tentang latah, Geetz berpendapat bahwa
kebudayaan Jawa mendukung ketidakberesan kepribadian dalam situasi perubahan
masyarakat. Kesimpulan ini didasari pada kenyataan bahwa para penderita latah
umumnya dialami oleh perempuan tua di perkotaan, dimana mereka telah mengalami
kontak dengan kebudayaan barat, selain itu penyakit ini timbul pada mereka yang
4
mengalami salah penyesuaian diri (maladjustment). Sehingga dapat dikatakan
kebudayaan Jawa memberikan ruang bagi penderita latah untuk diterima, latah
dipandang sebagai symbol dan perbuatan simbolis; penderita latah dapat
mengungkapkan dilema-dilema kejiwaannya ke luar.
Beberapa Teori dan Konsep
Terdapat tiga mazhab besar dalam antropologi psikologi, yaitu penbawaan
manusia (human nature); kepribadian khas kolektif tertentu (typi-personality); dan
kepribadian individu (individual personality). Ketiga mazhab ini berkembang dengan
teori-teorinya sendiri yang dikembangkan oleh para penganutnya.
Mazhab teori pembawaan manusia antara lain didukung oleh teori mengenal
seksualitas kanak-kanak Sigmund Freud dan teori gejala masalah akil balig dari
Margaret Mead. Sigmung Freud merumuskan dua hipotesa dasar dalam psikoanalisa
yaitu teori seksualitas kanak-kanak dan teori kompleks Oedipus (Oedipus Complex).
Menurutnya manusia memiliki dua macam dorongan vital (vital drive) yaitu dorongan
untuk melindungi diri (the drive of self preservation) dan dorongan untuk berkembang
biak (the drive toward procreation), yaitu dorongan untuk memelihara kelangsungan
hidup dari jenis manusia.
Freud tertarik pada dorongan kedua yaitu dorongan untuk berkembang biak ,
yang ia sebut dengan libido. Dorongan ini kerap kali dihambat oleh hal-hal yang
bersifat social budaya manusia. Ia membagi daerah libido menjadi tiga daerah erotik
(erotic zone) yaitu mulut, anal, dan genital. Perhatian seorang anak terhadap daerah
erotik ini terjadi secara bertahap, yaitu tahap oral, tahap anal, dan tahap genital.
Perkembangan tahap libido ini ditentukan oleh biologi, namun harus pula diakui
bahwa pada perkembangan tersebut, anak dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh
penting disekitarnya, melalui cara pengasuhan dari orang tuanya.
Kritik teori Oedipus complex ini misalnya dilontarkan oleh Malinowsky yang
melakukan penelitian pada masyarakat Trobriand dalam bukunya Sex and Repression
in Savage Sociaty (1927). Gejala Oedipus complex hanya mungkin ada pada
masyarakat dimana tokoh ayah yang bersifat otoriter dan keras, dan mewajibkan
disiplin yang sangat keras terhadap anak-anaknya, terutama pada anak laki-laki.
Keadaan ini tidak ditemukan pada masyarakat matrilineal. Sehingga berbeda dengan
Freud yang menganggap gejala ini sebagai gejala psikologi seksual universal.
5
Margaret Mead, antropolog yang meneliti tentang pembawaan manusia
(human nature) di kepulauan Samoa-Polinesia. Focus penelitiannya adalah seberapa
jauh para remaja terutama perempuan, mengalami ketegangan akil-balig. Penelitian
ini didasarkan pada asumsi universal bahwa remaja, pada masa akil-balig cenderung
menentang kekuasaan dan otoritas orang tuanya, ingin selalu mencari kebebasan dari
otoritas pada umumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gadis-gadis Samoa
tidak mengalami gejala gejolak akil-balig, karena keluarga Samoa tidak bersifat
keluarga inti tetapi merupakan keluarga luas. Pada keluarga luas, sehingga seorang
anak tidak selalu harus berhubungan terus menerus dengan kedua orang tuanya saja,
tetapi juga mendapat kesempatan berhubungan secara bebas dan emosional dengan
anggota keluarga lainnya. Mead juga mengungkapkan teorinya bahwa perbedaan
kepribadian antara laki-laki dan perempuan, bukan perbedaan biologis universal,
melainkan perbedaan tersebut ditentukan oleh kebudayaan, sejarah, dan struktur
masyarakat tersebut (Danandjaja, 1994:36).
Pandangan tentang etos kebudayaan ini diungkapkan oleh Magnis-Suseno
(1991) yang mengambarkan etos kebudayaan orang Jawa. Dalam pandangan hidup
manusia Jawa, terdapat dua kaidah dasar yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat.
Prinsip rukun bagi manusia Jawa bertujuan untuk mempertahankan masyarakat tetap
berada dalam keadaan harmonis. Prinsip hormat ditandai dengan cara bicara dan
membawa diri seorang manusia Jawa. Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa
hubungan dalam masyarakat bersifat teratur secara hirarkis.
Geertz (1961:141-146) menyatakan bahwa kaidah hidup manusia Jawa adalah
tidak menimbulkan konflik dan selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain
sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Sikap yang tidak menimbulkan konflik ini
ditandai dengan tidak adanya pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat, Geertz
menyebut keadaan rukun seperti ini sebagai harmonious social appearances. Seorang
anak Jawa sejak dini telah diajarkan untuk bersikap menghindari konflik, ditandai
dengan membangun kondisi keluarga yang jauh dari ketegangan dan konflik. Untuk
menjaga sikap hormat, seorang anak Jawa ditanamkan tiga perasaan yaitu wedi, isin,
dan sungkan.
Mazhab kedua adalah mazhab kepribadian khas kolektif tertentu, terdapat
banyak penelitian antropologi psikologi yang dilakukan, antara lain teori pola
kebudayaan (pattern of culture) dari Ruth F. Benedict. Teori ini dikenal juga dengan
teori konfigurasi kebudayaan atau teori etos kebudayaan. Konfigurasi adalah
6
perumusan yang sangat abstrak tentang integrasi suatu kebudayaan dan masyarakat
berupa cita-cita dan pandangan hidup. Menurut Benedict (1966), di dalam setiap
kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh factor
keturunan (genetic) dan factor ketubuhan (konstitusi) yang timbul berulang secara
universal. Tipe-tipe temperamen tersebut haruslah cocok dengan konfigurasi
dominan. Mayoritas individu dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai dengan
tipe dominan dalam masyarakatnya, karena temperamen mereka cukup elastis untuk
dibentuk oleh masyarakat. Hal ini disebut dengan tipe kepribadian normal. Pada
kenyataanya ada sebagian penduduk, umumnya yang minoritas, tidak dapat masuk ke
dalam tipe dominan ini, disebabkan karena tipe temperamen tersebut terlalu
menyimpang (deviate) dari tipe dominan (ruling type) ataupun karena mereka tidak
cukup berbakat untuk dapat menyesuaikan diri dengan tipe dominan. Golongan
minoritas ini adalah para penyimpang (deviant) dan abnormal (Danandjaja, 1994: 41).
Pendapat Benedict mendapat kritik dari Abram Kardiner, seorang psikiater
penganut aliran psikoanalisa Neo-Freudian, yang berminat untuk menautkan
antropologi dan psikoanalisa. Menurutnya, struktur kepribadian dasar adalah intisari
dari kepribadian, yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat
dari pengalaman mereka pada masa kanak-kanak. Struktur kepribadian dasar
merupakan alat penyesuaian diri individu, yang umumnya bagi semua individu di
dalam suatu masyarakat. Struktur kepribadian meliputi (1) teknik berpikir (technique
of thinkings), misalnya ilmiah atau animistis; (2) sikap terhadap benda hidup atau mati
(attitude toward objects), misalnya menerima atau menolak tergantung pada
pengalaman masa kecil. Anak yang semasa kecil diperlakukan tidak menyenangkan
oleh ibunya, setelah dewasa akan bersikap menolak kehadiran perempuan. (3) Sistem
keamanan dan kesejahteraan (security system), dinilai dari kecemasan (anxiety) dan
kecewaan
karena
ketidakberdayaan
(frustration)
pembentukan super ego (Danandjaja, 1994:51).
1
semasa
kanak-kanak;
dan
Kardiner menggolongkan pranata menjadi dua yaitu pranata pertama meliputi
system kekerabatan (family organization); system pembentukan perasaan ekslusifisme
(ingroup formation); system tata tertib dasar (basic disciplines); cara pemberian
makan anak bayi, penyapihan,
adat
merawat
anak
dengan
telaten atau
Super ego adalah salah satu aspek dari psyche, berkembang dengan jalan menghayati norma-norma
dari orang tua atau masyarakatnya. Terdiri dari ego ideal dan hati nurani (conscience); dan berdasarkan
prinsip ideal (ideal principle).
1
7
mengabaikannya; latihan buang air (anal training); larangan melakukan hubungan
seksual (sexual taboo); dan cara pemuasan kebutuhan primer (subsistence technique);
dan sebagainya. Pranata kedua adalah system larangan (taboo system); kepercayaan,
upacara; cerita rakyat; cara yang dipergunakan untuk menghadapi mereka (technique
used in dealing with them); dan sebagainya. Pranata pertama memberikan pengaruh
langsung pada struktur kepribadian dasar dari individu yang berhubungan langsung
terhadap pranata tersebut. Pengaruh tersebut bersifat akumulatif dan efektif, sehingga
memaksa individu untuk menyesuaikan diri terhadapnya.
Berbeda dangan Freud, Kardiner berpendapat bahwa pengaruh pranata
pertama lebih besar dari pada pengaruh biologis (phylogeny), demikian juga pada
pranata kedua yang lebih ditentukan oleh kondisi actual. Kardiner mengungkapkan
bahwa tipe kepribadian dasar diperoleh karena suatu kolektif mempunyai pengalaman
masa kanak-kanak yang sama; yaitu berupa pengasuhan anak (child rearing).
Akibatnya kolektif yang mempunyai cara pengasuhan yang berbeda akan
menghasilkan tipe kepribadian dasar yang berbeda pula. Teori Kardiner ini dapat
diklasifikasikan ke dalam aliran determinisme pengasuhan anak (child rearing
determinism). Aliran ini dipengaruhi oleh pandangan Freud yang menyatakan bahwa
pengalaman masa kanak-kanak penting bagi pembentukan kepribadian seseorang
setelah dewasa.
Para penganut aliran Neo-Freudian kemudian mengembangkan konsep (1)
struktur kepribadian dasar (basic personality structure); (2) pranata pertama (primary
institution); (3) pranata kedua (secondary institution); dan (4) struktur kepribadian
rata-rata (modal personality structure). Kesemuanya ini muncul dalam berbagai hasil
penelitian dari penganut aliran ini.
Struktur kepribadian dasar (basic personality structure) adalah intisari dari
kepribadian, yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat dari
pengalaman mereka pada masa kanak-kanak. Struktur kepribadian ini menjadi alat
dasa bagi penyesuaian diri individu di dalam masyarakat. Struktur kepribadian dasar
meliputi (1) teknik berfikir (technique of thinkings); (2) sikap terhadap benda hidup
(attitude toward objects), misalnya menerima atau menolak tergantung pada
pengalamannya masih kanak-kanak (anak-anak yang semasa kecilnya mengalami
kekejaman dari ibunya, setelah dewasa akan bersikap menolak wanita. (3) system
keamanan dan kesejahteraan (security system), dinilai dari kecemasan (anxiety) dan
kekecewaan karena ketidakberdayaan (frustration) sewaktu kanak-kanak; misalnya
8
seorang anak yang semasa kanak-kanaknya selalu dalam keadaan kelaparan, ketika
dewasa akan bersifat hemat; (4) pembentukan super ego2 atau bagian dari kepribadian
dari individu yang terbentuk dengan jalan mengambil-alih pandangan hidup dari
orang tuanya (Danandjaja, 1994:51).
Pranata (institution) dalam pandangan mazhab Neo-Freudian adalah segala
bentuk pikiran atau tatakelakuan dari sekelompok individu dalam masyarakat dimana
pikiran dan tatakelakuan tersebut dapat saling dikomunikasikan dan dapat diterima
sebagai milik bersama. Penyimpangan dari pikiran dan tatakelakuan tersebut akan
menimbulkan gangguan dalam kehidupan individu dan masyarakat tersebut. Pranata
pertama adalah organisasi kekerabatan (family organization); system pembentukan
perasaan ekslusifisme (ingroup formation); system tata tertib dasar (basic disciplines);
cara pemberian makan anak bayi, penyapihan, adat merawat anak dengan telaten atau
melalaikan; latihan buang air besar (anal training); larangan melakukan hubungan
seksual (sexual taboo); cara pemuasan kebutuhan primer (subsistence technique), dan
sebagainya. Pranata kedua meliputi system larangan (taboo system); kepercayaan,
upacara; cerita rakyat (folk tales); cara yang digunakan untuk menghadapi mereka
(technique used in dealing with them); dan sebagainya.
Kesimpulan dari hal di atas bahwa struktur kepribadian dasar dari suatu
masyarakat dibentuk oleh pranata pertama, melalui system proyeksi, system
kepribadian dasar membentuk pranata kedua. Tipe kepribadian dasar diperoleh karena
suatu kolektif mempunyai pengalaman masa kanak-kanak yang sama yaitu berupa
pengasuhan anak (child rearing). Akibatnya kolektif mempunyai cara pengasuhan
yang berbeda akan menghasilkan tipe kepribadian dasar yang berbeda pula. Pendapat
ini dikategorikan sebagai determinisme pengasuhan anak (child rearing determinism).
Dasar pemikiran aliran ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Freud yaitu
pengalaman masa kanak-kanak penting bagi pembentukan kepribadian seseorang
setelah dewasa kelak.
Teori kepribadian orang modern dirumuskan oleh Alex Inkeles. Menurutnya,
tujuan pembangunan ekonomi adalah sarana yang memungkinkan orang mencapai
suatu taraf hidup yang layak. Ia menganggap kemajuan suatu Negara tidak hanya
diukur melalui Penghasilan Nasional Kotor (Gross National Product) dan penghasilan
Super ego adalah salah satu aspek dari psyche yang berkembang dengan jalan menghayati normanorma dari orang tua atau masyarakatnya. Terdiri dari ego ideal dan hati nurani (conscience) dan
berdasarkan prinsip ideal (ideal principle).
2
9
perkapita, pembangunan juga harus meliputi ide pendewaan politik seperti adanya
pemerintahan yang stabill dan teratur berdasarkan keinginan rakyatnya. Sehingga,
pembangunan menuntut adanya perubahan watak manusia, yaitu perubahan watak
dari yang tradisional menjadi modern.
Terdapat dua ciri manusia modern yaitu ciri luar dan ciri dalam. Ciri luar
mengenai lingkungan alam, seperti urbanisasi, pendidikan, politikisasi, komunikas
massa, dan industrialisasi. Perubahan ciri luar tidak menjamin seseorang menjadi
modern. Ciri dalam merupakan ciri yang lebih penting dari ciri luar karena seseorang
menjadi modern bila telah mengalami perubahan ciri dalam. Inkeles mengungkapkan
sembilan ciri dalam tersebut adalah (1) mampu menerima pengalaman baru dan
keterbukaan bagi pembaharuan dan perubahan; (2) berpandangan luas; (3) tidak
mementingkan masa lampau; (4) bekerja dengan perencanaan; (5) tidak bersikap
pasrah terhadap lingkungan; (6) mengatur strategi dalam kehidupannya; (7)
menghargai kehidupan sesama manusia; (8) percaya pada kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan; dan (9) mengacu pada prinsip bahwa ganjaran yang diberikan
kepada seseorang harus didasarkan pada prestasi bukan karena kedudukan dan
kedekatan, atau bersikap adil dalam pemberian.
Teori Watak Bangsa
Teori dan metode antropologi psikologi digunakan untuk menggambarkan
watak dan proses struktur kepribadian tipikal (typical personality structure) suatu
bangsa modern. Tokoh yang mempelopori penelitian ini adalah Margareth Mead dan
Ruth Benedict, yang diikuti kemudian oleh Clyde Kluckhohn dan Gregory Bateson.
Tujuan praktis dari penelitian watak bangsa ini adalah memahami kepribadian lawan,
kawan, dan bangsa sendiri, terutama sekali pada masa Perang Dunia II.
Kritik terhadap teori ini muncul dari antropolog yang tidak setuju karena
melihat karakteristik masyarakat sekarang yang sifatnya sangat kompleks dan rumit.
Metode yang dikembangkan dianggap tidak cukup untuk memahami watak bangsa
yang sifatnya rumit dan kompleks, terutama berkaitan dengan membuatan dan
pengambilan sampling. Ruth Benedict menjawab kritik ini berpandangan bahwa
melakukan penelitian pada masyarakat yang rumit dan kompleks adalah mudah
dengan mengacu pada data statistic, politik, ekonomi, sejarah, kesusastraan, dan
ketatanegaraan yang sifatnya tertulis (Benedict, 1955). Kesukaran dalam penelitian ini
adalah data tidak selalu dapat diperolehnya data langsung dari penelitian di lapangan,
10
sehingga harus digunakan pendekatan tidak langsung (indirect approarch) dan
metode penelitian suatu kebudayaan dari kejauhan (the study of culture at a distance)
melalu penelitian folklore, kesusastraan, film, pidato politik, atau propaganda yang
dilakukan suatu bangsa. Penerapan teori ini memunculkan beberapa golongan teori
tentang watak bangsa yaitu (1) watak bangsa dipandang sebagai watak kebudayaan
(cultural character); (2) watak bangsa dipandang sebagai watak masyarakat (social
character); dan (3) watak bangsa dipandang sebagai kepribadian rata-rata (modal
personality).
Mead (Mead, 1953:33) mendefinisikan watak kebudayaan sebagai kesamaan
(regularities) sifat di dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat
tertentu, yang diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama di dalam
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Toeri Mead dipengaruhi oleh teori
kepribadian konfigurasi (configurational personality) Benedict dan teori struktur
kepribadian dasar (basic personality structure) dari Abram Kardiner. Benedict dalam
bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946) menerapkan teori konfigurasi
kebudayaan (pattern of culture) dalam meneliti watak bangsa modern seperti Jepang.
Ia berhasil mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari etos orang Jepang.
Menurut penganut teori ini, untuk mengetahui watak bangsa perlu disatukan
antara teori sosialisasi dan teori konfigurasi kebudayaan. Penyatuan ini karena
pengasuhan anak adalah media untuk mentransmisikan suatu konfigurasi kebudayaan
dari suatu generasi ke generasi lainnya; pengasuhan anak adalah juga merupakan alat
komunikasi antara orang tua dan anak-anak mereka. Dua hal ini dapat menjadikan
pengasuhan anak sebagai kunci dalam memahami watak orang dewasa tanpa
menganggapnya sebagai penyebab dari terbentuknya kepribadian orang dewasa
Bateson mengemukankan watak kebudayaan sebagai pola tematik (thematic
patterns) dalam hubungan antarperseorangan yang bersifat khas dari suatu bangsa.
Focus perhatiannya adalah
sifat khas bersama dalam suatu komunitas yang
menempatkan perbedaan yang jelas terhadap peran-peran social di antara
anggotanya . Permasalahan ini, menurut Bateson, dapat dipecahkan dengan mencari
sifat khas bersama yang muncul berupa hubungan berpola yang khusus di antara
kelompok atau individu yang berbeda. Hubungan ini biasanya berpola dua kutub
(bipolar), misalnya sifat menguasai (dominance) lawannya sifat tunduk (submission);
sifat gemar membantu (succorance) berlawanan dengan sifat ketergantungan
(dependence); sifat suka memamerkan diri (exhibitionism) lawan dari sifat menjadi
11
penonton (spectatorship). Hubungan bipolar ini juga merupakan bentuk dari pola
hubungan yang saling mengisi (complementary). Setiap individu, pada dasarnya
dilatih dilatih sekaligus dalam sifat dominance dan submission, bukan hanya satu sifat
saja.
Teori Bateson menyatakan bahwa perbedaan watak bangsa terletak pada
proporsi dan kombinasi dari tema-tema yang berlainan. Orang Bali akan memandang
sifat ketergantungan pada orang lain, sifat memamerkan diri dan kedudukan tinggi
merupakan kesatuan sifat yang alami, berbeda denga orang Eropa yang menganggap
bahwa kesatuan yang alamiah adalah sifat kedudukan tinggi dengan sifat ingin
membantu (succorance). Prinsip utama teori Bateson adalah persamaan dan
perbedaan watak di dalam pola hubungan perilaku antarperorangan di antara
kelompok-kelompok masyarakat, dibakukan oleh kebudayaan. Sehingga dapat
dijelaskan bagaimana beberapa hubungan antaraperseorangan yang berbeda, dapat
menerima pola-pola fungsional dalam menghubungkan secara kebudayaan kelompokkelompok yang berbeda, dan bagaimana pola-pola tersebut dapat berbeda di dalam
kebudayaan yang berbeda pula (Danandjaya, 1994: 72). Berdasarkan penjelasan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep watak bangsa menurut Bateson adalah
seperangkat tema dari pola kebudayaan yang timbul berulang kali dalam hubungan
antarperseorangan .
Hasil penelitian Abdullah (1985) menunjukkan bahwa sifat orang Bugis
Makasar sangat tergantung kepada kepatuhan mereka terhadap adat. Pendapat ini
didukung
oleh
penelitian
Andaya
(1983)
yang menyatakan
bahwa
yang
menggerakkan dunia orang Bugis Makassar bukan penguasa tetapi adat dan kebiasaan
yang
telah
diwariskan
oleh
nenek
moyang
mereka.
Abdullah
(1985:37)
mengungkapkan bahwa adat merupakan manifestasi dari pandangan hidup manusia
Bugis Makassar yang mengatur pola kehidupan masyarakat tersebut. Nilai adat yang
penting dalam kehidupan mereka adalah siri. Siri adalah nilai yang paling prinsip bagi
manusia Bugis Makassar karena menyangkut harga diri dan martabat mereka
sehingga mempertahankan siri adalah hal yang penting bagi mereka meskipun harus
mengorbankan jiwanya.
Metode Penelitian Antropologi Psikologi
Penelitian antropologi psikologi masih tetap menggunakan metode etnografi
dalam mengumpulkan datanya, yaitu menggunakan teknik wawancara dan
12
pengamatan. Selain metode etnografi, antropologi psikologi juga menggunakan
metode test proyeksi, yang banyak digunakan dalam ilmu psikologi klinis.
Pengumpulan datanya juga menggunakan metode pengumpulan riwayat hidup (life
history) dari responden masyarakat yang ingin diteliti, serta mengumpulkan mimpi
dan folklore dari para responden untuk diinterpretasikan. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam antropologi sejak dahulu adalah wawancara (interview) dan
pengamatan (observasi).
Metode wawancara (interview) adalah metode pengumpulan data dengan cara
menanyakan sesuatu kepada seorang responden, dengan melakukan percakapan
secara tatap muka. Teknik bertanya dalam wawancara dapat dikategorikan ke dalam
dua golongan besar yaitu wawancara berencana (standardized interview) dan
wawancara tanpa rencana (unstandardized interview).
Pada wawancara berencana, sebelum terjun ke lapangan, seorang peneliti
harus menyusun terlebih dahulu daftar pertanyaan. Semua responden yang terpilih
akan dihadapkan pada pertanyaan yang sama, sehingga semua responden memiliki
nilai keseragaman agar mudah untuk diperbandingkan satu sama lainnya. Metode ini
cenderung sama dengan kuestioner yang diajukan kepada responden secara lisan.
Model wawancara berencana ini banyak digunakan oleh para peneliti psikologi,
dengan tujuan untuk mengukur pendapat umum. Penelitian berencana ini termasuk
dalam metode kuantitatif. Metode wawancara yang paling banyak digunakan dalam
penelitian antropologi psikologi adalah metode wawancara berencana. Pemilihan
metode ini didasarkan pada tujuan dari antropologi psikologi yaitu mengukur
pendapat umum atau pendapat mayoritas anggota suatu kolektif, terutama tentang
nilai budaya, pandangan hidup, etos, struktur kepribadian dasar yang dianut suatu
kolektif (Koentjaraningrat, 1977:162-196).
Metode pengamatan (observasi), terutama disertai dengan partisipasi
merupakan teknik pengumpulan data yang utama dalam antropologi. Dalam Notes
and Quaries on Anthropology (1954) dinyatakan bahwa pengumpulan data
kebudayaan harus dengan cara pengamatan langsung (direct observation) dan diikuti
dengan introgasi segera (immediate interrogation) dipandang sebagai cara
pengumpulan data yang ideal dalam penelitian kebudayaan. Teknik ini dipandang
penting karena merupakan bagian dari dasar penelitian lapangan (fieldwork). Dalam
penelitian lapangan yang perlu dibangun adalah hubungan baik serta mendalam
dengan informan yang menjadi subyek penelitian, sehingga timbul rasa percaya13
mempercayai yang disebut dengan raport. Raport ini menjadi penting untuk
menghasilkan analisa yang mendalam dari subyek penelitian tersebut.
Metode yang lazim digunakan dalam antropologi psikologi adalah pengamatan
informal dan terlibat, yaitu pengamatan yang tidak berstruktur atau dikenal dengan
nama observasi terlibat. Pemilihan metode ini didasarkan oleh sifat data yang ingin
diperoleh bersifat sensitif dan sangat pribadi, yang hanya dapat diperoleh bila peneliti
telah membangun raport yang baik dengan masyarakat tersebut.
Metode lain yang digunakan dalam antropologi psikologi antara lain adalah
metode pengumpulan data riwayat hidup individu atau dalam istilah sejarah dan
sosiolog dikenal dengan dokumen manusia (human document), antropologi menyebut
metode ini sebagai individu life history. Data yang dikumpulkan adalah semua
keterangan mengenai apa yang pernah dialami individu-individu tertentu sebagai
warga masyarakat yang menjadi subyek penelitian (Blumer, 1939:29 dikutip dalam
Koentjaraningrat, 1984:156). Tujuan penelitian semacam ini digunakan untuk
mencapai pengertian tentang suatu masyarakat, kebudayaan, dan tipe kepribadian
suatu bangsa atau suku bangsa, melalui pandangan mata individu yang menjadi warga
masyarakat tersebut.
Penggunaan metode ini dalam antropologi psikologi bertujuan untuk
memperdalamkan pengertian dari si peneliti terhadap masyarakat di mana tokohtokoh atau individu-individu itu hidup, serta mengungkapkan motivasi, aspirasi,
ambisinya mengenai kehidupan dalam masyarakatnya. Berdasarkan life strory ini
akan tampak bagaimana respon individu terhadap pengaruh lingkungan social dan
tekanan adapt-istiadat terhadap kehidupannya. Contoh penelitian yang menggunakan
metode ini dilakukan oleh Oscar Lewis dalam Five Families (1959), tentang
kehidupan lima keluarga miskin di Mexico City; The Children of Sanchez (1960) ,
riwayat hidup dari suatu keluarga buruh restoran yang miskin. Kemiskinan yang
dialami oleh individu pada subyek penelitian ini digambarkan secara realis dan nyata
dan ditempilkan dalam bahasa kesusastraan yang tinggi. Teknik yang penting dalam
penggunaan metode ini adalah wawancara yang dilakukan secara spontan dan jujur
dari subyek penelitian. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila terjalin hubungan raport
yang baik dengan peneliti.
Karakteristik data dalam antropologi psikologi yang bersifat terselubung
(covert) dan sangat pribadi, bahkan acapkali tidak disadari oleh pendukungnya sendiri
dan disadari ataupun tidak ingin disembunyikan. Untuk menggali data seperti ini tidak
14
cukup hanya menggunakan metode etnografi klasik dengan wawancara langsung dan
pengamatan saja, karenanya antropologi psikologi meminjam metode yang
dikembangkan oleh para psikolog, psikiater, dan psikoanalis dalam bentuk test-test
proyektif.
Test proyektif (projective test) adalah situasi yang relative tidak berstruktur,
namun bersifat standar, dimana individu yang diuji diminta untuk memberi tanggapan
secara sebebas mungkin tanpa diberikan sugesti. Tanggapan (respons) terhadap materi
test biasanya dianalisa untuk karakteristik kepribadian, tanggapan tersebut juga dapat
membuka rahasia dari modus kognisi tertentu (English and English, dalam
Danandjaya, 1994:118). Test proyektif yang umum digunakan dalam antropologi
psikologi adalah Rorschach Test dan Thematic Apperception Test. Data dari hasil test
yang diambil di lapangan tidak diolah sendiri oleh para antropolog namun meminta
bantuan dari para psikolog atau psikiater yang lebih menguasai dalam menganalisa
dan menginterpretasikan data dari test tersebut.
Perbedaan antara test TAT dan Rorschach terletak pada kegunaannya. Test
Rorschach digunakan untuk mencari struktur kepribadian (personality structure)
seperti kendali dalam (inner control), kekuatan ego (ego strength), intelektual dan
kemampuan untuk empati (capacity for empathy). Kegunaan test TAT adalah
mengetahui dorongan-dorongan dominant (dominant drives), emosi, sentiment,
kompleks dan pertentangan dari kepribadian (complex and conflict of a personality).
Karena sifat dari test ini terikat oleh suatu kebudayaan (culture bound) yaitu
kebudayaan barat, dibuktikan dengan gambar yang dilukiskan pada kartu berdasarkan
kebudayaan barat. Kedua test ini sulit untuk digunakan pada responden yang tidak
pernah mendapat pengaruh kebudayaan barat secara intensif. Untuk menggunakan test
ini pada masyarakat yang tidak terpengaruh kebudayaan barat secara intensif maka
perlu dilakukan adaptasi terlebih dahulu dengan kebudayaan dan masyarakat
setempat.
Berbedaa utama penggunaan test-test psikologi dalam kajian antropologi
psikologi terletak pada tujuan penggunaannya. Alat-alat test psikologi pada awalnya
digunakan untuk keperluan klinis dalam rangkan penyembuhan atau untuk
mengetahui karakteristik individual. Antropologi psikologi menggunakan instrumen
psikologi bertujuan untuk mengetahui karakteristik suatu kelompok yang memiliki
kebudayaan yang sama, berupa struktur kepribadian dasar (basic personality
structure) atau struktur kepribadian rata-rata (modal personality structure). Test-test
15
ini pernah digunakan sebagai teknik pengumpulan data oleh antropolog Cora DuBois
ketika melakukan penelitian di pulau Alor. Dua bentuk test di atas, yang lebih cocok
untuk digunakan dalam penelitian lintas budaya (cross culture study) adalah test
Rorschach, karena test ini sifatnya tidak terikat oleh suatu kebudayaan khusus
(cultural bound), sedangkan test TAT bersifat culture bound.
Menurut I.A. Hallowell, pemilihan test yang akan digunakan dalam
perbandingan lintas budaya harus mempertimbangkan persyaratan (1) dengan
pertimbangan teoritis dan praktis stimuli test tersebut harus tidak dibatasi oleh
perbedaan-perbedaan kebudayaan (culture bound); (2) harus dapat digunakan oleh
orang-orang yang secara teknologi dan ekonomi lebih terbelakang, sehingga kondisi
penelitian tidak dapat dilaksanakan secara ketat; (3) test harus diambil dengan cara
seragam sehingga hasil yang diperoleh dari berbeda-beda masyarakat dapat
diperbandingkan; (4) test harus dapat digunakan baik untuk orang dewasa maupun
untuk anak-anak sehingga pola-pola perkembangan kepribadian di dalam berbedabeda dalam masyarakat dapat diperbandingkan; (5) hasus dapat menghasilkan data
yang selain mencerminkan karakteristi kelompok juga menunjukkan variasi pola-pola
kepribadian dalam kelompok.
Metode pencatatan mimpi dalam antropologi psikologi, menurut John J
Honigman digunakan dengan asumsi bahwa mimpi menggambarkan perilaku standar
dari suatu masyarakat, dimana mimpi seorang informan sebagian ditentukan oleh
komunitas di mana ia menjadi anggotanya sehingga menjadi bagian dari kebudayaan.
Asumsi kedua adalah mimpi mengungkapkan gagasan, perasaan, dan keadaan
motivasi (motivational states) yang sulit diungkapkan secara verbal karena relatif
tidak disadari oleh mereka yang memiliki mimpi tersebut. Untuk keperluan
penginterpretasian mimpi, mimpi tersebut harus disertai dengan keterangan asosiasi
dari
para
informan
associations).
yang telah
dikumpulkan
mimpi-mimpinya
(dreamer s
Menurut Honigman, para psikolog menginterpretasikan mimpi dengan
memandang mimpi sebagai lambang-lambang pola kepribadian terselubung (covert
personality patterns) seperti angan-angan, gagasan, atau perasaan yang sangat sulit
diverbalisasikan oleh seorang individu. Mimpi juga dapat diinterpretasikan sebagai
petunjuk mengenai pola kegiatan nyata (overt action patterns) yang bersifat
karakteristik dari si pemimpi. Karenanya asosiasi-asosiasi pada mimpi dapat
memberikan bantuan berharga pada menginterpretasikan mimpi tersebut. Masalah
16
yang tersisa adalah bagaimana kita dapat mengetahui dengan tepat apakah
penginterpretasian suatu mimpi itu benar atau tidak? Menjawab pertanyaan ini dapat
dinyatakan bahwa pola terselubung melalu penginterpretasian mimpi harus diuji.
Mimpi dianggap merefleksikan cara-cara (modes) karakteristik dari kegiatan yang
dapat diamati, dapat dibuktikan dengan melihat perilaku nyata (overt behavior).
Penutup
Manusia sebagai makluk individu, dalam pandangan antropologi, akan selalu
bersentuhan dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Antropologi
sebagai sebuah disiplin ilmu mengkaji bagaimana pengaruh nilai-nilai tersebut
terhadap perkembangan kepribadian seorang individu. Ketika nilai-nilai tersebut tidak
sesuai dengan diri individu maka akan menimbulkan konflik dalam dirinya, pada
tahapan tertentu ia akan menjadi devian bagi masyarakatnya. Untuk memahami
karakter manusia sebagai individu, antropologi mengadopsi teori dan metode yang
dimiliki oleh psikologi, yang kemudian disesuaikan dengan teori dan metode yang
digunakan dalam antropologi.
Sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam antropologi, antropologi psikologi
memberikan khazanah yang baru dalam kajian antropologi, terutama dalam
memahami problema masyarakat yang muncul di daerah urban. Kajian ini
memberikan jawaban atas kritik terhadap antropologi yang lebih populer dengan
kajian-kajian tradisionalnya pada masyarakat primitive dan pedesaan. Antropologi
psikologi memberikan dasar teoritik bagi pembahasan permasalahan budaya yang
bersumber dari kegagalan adaptasi individu sehingga menimbulkan goncangan dalam
masyarakat tersebut.
Pustaka
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar Suatu Tinjauan Historis terhadap
Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Cet.1.
Jakarta: Inti Idayu Press.
Andaya, Leonard Y. 1983. Pandangan Arung Pallaka tentang Desa dan Perang
Makassar 1666-1669 dalam Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Diterjemahkan
oleh Anthony Reid & David Marr.
Bateson, Gregory & Margaret Mead. 1942. Balinese Character: A Photographic
Analysis. New York: Academy of Science.
Benedict, Ruth F. 1966. Pola-pola Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Dian Rakjat.
------------. 1955. Pattern of Culture. Edisi keenam. London: Routledge & Kegan Paul.
17
Danandjaja, James. 1994. Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah
Perkembangannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Geertz, Hildred. 1961. The Javanese Family. A Study og Kinship and Socialization.
The Free Press of Glencoe.
Hsu, Francis L.K. (ed). 1961. Psycological Anthropologi: Approaches to Culture and
Personality. Homewood, Illinois: The Dorsey Press, Inc.
Koentjaraningrat. 1958. Beberapa Metode Antropologi dalam Penyelidikanpenyelidikan Masyarakat di Indonesia (Sebuah Ikhtisar). Jakarta: Penerbitan
Universitas.
-------------. 1977. Metode Wawancara . Dalam Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: PT Gramedia. Hlm. 162-196.
-------------. 1984. Antropologi Psikologi . Dalam Media Ika. Jakarta: Ikatan Kerabat
Antropologi, hlm 115-169.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Cet IV. Jakarta: PT Gramedia.
Mead, Margareth. 1953. National Characters dalam Anthropology Today. A.L
Kroeber (ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Singer, Milton. 1961. Culture and Personality Theory and Research . Dalam
Studying Personality Cross-Culturally. Bert Kaplan (ed). New York: Evanston.
18
Amilda
Permasalah tentang manusia tidak dapat dikaji hanya dari satu disiplin
ilmu saja karena manusia adalah makluk yang sangat kompleks.
Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji manusia dari system ide, tingkah
laku, maupun hasil karyanya memerlukan ilmu lain diantaranya adalah
psikologi. Manusia, pada dasarnya adalah individu yang memiliki
dorongan secara naluriah, namun dorongan individu ini dimanipulasi
oleh norma dan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Sejak
dari sebelum lahir hingga ia dewasa manusia akan selalu diintervensi
oleh nilai-nilai tersebut, melalui proses internalisasi dan akulturasi
dengan nilai-nilai masyarakatnya. Antropologi psikologi memfokuskan
kajiannya pada bagaimana nilai-nilai budaya tersebut mempengaruhi
perilaku dan kepribadian seorang individu. Tulisan ini memberikan
sekelumit gambaran tentang berbagai penelitian yang dilakukan dalam
antropologi psikologi.
Antropologi Psikologi (Psychological Anthropology) merupakan subdisiplin dalam
Antropologi, pada awalnya dikenal dengan nama Culture and Personality atau kerap
disebut juga dengan Ethnopsychology. Robert A. Le Vine menyatakan bahwa Culture
and Personality adalah ilmu induk dari Antropologi Psikologi (Psychological
Anthropology), Psikologi Suku-Bangsa (Ethnopsychology), dan Psikiatri Lintas
Budaya (Transcultural Psychiatry). Penggunaan nama Culture and Personality
dianggap kurang tepat karena seakan-akan kebudayaan dan kepribadian sebagai dua
konsep yang berbeda (Hsu, 1961:6), pada kenyataannya tidaklah seperti itu. Ruth
Benedict (1932:24) menyatakan bahwa kebudayaan adalah psikologi individu yang
disorot-besarkan ke layar, sehingga memberikannya berukuran raksasa serta
berjangka waktu yang lama .
Subdisiplin bersifat
interdisiplin karena teori, konsep, dan metode
penelitiannya dipinjam dari berbagai disiplin ilmu seperti Antropologi, Psikologi,
Psikiatri, dan Psikoanalisa. Subdisiplin ini juga dibangun oleh ahli dari berbagai ilmu
tersebut, misalnya Ralp Linton dan Margaret Mead (Antropologi), Abram Kardiner
(ahli Psikiatri), W.H.R River (ahli Psikologi), Erik H. Erikson (ahli Psikonalisa Neo
Freudian), Geza Roheim (ahli Psikoanalisa Freudian ortodoks). Sehingga terjadi
Dosen Antropologi Budaya Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang.
pertemuan antara Antropologi budaya dan social bertemu dan berhubungan dengan
ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatri, dan psikoanalisa.
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada cara hidup berbeda yang
dikembangkan masyarakat diberbagai tempat berbeda di dunia. Sedangkan psikologi
kepribadian, perkembangan, dan psikiatri adalah ilmu yang meneliti kepribadian
manusia, menyangkut usaha untuk mengerti mengapa dan bagaimana pribadi berbeda
satu sama lain. Sehingga antropologi psikologi adalah ilmu yang menjembatani
kebudayaan dan kepribadian, yang merupakan fokus dari dua ilmu yang berbeda
tersebut (Barnouw, 1963:3). Penelitian yang disebut karya antropologi psikologi
apabila mempermasalahkan individu sebagai tempat atau wadah kebudayaan dan
karya tersebut menempatkan kebudayaan sebagai variabel bebas (independent
variabel) maupun variabel terikat (dependent variabel), yang mana berhubungan
dengan masalah kepribadian.
Ruang lingkup antropologi psikologi, bersifat studi lintas budaya (cross
culture studies) mengenai kepribadian dan system social budaya. Kajian ini meliputi
(1) hubungan social dan nilai-nilai budaya dengan pola rata-rata (modal pattern)
pengasuhan anak; (2) hubungan antara pola rata-rata pengasuhan anak dengan struktur
kepribadian rata-rata (modal personality), seperti yang diungkapkan dalam perilaku;
(3) hubungan antara struktur kepribadian rata-rata dengan system peran (role system)
dan aspek proyeksi dari kebudayaan lain; dan (4) hubungan semua variabel di atas
dengan perilaku menyimpang (deviant behavior pattern) yang berbeda satu kolektif
dengan kolektif lainnya.
Ciri khas penelitian antropologi psikologi adalah menekankan perhatiannya
pada perbedaan pada kelompok-kelompok alami (natural groups), perbedaan individu
dan perbedaan kolektif yang sengaja dibentuk untuk kepentingan penelitian
(experimentally produced group) bukan kajian antropologi psikologi. Perbedaan
kelompok dalam suatu masyarakat menjadi kajian antropologi psikologi, seperti pada
penelitian Marvin K. Opler mengenai tipe-tipe penyakit jiwa skisofrenia pada dua
suku bangsa di Amerika. Dalam mengkaji konsep kepribadian-kebudayaan
(personality culture) yang timbul sebagai akibat dari interaksi dari ilmu psikologi dan
antropologi menyebabkan kajian mengenai perilaku, antropologi psikologi akan selalu
memperhatikan faktor-faktor penyebab pendahuluannya (antecedents), dan tidak akan
puas hanya pada pelukisan mengenai sifat-sifat khas saja, seperti yang umumnya
dilakukan oleh ahli psikologi sosial (Hsu, 1961:2). Singer (1961:15) membagi dua
2
kelompok besar permasalahan penelitian dalam antropologi psikologi, yaitu (1)
hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian; dan (2)
hubungan kebudayaan dengan kepribadian abnormal.
Perkembangan Antropologi Psikologi di Indonesia
Penelitian antropologi psikologi di Indonesia dimulai pada tahun 1913, oleh
A.W Niewenhuis, seorang antropolog Belanda. Ia meneliti sifat pembawaan manusia
(human nature) dari beberapa suku bangsa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
metode product analysis dan thematic analysis. Selain itu terdapat pula penelitian I.Q
terhadap beberapa suku bangsa di Indonesia (Danandjaja, 1994:18).
Penelitian Engelhard tahun 1923, menggunakan test proyeksi, berupa gambar-
gambar, di antara orang Jawa dari Surakarta, untuk mengetahui sifat dan tingkat
kecerdasan suku bangsa tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Schilfgaarde,
tahun 1925. Penelitian berikutnya dilakukan oleh A. Kits van Heiningen terhadap
sejumlah murid dan guru sekolah rakyat serta beberapa orang tentara di kota Langsa
(Aceh). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji valid atau tidak instrumen
test-test psikologi yang dikembangkan di Eropa terhadap masyarakat bukan Eropa
(Koentjaraningrat, 1958:180).
Kruyt, melakukan penelitian etnografi pada masyarakat Toraja menyimpulkan
bahwa terdapat kepribadian yang khas sebagai suku bangsa. Ia beranggapan bahwa
tiap suku bangsa akan menunjukkan variasi tabiat yang besar pada masing-masing
individunya, namun beberapa norma kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut
akan menyebabkan beberapa unsur tabiat harus ditekan, sedangkan tabiat yang lain
harus dipentingkan. Ia juga mengungkapkan bahwa hubungan antar diri yang dialami
seorang anak kecil pada masa tumbuh-kembangnya memberikan pengaruh yang
penting terhadap pembentukan kepribadian pada masa dewasanya. Hubungan
antardiri dipengaruhi oleh susunan kekerabatan dan masyarakat, akibatnya tabiat para
individu pada umumnya akan dipengaruhi oleh susunan kekerabatan dari masyarakat
tersebut (Danandjaja, 1994:19). Pentingnya pengalaman masa kanak-kanak dalam
pembentukan kepribadian orang dewasa sangat penting karena sejalan dengan konsep
childhood determinism (Koentjaraningrat, 1958:111).
Du Bois melakukan penelitian di Atimelang, Pulau Alor, menghasilkan
konsep mengenai kepribadian rata-rata (modal personality) orang Alor. Ia
menggunakan metode life story, dengan mengumpulkan riwayat hidup penduduk di
3
sana serta mengetes beberapa penduduk laki-laki dan perempuan dengan
menggunakan bermacam-macam test proyeksi seperti Rorschach test, Porteus Maze
Test, Word Association Test, dan gambar kanak-kanak. Margaret Mead dan Gregory
Bateson melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kepribadian khas
orang Bali dengan cara mempelajari cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede.
Metode yang digunakan adalah metode antropologi visual (visual anthropologi), yakni
pengamatan dengan menggunakan alat kamera (Bateson & Mead. 1942).
Dua penelitian tentang hubungan kebudayaan dan kepribadian individu yang
tidak normal . Penelitian yang dilakukan oleh P.M van Wulfften-Palthe tentang
amok (mengamuk), yaitu suatu keadaan emosi yang bersifat sangat bergairah (manic)
dan kecenderungan untuk membunuh orang yang dijumpai. Keadaan ini terjadi
setelah orang mengalami depresi. Penyakit jiwa ini sering terdapat pada orang-orang
Melayu. Penyakit jiwa ini umumnya menyerang orang-orang yang meninggalkan
lingkungannya ke suatu lingkungan asing, dan mereka gagal menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru tersebut. Penelitian kedua dilakukan oleh J.P Kleiweg de
Zwaan, yang melakukan penelitian pada penderita penyakit ayan (epilepsy) dalam
kepercayaan rakyat Sumatra (Danandjaja, 1994:20).
Pada perkembangan berikutnya, penelitian anthropology psikologi lebih focus
pada dimensi akulturasi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena
akulturasi pada orang Indonesia adalah merupakan krisis social. Dimana orang
Indonesia harus menyesuaikan diri mereka dengan perubahan yang cepat, dengan
merubah dasar pandangan hidup dan cara berfikir. Vaan Baal melihat proses
akulturasi ini tidak hanya sekedar proses masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam
kebudayaan asli, tetapi juga suatu proses perubahan dan penyesuaian diri dari cara
hidup pribumi ke modern (Danandjaja, 1994:22).
Hildred Geertz (1961) pada penelitiannya di Mojokuto berkesimpulan bahwa
stabilitas dan kesinambungan keluarga dan masyarakat Jawa Tengah, diperkuat oleh
nilai budaya masyarakatnya. Nilai budaya tidak hanya sebagai pedoman moral bagi
perilaku kekerabatan Jawa, tetapi lebih utama lagi ia berlaku sebagai pusat terpenting
bagi kehidupan mereka. Pada penelitian tentang latah, Geetz berpendapat bahwa
kebudayaan Jawa mendukung ketidakberesan kepribadian dalam situasi perubahan
masyarakat. Kesimpulan ini didasari pada kenyataan bahwa para penderita latah
umumnya dialami oleh perempuan tua di perkotaan, dimana mereka telah mengalami
kontak dengan kebudayaan barat, selain itu penyakit ini timbul pada mereka yang
4
mengalami salah penyesuaian diri (maladjustment). Sehingga dapat dikatakan
kebudayaan Jawa memberikan ruang bagi penderita latah untuk diterima, latah
dipandang sebagai symbol dan perbuatan simbolis; penderita latah dapat
mengungkapkan dilema-dilema kejiwaannya ke luar.
Beberapa Teori dan Konsep
Terdapat tiga mazhab besar dalam antropologi psikologi, yaitu penbawaan
manusia (human nature); kepribadian khas kolektif tertentu (typi-personality); dan
kepribadian individu (individual personality). Ketiga mazhab ini berkembang dengan
teori-teorinya sendiri yang dikembangkan oleh para penganutnya.
Mazhab teori pembawaan manusia antara lain didukung oleh teori mengenal
seksualitas kanak-kanak Sigmund Freud dan teori gejala masalah akil balig dari
Margaret Mead. Sigmung Freud merumuskan dua hipotesa dasar dalam psikoanalisa
yaitu teori seksualitas kanak-kanak dan teori kompleks Oedipus (Oedipus Complex).
Menurutnya manusia memiliki dua macam dorongan vital (vital drive) yaitu dorongan
untuk melindungi diri (the drive of self preservation) dan dorongan untuk berkembang
biak (the drive toward procreation), yaitu dorongan untuk memelihara kelangsungan
hidup dari jenis manusia.
Freud tertarik pada dorongan kedua yaitu dorongan untuk berkembang biak ,
yang ia sebut dengan libido. Dorongan ini kerap kali dihambat oleh hal-hal yang
bersifat social budaya manusia. Ia membagi daerah libido menjadi tiga daerah erotik
(erotic zone) yaitu mulut, anal, dan genital. Perhatian seorang anak terhadap daerah
erotik ini terjadi secara bertahap, yaitu tahap oral, tahap anal, dan tahap genital.
Perkembangan tahap libido ini ditentukan oleh biologi, namun harus pula diakui
bahwa pada perkembangan tersebut, anak dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh
penting disekitarnya, melalui cara pengasuhan dari orang tuanya.
Kritik teori Oedipus complex ini misalnya dilontarkan oleh Malinowsky yang
melakukan penelitian pada masyarakat Trobriand dalam bukunya Sex and Repression
in Savage Sociaty (1927). Gejala Oedipus complex hanya mungkin ada pada
masyarakat dimana tokoh ayah yang bersifat otoriter dan keras, dan mewajibkan
disiplin yang sangat keras terhadap anak-anaknya, terutama pada anak laki-laki.
Keadaan ini tidak ditemukan pada masyarakat matrilineal. Sehingga berbeda dengan
Freud yang menganggap gejala ini sebagai gejala psikologi seksual universal.
5
Margaret Mead, antropolog yang meneliti tentang pembawaan manusia
(human nature) di kepulauan Samoa-Polinesia. Focus penelitiannya adalah seberapa
jauh para remaja terutama perempuan, mengalami ketegangan akil-balig. Penelitian
ini didasarkan pada asumsi universal bahwa remaja, pada masa akil-balig cenderung
menentang kekuasaan dan otoritas orang tuanya, ingin selalu mencari kebebasan dari
otoritas pada umumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gadis-gadis Samoa
tidak mengalami gejala gejolak akil-balig, karena keluarga Samoa tidak bersifat
keluarga inti tetapi merupakan keluarga luas. Pada keluarga luas, sehingga seorang
anak tidak selalu harus berhubungan terus menerus dengan kedua orang tuanya saja,
tetapi juga mendapat kesempatan berhubungan secara bebas dan emosional dengan
anggota keluarga lainnya. Mead juga mengungkapkan teorinya bahwa perbedaan
kepribadian antara laki-laki dan perempuan, bukan perbedaan biologis universal,
melainkan perbedaan tersebut ditentukan oleh kebudayaan, sejarah, dan struktur
masyarakat tersebut (Danandjaja, 1994:36).
Pandangan tentang etos kebudayaan ini diungkapkan oleh Magnis-Suseno
(1991) yang mengambarkan etos kebudayaan orang Jawa. Dalam pandangan hidup
manusia Jawa, terdapat dua kaidah dasar yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat.
Prinsip rukun bagi manusia Jawa bertujuan untuk mempertahankan masyarakat tetap
berada dalam keadaan harmonis. Prinsip hormat ditandai dengan cara bicara dan
membawa diri seorang manusia Jawa. Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa
hubungan dalam masyarakat bersifat teratur secara hirarkis.
Geertz (1961:141-146) menyatakan bahwa kaidah hidup manusia Jawa adalah
tidak menimbulkan konflik dan selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain
sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Sikap yang tidak menimbulkan konflik ini
ditandai dengan tidak adanya pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat, Geertz
menyebut keadaan rukun seperti ini sebagai harmonious social appearances. Seorang
anak Jawa sejak dini telah diajarkan untuk bersikap menghindari konflik, ditandai
dengan membangun kondisi keluarga yang jauh dari ketegangan dan konflik. Untuk
menjaga sikap hormat, seorang anak Jawa ditanamkan tiga perasaan yaitu wedi, isin,
dan sungkan.
Mazhab kedua adalah mazhab kepribadian khas kolektif tertentu, terdapat
banyak penelitian antropologi psikologi yang dilakukan, antara lain teori pola
kebudayaan (pattern of culture) dari Ruth F. Benedict. Teori ini dikenal juga dengan
teori konfigurasi kebudayaan atau teori etos kebudayaan. Konfigurasi adalah
6
perumusan yang sangat abstrak tentang integrasi suatu kebudayaan dan masyarakat
berupa cita-cita dan pandangan hidup. Menurut Benedict (1966), di dalam setiap
kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh factor
keturunan (genetic) dan factor ketubuhan (konstitusi) yang timbul berulang secara
universal. Tipe-tipe temperamen tersebut haruslah cocok dengan konfigurasi
dominan. Mayoritas individu dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai dengan
tipe dominan dalam masyarakatnya, karena temperamen mereka cukup elastis untuk
dibentuk oleh masyarakat. Hal ini disebut dengan tipe kepribadian normal. Pada
kenyataanya ada sebagian penduduk, umumnya yang minoritas, tidak dapat masuk ke
dalam tipe dominan ini, disebabkan karena tipe temperamen tersebut terlalu
menyimpang (deviate) dari tipe dominan (ruling type) ataupun karena mereka tidak
cukup berbakat untuk dapat menyesuaikan diri dengan tipe dominan. Golongan
minoritas ini adalah para penyimpang (deviant) dan abnormal (Danandjaja, 1994: 41).
Pendapat Benedict mendapat kritik dari Abram Kardiner, seorang psikiater
penganut aliran psikoanalisa Neo-Freudian, yang berminat untuk menautkan
antropologi dan psikoanalisa. Menurutnya, struktur kepribadian dasar adalah intisari
dari kepribadian, yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat
dari pengalaman mereka pada masa kanak-kanak. Struktur kepribadian dasar
merupakan alat penyesuaian diri individu, yang umumnya bagi semua individu di
dalam suatu masyarakat. Struktur kepribadian meliputi (1) teknik berpikir (technique
of thinkings), misalnya ilmiah atau animistis; (2) sikap terhadap benda hidup atau mati
(attitude toward objects), misalnya menerima atau menolak tergantung pada
pengalaman masa kecil. Anak yang semasa kecil diperlakukan tidak menyenangkan
oleh ibunya, setelah dewasa akan bersikap menolak kehadiran perempuan. (3) Sistem
keamanan dan kesejahteraan (security system), dinilai dari kecemasan (anxiety) dan
kecewaan
karena
ketidakberdayaan
(frustration)
pembentukan super ego (Danandjaja, 1994:51).
1
semasa
kanak-kanak;
dan
Kardiner menggolongkan pranata menjadi dua yaitu pranata pertama meliputi
system kekerabatan (family organization); system pembentukan perasaan ekslusifisme
(ingroup formation); system tata tertib dasar (basic disciplines); cara pemberian
makan anak bayi, penyapihan,
adat
merawat
anak
dengan
telaten atau
Super ego adalah salah satu aspek dari psyche, berkembang dengan jalan menghayati norma-norma
dari orang tua atau masyarakatnya. Terdiri dari ego ideal dan hati nurani (conscience); dan berdasarkan
prinsip ideal (ideal principle).
1
7
mengabaikannya; latihan buang air (anal training); larangan melakukan hubungan
seksual (sexual taboo); dan cara pemuasan kebutuhan primer (subsistence technique);
dan sebagainya. Pranata kedua adalah system larangan (taboo system); kepercayaan,
upacara; cerita rakyat; cara yang dipergunakan untuk menghadapi mereka (technique
used in dealing with them); dan sebagainya. Pranata pertama memberikan pengaruh
langsung pada struktur kepribadian dasar dari individu yang berhubungan langsung
terhadap pranata tersebut. Pengaruh tersebut bersifat akumulatif dan efektif, sehingga
memaksa individu untuk menyesuaikan diri terhadapnya.
Berbeda dangan Freud, Kardiner berpendapat bahwa pengaruh pranata
pertama lebih besar dari pada pengaruh biologis (phylogeny), demikian juga pada
pranata kedua yang lebih ditentukan oleh kondisi actual. Kardiner mengungkapkan
bahwa tipe kepribadian dasar diperoleh karena suatu kolektif mempunyai pengalaman
masa kanak-kanak yang sama; yaitu berupa pengasuhan anak (child rearing).
Akibatnya kolektif yang mempunyai cara pengasuhan yang berbeda akan
menghasilkan tipe kepribadian dasar yang berbeda pula. Teori Kardiner ini dapat
diklasifikasikan ke dalam aliran determinisme pengasuhan anak (child rearing
determinism). Aliran ini dipengaruhi oleh pandangan Freud yang menyatakan bahwa
pengalaman masa kanak-kanak penting bagi pembentukan kepribadian seseorang
setelah dewasa.
Para penganut aliran Neo-Freudian kemudian mengembangkan konsep (1)
struktur kepribadian dasar (basic personality structure); (2) pranata pertama (primary
institution); (3) pranata kedua (secondary institution); dan (4) struktur kepribadian
rata-rata (modal personality structure). Kesemuanya ini muncul dalam berbagai hasil
penelitian dari penganut aliran ini.
Struktur kepribadian dasar (basic personality structure) adalah intisari dari
kepribadian, yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat dari
pengalaman mereka pada masa kanak-kanak. Struktur kepribadian ini menjadi alat
dasa bagi penyesuaian diri individu di dalam masyarakat. Struktur kepribadian dasar
meliputi (1) teknik berfikir (technique of thinkings); (2) sikap terhadap benda hidup
(attitude toward objects), misalnya menerima atau menolak tergantung pada
pengalamannya masih kanak-kanak (anak-anak yang semasa kecilnya mengalami
kekejaman dari ibunya, setelah dewasa akan bersikap menolak wanita. (3) system
keamanan dan kesejahteraan (security system), dinilai dari kecemasan (anxiety) dan
kekecewaan karena ketidakberdayaan (frustration) sewaktu kanak-kanak; misalnya
8
seorang anak yang semasa kanak-kanaknya selalu dalam keadaan kelaparan, ketika
dewasa akan bersifat hemat; (4) pembentukan super ego2 atau bagian dari kepribadian
dari individu yang terbentuk dengan jalan mengambil-alih pandangan hidup dari
orang tuanya (Danandjaja, 1994:51).
Pranata (institution) dalam pandangan mazhab Neo-Freudian adalah segala
bentuk pikiran atau tatakelakuan dari sekelompok individu dalam masyarakat dimana
pikiran dan tatakelakuan tersebut dapat saling dikomunikasikan dan dapat diterima
sebagai milik bersama. Penyimpangan dari pikiran dan tatakelakuan tersebut akan
menimbulkan gangguan dalam kehidupan individu dan masyarakat tersebut. Pranata
pertama adalah organisasi kekerabatan (family organization); system pembentukan
perasaan ekslusifisme (ingroup formation); system tata tertib dasar (basic disciplines);
cara pemberian makan anak bayi, penyapihan, adat merawat anak dengan telaten atau
melalaikan; latihan buang air besar (anal training); larangan melakukan hubungan
seksual (sexual taboo); cara pemuasan kebutuhan primer (subsistence technique), dan
sebagainya. Pranata kedua meliputi system larangan (taboo system); kepercayaan,
upacara; cerita rakyat (folk tales); cara yang digunakan untuk menghadapi mereka
(technique used in dealing with them); dan sebagainya.
Kesimpulan dari hal di atas bahwa struktur kepribadian dasar dari suatu
masyarakat dibentuk oleh pranata pertama, melalui system proyeksi, system
kepribadian dasar membentuk pranata kedua. Tipe kepribadian dasar diperoleh karena
suatu kolektif mempunyai pengalaman masa kanak-kanak yang sama yaitu berupa
pengasuhan anak (child rearing). Akibatnya kolektif mempunyai cara pengasuhan
yang berbeda akan menghasilkan tipe kepribadian dasar yang berbeda pula. Pendapat
ini dikategorikan sebagai determinisme pengasuhan anak (child rearing determinism).
Dasar pemikiran aliran ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Freud yaitu
pengalaman masa kanak-kanak penting bagi pembentukan kepribadian seseorang
setelah dewasa kelak.
Teori kepribadian orang modern dirumuskan oleh Alex Inkeles. Menurutnya,
tujuan pembangunan ekonomi adalah sarana yang memungkinkan orang mencapai
suatu taraf hidup yang layak. Ia menganggap kemajuan suatu Negara tidak hanya
diukur melalui Penghasilan Nasional Kotor (Gross National Product) dan penghasilan
Super ego adalah salah satu aspek dari psyche yang berkembang dengan jalan menghayati normanorma dari orang tua atau masyarakatnya. Terdiri dari ego ideal dan hati nurani (conscience) dan
berdasarkan prinsip ideal (ideal principle).
2
9
perkapita, pembangunan juga harus meliputi ide pendewaan politik seperti adanya
pemerintahan yang stabill dan teratur berdasarkan keinginan rakyatnya. Sehingga,
pembangunan menuntut adanya perubahan watak manusia, yaitu perubahan watak
dari yang tradisional menjadi modern.
Terdapat dua ciri manusia modern yaitu ciri luar dan ciri dalam. Ciri luar
mengenai lingkungan alam, seperti urbanisasi, pendidikan, politikisasi, komunikas
massa, dan industrialisasi. Perubahan ciri luar tidak menjamin seseorang menjadi
modern. Ciri dalam merupakan ciri yang lebih penting dari ciri luar karena seseorang
menjadi modern bila telah mengalami perubahan ciri dalam. Inkeles mengungkapkan
sembilan ciri dalam tersebut adalah (1) mampu menerima pengalaman baru dan
keterbukaan bagi pembaharuan dan perubahan; (2) berpandangan luas; (3) tidak
mementingkan masa lampau; (4) bekerja dengan perencanaan; (5) tidak bersikap
pasrah terhadap lingkungan; (6) mengatur strategi dalam kehidupannya; (7)
menghargai kehidupan sesama manusia; (8) percaya pada kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan; dan (9) mengacu pada prinsip bahwa ganjaran yang diberikan
kepada seseorang harus didasarkan pada prestasi bukan karena kedudukan dan
kedekatan, atau bersikap adil dalam pemberian.
Teori Watak Bangsa
Teori dan metode antropologi psikologi digunakan untuk menggambarkan
watak dan proses struktur kepribadian tipikal (typical personality structure) suatu
bangsa modern. Tokoh yang mempelopori penelitian ini adalah Margareth Mead dan
Ruth Benedict, yang diikuti kemudian oleh Clyde Kluckhohn dan Gregory Bateson.
Tujuan praktis dari penelitian watak bangsa ini adalah memahami kepribadian lawan,
kawan, dan bangsa sendiri, terutama sekali pada masa Perang Dunia II.
Kritik terhadap teori ini muncul dari antropolog yang tidak setuju karena
melihat karakteristik masyarakat sekarang yang sifatnya sangat kompleks dan rumit.
Metode yang dikembangkan dianggap tidak cukup untuk memahami watak bangsa
yang sifatnya rumit dan kompleks, terutama berkaitan dengan membuatan dan
pengambilan sampling. Ruth Benedict menjawab kritik ini berpandangan bahwa
melakukan penelitian pada masyarakat yang rumit dan kompleks adalah mudah
dengan mengacu pada data statistic, politik, ekonomi, sejarah, kesusastraan, dan
ketatanegaraan yang sifatnya tertulis (Benedict, 1955). Kesukaran dalam penelitian ini
adalah data tidak selalu dapat diperolehnya data langsung dari penelitian di lapangan,
10
sehingga harus digunakan pendekatan tidak langsung (indirect approarch) dan
metode penelitian suatu kebudayaan dari kejauhan (the study of culture at a distance)
melalu penelitian folklore, kesusastraan, film, pidato politik, atau propaganda yang
dilakukan suatu bangsa. Penerapan teori ini memunculkan beberapa golongan teori
tentang watak bangsa yaitu (1) watak bangsa dipandang sebagai watak kebudayaan
(cultural character); (2) watak bangsa dipandang sebagai watak masyarakat (social
character); dan (3) watak bangsa dipandang sebagai kepribadian rata-rata (modal
personality).
Mead (Mead, 1953:33) mendefinisikan watak kebudayaan sebagai kesamaan
(regularities) sifat di dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat
tertentu, yang diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama di dalam
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Toeri Mead dipengaruhi oleh teori
kepribadian konfigurasi (configurational personality) Benedict dan teori struktur
kepribadian dasar (basic personality structure) dari Abram Kardiner. Benedict dalam
bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946) menerapkan teori konfigurasi
kebudayaan (pattern of culture) dalam meneliti watak bangsa modern seperti Jepang.
Ia berhasil mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari etos orang Jepang.
Menurut penganut teori ini, untuk mengetahui watak bangsa perlu disatukan
antara teori sosialisasi dan teori konfigurasi kebudayaan. Penyatuan ini karena
pengasuhan anak adalah media untuk mentransmisikan suatu konfigurasi kebudayaan
dari suatu generasi ke generasi lainnya; pengasuhan anak adalah juga merupakan alat
komunikasi antara orang tua dan anak-anak mereka. Dua hal ini dapat menjadikan
pengasuhan anak sebagai kunci dalam memahami watak orang dewasa tanpa
menganggapnya sebagai penyebab dari terbentuknya kepribadian orang dewasa
Bateson mengemukankan watak kebudayaan sebagai pola tematik (thematic
patterns) dalam hubungan antarperseorangan yang bersifat khas dari suatu bangsa.
Focus perhatiannya adalah
sifat khas bersama dalam suatu komunitas yang
menempatkan perbedaan yang jelas terhadap peran-peran social di antara
anggotanya . Permasalahan ini, menurut Bateson, dapat dipecahkan dengan mencari
sifat khas bersama yang muncul berupa hubungan berpola yang khusus di antara
kelompok atau individu yang berbeda. Hubungan ini biasanya berpola dua kutub
(bipolar), misalnya sifat menguasai (dominance) lawannya sifat tunduk (submission);
sifat gemar membantu (succorance) berlawanan dengan sifat ketergantungan
(dependence); sifat suka memamerkan diri (exhibitionism) lawan dari sifat menjadi
11
penonton (spectatorship). Hubungan bipolar ini juga merupakan bentuk dari pola
hubungan yang saling mengisi (complementary). Setiap individu, pada dasarnya
dilatih dilatih sekaligus dalam sifat dominance dan submission, bukan hanya satu sifat
saja.
Teori Bateson menyatakan bahwa perbedaan watak bangsa terletak pada
proporsi dan kombinasi dari tema-tema yang berlainan. Orang Bali akan memandang
sifat ketergantungan pada orang lain, sifat memamerkan diri dan kedudukan tinggi
merupakan kesatuan sifat yang alami, berbeda denga orang Eropa yang menganggap
bahwa kesatuan yang alamiah adalah sifat kedudukan tinggi dengan sifat ingin
membantu (succorance). Prinsip utama teori Bateson adalah persamaan dan
perbedaan watak di dalam pola hubungan perilaku antarperorangan di antara
kelompok-kelompok masyarakat, dibakukan oleh kebudayaan. Sehingga dapat
dijelaskan bagaimana beberapa hubungan antaraperseorangan yang berbeda, dapat
menerima pola-pola fungsional dalam menghubungkan secara kebudayaan kelompokkelompok yang berbeda, dan bagaimana pola-pola tersebut dapat berbeda di dalam
kebudayaan yang berbeda pula (Danandjaya, 1994: 72). Berdasarkan penjelasan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep watak bangsa menurut Bateson adalah
seperangkat tema dari pola kebudayaan yang timbul berulang kali dalam hubungan
antarperseorangan .
Hasil penelitian Abdullah (1985) menunjukkan bahwa sifat orang Bugis
Makasar sangat tergantung kepada kepatuhan mereka terhadap adat. Pendapat ini
didukung
oleh
penelitian
Andaya
(1983)
yang menyatakan
bahwa
yang
menggerakkan dunia orang Bugis Makassar bukan penguasa tetapi adat dan kebiasaan
yang
telah
diwariskan
oleh
nenek
moyang
mereka.
Abdullah
(1985:37)
mengungkapkan bahwa adat merupakan manifestasi dari pandangan hidup manusia
Bugis Makassar yang mengatur pola kehidupan masyarakat tersebut. Nilai adat yang
penting dalam kehidupan mereka adalah siri. Siri adalah nilai yang paling prinsip bagi
manusia Bugis Makassar karena menyangkut harga diri dan martabat mereka
sehingga mempertahankan siri adalah hal yang penting bagi mereka meskipun harus
mengorbankan jiwanya.
Metode Penelitian Antropologi Psikologi
Penelitian antropologi psikologi masih tetap menggunakan metode etnografi
dalam mengumpulkan datanya, yaitu menggunakan teknik wawancara dan
12
pengamatan. Selain metode etnografi, antropologi psikologi juga menggunakan
metode test proyeksi, yang banyak digunakan dalam ilmu psikologi klinis.
Pengumpulan datanya juga menggunakan metode pengumpulan riwayat hidup (life
history) dari responden masyarakat yang ingin diteliti, serta mengumpulkan mimpi
dan folklore dari para responden untuk diinterpretasikan. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam antropologi sejak dahulu adalah wawancara (interview) dan
pengamatan (observasi).
Metode wawancara (interview) adalah metode pengumpulan data dengan cara
menanyakan sesuatu kepada seorang responden, dengan melakukan percakapan
secara tatap muka. Teknik bertanya dalam wawancara dapat dikategorikan ke dalam
dua golongan besar yaitu wawancara berencana (standardized interview) dan
wawancara tanpa rencana (unstandardized interview).
Pada wawancara berencana, sebelum terjun ke lapangan, seorang peneliti
harus menyusun terlebih dahulu daftar pertanyaan. Semua responden yang terpilih
akan dihadapkan pada pertanyaan yang sama, sehingga semua responden memiliki
nilai keseragaman agar mudah untuk diperbandingkan satu sama lainnya. Metode ini
cenderung sama dengan kuestioner yang diajukan kepada responden secara lisan.
Model wawancara berencana ini banyak digunakan oleh para peneliti psikologi,
dengan tujuan untuk mengukur pendapat umum. Penelitian berencana ini termasuk
dalam metode kuantitatif. Metode wawancara yang paling banyak digunakan dalam
penelitian antropologi psikologi adalah metode wawancara berencana. Pemilihan
metode ini didasarkan pada tujuan dari antropologi psikologi yaitu mengukur
pendapat umum atau pendapat mayoritas anggota suatu kolektif, terutama tentang
nilai budaya, pandangan hidup, etos, struktur kepribadian dasar yang dianut suatu
kolektif (Koentjaraningrat, 1977:162-196).
Metode pengamatan (observasi), terutama disertai dengan partisipasi
merupakan teknik pengumpulan data yang utama dalam antropologi. Dalam Notes
and Quaries on Anthropology (1954) dinyatakan bahwa pengumpulan data
kebudayaan harus dengan cara pengamatan langsung (direct observation) dan diikuti
dengan introgasi segera (immediate interrogation) dipandang sebagai cara
pengumpulan data yang ideal dalam penelitian kebudayaan. Teknik ini dipandang
penting karena merupakan bagian dari dasar penelitian lapangan (fieldwork). Dalam
penelitian lapangan yang perlu dibangun adalah hubungan baik serta mendalam
dengan informan yang menjadi subyek penelitian, sehingga timbul rasa percaya13
mempercayai yang disebut dengan raport. Raport ini menjadi penting untuk
menghasilkan analisa yang mendalam dari subyek penelitian tersebut.
Metode yang lazim digunakan dalam antropologi psikologi adalah pengamatan
informal dan terlibat, yaitu pengamatan yang tidak berstruktur atau dikenal dengan
nama observasi terlibat. Pemilihan metode ini didasarkan oleh sifat data yang ingin
diperoleh bersifat sensitif dan sangat pribadi, yang hanya dapat diperoleh bila peneliti
telah membangun raport yang baik dengan masyarakat tersebut.
Metode lain yang digunakan dalam antropologi psikologi antara lain adalah
metode pengumpulan data riwayat hidup individu atau dalam istilah sejarah dan
sosiolog dikenal dengan dokumen manusia (human document), antropologi menyebut
metode ini sebagai individu life history. Data yang dikumpulkan adalah semua
keterangan mengenai apa yang pernah dialami individu-individu tertentu sebagai
warga masyarakat yang menjadi subyek penelitian (Blumer, 1939:29 dikutip dalam
Koentjaraningrat, 1984:156). Tujuan penelitian semacam ini digunakan untuk
mencapai pengertian tentang suatu masyarakat, kebudayaan, dan tipe kepribadian
suatu bangsa atau suku bangsa, melalui pandangan mata individu yang menjadi warga
masyarakat tersebut.
Penggunaan metode ini dalam antropologi psikologi bertujuan untuk
memperdalamkan pengertian dari si peneliti terhadap masyarakat di mana tokohtokoh atau individu-individu itu hidup, serta mengungkapkan motivasi, aspirasi,
ambisinya mengenai kehidupan dalam masyarakatnya. Berdasarkan life strory ini
akan tampak bagaimana respon individu terhadap pengaruh lingkungan social dan
tekanan adapt-istiadat terhadap kehidupannya. Contoh penelitian yang menggunakan
metode ini dilakukan oleh Oscar Lewis dalam Five Families (1959), tentang
kehidupan lima keluarga miskin di Mexico City; The Children of Sanchez (1960) ,
riwayat hidup dari suatu keluarga buruh restoran yang miskin. Kemiskinan yang
dialami oleh individu pada subyek penelitian ini digambarkan secara realis dan nyata
dan ditempilkan dalam bahasa kesusastraan yang tinggi. Teknik yang penting dalam
penggunaan metode ini adalah wawancara yang dilakukan secara spontan dan jujur
dari subyek penelitian. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila terjalin hubungan raport
yang baik dengan peneliti.
Karakteristik data dalam antropologi psikologi yang bersifat terselubung
(covert) dan sangat pribadi, bahkan acapkali tidak disadari oleh pendukungnya sendiri
dan disadari ataupun tidak ingin disembunyikan. Untuk menggali data seperti ini tidak
14
cukup hanya menggunakan metode etnografi klasik dengan wawancara langsung dan
pengamatan saja, karenanya antropologi psikologi meminjam metode yang
dikembangkan oleh para psikolog, psikiater, dan psikoanalis dalam bentuk test-test
proyektif.
Test proyektif (projective test) adalah situasi yang relative tidak berstruktur,
namun bersifat standar, dimana individu yang diuji diminta untuk memberi tanggapan
secara sebebas mungkin tanpa diberikan sugesti. Tanggapan (respons) terhadap materi
test biasanya dianalisa untuk karakteristik kepribadian, tanggapan tersebut juga dapat
membuka rahasia dari modus kognisi tertentu (English and English, dalam
Danandjaya, 1994:118). Test proyektif yang umum digunakan dalam antropologi
psikologi adalah Rorschach Test dan Thematic Apperception Test. Data dari hasil test
yang diambil di lapangan tidak diolah sendiri oleh para antropolog namun meminta
bantuan dari para psikolog atau psikiater yang lebih menguasai dalam menganalisa
dan menginterpretasikan data dari test tersebut.
Perbedaan antara test TAT dan Rorschach terletak pada kegunaannya. Test
Rorschach digunakan untuk mencari struktur kepribadian (personality structure)
seperti kendali dalam (inner control), kekuatan ego (ego strength), intelektual dan
kemampuan untuk empati (capacity for empathy). Kegunaan test TAT adalah
mengetahui dorongan-dorongan dominant (dominant drives), emosi, sentiment,
kompleks dan pertentangan dari kepribadian (complex and conflict of a personality).
Karena sifat dari test ini terikat oleh suatu kebudayaan (culture bound) yaitu
kebudayaan barat, dibuktikan dengan gambar yang dilukiskan pada kartu berdasarkan
kebudayaan barat. Kedua test ini sulit untuk digunakan pada responden yang tidak
pernah mendapat pengaruh kebudayaan barat secara intensif. Untuk menggunakan test
ini pada masyarakat yang tidak terpengaruh kebudayaan barat secara intensif maka
perlu dilakukan adaptasi terlebih dahulu dengan kebudayaan dan masyarakat
setempat.
Berbedaa utama penggunaan test-test psikologi dalam kajian antropologi
psikologi terletak pada tujuan penggunaannya. Alat-alat test psikologi pada awalnya
digunakan untuk keperluan klinis dalam rangkan penyembuhan atau untuk
mengetahui karakteristik individual. Antropologi psikologi menggunakan instrumen
psikologi bertujuan untuk mengetahui karakteristik suatu kelompok yang memiliki
kebudayaan yang sama, berupa struktur kepribadian dasar (basic personality
structure) atau struktur kepribadian rata-rata (modal personality structure). Test-test
15
ini pernah digunakan sebagai teknik pengumpulan data oleh antropolog Cora DuBois
ketika melakukan penelitian di pulau Alor. Dua bentuk test di atas, yang lebih cocok
untuk digunakan dalam penelitian lintas budaya (cross culture study) adalah test
Rorschach, karena test ini sifatnya tidak terikat oleh suatu kebudayaan khusus
(cultural bound), sedangkan test TAT bersifat culture bound.
Menurut I.A. Hallowell, pemilihan test yang akan digunakan dalam
perbandingan lintas budaya harus mempertimbangkan persyaratan (1) dengan
pertimbangan teoritis dan praktis stimuli test tersebut harus tidak dibatasi oleh
perbedaan-perbedaan kebudayaan (culture bound); (2) harus dapat digunakan oleh
orang-orang yang secara teknologi dan ekonomi lebih terbelakang, sehingga kondisi
penelitian tidak dapat dilaksanakan secara ketat; (3) test harus diambil dengan cara
seragam sehingga hasil yang diperoleh dari berbeda-beda masyarakat dapat
diperbandingkan; (4) test harus dapat digunakan baik untuk orang dewasa maupun
untuk anak-anak sehingga pola-pola perkembangan kepribadian di dalam berbedabeda dalam masyarakat dapat diperbandingkan; (5) hasus dapat menghasilkan data
yang selain mencerminkan karakteristi kelompok juga menunjukkan variasi pola-pola
kepribadian dalam kelompok.
Metode pencatatan mimpi dalam antropologi psikologi, menurut John J
Honigman digunakan dengan asumsi bahwa mimpi menggambarkan perilaku standar
dari suatu masyarakat, dimana mimpi seorang informan sebagian ditentukan oleh
komunitas di mana ia menjadi anggotanya sehingga menjadi bagian dari kebudayaan.
Asumsi kedua adalah mimpi mengungkapkan gagasan, perasaan, dan keadaan
motivasi (motivational states) yang sulit diungkapkan secara verbal karena relatif
tidak disadari oleh mereka yang memiliki mimpi tersebut. Untuk keperluan
penginterpretasian mimpi, mimpi tersebut harus disertai dengan keterangan asosiasi
dari
para
informan
associations).
yang telah
dikumpulkan
mimpi-mimpinya
(dreamer s
Menurut Honigman, para psikolog menginterpretasikan mimpi dengan
memandang mimpi sebagai lambang-lambang pola kepribadian terselubung (covert
personality patterns) seperti angan-angan, gagasan, atau perasaan yang sangat sulit
diverbalisasikan oleh seorang individu. Mimpi juga dapat diinterpretasikan sebagai
petunjuk mengenai pola kegiatan nyata (overt action patterns) yang bersifat
karakteristik dari si pemimpi. Karenanya asosiasi-asosiasi pada mimpi dapat
memberikan bantuan berharga pada menginterpretasikan mimpi tersebut. Masalah
16
yang tersisa adalah bagaimana kita dapat mengetahui dengan tepat apakah
penginterpretasian suatu mimpi itu benar atau tidak? Menjawab pertanyaan ini dapat
dinyatakan bahwa pola terselubung melalu penginterpretasian mimpi harus diuji.
Mimpi dianggap merefleksikan cara-cara (modes) karakteristik dari kegiatan yang
dapat diamati, dapat dibuktikan dengan melihat perilaku nyata (overt behavior).
Penutup
Manusia sebagai makluk individu, dalam pandangan antropologi, akan selalu
bersentuhan dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Antropologi
sebagai sebuah disiplin ilmu mengkaji bagaimana pengaruh nilai-nilai tersebut
terhadap perkembangan kepribadian seorang individu. Ketika nilai-nilai tersebut tidak
sesuai dengan diri individu maka akan menimbulkan konflik dalam dirinya, pada
tahapan tertentu ia akan menjadi devian bagi masyarakatnya. Untuk memahami
karakter manusia sebagai individu, antropologi mengadopsi teori dan metode yang
dimiliki oleh psikologi, yang kemudian disesuaikan dengan teori dan metode yang
digunakan dalam antropologi.
Sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam antropologi, antropologi psikologi
memberikan khazanah yang baru dalam kajian antropologi, terutama dalam
memahami problema masyarakat yang muncul di daerah urban. Kajian ini
memberikan jawaban atas kritik terhadap antropologi yang lebih populer dengan
kajian-kajian tradisionalnya pada masyarakat primitive dan pedesaan. Antropologi
psikologi memberikan dasar teoritik bagi pembahasan permasalahan budaya yang
bersumber dari kegagalan adaptasi individu sehingga menimbulkan goncangan dalam
masyarakat tersebut.
Pustaka
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar Suatu Tinjauan Historis terhadap
Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Cet.1.
Jakarta: Inti Idayu Press.
Andaya, Leonard Y. 1983. Pandangan Arung Pallaka tentang Desa dan Perang
Makassar 1666-1669 dalam Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Diterjemahkan
oleh Anthony Reid & David Marr.
Bateson, Gregory & Margaret Mead. 1942. Balinese Character: A Photographic
Analysis. New York: Academy of Science.
Benedict, Ruth F. 1966. Pola-pola Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Dian Rakjat.
------------. 1955. Pattern of Culture. Edisi keenam. London: Routledge & Kegan Paul.
17
Danandjaja, James. 1994. Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah
Perkembangannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Geertz, Hildred. 1961. The Javanese Family. A Study og Kinship and Socialization.
The Free Press of Glencoe.
Hsu, Francis L.K. (ed). 1961. Psycological Anthropologi: Approaches to Culture and
Personality. Homewood, Illinois: The Dorsey Press, Inc.
Koentjaraningrat. 1958. Beberapa Metode Antropologi dalam Penyelidikanpenyelidikan Masyarakat di Indonesia (Sebuah Ikhtisar). Jakarta: Penerbitan
Universitas.
-------------. 1977. Metode Wawancara . Dalam Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: PT Gramedia. Hlm. 162-196.
-------------. 1984. Antropologi Psikologi . Dalam Media Ika. Jakarta: Ikatan Kerabat
Antropologi, hlm 115-169.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Cet IV. Jakarta: PT Gramedia.
Mead, Margareth. 1953. National Characters dalam Anthropology Today. A.L
Kroeber (ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Singer, Milton. 1961. Culture and Personality Theory and Research . Dalam
Studying Personality Cross-Culturally. Bert Kaplan (ed). New York: Evanston.
18