Rekening Giro Rekening Deposito Rekening

BAB II LANDASAN TEORI

2. LANDASAN TEORI

2.1. Perbankan

2.1.1. Pengertian Bank

Menurut Kasmir (2008, hal. 2), bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Dari kedua definisi di atas diketahui bahwa bank adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang keuangan. Masih menurut Kasmir (2008, hal 3) bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya adalah:

1. Menghimpun dana merupakan kegiatan mengumpulkan atau mencari dana (uang) dengan cara membeli dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan giro ( demand deposit ), tabungan ( saving deposit ) atau deposito ( time deposit ). Tujuan utama masyarakat menyimpan uang biasanya adalah untuk keamanan uangnya. Sedangkan tujuan kedua adalah untuk melakukan investasi dengan

2. Menyalurkan dana merupakan kegiatan memberikan dana yang diperoleh lewat simpanan giro, tabungan dan deposito ke masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit) bagi bank yang berprinsip konvensional atau pembiayaan bagi bank yang berprinsip syariah. Dalam pemberian dana kredit disamping dikenakan bunga, bank juga mengenakan jasa pinjaman kepada penerima kredit ( debitur) dalam bentuk biaya administrasi serta biaya provisi dan komisi. Sementara untuk bank berbasis syariah, menggunakan sistem bagi hasil. Tentu saja sebelum kredit diberikan, bank terlebih dahulu menilai apakah kredit tersebut layak diberikan atau tidak. Penilaian ini dilakukan agar bank terhindar dari kerugian akibat tidak dapat dikembalikannya pinjaman yang disalurkan bank dengan berbagai sebab. Jenis kredit yang biasa diberikan oleh hampir semua bank adalah seperti kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit perdagangan.

3. Memberikan jasa perbankan lainnya yang merupakan pendukung atau pelengkap kegiatan perbankan. Jasa-jasa ini diberikan terutama untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana,baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan simpanan dan kredit. Banyaknya jenis jasa yang ditawarkan sangat tergantung dari kemampuan 3. Memberikan jasa perbankan lainnya yang merupakan pendukung atau pelengkap kegiatan perbankan. Jasa-jasa ini diberikan terutama untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana,baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan simpanan dan kredit. Banyaknya jenis jasa yang ditawarkan sangat tergantung dari kemampuan

Secara ringkas kegiatan bank sebagai lembaga keuangan dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut ini.

Bank

Memberikan jasa – jasa Bank Lainnya

Menghimpun Dana

Menyalurkan Dana

Rekening Giro

Transfer Rekening Tabungan

Kredit Investasi

Kliring Rekening Deposito

Kredit Modal Kerja

Kredit Produktif

Inkaso

Kredit Perdagangan

Letter of Credit

Dan Lain-lain

Bank Garansi Bank Card Safe Deposit Box Dan Lain-lain

Sumber: Kasmir (2008), hal. 3.

Gambar 2.1. Kegiatan Bank sebagai Lembaga Keuangan

Berdasarkan ukuran ( size ) total aktivanya, bank dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori sebagai berikut (LPS, 2010):

1. Bank Sangat Besar, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva lebih dari Rp100 triliun;

2. Bank Besar, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp25 – 100 triliun;

3. Bank Menengah, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp10 – 25 triliun;

4. Bank Kecil, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp1 – 10 triliun; dan

5. Bank Sangat Kecil, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva Rp1 triliun atau kurang.

2.2. Risiko Perbankan

Berdasarkan Workbook level 1 Global Association of Risk Profesionals -Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (2005) : A.4 dikutip Idroes, et al . (2006, hal.7) risiko didefinisikan sebagai suatu kemungkinan akan terjadinya hal yang tidak diinginkan yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola semestinya. Sedangkan menurut Lampiran SE No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 perihal Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan ( anticipated ) maupun yang tidak diperkirakan ( unanticipated ) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan Bank.

Bank, sebagaimana lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha ( return ), selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta tidak dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu, bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Menurut James Lam dalam bukunya yang berjudul Enterprise Risk Management (2003, hal. 4), keputusan yang dibuat oleh Bank dalam melakukan kegiatan bisnisnya dan risiko yang dihadapinya akan membentuk risiko portfolio Bank tersebut. Hal ini akan menentukan keuntungan yang akan didapatkan oleh Bank tersebut dan volatilitas pendapatan tesebut. Beberapa keputusan akan membuat keuntungan, sedangkan keputusan lainnya akan merugikan.

Dalam melakukan suatu kegiatan bisnis, ada sebuah konsep yang berlaku di seluruh dunia, yai tu “ no risk, no return ”. Maksudnya adalah tidak ada risiko, maka hasil usaha yang didapatkan pun tidak ada, karena apapun kegiatan bisnis yang dilakukan oleh suatu Bank, pasti akan ada risikonya dan jika Bank tersebut tidak berani mengambil risiko, maka hasil yang didapatkan pun tidak maksimal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.

Sumber: Lam (2003), hal. 4.

Gambar 2.2. Trade-Off antara Risiko dan Return

Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa semakin besar risiko yang diambil oleh Bank tersebut, maka hasil yang didapatkan ( return ) akan semakin besar pula. Namun, ada cara pemikiran yang lebih bagus daripada konsep “ high risk, high return ”. Menurut Lam (2003; hal. 4), cara yang lebih baik untuk memikirkan risiko dan return adalah bukan dengan slogan risiko dan absolute return , tetapi dengan slogan risiko dan relative return . Maksudnya adalah, jangan berusaha untuk mengambil risiko setinggi-tingginya untuk mendapatkan hasil yang besar pula, tapi ambil risiko yang optimal, dengan melihat kemampuan Bank tersebut, agar hasil yang didapatkan optimal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.

Sumber: Lam (2003), hal. 4.

Gambar 2.3. Risiko dan Relative Return

Dapat kita lihat dari Gambar 2.3 terdapat 3 zona pengambilan risiko. Zona- zona tersebut mewakili kecil-besarnya risiko yang diambil oleh suatu Bank dan hasil dari pengambilan risiko tersebut. Zona-zona tersebut adalah:

1. Zona 1 Pada zona 1, Bank tidak cukup berani untuk mengambil banyak risiko, padahal, kemampuan Bank tersebut untuk mengambil risiko yang ada masih cukup besar. Hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan ( return ) tidak mencapai titik optimal. Jika Bank tersebut tetap tidak berani mengambil risiko, maka hasil yang didapatkan pun tidak akan pernah mencapai hasil yang optimal.

2. Zona 2 Pada zona 2, Bank berani mengambil mengambil risiko setinggi-tingginya dengan melihat kemampuan optimal dari Bank tersebut. Bank tersebut tidak mengambil risiko yang di luar batas kemampuannya. Hal ini membuat hasil yang didapatkan ( return ) menjadi optimal. Zona 2 lah yang seharusnya diambil oleh Bank-bank tersebut agar bisa mencapai return yang optimal. Masalah yang sering terjadi adalah, para pelaku perbankan sering tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai batasan tertinggi dari risiko yang bisa diambil oleh mereka sehingga mereka mencapai zona 3.

3. Zona 3 Pada zona 3, Bank terlalu berani mengambil risiko yang ada, bahkan melewati kemampuan mereka sendiri. Dengan mengambil risiko tanpa melihat kemampuan sistem dan kemampuan manajemen risiko mereka, maka hasil yang didapatkan pun akan menjadi tidak optimal, bahkan cenderung mengalami kerugian.

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui, bahwa risiko adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari di dalam dunia perbankan. Risiko adalah bagian yang tidak dapat kita pisahkan bila kita ingin berbisnis dan mencari keuntungan sebesar- besarnya. Oleh karena itu, Bank harus mengarahkan, agar risiko dan hasil yang didapatkan mencapai optimal.

2.2.1. Peristiwa Menyebabkan Timbulnya Risiko (Risk Event)

Menurut Idroes, et al. (2006, hal 8), risk event didefinisikan sebagai munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi kerugian atau hasil yang tidak diinginkan. Telah terjadi beberapa risk event fenomenal pada industri keuangan internasional yang terjadi selama 20 tahun terakhir dan telah menimbulkan malapetaka pada institusi keuangan internasional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Peristiwa Fenomenal pada Industri Keuangan yang

Menimbulkan Risiko

Tahun

Risk Event

1986 Krisis hutang Amerika Latin 1987

Bursa saham global hancur 1989

Krisis pinjaman dan tabungan AS 1990

Kehancuran Junk Bond 1992

Krisis nilai tukar Eropa 1994

Krisis nilai tukar Mexico 1995

Krisis hutang Amerika Latin 1997

Krisis nilai tukar Asia 1998

Krisis hedge fund 2001

Loncatan teknologi media dan bursa saham telekomikasi

Sumber : Banks (2003) dikutip Idroes, et al. (2006, hal 9).

Tahun

Risk Event

2005 Krisis keuangan uni eropa 2008

Krisis keuangan Amerika Serikat 2011

Krisis keuangan Yunani

Sumber: Wawan (2011) Contoh tersebut menunjukkan bahwa satu peristiwa yang menyebabkan

timbulnya risiko dapat menimbulkan malapetaka bagi industri perbankan dan terhadap perekonomian secara keseluruhan.

Menurut Idroes, et al. (2006, hal.10) Sebuah risk event memiliki beberapa aspek penting yang harus diperhatikan dalam rangka mengelola risiko. Aspek-aspek yang dimaksud adalah:

1. Kecenderungan event terjadi dalam suatu rentang waktu tertentu.

2. Dampak terhadap bank jika event terjadi.

3. Ketidakpastian event bagaimana memprediksi berbagai aspek dari risk event.

2.2.2. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Terjadinya Risiko

Menurut Idroes et al. (2006, hal 10), risk Loss merujuk kepada kerugian sebagai konsekuensi langsung atau tidak langsung dari adanya risk event . Secara umum kerugian yang timbul diawali oleh peristiwa karena kurangnya pengawasan internal terhadap transaksi yang dilakukan oleh seorang karyawan bank. Berikut adalah Tabel 2.2 yang menunjukkan keterkaitan antara risk loss dengan risk event .

Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko

Tahun Lembaga

Risk Event Keuangan

Risk Loss

(USD mllion)

1990 Drexel Burnham

Investasi pada saham lapis bawah Lambert

(bangkrut)

( junk bond ), pendanaan jangka pendek. Tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo karena nilai saham jatuh dan tidak laku di pasaran.

1991 BCCI 500 (Kolaps) Lemah dalam analisa kredit; dokumentasi kredit yang tidak lengkap; saling menghilangkan data dan penyelewengan; pencucian uang.

1993 Metallgesellschaft 1,500 Strategi lindung nilai (hedge) yang salah: salah asumsi ekonomi; kegagalan likuidasi posisi; strategi yang menjurus pada penyelewengan.

1994 Credit Lyonnais

Ketidak cukupan pengawasan dan deregulasi internal dalam kaitan dengan berbagai penyelewengan; pencucian uang

Des 1994 Orange County

Kerugian pada portofolio obligasi

(bangkrut)

akibat salah posisi terhadap arah suku bunga the Fed ; Penyelewengan oleh Robert Citron secara illegal menggunakan dana wilayah untuk menutupi kerugian yang terus membengkak.

1995 Daiwa

Transaksi obligasi pemerintah AS tanpa persetujuan dan menimbulkan kerugian yang diakumulasi selama

12 tahun.

Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko (lanjutan)

Tahun Lembaga

Risk Event Keuangan

Risk Loss

(USD mllion)

1996 Morgan Grenfell

Ketidakcukupan pengawasan; budaya promosi yang ketinggian bagi karyawan bintang tanpa pertanyaan terhadap laba dan instrument yang digunakan.

1997 Bre-X

Sengaja melakukan maipulasi nilai saham dengan menyatakan adanya penemuan tambang emas.

Sumber: Gallati (2003), dikutip Idroes et al. (2006, hal 10-12).

Risk Loss pada suatu Bank, dapat berdampak kepada pemegang saham, karyawan, nasabah bahkan kepada perekonomian suatu negara. Berikut ini adalah uraian dampak Risk Loss (Gallati, 2003; dikutip Idroes et al ., 2006; hal. 10-12):

1. Dampak terhadap pemegang saham ( stakeholders ):

a. Turunnya harga saham menurunkan nilai perusahaan yang berarti turunnya kesejahteraan pemegang saham.

b. Kerugian yang cukup besar dikarenakan investasi yang telah dilakukan di Bank tersebut.

c. Tanpa perlu memperdebatkan siapa yang salah, pemegang saham harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.

2. Dampak terhadap karyawan:

a. Pengurangan gaji ataupun bonus.

b. Dikenakan sanksi karena dianggap lalai.

c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

3. Dampak terhadap nasabah:

a. Merosotnya tingkat pekayanan.

b. Jenis produk yang ditawarkan oleh Bank bersangkutan menjadi berkurang.

4. Dampak terhadap perekonomian: Risiko kegagalan Bank yang dapat merusak perekonomian secara keseluruhan. Contoh: tahun 1998, rush yang terjadi oleh Bank BCA dapat menggoyahkan sendi-sendi perekonomian. Pemerintah yang harus memberikan bantuan likuiditas agar BCA tidak kolaps secara tidak langsung menjadi beban masyarakat berupa kenaikan harga, penurunan subsidi dan kenaikan pajak.

2.2.3. Jenis-Jenis Risiko

Menurut Lam (2003, hal. 23), secara profesional, jenis-jenis risiko dibagi ke dalam 3 macam, yaitu risiko kredit, risiko operasional dan risiko pasar. Risiko-risiko ini adalah risiko yang harus dihadapi Bank dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari. Risiko ini tidak dapat dihindari dan harus dihadapi agar Bank dapat memperoleh keuntungan serta menaikkan nilai sahamnya di pasaran.

2.2.3.1. Risiko Kredit

Menurut Kasmir (2008, hal 101), kredit dari bahasa latin “ credere ” yang artinya percaya. Maksudnya adalah si pemberi dalam hal ini Bank percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan, pengertian kredit berdasarkan Undang-undang Menurut Kasmir (2008, hal 101), kredit dari bahasa latin “ credere ” yang artinya percaya. Maksudnya adalah si pemberi dalam hal ini Bank percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan, pengertian kredit berdasarkan Undang-undang

Menurut Lam (2003, hal. 149), risiko kredit adalah kehilangan/kerugian yang terjadi akibat kesalahan si peminjam atau debitur ( counterparty or borrower ). Kesalahan disini bukan berarti karena pihak peminjam bangkrut, tapi bisa saja dikarenakan pihak peminjam tidak mampu membayar kembali dana yang telah dipinjam dan bunganya pada saat jatuh tempo. Berdasarkan counterparty , risiko kredit dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Risiko kredit pemerintahan Risiko kredit ini terkait dengan pemerintah suatu negara yang tidak mampu untuk membayar pokok dan bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo. Pinjaman yang dilakukan pemerintah terdiri dari pinjaman bilateral antara negara peminjam dengan satu pihak kreditur atau pinjaman multilateral yaitu antara negara dengan beberapa pihak kreditur.

2. Risiko kredit korporat Risiko kredit ini adalah risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta 2. Risiko kredit korporat Risiko kredit ini adalah risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta

3. Risiko kredit konsumen Risiko kredit ini adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya. Saat ini banyak Bank yang beranggapan bahwa pengelolaan kredit konsumen individu adalah sama pentingnya dengan kredit korporat, karena risiko yang ditimbulkan juga sama.

2.2.3.2. Risiko Operasional

Lam (2003, hal. 201) menyatakan bahwa risiko operasional adalah risiko yang diakibatkan oleh kehilangan/kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung yang disebabkan oleh peristiwa internal, manusia dan sistem yang gagal ataupun dari peristiwa eksternal. Menurut hasil surveys yang diadakan pada tahun 1997-1998 di Inggris dan Australia oleh PricewaterhouseCoopers dan British Bankers Association menemukan bahwa hampir 73% Bank-bank disana berfikir bahwa risiko operasional jauh lebih sering terjadi dibandingkan risiko kredit dan risiko pasar.

Selanjutnya, menurut Idroes et al. (2006, hal 133), terdapat 3 alasan utama mengapa risiko operasional harus lebih difokuskan dan tidak dipandang remeh, yaitu:

1. Kasus kerugian besar yang terjadi kepada lembaga keuangan dalam satu dekade terakhir (Daiwa, Barrings, Kidder) disebabkan oleh risiko operasional.

2. Risiko operasional sering secara tidak langsung terhubung dengan risiko kredit maupun risiko pasar. Dan kegagalan dalam risiko operasional pada saat pasar sedang jelek, dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar, contohnya pada kasus Barrings. Kelalaian dari manajemen dalam melihat saham Nikkei yang pada saat itu sedang jatuh, menyebabkan kerugian hingga miliaran dolar USD.

3. Apabila risiko operasional tidak ditanggapi secara serius, dapat menyebar ke semua bidang di Bank tersebut dan pada saat manajemen harus mengambil keputusan besar berdasarkan informasi yang salah dari salahsatu bidang, kerugian pun akan terjadi dan tidak dapat dihindari.

Pada Tabel 2.3 dapat dilihat jenis-jenis kerugian/kehilangan yang dapat ditimbulkan terkait dengan risiko operasional.

Tabel 2.3. Kerugian Akibat Risiko Operasional

Jenis Kerugian

Kerugian langsung

Kehilangan

Peningkatan

Biaya lembur

pendapatan

biaya akibat

untuk terjadinya event investigasi

Kesalahan yang tidak dapat diperbaiki

Denda yang harus dibayar

Kehilangan nilai

Biaya tetap yang

Anggaran untuk

harus disediakan

penyelesaian

Nilai aktiva

kasus

turun dan

Kerugian fisik

kewajiban naik

akibat aktiva yang hilang dan turunnya nilai pasar dari aktiva

Tabel 2.3. Kerugian Akibat Risiko Operasional (lanjutan)

Jenis Kerugian

Kerugian tidak

Biaya bunga; langsung

Kerugian

Kehilangan

langsung yang

biaya asuransi;

event yang

nasabah

terjadi

Kehilangan nilai

hengkang Kehilangan

karyawan kunci dan pangsa pasar

Kerugian tidak

Kenaikkan biaya

langsung

modal; aliran

lainnya

kas tersendat; reputasi memburuk

Opportunity cost Kehilangan

Kehilangan

pendapatan

peluang bisnis

Kehilangan nilai

Kehilangan sumber daya

Sumber: Idroes et al. (2006, hal. 132).

Sifat dasar perbankan dan perekonomian global dewasa ini yang serba cepat dengan frekuensi transaksi dan jumlah transaksi yang besar telah meningkatkan risiko operasional dalam industri perbankan. Sampai saat ini, salah satu penyangga terakhir agar Bank, yang mengalami risiko operasional, tetap dapat menjalankan aktivitas sesuai dengan rencana adalah dengan penyediaan modal yang mencukupi dengan tujuan untuk menutupi kerugian jika risiko operasional terjadi.

2.2.3.3. Risiko Pasar

Menurut Idroes et al. (2006, hal. 101), risiko pasar didefinisikan sebagai risiko kerugian pada posisi neraca serta pencatatan tagihan dan kewajiban di luar Menurut Idroes et al. (2006, hal. 101), risiko pasar didefinisikan sebagai risiko kerugian pada posisi neraca serta pencatatan tagihan dan kewajiban di luar

1. Risiko Suku Bunga ( Interest Rate Risk ) Risiko suku bunga adalah kerugian potensial yang disebabkan karena perubahan suku bunga. Risiko pasar dikalkulasikan untuk seluruh instrumen yang menggunakan satu atau lebih yield curve dalam menghitung nilai pasar. Yield curve adalah kurva yang menunjukkan hasil yang diterima dari suatu investasi yang biasanya dinyatakan dalam hasil persentase per tahun dari sejumlah investasi. Kurva ini menghubungkan antara suku bunga ( Interest rate ) dengan jangka waktu jatuh tempo ( maturity ). Dalam prakteknya, tiap mata uang akan memiliki sejumlah yield curves pada saat yang sama. Jenis utama dari suku bunga yang terkait dengan yield curves adalah:

a. Transaksi tunai ( cash ) Digunakan untuk menilai kembali posisi deposito dan pinjaman.

b. Transaksi derivatif ( derivative ) Kurva ini digunakan untuk menilai semua jenis transaksi derivatif.

c. Transaksi obligasi ( bond )

Obligasi dinilai berdasarkan harga dengan menggunakan harga penutupan harian.

d. Transaksi basis ( basis ) Tidak semua suku bunga secara aktif diperdagangkan dalam pasar antar Bank. Suku bunga yang tidak diperdagangkan ditentukan oleh Bank Sentral sebagai suku bunga diskonto. Di Indonesia dikenal dengan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Peningkatan suku bunga pasar pada satu sisi berarti pula peningkatan suku bunga kredit, yang dapat berimbas pada pengurangan permintaan kredit dan atau memperbesar probabilitas gagal bayar debitur kredit yang ada saat ini karena meningkatkan beban bunga yang harus debitur bayarkan kepada bank (Mankiw, 2004, hal. 65). Dari sisi bank, peningkatan suku bunga pasar juga akan berimbas pada peningkatan biaya dana bank, sehingga dengan demikian meningkatkan beban bunga bank. Secara bersama-sama kedua dampak peningkatan suku bunga tersebut dapat berdampak negatif pada profitabilitas bank, yang pada akhirnya akan dicerminkan pada penurunan harga saham bank.

2. Risiko Inflasi ( Inflation Risk ) Sedangkan secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus (Mankiw, 2004, hal. 75). Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi, yaitu menurunnya harga-harga secara terus-menerus.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

3. Risiko valuta asing ( Foreign Exchange Risk ) Risiko valuta asing adalah kerugian potensial yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing. Risiko ini terjadi pada seluruh nilai tukar yang terkait dengan produk dan posisi yang dihargai dari valuta asing berbeda dengan valuta yang menjadi dasar laporan Bank.

Dalam industri keuangan pada umumnya, terdapat suatu istilah “ high risk bring about high return”. Maksudnya adalah jika ingin memperoleh hasil yang lebih besar, akan dihadapkan pada risiko yang lebih besar pula. Hal ini dapat dicontohkan dalam melakukan investasi saham. Dalam bermain saham, berdasarkan volatilitas harga akan lebih besar peluang untuk memperoleh keuntungan dengan bermain pada saham lapis rendah. Volatilitas atau pergerakan naik turun harga saham secara tajam akan membuka peluang untuk memperoleh hasil yang sangat besar, namun sebaliknya jika harga bergerak ke arah yang berlawanan maka kerugian yang akan ditanggung sangat besar.

Masih menurut Idroes et al . (2006, hal 8), seperti telah dijelaskan sebelumnya, risiko tidak harus dihindari melainkan harus dihadapi dan dikelola dengan baik. Penjelasan hal tersebut dapat dilustrasikan sebagai berikut: sebuah Bank memperoleh dana sebesar Rp. 1 miliar, bunga 12% per tahun, dengan jangka waktu 1 bulan. Jika Bank tersebut ingin memperoleh keuntungan dari dana tersebut, maka Bank harus mengalokasikan dana yang diperoleh ke dalam aktiva produktif seperti pinjaman atau investasi atau penyertaan modal dalam bentuk saham dengan hasil yang lebih besar dari 12% per tahun. Pilihan tersebut akan menimbulkan risiko paling ekstrim, yaitu aktiva produktif tersebut tidak kembali. Menghindari risiko memang sah-sah saja, misalnya hanya disimpan di khasanah Bank tersebut. Namun, hal itu menyebabkan Bank mengalami kerugian, karena, selain tidak mendapatkan tambahan keuntungan apapun, Bank juga tetap harus membayar kewajiban bunga terhadap nasabah dan menyebabkan Bank tersebut mengalami kerugian sebesar suku bunga yang harus dibayarkan sesuai jatuh tempo.

Dari ilustrasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mendapatkan hasil dari suatu kegiatan, maka harus menghadapi risiko. Untuk itu, risiko harus dihadapi dalam setiap aktivitas sehingga memberikan peluang untuk memperoleh hasil yang diharapkan, namun demikian risiko yang ada harus dikelola dengan baik. Itulah mengapa diperlukan adanya manajemen risiko.

2.3. Manajemen Risiko

Menurut Anggreni dalam tulisannya di dalam wordpress.com yang berjudul Pentingnya Manajemen Risiko Guna Meningkatkan Daya Saing Perusahaan (9 Oktober 2009), manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank atau perusahaan. Tujuan manajemen risiko adalah menjaga agar aktivitas operasional perusahaan tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuannya untuk menyerap kerugian, atau membahayakan kelangsungan usahanya.

Pada awal proses implementasinya, manajemen risiko seringkali dipersepsikan sebagai penghambat kemajuan, memperlama proses internal perusahaan, dan membebani keuangan perusahaan, serta hal negatif lainnya. Namun dengan berjalannya waktu, apalagi setelah menghadapi dan mengalami krisis moneter serta krisis keuangan global, akhirnya para pelaku ekonomi mengakui bahwa penerapan manajemen risiko di perusahaan telah menjadi suatu kebutuhan, termasuk dalam meraih peluang bisnis, bukan semata-mata menghindari bahaya kerugian.

Menurut Lampiran SE BI No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003, perihal Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, di bagian latar belakang nomer 1, situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat ( good corporate governance ) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi Menurut Lampiran SE BI No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003, perihal Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, di bagian latar belakang nomer 1, situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat ( good corporate governance ) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi

Di latar belakang nomer 2 dijelaskan bahwa, penerapan manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan Bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value , memberikan gambaran kepada pengelola Bank mengenai kemungkinan kerugian Bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi, digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja Bank, digunakan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan usaha Bank yang relatif kompleks serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing Bank. Bagi otoritas pengawasan Bank, penerapan manajemen risiko akan mempermudah penilaian terhadap kemungkinan kerugian yang dihadapi Bank yang dapat mempengaruhi permodalan Bank dan sebagai salah satu dasar penilaian dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan Bank.

Esensi dari penerapan manajemen risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga kegiatan usaha Bank tetap dapat terkendali ( manageable ) pada batas/limit yang dapat diterima serta menguntungkan Bank. Namun demikian mengingat perbedaan kondisi pasar dan struktur, ukuran serta kompleksitas usaha Bank, maka tidak terdapat satu sistem manajemen risiko yang Esensi dari penerapan manajemen risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga kegiatan usaha Bank tetap dapat terkendali ( manageable ) pada batas/limit yang dapat diterima serta menguntungkan Bank. Namun demikian mengingat perbedaan kondisi pasar dan struktur, ukuran serta kompleksitas usaha Bank, maka tidak terdapat satu sistem manajemen risiko yang

2.4. Teknik Pengolahan Data

2.4.1. Regresi Time Series

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan mengunakan metode regresi time series yang dilakukan secara elektronik ( electronic data processing ) dengan bantuan software EViews 6. S oftware ini dikenal sebagai salah satu piranti lunak yang sangat handal dan memiliki modul lengkap untuk regresi time series . Beberapa modul analisis statistik yang disediakan oleh EViews 6 antara lain adalah ( EViews 6’s User Guides ):

1. Uji Statistik Deskriptif Statistika deskriptif merupakan bagian dari statistika yang mempelajari alat, teknik, atau prosedur yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kumpulan data atau hasil pengamatan. Data yang dikumpulkan tersebut perlu disajikan supaya mudah dimengerti, menarik, komunikatif, dan informatif bagi pihak lain. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika deskriptif ini antara lain ukuran pemusatan data dan ukuran penyebaran data. Analisis ini untuk menghitung modus, median, rata-rata hitung, range, interquartile range, ragam dan simpang baku.

2. Uji Stasioneritas Uji stasioneritas bertujuan untuk menguji apakah data yang akan dianalisis mengandung unit root atau tidak. Jika data masih mengandung unit root , maka hasil estimasi parameter regresi time series akan bias sehingga menimbulkan gejala yang disebut dengan spurious regression (Nachrowi dan Usman, 2005; hal. 78). Uji yang sangat sederhana untuk melihat stasioneritas data adalah dengan analisis grafik. Akan tetapi, dalam menentukan stasioner atau tidaknya sebaran data dengan menggunakan grafik tidaklah mudah. Sangat mungkin terjadi, beberapa orang akan mengambil kesimpulan yang berbeda terhadap suatu grafik, karena keputusan diambil secara subjektif. Untuk itulah dibutuhkan uji formal dalam menentukan stasioneritas data, salah satunya adalah dengan menggunakan unit root test . Output yang paling utama dibutuhkan adalah hasil dari ADF Test Statistics, dimana jika nilai p-value statistik ADF kurang dari 5% maka data dikatakan tidak mengandung unit root atau telah stasioner.

3. Uji Validitas Model Regresi Pengujian ini dilakukan untuk menguji kelayakan pemenuhan asumsi model regresi. Tujuan pengujian ini adalah agar didapatkan nilai parameter yang BLUE ( Best, Linear, Unbiased, Efficient ) sehingga hasil penelitian dapat lebih diandalkan. Pengujian asumsi-asumsi klasik, yang dilakukan dengan bantuan EViews 6, terdiri dari tiga jenis, yaitu:

a. Uji Multikolinearitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antara variable independen. Interpretasi dari persamaan regresi ganda secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Koefisien-koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel lainnya dianggap tetap. Namun interpretasi ini dianggap tidak benar apabila terdapat hubungan linier antara variabel bebas. Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan angka koefisien Pearson antar variabel- variabel independen. Aturan yang digunakan adalah jika angka korelasi Pearson antara dua variabel independen lebih dari 0,8, maka diantara kedua variabel independen tersebut saling multikolinear. Apabila terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas, maka salah satu dari dua variabel independen yang saling multikolinear harus dikeluarkan dari model regresi time series .

b. Uji Heterokedastisitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lainnya. Untuk menguji apakah terjadi heterokedastisitas dapat dilakukan langkah sebagai berikut:

1) Jika ada pola tertentu pada grafik, seperti titik-titik yang membentuk pola yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah tejadi heterokedastisitas.

2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak tejadi heterokedastisitas. Uji ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan White-Heteroscedasticity (WH) test , dimana error persamaan regresi time series dikatakan mengandung heteroskedastisitas jika nilai p-value statistik WH kurang dari 5%. Masalah heterokedastisitas ini dapat diatasi dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pemodelan ARCH ( Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity ) atau GARCH ( Generalized Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity ). Kedua jenis pemodelan ini secara langsung dapat mengatasi heterokedastisitas.

c. Uji Autokorelasi Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi berganda ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t, dengan kesalahan pada periode t-1. Jadi autokorelasi ialah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Umumnya kasus autokorelasi banyak terjadi pada data time series . Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan melihat pola hubungan antara residual (u i ) dan variabel bebas atau waktu (X). Untuk mempermudah dalam melihat pola hubungan yang dimaksud, kita dapat c. Uji Autokorelasi Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi berganda ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t, dengan kesalahan pada periode t-1. Jadi autokorelasi ialah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Umumnya kasus autokorelasi banyak terjadi pada data time series . Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan melihat pola hubungan antara residual (u i ) dan variabel bebas atau waktu (X). Untuk mempermudah dalam melihat pola hubungan yang dimaksud, kita dapat

Tidak tahu

Tidak tahu

Korelasi Positif

Tidak ada korelasi

Korelasi negatif

d u 4-d u 4-d L 4

Gambar 2.4. Aturan Membandingkan Uji Durbin-Watson dengan

Tabel Durbin-Watson

Persyaratan uji dengan menggunakan tabel Durbin-Watson adalah :

1) Jika nilai DW terletak antara d1 dan (4 - d1 ) atau antara du dan (4 - du ) maka koefisien autokorelasi sama dengan 0 yang berarti tidak terdapat autokorelasi.

2) Jika nilai DW berada di luar d1 , atau di luar du maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada 0 yang berarti terdapat autokorelasi positif.

3) Jika nilai DW lebih besar daripada (4 - d1 ), berarti ada autokorelasi negatif.

4) Jika nilai DW terletak antara du dan d1 , atau nilai DW terletak antara (4 - du ) dan (4 – d1 ) maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

4. Model Box-Jenkins /ARIMA Regresi time series ARIMA ( Autoregressive Integrated Moving Average ), atau model Box-Jenkins , ditemukan pertama kali oleh G.E.P Box dan G.M Jenkins. ARIMA terdiri dari gabungan dua model, yaitu model autoregressive (AR) dan moving average (MA). Model AR berbentuk hubungan antara variabel terikat Y dengan variabel bebas yang merupakan nilai Y pada waktu sebelumnya. Sedangkan model MA menunjukkan ketergantungan variabel terikat Y terhadap nilai-nilai residual pada waktu sebelumnya secara berurutan. Gabungan kedua model inilah yang sangat berguna dalam menganalisis data time series , dengan sebutan ARIMA. Persamaan umum dari suatu model ARIMA secara matematis adalah sebagai berikut:

i 1 j 1 (2.1.) Keterangan:

Variabel dependen pada waktu t

Variabel dependen pada waktu t-i (AR ordo ke- i )

Error persamaan pada waktu t-j (MA ordo ke- j )

Residual error persamaan pada waktu t

Parameter-parameter persamaan ARIMA

Pada dasarnya, metode ini menggunakan pendekatan iteratif, dengan empat tahapan dalam menentukan model yang cocok. Tahapan tersebut adalah:

a. Identifikasi Pada tahap ini kita akan menentukan p, d dan q dengan bantuan korelogram autokorelasi (ACF) dan korelogram autokorelasi parsial (PACF).

b. Estimasi Pada tahapan ini, hal yang dilakukan adalah mengestimasi parameter AR dan MA yang terdapat pada model. Pengestimasian ini menggunakan software EViews 6 .

c. Tes Diagnostik

1) Uji Parsial (Uji t) Untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen digunakan uji t, yang digunakan untuk menguji keberartian koefisien regresi linier berganda secara parsial. Pengujian

dilakukan dengan membandingkan t-hitung (t h ) dengan t-tabel (t t ) pada derajat signifikan 5%. Apabila hasil pengujian menunjukkan t-h>t-t atau apabila kesalahan kurang dari 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti variabel independen dapat menerangkan pada variabel idependen dan ada pengaruh yang signifikan diantara kedua variabel yang diuji. Namun apabila sebaliknya t-h < t-t atau apabila kesalahan lebih dari 5%, maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang kesimpulannya adalah variabel independen tidak dapat menerangkan variabel dependen dengan baik, atau dilakukan dengan membandingkan t-hitung (t h ) dengan t-tabel (t t ) pada derajat signifikan 5%. Apabila hasil pengujian menunjukkan t-h>t-t atau apabila kesalahan kurang dari 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti variabel independen dapat menerangkan pada variabel idependen dan ada pengaruh yang signifikan diantara kedua variabel yang diuji. Namun apabila sebaliknya t-h < t-t atau apabila kesalahan lebih dari 5%, maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang kesimpulannya adalah variabel independen tidak dapat menerangkan variabel dependen dengan baik, atau

2) Uji Simultan (Uji F) Untuk menguji pengaruh variabel independen dengan dependen yang digunakan secara simultan. Pengujian uji F atau variasinya dengan membandingkan F-hitung ( Fh) dengan F tabel (Ft) pada derajat signifikan

5%. Apabila hasil pengujian menunjukkan F h > F t atau probabilitas kesalahan kurang dari 5%, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal tersebut menunjukkan ada pengaruh signifikan dari variabel independen terhadap

variabel dependen. Namun, jika sebaliknya F h < F t atau probabilitas kesalahan lebih dari 5% , maka Ho diterima dan Ha ditolak. Hal tersebut menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen.

d. Goodness-of-Fit Setelah model ARIMA ditentukan, dan parameternya telah diestimasi, maka kemudian kita harus melihat apakah model yang terpilih cocok dengan data atau tidak. Beberapa tes diagnostik yang penting untuk diperhatikan antara lain:

1) 2 Koefisien Determinasi (R ) Koefisien korelasi (R) digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen. Nilai R berkisar antara 0 sampai dengan 1. Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan semakin kuat.

Namun jika R semakin mendekati 0 maka hubungan semakin lemah. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:  0,00-0,199 = sangat lemah  0,20-0,399 = lemah  0,40-0,599 = sedang  0,60-0,799 = kuat  0,80-1,00 = sangat kuat

Kuadrat dari nilai R disebut sebagai koefisien determinasi (R 2 ), yang nilainya berkisar antara 0% hingga 100%. Semakin tinggi nilai koefisien

determinasi, maka berarti bahwa model yang diestimasi semakin baik dalam menjelaskan variabel dependen. Ukuran Goodness-of-Fit ini mencerminkan seberapa besar variasi dari regressand (Y) dapat

diterangkan oleh regressor (X). Bila R 2 = 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R 2 = 1, artinya variasi dari Y, 100% dapat dterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R 2 =

1, maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi. Dengan demikian ukuran 2 goodness of fit dari suatu model ditentukan oleh R yang

nilainya antara nol dan satu.

2) Akaike Information Criteria (AIC) AIC adalah salah satu ukuran goodness-of-fit model regresi time series . Semakin kecil nilai AIC, maka suatu model regresi time series dikatakan semakin unggul.

3) Schwarz Information Criteria (SIC) SIC merupakan salah satu alternatif ukuran goodness-of-fit model regresi time series , namun dengan penalti yang lebih tinggi dari AIC. Serupa dengan AIC, suatu model regresi time series dikatakan lebih unggul jika nilai SIC nya semakin kecil.

e. Tahap peramalan ( forecasting ) Peramalan baru dilakukan setelah modelnya lolos tes diagnostic dan goodness-of-fit , sehingga diperoleh model yang paling optimal. Peramalan ini sesungguhnya merupakan penjabaran dari persamaan berdasarkan koefisien- koefisien yang didapat, sehingga dapat ditentukan kondisi di masa yang akan datang.

5. Model GARCH ( Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedastic ) Sebagaimana telah kita ketahui, pada umumnya data cross section sering memunculkan varians error yang heterokedastis. Akan tetapi, bukan berarti data time series terhindar dari permasalahan tersebut. Data keuangan seperti Indeks Harga Saham, inflasi, nilai tukar atau suku bunga seringkali mempunyai varian error yang tidak konstan. Pada model GARCH ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai permasalahan, tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut

dengan memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error dengan tepat, maka akan diperoleh estimator yang lebih efisien. Adakalanya varian dari error tidak tergantung pada variabel bebasnya melainkan varian tersebut berubah-ubah seiring dengan perubahan

untuk

membuat model. Bahkan membuat model. Bahkan

2 t j (2.2.) Keterangan:

Varians (kuadrat volatilitas) variabel dependen pada waktu t

Kuadrat error variabel dependen pada waktu t-i

Varians error variabel dependen pada waktu t-j

Parameter-parameter variance equation

2.4.2. Value-at-Risk (VaR)

Selain pengolahan data model time series dengan menggunakan E-Views 6 , dalam rangka mengimplementasikan model time series yang telah diestimasi untuk keperluan manajemen risiko, digunakan metode Value-at-Risk (VaR). Menurut Best

(1998) dikutip Sartono dan Setiawan (2006, hal 38) dalam jurnalnya yang berjudul VaR Portfolio Optimal: Perbandingan Antara Metode Markowitz dan Mean Absolute Deviation , Value at Risk atau VaR adalah suatu metode pengukuran risiko secara statistik yang memperkirakan kerugian maksimum yang mungkin terjadi atas suatu portofolio pada tingkat kepercayaan ( level of confidence ) tertentu. Nilai VaR selalu disertai dengan probabilitas yang menunjukkan seberapa mungkin kerugian yang terjadi akan lebih kecil dari nilai VaR tersebut. VaR adalah suatu nilai kerugian moneter yang mungkin dialami dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Sedangkan menurut Wikipedia (2011), dalam ekonomi dan keuangan, Value at Risk , disingkat VaR, adalah kerugian maksimum yang tak akan dilewati untuk suatu probabilitas yang didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan ( confidence level ), selama suatu periode waktu tertentu. VaR biasanya digunakan oleh lembaga efek atau bank investasi untuk mengukur risiko pasar dari portfolio aktiva mereka, walaupun sebenarnya VaR adalah suatu konsep yang bersifat umum yang dapat diterapkan untuk berbagai hal. VaR diterapkan secara luas dalam keuangan untuk manajemen risiko kuantitatif untuk berbagai jenis risiko. VaR tidak memberikan informasi mengenai besarnya kerugian jika dilampaui.

Menurut Sumiarbudi (2009) dalam tulisannya yang berjudul Value at Risk , model untuk menghitung VaR bermacam-macam, namun secara umum pengukuran VaR mengikuti proses lazim yang dapat diringkaskan dalam tiga tahap: Menurut Sumiarbudi (2009) dalam tulisannya yang berjudul Value at Risk , model untuk menghitung VaR bermacam-macam, namun secara umum pengukuran VaR mengikuti proses lazim yang dapat diringkaskan dalam tiga tahap:

b. Mengukur risiko dan menghitung VaR berdasarkan distribusi kerugian tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa metoda yang lazim digunakan, yaitu:

1) Pendekatan Variance-Covariance Metoda analisis variance-covariance berasumsi bahwa faktor risiko terdistribusi secara log-normal , sehingga log-returns terdistribusi normal. Setelah distribusi laba-rugi portfolio diperoleh, maka properti matematis baku dari distribusi normal dapat digunakan untuk menghitung kerugian yang akan setara dengan atau melampaui x persen pada suatu waktu, yakni VaR. Metode varian-covariane meliputi empat tahap:

a) Identifikasi faktor pasar dasar dan dan posisi standar yang berhubungan langsung dengan faktor pasar.

b) Berasumsi bahwa persen perubahan faktor pasar terdistribusi Normal dengan rerata nol dan mengestimasi parameter distribusinya.

c) Menggunakan standar deviasi dan korelasi faktor pasar untuk menentukan standar deviasi dan korelasi perubahan nilai standar posisi.

d) Hitung varian dan standar deviasi portfolio dengan menggunakan distribusi Normal untuk menentukan distribusi laba-rugi portfolio.

2) Pendekatan Simulasi Historis Metoda simulasi histories tidak berasumsi distribusi Normal, tetapi menggunakan distribusi empiris dari realisasi historis pada suatu waktu yang ditentukan.Lazim dianggap dibutuhkan data harian dua-tiga tahun untuk menghasilkan hasil berarti. Sekurang-kurangnya dibutuhkan data 250 hari terakhir (satu tahun) dan dihitung persen perubahannya. Tahapan untuk mengukur VaR pendekatan simulasi historis meliputi:

a) Identifikasi faktor pasar.

b) Memperoleh nilai histories dari faktor pasar selama N periode terakhir.

c) Nilai ulang portfolio sekarang dengan perubahan suku bunga dan harga pasar.

d) Hitung laba dan rugi harian.

e) Urutkan laba-rugi harian dari yang tertinggi sampai terendah.

f) Pilih persentil 99% untuk Value-at-Risk .

3) Pendekatan Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo berisi simulasi berulang proses acak yang dikaitkan dengan harga dan suku bunga pasar. Masing-masing simulasi menciptakan suatu nilai yang mungkin untuk portfolio pada horizon yang ditargetkan. Jika skenario simulasi diulang-ulang makin banyak, akan diperoleh nilai yang makin stabil. VaR dihitung dari distribusi yang diperoleh dari hasil simulasi tersebut. Tahapan mengukur VaR dengan pendekatan simulasi Monte Carlo: 3) Pendekatan Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo berisi simulasi berulang proses acak yang dikaitkan dengan harga dan suku bunga pasar. Masing-masing simulasi menciptakan suatu nilai yang mungkin untuk portfolio pada horizon yang ditargetkan. Jika skenario simulasi diulang-ulang makin banyak, akan diperoleh nilai yang makin stabil. VaR dihitung dari distribusi yang diperoleh dari hasil simulasi tersebut. Tahapan mengukur VaR dengan pendekatan simulasi Monte Carlo: