PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (Studi putusan PN Nomor 500/Pid.B/2016/Pn.Tjk)

ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Oleh :
Zulita Anatasia, Sunarto, Firganefi
Email : zulitaanatasia96@gmail.com
Tindak pidana pencabulan adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan di luar
perkawinan untuk mendapatkan kenikmatan seksual, menggangu kehormatan
kesusilaan dan diancam pidana. Salah satu contoh pelakunya ialah anggota satuan polisi
pamong praja sebagai penegak hukum melakukan tindak pidana pencabulan kepada
seorang wanita dengan merujuk pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 500/Pid.B/2016/PN.Tjk, Terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana penjara
8 bulan. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anggota satuan polisi pamong
praja dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pelaku tindak
pidana pencabulan yang dilakukan oleh anggota satuan polisi pamong praja.Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian lapanganyakni,
wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari penelitian

kepustakaan meliputi literatur, peraturan perundang-undangan,dokumen resmi dan lainlain.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dalam pertanggungjawaban pidana
pelaku memenuhi syarat pemidanaan mampu Bertanggungjawab karena mampu menilai
dengan pikiran bahwa perbuatannya dilarang oleh undang-undang. Kesengajaan
terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat delik. Tidak ada alasan pemaaf
dikarenakan perbuatan terdakwa bersifat melawan hukum. Dasar pertimbangan hukum
hakim menjatuhkan putusan memiliki 3 dasar yaitu pertimbangan yuridis, filosofis, dan
sosiologis.Saran dalam penelitian ini adalah agar pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana pencabulan diberikan hukuman yang berat agar menimbulkan efek
jera.Hakim harus melihat semua aspek berdasarkan kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan agar dapat dirasakan semua pihak, mengingat bahwa kejahatan asusila di
Indonesia terus meningkat.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Pencabulan,Anggota
Satuan Polisi Pamong Praja.

ABSTRACT

THE CRIMINAL LIABILITY OF THE SEXUAL ABUSEOFFENDER
BY MUNICIPAL POLICE UNIT

By:

Zulita Anatasia, Sunarto, Firganefi
Email: zulitaanatasia96@gmail.com
The sexual abuse is an unlawful act. It is not only obtaining sexual pleasure and
interfering the decency, but also, it is committed to forbidden marriage and threatened
the criminal penalty. The offender is a member of municipal police unit who isthe part
of law enforcementthat committing a criminal act to a woman. It refers to the
Adjudication of Tanjung Karang District Court No. 500/Pid.B/2016/PN.Tjk.The
defendant is proven guilty and sentenced to 8 months imprisonment. The problem in
this research is how the criminal liability of sexual abuse offender which committed by
a member of municipal police unit and whether the judge's judgment in sentencing the
sexual abuse offender.The problem approaches used in this paper are the juridical
normative and juridical empirical approach.The primary data was obtained from field
research thatrelated to research problem. That was interviewing the Judge of Tanjung
Karang District Court and the Lecturer of Criminal Law Faculty of Lampung
University. The secondary data was obtained from literature research study, in which
the literature books, the legislation, the official documents and others.Based on the
results of this research, in the case of criminal liability, the offender is qualified to
capable of responsible because the action is prohibited by law. The intention of the
defendant is to know the possibility of the offense. There is no excuse, because the
defendant’s act is unlawful.The judge has three legal considerations of the judgment,

namely juridical, philosophical, and sociological considerations. The suggestion in this
research is for criminal liability of sexual abuse offender can be given a severe
punishment, so it can give the deterrent effect. The judge should be considering in all
aspects based on legal certainty, utility and justice where, in Indonesia sexual abuse
always increases.

Keyword

: Criminal Liability, Sexual Abuse, Municipal Police Unit.

I.

PENDAHULUAN

Kejahatan menurut sudut pandang
secara yuridis adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan
Undang-Undang.
Menurut
sudut

pandang secara sosiologis kejahatan
adalah perbuatan atau tingkah laku yang
selain merugikan si penderita, juga
sangat merugikan masyarakat yaitu
berupa
hilangnya
keseimbangan,
ketentraman dan ketertiban.1
Perkembangan teknologi yang demikian
pesat menimbulkan problema baru bagi
pembentuk Undang-Undang tentang
bagaimana
caranya
melindungi
masyarakat secara efektif dan efisien
terhadap bahaya demoralisasi sebagai
akibat dari masuknya pandangan dan
kebiasaan budaya barat mengenai
kehidupan seksual di negara masingmasing. Masuknya pandangan dan
kebiasaan budaya barat ke Indonesia,

dapat menimbulkan masalah bagi
pemerintah dalam usahanya untuk
memelihara keamanan umum dan
mempertahankan ketertiban umum
dalam masyarakat yang bukan tidak
mungkin dapat mempengaruhi secara
negatif usaha bangsa Indonesia dalam
memelihara
ketahanan
nasional
mereka.2
Tindak pidana kesusilaan dapat terjadi
pada siapapun tidak terkecuali pada
anak maupun perempuan, seperti tindak
pidana pencabulan yang dilakukan oleh
anggota satuan polisi pamong praja
terhadap seorang perempuan yang
bekerja pada suatu tempat therapiatau
dapat dikatakan sebagai tempat
pengobatan secara tradisional dengan


teknik pemijatan yang berada di Bandar
lampung.
Tindak pidana kesusilaan adalah segala
macam
bentuk
perilaku
yang
berkonotasi seksual yang dilakukan
secara sepihak dan tidak diharapkan
olehorang yang menjadi sasaran
sehingga menimbulkan reaksi negatif,
rasa malu, marah, tersinggung pada diri
orang yang menjadi korban pelecehan
seksual tersebut. Pelecehan seksual
adalah perilaku pendekatan-pendekatan
yang terkait dengan seksyang tidak
diinginkan, termasuk permintaan untuk
melakukan seks, dan perilaku lainnya
yang secara verbal ataupun fisik

merujuk pada seks.3
Terdapat berbagai bentuk tindak pidana
yang dilakukan, seperti yang telah
disebutkan di atas. Salah satu contohnya
adalah tindak pidana pencabulan yang
diatur dalam Pasal 289 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dengan
kualifikasi penyerangan kesusilaan
dengan perbuatan feitelijke aanranding
der eerbaarheid dirumuskan sebagai
dengan kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan dilakukan
padanya perbuatan cabul outuchtige
handelingen dengan ancaman hukuman
maksimum 9 (sembilan) tahun penjara.4
Pengertian terhadap kata “cabul” tidak
dijelaskan secara rinci dalam KUHP.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat
artinya “Keji, kotor, tidak senonoh
(melanggar
kesopanan,

kesusilaan)”.Menurut komentar para
penulis
Belanda,
perbuatan
yangdipaksakan dalam Pasal 289 KUHP
perbuatan cabul merupakan pengertian
umum
yang meliputi perbuatan

1

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap
Pasal DemiPasal, Politeia, Bogor, 1985, hlm. 2
2
P.a.f. Lamintang dan theo lamintang,delik-delik
khusus melanggar norma kesusilaan dan norma
kepatutan,sinar grafika,Jakarta,2011,hlm.1.

3


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_Seks
ual senin, 13 Januari 2017, pukul 14.00 WIB
4
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana
Tertentu Di Indonesia, Bandung:Refika
Aditama, 2003, hlm.118

bersetubuh dari Pasal 285 sebagai
pengertian khusus.5
Pencabulan adalah setiap bentuk
perilaku yang memiliki muatan seksual
yang dilakukan seseorang atau sejumlah
orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi
sasaran
sehingga
menimbulkan
akibatnegatif, seperti rasa malu,
tersinggung, terhina, marah, kehilangan

harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang
menjadi korban.6
Aturan hukum mengenai tindak pidana
mempunyai struktur yang berbeda
dengan aturan mengenai bagaimana
reaksi
terhadap
mereka
yang
melanggarnya
tersebut.
Artinya,
penegakkan
kewajiban-kewajiban
tersebut memerlukan suatu program
aplikasi yang dinamakan sistem
pertanggungjawaban pidana.7
Aturan mengenai pertanggungjawaban
pidana bukan merupakan standar

perilaku yang wajib ditaati masyarakat,
tetapi regulasi mengenai bagaimana
memperlakukan
mereka
yang
melanggar kewajiban tersebut.8 Dalam
hubungan ini, kesalahan merupakan
faktor penentu bagi pertanggungjawaban
pidana.
Ada
tidaknya
kesalahan, terutama penting bagi
penegak hukum untuk menentukan
apakah seseorang yang melakukan
tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan
dan
karenanya
patut
dipidana.Pertanggungjawaban pidana
5

ibid
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seks
ual diakses pada 13 januari 2017 pukul:13.30
WIB
7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta,
Bina Aksara, 1987, Hlm 155
8
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan
Menuju
Kepada
TiadaPertanggungjawaban
Pidana
Tanpa
Kesalahan, Jakarta, Kencana, 2011, Hlm .20
6

hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan tindak
pidana.9 Moeljatno mengatakan, orang
tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) kalau dia tidak
melakukan perbuatan pidana.10
Pertanggungjawaban pidana pertamatama tergantung pada dilakukannya
tindak pidana. Pertanggungjawaban
pidana hanya akan terjadi jika
sebelumnya telah ada seseorang yang
melakukan tindak pidana, ataupun
dengan
tidak
mungkin
seorang
dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana, jika yang bersangkutan tidak
melakukan tindak pidana.
Setiap orang yang melakukan kejahatan
harus bertanggungjawab secara hukum
karena sudah diatur dalam hukum
tertulis di Indonesia. Salah satu contoh
kasus pencabulan pada perkara (Putusan
PN Nomor 500/Pid.B/2016/PN.Tjk),
terdakwa melakukan perbuatan cabul
pada saat bertugas untuk melaksanakan
misi penggerebekan yang dilakukan
oleh salah satu Anggota Satuan Polisi
Pamong Praja di Bandar Lampung pada
Tahun 2015.
Kronologis dalam perkara tersebut
berawal pada hari Kamis tanggal 10
September 2015 sekira Pukul 13.00
WIB terdakwa mendapat telepon dari
saksi Asrin Bin Solihin dan saksi Budi
Ari Himawan RI Bin Ismail Effendi RI
bahwa saksi Dedi Saputra Bin Sulaiman
dan terdakwa ditunggu diruang kerja
KaPolisi pamong praja kota Bandar
Lampung. Sekira pukul 14.00 WIB
terdakwa bersama saksi Dedi Saputra
Bin Sulaiman masuk keruang kerja
KaPolisi pamong praja Cik Raden yang
selanjutnya dalam ruangannya, Cik
Raden merancang suatu penjebakan
9

ibid, Hlm 20
Moeljatno, Op.cit., Hlm. 155

10

pada gedung City Spa Bandar
Lampung. Dikatakan sebagai misi
penggerebekan City Spa yaitu dengan
menyuruh lakukan terdakwa Gusti
untuk melakukan perbuatan melawan
hukum.
Pukul 14.30 WIB bertempat di dalam
Kamar Gedung CITY SPA Lampung
Tipe Eksekutif No. 207 Lantai II Jl.
Pangeran
Dipenogoro
No.
181
Kelurahan Kupang Teba Kecamatan
Teluk Betung Utara Bandar Lampung.
Terdakwa
menjalankan
misi
penggerebekana
pada
City
Spa
danmelakukan
tindak
pidana
pencabulan
secara
paksa
untuk
melakukan hubungan badan serta
ancaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 289 KUHP sertamelakukan
perbuatan tidak menyenangkan dengan
memakai
kekerasan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 335 KUHP.
Terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Secara melawan hukum
memaksa
orang
lain
supaya
membiarkan melakukan suatu perbuatan
dengan memakai kekerasan terhadap
orang itu sendiri yang dilakukan secara
bersama-sama”. Terdakwa dihukum
dengan Pidana Penjara selama 8
(Delapan) bulan. Sebelumnya tuntutan
dari jaksa M. Syarief mengajukan
hukuman penjara selama 2 (dua) tahun
dan Cik Raden selaku KaPolisi terbukti
melakukan tindak pidana yaitu turut
serta
dalam
melakukan
misi
penggerebekan City Spa. Dalam hal ini
Cik Raden dikenakan pasal 55 KUHP
dan dihukum pidana penjara selama 1
(satu) bulan.
Berdasarkan contoh kasus diatas salah
satu hal yang menarik dalam kasus ini
adalah Terdakwa merupakan Anggota
Satuan Polisi Pamong Praja Bandar
Lampung yang melakukan tugas dalam

misi penggerebekan City Spa yang
diduga dan berdasarkan pengaduan
masyarakat bahwa tempat tersebut
merupakan tempat Therapi Plus-Plus.
Kasus tindak pidana yang dilakukan
oleh
Gusti,
terdakwa
terbukti
melakukan tindak pidana pencabulan.
Selain terdakwa Gusti terdapat nama
Cik Raden yang merupakan atasan
terdakwa, yang mana menugaskan
terdakwa untuk melakukan misi
rekayasa penggerabakan pada City Spa.
Mengingat bahwa dalam perkara
pencabulan yang dilakukan oleh
terdakwa Gusti bukan berasal dari
dirinya sendiri, melainkan adanya faktor
pendorong dari ketua polisi pamong
praja yaitu Cik Raden yang juga
terbukti menyuruh lakukan dan turut
serta
melakukan
dalam
misi
penggerebekan City Spa. Tertuang
dalam pasal yang dikenakan yaitu Pasal
55 KUHP. Penjeratan kasus tersebut
memiliki tingkat kategorinya, yaitu
yang menyuruh, melakukan, dan turut
serta melakukan. dalam Pasal 55 KUHP
Ayat (1) ke-1 KUHP menyatakan
dipidana sebagai pelaku tindak pidana
mereka yang melakukan, menyuruh
melakukan, dan yang turut serta dalam
melakukan perbuatan.
Hakim
harus
mempertimbangkan
pertanggungjawaban
pidana
yang
seharusnya diterima oleh terdakwa,
karena perbuatan yang terdakwa
lakukan terjadi dikarenakan adanya
daya paksa orang yang berkuasa
yaituketua satuan polisi pamong praja
Cik Raden selaku atasan terdakwa dan
dapat dikategorikan perbuatan yang
telah dilakukan oleh terdakwa adalah
overmacht. Tetapi walaupun terdakwa
hanya menerima perintah dari atasan
nya, terdakwa Gusti terbukti telah
melakukan perbuatan tindak pidana
pencabulan terhadap karyawati di City
Spa.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di
atas, maka penulis tertarik untuk
menelitinya dan menyusunnya ke dalam
penulisan hukum yang hasilnya akan di
jadikan
skripsi
dengan
judul
“Pertanggungjawaban Pidana Pelaku
Tindak
PidanaPencabulan
Yang
Dilakukan Oleh Anggota Satuan Polisi
Pamong Praja (Studi Putusan PN
Nomor 500/Pid.B/2016/PN.Tjk)”
Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut maka permasalahan yang akan
dibahas dan dikembangkan dalam
penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana pelaku
tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh Anggota Satuan
Polisi Pamong Praja dalam perkara
Putusan
Nomor
500/Pid.B/2016/PN.Tjk ?
2. Apakah dasar pertimbangan hukum
hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku pencabulan yang
dilakukan oleh Anggota Satuan
Polisi Pamong Praja?
Pendekatan masalah yang dipergunakan
dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris.
Data primer diperoleh secara langsung
dari penelitian di lapangan yang ada
hubungannya dengan masalah yang
diteliti, yakni dilakukan wawancara
terhadap Hakim Pengadilan Negeri
Tanjung Karang dan Dosen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Data sekunder diperoleh dari
penelitian kepustakaan yang meliputi
buku-buku
literatur,
peraturan
perundang-undangan,dokumendokumen resmi dan lain-lain.

II. PEMBAHASAN
A. Pertanggugjawaban
pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencabulan Yang Dilakukan Oleh
Anggota Satuan Polisi Pamong
Praja (Putusan Perkara Nomor
500/Pid.B/2016/PN.Tjk)
Pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak.Untuk dapat
dipidananya pelaku, disyaratkan bahwa
tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang.
Seseorang akan dipertanggungjawabkan
atas tindakan pidanaapabila tindakan
tersebut melawan hukum serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat
melawan hukum untuk pidana yang
dilakukannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka
hanya
seseorang
yang
mampu
bertanggungjawab
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatannya. Tindak pidana jika tidak
terdapat kesalahan merupakan asas
pertanggungjawaban pidana, oleh sebab
itu dalam hal dipidananya seseorang
yang melakukan perbuatan sebagaimana
yang telah diancamkan tergantung dari
soal apakah dalam melakukan perbuatan
ini dia mempunyai kesalahan.11
Pertanggungjawaban
pidana
atau
kesalahan menurut hukum pidana harus
adanya kemampuan bertanggungjawab
atau dapat dipertanggungjawabkan dari
pembuat, juga adanya perbuatan
melawan hukum yaitu suatu sikap psikis
pelaku
yang
terkait
dengan
11

Abintoro prakoso, kriminologi dan hukum
pidana, laksbang grafika,Yogyakarta, 2013,
hlm,. hlm 49

kelakuannyayang disengaja, kurang
hati-hati atau lalai dan tidak ada alasan
pembenar
atau
alasan
yang
menghapuskanpertanggungjawaban
pidana bagi pembuat.
Pertanggungjawaban
pidana
harus
memuat beberapa ketentuan maupun
unsur-unsur penting yang termuat
didalamnya.
Pertanggungjawaban
pidanatidakdapat
dilepaskandaripembicaraanmengenaiper
buatanpidana.Orangtidak
mungkin
dipertanggungjawabkan untuk dipidana
apabila
ia
tidak
melakukan
tindakpidana.Menurut Sudarto, dalam
pertanggungjawaban pidana seseorang
harus
mampu
untuk
bertanggungjawab.Hal-hal
tersebut
antara lain sebagai berikut12
a.

Mampu bertanggungjawab

Kemampuan
bertanggungjawab
terdakwa
adalah
suatu
keadaan
normalitas pyschis dan kematangan
(kecerdasan) yang mampu untuk
mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri, mampu untuk
menyadari bahwa perbuatannya itu
menurut pandangan masyarakat tidak
diperbolehkan, dan mampu untuk
menentukan
kehendaknya
atas
perbuatan-perbuatannya. Berdasarkan
bukti dan fakta yang terungkap dimuat
dalam
putusan
hakim
bahwa
Pertanggungjawaban
suatu
tindak
pidana harus berdasarkan perbuatannya,
kemudian
dilihat
kemampuan
bertanggungjawab kepada orangnya dan
sanksi
yang
mengikat
terhadap
perbuatannya. Maka Gusti Zaldi Arif
Dian Bin Zainal Ambia dikenakan Pasal
289 KUHP jo Pasal 55ayat (1) ke-1
KUHPserta Cik RADEN Bin Djekat
dikenakan Pasal 55 KUHP.
12

Sudarto, Hukum Pidana, Yayasan Sudarto,
Fakultas hukum UNDIP, Semarang, 1997, hlm 64.

b.

Kesalahan

Kesalahan terdakwa sebagai salah satu
syarat pemidanaan.Kesalahan harus
dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut
perbuatannya,
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut. Dalam hal ini berlaku asas
“Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”, disini
dalam arti luas, meliputi juga
kesengajaan,
Tidak
ada
alasan
pembenar
atau
alasan
yang
menghapuskan
pertanggungjawaban
pidana bagi pembuat.
Pemidanaan terhadap suatu perbuatan
harus berdasarkan hukum dimana
perbuatan tersebut haruslah merupakan
suatu tindakan yang dilarang memiliki
sanksi yang mengikat. Hal ini sering
disebut dengan asas legalitas. Pada
dasarnya asas legalitas lazim disebut
juga dengan terminologi principle of
legality. Ketentuan asas legalitas
Indonesia yang menentukan “Tiada
suatu peristiwa dapat dipidana selain
darikekuatan ketentuan undang-undang
pidana yang mendahuluinya”. (Geen felt
is strafboar dan ult kracht van een
daaran
voorafgegane
wetteljke
strafbepaling) tercantum dalam Pasal 1
Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP).
c.

Tidak ada alasan pemaaf

Tidak ada alasan pemaaf bagi terdakwa
dikarenakan perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa bersifat melawan hukum
dan merupakan perbuatan pidana. Atas
perbuatan yang telah terdakwa lakukan
yaitu terbukti melanggar perintah
jabatan dimana tidak sesuai dengan
tugas, wewenang, dan ruang lingkup
kerja juga terbukti secara sah
melakukan tindak pidana pencabulan

serta dijelaskan dalam pasal 289 kuhp jo
pasal 55 kuhp.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Yus Enidar13 Selaku Hakim
Majelis Pengadilan Negeri Kelas 1A
Tanjung Karang, bahwa syarat pokok
dipidana yaitu adanya suatu pidana atau
delik. Yaitu dipenuhinya semua unsur
delik atau pidana seperti yang dimuat
dalam
delik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan si pelaku atas
perbuatannya. Tindakan dari pelaku
tersebut haruslah dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
Poin yang dimaksud dalam unsur
perbuatan tersebut yaitu harus adanya
suatu perbuatan oleh pelaku dimana
perbuatan tersebut merupakan suatu
tindakan pidana atau merupakan suatu
yang dilarang berdasarkan hukum
pidana yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Sanusi14selaku Dosen Fakultas
Hukum Bagian Pidana Universitas
Lampung
berpendapat
bahwa
pertanggungjawaban pidana memiliki
prinsip setiap perbuatan yang melanggar
hukum
haruslah
dipertanggungjawabkan, artinya tidak
memiliki ketentuan berbeda anatara
seseorang yang merupakan anggota
satuan polisi pamong praja dan
seseorang yang bukan anggota satuan
polisi
pamong
praja.
Pertanggungjawaban
pidana
pada
dasarnya memiliki 2 (dua) sifat yaitu
subjektif dan objektif, perbedaannya
terdapat dalam berat ringan nya dijatuhi
hukuman dalam posisi hukum pada
pelaku. Jika pencabulan yang dilakukan
oleh antar remaja ataupun warga sipil
biasa terjadi, tetapi akan berbeda jika
13

Hasil wawancara dengan Yus Enidarpada
tanggal 8 maret 2017, pukul 09.00 WIB.
14
Hasul wawancara dengan Sanusi pada tanggal
7 maret 2017, pukul 11.00 WIB.

perbuatan asusila tersebut dilakukan
oleh seseorang yang seharusnya
melindungi masyarakat.
Berdasarkan hasil Wawanacara penulis
dengan Eddy Rifai 15Selaku Dosen
Fakultas Hukum Bagian Pidana
Universitas Lampung bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh Gusti merupakan
suatu perintah yang diberikan oleh Cik
Raden selaku atasannya dan benar
adanya,
bahwa
Gusti
memiliki
hubungan kepegawaian terhadap Cik
Raden. Berdasarkan Pasal 51 KUHP
ayat (1) “Orang yang melakukan
perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa
yang berwenang, tidak boleh dipidana”.
Terdapat pengertian dari yang dimaksud
dengan perintah, apa yang dinamakan
perintah disampaikan oleh unrecht
bahwa perintah haruslah dalam arti
konkret artinya suatu perintah harus
dijalankan dengan benar sesuai yang
disampaikan oleh pemberi perintah dan
berdasarkan
ruang
lingkup
pekerjaannya.
Menurut analisis penulis berdasarkan
uraian diatas tujuan pemidanaan ini
bukanlah suatu pembalasan melainkan
pembinaan bagi terdakwa yang telah
berbuat salah, apalagi terdakwa
merupakan seorang anggota satuan
polisi pamong praja yang tidak
sewajarnya melakukan tindak pidana
pencabulan. Tindakpidana pencabulan
yangdilakukan
oleh
terdakwatermasukkategori
penyimpangan seksual.
Kemampuan orang untuk membedabedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk didasarkan atas kemampuan
15

Hasil wawancara dengan Eddy Rifai pada
tanggal 12 april, pukul 11.00 WIB.

faktor akal, yaitu orang itu dapat
membedakan
perbuatan
yang
diperbolehkan dan perbuatan yang
dilarang.
Kemampuan
untuk
menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan tersebut adalah merupakan
faktor
perasaan
yaitu
dapat
menyesuaikan tingkah lakunya dengan
keinsyafan
atas
mana
yang
diperbolehkan dan mana yang tidak.
Sebagai konsekuensinya adalah orang
yang mampu menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik atau
buruknya suatu perbuatan, maka dia
mempunyai
kesalahan
bila
dia
melakukan tindak pidana, orang
demikian itu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Pada kasus ini terdakwa melakukan
tindak pidana pencabulan dengan cara
memaksa korban dengan kekerasan dan
ancaman. Pertanggungjawaban pidana
pelaku tindak pidana pencabulan
terhadap therapis City Spa didasarkan
dengan adanya unsur kesalahan dan
kesengajaan
dalam
melakukan
perbuatan pidana. Tidak ada alasan
pembenar dan pemaaf bagi terdakwa
dalam melakukan tindak pidana
persetubuhan dengan pekerja therapis di
City Spa, yaitu dengan sengaja
melakukan, atau turut serta melakukan
perbuatan itu dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seseorang
untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 289 KUHP jo
Pasal 55 KUHP.

B. Pertimbangan Hukum Hakim
Dalam
Menjatuhkan
Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencabulan Yang Dilakukan Oleh
Anggota Satuan Polisi Pamong
Praja (Putusan Perkara Nomor
500/Pid.B/2016/PN.Tjk)
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan
pidana
kepada
terdakwa
harus
didasarkan pada berbagai pertimbangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang
harus
selalu
diperhatikan
yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. Demikian juga putusan hakim
untuk menyelesaikan suatu perkara
yang diajukan di Pengadilan, bahwa
putusan yang baik adalah yang
memperhatikan tiga nilai unsur yaitu
nilai yuridis (kepastian hukum), nilai
sosiologis (kemanfaatan),dan filosofis
(keadilan).16
Dasar
pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh
anggota satuan polisi pamong praja
dengan seorang karyawati ialah dengan
pertimbangan-pertimbangan
sebagai
berikut
1.

Pertimbangan Yuridis

Hakim secara yuridis tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya
2(dua) alat bukti yang sah, sehingga
hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan
terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya.Aspek
pertimbangan
yuridis sangat penting dalam hal hakim
akan memutus suatu perkara, karena
dalam hal ini yuridis menjadi alat bantu
hakim dalam melihat suatu perkara,
seperti sudah terdapat 2 (dua) alat bukti
16

http://knowledgeisfree.blogspot.id
dikases
pukul 19.00 WIB hari kamis tanggal 4 Maret
2017

dan

pidana yang dijatuhkan terhadap
terdakwa17

Berdasarkan aspek yuridis, seorang
hakim akan melihat permasalahan
berdasarkan ketentuan dan koridor
hukum yang berlaku untuk memberikan
pesan keadilan. Aspek yuridis pada
kasus pencabulanyang dilakukan oleh
anggota satuan polisi pamong praja dan
KaPolisi
pamong
praja
yang
menjalankan
misi
penggerebekan
terhadap City Spa dimana diluar
wewenang mereka sebagai anggota
satuan polisi pamong praja.Hukuman
yang terdakwa dapat tidak terlalu
memberatkan, mengingat akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan terdakwa
kepada korbannya, dan diharapakan
dapat menimbulkan efek jera untuk
kedepannya tidak terdapat kasus seperti
ini.

Alat bukti dalam kasus tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh
anggota satuan polisi pamong praja
adalah berupa:

yang terbukti secara sah
menyakinkan kebenarannya.

Keyakinan hakim dalam menjatuhkan
putusan bukan semata-mata peranan
hakim sendiri untuk memutuskan, tetapi
hakim meyakini bahwa terdakwa telah
melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan dan didukung oleh alat
bukti yang sah menurut UndangUndang.
Adapun
hakim
mempertimbangkan
hal-hal
yang
ditentukan menurut pasal 184 ayat (1)
dan (2) KUHAP atau hal-hal yang
bersifat yuridis tentang alat bukti yang
sah yaitu :
1.

2.

Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan.
Sedangkan hal-hal yang bersifat
non-yuridis yaitu hal-hal yang
memberatkan ataupun meringankan

1. Keterangan Terdakwa,
2. Keterangan Ahli dan
3. Keterangan Saksi.
Barang bukti lainnya yakni berupa:
- 1(satu) eksemplar surat kontrak
kerjasama antara Puji Lesatri selaku
karyawati dengan pihak managemen
City Spa Lampung yang diwakili
oleh Maya Aprilia selaku personalia
tertera tanggla 10 desember 2013.
- 1 (satu) eksemplar bertita acara
penutupan city spa lampung hari
jumat tanggal 11 september 2015
yang
di
tandatangani
oleh
Hariansyah selaku penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS) sebagai yang
melakukan penyegelan.
- 1 (satu) lembar baju kemeja seragam
kerja therapis City Spa Lampung
lengan
pendek
warna
merah
memakai 4 (empat) buah kancing
pada bagian paling bawah lepas.
- 1 (satu) buah kancing baju warna
merah terbuat dari bahan plastic.
- 1 (satu) lembar rok seragam kerja
therapis city spa lampung warna
merah.
- 1 (satu) buah kunci loker dasar warna
kuning lis hitam nomor 202 memakai
gantungan karet warna hitam.
- 1(satu) unit handphone warna hitam
list hijau merek venera memakai
simcard
(kartu)
AS
yang
dipergunakan untuk pembuktian
dalam perkara terdakwa Gusti dan
Cik Raden.

17

Satjipto Rahardjo. Op. Cit.hlm. 11

Pertama perbuatan yang telah dilakukan
harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa
Gusti memang dalam hubungan
kepegawaian dengan Cik Raden, kedua
perintah itu harus ada dalam ruang
lingkup jabatannya. Apabila jika
terdakwa gusti diperintah oleh Cik
Raden untuk merazia tempat hiburan
malam yang mana di tempat tersebut
terdapat
PSK
(pekerja
seks
komersial)tertangkap maka perbuatan
tersebut tidak melanggar hukum karena
gusti
mendapat
perintah
untuk
melaksanakan yang berada dalam
lingkup kerjanya.
Suatuperintah harus dalam ruang
lingkup
kerjanya,
dan
apabila
berdasarkantugas dan wewenangnya
sebagai satuan polisi pamong praja, jika
ditemukan suatu perintah tersebut
melanggagr tugas dan wewenang nya
dalam artian diluar ruang lingkup
pekerjaan dan dalam saat melakukan
nya kedapatan melanggar hukum maka
perbuatan
tersebut
harus
dipertanggungjawabkan sesuai dengan
perbuatan yang telah dia lakukan dan
tidak termasuk kedalam overmacht
ataupunambtelijk bevel yang mana telah
tercantum dalam Pasal 51 KUHP
tentang Perintah Jabatan.
Selain terdapat nama Gusti sebagai
terdakwa, Cik Raden selaku ketua polisi
pamong
praja
tidak
seharusnya
menyuruh lakukan bawahan nya untuk
melakukan perbuatan melawan hukum
yang mana diluar tugas dan wewenang
anggota satuan polisi pamong praja
yang telah tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2010, dan
sebagaimana yang telah disampaikan
oleh majelis hakim bahwa terdakwa Cik
Raden dikenakan Pasal 55 KUHP.

2.

Pertimbangan Filosofis

Pertimbangan filosofis diperlukan oleh
hakim karena hakim harus melihat sisi
lain dalam memutus suatu perkara,
filosofis dapat diartikan seorang hakim
harus mempertimbangkan sisi kebaikan
dari suatu putusan hukum yang akan
dijatuhkan kepada terdakwa. Aspek
filosofis tentu melihat sisi lain dan
dampak dari suatu putusan hukum
kepada terdakwa. Dalam kasus ini aspek
filosofis hakim tentu akan memberikan
suatu tujuan dari suatu putusan hukum
yang
dijatuhkan,
dengan
mengedepankan aspek moralitas dan
mempertimbangkan agar suatu putusan
hukum yang akan dijatuhkan dapat
menjadikan pelajaran bagi terdakwa
agar
tidak
mengulangi
lagi
perbuatannya.
Beberapa dasar pertimbangan filosofis
hakim dalam proses peradilan pada
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang Nomor 500/Pid.B/2016/PN.Tjk
adalah menurut hemat Majelis Hakim
terhadap diri para terdakwa, patut dan
adil kiranya apabila dijatuhi hukuman
pidana yaitu Pasal 289 KUHP jo Pasal
55 KUHP ayat (1) ke-1, Pasal 335
KUHP dan terhadap Cik RadenPasal 55
KUHP, dan sebgaimana yang telah
diatur dalam pasal 222 ayat (1) KUHAP
terdakwa harus dibebani pula untuk
membayar biaya perkara setelah
memperhatikan Pasal 335 KUHP, Pasal
289 KUHP dan Pasal 55 KUHPuntuk
memberikan pelajaran hidup baginya.
3.

Pertimbangan Sosiologis

Dasar pertimbangan hakim secara
sosoiologis dalam menjatuhkan pidana
dalam Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung
Karang
Nomor:
500/Pid.B/2016/PN.Tjk terdiri dari halhal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan, yaitu sebagai berikut:

a. Hal yang memberatkan yaitu bahwa
terdakwa berbelit belit memberikan
keterangan dan tidak berterus terang
sehingga menyulitkan persidangan.
b. Hal-hal yang meringankan, yaitu:
Terdakwa mengakui perbuatannya
dan menyesal dan belum pernah
dihukum,
Terdakwa
memiliki
keluarga, Terdakwa sopan dalam
persidangan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Yus Enidar18 selaku Hakim
Majelis Pengadilan Negeri Kelas 1A
Tanjung Karang bahwa pertimbangan
hakim di dalam persidangan yaitu hakim
melihat dan mendengar keterangan
saksi-saksi, melihat barang bukti yang
diajukan penuntut umum dipersidangan.
Dari keterangan saksi, barang bukti,
keterangan terdakwa dipadukan yang
disebut fakta hukum. Fakta-fakta
hukum ini akan dicocokkan dengan
pasal yang didakwakan tersebut dan
terbukti memenuhi unsur-unsur pasal
yang didakwakan Pasal 289 KUHP,
Pasal 335 KUHP dan Pasal 55 KUHP,
dari fakta hukum tersebut terbukti
terdakawa secara sah dan meyakinkan
bahwa perbuatan terdakwa memaksa
saksi korban Puji Lestari supaya
membiarkan bajunya dibuka oleh
terdakwa.

Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Sanusi19selaku Dosen Fakultas
Hukum Bagian Pidana Universitas
Lampung yaitu yang menjadi dasar
dalam pertimbangan hukum hakim
tercantum didalam Pasal 183 KUHAP
dan Pasal 184 KUHAP. Terdapat format
yang harus di lakukan oleh seorang
hakim anatara lain itu adanya dakwaan,
adanya fakta, adanya masalah dan
18

Hasil Wawancara Dengan Yus Enidar, Pada
Tanggal 7 Maret 2017, Pukul 09.00 WIB
19
Hasil Wawancara Dengan Sanusi, Pada
Tanggal 7 Maret 2017, Pukul 11.00 WIB

pembuktian yang menjadi dasar
pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan perkara. Penting dalam
dasar pertimbangan hukum hakim
didasarkan pada adanya disamping
terbukti dari apa yang dilakukan sampai
dengan keyakinan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Eddy Rifai 20 selaku Dosen
Fakultas Hukum Bagian Pidana
Universitas Lampung seseorang yang
melakukan suatu perbuatan walaupun
perbuatan itu melawan hukum tetapi
dikarenakan perintah jabatan dia tidak
dipidana. Dalam hal ini Gusti
melakukan perintah jabatan.yang mana
tugasnya
yaitu
melakukan
misi
penggerebekan pada City Spa dan
melaksanakan perintah dari Cik Raden
maka dia tidak dapat dipidana.
Menurut analisis penulis berdasarkan
keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta
yang terungkap di persidangan yaitu
terdakwa terbukti telah melakukan
tindak pidana sebagaimana didakwakan
dalam Pasal 289 KUHP jo Pasal 55
KUHPsecaramelawan hak memaksa
orang
lain
supaya
membiarkan
melakukan suatu perbuatan dengan
memakai kekerasan terhadap orang itu
sendiri yang dilakukan secara bersama
sama dan bertanggung jawab atas
perbuatannya serta dijatuhi dengan
hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya. Kedua pasal tersebut
merupakan dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan suatu pemidanaan.
Hal-hal yang meringankan terdakwa
dalam
perkara
ini
bahwa
terdakwamenyesali perbuatannya dalam
melakukan perbuatan asusila dan belum
pernahnya terdakwa dihukum, juga
terdakwa bersikap sopan selama
persidangan.
20

Hasil wawancara dengan Eddy Rifai, pada
tanggal 12 april 2017, pukul 11.00 WIB.

III. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah
melakukan
pembahasan
terhadap data yang diperoleh dalam
penelitian maka sebagaimana penutupan
dari pembahasan atas permasalahan
dalam skripsi ini, penulis menarik
simpulan :
1. Pertanggungjawaban pidana adalah
suatu mekanisme untuk menentukan
apakah seseorang terdakwa atau
tersangka dipertanggungjawabkan
atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak. Dalam kasus
pencabulan ini memenuhi tiga unsur
dari pertanggungjawaban pelaku
tindak pidana pencabulan yaitu
ditinjau dari kemampuan Gusti
Zaldi Arid Dian (terdakwa) dapat
bertanggung jawab. Berdasarkan
perbuatan terdakwa dalam hal ini,
terdakwa dikatan sehat atau dapat
dikatakan bahwa orang yang normal
jiwanya dan mampu bertanggung
jawab karena ia mampu menilai
dengan pikiran dan perasaanya
bahwa perbuatannya itu dilarang,
artinya tidak dikehendaki oleh
undang-undang, dan ia seharusnya
berbuat seperti pikiran dan perasaan
tersebut.
2. Sengaja merupakan perbuatan yang
dikehendaki dan diketahui. Hal ini
berarti seseorang yang berbuat
sengaja itu harus dikehendaki apa
yang diperbuat dan harus diketahui
juga atas apa yang diperbuat.
Sengaja sebagaimana dimaksud
adalah
apabila
pembuat
menghendaki akibat perbuatanya.
Kesengajaan
Terdakwa
yaitu
mengetahui kemungkinan adanya
akibat/keadaan yang merupakan
delik, dibuktikan dari kecerdasan
pikirannya yang dapat disimpulkan
antara lain dari pengalaman,

pendidikan/lapisan masyarakat di
mana terdakwa hidup. Sikapnya
terhadap kemungkinan itu andai
kata timbul, dapat disetujui atau
berani menanggung resikonya, dapat
dibuktikan dari ucapan-ucapan
terdakwa di sekitar perbuatan dan
tidak mengadakan usaha untuk
mencegah akibat yang tidak
diinginkan.
3. Tidak ada alasan pemaaf bagi
terdakwa dikarenakan perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa
bersifat melawan hukum dan tetap
merupakan perbuatan pidana. Atas
perbuatan yang telah terdakwa
lakukan, terdakwa terbukti telah
melanggar pertintah jabatan dimana
melakukan perbuatan melawan
hukum dan tidak sesuai dengan
tugas,wewenang dan runag lingkup
kerja, dan juga terbukti secara sah
melakukan
tindak
pidana
pencabulan kepada therapis City
Spa yang mana dalam hal ini
terdakwa dikenakan Pasal 289
KUHP Jo Pasal 55 KUHP.
4. Dasar Pertimbangan Hakim dalam
memutus
perkara
dalam
menjatuhkan
putusan
pidana
terhadap pelaku pencabulan yaitu
hakim
yang memeriksa dan
memutuskan
perkara
sebelum
menjatuhkan
pidana
telah
mendengarkan
saksi-saksi
dan
menyesuaikan keterangan saksisaksi satu sama lain sehingga dapat
menyimpulkan suatu hukum atau
peristiwa hukum sebagaimana yang
terjadi.
5. Pertimbangan hakim tidak hanya
terletak pada unsur-unsur yang
didakwakan tetapi juga mengaitkan
antara keterangan satu sama lain
sehingga dapat menyimpulkan suatu
fakta hukum atau peristiwa hukum
sebagaimana yang terjadi, Putusan
hakim yang berkualitas merupakan

putusan yang didasarkan dengan
pertimbangan hukum sesuai fakta
yang terungkap di persidangan,
sesuai
undang-undang
dan
keyakinan hakim tanpa terpengaruh
dari berbagai intervensi eksternal
dan
internal
sehingga
dapat
dipertanggugjawabkan
secara
profesional kepada publik. Hal-hal
yang meringankan terdakwa dalam
perkara ini bahwa terdakwa
menyesali perbuatannya dalam
melakukan perbuatan asusila dan
belum
pernahnya
terdakwa
dihukum, juga terdakwa bersikap
sopan selama persidangan.
6. Terdapat
tiga
(3)
dasar
pertimbangan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan yaitu secara
yuridis dimana menjadi alat bantu
hakim dalam melihat suatu perkara,
secara filosofis menilai bahwa
pidana yang dijatuhkan sebagai
upaya pembinaan terhadap perilaku
terdakwa dan secara sosiologis
dijatuhkan pidana dan keterangan
terdakwa merupakan menyangkut
hal hal yang memberatkan dan hal
hal yang meringankan
B. Saran
Adapun saran yang perlu diajukan
penulis adalah :
1. Agar pertanggungjawaban pidana
pelaku tindak pidana pencabulan
yang dilakukan oleh anggota satuan
polisi pamong praja terhadap
karyawati/therapis
diberikan
hukuman yang berat sehingga dapat
menimbulkan efek jera terhadap
pelaku dan tidak ada lagi peluang
kejahatan asusila seperti ini.
2. Hendaknya hakim menjatuhkan
pidana maksimum kepada terdakwa
yang melakukan tindak pidana
pencabulan. Hakim harus benarbenar
melihat
semua
aspek

berdasarkan
kepastian
hukum,
kemanfaatan dan keadilan hukum,
agar keadilan sebenar-benarnya
dapat tercapai dan dapat dirasakan
semua pihak. Mempertimbangkan
adanya
dampak
negatif
bagi
psikologis yang menjadi korban.
Mengingat bahwa kejahatan asusila
di Indonesia terus meningkat
sehingga hal ini dapat menjadi salah
satu pertimbangan hakim dalam
memberikan pidana maksimum.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Chairul.2011.Dari Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Tiada
Pertanggungjawaban
Pidana
Tanpa
Kesalahan.
Jakarta:Kencana
Lamintang, P.A.F., 1996. Dasar Dasar
Hukum
Pidana
Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum
Pidana. Jakarta:Bina Aksara.
Prakoso, Abintoro. 2013. Kriminologi
dan Hukum Pidana. Yogyakarta:
Laksbang Grafika.
Prodjodikoro, Wirjono. 2013. Tindak
Tindak Pidana Tertentu Di
Indonesia.
Bandung:
Refika
Aditama.
Soesilo, R. 1985. Kitab UndangUndang Hukum Pidana Serta
Komentar Komentar Lengkap
Pasal Demi Pasal. Bogor: Polteia.
Sudarto.
1997.
Hukum
Pidana.
Semarang:
Fakultas
Hukum
Undip.
Perundang-Undangan
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Kitab Undang Undang

Hukum Pidana (KUHP) Jo.
Undang Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Pemberlakuan Kitab
Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia.
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2016
tentang Satuan Polisi Pamong
Praja
Sumber lain
http://knowledgeisfree.blogspot.id
dikases pukul 19.00 WIB hari
kamis tanggal 4 Maret 2017
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peleceh
an_seksual diakses pada 13
januari 2017 pukul:13.30 WIB
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peleceh
an_Seksual senin, 13
Januari
2017, pukul 14.00 WIB
No. HP : 081366342730

Dokumen yang terkait

PENGGUNAAN ALAT BUKTI REKAMAN CCTV (CLOSED CIRCUIT TELEVISION) DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

1 7 14

ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN BISNIS ONLINE

0 0 11

PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Oleh Mirna Andita Sari, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email: mirnaanditagmail.com Abstrak - PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PE

0 0 12

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK SEBAGAI JAMINAN UTANG (Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung) Jurnal

0 0 14

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung) Ernita Larasati, Eko Raharjo S.H., M.H., Gunawan Jatmiko S.H., M.H. email: (ernita1995gmail.com) Abstrak - ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERH

0 0 8

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN DALAM PENANGGULANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DI DALAM LEMBAGA PERMASYRAKATAN (Studi pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Kalianda)

0 0 14

IMPLEMENTASI WHISTLE BLOWER DALAM MENGUNGKAPKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 14

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KETERTIBAN UMUM (Studi Kasus Penghinaan Lambang Negara oleh Zaskia Gotik)

0 1 14

ANALISIS PENYIDIKANTERHADAP PELAKU PENGANCAMAN KEKERASAN ATAU MENAKUT-NAKUTI YANG DITUJUKAN SECARA PRIBADI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (No :LP/B-/118/X/2015/SPKT Polda Lampung)

0 0 14

KEBIJAKAN INTEGRAL TERHADAP PENANGGULANGAN TAWURAN ANTAR PELAJAR (Studi Kasus Pada Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

1 2 11