PENGGUNAAN ALAT BUKTI REKAMAN CCTV (CLOSED CIRCUIT TELEVISION) DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

  

ABSTRAK

PENGGUNAAN ALAT BUKTI REKAMAN CCTV (CLOSED CIRCUIT

TELEVISION) DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

  

Oleh

Roro Ayu Ariananda, Sunarto, Dona Raisa Monica

Email : roroayuariananda@gmail.com

  Perkembangan kriminalitas atau tindak pidana dalam masyarakat yang sedang mengalami modernisasi meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, dan kemungkinan timbulnya jenis-jenis kejahatan atau tindak pidana baru. Sehubungan kasus-kasus yang terjadi yang bersentuhan dengan teknologi informasi dan telekomunikasi khususnya menyangkut media video recorder kamera CCTV. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer data yang didapat secara langsung dari sumber pertama seperti wawancara dan data sekunder pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data diolah dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menyimpulkan bahwa Penggunaan alat bukti CCTV (Closed Circuit Television) dapat dijadikan alat bukti dalam proses peradilan pidana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukannya penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Selanjutnya faktor penyebab terjadinya kesenjangan penggunaan alat bukti CCTV (Closed Circuit Television) dalam proses peradilan pidana yang pertama adalah faktor hukumnya sendiri dimana penggunaan CCTV tidak dimasukkan dalam alat bukti yang sah didalam KUHAP, kedua presepsi atau cara pandang yang berbeda yang akan mengakibatkan berbeda pula pemikiran yang akan diterima seseorang, ketiga norma yang menjadi legalistik positivistik tidak jelas serta adanya nuansa kasus-kasus tertentu.

  Kata kunci : Alat Bukti, CCTV (Closed Circuit Television), Tindak Pidana

  

ABSTRACT

THE USE OF THE EVIDENCE OF THE RECORDING OF CCTV

IMAGES (CLOSED CIRCUIT TELEVISION)

  

IN THE CRIMINAL JUSTICE PROCESS

By

Roro Ayu Ariananda, Sunarto, Dona Raisa Monica

Email : roroayuariananda@gmail.com

  The development of the crime or criminal acts in society that is undergoing modernization include problems related to the frequency of evil, quality of evil and the possibility of the types of crimes or new crimes. In regard to the cases that occurred that come into contact with the information technology and telecommunications especially regarding media video recorder camera CCTV images. This research is legal research with how to nomative juridical approach and the judicial approach empirical. The Data used is the primary data the data obtained directly from the first source such as interview and secondary data collection of data is done with the library study and study the document. Then the data is processed and analyzed by qualitative research. The research results and discussion concluded that the use of the evidence of CCTV images (Closed

  

Circuit Television) can be used as evidence in the criminal justice process after the

  decision of the Constitutional Court, so that in the event criminal law can be used as evidence in the investigation process, the prosecution and the trial as regulated in Article 5 paragraph (1) and (2) and Article 44 of Act on IET. Against the article Kontitusi Court has issued a verdict stating that the phrase electronic information and/or electronic data in Article 5 paragraph (1) and (2) and Article 44 of Act on

  IET violate the Constitution of the Republic of 1945 Constitution and does not have a binding legal power over not narrowly defined phrases electronic information and/or electronic data as evidence he did law enforcement at the request of the Police, Attorney General, and/or other law enforcement institutions. Then the factors causes of the gap between the use of the evidence of CCTV images (Closed Circuit Television) in the criminal justice process the first is the factor own laws where the use of CCTV images is not inserted in the legal evidence in KUHAP, both go into effect or different perspective that will result in different ideas which will be received by a person, third norms that become legalistik positivistic is not clear and the nuances of particular cases.

  

Key Words : The evidences, CCTV images (Closed Circuit Television),

Criminal Acts

I. PENDAHULUAN

  Kecanggihan teknologi semakin berkembang dengan pesat sehingga membawa dampak yang luar biasa pada kehidupan manusia. Teknologi informasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Keberadaan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan. Perkembangan teknologi dan informasi yang sedemikian cepatnya telah membawa dunia memasuki era yang baru, yang lebih cepat dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum.

  perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan revolusi digital, yaitu : perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang telah terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini. Analog dengan revolusi pertanian, revolusi industri, revolusi digital menandai awal era informasi, revolusi digital ini telah mengubah cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan yang sangat canggih saat ini. Sebuah teknologi yang membuat perubahan besar kepada seluruh dunia, dari mulai membantu mempermudah segala urusan.

  2 1 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 56. 2 Sandiego, Revolusi Digital , dalam

  Teknologi dan informasi selain membawa dampak positif sebagaimana yang telah dikemukakan di atas juga dapat membawa dampak negatif seperti dapat menimbulkan kejahatan serta perilaku menyimpang. Perilaku penyimpangan itulah dapat menjadi suatu ancaman terhadap norma- norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, serta dapat menimbulkan ketegangan individu maupun ketegangan- ketegangan sosial, dan merupakan ancaman yang berpotensi bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Ibaratnya teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif dalam melakukan perbuatan tindak pidana.

1 Para pakar teknologi menyebutnya

  Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut di pidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. Maka dari itu, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa hukum selalu berada ditengah masyarakat untuk memandu perilaku segenap warganya yang dinamis. Fungsi hukum diperlihatkan secara jelas diseluruh penjuru dunia dalam

  gital.html diunduh Jumat, 1 Desember 2016,

3 Bahkan ada adagium yang

  berbagai tingkat peradabannya.

  menyatakan

  “Ubi societas ibi justicia , artinya di mana ada

  masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (keadilan). Munculnya perkembangan teknologi sehingga membuat seseorang melakukan perbuatan tindak pidana secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk hukum baru. Kehadirannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan sehingga bisa merugikan orang lain. Pemerintah perlu mendukung perkembangan dan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat melalui infrastrukrur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi infomasi dapat dilakukan secara aman. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan pembaharuan bagi hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yang dapat memperluas informasi sebagai suatu alat bukti yang sah. Dalam perjalanannya penegakan hukum juga terpengaruh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Salah satunya adalah penerapan teknologi alat perekam video memiliki berbagai jenis dan nama, misalnya: Kamera tersembunyi, kamera pengintai, rekaman CCTV (Closed Circuit

  Television) , rekaman CCTV Camera, 3 Sunarto, Keterpaduan Dalam Penanggulangan Kejahatan , AURA (CV.

  Anugrah Utama Raharja), Bandar Lampung, Spy came, video recorder .

  Keberadaan Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang- wenangan penguasa. Fungsi Hukum Acara Pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan. Fungsi lain dari Hukum Acara Pidana adalah memberikan kekuasaan pada negara untuk menegakkan hukum material. Penanganan setiap kasus pidana tidak terlepas dari proses pembuktian yang dapat menjadi tolak ukur dan pertimbangan hakim dalam Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang- undang untuk membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada terdakwa. Berdasarkan Pasal 184 Angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah ialah:

  1. Keterangan saksi 2.

  Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa

  Penjelasan Pasal 184 Angka 1 KUHAP, di atas telah jelas hanya mengatur 5 (lima) alat bukti dan diluar dari alat bukti tersebut tidak dibenarkan, namun seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi menuntut aturan hukum untuk berperan secara fleksibel dengan perkembangan teknologi.

  Terkait dengan pembuktian dalam persidangan, salah satunya mengenai perluasan alat bukti yang sah diatur dalam KUHAP, sehingga membuat pengertian alat bukti yang limitatif dalam KUHAP menjadi sempit. Dimana dalam pasal 184 KUHAP tidak diatur mengenai alat bukti Rekaman CCTV tersebut. Rekaman CCTV (Closed Circuit

  Television) adalah satu media yang

  dapat digunakan untuk memuat rekaman setiap informasi yang dapat dilihat, dibaca dan didengar dengan bantuan sarana Rekaman CCTV. Rekaman CCTV dijadikan sebagai alat bukti yang sistemnya menggunakan video camera untuk menampilkan dan merekam gambar dimana perangkat ini terpasang yang berarti menggunakan signal yang bersifat tertutup, tidak seperti televisi biasa yang merupakan broadcast

  signal .

  digunakan sebagai pelengkap sistem keamanan dan banyak dipergunakan di berbagai bidang seperti militer, bandara, toko, kantor dan pabrik. Bahkan pada perkembangannya, Rekaman CCTV sudah banyak dipergunakan di dalam lingkup rumah pribadi. Namun untuk mengungkap kejahatan yang berkaitan langsung dengan Rekaman CCTV yang menjadi alat bukti dalam suatu kasus yang mulai tengah marak terjadi. Perkembangan kriminalitas atau tindak pidana dalam masyarakat yang sedang mengalami modernisasi meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, dan 4 Herman Dwi Surjono, Pengembangan

  Pendidikan TI di Era Global , Pendidikan Teknik Informatika FT UNY, Yogyakarta,

  kemungkinan timbulnya jenis-jenis kejahatan atau tindak pidana baru. Menyikapi keadaan ini, maka tantangan-tantangan yang muncul harus dihadapi bahkan dicari jalan keluarnya, terlebih terhadap munculnya modus-modus kejahatan yang menggunakan teknologi informasi ini. Sehubungan dengan itu, kasus-kasus yang terjadi yang bersentuhan dengan teknologi informasi dan telekomunikasi khususnya menyangkut media video recorder kamera Rekaman CCTV, sudah mulai marak diperbicangkan di masyarakat, sehingga penggunaannya dalam mengungkap kejahatan atau sebagai sarana tindak pidana akan berhadapan dengan keabsahannya sebagai alat bukti yang sudah tentu akan berbenturan dengan instrumen hukum yang ada mengingat bahwa pembuktian dalam kasus tindak pidana dengan alat bukti yang digunakan ialah alat bukti Rekaman CCTV. Contoh kasus dengan alat bukti berupa data elektronik dari kamera Rekaman CCTV yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 1056/Pid.B/2016/PN Tjk. Tercantum adanya suatu alat bukti yang berupa Rekaman CCTV dimana didalam rekaman video tersebut menerangkan atau menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Kasus pencurian motor ini dilakukan di Jalan DR. Susilo Nomor 06 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung tepatnya didepan Gereja Imanuel ditemukan bahwa seseorang berinisial T dan FM telah melakukan tindak pidana pencurian berupa 1 (satu) unit sepeda motor

4 Pada umumnya Rekaman CCTV

  Yamaha Vixion dengan Nopol BE 3681 AA warna merah tahun 2015 Nomor mesin G3E7E0144789 Noka MH3RG1819FK144163 dengan alat bukti berupa kamera rekaman CCTV yang terpasang di Gereja Imanuel tersebut. Kasus lainnya adalah kasus Kematian Mirna Salihin. Setelah diteliti secara seksama oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), berkas perkara Jessica dinyatakan lengkap, yakni P21 dengan alat bukti berupa rekaman CCTV yang ada di Cafe Olivier. Kedua kasus di atas membuktikan bahwa data elektronik dari kamera rekaman CCTV dapat dijadikan sebagai alat bukti.

  “Papa Minta Saham” yang menjerat mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Rekaman CCTV tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dikarenakan rekaman CCTV tersebut tidak dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan penyidik. Hal tersebut mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-

  XIV/2016 yang menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai khusus frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

  Transaksi Elektronik. Indonesia menjunjung tinggi asas kepastian hukum. Namun, kesenjangan yang terjadi dalam contoh kasus di atas menggambarkan bahwa penggunaan alat bukti rekaman CCTV dalam proses peradilan di Indonesia itu masih abu- abu sehingga menimbulkan banyak perdebatan baik dikalangan akademisi maupun aparat penegak hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan melakukan kajian dan penelitian yang mendalam tentang rekaman CCTV yang berjudul : Penggunaan Alat Bukti

  Television) Dalam Proses Peradilan Pidana.

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: a.

  Apakah penggunaan alat bukti rekaman CCTV (Closed Circuit

  Television) dapat dijadikan alat

  bukti dalam proses peradilan pidana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi? b. Apakah faktor penyebab terjadinya kesenjangan penggunaan alat bukti rekaman CCTV (Closed Circuit Television) dalam proses peradilan pidana?

  Metode dalam penelitian ini adalah penelitian hukum dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer data yang didapat secara langsung dari sumber pertama seperti wawancara dan data sekunder pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data diolah dan dianalisis secara kualitatif.

  Circuit Television) Dalam Proses Peradilan Pidana

  Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.

  akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah. Akibat dari tindak pelanggaran tersebut maka pelaku kriminal akan diberikan sanksi hukum atau akibat berupa pidana atau pemidanaan. Sanksi tersebut merupakan pembalasan terhadap si pembuat.

  Pemidanaan ini harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Pemidanaan merupakan salah satu untuk melawan keinginan- keinginan yang oleh masyarakat tidak diperkenankan untuk diwujudkan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana tidak hanya 5 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas

  dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, 2009.

  membebaskan pelaku dari dosa, tetapi juga membuat pelaku benar- benar berjiwa luhur. Berbeda dengan pembuktian perkara lainya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan, yakni penyelidikan dan penyidikan, dalam tahapan perkara pidana sangat dimungkinkan upaya paksa dilakukan oleh aparat penegak hukum dan upaya paksa tersebut berhubungan dengan pembuktian. Berdasarkan pasal 1 butir 14 KUHAP, menyatakan :

II. PEMBAHASAN A. Penggunaan Alat Bukti REKAMAN CCTV (Closed

  “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatanya atau keadaannya, berdasarkan bukti sebagai pelaku tindak pidana”.

5 Kejahatan yang dilakukan seseorang

  Penyidik dan Penuntut Umum merupakan aparat penegak hukum yang mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan Hukum Acara Pidana yaitu mendapatkan kebenaran materiil dari suatu perkara pidana. Dalam arti bahwa tujuan hukum disamping mencari kebenaran materiil juga untuk mencapai : 1.

  Menjamin Kepastian Hukum, 2. Kemanfaatan, dan 3. Keadilan.

  Menurut Aristoteles (Teori Etis), tujuan hukum semata-mata mencapai keadilan. Artinya, memberikan kepada setiap orang, apa yang menjadi haknya. Disebut teori etis karena isi hukum semata-mata ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Selanjutnya menurut Jeremy Bentham (Teori Untilities), hukum bertujuan untuk mencapai kemanfaatan. Artinya hukum bertujuan menjamin kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang/ masyarakat. Menurut Van Apeldorn, tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan- kepentingan hukum manusia seperti: kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda dari pihak-pihak yang merugikan. Tujuan Hukum Acara Pidana menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan. Oleh karena itu, manfaat dari kamera rekaman CCTV itu sendiri terdiri dari, Detterance / Faktor pencegahan, pelaku kriminal seringkali mengurungkan niat apabila sasaran memiliki kamera rekaman CCTV. Monitoring / Pemantauan, sistem rekaman CCTV berguna untuk memonitor keadaan dan kegiatan di rumah/tempat usaha anda dimanapun anda berada.

  Intensify / Peningkatan kinerja,

  dengan adanya sistem rekaman CCTV terbukti meningkatkan kinerja karyawan secara signifikan.

  Investigation / Penyelidikan, sistem

  rekaman CCTV berguna untuk menunjang penyelidikan tindak kejahatan yang telah terjadi video.

  Evidence / bukti, hasil rekaman

  rekaman CCTV dapat dijadikan bukti tindak kejahatan / Criminal, akan tetapi penggunaan rekaman rekaman CCTV tidak dapat berdri sendiri dalam pembuktian, harus ditunjang dengan alat bukti yang lain dalam pembuktian di Persidangan. Seperti yang dikemukakan Andrie W. Setiawan yakni

  6

  : “Pembuktian dibagi atas 2 hal, tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, pada tindak pidana umum telah diatur dalam KUHP oleh karena itu pembuktian rekaman CCTV harus didukung dengan alat bukti lain kemudian bisa dijadikan pegangan untuk menghukum terpidana, beda halnya dengan tindak pembuktiaan rekaman CCTV dapat berdiri sendiri karena telah diatur dalam Undang-undang tentang narkotika”.

  Tindakan penyidik menempati posisi yang tidak dapat diabaikan. Kekuasaan dan kewenangan (power

  and authority ) polisi sebagai

  penyidik luar biasa penting dan sangat sulit, lebih-lebih yang di Indonesia. Wewenang polisi untuk menyidik merupakan hal yang tidak mudah dan sangat sulit. Penyidikan yang dilakukan tentu diarahkan kepada pembuktian, sehingga tersangka dapat dituntut kemudian dipidana. Demikian pula dengan hasil dari penyidikan yang telah dilakukan terhadap suatu kasus yang dituangkan dalam berita acara penyidikan, tentunya bisa diharapkan berguna bagi pemeriksaan berikutnya. Penyidikan telah diarahkan pada proses pembuktian nantinya di persidangan, maka dalam 6 Hasil wawancara dengan Andrie W.

  Setiawan. Jaksa pada bagian Intelijen. Senin, penyidikan merupakan langkah awal pemeriksaan yang mana akan digunakan sebagai bahan bagi pihak yang berkepentingan selanjutnya, yaitu penuntut umum, hakim, maupun terdakwa itu sendiri atau penasehat hukumnya. Oleh karena itu dalam tahap penyelidikan dan penyidikan diharapkan bisa difungsikan secara maksimal. Sehingga hasil dari penyidikan yang dilakukan dapat digunakan dan berisi secara lengkap dan adanya cukup bukti untuk melanjutkan ke tingkat berikutnya. Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat mengambil mengenai CCTV sebagai alat bukti dalam peradilan pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang No.

  11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- XIV/2016 tanggal 7 September 2016. rekaman CCTV masuk dalam pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UU ITE dan merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD

  1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

  Putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana. Selain itu majelis hakim konstitusi juga menentukan bahwa informasi elektronik baru dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah apabila diperoleh dengan cara yang sah dan sesuai dengan undang-undang. Jika tidak maka dapat dikesampingkan karena tidak memiliki nilai pembuktian.

  Sebaliknya untuk rekaman CCTV yang bersifat publik tidak memererlu proses yang perekamannya harus sesuai dengan permintaan aparat penegak hukum. Namun, apabila hasil rekaman rekaman CCTV tersebut hendak dijadikan alat bukti dalam proses penegakan hukum pidana maka hasil rekaman rekaman CCTV tersebut baru dapat dijadikan alat bukti jika ada permintaan dari aparat penegak hukum. Maka rekaman CCTV tersebut telah sah keabsahannya dan alat bukti tersebut dapat dijadikan suatu alat bukti yang memiliki nilai pembuktian.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kesenjangan Penggunaan Alat Bukti REKAMAN CCTV

  (Closed Circuit Televison) Dalam Proses Peradilan Pidana.

  Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP). Pembuktian memegang peranan yang penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal hal tersebut tidak benar.

  Ketentuan mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terdapat dalam prinsip minimum pembuktian diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dimana terdapat sekurang- kurangnya 2 alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim. Disini terlihat jelas bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut Undang- Undang secara negative atau negatief

  wettelijk bewijsleer . Dalam sistem

  negatif ada 2 hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: a.

  Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, dan b. Negatief : adanya keyakinan dari hakim, yakni berdasarkan bukti- bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

  Jika dikaitkan mengenai unsur alat bukti petunjuk menurut Adami Chazawi

  7

  : a. Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian; b.

  Unsur kedua, ada 2 (dua) antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain, maupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan; c.

  Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukkan adanya 2 (dua) hal in casu kejadian, ialah: Pertama, menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana, dan kedua, menunjukkan siapa pembuatnya. Jika melihat dari ketiga unsur tersebut, maka persyaratan "status

  quo" yang disyaratkan oleh Hakim

  dari Tanjung Karang ini menjurus pada unsur alat bukti petunjuk. Menurut peneliti, "status quo" digunakan dalam pemenuhan unsur alat bukti petunjuk yang kedua mengenai harus adanya kesesuaian 7 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian

  Tindak Pidana Korupsi , Malang: Bayumedia antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.

  Data hasil rekaman CCTV harus dalam keadaan seperti aslinya guna dapat dilihat bahwa perbuatan tindak pidana itu dapat dibuktikan dengan adanya hasil rekaman CCTV. rekaman CCTV diperoleh dari pihak netral, bahwa dalam penyerahan alat bukti rekaman CCTV diharuskan tidak adanya hubungan antara pihak pemberi rekaman CCTV dengan pihak pelaku, maupun korban.

  Seperti yang dikemukakan Yus Enidar, yakni “kami selaku hakim tinggal melihat proses dalam peradilan berupa keterangan saksi dan alat-alat bukti lain seperti yang mempergunakan alat bukti rekaman CCTV kami hanya mempertimbang- kan alat bukti tersebut sebagai bukti penunjang sehingga lebih dititik beratkan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam proses penyidikan dalam pengungkapannya”.

  pihak netral dipercayai terhindar dari adanya rekayasa video yang dibuat oleh pihak pelaku tindak pidana maupun korban. Data hasil rekaman CCTV yang diperoleh tidak boleh dari pihak pelaku tindak pidana atau korban, karena ditakutkan oleh penyidik bahwa telah terdapat rekayasa. Rekayasa ini dapat dimisalkan dengan adanya delik aduan oleh pihak yang dirugikan. Delik aduan atau pengaduan menurut

  pasal 1 angka 25 KUHAP adalah pemberitahuan disertai permintaan 8 Hasil wawancara dengan Yus Enidar.

  Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A

  oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Delik aduan apabila diadukan oleh pihak korban dapat membuat rekayasa video yang ditujukan untuk menjatuhkan pihak lawan yang sebenarnya pihak lawan tidak melakukan suatu tindak pidana. Biasanya motif seperti ini didasarkan atas rasa tidak suka atau benci terhadap orang lain. Pihak yang seolah-olah bertindak sebagai korban ingin membuat lawannya terkena sanksi pidana. menilai bahwa, faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan penggunaan alat bukti Rekaman CCTV (Closed Circuit Television) dalam proses peradilan pidana yang pertama adalah faktor hukumnya sendiri disini kendala hukum bersumber dari penggunaan rekaman CCTV tidak dimasukkan dalam alat bukti yang sah didalam KUHP sehingga penggunaan rekaman CCTV hanya menjadi alat bukti pendukung bagi para hakim untuk menimbang putusan yang akan diberikan. Presepsi atau cara pandang yang berbeda akan mengakibatkan berbeda pula pemikiran yang akan diterima seseorang. Norma yang menjadi legalistik positivistik tidak jelas. Adanya nuansa kasus-kasus tertentu. Secara tidak langsung terjadi pengkategorian antara kasus per kasus karena adanya kepentingan politis atau bahkan kasus konvensional. Selain itu juga Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung. Karena rekaman CCTV tidak lepas dari adanya kekurangan dan

8 Rekaman CCTV yang diperoleh dari

  keterbatasan yang menjadi kendala bagi penyidik dalam mengungkap terjadinya tindak pidana. Kendala yang kadang menjadi masalah berdasarkan hasil peneltian adalah hasil rekaman CCTV telah mengalami editing. Editing adalah proses pengurangan atau penambahan terhadap data hasil rekaman CCTV yang dilakukan oleh pihak pelaku tindak pidana maupun korban. selanjutnya hasil dari rekaman CCTV kurang jelas hal ini diakibatkan dari kualitas Kamera rekaman CCTV itu sendiri, yang terakhir kendala yang dihadapi yakni perusakan dari Kamera rekaman tindak pidana yang telah mengtahui tempat kamera rekaman CCTV tersebut disimpan sehingga tidak dapat digunakan serta arus listrik dari PLN yang juga merupakan kendala dalam menggunakan Kamera rekaman CCTV.

  Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

  CCTV (Closed Circuit

  Television) dapat dijadikan alat

  bukti dalam proses peradilan pidana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, rekaman CCTV merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal

  5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi penegak hukum lainnya.

  Putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana. Selain itu majelis hakim konstitusi juga menentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah apabila diperoleh dengan cara yang sah dan sesuai dengan undang-undang. Sebaliknya untuk rekaman CCTV yang bersifat publik tidak memerlukan proses yang perekamannya harus sesuai dengan permintaan aparat penegak hukum. Maka rekaman CCTV tersebut telah sah keabsahannya dan alat bukti tersebut dapat dijadikan suatu alat bukti yang memiliki nilai pembuktian.

III. PENUTUP

A. Simpulan

1. Penggunaan alat bukti rekaman

  2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan penggunaan alat bukti rekaman CCTV (Closed Circuit

  Television) dalam proses

  peradilan pidana yang pertama adalah faktor hukumnya sendiri disini kendala hukum bersumber dari penggunaan rekaman CCTV tidak dimasukkan dalam alat bukti yang sah didalam KUHAP sehingga penggunaan rekaman CCTV hanya menjadi alat bukti pendukung bagi para hakim untuk menimbang putusan yang akan diberikan. Presepsi atau cara pandang yang berbeda akan mengakibatkan berbeda pula seseorang. Norma yang menjadi legalistik positivistik tidak jelas. Adanya nuansa kasus-kasus tertentu. Secara tidak langsung terjadi pengkategorian antara kasus per kasus karena adanya kepentingan politis atau bahkan kasus konvensional. Selain itu juga Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung. Karena rekaman CCTV tidak lepas dari adanya kekurangan dan keterbatasan yang menjadi kendala bagi penyidik dalam mengungkap terjadinya tindak pidana. Kendala yang kadang menjadi masalah berdasarkan hasil peneltian adalah hasil rekaman rekaman CCTV telah mengalami editing . Editing adalah proses pengurangan atau penambahan terhadap data hasil rekaman rekaman CCTV yang dilakukan oleh pihak pelaku tindak pidana maupun korban. selanjutnya hasil dari rekaman rekaman CCTV kurang jelas hal ini diakibatkan dari kualitas Kamera rekaman CCTV itu sendiri, yang terakhir kendala yang dihadapi yakni perusakan dari Kamera rekaman CCTV yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang telah mengtahui tempat kamera rekaman CCTV tersebut disimpan sehingga tidak dapat digunakan serta arus listrik dari PLN yang juga merupakan kendala dalam menggunakan Kamera rekaman CCTV.

  B. Saran 1.

  Pembuktian yang menggunakan alat bukti teknologi salah satunya Kamera rekaman CCTV secara lebih jelas dan tegas didalam KUHAP guna membantu menungkapkan suatu kebenaran materiil. Tidak hanya rekaman rekaman CCTV saja tetapi juga mengatur adanya alat bukti digital lainnya, dimana alat bukti digital tersebut memiliki peranan yang penting dalam suatu percarian kebenaran materiil dan memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara secara adil. Sehingga referensi hakim dalam memberikan atau menjatuhkan putusan tidak hanya terpaku pada Pasal 184 KUHAP tetapi juga melihat dari pasal-pasal yang terdapat dalam undang- undang lainnya, seperti Undang- Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  2. Untuk mengurangi faktor penyebab terjadinya kesenjangan penggunaan alat bukti rekaman CCTV dalam penggunaan Kamera rekaman CCTV dalam setiap proses di Pengadilan, Kamera rekaman CCTV tersebut juga harus dilengkapi dengan teknologi tambahan dalam pemasangan sehingga tidak mudah rusak atau dirusak sehingga rasa keadilan dalam masyarakat dapat terjamin.

  3. Dengan majunya teknologi dimasa sekarang salah satunya Kamera rekaman CCTV diharapkan para penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan dan Kepolisian sebagai pintu masuk pertama dalam pembuktian setiap tindak pidana harus memperkaya kemampuan sumber daya manusianya sendiri sehingga dapat menganalisis dan mengoperasikan setiap teknologi yang telah berkembang di masa sekarang.

  Surjono, Herman Dwi. 1996.

  No. HP : 085273596995

  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.

  Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  Pendidikan Teknik Informatika FT UNY,

  Pengembangan Pendidikan TI di Era Global , Yogyakarta.

  Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah Utama Raharja.

  Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar

  Sunarto. 2016. Keterpaduan Dalam Penanggulangan Kejahatan .

  Sandiego, 2016. Revolusi Digital, dalam http://history.sandiego.edu/gen/ recording/digital.html diunduh Jumat, 1 Desember

DAFTAR PUSTAKA

  Raja Grafindo Persada.

  Publishing. Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika . Jakarta.

  Pembuktian Tindak Pidana Korupsi , Malang: Bayumedia

  Lampung. Chazawi, Adami. 2011. Hukum

  Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas

Dokumen yang terkait

PROBABILITAS MEKANISME SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN AGAMA PROBABILITY OF SMALL CLAIM COURT MECHANISM IN RESOLVING INHERITANCE DISPUTES IN RELIGIOUS COURT

0 0 18

PERANAN PERADILAN AGAMA DALAM MELINDUNGI HAK PEREMPUAN DAN ANAK MELALUI PUTUSAN YANG MEMIHAK DAN DAPAT DILAKSANAKAN THE ROLE OF RELIGIOUS COURT IN WOMEN AND CHILDREN RIGHTS PROTECTION THROUGH PARTIAL AND EXECUTABLE DECISION

0 0 22

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang) Oleh Agung Senna Ferrari, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

0 0 10

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK)

0 0 11

ALASAN PENGHAPUS PIDANA DENSUS 88 ANTI TEROR MABES POLRI TERKAIT DENGAN TEMBAK DI TEMPAT TERDUGA TERORIS

0 0 11

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN SEBAGAI PENYEBAB MATINYA PELAKU AMUK MASSA (Study Perkara Nomor 166Pid.2012PN TK) (Jurnal Ilmiah) TIRTA ARI N

0 0 11

IMPLEMENTASI KONSEP HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN DI INDONESIA

0 1 14

UPAYA PENANGGULANGAN KEPOLISIAN RESOR TULANG BAWANG TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN (STUDI LAPORAN POLISI NO. STPL/34/2016/SIAGA

0 0 12

ANALISIS KOMPARATIF PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

0 0 13

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MENYIMPAN BAHAN BAKAR MINYAK BERSUBSIDI TANPA IZIN (Studi Putusan No. 516Pid.Sus.LH2016PN.Tjk) (Jurnal Skripsi)

0 0 12