Progresivisme Pendidikan dan Relevansinya di Indonesia

  

Progresivisme Pendidikan dan Relevansinya di Indonesia

  • Ricardo F. Nanuru

  

ricardonanuru632@gmail.com

Abstrak

Pendidikan merupakan bagian penting yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

  Setiap manusia pasti berpendidikan, tergantung apakah pendidikan yang diperolehnya itu diterima secara formal atau non formal. Pendidikan berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat, dimana pendidikan menyumbang bagi perkembangan pola pikir anggota masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. tulisan ini bertujuan melihat kondisi pendidikan di Indonesia dari sudut pandang progresivisme, dengan harapan dapat memberi sedikit masukkan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Berdasarkan pembahasan yang dilakukan ternyata progresivisme yang menekankan pada kebebasan individu anak dalam berkreasi dapat menjadi tawaran yang menarik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. SMK (sekolah menengah kejuruan) yang menurut penulis penuh dengan tawaran kreativitas dapat diangkat kembali sebagai usaha pemerintah dalam menyikapi persoalan pendidikan dalam hubungannya dengan dunia kerja. Dengan memberikan ruang yang lebih banyak dan terbuka bagi pengembangan SMK, diharapkan progresivitas pendidikan di Indonesia dapat lebih ditingkatkan.

  Kata kunci : progresivisme; pendidikan; kebebasan individu.

  • Dosen pada Program Studi PGSD Universitas Halmahera

A. Pendahuluan

  Pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan masyarakat. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya merupakan proses yang satu. Masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan keseluruhannya hanya dengan mempergunakan metode ilmiah semata, akan tetapi untuk memecahkan masalah pendidikan seseorang harus menggunakan analisis filsafat (Jalaludin dan Idi, 1997:24).

  Kedudukan filsafat dalam pendidikan dinyatakan sebagai fundamental yang pada dasarnya tidak dapat diganti oleh mata kuliah dasar lainnya. Filsafat merupakan sumber nilai dan norma hidup yang menentukan warna dan martabat hidup manusia . Guru adalah pelaksana kegiatan-kegiatan dalam menanamkan nilai dan norma pendidikan, namun filsafat akan memberikan sumber- sumber dasar dan pedoman yang menentukan arah dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan fungsional antara filsafat dan pendidikan dapat dilihat sebagai berikut : a. Filsafat, dalam arti filosofis merupakan satu cara pendekatan yang dipakai dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyususn teori-teori pendidikan.

  b. Filsafat berfungsi member arah bagi teori pendidikan yang telah ada menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.

  c. Filsafat dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teor-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan. (Jalaludin dan Idi, 1997:22)

  Filsafat pendidikan, dapat dikatakan paling erat kaitannya dengan progresivisme, yaitu suatu aliran pemikiran yang menganjurkan bahwa kebenaran ditentukan oleh fungsi. Progresivisme adalah aliran filsafat pendidikan yang berfokus pada siswa dengan memberikan keterampilan dan pengethuan yang diperlukan tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk berhasil dalam masyarakat kontemporer dan kompetitif.

  Seperti namanya, progresivisme adalah sebuah filosofi yang beradaptasi untuk membantu siswa dalam masyarakat dan negara saat ini. Ini adalah filsafat yang mempromosikan pendidikan bertujuan untuk membantu siswa dalam mengembangkan jenis keterampilan pemecahan masalah yang akan memungkinkan mereka untuk berfungsi dengan baik dalam masyarakat kompetitif. Progresivisme berfokus pada mendidik siswa dengan cara yang membuat mereka menjadi orang dewasa yang produktif fungsi cekatan dalam dunia yang senantiasa berubah.

  Progresivisme sebagai aliran pendidikan ditopang oleh filsafat sosial John Dewey, yang menghendaki implementasi sosial dalam dunia pendidikan. Gerakan pendidikan progresivisme di stu pihak hadir sebagai protes, dan di pihak lain sebagai visi atau pandangan. Pada awalnya, aliran ini hadir sebagai protes terhadap pendidikan yang bersifat otoriter, resimentasi pemikiran, standarisasi metode pendidikan yang ditetapkan oleh psikologi pendidikan (metode latihan dan disiplin formal). Semulanya, pendidikan progresivisme melaksanakan pendidikan yang berpusat pada anak dalam kehidupan riil. Mereka menganjurkan prosedur pendidikan yang berdasarkan dorongan tumbuh kodrati dari dalam, perkembangan pribadi secara merdeka, dan minat spontan anak.

  Henderson (1959:121) mengemukakan bahwa pendidikan progresivisme dilandasi oleh filsafat naturalisme romantika dari Rousseau, dan pragmatisme dari John Dewey. Dasar dari Rousseau yang melandasi progresivisme adalah pandangan tentang hakikat manusia, sedangkan dari pragmatisme Dewey adalah pandangan tentang minat dan kebebasan dalam teori pengetahuan. Secara lebih detil mengenai aliran pemikiran filsafat pendidikan progresivisme akan dibahas dalam bagian-bagian berikut ini.

  a. Latar Belakang Munculnya Progresivisme

  Pendidikan dalam aliran Progressivisme ini muncul adalah sebagai oposisi atas pendidikan model tradisional di Amerika Serikat, sekitar tahun 1800-an. Kebangkitan ini dipicu oleh adanya anggapan dari masyarakat terutama para pendidik bahwa sekolah gagal untuk menjaga langkah dari zaman dengan perobahan hidup yang terjadi dalam masyarakat Amerika itu sendiri. “It grew

  from the belief that school had failed to keep pace with rapid changes in American life”.(Whitney, 1964: 716).

  Perkembangan zaman yang ditopang oleh kemajuan ilmu dan teknologi dalam tatanan masyarakat membutuhkan kemajuan dalam pendidikan itu pula. Untuk menjawab persoalan inilah yang menjadi dasar pemikiran dari pendidikan model filsafat progressivisme ini. Adapun para tokoh pada tahun 1800-an yang memunculkan aliran filsafat pendidikan ini adalah Horace Mann, Francis Parker dan G Stanley Hal. Dan pada thun 1900-an adalah John Dewey dan William H Kilpatrick.

  Para pendidik Progressivisme ini mecoba untuk mereformasi metode pendidikan di sekolah dasar. Sebagaimana sekolah tradisional biasanya menekankan pelajaran terhadap subjek tertentu, membaca, menulis, aritmetika, geografi, sejarah dan tata bahasa. Guru mengajar atau mendiktekan pelajaran tersebut kemudian pelajar menuliskannya pada buku catatan masing-masing. Murid kemudian mempelajari inti pokok dari apa yang ada dalam buku catatan dan kemudian diperhadapkan kepada teks buku mereka. Guru menjalankan tugasnya sepanjang pelajaran berlangsung kecuali pada saat para murid diperintahkan untuk menghafalkan bahan pelajaran. Dan para murid duduk pada jajaran meja tulis dan mereka tidak boleh berbicara kecuali dengan ijin dari guru (Whitney, 1964: 716).

B. Pendidikan dalam Tatanan Progresivisme

  Dengan demikian dapat digambarkan bahwa pendidikan tradisional saat itu sangat menekankan:

  • Otoritas penuh dari guru pengajar
  • Menekankan metode instruksi pada buku teks
  • Pengajaran yang pasif melalui ingatan atas data yang dipelajari
  • Pendidikan terisolasi dari realitas social, dan
  • Hukuman badan sebagai sebuah bentuk untuk menegakkan displin. (Ornstein dan Levine, 1985: 203)

  Dengan kata lain, bahwa sistem pendidikan yang ditekankan adalah displin yang kuat dan tegas serta pemberian hukuman diupayakan untuk membangun tata tertib proses belajar mengajar.

b. Progresivisme dan Pendidikan

  Sebagaimana dikatakan di atas bahwa Progressivisme muncul untuk mereformasi metode-metode pendidikan tradisional. Apa yang dilakukan oleh metode pendidikan tradisional, maka hal yang sebaliknyalah yang dilakukan oleh Progressivisme. Para pendidik progressivisme berpikiran bahwa para guru haruslah dibayar lebih banyak agar mereka lebih banyak juga memberikan perhatian kepada murid-murid secara individu dan menghilangkan pandangan atau pendapat bahwa semua murid itu memiliki kemampuan yang sama. Penekanananya adalah: “…a movement within the broad

  frame-work of American education and a theory that urged the liberation of the child from the traditional emphasis on rote learning, lesson recitations and textbook authority”. (Ornstein dan Levine, 1985: 203).

  Pendidikan Progressivisme adalah sebuah teori dengan sistem pendidikan yang mementingkan kemerdekaan dan kebebasan anak dari tekanan pengajaran dengan system hafalan, pendiktean bahan pelajaran dan otorisasi terhadap buku teks.

  Para pendidik Progressivisme meyakini bahwa para murid belajar lebih baik apabila mereka dengan sungguh-sungguh sangat perhatian atas apa yang dipelajari, yaitu materi pelajaran yang disukai dan sebaliknya akan terjadi bahwa mereka tidak akan belajar dengan baik apabila mereka ditekan untuk menghafal dan mengingat berbagai macam fakta-fakta yang dianggap percuma. Anak-anak seharusnya belajar melalui kontak langsung dengan sesuatu objek pelajaran, tempat dan orang-orang sebagaimana dibaca atau didengarkan oleh mereka. “Child-centerred progressives saw the

  school as a place where children would be free to experiment, to play and to express themselves”( Ornstein dan Levine, 1985: 204).

  Berdasarkan hal di atas, maka dalam sistem pendidikan Progressivisme ini sekolah seharusnya tidak hanya memiliki satu ruang kelas, melainkan juga harus memiliki ruang kerja, laboratorium ilmu, studio, ruang seni, ruang masak, gedung olah-raga dan perkebunan. Dengan fasilitas ini, para pengajar Progressivisme yakin bahwa dengan prosedural pengadaan fasilitas ini akan secara otmatis membangun fisik, sosial, emosi alamiah mereka sebagaimana adanya (Whitney, 1964: 717). Para anak didik juga memiliki wadah untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka.

  Pendidik Progressivisme juga menekankan aktivitas, informalitas dalam kelas. Mereka meyakini bahwa anak-anak akan belajar lebih baik ketika mereka dapat bergerak dan bekerja pada cara mereka sendiri. Dalam pelaksanaan proses belajar, anak-anak dituntut mengumpulkan materi- materi dari beberapa sumber , bukan hanya dari satu buku teks yang telah ditentukan saja. Dan penyelesaian problem dilaksanakan secara berkelompok dengan murid-murid yang lain (Whitney, 1964: 717). Artinya, bahwa diskusi, drama, music dan aktivitas seni menjadi prosedur kelas disamping pelajaran dan kegiatan menghafal.

  Adapun yang menjadi prinsip- prinsip pendidikan yang dianut oleh aliran ini dapat didaftarkan secara singkat adalah:

  • Anak-anak dibiarkan bebas berkembang secara alami
  • Perhatian, didorong langsung pada pengalaman, karena ini dianggap sebagai pendorong yang paling baik dalam pengajaran.
  • Guru harus menjadi seorang nara sumber dan seorang pembimbing dan pengarah dalam aktivitas pembelajaran.
  • Sekolah Progressivisme seharusnya menjadi sebuah laboratorium bagi reformasi pendidikan dan tempat untuk bereksperimen (Ornstein dan Levine, 1985: 203)

  Pendapat senada juga disampaikan Kneller (1971: 134), yaitu bahwa prinsip pendidikan progresivisme adalah:

  1. Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.

  Kehidupan yang baik adalah kehidupan intelegen, yaitu kehidupan yang mencakup interpretasi dan rekonstruksi pengalaman.

  2. Pengajaran harus secara langsung dihubungkan dengan berbagai kepentingan anak.

  3. Belajar melalui pemecahan masalah harus didahulukan dari belajar melalui

  subject matter.

  4. Peran guru tidak langsung tetapi untuk memberikan petunjuk kepada anak.

  5. Sekolah perlu mendorong kerjasama dibanding kompetisi.

  Dengan kata lain, bahwa pendidikan model Progressivisme ini sangat menekankan bahwa si anak harus diajar menjadi seorang yang berdiri sendiri (independen), menjadi seorang pemikir yang percaya diri. Dalam hal ini, si anak diarahkan untuk belajar dan mempelajari persoalan-persoalan yang ia anggap paling menarik, yaitu dengan memilih sendiri pokok persoalan yang hendak dipelajari, kemudian menetapkan defenisi bagi dirinya sendiri atas persoalan yang sedang diteliti atau yang sedang dikerjakannya. Selanjutnya ia akan mengekspresikan apa yang ia rasakan dan yang ia yakini. Peran sang guru di sini adalah membantu murid untuk belajar dan mendisplinkan sang anak agar tetap konsekwen atas apa yang telah ia pilih sebagai persoalan yang paling ia minati.

  C. Analisis

  Collier’s Enciclopedia, menyatakan : “Progressivism assumes that the world

  change and that in a universe that is not particularly concerned with him, man can rely only upon this ability to think straight. To the progressive, the universe is open ended and man is creative; thus it is man’s task to bring

  into being all the wonders that can be conceived of in his imagination

  (Halsey, 1971: 326) Aliran Progressivis ini menganggap bahwa dunia ini selalu berubah, dan hanya manusialah yang dapat berpikir lurus. Alam semesta ini adalah ruang terbuka yang memiliki banyak rahasia, sedangkan manusia memiliki kretifitas. Maka dalam hal ini manusia dapat dengan leluasa untuk membuka rahasia yang ada dalam alam semesta ini. Dan untuk itu, pendidikan Progressivisme bertujuan untuk menjadikan manusia itu menjadi orang- orang yang dapat membuka rahasia dari alam semesta. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan aliran ini.

  Alam semesta memiliki problem- problem. Dan itu sangat mempengaruhi keberadaan manusia. Maka, dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang harus mencari pemecahan masalahnya sendiri. Dan murid diberi keleluasaan untuk membangun kratifitasnya dalam hal menjawab problem yang terjadi, namun sesuai dengan minatnya sendiri.

  Dalam bukunya, Allan C Ornstein dan Daniel U Levine mencatatkan bahwa : “Progressives generally were not

  interested in using the curriculum to transmit subjects to student. Rather, the curriculum was to come from the child. Learning could take a variety of forms such as problem such as problem solving , field trips, creative artistic expression, and projects. Above all, progressives saw the teaching- learning as active, exciting and everchanging” (Ornstein dan Levine, 1985: 205).

  Dijabarkan bahwa sistem pendidikan ini tidak begitu menekankan kurikulum kepada para murid. Tetapi, justru yang terjadi adalah bahwa kurikulum itu berasal dari murid itu sendiri. Menurut hemat saya bahwa di sinilah kelemahan dari system pendidikan aliran ini. Kendatipun ada kurikulum, itupun bersifat fleksibel.

  Sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat memberi jaminan kepada para siswanya selama ia belajar. Maksudnya adalah bahwa sekolah harus mampu untuk membantu dan menolong siswanya untuk bertumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para murid untuk mengembangkan minat dan bakatnya melalui bimbingan para guru. Hal ini adalah benar. Akan tetapi, untuk mengarahkan apa yang menjadi maksud dan tujuan penyelenggaraan pendidikan itu dituangkan melalui kurikulum yang jelas dan tepat. Namun, yang terjadi adalah bahwa bagi aliran ini memandang bahwa segala sesuatu adalah berasaskan fleksibilitas, dinamis dan didalamnya termasuk kurikulum.

  Aliran ini memandang bahwa kurikulum itu haruslah fleksibel, tidak kaku, dapat berubah setiap saat, tidak terikat oleh doktrin tertentu. Ia harus bersifat terbuka. Jadi, kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan kemauan si murid. Artinya, kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi murid.

  Dengan penggambaran demikian, dapat dikatakan bahwa di satu sisi mungkin sistem pendidikan ini mendorong kreativitas anak, namun akan menjadi kesulitan untuk mengarahkannya sampai di mana maksud dan tujuan dari kreatifitas si anak tersebut. Sistem pendidikan Progressivisme ini sangat berbeda dengan apa yang menjadi prinsip pendidikan aliran Essensialisme. Bagi aliran Essensialime sendiri, tujuan dari pendidikan itu sangat jelas dituangkan dalam kurikulum, yaitu untuk membina peradaban bagi manusia itu sendiri, untuk memberikan sebuah kemampuan yang dapat dipergunakan dalam mengatasi kehidupannya dan persoalan kemasyarakatan serta untuk menjadikan murid tersebut nantinya menjadi masyarakat terpelajar dan yang memiliki moral dan kesopanan yang baik (Ornstein dan Levine, 1985: 198).

  a. Sekilas Tentang Pendidikan di Indonesia

  Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbagi dalam 34 provinsi. Ibukota Indonesia adalah Jakarta, suatu kota yang terletak di Pulau Jawa. Bisa kita lihat bahwa jarak antara kota yang satu dan kota lain yang berbeda pulau tidaklah mudah untuk ditempuh. Mungkin perbedaan jarak dan sulitnya menjangkau kota yang satu dengan yang lain, memberi banyak pengaruh terhadap berbagai aspek, termasuk aspek pendidikan Indonesia. Ketika kita berbicara tentang pendidikan Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang mengatakan bahwa kita termasuk negara yang tertinggal dalam hal pendidikan. Apakah itu benar?

  Dahulu, ketika Belanda menjajah Indonesia, di negara kita didirikan berbagai jenis sekolah, seperti ELS (Eurospeesch

  Lagere School), Sekolah Bumi Putera,

  Sekolah Desa, dan HBS (Hogere Burger

  School). Waktupun terus berputar hingga

  akhirnya Indonesia dapat meraih kemerdekaan,

  17 Agustus 1945. Kemerdekaan membawa perubahan dalam berbagai aspek, sistem pendidikan di Indonesia juga turut berubah (Wenie Martin Dahlia, 2010: 1).

  Beberapa tahun yang lalu, di Indonesia terdapat berbagai jenis sekolah, seperti SMEA, SPG dan STM. Sekolah- sekolah tersebut merupakan bentuk sekolah vokasi. Namun, tidak lama kemudian terjadi penyederhanaan sehingga hanya terdapat SMA dan SMK. Seiring berjalannya waktu, nama SMK seolah-olah menjadi lenyap dan kurang diminati oleh banyak masyarakat. Akibatnya, di daerah- daerah banyak berlangsung pembangunan SMA, SMK sudah sangat jarang terdengar. Belakangan.

D. Relevansi Progresivisme Pendidikan di Indonesia

  Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia saat ini? Apakah pemerintah sudah mampu memberikan yang terbaik untuk rakyatnya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita lihat pendidikan di Amerika, di negara maju tersebut terdapat kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif. Lalu, bagaimana dengan negara maju lainnya seperti Cina? Cina membagi pendidikannya ke dalam empat sektor, yaitu basic education,

  technical and vocational education, higher education, dan adult education. Bahkan,

  pemerintahnya juga menyediakan pendidikan prasekolah yang materinya meliputi permainan, kegiatan kelas, olah raga, aktivitas sehari-hari serta pekerjaan fisik (Wenie Martin Dahlia, 2010: 1).

  Kemudian, bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah perlu merasa “iri” dengan segala kemajuan pendidikan di negara lain? Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum pendidikan yang berkembang di Indonesia. Kalau kita tinjau dari konsep pengadaan kurikulum tersebut, kurikulum kita tidak kalah dengan kurikulum yang diterapkan di negara- negara maju lain, seperti Amerika. Akan tetapi, yang terjadi di negara kita adalah sangat sulit untuk menerapkan seperti apa yang telah dikonsepkan. Dalam penerapan kurikulum tersebut, banyak terjadi ketidaksesuaian. Mungkin pemerintah sering mengadakan studi banding terhadap pendidikan di negara lain. Akan tetapi, pemerintah juga harus melakukan studi banding di dalam negeri. Pemerintah dapat melihat langsung kondisi dan kemampuan masyarakat sehingga pemerintah dapat menerapkan suatu kurikulum yang asli Indonesia yang benar-benar sesuai untuk digunakan di Indonesia sehingga dapat menjawab keinginan bangsa Indonesia akan pendidikan (Wenie Martin Dahlia, 2010: 2).

  Penerapan yang tidak sesuai dengan konsep juga terjadi pada pengadaan sekolah gratis. Padahal, apabila subsidi dan pengadaan sekolah gratis bisa berjalan sebagaimana mestinya, pasti rakyat Indonesia yang tidak mempunyai biaya pendidikan bisa mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, seperti yang telah diatur dalam UUD 1945.

  Lalu, Mengapa pendidikan di negara kita sangat jauh dari kata “baik”? Apakah persoalan sarana prasarana pendidikan yang tidak memadai merupakan suatu masalah untuk pendidikan Indonesia? Banyak masyarakat yang mengatakan bahwa pemerintah sangat tidak adil terhadap pendistribusian segala hal di bidang pendidikan, sebut saja penyebaran tidak merata. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai untuk menunjang berlangsungnya sistem pendidikan. Namun, terdapat juga sekolah yang fasilitasnya sudah memadai, tetapi sekolah tersebut tidak dapat memaksimalisasikan fungsi dari fasilitas penunjuang pendidikan tersebut.

  Bagaimana dengan kondisi guru di Indonesia? Beberapa tahun ini, setiap tahun di negara kita selalu diadakan ujian nasional. Apa permasalahannya? Menurut survey, banyak oknum pendidikan yang seolah-olah menjadi contoh untuk memperburuk moral bangsa. Hal tersebut terjadi karena banyaknya oknum pendidikan terutama guru yang bersifat komersial. Banyak sekolah-sekolah yang menghalalkan banyak cara (termasuk yang negatif) hanya untuk meningkatkan grade sekolahnya.

  Apakah yang harus dilakukan pemerintah? Kenyataannya, hal yang paling sulit dilakukan adalah mengubah moral atau perilaku seseorang. Mungkin, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menerapkan sanksi tegas untuk setiap pendidik yang melakukan tindak kecurangan. Pemerintah juga harus menerapkan standar yang tinggi untuk seorang pendidik. Misalnya, seorang pendidik diwajibkan memiliki gelar minimal S-1. Bahkan, pemerintah bisa mengadakan ujian tertulis dan praktek mengajar untuk setiap calon guru agar mendapat sertifikat. Saya rasa hal tersebut sudah berlangsung di negara kita, tetapi pelaksanaannya kurang maksimal. Masih terdapat “kebocoran-kebocoran” (Wenie Martin Dahlia, 2010: 3).

  Banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa mereka menginginkan pendidikan yang terfokus. Kami belajar untuk hidup, untuk masa depan, bukan hanya untuk saat ini. Kami semua para pelajar dan mahasiswa membutuhkan seorang pendidik, bukan pengajar. Karena kenyataannya yang ada saat ini hanyalah oknum pengajar, bukan pendidik. Pendidikan seharusnya tidak menuntut kami untuk selalu menerapkan Study Oriented. Sebab, pada kenyataannya yang dibutuhkan di dunia kerja, di dunia nyata adalah sebuah penerapan (praktek). Lalu bagaimana supaya belajar itu bisa menyenangkan? Semuanya akan menyenangkan apabila kita melakukan sesuatu sesuai dengan minat kita. Bagaimana supaya masyarakat sasaran pendidikan bisa lebih terfokus dalam menempuh pendidikannya? Hal inilah yang akan kita lihat pada bagian selanjutnya dalam kajian ini.

  b. SMK : Sebuah Tawaran Progresivisme Pendidikan ?

  Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebenarnya menurut hemat penulis telah cukup menjawab problematika pendidikan di Indonesia, jika dikelola secara baik oleh pemerintah. Tujuan pendidikan, kurikulum, dan hal lain menyangkut pendidikan yang dianjurkan aliran progresivisme pendidikan sebenarnya tercermin dalam SMK. Hal yang salah selama ini menurut penulis ada pada pemahaman yang keliru yang berkembang di masyarakat yang seakan-akan “meng- anak tiri-kan” SMK dan mengagung- agungkan SMA.

  Mengapa banyak yang tidak berminat ke SMK? Ini semua sebagian besar mungkin karena masalah gengsi dan alur kehidupan. Kondisi SMK yang tidak lagi dikembangkan dan minimnya jumlah SMK, membuat SMK seolah-olah menjadi tidak begitu bermakna. Banyak orang yang memiliki gengsi tinggi, hal tersebut membuatnya lebih memilih SMA,

  mengapa demikian? Apakah duduk di bangku SMK merupakan hal yang menimbulkan rasa malu? Pemerintah perlu

  melakukan pembenahan untuk pengembangan SMK supaya masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan yang langsung sesuai dengan bidangnya bisa mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.

  Hal ini sebenarnya mulai perlahan- lahan dilakukan pemerintah. Dalam pemberitaan Koran Tempo Interaktif, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan bahwa kebutuhan tenaga kerja terampil dari SMK lebih banya. Untuk itu, tahun pada tahun 2009 lalu, komposisi SMK ditargetkan menjadi 40 persen. Konsep kejuruan ini ternyata telah diakui pemerintah sebagai langkah menanggulangi pengangguran yang terus bertambah di Indonesia (Tempo Interaktif, 26/03/2009).

  Pendidikan kejuruan atau SMK sebenarnya baik dalam rangka membina bakat dan kreatifitas peserta didik sehingga ketika keluar dari dunia pendidikan formal dan berhadapan dengan kehidupan masyarakat, mereka tidak akan kewalahan menciptakan lapangan kerja sendiri. Berkaitan dengan itu pula, SMK menurut hemat penulis akan mampu menjawab tantangan persaingan dunia kerja karena bakat dan kreatifitas yang dikembangkan berbeda-beda bidangnya. Hal ini bertolak belakang dengan sistem pendidikan di SMA yang diseragamkan dari Sabang sampai Merauke, walaupun karakteristik budaya dan daerahnya berbeda-beda.

  Pola pendidikan di SMK bahkan bisa berbeda pada setiap daerah tergantung karakteristik daerahnya, bahkan yang lebih kini terjadi bahwa SMK diarahkan untuk menjawab peluang kerja perusahaan- perusahaan atau pemilik modal yang menjadi sponsor atau penyumbangnya. Hal ini bisa kita lihat ketika pertengahan tahun lalu PT Toyota Astra Motor (TAM) menyelenggarakan pendidikan berbasis kemitraan, Toyota-Technical Education Program (T-TEP) yang menggandeng SMK se-Indonesia. Tujuan kerja sama ini adalah mempersiapkan lulusan dari sekolah kejuruan teknik yang akan memasuki industri otomotif ( http://www.okezone.com/toyota-gandeng- smk-se-indonesia/html/juli/2010/ ) .

  SMK menurut penulis adalah sekolah berbasis pengalaman seperti yang dikembangkan Dewey. Pengalaman merupakan istilah kunci jika tidak mau disebut sebagai inti dari pendidikan di sekolah. Belajar berdasarkan pengalaman akan membuat peserta didik tidak akan kebingungan dan kewalahan ketika diperhadapkan pada kondisi riil dunia kerja nantinya. Semoga SMK menjadi tawaran yang terus digaungkan pemerintah sehingga masyarakat tidak lagi merasa genggsi untuk masuk di SMK.

  E. Penutup

  Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Filsafat progresivisme dalam wujud yang murni memperkenalkan bahwa pendidikan selalu ada dalam nuansa proses pengembangan. Pendidikan harus siap untuk memodifikasi metode dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perkembangan pengetahuan dan perubahan yang baru dalam lingkungan.

  2. Pendidikan progresif harus memperkenalkan konsep “anak secara utuh” sebagai satu jawaban atas apa yang mereka pertimbangkan; terhadap anggapan atau penafsiran sebagian sifat anak. Dengan demikian, sekolah menjadi pusat “perhatian anak” dimana proses belajar ditentukan oleh setiap anak.

  3. Pandangan progresivisme terhadap anak, adalah sebagai organism yang memahami satu proses pengalaman. Anak merupakan bagian dari lingkungan, hidup dalam dan dengan interaksi dengan segala apa yang ada di lingkungannya. Anak selaku makluk alamiah terhubung dengan benda-benda alamiah lainnya, sekaligus sebagai suatu perkembangan sendiri. Masalah sentral dalam pendidikan anak adalah mengembangkan kecerdasannya agar dapat menjadi anak yang lebih baik.

  4. Dengan tetap berpijak pada ide demokrasi, progresivisme menekankan perkembangan kecerdasan kooperatif untuk mencapai pribadi yang integral. Pribadi yang integral tidak cukup hanya dengan menyumbangkan potensi dari dalam, tetapi harus dinteraksikan dengan individu- individu lainnya.

  5. Tujuan pendidikan progresivisme adalah memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang berada dalam proses perubahan secara terus-menerus. Yang dimaksud dengan alat-alat adalah keterampilan pemecahan masalah yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah. Proses belajar terpusatkan pada perilaku kooperatif dan disiplin diri, dimana kebudayaan sangat dibutuhkan dan sangat berfungsi dalam masyarakat.

  6. Anak harus memahami pengalaman pendidikan sebagai hal yang terjadi “di sini” dan “sekarang”, memiliki landasan filosofi “pendidikan adalah hidup” dan “belajar dengan melakukan”. Para progresivis mendorong sekolah agar menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam hal mental, fisik, emosi, dan perbedaan sosial.

  7. Mutu pendidikan tidak ditentukan dengan menerapkan suatu ukuran standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan, tetapi pendidikan diartikan sebagai suatu rekonstruksi pengalaman yang berkesinambungan secara terus menerus.

  8. Kurikulum pendidikan yang tepat di sini adalah yang mempunyai nilai edukatif, yang memperhatikan semua jenis belajar yang bahan-bahannya dapat membantu perkembangan anak, pemuda maupun orang dewasa. Selain itu, kurikulum juga harus dapat mendorong perkembangan pribadi yang mencakup perkembangan minat berpikir maupun kemampuan praktis.

  9. Pendidikan menurut aliran progresivisme ini menekankan kreativitas murid, di mana ia dengan bebas mengekspresikan apa yang menarik dalam pikirannya. Guru hanya bertugas untuk membimbing dan mengarahkan maksud dan tujuan murid, tidak boleh lebih dari itu. Kurikulum bersumber dari murid dan kemudian ia difasilitasi oleh sekolah semaksimal mungkin. Aliran ini tidak berpatokan kepada kurikulum yang sifatnya baku, sehingga untuk menilai hasil dari pendidikan itu menjadi sangat sulit. Dan inilah yang menjadi kelemahannya.

  10. SMK sebagai bagian pendidikan di Indonesia sudah sepantasnya terus dikembangkan dan menjadi prioritas pendidikan di Indonesia. Hal ini dirasakan perlu mengingat lulusan SMA bahkan perguruan Tinggi yang tidak memiliki spesialisasi cenderung menjadi pemasok utama tingkat pengangguran di Indonesia. Dengan dikembangkannya SMK dengan berbagai minat, bakat dan kreatifitas, ditambah dengan kerjasama-kerjasama dengan berbagai perusahaan pemilik modal diharapkan lulusan SMK akan menjadi tenaga terampil siap pakai baik di perusahaan sponsor, maupun dengan membuka lapangan kerja sendiri.

  Daftar Pustaka

  Halsey, D William (Ed), 1971, Collie’r

  Encyclopedia, London: Crowell-Collier Education

  Internet: Corporation. http://www.indonesiaberprestasi.web.id/

  Henderson, Stela van Pettern, 1959,

  2010/05/buat-ibu-pertiwi-tersenyum- Introduction to Philosophy of dengan-memajukan-pendidikan/

  Education, Chicago: The diakses : 3 Januari 2011.

  University of Chicago Jalaluddin, H dan Idi, Abdullah, 1997,

  http://www.tempointeraktif.com/hg/pen Filsafat Pendidikan, Jakarta: didikan/2009/03/26/brk,20090326- Gaya Media Pratama.

  166674,id.html

  Kneller, GF, 1971, Introduction To The diakses: 3 Januari 2011.

  Philosophy Of Education , http://www.okezone.com/toyota-

  Calivornia: University of

  gandeng-smk-se-

  California

  indonesia/html/juli/2010/ diakses:

  3 Ornstein, Alan C and Levine, Daniel U, Januari 2011. 1985, An Introduction to the

  Foundations of Education,

  Boston: Houghton Mifflin Company. Whitney, David C, 1964, The Wolrd

  Book Encyclopedia, London:

  Field Enterprises Educational Corporation.