Permasalahan Birokrasi di Tingkat Tapak (1)
Ade Kusuma Wijaya
(1306406695)
Amelia Ayang Sabrina
(1306383243)
Annisa Sista Nandasari
(1306383136)
Artika Pertasari
(1306415554)
Rysa Yulianda
(1306383275)
Imas Qurhothul
(1306383155)
Permasalahan Birokrasi di Tingkat Tapak: Sikap Tidak Responsif Birokrat
dan Praktik KKN pada Pelayanan Pembuatan KTP
Dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan keberadaan birokrasi tidak dapat
dipisahkan dalam proses pengimplementasian kebijakan, salah satunya terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini karena birokrasi terdapat dalam setiap lapisan
struktur pemerintahan. Oleh karena itu, dalam proses pemberian layanan kepada masyarakat,
birokrasi memegang peranan sangat penting karena birokrasi dapat mengambarkan wajah
pemerintah dihadapan masyarakat.
Wajah birokrasi pemerintahan dapat dilihat dari birokrat yang melakukan interaksi secara
langsung dengan masyarakat. Birokrat yang melakukan interaksi secara langsung dengan
masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan memiliki peran yang cukup vital
dalam pelaksanaan pekerjaan mereka dikenal sebagai street-level bureaucrats (Lipsky, 2010,
hal.3).
Sementara,
itu
lembaga
yang
menyelenggarakan
pelayanan
publik
dengan
mempekerjakan street-level bureaucrats dalam proporsi yang sebanding dengan angkatan
kerjanya, maka disebut sebagai street-level bureaucracies (Lipsky, 2010, hal.3). Contoh dari
street-level bureaucrats antara lain guru, polisi dan penegak hukum lainnya, petugas pengadilan,
pekerja sosial, hakim, pengacara publik, petugas kesehatan, dan karyawan publik lainnya yang
dapat memberikan akses kepada program-program pemerintah dan memberikan pelayanan.
Street level bureaucrats menentukan wajah dari pelayanan publik itu sendiri karena berinteraksi
langsung dengan masyarakat. Sebagai front-liner, birokrat di level ini tentu dituntut untuk
mampu melayani dengan prima.
Salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan oleh street-level bureaucrats kepada
masyarakat adalah pencatatan sipil terkait dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, setiap
penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan, pelayanan yang sama
dalam Pendaftaran Pendudukan dan Pencatatan Sipil, perlindungan atas Data Pribadi, kepastian
hukum atas kepemilikan dokumen, informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya dan hak atas ganti rugi dan pemulihan nama
baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan sipil serta
penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana. Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah
identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kartu ini wajib dimiliki bagi
Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki Izin Tinggal
Tetap (ITAP) yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin atau telah kawin. Anak dari
orang tua WNA yang memiliki ITAP dan sudah berumur 17 tahun juga wajib memilki KTP. KTP
bagi WNI berlaku selama lima tahun dan tanggal berakhirnya disesuaikan dengan tanggal dan
bulan kelahiran yang bersangkutan. KTP bagi WNA berlaku sesuai dengan masa Izin Tinggal
Tetap. Kartu ini berlaku selama 5 tahun dan wajib diperpanjang, kecuali yang telah berusia 60
tahun, atau yang telah memiliki KTP seumur hidup, yang tidak perlu diperpanjang setiap lima
tahun sekali. KTP menjadi identitas resmi yang menjadi kunci akses awal hampir semua
pelayanan pemerintah dan swasta. Misalnya pada pembuatan rekening di Bank, nasabah
diwajibkan untuk menyertakan KTP, atau digunakan untuk membat Surat Ijin Mengemudi,
mengajukan permohonan pemasangan instalasi listrik, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan betapa
krusialnya peran KTP pada masyarakat.
Krusialnya peran KTP inipun akan terhambat apabila pelayanan untuk pembuatan KTP
juga terhambat oleh peran street level bureaucrat yang tidak menyediakan pelayanan yang
semestinya. Dalam pelaksanaannya, masih saja terdapat permasalahan yang berakibat pada tidak
terpenuhinya hak penduduk atas data kependudukan. Salah satunya dapat terlihat dari banyaknya
keluhan dari Masyarakat Kota Batam terkait proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang
memakan waktu hingga 1,5 bulan atau bahkan lebih, padahal pembuatan KTP maksimal hanya
memakan waktu 14 hari.
Menurut Uba Ingan Sigalingging Pansus Laporan Kerja Pertanggung Jawaban (LKPj)
Wali Kota Batam 2014, masalah waktu pengurusan Kartu Tanda Penduduk muncul dikarenakan
tidak siapnya petugas pelayanan di ruang kerjanya. Saat melakukan permohonan pembuatan
Kartu Tanda Penduduk masih ditemukan petugasnya sedang tidak ditempat sehingga
menghambat proses pembuatan KTP.
Permasalahan yang ada tidak hanya sampai disitu saja, masalah lain yang timbul adalah
praktik percaloan yang muncul untuk membantu mengatasi masalah bagi masyarakat yang tidak
mau menunggu lama dan melengkapi kelengkapan berkas persyaratan untuk membuat Kartu
Tanda Penduduk. Masyarakat hanya perlu membayar Rp.250.000,00 untuk langsung
mendapatkan Kartu Tanda Penduduk saat itu juga. Praktik percaloan tersebut muncul salah
satunya juga disebabkan karena adanya kerjasama antara petugas pelayanan administratif dengan
calo. Hal ini mengakibatkan biaya yang mahal untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Padahal
menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) Pembuatan e-KTP cepat hanya memakan waktu 10-15 menit dan tanpa dipungut
biaya alias gratis.(detik.com, 2015).
Berdasarkan paparan kasus diatas, dalam memberikan pelayanan KTP kepada masyarakat
street-level bureaucrats tersebut jelas menyalahi aturan yang ada seperti pada Undang-Undang
No. 25 Tahun 2009 pasal 34 tentang Pelayanan Publik. Dalam undang-undang tersebut diatur
bahwa seorang pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku secara
adil dan tidak diskriminatif, tidak mempersulit, professional, serta tidak menyimpang dari
prosedur. Masyarakat yang mampu membayar calo akan memperoleh pelayanan KTP yang lebih
cepat, sedangkan masyarakat yang tidak membayar calo akan memperoleh KTP dengan waktu
yang lama. Dalam kasus ini juga terlihat bahwa petugas KTP yang diberikan wewenang tidak
menunjukan profesionalisme kerja nya, karena saat masyarakat melakukan permohonan terhadap
pembuatan KTP, petugas tidak ada dan tidak siap pada ruang kerjanya.
Selain itu, kasus tersebut juga terlihat menyalahi aturan yang ada pada pada UndangUndang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terkait pengaturan mengenai
bagaimana seorang pejabat administrasi pemerintahan menggunakan kewenangannya dalam
membuat keputusan dan tindakan. Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana
dimaksudkan tertulis pada pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 yang meliputi: a. larangan
melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c. larangan
bertindak sewenang-wenang Fakta yang terlihat dalam kasus tersebut justru terdapat unsur
kepentingan dari pejabat administratif KTP itu sendiri, yang mana petugas KTP tersebut justru
bekerjasama dengan calo untuk kepentingan pribadinya dan termasuk tindakan sewenangwenang.
Ketidakresponsifan dan praktik KKN yang terjadi di kalangan birokrat tingkat tapak
menunjukkan lemahnya pengawasan terutama pada internal pemerintah sendiri. Praktik KKN
tidak mungkin bisa dilakukan sendiri, untuk itu, perlu ketegasan dan komitmen dari pimpinan
untuk mendorong birokrat yang bersih melalui sistem pengawasan juga harus disertai pendorong
peningkatan kinerja seperti reward and punishment sehingga birokrat dapat lebih termotivasi
untuk bekerja jujur. Selain itu, dorongan kritik dari masyarakat untuk mendorong pemimpin
dalam pemerintahan untuk melaksanakan pengawasan yang optimal pada birokratnya juga
diperlukan. Keterbukaan pimpinan untuk menerima kritik dapat menjadi sarana pengecekan
kinerja pegawainya di mata masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Lipsky, Michael. (2010). Street Level-Bureaucracy: Dilemas of the Individual in Public Services.
New York: Russel Sage Foundation.
Internet
Admin. 2015. Bikin e-KTP; Jalur Resmi 1,5 Bulan, Lewat Calo Langsung Jadi.
http://batampos.co.id/27-03-2015/bikin-e-ktp-jalur-resmi-15-bulan-lewat-calo-langsungjadi/ (Diakses pada 1 Desember 2015)
Admin. 2015. Dirjen Dukcapil: Bikin e-KTP Sekarang, Cukup 10 Menit dan Gratis.
http://news.detik.com/berita/2842567/dirjen-dukcapil-bikin-e-ktp-sekarang-cukup-10menit-dan-gratis. (Diakses pada 1 Desember 2015)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(1306406695)
Amelia Ayang Sabrina
(1306383243)
Annisa Sista Nandasari
(1306383136)
Artika Pertasari
(1306415554)
Rysa Yulianda
(1306383275)
Imas Qurhothul
(1306383155)
Permasalahan Birokrasi di Tingkat Tapak: Sikap Tidak Responsif Birokrat
dan Praktik KKN pada Pelayanan Pembuatan KTP
Dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan keberadaan birokrasi tidak dapat
dipisahkan dalam proses pengimplementasian kebijakan, salah satunya terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini karena birokrasi terdapat dalam setiap lapisan
struktur pemerintahan. Oleh karena itu, dalam proses pemberian layanan kepada masyarakat,
birokrasi memegang peranan sangat penting karena birokrasi dapat mengambarkan wajah
pemerintah dihadapan masyarakat.
Wajah birokrasi pemerintahan dapat dilihat dari birokrat yang melakukan interaksi secara
langsung dengan masyarakat. Birokrat yang melakukan interaksi secara langsung dengan
masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan memiliki peran yang cukup vital
dalam pelaksanaan pekerjaan mereka dikenal sebagai street-level bureaucrats (Lipsky, 2010,
hal.3).
Sementara,
itu
lembaga
yang
menyelenggarakan
pelayanan
publik
dengan
mempekerjakan street-level bureaucrats dalam proporsi yang sebanding dengan angkatan
kerjanya, maka disebut sebagai street-level bureaucracies (Lipsky, 2010, hal.3). Contoh dari
street-level bureaucrats antara lain guru, polisi dan penegak hukum lainnya, petugas pengadilan,
pekerja sosial, hakim, pengacara publik, petugas kesehatan, dan karyawan publik lainnya yang
dapat memberikan akses kepada program-program pemerintah dan memberikan pelayanan.
Street level bureaucrats menentukan wajah dari pelayanan publik itu sendiri karena berinteraksi
langsung dengan masyarakat. Sebagai front-liner, birokrat di level ini tentu dituntut untuk
mampu melayani dengan prima.
Salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan oleh street-level bureaucrats kepada
masyarakat adalah pencatatan sipil terkait dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, setiap
penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan, pelayanan yang sama
dalam Pendaftaran Pendudukan dan Pencatatan Sipil, perlindungan atas Data Pribadi, kepastian
hukum atas kepemilikan dokumen, informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya dan hak atas ganti rugi dan pemulihan nama
baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan sipil serta
penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana. Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah
identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kartu ini wajib dimiliki bagi
Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki Izin Tinggal
Tetap (ITAP) yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin atau telah kawin. Anak dari
orang tua WNA yang memiliki ITAP dan sudah berumur 17 tahun juga wajib memilki KTP. KTP
bagi WNI berlaku selama lima tahun dan tanggal berakhirnya disesuaikan dengan tanggal dan
bulan kelahiran yang bersangkutan. KTP bagi WNA berlaku sesuai dengan masa Izin Tinggal
Tetap. Kartu ini berlaku selama 5 tahun dan wajib diperpanjang, kecuali yang telah berusia 60
tahun, atau yang telah memiliki KTP seumur hidup, yang tidak perlu diperpanjang setiap lima
tahun sekali. KTP menjadi identitas resmi yang menjadi kunci akses awal hampir semua
pelayanan pemerintah dan swasta. Misalnya pada pembuatan rekening di Bank, nasabah
diwajibkan untuk menyertakan KTP, atau digunakan untuk membat Surat Ijin Mengemudi,
mengajukan permohonan pemasangan instalasi listrik, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan betapa
krusialnya peran KTP pada masyarakat.
Krusialnya peran KTP inipun akan terhambat apabila pelayanan untuk pembuatan KTP
juga terhambat oleh peran street level bureaucrat yang tidak menyediakan pelayanan yang
semestinya. Dalam pelaksanaannya, masih saja terdapat permasalahan yang berakibat pada tidak
terpenuhinya hak penduduk atas data kependudukan. Salah satunya dapat terlihat dari banyaknya
keluhan dari Masyarakat Kota Batam terkait proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang
memakan waktu hingga 1,5 bulan atau bahkan lebih, padahal pembuatan KTP maksimal hanya
memakan waktu 14 hari.
Menurut Uba Ingan Sigalingging Pansus Laporan Kerja Pertanggung Jawaban (LKPj)
Wali Kota Batam 2014, masalah waktu pengurusan Kartu Tanda Penduduk muncul dikarenakan
tidak siapnya petugas pelayanan di ruang kerjanya. Saat melakukan permohonan pembuatan
Kartu Tanda Penduduk masih ditemukan petugasnya sedang tidak ditempat sehingga
menghambat proses pembuatan KTP.
Permasalahan yang ada tidak hanya sampai disitu saja, masalah lain yang timbul adalah
praktik percaloan yang muncul untuk membantu mengatasi masalah bagi masyarakat yang tidak
mau menunggu lama dan melengkapi kelengkapan berkas persyaratan untuk membuat Kartu
Tanda Penduduk. Masyarakat hanya perlu membayar Rp.250.000,00 untuk langsung
mendapatkan Kartu Tanda Penduduk saat itu juga. Praktik percaloan tersebut muncul salah
satunya juga disebabkan karena adanya kerjasama antara petugas pelayanan administratif dengan
calo. Hal ini mengakibatkan biaya yang mahal untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Padahal
menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) Pembuatan e-KTP cepat hanya memakan waktu 10-15 menit dan tanpa dipungut
biaya alias gratis.(detik.com, 2015).
Berdasarkan paparan kasus diatas, dalam memberikan pelayanan KTP kepada masyarakat
street-level bureaucrats tersebut jelas menyalahi aturan yang ada seperti pada Undang-Undang
No. 25 Tahun 2009 pasal 34 tentang Pelayanan Publik. Dalam undang-undang tersebut diatur
bahwa seorang pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku secara
adil dan tidak diskriminatif, tidak mempersulit, professional, serta tidak menyimpang dari
prosedur. Masyarakat yang mampu membayar calo akan memperoleh pelayanan KTP yang lebih
cepat, sedangkan masyarakat yang tidak membayar calo akan memperoleh KTP dengan waktu
yang lama. Dalam kasus ini juga terlihat bahwa petugas KTP yang diberikan wewenang tidak
menunjukan profesionalisme kerja nya, karena saat masyarakat melakukan permohonan terhadap
pembuatan KTP, petugas tidak ada dan tidak siap pada ruang kerjanya.
Selain itu, kasus tersebut juga terlihat menyalahi aturan yang ada pada pada UndangUndang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terkait pengaturan mengenai
bagaimana seorang pejabat administrasi pemerintahan menggunakan kewenangannya dalam
membuat keputusan dan tindakan. Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana
dimaksudkan tertulis pada pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 yang meliputi: a. larangan
melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c. larangan
bertindak sewenang-wenang Fakta yang terlihat dalam kasus tersebut justru terdapat unsur
kepentingan dari pejabat administratif KTP itu sendiri, yang mana petugas KTP tersebut justru
bekerjasama dengan calo untuk kepentingan pribadinya dan termasuk tindakan sewenangwenang.
Ketidakresponsifan dan praktik KKN yang terjadi di kalangan birokrat tingkat tapak
menunjukkan lemahnya pengawasan terutama pada internal pemerintah sendiri. Praktik KKN
tidak mungkin bisa dilakukan sendiri, untuk itu, perlu ketegasan dan komitmen dari pimpinan
untuk mendorong birokrat yang bersih melalui sistem pengawasan juga harus disertai pendorong
peningkatan kinerja seperti reward and punishment sehingga birokrat dapat lebih termotivasi
untuk bekerja jujur. Selain itu, dorongan kritik dari masyarakat untuk mendorong pemimpin
dalam pemerintahan untuk melaksanakan pengawasan yang optimal pada birokratnya juga
diperlukan. Keterbukaan pimpinan untuk menerima kritik dapat menjadi sarana pengecekan
kinerja pegawainya di mata masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Lipsky, Michael. (2010). Street Level-Bureaucracy: Dilemas of the Individual in Public Services.
New York: Russel Sage Foundation.
Internet
Admin. 2015. Bikin e-KTP; Jalur Resmi 1,5 Bulan, Lewat Calo Langsung Jadi.
http://batampos.co.id/27-03-2015/bikin-e-ktp-jalur-resmi-15-bulan-lewat-calo-langsungjadi/ (Diakses pada 1 Desember 2015)
Admin. 2015. Dirjen Dukcapil: Bikin e-KTP Sekarang, Cukup 10 Menit dan Gratis.
http://news.detik.com/berita/2842567/dirjen-dukcapil-bikin-e-ktp-sekarang-cukup-10menit-dan-gratis. (Diakses pada 1 Desember 2015)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan