Tuntutan Vonis Antasari Azhar

Tren HAM KontraS

  No.01/I-II/2010 Reformasi Sektor Keamanan: Sengketa rumah Dinas TNI Hak atas Hidup: Kontroversi Seputar Tuntutan Vonis Antasari Azhar 100 Hari SBY

  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Salam Redaksi Januari – Februari 2010

  Catatan per dua bulan yang dipersiapkan oleh KontraS ini berusaha merekam setiap gejolak, perubahan, bahkan stagnasi yang terjadi di Indonesia khususnya terkait dengan upaya penegakan hak asasi manusia dan upaya memutus mata rantai impunitas. Dalam publikasi perdana di awal tahun 2010, tren penegakan HAM ini disusun berdasarkan hasil monitoring media baik ditingkat domestik, regional, maupun internasional dan data dari laporan pengaduan yang rutin diterima oleh KontraS. Edisi ini secara khusus akan mengangkat isu akuntabilitas dan profesionalitas aparat penegak hukum sebagai catatan awal tahun 2010.Kecenderungan-kecenderungan yang kami angkat dalam publikasi ini diharapkan bisa memandu kita untuk menentukan pilihan-pilihan strategis yang bisa digunakan sebagai rekomendasi jangka pendek, menengah dan panjang dalam promosi hak asasi manusia di Indonesia.

  Dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso. Selanjutnya ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI, PMII.

  Badan Pekerja:

  Abu Said Pelu, Adrian Budi Sentosa, Agus Suparman, Ali Nursyahid, Chrisbiantoro, Edwin Partogi, Guan Lie, Haris Azhar, Heri Mardiansyah, Heryati, Indria Fernida, M. Daud Bereuh, Muhammad Harits, M. Rohman, Nur’Ain, Papang Hidayat, Puri Kencana Putri, Putri Kanesia, Regina Astuti, Rintarma Asi, Sinung Karto, Sri Suparyati, Syamsul Alam Agus, Sugiarto, Usman Hamid, Vitor Da Costa, Yati Andriyani, Yuliana Erasmus.

  Federasi KontraS:

  Oslan Purba, Bustami, Neneng (Jakarta), Hendra Fadli (NAD), Diah Susilowati (Sumatera Utara), Andry Irfan Junaidi (Surabaya) Harry Maturbong (Papua), Andri Suaib (Sulawesi). Badan Pekerja KontraS dibantu oleh para relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Redaksi KontraS menerima kritik, saran, dan tulisan untuk berita KontraS

  Diterbitkan oleh:

  KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Penanggung Jawab : Usman Hamid Pemimpin Redaksi : Puri Kencana Putri Redaktur Pelaksana : Hanny Sukmawati Editor Bahasa : Indria Fernida Penanggung jawab ilustrator : Muhammad Harits

  Sidang Redaksi:

  Sri Suparyati, Yati Andriyani, Papang Hidayat, Syamsul Alam Agus, Haris Azhar

  Distribusi: Keuangan:

  Rohman Nur’ain

  No.01/I-II/2010

  No.01/I-II/2010

  Sejak bulan Desember tahun lalu sebenarnya pengosongan rumah dinas TNI telah gencar dilakukan. Langkah ini diambil sebagai bagian dari program kerja awal tahun 2010 Kementerian Pertahanan di bawah Purnomo Yusgiantoro. Bahkan dalam penjelasan yang terpisah, program ini ditegaskan kembali oleh Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsuddin, yang menyatakan bahwa salah satu program peningkatan kesejahteraan prajurit akan dititikberatkan pada pengadaan rumah dinas yang kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

  Maka tak heran jika TNI dan Kementerian Pertahanan mengambil sikap khusus kepada para purnawirawan dan keluarganya yang masih bertahan dengan tindak penertiban. Dalam catatan KontraS kronologis seputar sengketa rumah dinas TNI yang tak jarang juga diikuti dengan tindak kekerasan (Lihat: Tabel Kronologis Pengosongan Rumah Dinas TNI).

  Reformasi Sektor Keamanan Berita Utama

Sengketa Rumah Dinas TNI

Kronologis Pengosongan Rumah Dinas TNI Waktu Peristiwa

  1980-1994 Departemen Keuangan yang menyusun inventaris kekayaan negara meminta Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk mendata aset negara yang mereka kelola. Tercatat sejak tahun 1994 cara ini telah dilakukan, dan dari tahun itu sampai kini setidaknya sudah ada 14 kasus yang muncul dan direkam oleh media massa. Cara penyelesaian seperti itu justru menimbulkan masalah. Mulai dari perlawanan fisik dari penghuninya sampai dalam bentuk munculnya opini kekecewaan para purnawirawan ataupun keluarganya yang menilai jasanya dahulu dalam membela bangsa tidak dihargai.

  2005-2008 Pengosongan paksa, teror, intimidasi, penggunaan kekerasan hingga penghancuran rumah tinggal para purnawirawan yang masih menempati rumah dinas TNI banyak digunakan sebagai penyelesaian perkara. Kasus kekerasan ini terjadi di Jakarta khususnya di Komplek Trikora AU (2005), Gatot Subroto AD (2004), Batalyon Perhubungan AD (2008), Berlan AD (2006), Kodam Jaya Cililitan (2008), Benhil AL (2005); Tangerang khususnya di Komplek Satuan Rudal AU; Depok khususnya di Dwikora AU; Surabaya khususnya di Kampung Seratus AL (2006); Komplek AL Semarang (2006).

Berita Utama

  2010 Aksi pengosongan rumah berlangsung di beberapa titik komplek yang tersebar di beberapa daerah seperti di Tasik Malaya (Sapta Malaga), Jakarta (Komplek eks Batalyon Angkutan Kuda dan Perbekalan, Kompleks Berland di Matraman, Jakarta Pusat; Kompleks Bulak Rantai di Kampung Tengah, Kramatjati, Jakarta Timur; Kompleks Eks Batalyon Angkutan Kuda Beban di Cililitan Besar, Jakarta Timur; Perumahan TNI AD di Jalan Otista III, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur; dan di Perumahan Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) di Jalan Arteri Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.), Palu (Jalan Maluku Woodward), Surabaya (jalan Teluk Rumai Timur, Perumahan Negara Pangkalan TNI Angkatan Laut V), Makassar (Kodam VII/Wirabuana)

  Dokumentasi dan Monitoring KontraS, 2008-2010 (diolah dari berbagai sumber) Salah Tafsir Payung Hukum Rumah Dinas TNI

  Secara spesifik dalam Perpres No 11/2008 tentang tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan

  Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara menjelaskan bahwa rumah dinas TNI dibagi dalam

  tiga golongan. Dari ketiga golongan itu yang bermasalah terletak pada proses pengalihan rumah golongan II menjadi rumah golongan III, di mana rumah golongan III adalah kategori rumah yang bisa dijual kepada penghuninya.

  • Rumah Negara Golongan I adalah rumah negara yang dipergunakan untuk bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut serta hak penghuninya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut (Pasal 1 ayat 2).
  • Rumah Negara Golongan II adalah rumah negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada negara (Pasal 1 ayat 3).
  • Rumah Negara Golongan III adalah rumah negara yang tidak termasuk Golongan I dan Golongan Iiyang dapat dijual kepada penghuninya (Pasal 1 ayat 4).
  • Dalam Perpres pasal 8, dijelaskan bahwa pihak pemohon yang menginginkan status rumah Golongan

  II untuk dialihkan menjadi Golongan III diharuskan untuk melakukan pemberitahuan. Namun setiap permohonan yang dilakukan oleh pihak pemohon dalam hal ini adalah para purnawirawan dan keluarga tidak selalu diindahkan oleh instansi TNI sehingga persengketaan kian meruncing.

  Langkah Pemerintah:

  Kementerian Pertahanan akan menerbitkan Peraturan Menteri Pertahanan tentang Aset Negara. - Peraturan ini secara khusus akan mengatur tentang aset negara yang dijadikan rumah dinas. Untuk kedepannya izin penempatan rumah negara oleh prajurit TNI golongan III akan ditiadakan.

  • Kementerian Pertahanan memberikan toleransi dalam bentuk para purnawirawan dan keluarganya bisa menempati rumah dinas TNI yang mereka diami sampai mereka mendapatkan tempat tinggal yang baru atau meninggal dunia dalam proses pemindahan tempat tinggal tersebut
  • Kementerian Pertahanan juga tidak akan meminta purnawirawan yang belum mengambil tunjangan perumahan dari Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan untuk meninggalkan rumah dinas.

  

No.01/I-II/2010 Ketegangan antara pihak tergusur (baca: para purnawirawan dan keluarga, ed) dengan pihak penggusur (baca: TNI dan Kementerian Pertahanan, ed) terletak pada persoalan mendefinisikan hak milik rumah dinas dengan penafsiran Peraturan Presiden yang mengatur tatacara pengadaan rumah dinas TNI. Kementerian Pertahanan pun menyangkal tuduhan yang dilayangkan kepada mereka bahwa setelah pengosongan rumah dinas tersebut akan dilakukan alih fungsi untuk kepentingan bisnis dan komersil dengan pihak ketiga. Memang, kita tidak bisa menutup mata untuk tidak melihat berbagai macam pengalihfungsian aset negara tersebut.

  Langkah alternatif memang telah disusun pemerintah, seperi rencana pembangunan rumah susun yang diperuntukkan bagi prajurit TNI. Sejatinya rencana ini diimplementasikan bersama-sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat. Namun sengketa rumah dinas TNI ini juga tidak bisa dilepaskan dari isu pemenuhan hak atas rumah yang harus bisa dinikmati oleh setiap rakyat Indonesia, tidak terkecuali para prajurit TNI. Sejak 2005 Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) terikat untuk memenuhi setiap amanat yang tertuang di dalamnya (Lihat: Pasal

  11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekosob). Pemerintah juga harus cermat dalam menyusun administrasi aset negara, dalam hal ini adalah aset TNI. Kasus rumah dinas adalah preseden dari berbagai sengketa yang belum terselesaikan antara TNI dan rakyat, terkait penggunaan lahan-lahan bermasalah. Mengutip Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin, saat ini TNI memiliki 3,5 miliar meter persegi lahan. Dari jumlah itu, lahan seluas 487 juta meter persegi kepemilikannya tidak jelas karena bermasalah dengan rakyat. Lahan yang disertifikatkan baru seluas 500 juta meter persegi (Dilema Rumah Negara TNI, Kompas ½)

Performa Akuntabilitas Polri: Belajar dari Aksi Susno dan Kasus Aan

  Bermula dari perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri dalam kasus Cecak versus Buaya, nama mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tidak henti-hentinya menjadi topik bahasan politik dan hukum nasional. Apa pasal? Fenomena jenderal berbintang tiga ini justru terletak pada sikap dan kemauannya untuk membeberkan berbagai kasus penyalahgunaan wewenang internal yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia. Tak tanggung-tanggung, dalam kadar yang sangat kental, Susno Duadji kembali membuat berita dengan membeberkan indikasi adanya praktik mafia kasus dan korupsi yang semakin menggejala di tubuh Polri. Baik dalam testimoni yang ia sampaikan di banyak media massa maupun buku yang ia terbitkan untuk membeberkan segala praktik keburukan dalam institusi Polri.

  Susno Duadji

  Di sisi lainnya, Susno secara mengejutkan datang menjadi saksi yang meringankan mantan ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh terlibat dalam persekongkolan pembunuhan Direktur PT

  No.01/I-II/2010 Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, meski saat itu ia datang tanpa restu Kapolri. Bola liar yang terus digulirkan Susno Duadji memang tidak akan pernah habisnya. Berikut adalah data kronologis yang bisa digunakan untuk melihat sepak terjang Susno selama 2 bulan terakhir. Jika yang disampaikan Susno Duadji itu benar adanya, maka reformasi akuntabilitas internal harus benar- benar dilakukan oleh Polri agar praktik-praktik penyimpangan ini tidak berlarut-larut terjadi. Selain itu Polri dituntut untuk menegakkan hukum dan mengembalikan citra maupun profesionalitas lembaganya. Namun, jika apa yang telah dibeberkan oleh Susno Duadji banyak mengandung keraguan dan ketidakbenaran, maka Polri juga dituntut untuk bertindak secara tegas menegakkan mekanisme kode etik dan disipliner agar drama fitnah memfitnah ini segera dihentikan.

Aksi Susno Duadji

  2 Juli 2009 Saat diwawancarai sebuah media Susno menyebut istilah Cecak versus Buaya, yang

  digunakan untuk mengilustrasikan relasi kepolisian dan KPK, sehingga menimbulkan reaksi yang sangat besar terhadap publik yang pendukung KPK saat itu.

  10 Juli 2009 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan berniat mengkaji ulang atas

  dugaan keterlibatan Susno Duadji dalam kaitannya dengan kasus Bank Century saat itu.

  3 November 2009 Nama Susno Duadji juga sempat disebut-sebut dalam rekaman KPK yang

  diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi yang saat itu diduga kuat Anggodo adalah dalang di balik layar dari skandal ini semuanya.

  4 November 2009 Saat terbentuk Tim 8 yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution, Tim 8 secara khusus meminta supaya Kapolri menonaktifkan Susnoduadji.

  5 November 2009 Ternyata tanpa diduga-duga dengan sendirinya, Susno Duadji menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan sebagai Kabareskrim Mabes Polri.

  24 November 2009 Setelah mengundurkan diri tersebut, ternyata oleh Polri, Susno Duadji dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim.

  

No.01/I-II/2010

  30 November 2009 Jabatan Kabareskrim yang sebelumnya dipegang Susno Duadji diserahkan kepada

  Irjen Ito Sumardi

  7 Januari 2010 Tanpa diduga-duga sebelumnya, ternyata Susno Duadji dijadikan saksi dalam kasus

  pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan Antasari Azhar sebagai terdakwa dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Kedatangan Susno di persidangan

  14 Januari 2010 Susno Duadji melaporkan pengamat kepolisian Kombes (Purn) Polisi Bambang Widodo

  Umar atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik terkait dengan pernyataan Bambang yang disampaikan di media massa bahwa Presiden dan Kapolri hendaknya tidak menyertakan nama Susno Duadji dalam pemilihan Wakapolri yang baru.

  Bambang juga menyatakan bahwa Susno telah merekayasa kasus yang menimpa dua komisioner KPK Bibit S. Rianto dan Chandra Hamzah.

  20 Januari 2010 Susno Duadji diperiksa oleh Pansus Bank Century dalam kaitan Kasus Bank Century.

  Dokumen testimoni Susno Duadji juga beredar yang menyatakan bahwa terdapat tiga kasus besar dalam skandal Bank Century: kasus murni perbankan, kasus non perbankan, dan kasus dugaan korupsi.

  Dokumentasi dan Monitoring KontraS, 2009-2010

  Kasus yang tak kalah menarik juga bisa kita lihat dalam kasus Aan Susandi alias Aan. Kasus yang mendapat perhatian luas dari masyarakat ini akhirnya membawa banyak lembaga negara turun tangan untuk ikut menanganinya. Tak kurang lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, Kompolnas, LPSK, hingga Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ikut menangani kasus yang diduga kuat melibatkan banyak oknum anggota Polri. Secara tegas Kadiv Propam Mabes Polri, Irjen Polisi Oegroseno menyatakan bahwa keterlibatan ketiga anggota Direskrim Polda Maluku itu telah melanggar kode etik dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan di luar kantor polisi. Selain itu, ditemukan bukti bahwa ketiga oknum polisi itu melakukan pemeriksaan tanpa adanya surat pemeriksaan, dan tidak melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat yakni Polda Metro

Aan Susandi

  Jaya. Bahkan, selain tindak indisipliner, terdapat unsur pelanggaran HAM dengan adanya bukti penganiayaan yang menimpa diri Aan yang tentu saja telah menyalahi Peraturan Kapolri (Perkap) Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  Belajar dari fenomena aksi Susno dan kasus Aan, kita harus terus mendorong penegakan hukum yang harus diterapkan tanpa pandang bulu. Jika ada aparat penegak hukum berpangkat perwira tinggi terkena berbagai skandal yang mulai mencuat kasusnya akhir-akhir ini, maka mereka juga harus diproses secara

  No.01/I-II/2010

  

No.01/I-II/2010

  14 Desember 2009 Aan sedang melakukan koordinasi administrasi terkait dengan tanggung jawab kerjanya ketika menjadi karyawan Maritim Timur Jaya (MTJ) dengan pihak PT Artha Graha di gedung Artha Graha-SCBD, Jakarta. datang Viktor Laiskodat, selaku pimpinan Artha Graha Grup. Dia datang bersama tiga orang polisi dari Ditreskrim Polda Maluku, serta dua penyidiknya (Kombes Polisi John Siahaan, Ipda Johni dan Brigadir Obed). Mereka membawa Aan ke ruang di lantai 8 gedung tersebut. Di dalam ruang tersebut, mereka menginterogasi Aan terkait dugaan kepemilikan senjata api ilegal dari mantan pimpinan MTJ, David Tjioe. Mproses intrograsi ini berlangsung dengan menggunakan kekerasan fisik dengan pukulan dan tendangan pada bagian kepala dan dada Aan.

  Proses interogasi awalnya disaksikan oleh tiga anggota Polda Maluku tersebut. Setelah itu, para polisi itu meninggalkan ruangan. Setelah Viktor selesai menginterogasi, para anggota kepolisian itu masuk ruangan dan melanjutkan interogasi. Aan dipaksa menanggalkan pakaian. Aan kemudian hanya memakai celana dalam saja.

  15 Desember 2009 Sekira pukul 01.30 WIB, Aan dijemput oleh dua anggota Polda Metro Jaya dan dibawa ke Polda Metro Jaya dengan alasan yang berbeda, yaitu memiliki sejenis obat secara tidak sah.

  Di Polda Metro Jaya, Aan menjalani pemeriksaan sejak pukul 02.00 WIB sampai 09.00 WIB dan kemudian ditahan. Menurut Kontras, pada hari itu juga telah dilakukan tes urine Aan dengan hasil negatif

  Dokumentasi dan Monitoring KontraS 2009

  hukum dengan transparan. Persoalan akuntabilitas polisi memang masih menjadi persoalan klasik yang terus dihadapi kepolisian kita. Hingga kini mekanisme akuntabilitas polisi masih mengandalkan unsur internal untuk melakukan kerja-kerja pengawasan. Namun pengawasan tidak saja datang dari internal semata, institusi pengawas eksternal juga dibutuhkan untuk memaksimalkan proses akuntabilitas polisi. Namun sayangnya, hadirnya beberapa institusi pengawas eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, bahkan KPK belum mampu memberikan kontribusi maksimal. Kompolnas misalnya, hanya memiliki peran yang amat minimalis dalam melayani berbagai pengaduan masyarakat atas berbagai tindak pelanggaran HAM atau tindakan indisipliner yang dilakukan oknum polisi. Apalagi Komnas HAM dan KPK yang memang tidak didesain khusus untuk menangani berbagai macam pelanggaran HAM maupun tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

  Selain itu, yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana meningkatkan kapasitas pemahaman para personel kepolisian dalam menggunakan berbagai instrumen dan kewenangan yang melekat pada profesi mereka. Kapasitas pemahaman ini tentu berkaitan erat dengan kultur militeristik yang masih kerap digunakan mereka dalam menjalankan profesinya. Seperti dalam kasus Aan, pendekatan yang digunakan oleh aparat kepolisian condong menggunakan cara-cara militeristik, menggunakan kekerasan dan instrumen kekerasan untuk mendapatkan informasi dari si korban, sehingga hak-hak korban terlanggar. Adalah tugas pokok kepolisian untuk menjaga dan menjamin perlindungan hak-hak sipil –politik yang melekat pada tiap-tiap individu di bawah yurisdiksi Pemerintah Indonesia dan sekaligus menjaga ketertiban sosial yang tidak bisa dipisahkan dari pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Kronologis Penganiayaan Aan

  Hak atas Hidup: Kontroversi Seputar Tuntutan Vonis Antasari Azhar

  Meski hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis 18 tahun kurungan penjara kepada Antasari Azhar, namun publik masih terkesima ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cirus Sinaga memberikan tuntutan hukuman mati kepada Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Dalam tuntutannya, Sinaga menyatakan bahwa terdakwa Antasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Berdasarkan bukti yang terkumpul dan kesaksian yang diberikan oleh beberapa saksi mata, maka Antasari Azhar sebagaimana yang diberitakan di banyak media massa

  Adanya tuntutan hukuman mati dari JPU harus dicermati secara hati-hati mengingat tuntutan ini diberikan kepada mantan orang nomor satu KPK. Selain itu pro kontra penerapan hukuman mati memiliki banyak irisan dengan isu penegakan hak asasi manusia. Penerapan jenis hukuman ini banyak bertentangan dengan hak atas hidup (rights to life) dan rasa keadilan (rights to justice) yang rentan untuk terlanggar. Efek jera (detterent effect) yang dipandang sebagai tujuan dari penerapan praktik ini rupanya juga tidak segaris lurus dengan menurunnya angka praktik pidana sebagaimana yang masih marak terjadi di Indonesia.

  Apalagi tuntutan JPU sarat dengan kepentingan politis di tengah kasus cecak versus buaya yang menerpa KPK belakangan ini. Studi-studi mendalam yang dilakukan oleh PBB banyak menemukan kecenderungan bahwa praktik hukuman mati yang masih diterapkan di beberapa negara saat ini rentan untuk diintervensi. Kerentanan ini tentu erat kaitannya dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang belum independen dari praktik penyalahgunaan kekuasaan dan sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak dari masa penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.

  Konsistensi Cirus Sinaga juga menjadi menarik jika dibandingkan ke kinerja penuntutannya dalam kasus Munir dengan terdakwa Muchdi Purwopranjono. Cirus sebagai JPU tidak menerapkan pola tuntutan yang maksimal dan

  Antasari Ashar No.01/I-II/2010 cenderung memberikan tuntutan yang meringankan, hingga akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi dari segala tuntutan. Preseden ini memberi pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Pertama, problematika penerapan praktik pidana mati yang masih diterapkan dalam hukum positif kita masih belum mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bahkan di titik yang ekstrem, KUHP masih belum mengatur bentuk-bentuk perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, seperti masih diterapkannya praktik hukuman mati. Kedua, sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum independen dan bebas dari intervensi mengingat ketiadaan kontrol pengawasan publik dalam lembaga-lembaga penegak hukum.

  

No.01/I-II/2010

Negara Gagal Beri Jaminan Kebebasan Beragama

  No.01/I-II/2010 Hak atas Kebebasan Beragama:

  Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) mengajukan Judicial Review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi. Tim Advokasi Kebebasan Beragama, sebagai pengacara AKKBB menyatakan bahwa UU tersebut baik secara substansi maupun praktik telah jauh menyimpang dari prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi. Di sisi yang berseberangan, beberapa kelompok keagamaan dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan secara tegas untuk tetap mempertahankan produk UU tersebut, dengan alasan jika UU tersebut dicabut maka bisa berpotensi untuk menimbulkan keresahan dan kekacauan di tengah masyarakat. Para pemohon secara khusus menggugat pasal 1, pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), pasal 3 dan pasal 4. Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan jaminan kebebasan dalam UUD 1945.

  

Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4 UU No 1/PNPS/1965

  bertentangan dengan pasal:

  Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang berbunyi :

  (1). Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

  

beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,

Tabel Tindak Kekerasan Sepanjang Penyelenggaraan Sidang Judicial Review Hari / Tanggal Peristiwa Korban Pelaku Bentuk Kekerasan / intimidasi Keterangan

  Teriakan “kafir”,

  untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keyakinannya itu.

  4 Februari

  Ancaman dan Intimidasi terhadap Pemohon dan Kuasa Hukum Pemohon

  Pemohon dan Kuasa Hukum Pemohon

  Massa FPI, FUI dan LPI yang memakai peci putih dan baju putih

  • – 24 Maret 2010

  “bunuh saja, darahnya halal”, “munafik” dan “tunggu perintah Allah, saya bunuh kalian semua”

  

No.01/I-II/2010

dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

  12 Maret 2010

  Intimidasi dan percobaan melakukan kekerasan terhadap Ulil Abshar Abdala

  Ulil Abshar Abdalla (Ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi)

  Massa FPI, FUI dan LPI yang memakai peci putih dan baju putih

  Teriakan “kafir”,

  “antek Amerika”, “tobat”, dan

  percobaan untuk melakukan pemukulan

  Peristiwa terjadi di lobby ruang sidang lt. 2 saat korban baru saja keluar dari ruang sidang dalam persidangan ke IX

  dan Sepanjang Persidangan dan setelah persidangan berakhir atau sidang diskors

  • – Agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan MK dan pihak terkait IX

  Peristiwa terjadi saat korban meninggalkan gedung MK setelah sebelumnya memberikan keterangan di persidangan XII

  Sekelompok orang berpakaian putih dan memakai peci putih, diduga massa FPI, FUI atau LPI

  Sidiq (Pengacara LBH Jakarta/ Kuasa Hukum Pemohon)

  Kekerasan dan ancaman terhadap Kuasa Hukum Tim Advokasi Kebebasan Beragama ketika korban hendak mendokumentasikan kekerasan yang dialami korban Nurkholis dan Uli Parulian

  24 Maret 2010

  Korban ditendang Peristiwa terjadi di Cafetaria MK sesaat setelah makan siang (sidang diskors) dalam persidangan XII

  Massa FPI, FUI dan LPI yang memakai peci putih dan baju putih

  Nurkholis Hidayat (Pengacara LBH Jakarta/ Kuasa Hukum Pemohon)

  Kekerasan dan ancaman terhadap Kuasa Hukum Tim Advokasi Kebebasan Beragama

  24 Maret 2010

  Menghadang kendaraan milik korban dan menggoyang- goyangkannya

  No.01/I-II/2010

  Sekelompok orang berpakaian putih dan memakai peci putih, diduga massa FPI, FUI atau LPI

  Garin Nugroho (Ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi)

  Intimidasi terhadap Garin Nurgroho

  24 Maret 2010

  Sidang IX

  Teriakan “PKI”, “Huuu”, “Fitnah”, “Bohong”

  Sekelompok orang berpakaian putih dan memakai peci putih, diduga massa FPI, FUI atau LPI dan beberapa orang perempuan bercadar

  Yuniyanti Chuzaifah, (Ketua Komnas Perempuan)

  Intimidasi terhadap Ketua Komnas Perempuan saat menjelaskan tentang kesulitan wanita di daerah Lombok dalam membuat KTP karena tidak mempunyai agama yang sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965

  12 Maret 2010

  Korban dipukul dan ditendang Peristiwa terjadi di Cafetaria MK sesaat setelah makan siang (sidang diskors) dalam persidangan XII

  24 Maret Kekerasan terhadap Febi Yonesta Dua orang Korban Peristiwa terjadi 2010 Kuasa Hukum Tim berpakaian dicengkeram di Cafetaria Advokasi Kebebasan putih dan lehernya dan MK sesaat Beragama berpeci putih, didorong ke setelah makan diduga massa tembok ketika siang (sidang dari FPI, FUI hendak melerai diskors) dalam atau LPI korban Sidiq yang persidangan XII sedang dipukul pelaku

  Dokumentasi dan Monitoring KontraS 2010 (diolah dari berbagai sumber)

  Dalam beberapa proses persidangannya sering kali letupan keributan tidak bisa dihindari. Ruang sidang umumnya dipenuhi dengan kelompok-kelompok Islam garis keras yang mendukung UU ini dipertahankan, seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela Islam, Komando Laskar Islam, dan sebagainya. Aksi mereka kerap menimbulkan rasa intimidasi kepada para saksi yang sebagian besar berpendapat bahwa UU tersebut layak untuk dihapus dan atau direvisi. Bahkan sempat terjadi sebuah insiden yang mengancam keselamatan Tim Advokasi Kebebasan Beragama, ketika beberapa anggota FPI berusaha menyerang beberapa tim kuasa pemohon (Lihat: Siaran Pers KontraS, 24 Maret 2010, “Menyesalkan Kekerasan yang

  Terjadi di Mahkamah Konstitusi”). Berikut adalah tabel tindak

  kekerasan yang terjadi sepanjang penyelenggaraan sidang

  judicial review UU Penodaan Agama di MK:

  Sepanjang kasus ini diperkarakan di MK, tidak sedikit peristiwa kekerasan (perusakan rumah ibadah), upaya kriminalisasi kepada kelompok-kelompok aliran kepercayaan, dan intimidasi terjadi di daerah-daerah (lihat: kasus Surga Eden yang terjadi di Jawa Barat – Kompas, 15 Januari 2010). Hingga tulisan ini diturunkan tafsir resmi negara atas identitas keagamaan warganya masih terus diterapkan melalui setumpuk regulasi yang memiliki kekuatan dan keabsahan untuk memberi label terlarang terhadap tiap-tiap aliran kepercayaan dan keyakinan di luar arus utama. Bola panas sekarang ada di tangan Mahkamah Konstitusi yang tengah giat mengurai pokok permasalahan ini, apapun hasilnya sebagaimana yang disampaikan oleh budayawan Frans Magnis Suseno, “Negara tidak memiliki mata Tuhan” dan kebebasan berkeyakinan di tengah masyarakat yang majemuk ini masih belum kita miliki sepenuhnya.

  

No.01/I-II/2010

  • Majelis hakim tidak memanggil saksi Budi Santoso dan As’ad yang merupakan saksi penting dalam kasus pembunuhan Munir selama masa persidangan
  • Proses penyelanggaraan pengadilan yang terpisah antara satu pengadilan (baca: pengadilan dengan terdakwa Muchdi Pr, ed), dengan pengadilan lainnya (baca: pengadilan dengan terdakwa Pollycarpus, Rohainil Aini, dan Indra Setiawan, ed) sehingga banyak ditemukan kendala dalam proses pembuktian
  • Majelis hakim tingkat MA yang menangani kasasi kasus Muchdi Pr tidak berkompeten untuk memeriksa perkara dengan melihat latar belakang ketiga hakim pada persidangan Muchdi Pr yang tidak memiliki kecakapan dalam hukum pidana dan hukum hak asasi manusia.
  • Andaikata ada pemeriksaan ulang terhadap kasus Munir maka kasus ini tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan pidana akan tetapi kejahatan hak asasi manusia sehingga Pengadilan HAM lah yang berhak menyelenggarakan gelar perkara ini.
  • kasus Munir harus menggunakan mekanisme internasional, karena negara berkewajiban untuk menyiapkan lembaga, mekanisme, aturan dan insfrastuktur di bidang peradilan.
  • kewajiban negara adalah untuk mengadili pelaku dan memberikan kompensasi kepada korban, kemudian penting untuk melakukan investigasi secara adil, jujur dan imparsial begitu juga pengadilanjuga harus dilakukan dengan menerapkan prinsip yang sama. Temuan dari eksaminasi bahwa ada dugaan peradilan yang dilakukan tidak independen dan parsial, dari segi HAM internasional

  No.01/I-II/2010

  Di awal tahun ini kasus Munir memasuki babak baru. Sesuai dengan mandat fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Komnas HAM (lihat: UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) Komnas HAM membentuk sebuah tim khusus yang akan melakukan eksaminasi publik terhadap vonis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan terdakwa Muchdi Purwopranjono yang diduga kuat menjadi aktor intelektual dalam kasus pembunuhan Munir. Majelis hakim eksaminasi publik ini terdiri dari individu-individu yang memiliki kompetensi dan integritas di bidang hukum pidana, hukum acara pidana, hukum HAM, tata negara dan sosiologi. Adapun majelis eksaminasi itu terdiri lima orang, seperti Prof.Soetandyo Wigjosoebroto, MPA., Dr.Mudzakir, SH, LLM, Dr.Frans Hendra Winarta, SH, MH, Dr.Fadjrul Fallakh, SH, MH, dan M.Rudi Rizki, SH, LLM. Berikut adalah temuan tim eksaminasi Komnas HAM: Kejanggalan yang mencolok banyak ditemukan oleh majelis eksaminasi khususnya dalam proses penyidikan, pengadilan, hingga penolakan kasasi JPU di Mahkamah Agung:

  Posisi Kasus Munir kalau ini (baca: kasus pembunuhan Munir, ed) terbukti dilakukan dengan perancanaan (by design) maka tidak berlaku prinsip nebis in idem (larangan untuk mengadili seorang terdakwa lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya, untuk selengkapnya lihat Pasal 176 KUHP).

  (Monitoring dan Dokumentasi KontraS, diambil dari konferensi pers Komnas HAM atas Eksaminasi Putusan Muchdi Purwopranjono di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung, 9 Februari 2010)

  Poin yang tak kalah penting disampaikan dalam rekomendasi tim majelis eksaminasi adalah dengan meminta secara khusus kepada tiga institusi terkait yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan lembaga peradilan untuk mau bekerja sama dalam membuka kembali kasus pembunuhan Munir. Pertama, Polri secara khusus diimbau untuk menggunakan hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir sebagai salah satu bahan awal untuk pengembangan lebih lanjut. Kedua, Kejaksaan Agung juga diminta agar mengajukan kasasi kembali dengan melengkapi hal yang kurang sebagaimana dimuat dalam Putusan MA dengan menunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) lain yang independen dan lebih profesional dan atau melakukan upaya hukum yang lain yang relevan, misalnya peninjauan kembali jika ditemukan bukti baru (novum), dilakukan semata-mata demi tegaknya hukum dan keadilan sebagai jaminan terpenuhinya hak untuk memperoleh keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat(1)[1] dan Pasal 28H Ayat (2)[2] UUD RI Tahun 1945. Ketiga, pimpinan peradilan juga diharapkan mampu memilih tim hakim yang ahli dalam hukum pidana dan hukum hak asasi manusia.

  Keempat, saksi yang merasa terancam harus mampu dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) .

  Namun dari perkembangan yang ada, hingga kini Kejaksaan Agung belum juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dengan alasan belum kunjung menerima salinan putusan Mahkamah Agung. Sementara Polri menyatakan akan menunggu langkah lanjutan yang akan diambil oleh Kejaksaan Agung, karena PK sendiri adalah sebuah tindakan di luar batas kewenangan Polri. Menariknya, dalam kebuntuan di tingkatan sistem peradilan pidana kita kasus yang mulai meredup ini justru mendapat perhatian khusus dari pemerintah Amerika Serikat menjelang lawatannya ke Indonesia pada tahun ini. Kemandekan kasus ini juga menjadi perhatian khusus pemerintah Amerika Serikat. Hal ini tersurat saat kunjungan koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin ke Washington DC (18/2/2010) untuk bertemu dengan Presiden Barrack Hussein Obama. Obama menyatakan langsung bahwa dirinya akan berkomitmen penuh dalam penuntasan kasus Munir, dan upaya memajukan demokratisasi dan penegakan HAM, serta memberi perhatian khusus kepada para pembela HAM, termasuk di Indonesia.

  

No.01/I-II/2010

  100 Hari SBY

  Menyoroti kinerja 100 hari pemerintahan SBY – Boediono kita bisa merenteng banyak hal yang belum dilanjutkan khususnya dalam agenda politik penegakan hak asasi manusia. Berikut ini adalah catatan data yang terkumpul dari hasil pemantauan tim dokumentasi KontraS atas kinerja 100 hari KIB Jilid II. Di mana dalam catatan KontraS lebih menitikberatkan pada agenda pembenahan tiga institusi negara yang terkait dalam agenda penegakan HAM yakni, Polri, Kementerian Hukum dan HAM. serta Kejaksaan Agung.

  Tabel Kinerja KIB Jilid II Susilo Bambang Yudhoyono

Polri Kontroversi Cecak versus Buaya yang kian memperuncing rivalitas antara Polri dengan KPK dalam

  pembongkaran skandal praktik korupsi, adalah cerminan bagaimana Polri berusaha menunjukkan kompetensinya melawan keyakinan dan kepercayaan publik dalam sengketa antar institusi negara tersebut. Polisi dalam banyak kesempatan masih menunjukkan arogansinya sehingga praktik kriminalisasi warga kerap terjadi, seperti dalam contoh penanganan kasus JJ. Rizal.

  Masih banyak terjadi diskriminasi penanganan perkara terhadap pelaporan masyarakat. Polisi bisa bergerak cepat jika perkara yang terjadi adalah tindak pidana umum yang dilakukan oleh warga masyarakat. Namun tampak ada ketidakjelasan mekanisme internal terhadap tindakan kekerasan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat Polri itu sendiri.

  Kejaksaan Kejaksaan Agung masih belum menunjukkan kinerja yang optimal dalam kerangka keadilan,

  khususnya untuk kasus-kasus yang menjadi sorotan publik, dalam hal ini kasus-kasus seperti

  Agung kasus korupsi Century dan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

  Kejaksaan Agung juga belum mengambil langkah progresif untuk menuntaskan berbagai macam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya menindaklanjuti hasil rekomendasi Pansus DPR RI tentang penculikan 12 orang aktivis pro-demokrasi.

  No.01/I-II/2010

  Kementerian Rencana pembangunan Jangka Menengah Tingkat Nasional (RPJMN) bidang hukum yang

  berperspektif HAM juga tidak menampakkan perhatiannya pada masalah pokok HAM, khususnya

  Hukum dan

  penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Padahal seharusnya, RPJMN 2010-2014 terutama

  HAM

  di bidang hukum dapat memprioritaskan masalah ini agar dampaknya besar dalam mendukung kebijakan pada bidang HAM yang lebih umum, Bahkan jika dibandingkan dengan RPJMN 2004- 2009, RPJMN 2010-2014 tidak mengatur secara khusus tentang penegakan hukum dan hak asasi manusia melainkan perihal HAM diletakkan dalam bidang politik yang tidak dijelaskan lebih detail dan khusus perihal penanganan kasus-kasus HAM khususnya kasus masa lalu. Banyaknya agenda legislasi nasional yang tidak diprioritaskan dalam Prolegnas 2010, seperti: ratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Buruh Migran, revisi RUU Peradilan Militer, revisi RUU Komisi Kebenaran, dan pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang secara Paksa.

  Biro Litbang KontraS, 2009-2010

  Melihat catatan di atas, KontraS dalam hal ini mendorong Presiden SBY agar lebih memfokuskan diri pada prioritas kerja khususnya terkait dengan penegakan HAM dalam kerangka institusional antar tiga institusi tersebut, sehingga agenda pengarusutamaan nilai dan prinsip-prinsip HAM bisa terlaksana, khususnya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

  

No.01/I-II/2010 Pemantauan Impunitas: Kontroversi Pelantikan Sjafrie Syamsuddin sebagai Wakil

Menteri Pertahanan

  Keputusan politik Presiden SBY untuk mengangkat Letnan Jenderal TNI Sjafrie Syamsuddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan untuk mendampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro patut dipertanyakan. Pengangkatan Sjafrie Syamsuddin yang masih menjabat sebagai prajurit aktif TNI telah menyalahi koridor dari UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 47, yang secara tegas menyatakan bahwa: “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Search dan Rescue Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.” Dan presiden seharusnya membaca secara teliti penjelasan Pasal 47 yang juga secara eksplisit menyatakan bahwa: “Yang dimaksud jabatan dengan jabatan adalah jabatan yang diduduki oleh prajurit aktif tidak termasuk jabatan Menteri Pertahanan atau jabatan politis lainnya.” Selain itu, sosok Sjafrie yang kontroversial ini masih harus mempertanggungjawabkan di depan hukum mengenai sederet peristiwa kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa transisi reformasi 1998. Menyitir hasil penyelidikan Komnas HAM, Sjafrie Syamsuddin merupakan salah satu pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM berat berikut ini:

  Dokumentasi KontraS No.01/I-II/2010

  

Tanggungjawab Sjafrie Syamsuddin dalam Kasus Pelanggaran HAM

No Nama Peristiwa Jabatan Keterangan

  1. Kasus Penculikan Panglima Daerah Militer Selaku Pangdam V Jaya pada waktu itu patut dimintai dan Penghilangan (Pangdam) V Jaya, dengan pertanggungjawabannya sehubungan dengan Paksa Aktivis pangkat Mayor Jenderal TNI penghilangan orang secara paksa, setidak-tidaknya 1997/1998 mengetahui dan membiarkan peristiwa itu terjadi

  (Laporan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998)

  2. Kasus Trisakti, Panglima Daerah Militer Pada saat peristiwa Trisakti terjadi Semanggi I dan (Pangdam) V Jaya sekaligus individu-individu yang diduga melakukan kejahatan Semanggi II Panglima Komando Operasi terhadap kemanusiaan karena posisi dan tindakan-

  (Pangkoops) Jaya tindakannya pada tingkat komando pengendali operasi lapangan

  3. Tragedi Mei 1998 Panglima Daerah Militer Pada saat kerusuhan Mei 1998 (Pangdam) V Jaya dan selaku Pangdam V Jaya, patut dimintai Panglima Komando Operasi pertanggungjawabannya.

  (pangkoops) Mantap Jaya III

  4. Kasus Santa Cruz, Ikut dalam operasi (Satuan Dili, 12 November Tugas Intelijen (SGI) 1991 Kopassus)

  Dokumentasi dan Monitoring KontraS (diolah dari berbagai sumber)

  Perlu diingat, pada November tahun lalu, Pemerintah Amerika Serikat (AS) pernah menolak kehadiran Sjafrie Syamsuddin yang menjabat Sekjen Dephan melalui pelarangan pemberian visa. Peristiwa itu semestinya menjadi cermin bahwa prinsip universal jurisdiction berlaku bagi kejahatan-kejahatan serius tertentu bagi negara-negara yang masih memiliki persoalan HAM dengan warganya. Pilihan ini bukan pilihan yang sederhana, karena kredibilitas HAM Indonesia bisa tercoreng akibat sebuah keputusan politik yang dapat berimbas kepada banyak hal, seperti peristiwa pencekalan visa Sjafrie ketika ia hendak menyertai kunjungan Presiden pada tanggal 23 September hingga

  1 Oktober silam. Preseden ini masih belum dijadikan pelajaran baik bagi kita mengingat Presiden SBY tetap memutuskan Sjafrie Syamsuddin masuk dalam lingkar dalam Istana. Keadilan bagi korban yang kembali digadaikan ini memang gambaran nyata dari politik Indonesia saat ini.

  Dokumentasi KontraS No.01/I-II/2010 Aceh: Meninjau Kembali Eksistensi Wilayatul Hisbah

  Implementasi dari penegakan syariat Islam banyak menuai protes ketika kasus perkosaan yang melibatkan tiga oknum polisi syariah (Wilayatul

  Hisbah/WH) terjadi di kota Langsa, Aceh Besar pada 8 Januari 2010.

  Peristiwa ini akhirnya memicu serangkaian aksi kecaman dari para pegiat HAM Aceh yang menuntut Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam beserta DPRA untuk membubarkan institusi tersebut. Peristiwa itu tidak saja mencoreng wajah Wilayatul Hisbah sebagai institusi yang memiliki kewenangan untuk menegakkan syariat Islam, namun juga menyangsikan kemampuan institusi ini untuk bekerja secara maksimal, mengingat mekanisme kerja dan pengawasan terhadap kinerja WH memang selama ini belum memiliki payung hukum yang jelas (lihat: Perda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam).

  Preseden kasus pemerkosaan tersebut justru terjadi ketika korban ditahan oleh ketiga oknum WH. Padahal, merujuk pada Perda No 11/2002, WH tidak memiliki kewenangan untuk menahan seseorang. Dalam hal ini KontraS mendorong Pemda dan DPRA untuk segera melakukan evaluasi terhadap kinerja WH dan memberikan rekomendasi apakah WH bisa melanjutkan tugas-tugasnya untuk mendukung penegakan pelaksanaan syariat Islam di Aceh atau tidak.

  Papua: Letupan Konflik Horizontal dan Upaya Dialog Papua

  Kecenderungan kekerasan di Papua kini kian melebar pada bentuk pertikaian antar suku. Pertikaian ini umumnya ditengarai oleh persoalan-persoalan sensitif, seperti perselisihan dan tindakan asusila, hingga akhirnya berbuntut pada perang suku. Seperti yang terjadi pada kasus Warga Atas dan Warga Bawah Kwamki Lama, Timika awal tahun 2010. Pertikaian yang menimbulkan puluhan korban jiwa di kedua suku tersebut tidak bisa dihentikan oleh pihak kepolisian setempat. Tabel berikut ini adalah ringkasan kronologis peristiwa yang terjadi:

  No.01/I-II/2010 Nusantara