Makalah Pendapat Empat Mazhab Tentang Sh
Makalah: Pendapat Empat Mazhab Tentang Shalat Jama'
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusi memiliki ilmu dan tingkat pemahaman serta berbagai pendapat
yang berbeda. Penyebabnya adalah pemahaman tentang al-qur’an dan hadist serta
ilmu yang dimiliki. Dalam islam terkenal denga 4 imam yang menjadi acuan kuam
muslimin dalam melakukan sesuatu atau memutuskan bagaimana harus melakukan
suatu ibadah. Dalam hal ini ada perbedaan yang terjadi dikalangan para pengikut
imam ini dalam malakukan ibadah, salah satunya adalah permasalahan shalat
jamak.
Dari masing-masing imam mememilki alas an dan landasan tertentu dalam
memutuskan perkara ini. Mereka memberikan pemdapat sesuai dengan disiplin
Ilmu yang mereka dapat serta pemahaman mereka tentang sumber kebenaran
islam itu sendiri
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada persolan pokok yang menjadi landasan dan dasar
melakukan penulisan karya ilmiah ini yakni bagaimanakah pendapat masingmasing imam dalam menetapkan masalah shalat jamak
3. Tujuan
Dari latar belakang diatas dapatlah panulis merumuskan ytujuan dari penulisan
makalah ini yakni mengetahui bagaimana pendaoat imam mazhab terkait masalah
shalat jamak.
BAB II
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TERKAIT SALAT JAMAK.
1. Pendapat Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa sebab-sebab shalat Jama' itu sebagai berikut:
1. Safar (melakukan perjalanan)
2. Sakit
3. Hujan
4. Tanah berlumpur (becek) serta gelap pada akhir bulan.
5. Ada di Arafah atau di Muzdalifah bagi yang menunaikan ibadah haji.
Sebab pertama adalah “safar”. Yang dimaksud adalah semua perjalanan, mencapai jarak
qashar ataupun tidak; dan disyaratkan perjalanan itu tidak haraam dan tidak pula makruh.
Maka bagi orang yang melakukan safar yang hukumnya mubah, boleh menjamak antara
shalat dzuhur dan ashar dengan jamak taqdim dengan dua syarat:
a. Matahari telah tergelincir ket6ika sesorang musafir berhenti I suatu tempat untuk
istirahat.
b. Ia berniat untuk pergi sebelum waktu ashar masuk, dan akan berhenti untuk
beristirahat lagi setelah terbenam matahari.
Jika ia berniat berhenti sebelum matahari menguning, maka sebelum pergi hendaklah
melaksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu dan wajib mengakhirkan shalat Ashar sehingga
ia berhenti, karena berhentinya itu tepat pada waktunya yang iklntiyari (luas), maka tidak ada
alasan baginya untuk menjama' taqdim shalat tersebut. Jika ia jama' toqdim dengan shalat
Zhuhur, maka shalat sah, akan tetapi ia berdosa, dan disunnatkan baginya untuk mengulang
shalat Ashar itu pada waktunya yang ikhtiyari tadi setelah ia berhenti. Sedang apabila ia
berniat berhenti setelah matahari menguning (sebelum Maghrib), maka hendaklah ia
melaksanakan shalat Zhuhurnya sebelum pergi, dan mengenai shalat Asharnya, boleh
memilih, boleh di-taqdim, dan boleh juga di-ta'khir hingga ia berhenti, karena shalat Ashar
itu - bagaimanapun juga - masih dilaksanakan pada waktu dharuri. Sebab bila Ashar itu ditaqdim tetap dilaksanakan pada waktu dharuri yang didahulukan karena alasan safar, dan bila
di-ta'khir juga tetap dilaksanakan pada waktu dharuri yang disyari'atkan.
Bila waktu Zhuhur telah masuk - yang ditandai dengan tergelincirnya matahari - sedangkan ia
dalam perjalanan, maka bila ia berniat untuk berhenti ketika matahari menguning atau
sebelum menguning, ia boleh men-ta'khir Zhtihur sehingga menjama'nya dengan Ashar
setelah berhenti. Dan jika berniat untuk berhenti setelah matahari terbenam, maka ia tidak
boleh men-ta'khir Ashar hingga berhenti, karena yang demikian itu dapat menyebabkan
kehiarnya kedua shalat tersebut dari waktunya. Akan tetapi antara kedua shalat itu hendaklah
dijama' secara simbolis, yaitu dengan melaksanakan shalat Zhuhur pada akhir waktunya yang
ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada awal waktunya yang ikhtiyari. Sedangkan shalat
Maghrib dan Isya' hukumnya sama dengan Zhuhur dan Ashar dalam semua rincian ini. Akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa awal waktu shalat Maghrib, yaitu terbenamnya matahari,
sama dengan kedudukan tergelincirnya matahari dibandingkan dengan shalat Zhuhur; dan
sepertiga malam pertama sama kedudukannya dengan menguningnya matahari setelah Ashar.
Sedangkan terbitnya fajar sama dengan terbenamnya matahari seperti yang telah
dikemukakan tadi.
Apabila ia memasuki waktu Maghrib sedang ia dalam keadaan berhenti, maka apabila ia
berniat berangkat sebelum memasuki waktu Isya' dan berherti sebelum terbit fajar, hendaklah
ia men-jama' taqdim shalat Isya' dengan Maghribnya sebelum berangkat; dan apabila ia
berniat berhenti sebelum sepertiga malam pertama, maka hendaklah ia men-ta'khir lsya'nya
sehingga berhenti. Sedang apabila ia berniat berhenti setelah sepertiga malam pertama maka
hendaklah ia melaksanakan shalat Maghribnya sebelum berangkat, dan mengenai shalat
Isya'nya ia boleh memilih. Berdasarkan hal ini Anda dapat mengqiyaskan (mengambil
perbandingan).
Hukum shalat jama' bagi seorang musafir adalah boleh, dalam artian khilaf al-Aula
(menyalahi ketentuan yang lebih utama). Maka yang paling utama adalah meninggalkan
jama'. Shalat jama' itu hanya boleh dilaksanakan bila ia melakukan perjalanan darat. Sedang
untuk perjalanan laut, maka tidak boleh menjama' shalat, karena dispensasi (kebolehan) jama'
itu hanya berlaku unttik perjalanan darat, tidak untuk perjalanan lainnya.
Sebab kedua, adalah sakit. bagi orang sakit yang susah untuk berdiri pada setiap kali shalat
atau ia susah untuk wudhu', seperti orang yang sakit perut, maka ia boleh menjama' antara
Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya' secara simbolis, misalnya dengan cara
melaksanakan Zhuhur pada akhir waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada
awal waktunya yang ikhtiyari, serta melaksanakan shalat Maghrib sesaat sebelum hilangnya
mega (merah) dan melaksanakan shalat Isya' pada awal hilangnya mega (merah). Ini
bukanlah jama' hakiki, karena masing-masing shalat itu tetap dilaksanakan pada waktunya.
Yang demikian itu hulnrmnya boleh, tidak makruh. Dan bagi orang yang melakukannya itu
memperoleh keutamaan awal waktu. Berbeda halnya dengan orang yang tidak ada uzdur,
sekalipun ia boleh melaksanakan shalat jama' secara simbolis, akan tetapi ia telah kehilangan
fadilah (keutamaan) awal waktu.
Sedangkan orang sehat yang khawatir akan mengalami pusing kepala yang dapat
menghalanginya melaksanakan shalat sesuai dengan cara yang semestinya, atau khawatir
pingsan yang dapat menghalanginya melaksanakan shafat ketika memasuki waktu shalat
yang kedua, seperti (waktu) Ashar bagi Zhuhur, dan (waktu) Isya' bagi Maghrib, maka
dibolehkan baginya men-taqdim shalat yang kedua bersama shalat yang pertama. Jika ia mentaqdim shalat tersebut sementara apa yang dikhawatirkannya itu tidak terjadi, maka sebaiknya
ia mengulang Pada waktu itu juga, sekalipun pada waktu dharuri.
Sebab ketiga dan keempat, yaitu hujan, berlumpur dan gelap. Apabila ada hujan lebat yang
sampai menyebabkan seseorang menutup kepalanya, atau menyebabkan tanah sangat
berlumpur yang sampai menyebabkan seseorang melepas sepatunya disertai gelap, maka
dibolehkan menjama' taq~lim lsya' dengan Maghrib untuk tetap menjaga (pelaksanaan) shalat
lsya' dengan berjama'ah tanpa ada kesulitan. Maka ia berangkat ke masjid pada waktu
Maghrib dan melaksanakan kedua shalat itu (Maghrib dan Isya') sekaligus. Sholat jama'
semacam ini boleh dalam arti khilaf al-Aula (menyalahi ketentuan yang lebih utama). Yang
demikian itu khusus dilaksanakan di dalam masjid; maka tidak boleh dilaksanakan di rumahrumah.
Mengenai sifat shalat jama' ini, hendaknya dikumandangkan adzan Maghrib terlebih dahulu
dengan suara keras sebagaimana biasanya, kemudian disunnatkan menunda shalat Maghrib
itu setelah adzan sebatas lama kurang lebih melaksanakan tiga rakaat, baru kemudian
melaksanakan shalat Maghrib. Lalu disunnatkan beradzan untuk shalat Isya' di masjid, bukan
di atas menara, agar tidak orang-orang tidak menduga telah masuk waktu Isya' yang biasa.
Adzan itu hendaklah dikumandangkan dengan suara rendah, kemudian shalat Isya' itu
dilaksanakan. Antara adzan dan Isya' jangan sampai dipisah dengan shalat nafilah; demikian
juga dimakruhkan melalcsanakan shalat nafilah antara setiap dua shalat yang dijama'. Bila
dilaksanakan (shalat nafilah), itu tidak berarti menghalangi dilaksanakannya nafilah setelah
Isya' yang dijama' karena hujan; dan hendaklah ia menunda shalat Witirnya sehingga mega
merah hilang, karena shalat Witir itu tidak sah dilaksanakan kecuali setelah hilangnya mega
merah. Bagi orang yang shalat sendirian tidak boleh melaksanakan shalat jama' di masjid
kecuali ia imam tetap yang mempunyai rumah tempat pulang, maka ia boleh menjama'
sendirian dengan niat jama' sekaligus imamah, karena shalat jama' itu (baginya) berfungsi
sebagai shalat jama'ah. Bagi orang yang ber-i'tikaf di masjid boleh menjama' mengikuti orang
yang
menjama'
di
masjid
tersebut,
bila
ada.
Apabila hujan reda setelah memulai shalat pertama, maka ia (tetap) boleh menjama', lain
halnya bila hujan itu reda sebelum memulai shalat.
Sebab kelima, ada di Arafat. Bagi yang menunaikan ibadah haji disunnatkan menjama' antara
shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama' taqdim di Arafat, baik ia penduduk Arafat atau salah
seorang penduduk dari daerah tempat ibadah haji lainnya, seperti Mina dan Muzdalifah, atau
salah seorang Penduduk daerah jauh. Dan disunnatkan bagi yang bukan penduduk Arafat
untuk mengqashar, sekalipun jaraknya tidak mencapai jarak qashar.
Sebab keenam, orang yang menunaikan ibadah haji itu ada di Muzdalifah. Bagi orang yang
menunaikan ibadah haji, setelah bertolak dari Arafat disunnatkan men-ta'khir shalat
Maghribnya hingga ia sampai di Muzdalifah, maka shalat Maghrib itu di-jama' ta'khir dengan
shalat Isya'nya. Shalat jama’ ini hanya disunnatkan bagi seseorang yang wuquf di Arafat
bersama imam. Jika tidak, maka hendaklah ia melaksanakan masing-masing shalat itu pada
waktunya. Dan disunnakan mengqashar shalat Isya' bagi selain penddatang Muzdalifah ,
karena qaidah (yang mereka pakai) bahwa menjama' itu hukumnya sunnat bagi setiap jama'ah
haji, sedangkan qashar adalah khusus bagi selain penduduk yang tinggal di tempat itu, yakni
Arafat dan Muzdalifah.
2. Pendapat Syafi'iyah
Mereka berpendapat bahwa seorang musafir yang melakukan perjalanan qashar yang telah
dikemukakan terdahulu dengan memenuhi syarat-syarat safar dibolehkan men-jama' taqdim
atau ta'khir antara dua shalat yang tetah disebutkan tadi; dan dibolehkan men-jama' taqdim
saja disebabkan hujan. Dalam jama' taqdim terdapat enam syarat, yaitu:
1. Tertib, yaitu dengan memulai shalat yang mempunyai wakrii tersebut. Bila
musafir itu berada pada waktu Zhuhur dan hendak melaksanakan shalat Ashar
bersama Zhuhur pada waktu Zhuhur, maka ia harus memulai dengan shalat
Zhuhur. Jika dibalik, maka shalat Zhuhur itu sah, sehagai yang mempunyai
waktu; sedangkan shalat yang sebelum Zhuhur (yaitu Asharf tidak sah sebagai
shalat fardhu dan tidak pula sebagai nafilal, (yaitui) bila ia tidak mempunyai
tanggungan shalat fardhu (Ashar) yang sama. Bila mempunyai tanggungan itu,
maka shalat tersebut berfungsi sebagat. penggantinya. Jika ia lakukan hal
tersebut karena lupa atau tidak tahu, maka shalat tersebut sah sebagai nafilah.
2. Niat shalat jama' itu dilakukan dalam shalat pertama, yaitu dengan berniat dalam
hatinya bahwa ia akan melaksanakan shalat Ashar setelah shalat Zhuhur. Niat
tersebut disyaratkan agar dilakukan dalam shalat pertama sekalipun bersamaan
dengan salamnya. Maka niat itu tidak cukup dilakukan sebelum takbiratul
ihram (shalat kedua) dan tidak pula setelah salam (shalat pertama).
3. Menyegerakan antara kedua shalat tersebut, dalam arti jarak antara keduanya
tidak boleh lama sebatas cukup melaksanakan dua raka'at yang sesederhana
mungkin. Maka ia tidak boleh melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara
kedua shalat tersebut. Antara kedua shalat itu boleh dipisah dengan adzan,
iqamah dan bersuci. Jika ia melaksanakan shalat Zhuhur dengan tayamum,
kemudian hendak menjama' shalat Ashar hersamanya, maka tidak batal
memisah (kedua shalat itu) dengan tayamum yang kedua kalinya untuk shalat
Ashar, karena menjama' antara dua shalat tidak boleh dengan satu tayamum,
sebagaimana terdahulu.
4. Perjalanan tersebut tetap berlangsung hingga ia memulai shalat kedua yang
ditandai dengan takbiratul ihram, sekalipun setelah itu perjalanan tersebut
terputus ketika sedang melaksanakan shalat. Sedang apabila perjalanannya itu
terputus sebelum memulai shalat, maka jama'nya itu tidak sah karena hilangnya
sebab.
5. Waktu shalat yang pertama diyakini masih ada hingga ia melaksanakan shalat
yang kedua.
6. Shalat yang pertama diduga kuat sah. Jika shalat yang pertama adalah shalat
Jum'at yang didirikan di suatu tempat yang terdapat banyak masjid tanpa ada
suatu kebutuhan sementara ia ragu-ragu apakah shalat Jum'at yang ia
laksanakan itu lebih dulu selesai atau bersamaan? maka shalat Ashar itu tidak
sah dijama' taqdim dengan shalat Jum'at yang lebih utama adalah meninggalkan
Jama', karena tentang kebolehannya masih diperselisihkan dalam pendapat
berbagai madzhab. Akan tetapi shalat jama' itu hukumnya sunnat apabila
seorang yang melakukan ibadah haji itu melakukan perjalanan, sedang ia
tinggal di Arafat atau di Muzdalifah. Yang afdhal bagi yang pertama (yang
tinggal di Arafat) adalah men-jama' taqdim Ashar dengan Zhuhur. Sedangkan
bagi yang kedua (yang tinggal di Muzdalifah) adalah men-jama' ta'kmir
Maghrib dengan Isya', karena para madzhab sepakat dengan bolehnya menjama'
keduanya.
Dan ketahuilah bahwa jama' itu terkadang juga hukumnya wajib dan terkadang
mandub. Apabila waktu shalat yang pertama itu tidak cukup untuk melakukan
thaharah (bersuci) dan shalat, maka ia wajib men-jama' ta'khir. Dan disunnatkan
menjama' bagi yang menunaikan haji yang bepergian seperti yang telah
dijelaskan terdahulu, sebagaimana juga disunnatkan apabila dengan jama'
tersebut dapat menyebabkan sempurnanya shalat, misalnya ia berjama'ah ketika
menjama' sebagai pengganti shalatnya yang sendirian ketika ia tidak menjama'.
Untuk menjama' ta'khir shalat ketika bepergian disyaratkan dua hal:
1. Berniat ta'khir pada waktu shalat yang pertama selama sisa waktunya itu
masih cukup untuk melaksanakan shalat dengan sempurna atau qashar, Bila
ia tidak berniat ta'khir, atau berniat ta'khir akan tetapi sisa waktunya tidak
cukup untuk melaksanakan shalat, berarti ia telah berdosa. Dan shalat itu
menjadi shalat qadha' bila ia tidak sempat melaksanakan satu raka'at dari
shalat tersebut pada waktunya. Bila sempat, berarti shalat itu dihukumi
sebagai shalat ada' (shalat tunai) namun hukumnya tetap haram.
2. Perjalanan itu tetap berlangsung hingga kedua shalat tersebut sempur. Jika
sebelum itu ia mukim, maka shalat yang diniatkan ta'khir itu memjadi shalat
qadha'. Sedangkan menertibkan dan menyegerakan antara shalat itu - dalam
jama' ta'khir - hukumnya sunnat, bukan syarat. Bila salah satu dari syaratsyarat di atas tidak terpenuhi, maka tidak boleh bagi yang mukim menjama'
shalat. Gelap gulita, angin, takut, tanah berlumpur (becek) dan sakit
bukanlah termasuk sebab-sebab yang membolehkan jama bagi seorang yang
mukim, berdasarkan pendapat yang masyhur; sedang pendapat yang rajih
membolehkan jama' taqdim dan ta'khir dengan alasan sakit.
3. Pendapat Hanafiyah
Mereka berpendapat bahwa menjama' antara dua shalat dalam satu waktu tidak boleh, baik
dalam safar ataupun pada saat hadhar (ada di kampung halaman) dengan alasan apapun,
kecuali dalam dua hal, yaitu: Pertama: Boleh men-jama' taqdim Zhuhur dan Ashar pada
waktu Zhuhur dengan empat syarat:
1. Shalat jama' itu dilakukan pada hari Arafah (bagi jama'ah haji).
2. Orang tersebut sedang dalam ihram haji.
3. Berjama'ah di belakang imam kaum muslimin atau wakilnya.
4. Shalat Zhuhur yang ia laksanakan itu sah. Bila ternyata shalat Zhuhur itu
ketahuan batal, maka ia wajib mengulangnya, dan dalam hal ini ia tidak boleh
menjama' shalat Zhuhur itu dengan Ashar, melainkan ia wajib melaksanakan
Ashar
itu
bila
waktunya
telah
masuk.
Kedua, Boleh men-jama' ta'khur Maghrib dan Isya' pada waktu Isya' dengan
dua syarat:
a. Orang tersebut ada di Muzdalifah.
b. Ia sedang dalam ihram haji.
Kedua shalat itu dijama' tanpa diadzankan kecuali sekali, sekalipun masing-masing dari
kedua shalat tersebut menggunakan iqamah tersendiri. Abdullah bin Mas'ud berkata:
“Demi Dzat Yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah SAW belum pernah melaksanakan
shalat kecuali pada waktunya, selain dua shalat, yaitu jama' antara Zhuhur dan Ashar di
Arafat dan jama' antara Maghrib dan Isya' di Muzdilifah.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
4. Pendapat Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa menjama' taqdim atau ta'khir antara 2huhur dan Ashar, atau
antara Maghrib dan Isya' itu hukumnya mubah (boleh), sedangkan meninggalkan jama'
hukumnya afdhal. Men-jama' taqdim antara 2huhur dan Ashar hanya sunnat dilaksanakan di
Arafat. Dan men-jama' ta'khir antara Maghrib dan Isya' hanya sunnat dilaksanakan di
Muzdalifah.
Menjama' shalat itu boleh dengan syarat ia musafir yang perjalanannya mencapai jarak
qashar, atau ia sakit di mana akan menyusahkannya dengan tidak menjama, atau ia seorang
wanita yang sedang menyusui atau sedang mengalami darah istihadhah, maka ia boleh
menjama', untuk menghndari kesulitan dalam bersuci pada setiap kali akan melaksanakan
shalat. Yang semisal dengan wanita udzur yang sedang mengalami istihadhah adalah orang
yang terkena penyakit beser (sering kencing). Begitu pula jama' itu boleh bagi yang tidak
mampu bersuci dengan air dan tayamum pada setiap kali shalat. Dan boleh juga dilakukan
oleh seseorang yang tidak mampu mengetahui waktu shalat, seperti orang buta dan orang
yang tinggal di bawah tanah. Demikian juga dibolehkan menjama' bagi orang yang
mengkhawatirkan (keselamatan dirinya, hartanya atau kehormatannya; serta bagi orang yang
mengkhawatirkan suatu bahaya yang dapat mengancam dirinya dalam hidupnya dengan
meninggalkan jama' tersebut. Juga bagi para pekerja yang tidak mungkin untuk
meninggalkan pekerjaannya diberi keluasan (keringanan) untuk melakukan shalat jama'.
Semua hal tadi membolehkan jama' antara Zhuhur dan 'Ashar atau antara Maghrib dan Isya'
dengan jama' taqdim dan ta'khir. Dan boleh menjama' antara Maghrib dan Isya' secara khusus
karena salju, dingin, air membeku, tanah berlumpur, angin kencang yang dingin dan hujen
yang dapat membasahi pakaian dan dapat menimbulkan kesusahan. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara shalat di rumah atau di masjid, sekalipun jalannya beratap. Yang afdhal
adalah hendaknya ia memilih yang lebih mudah dalam menjama' antara taqdim'' atau ta'khir.
Jika antara keduanya itu seimbang, maka yang afdhal adalah men-jama' ta'khir. Dan untuk
sahnya jama' taqdim dan ta'khir itu disyaratkan hendaklah ia tetap menjaga tertibnya shalat
antara shalat-shalat tersebut. Dalam hal ini shalat jama' tidaklah gugur karena lupa,
sebagaimana ia gugur ketika mengqadha shalat yang tertinggal, yang akan dijelaskan nanti.
Untuk sahnya jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:
1. Berniat jama' ketika takbiratul ihram dalam shalat yang pertama,
2. Antara kedua shalat itu tidak boleh terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu
sekedarnya. Jika melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat
tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut ketika
mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
a. Berniat menjama' pada waktu shalat yang pertama, kecuali apabila kedua shalat
waktunya sempit untuk melakukan niat tersebut, maka pada saat itu ia tidak
boleh menjama' dengan shalat yang kedua.
b. Udzur yang membolehkan jama' itu tetap berlangsung sejak menentukan niat
jama' pada waktu shalat pertama hingga memasuki waktu shalat yang kedua.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Untuk sahnya jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:
1. Berniat jama' ketika takbiratul ihram dalam shalat yang pertama,
2. Antara kedua shalat itu tidak boleh terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu
sekedarnya. Jika melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat
tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut ketika
mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
c. Berniat menjama' pada waktu shalat yang pertama, kecuali apabila kedua shalat
waktunya sempit untuk melakukan niat tersebut, maka pada saat itu ia tidak
boleh menjama' dengan shalat yang kedua.
d. Udzur yang membolehkan jama' itu tetap berlangsung sejak menentukan niat
jama' pada waktu shalat pertama hingga memasuki waktu shalat yang kedua.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusi memiliki ilmu dan tingkat pemahaman serta berbagai pendapat
yang berbeda. Penyebabnya adalah pemahaman tentang al-qur’an dan hadist serta
ilmu yang dimiliki. Dalam islam terkenal denga 4 imam yang menjadi acuan kuam
muslimin dalam melakukan sesuatu atau memutuskan bagaimana harus melakukan
suatu ibadah. Dalam hal ini ada perbedaan yang terjadi dikalangan para pengikut
imam ini dalam malakukan ibadah, salah satunya adalah permasalahan shalat
jamak.
Dari masing-masing imam mememilki alas an dan landasan tertentu dalam
memutuskan perkara ini. Mereka memberikan pemdapat sesuai dengan disiplin
Ilmu yang mereka dapat serta pemahaman mereka tentang sumber kebenaran
islam itu sendiri
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada persolan pokok yang menjadi landasan dan dasar
melakukan penulisan karya ilmiah ini yakni bagaimanakah pendapat masingmasing imam dalam menetapkan masalah shalat jamak
3. Tujuan
Dari latar belakang diatas dapatlah panulis merumuskan ytujuan dari penulisan
makalah ini yakni mengetahui bagaimana pendaoat imam mazhab terkait masalah
shalat jamak.
BAB II
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TERKAIT SALAT JAMAK.
1. Pendapat Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa sebab-sebab shalat Jama' itu sebagai berikut:
1. Safar (melakukan perjalanan)
2. Sakit
3. Hujan
4. Tanah berlumpur (becek) serta gelap pada akhir bulan.
5. Ada di Arafah atau di Muzdalifah bagi yang menunaikan ibadah haji.
Sebab pertama adalah “safar”. Yang dimaksud adalah semua perjalanan, mencapai jarak
qashar ataupun tidak; dan disyaratkan perjalanan itu tidak haraam dan tidak pula makruh.
Maka bagi orang yang melakukan safar yang hukumnya mubah, boleh menjamak antara
shalat dzuhur dan ashar dengan jamak taqdim dengan dua syarat:
a. Matahari telah tergelincir ket6ika sesorang musafir berhenti I suatu tempat untuk
istirahat.
b. Ia berniat untuk pergi sebelum waktu ashar masuk, dan akan berhenti untuk
beristirahat lagi setelah terbenam matahari.
Jika ia berniat berhenti sebelum matahari menguning, maka sebelum pergi hendaklah
melaksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu dan wajib mengakhirkan shalat Ashar sehingga
ia berhenti, karena berhentinya itu tepat pada waktunya yang iklntiyari (luas), maka tidak ada
alasan baginya untuk menjama' taqdim shalat tersebut. Jika ia jama' toqdim dengan shalat
Zhuhur, maka shalat sah, akan tetapi ia berdosa, dan disunnatkan baginya untuk mengulang
shalat Ashar itu pada waktunya yang ikhtiyari tadi setelah ia berhenti. Sedang apabila ia
berniat berhenti setelah matahari menguning (sebelum Maghrib), maka hendaklah ia
melaksanakan shalat Zhuhurnya sebelum pergi, dan mengenai shalat Asharnya, boleh
memilih, boleh di-taqdim, dan boleh juga di-ta'khir hingga ia berhenti, karena shalat Ashar
itu - bagaimanapun juga - masih dilaksanakan pada waktu dharuri. Sebab bila Ashar itu ditaqdim tetap dilaksanakan pada waktu dharuri yang didahulukan karena alasan safar, dan bila
di-ta'khir juga tetap dilaksanakan pada waktu dharuri yang disyari'atkan.
Bila waktu Zhuhur telah masuk - yang ditandai dengan tergelincirnya matahari - sedangkan ia
dalam perjalanan, maka bila ia berniat untuk berhenti ketika matahari menguning atau
sebelum menguning, ia boleh men-ta'khir Zhtihur sehingga menjama'nya dengan Ashar
setelah berhenti. Dan jika berniat untuk berhenti setelah matahari terbenam, maka ia tidak
boleh men-ta'khir Ashar hingga berhenti, karena yang demikian itu dapat menyebabkan
kehiarnya kedua shalat tersebut dari waktunya. Akan tetapi antara kedua shalat itu hendaklah
dijama' secara simbolis, yaitu dengan melaksanakan shalat Zhuhur pada akhir waktunya yang
ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada awal waktunya yang ikhtiyari. Sedangkan shalat
Maghrib dan Isya' hukumnya sama dengan Zhuhur dan Ashar dalam semua rincian ini. Akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa awal waktu shalat Maghrib, yaitu terbenamnya matahari,
sama dengan kedudukan tergelincirnya matahari dibandingkan dengan shalat Zhuhur; dan
sepertiga malam pertama sama kedudukannya dengan menguningnya matahari setelah Ashar.
Sedangkan terbitnya fajar sama dengan terbenamnya matahari seperti yang telah
dikemukakan tadi.
Apabila ia memasuki waktu Maghrib sedang ia dalam keadaan berhenti, maka apabila ia
berniat berangkat sebelum memasuki waktu Isya' dan berherti sebelum terbit fajar, hendaklah
ia men-jama' taqdim shalat Isya' dengan Maghribnya sebelum berangkat; dan apabila ia
berniat berhenti sebelum sepertiga malam pertama, maka hendaklah ia men-ta'khir lsya'nya
sehingga berhenti. Sedang apabila ia berniat berhenti setelah sepertiga malam pertama maka
hendaklah ia melaksanakan shalat Maghribnya sebelum berangkat, dan mengenai shalat
Isya'nya ia boleh memilih. Berdasarkan hal ini Anda dapat mengqiyaskan (mengambil
perbandingan).
Hukum shalat jama' bagi seorang musafir adalah boleh, dalam artian khilaf al-Aula
(menyalahi ketentuan yang lebih utama). Maka yang paling utama adalah meninggalkan
jama'. Shalat jama' itu hanya boleh dilaksanakan bila ia melakukan perjalanan darat. Sedang
untuk perjalanan laut, maka tidak boleh menjama' shalat, karena dispensasi (kebolehan) jama'
itu hanya berlaku unttik perjalanan darat, tidak untuk perjalanan lainnya.
Sebab kedua, adalah sakit. bagi orang sakit yang susah untuk berdiri pada setiap kali shalat
atau ia susah untuk wudhu', seperti orang yang sakit perut, maka ia boleh menjama' antara
Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya' secara simbolis, misalnya dengan cara
melaksanakan Zhuhur pada akhir waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada
awal waktunya yang ikhtiyari, serta melaksanakan shalat Maghrib sesaat sebelum hilangnya
mega (merah) dan melaksanakan shalat Isya' pada awal hilangnya mega (merah). Ini
bukanlah jama' hakiki, karena masing-masing shalat itu tetap dilaksanakan pada waktunya.
Yang demikian itu hulnrmnya boleh, tidak makruh. Dan bagi orang yang melakukannya itu
memperoleh keutamaan awal waktu. Berbeda halnya dengan orang yang tidak ada uzdur,
sekalipun ia boleh melaksanakan shalat jama' secara simbolis, akan tetapi ia telah kehilangan
fadilah (keutamaan) awal waktu.
Sedangkan orang sehat yang khawatir akan mengalami pusing kepala yang dapat
menghalanginya melaksanakan shalat sesuai dengan cara yang semestinya, atau khawatir
pingsan yang dapat menghalanginya melaksanakan shafat ketika memasuki waktu shalat
yang kedua, seperti (waktu) Ashar bagi Zhuhur, dan (waktu) Isya' bagi Maghrib, maka
dibolehkan baginya men-taqdim shalat yang kedua bersama shalat yang pertama. Jika ia mentaqdim shalat tersebut sementara apa yang dikhawatirkannya itu tidak terjadi, maka sebaiknya
ia mengulang Pada waktu itu juga, sekalipun pada waktu dharuri.
Sebab ketiga dan keempat, yaitu hujan, berlumpur dan gelap. Apabila ada hujan lebat yang
sampai menyebabkan seseorang menutup kepalanya, atau menyebabkan tanah sangat
berlumpur yang sampai menyebabkan seseorang melepas sepatunya disertai gelap, maka
dibolehkan menjama' taq~lim lsya' dengan Maghrib untuk tetap menjaga (pelaksanaan) shalat
lsya' dengan berjama'ah tanpa ada kesulitan. Maka ia berangkat ke masjid pada waktu
Maghrib dan melaksanakan kedua shalat itu (Maghrib dan Isya') sekaligus. Sholat jama'
semacam ini boleh dalam arti khilaf al-Aula (menyalahi ketentuan yang lebih utama). Yang
demikian itu khusus dilaksanakan di dalam masjid; maka tidak boleh dilaksanakan di rumahrumah.
Mengenai sifat shalat jama' ini, hendaknya dikumandangkan adzan Maghrib terlebih dahulu
dengan suara keras sebagaimana biasanya, kemudian disunnatkan menunda shalat Maghrib
itu setelah adzan sebatas lama kurang lebih melaksanakan tiga rakaat, baru kemudian
melaksanakan shalat Maghrib. Lalu disunnatkan beradzan untuk shalat Isya' di masjid, bukan
di atas menara, agar tidak orang-orang tidak menduga telah masuk waktu Isya' yang biasa.
Adzan itu hendaklah dikumandangkan dengan suara rendah, kemudian shalat Isya' itu
dilaksanakan. Antara adzan dan Isya' jangan sampai dipisah dengan shalat nafilah; demikian
juga dimakruhkan melalcsanakan shalat nafilah antara setiap dua shalat yang dijama'. Bila
dilaksanakan (shalat nafilah), itu tidak berarti menghalangi dilaksanakannya nafilah setelah
Isya' yang dijama' karena hujan; dan hendaklah ia menunda shalat Witirnya sehingga mega
merah hilang, karena shalat Witir itu tidak sah dilaksanakan kecuali setelah hilangnya mega
merah. Bagi orang yang shalat sendirian tidak boleh melaksanakan shalat jama' di masjid
kecuali ia imam tetap yang mempunyai rumah tempat pulang, maka ia boleh menjama'
sendirian dengan niat jama' sekaligus imamah, karena shalat jama' itu (baginya) berfungsi
sebagai shalat jama'ah. Bagi orang yang ber-i'tikaf di masjid boleh menjama' mengikuti orang
yang
menjama'
di
masjid
tersebut,
bila
ada.
Apabila hujan reda setelah memulai shalat pertama, maka ia (tetap) boleh menjama', lain
halnya bila hujan itu reda sebelum memulai shalat.
Sebab kelima, ada di Arafat. Bagi yang menunaikan ibadah haji disunnatkan menjama' antara
shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama' taqdim di Arafat, baik ia penduduk Arafat atau salah
seorang penduduk dari daerah tempat ibadah haji lainnya, seperti Mina dan Muzdalifah, atau
salah seorang Penduduk daerah jauh. Dan disunnatkan bagi yang bukan penduduk Arafat
untuk mengqashar, sekalipun jaraknya tidak mencapai jarak qashar.
Sebab keenam, orang yang menunaikan ibadah haji itu ada di Muzdalifah. Bagi orang yang
menunaikan ibadah haji, setelah bertolak dari Arafat disunnatkan men-ta'khir shalat
Maghribnya hingga ia sampai di Muzdalifah, maka shalat Maghrib itu di-jama' ta'khir dengan
shalat Isya'nya. Shalat jama’ ini hanya disunnatkan bagi seseorang yang wuquf di Arafat
bersama imam. Jika tidak, maka hendaklah ia melaksanakan masing-masing shalat itu pada
waktunya. Dan disunnakan mengqashar shalat Isya' bagi selain penddatang Muzdalifah ,
karena qaidah (yang mereka pakai) bahwa menjama' itu hukumnya sunnat bagi setiap jama'ah
haji, sedangkan qashar adalah khusus bagi selain penduduk yang tinggal di tempat itu, yakni
Arafat dan Muzdalifah.
2. Pendapat Syafi'iyah
Mereka berpendapat bahwa seorang musafir yang melakukan perjalanan qashar yang telah
dikemukakan terdahulu dengan memenuhi syarat-syarat safar dibolehkan men-jama' taqdim
atau ta'khir antara dua shalat yang tetah disebutkan tadi; dan dibolehkan men-jama' taqdim
saja disebabkan hujan. Dalam jama' taqdim terdapat enam syarat, yaitu:
1. Tertib, yaitu dengan memulai shalat yang mempunyai wakrii tersebut. Bila
musafir itu berada pada waktu Zhuhur dan hendak melaksanakan shalat Ashar
bersama Zhuhur pada waktu Zhuhur, maka ia harus memulai dengan shalat
Zhuhur. Jika dibalik, maka shalat Zhuhur itu sah, sehagai yang mempunyai
waktu; sedangkan shalat yang sebelum Zhuhur (yaitu Asharf tidak sah sebagai
shalat fardhu dan tidak pula sebagai nafilal, (yaitui) bila ia tidak mempunyai
tanggungan shalat fardhu (Ashar) yang sama. Bila mempunyai tanggungan itu,
maka shalat tersebut berfungsi sebagat. penggantinya. Jika ia lakukan hal
tersebut karena lupa atau tidak tahu, maka shalat tersebut sah sebagai nafilah.
2. Niat shalat jama' itu dilakukan dalam shalat pertama, yaitu dengan berniat dalam
hatinya bahwa ia akan melaksanakan shalat Ashar setelah shalat Zhuhur. Niat
tersebut disyaratkan agar dilakukan dalam shalat pertama sekalipun bersamaan
dengan salamnya. Maka niat itu tidak cukup dilakukan sebelum takbiratul
ihram (shalat kedua) dan tidak pula setelah salam (shalat pertama).
3. Menyegerakan antara kedua shalat tersebut, dalam arti jarak antara keduanya
tidak boleh lama sebatas cukup melaksanakan dua raka'at yang sesederhana
mungkin. Maka ia tidak boleh melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara
kedua shalat tersebut. Antara kedua shalat itu boleh dipisah dengan adzan,
iqamah dan bersuci. Jika ia melaksanakan shalat Zhuhur dengan tayamum,
kemudian hendak menjama' shalat Ashar hersamanya, maka tidak batal
memisah (kedua shalat itu) dengan tayamum yang kedua kalinya untuk shalat
Ashar, karena menjama' antara dua shalat tidak boleh dengan satu tayamum,
sebagaimana terdahulu.
4. Perjalanan tersebut tetap berlangsung hingga ia memulai shalat kedua yang
ditandai dengan takbiratul ihram, sekalipun setelah itu perjalanan tersebut
terputus ketika sedang melaksanakan shalat. Sedang apabila perjalanannya itu
terputus sebelum memulai shalat, maka jama'nya itu tidak sah karena hilangnya
sebab.
5. Waktu shalat yang pertama diyakini masih ada hingga ia melaksanakan shalat
yang kedua.
6. Shalat yang pertama diduga kuat sah. Jika shalat yang pertama adalah shalat
Jum'at yang didirikan di suatu tempat yang terdapat banyak masjid tanpa ada
suatu kebutuhan sementara ia ragu-ragu apakah shalat Jum'at yang ia
laksanakan itu lebih dulu selesai atau bersamaan? maka shalat Ashar itu tidak
sah dijama' taqdim dengan shalat Jum'at yang lebih utama adalah meninggalkan
Jama', karena tentang kebolehannya masih diperselisihkan dalam pendapat
berbagai madzhab. Akan tetapi shalat jama' itu hukumnya sunnat apabila
seorang yang melakukan ibadah haji itu melakukan perjalanan, sedang ia
tinggal di Arafat atau di Muzdalifah. Yang afdhal bagi yang pertama (yang
tinggal di Arafat) adalah men-jama' taqdim Ashar dengan Zhuhur. Sedangkan
bagi yang kedua (yang tinggal di Muzdalifah) adalah men-jama' ta'kmir
Maghrib dengan Isya', karena para madzhab sepakat dengan bolehnya menjama'
keduanya.
Dan ketahuilah bahwa jama' itu terkadang juga hukumnya wajib dan terkadang
mandub. Apabila waktu shalat yang pertama itu tidak cukup untuk melakukan
thaharah (bersuci) dan shalat, maka ia wajib men-jama' ta'khir. Dan disunnatkan
menjama' bagi yang menunaikan haji yang bepergian seperti yang telah
dijelaskan terdahulu, sebagaimana juga disunnatkan apabila dengan jama'
tersebut dapat menyebabkan sempurnanya shalat, misalnya ia berjama'ah ketika
menjama' sebagai pengganti shalatnya yang sendirian ketika ia tidak menjama'.
Untuk menjama' ta'khir shalat ketika bepergian disyaratkan dua hal:
1. Berniat ta'khir pada waktu shalat yang pertama selama sisa waktunya itu
masih cukup untuk melaksanakan shalat dengan sempurna atau qashar, Bila
ia tidak berniat ta'khir, atau berniat ta'khir akan tetapi sisa waktunya tidak
cukup untuk melaksanakan shalat, berarti ia telah berdosa. Dan shalat itu
menjadi shalat qadha' bila ia tidak sempat melaksanakan satu raka'at dari
shalat tersebut pada waktunya. Bila sempat, berarti shalat itu dihukumi
sebagai shalat ada' (shalat tunai) namun hukumnya tetap haram.
2. Perjalanan itu tetap berlangsung hingga kedua shalat tersebut sempur. Jika
sebelum itu ia mukim, maka shalat yang diniatkan ta'khir itu memjadi shalat
qadha'. Sedangkan menertibkan dan menyegerakan antara shalat itu - dalam
jama' ta'khir - hukumnya sunnat, bukan syarat. Bila salah satu dari syaratsyarat di atas tidak terpenuhi, maka tidak boleh bagi yang mukim menjama'
shalat. Gelap gulita, angin, takut, tanah berlumpur (becek) dan sakit
bukanlah termasuk sebab-sebab yang membolehkan jama bagi seorang yang
mukim, berdasarkan pendapat yang masyhur; sedang pendapat yang rajih
membolehkan jama' taqdim dan ta'khir dengan alasan sakit.
3. Pendapat Hanafiyah
Mereka berpendapat bahwa menjama' antara dua shalat dalam satu waktu tidak boleh, baik
dalam safar ataupun pada saat hadhar (ada di kampung halaman) dengan alasan apapun,
kecuali dalam dua hal, yaitu: Pertama: Boleh men-jama' taqdim Zhuhur dan Ashar pada
waktu Zhuhur dengan empat syarat:
1. Shalat jama' itu dilakukan pada hari Arafah (bagi jama'ah haji).
2. Orang tersebut sedang dalam ihram haji.
3. Berjama'ah di belakang imam kaum muslimin atau wakilnya.
4. Shalat Zhuhur yang ia laksanakan itu sah. Bila ternyata shalat Zhuhur itu
ketahuan batal, maka ia wajib mengulangnya, dan dalam hal ini ia tidak boleh
menjama' shalat Zhuhur itu dengan Ashar, melainkan ia wajib melaksanakan
Ashar
itu
bila
waktunya
telah
masuk.
Kedua, Boleh men-jama' ta'khur Maghrib dan Isya' pada waktu Isya' dengan
dua syarat:
a. Orang tersebut ada di Muzdalifah.
b. Ia sedang dalam ihram haji.
Kedua shalat itu dijama' tanpa diadzankan kecuali sekali, sekalipun masing-masing dari
kedua shalat tersebut menggunakan iqamah tersendiri. Abdullah bin Mas'ud berkata:
“Demi Dzat Yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah SAW belum pernah melaksanakan
shalat kecuali pada waktunya, selain dua shalat, yaitu jama' antara Zhuhur dan Ashar di
Arafat dan jama' antara Maghrib dan Isya' di Muzdilifah.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
4. Pendapat Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa menjama' taqdim atau ta'khir antara 2huhur dan Ashar, atau
antara Maghrib dan Isya' itu hukumnya mubah (boleh), sedangkan meninggalkan jama'
hukumnya afdhal. Men-jama' taqdim antara 2huhur dan Ashar hanya sunnat dilaksanakan di
Arafat. Dan men-jama' ta'khir antara Maghrib dan Isya' hanya sunnat dilaksanakan di
Muzdalifah.
Menjama' shalat itu boleh dengan syarat ia musafir yang perjalanannya mencapai jarak
qashar, atau ia sakit di mana akan menyusahkannya dengan tidak menjama, atau ia seorang
wanita yang sedang menyusui atau sedang mengalami darah istihadhah, maka ia boleh
menjama', untuk menghndari kesulitan dalam bersuci pada setiap kali akan melaksanakan
shalat. Yang semisal dengan wanita udzur yang sedang mengalami istihadhah adalah orang
yang terkena penyakit beser (sering kencing). Begitu pula jama' itu boleh bagi yang tidak
mampu bersuci dengan air dan tayamum pada setiap kali shalat. Dan boleh juga dilakukan
oleh seseorang yang tidak mampu mengetahui waktu shalat, seperti orang buta dan orang
yang tinggal di bawah tanah. Demikian juga dibolehkan menjama' bagi orang yang
mengkhawatirkan (keselamatan dirinya, hartanya atau kehormatannya; serta bagi orang yang
mengkhawatirkan suatu bahaya yang dapat mengancam dirinya dalam hidupnya dengan
meninggalkan jama' tersebut. Juga bagi para pekerja yang tidak mungkin untuk
meninggalkan pekerjaannya diberi keluasan (keringanan) untuk melakukan shalat jama'.
Semua hal tadi membolehkan jama' antara Zhuhur dan 'Ashar atau antara Maghrib dan Isya'
dengan jama' taqdim dan ta'khir. Dan boleh menjama' antara Maghrib dan Isya' secara khusus
karena salju, dingin, air membeku, tanah berlumpur, angin kencang yang dingin dan hujen
yang dapat membasahi pakaian dan dapat menimbulkan kesusahan. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara shalat di rumah atau di masjid, sekalipun jalannya beratap. Yang afdhal
adalah hendaknya ia memilih yang lebih mudah dalam menjama' antara taqdim'' atau ta'khir.
Jika antara keduanya itu seimbang, maka yang afdhal adalah men-jama' ta'khir. Dan untuk
sahnya jama' taqdim dan ta'khir itu disyaratkan hendaklah ia tetap menjaga tertibnya shalat
antara shalat-shalat tersebut. Dalam hal ini shalat jama' tidaklah gugur karena lupa,
sebagaimana ia gugur ketika mengqadha shalat yang tertinggal, yang akan dijelaskan nanti.
Untuk sahnya jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:
1. Berniat jama' ketika takbiratul ihram dalam shalat yang pertama,
2. Antara kedua shalat itu tidak boleh terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu
sekedarnya. Jika melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat
tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut ketika
mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
a. Berniat menjama' pada waktu shalat yang pertama, kecuali apabila kedua shalat
waktunya sempit untuk melakukan niat tersebut, maka pada saat itu ia tidak
boleh menjama' dengan shalat yang kedua.
b. Udzur yang membolehkan jama' itu tetap berlangsung sejak menentukan niat
jama' pada waktu shalat pertama hingga memasuki waktu shalat yang kedua.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Untuk sahnya jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:
1. Berniat jama' ketika takbiratul ihram dalam shalat yang pertama,
2. Antara kedua shalat itu tidak boleh terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu
sekedarnya. Jika melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat
tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut ketika
mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
c. Berniat menjama' pada waktu shalat yang pertama, kecuali apabila kedua shalat
waktunya sempit untuk melakukan niat tersebut, maka pada saat itu ia tidak
boleh menjama' dengan shalat yang kedua.
d. Udzur yang membolehkan jama' itu tetap berlangsung sejak menentukan niat
jama' pada waktu shalat pertama hingga memasuki waktu shalat yang kedua.