Camels Eva Dan latar belakang

”Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Laba Pada Perusahaan
Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Periode 2009 - 2011”
Latar Belakang
Sejarah perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan, hal
ini ditandai dengan diterbitkannya paket - paket deregulasi keuangan, moneter dan pasar
modal pada akhir dekade 1980 - an. Perubahan diawali dengan diterbitkannya Paket 27
Oktober 1988 yang berupaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap financial
market dan mendorong perbankan ke arah kompetisi (persaingan) yang efisien dan sehat
dengan kemudahan dalam mendirikan bank. Disamping itu diregulasi tersebut juga bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas implementasi kebijakan moneter guna
menciptakan iklim yang dibutuhkan bagi perkembangan pasar modal. Kebijakan tersebut di
atas ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Paket Deregulasi 25 Maret 1989 dan 1 Desember
1989, sedangkan di sisi pasar modal pemerintah mengeluarkan Paket 20 Desember 1988 yang
membuka peluang bagi dibukanya bursa saham swasta dan memungkinkan tumbuhnya
lembaga-lembaga keuangan non bank. Memanasnya perekonomian nasional akibat ekspansi
moneter yang terlalu cepat pasca Pakto 27/1988, yang ditandai dengan tingginya tingkat suku
bunga perbankan dan rendahnya fleksibilitas bank dalam menanggapi kebutuhan perusahaan
akan dana (sebagai akibat dari ketatnya perundangan yang diberlakukan) mengakibatkan para
pelaku usaha mencari alternatif sumber dana lain. Momentum inilah yang kemudian
menggairahkan aktivitas pasar modal, sehingga banyak perusahaan yang kemudian beralih ke
pasar modal untuk memperoleh dana yang relatif lebih murah, lebih fleksibel dengan tingkat

bunga yang lebih stabil.
Perkembangan yang terjadi di pasar modal ini kemudian menjadi ancaman yang
cukup signifikan bagi perbankan. Pangsa pasar yang selama ini dinikmati sendiri sedikit demi
sedikit mulai tergerogoti. Meskipun secara umum perbankan masih menjadi pemain utama di

industri keuangan, namun kecenderungan pasar untuk menjadikan pasar modal sebagai
alternatif dalam menempatkan dan menggali dana tampaknya semakin besar. Oleh sebab itu
bank - bank perlu melakukan perbaikan - perbaikan dan perkemebangan - perkembangan
untuk menghadapi persaingan antar sesama bank maupun lembaga keuangan non bank, dan
untuk mengimbangi semakin bervariasinya kebutuhan nasabah.
Analisis CAMELS digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan
bank umum di Indonesia. CAMELS merupakan kepanjangan dari Capital (C), Asset Quality
(A), Management (M), Earning (E), Liability atau Liquidity (L), dan Sensitivity to Market
Risk (S). Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004
perihal sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/1/PBI/2007 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Penilaian tingkat kesehatan bank dimaksudkan untuk menilai keberhasilan perbankan
dalam perekonomian Indonesia dan industri perbankan serta dalam menjaga fungsi
intermediasi. Pada masa krisis ekonomi global, bank-bank menengah dan kecil yang tidak

menerima bantuan likuiditas dari pemerintah mengalami penurunan dana simpanan
masyarakat. Menurunnya dana simpanan masyarakat membuat industri perbankan berusaha
mempertahankan dana-dana yang mereka miliki untuk menjaga tingkat likuditas bank dengan
cara memberikan tingkat suku bunga yang tinggi.
Krisis ekonomi global berdampak negatif terhadap perbankan konvensional Indonesia
karena bank konvensional Indonesia memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan sistem
keuangan global. Selain itu, bank konvensional sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar
dan tingkat suku bunga. Hal ini dapat dilihat pada Oktober 2008 tiga bank konvensional yaitu
PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank BNI Tbk., dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk meminta

bantuan likuiditas dari Pemerintah (Humas Bank Indonesia, 2010:8). Berbeda dengan bank
konvensional,. Bank syariah tidak rentan terhadap fluktuasi tingkat suku bunga karena bank
syariah tidak beroperasi dengan sistem bunga, eksposure pembiayaan perbankan syariah lebih
diarahkan kepada akivitas perekonomian domestik sehingga belum memiliki tingkat integrasi
yang tinggi dengan sistem keuangan global.
Bank Indonesia menilai tingkat kesehatan bank dengan menggunakan pendekatan
kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi suatu bank. Metode atau
cara penilaian tersebut kemudian dikenal dengan metode CAMELS yaitu Capital, Asset
quality, Management, Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to market risk. Kriteria sensitivity
to market risk merupakan aspek tambahan dari metode penilaian kesehatan bank yang

sebelumnya, yaitu CAMEL. CAMEL pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak
dikeluarkannya Paket Februari 1991 mengenai sifat kehati-hatian bank. Paket tersebut
dikeluarkan sebagai dampak kebijakan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 1988).
CAMEL berkembang menjadi CAMELS pertama kali pada tanggal 1 Januari 1997 di
Amerika. CAMELS berkembang di Indonesia pada akhir tahun 1997 sebagai dampak dari
krisis ekonomi dan moneter (Abidin, 2008:4).
Analisis CAMELS digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan
bank umum di Indonesia. CAMELS merupakan kepanjangan dari Capital (C), Asset Quality
(A), Management (M), Earning (E), Liability atau Liquidity (L), dan Sensitivity to Market
Risk (S).
Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004
perihal sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/1/PBI/2007 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah.

Sudah diketahui secara umum bahwa tujuan dari setiap bisnis atau perusahan adalah
memaksimalkan kekayaan pemegang saham atau menghasilkan profit bagi para pemegang
saham baik perusahaan tersebut bergerak dalam bidang jasa maupun produksi dan
memaksimalkan kekayaan tersebut dapat diartikan sebagai mencari keuntungan.
Investor atau bisa di sebut pemegang saham, kreditor yang berminat untuk membeli

saham maupun obligasi suatu perusahaan tidak hanya akan melihat bagaimana pergerakan
saham secara historis akan tetapi perform atau kinerja keseluruhan perusahaan juga harus
diukur. Dengan kata lain, setelah mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan seorang
investor dapat memutuskan untuk berinvestasi atau tidak atau menjual sahamnya yang telah
ada dalam perusahaan tersebut. Maka Pengukuran kinerja sangatlah penting dimana
pengukuran kinerja itu sendiri sudah mendapat perhatian sejak lama yakni sejak kapitalisme
industri itu dimulai.
Posisi dan kinerja perusahaan sangat penting artinya bagi perusahaan untuk
mengetahui kekuatan dan kelemahan perusahaan. Kekuatan perlu diketahui agar dapat
dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Sedangkan kelemahan perlu diketahui untuk
diperbaiki.
Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat dinilai dengan menggunakan beberapa alat
analisis keuangan, salah satunya yaitu laporan keuangan dengan menggunakan pendekatan
bebrapa rasio keuangan misalnya rasio profitabilitas, rasio likuiditas, rasio laverage dan lainlain. Laporan keuangan perusahaan merupakan salah satu sumber informasi yang penting
disamping informasi lain seperti informasi industri, kondisi perekonomian, pangsa pasar
perusahaan, kualitas manajemen dan lainnnya. (Hanafi: 2005: 51).
Namun pengukuran dengan menggunakan analisis rasio memiliki kelemahan yaitu
tidak memperhatikan biaya modal dalam perhitungannya. Perhitungan ini hanya melihat hasil
akhir (laba perusahaan) tanpa memperhatikan resiko yang dihadapi perusahaan.


Untuk memperbaiki adanya kelemahan pada analisis rasio kemudian muncullah
pendekatan baru yang dsebut EVA (economic value added). Menurut Rudianto (2006: 340)
EVA adalah suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu
perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika perusahaan
mampu memenuhi semua biaya operasi (operating cost) dan biaya modal (cost of capital).
EVA sebagai indikator dari keberhasilan manajemen dalam memilih dan mengelola sumbersumber dana yang ada di perusahaan tentunya juga akan berpengaruh positif terhadap return
pemegang saham. Di dalam konsep EVA memperhitungkan modal saham, sehingga
memberikan pertimbangan yang adil bagi para penyandang dana perusahaan. Analisis
sekuritas menemukan bahwa harga saham mengikuti EVA jauh lebih dekat dibanding faktor
lainnya seperti laba per saham, marjin operasi. Korelasi ini terjadi karena EVA benar-benar
diperhatikan investor. Apabila nilai EVA suatu perusahaan meningkat, maka kinerja
perusahaan semakin baik sehingga kesejahteraan para pemegang saham dapat ditingkatkan.
Return pemegang saham akan menyangkut dengan prestasi perusahaan di masa depan, karena
harga saham (dan juga deviden) yang diharapkan oleh pemodal merupakan nilai intrinsik
yang menunjukkan prestasi dan resiko saham tersebut di masa yang akan datang.
(www.trihastutie.wordpress.com).
Selain EVA, ada pendekatan lain yang digunakan juga untuk mengukur kinerja
perusahaan yang didasarkan pada nilai pasar. Perhitungan pada nilai pasar tersebut dikenal
dengan istilah MVA (market value added). MVA adalah perbedaan antara nilai pasar saham
perusahaan dengan jumlah ekuitas modal investor yang telah diberikan. (Brigham: 2006: 68).

Kinerja bank yang baik di harapkan mampu meraih, meningkatkan,dan memelihara
kepercayaan masyarakat terhadap bank. Kinerja ini dapat dilihat melalui penyajian informasi
yang berupa laporan keuangan kepada pihak intern dan ekstern. Laporan keuangan adalah
catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat

digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. (http://.id.wikipedia.org/wiki/
Laporan_Keuangan).
Sebagai suatu perusahaan atau entitas ekonomi, bank memberi laporan keuangan
untuk menunjukkan informasi dan posisi keuangan yang disajikan untuk pihak-pihak yang
berkepentingan. Informasi akuntansi seperti yang tercantum dalam pelaporan keuangan dapat
digunakan oleh investor sekarang dan potensial dalam memprediksi penerimaan kas dari
deviden dan bunga di masa yang akan datang. Deviden yang akan diterima oleh investor
tergantung pada jumlah laba yang diperoleh perusahaan pada masa yang akan datang. Oleh
karena itu, prediksi perubahan laba perusahaan dengan menggunakan informasi laporan
keuangan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan.
Meskipun laporan keuangan hanya menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian
masa. lalu, perannya tetap sangat penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama
keputusan yang berdampak terhadap perusahaan di masa depan. Hal ini sesuai dengan tujuan
penyajian laporan keuangan, yaitu menyediakan informasi yang menyangkut' posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi

sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi (Munawir, 2002).
Disebutkan pula bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan adalah
investor yang telah menanamkan modalnya sekarang dan investor potensial, karyawan,
pemberi pinjaman (kreditur), pemasok (supplier) dan kreditur usaha lainnya, pelanggan,
pemerintah beserta lembaga-lembaga dan masyarakat. Laporan keuangan yang disajikan
untuk memenuhi beberapa kebutuhan informasi yang berbeda. Salah satu informasi penting
dalam. laporan keuangan adalah informasi mengenai laba. Informasi ini sangat penting
karena laba bisa menjelaskan bagaimana kinerja perusahaan selama satu periode di masa lalu.

Laba merupakan indikator penting dari laporan keuangan yang memiliki berbagai
kegunaan. Laba pada umumnya dipakai sebagai suatu dasar pengambilan keputusan investasi,
dan prediksi untuk meramalkan perubahan laba yang akan datang. Investor mengharapkan
dana yang diinvestasikan ke dalam perusahan akan memperoleh tingkat pengembalian yang
tinggi sehingga laba yang diperoleh jadi tinggi pula. Bagi pemegang obligasi dan kreditor
informasi laba dapat digunakan untuk menilai tingkat pengembalian tahunan dan menerima
pembayaran kembali pokok pinjaman pada saat hutang tersebut telah jatuh tempo. Laba yang
diperoleh perusahaan untuk tahun yang akan datang tidak dapat dipastikan, maka perlu
adanya suatu prediksi perubahan laba. Perubahan laba akan berpengaruh terhadap keputusan
investasi para investor dan calon investor yang akan menanamkan modalnya ke dalam
perusahaan.

Perbankan Indonesia memang terkenal jago dalam mencetak laba. Berdasarkan data
Bank Indonesia (BI), pada semester I 2012, laba bersih perbankan mencapai Rp 45,73 triliun
atau tumbuh 23,26% dibandingkan Juni 2011 sebesar Rp 37,1 triliun. Pertumbuhan laba
ditopang beberapa faktor. Pertama, pendapatan bunga bersih yang mencapai Rp 97,73 triliun
atau tumbuh 16,94%. Kenaikan ini sejalan dengan kredit yang mencapai Rp 2.470,38 triliun,
atau tumbuh 25,95%. Kedua, pendapatan non bunga (fee based income). Perbankan berhasil
mencatatkan pertumbuhan pendapatan komisi sebesar 14,31% menjadi Rp 67,2 triliun.
Ketiga, kenaikan margin dan efisiensi. Perbankan sukses menurunkan rasio Beban
Operasional atas Pendapatan Operasional (BOPO) menjadi 74,68%. Bandingkan dengan
BOPO pada periode yang sama tahun lalu sebesar 85,9%. Sementara rata-rata net interest
margin (NIM) meningkat menjadi 5,38%. Kenaikan NIM terjadi sejak April 2012.
Tingginya laba perbankan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
perbankan memang harus mengejar profit yang tinggi untuk memperkuat struktur permodalan
yang turun karena pembagian dividen. Tingginya laba sejalan dengan derasnya aliran kredit,

terutama ke segmen mikro. Kebutuhan kredit mikro besar dan marginnya tinggi. Bank
berlomba-lomba menggarap sektor ini. Tingginya laba perbankan karena peningkatan
pengetahuan masyarakat terhadap teknologi. Pendapatan masyarakat yang terus membaik
juga ikut mengerek daya beli masyarakat. Pembatasan yang dilakukan regulator terhadap
kredit konsumsi memang bagus karena mencegah risiko pemanasan ekonomi, tetapi

pembatasan tersebut tidak mengurangi konsumsi, hanya menunda waktu.
Saat ini, BI mencatat jumlah pengutang yang memperoleh fasilitas kredit (debitur)
dari industri perbankan dan non bank mencapai 62,632 juta hingga Juni 2012. Angka tersebut
terus meningkat jika dibandingkan di awal 2012 yang hanya sebesar 57,87 juta. Tahun 2007
jumlah debitur mencapai 28 juta kemudian meningkat menjadi 35 juta pada 2008. Selama
2009 dan 2010 juga mengalami peningkatan menjadi 51 juta debitur. Hingga akhir Desember
2011, jumlah debitur telah mencapai 57,14 juta dan bertambah menjadi 57,8 juta di awal
Januari 2012. Guna mendukung penyaluran kredit perbankan yang sehat, Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Informasi Debitur (SID). Dalam SID ini terdapat data-data jumlah
debitur. Debitur bank umum per Juni 2012 mencapai 55,998 juta. Sedangkan debitur
BPR/BPRS mencapai 6,690 juta. Debitur Lembaga keuangan non bank sendiri mencapai 943
ribu, output dari SID berupa Informasi Debitur Individual (IDI) digunakan oleh Lembaga
Keuangan (LK) sebagai salah satu alat dalam mengukur risiko gagal bayar dari penyaluran
kredit.
PERTUMBUHAN
Bunga
Kredit

bersih


LABA
Rp
Rp

Pendapatan non bunga Rp 67,2 triliun

97,73
2.470,38

triliun
triliun

BANK
Tumbuh

16,94%

Tumbuh

25,95%


Tumbuh 14,31% (http://www.surabayapost.co.id/)

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian lebih lanjut terhadap temuantemuan empiris dengan menggunakan rasio keuangan, khususnya yang menyangkut
kegunaannya dalam memprediksi perubahan laba di masa yang akan datang seperti yang
telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu seperti Nesti Hapsari (2006) telah membuktikan
secara parsial dan simultan aspek capital, asset, dan likuiditi berpengaruh secera signifikan
terhadap pertumbuhan laba. Penelitian ini dilakukan pada 19 bank umum pada tahun 2000 –
2004.
Peneliti lain yang juga menggunakan rasio keuangan CAMEL Luciana Spica dan
Winny Herdaningtyas (2002) dengan hasil rasio keuangan CAMEL memiliki kemampuan
untuk memprediksi bank yang kesulitan keuangan dan kebangkrutan. Rasio CAR, APB,
NPL, PPAP, ROA, NIM, dan BOPO membuktikan bahwa kondisi rasio antar bank kondisi
bangkrut dan kesulitan keuangan jelas berbeda terutama pada rasio CAR dan BOPO.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap
Pertumbuhan Laba Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek
Jakarta Periode 2009 - 2011” dengan menggunakan sample bank yang terdaftar di bursa
efek jakarta dari tahun 2009 – 2011 dan data yang digunakan berasal dari laporan keuangan
yang telah terpiblikasikan dengan rentang waktu 2009 – 2011.