ANALISIS DAMPAK NEGATIF DARI SINETRON GA

ANALISIS DAMPAK NEGATIF DARI SINETRON GANTENGGANTENG SERIGALA (GGS) SEBAGAI AKIBAT DARI
EFEK MIMIKRI TERHADAP FILM THE TWILIGHT SAGA

Disusun untuk memenuhi tugas Take Home
Ujian Tengah Semester: Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang

Reyhan Aznar
13/347808/SP/25685

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini di era globalisasi, semua hal seperti informasi dan hiburan dapat diraih
dengan mudah hanya dalam genggaman tangan. Salah satu produk globalisasi adalah televisi.
Televisi merupakan salah satu saluran media massa, karena televisi mempunyai berbagai
fungsi, yaitu sebagai alat edukatif, persuasif dan motivatif yang mudah serta dapat dipahami
(Wahyudi, 1986). Banyak program yang tak terhitung jumlahnya telah diproduksi serta
disiarkan oleh berbagai stasiun televisi. Salah satu program yang paling menarik banyak

peminat adalah sinema elektronik (sinetron). Jenis-jenis sinetron di Indonesia biasanya
drama, komedi, hikayat dan fantasi. Durasi sinetron bervariasi, mulai dari 30 menit hingga 2
jam/hari dan waktu tayang sinetron-sinetron umumnya setiap hari dan diletakkan di prime
time (sekitar 18.00-22.00 WIB) di mana merupakan jam waktu yang dianggap paling banyak
penontonnya dan orang lebih banyak melakukan aktivitas menonton televisi sembari
beristirahat setelah lelah bekerja seharian di waktu-waktu tersebut dibandingkan aktivitas lain
sehingga penonton pasti akan menyaksikan sinetron, baik memang dsaarnya suka, maupun
karena ingin ganti saluran saja dari acara lain.
Salah satu sinetron Indonesia yang sedang booming dan menjadi fenomenal saat ini
adalah Ganteng-Ganteng Serigala (selanjutnya disingkat GGS) yang ditayangkan di SCTV
dan dibintangi oleh para aktor dan aktris, seperti Ricky Harun, Aliando Syarief dan Jessica
Mila. Sinetron ini biasanya tayang pada pukul 19:30-21:00 WIB. Sinetron ini menceritakan
tentang persaingan antara bangsa vampir dan bangsa serigala serta dibumbui dengan cerita
cinta segitiga terhadap seorang perempuan biasa. Konsep cerita yang terlihat bagus ini
nyatanya meniru ide salah satu film di luar negeri yang berjudul Twilight Saga (selanjutnya
disebut film Twilight) di mana karakternya sama: manusia, vampir dan serigala dan ceritanya
pun mirip.

2


Hal yang mendasari penulis membahas dan menganalisis permasalahan ini adalah
karena sinetron GGS meniru banyak elemen dari film Twilight sehingga secara langsung
GGS melakukan tindakan mimikri agar sederajat dengan produk luar negeri tersebut dan juga
menuai kesuksesan besar. Maka dari itu, penulis merasa perlu menggali lebih dalam masalah
ini terutama tentang adanya unsur mimikri dan efek dari tindakan itu dalam kasus ini.
B. KERANGKA BERPIKIR
a. Pengertian Sinetron
Sinetron merupakan singkatan dari Sinema dan Elektronik. Menurut KBBI
versi online/daring, sinetron adalah film yang dibuat khusus untuk penayangan di
media elektronik, seperti televisi. Sedangkan, menurut Hasnawati (2013), sinetron
adalah sebuah film seri yang ditayangkan melalui media elektronik (televisi). Di
Barat, dikenal dengan soap opera atau opera sabun, atau disebut juga telenovela
(bahasa Spanyol).
b. Pengertian Mimikri
Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon (1967) yang
mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk
meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian
mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.
Namun, istilah mimikri itu sendiri muncul dari Homi K. Bhabha. Mimikri yang
artinya meniru ini merupakan sebuah pendekatan poskolonialis Bhabha yang

membuka ruang bagi kelompok terjajah untuk melakukan perlawanan terhadap para
penjajah (Huddart, 2006:39). Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat melakukan
suatu peniruan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial atau sebagai suatu ejekan
dengan cara meniru budaya Barat seutuhnya atau mengubah sedikit namun tidak
menghilangkan unsur aslinya.
Menurut Bhabha (1994), mimikri adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda
menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak semuanyaa sama (as subject

3

of a difference, that is almost the same, but not quite). Konsep ini mengandung
ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan
dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya.
Mimikri juga merupakan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen
kebudayaan. Pendekatan ini tidak menunjukkan ketergantungan yang terjajah kepada
yang menjajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi
dalam proses peniruan tersebut.
C. PEMBAHASAN
GGS mengisahkan keberadaan bangsa vampir yang dipimpin oleh ayah Agra dan
memiliki banyak anak yang bernama Digo, Yasha, Liora, dan Thea. Mereka bersekolah di

International School. Ada seorang siswa yang merupakan manusia biasa bernama Nayla yang
mempunyai darah suci dalam tubuhnya dan tahan terhadap kekuatan supernatural. Apabila
bangsa Vampir mendekati pemilik darah suci tersebut, mereka akan merasa kesakitan. Maka
dari itu, ayah Agra menyuruh Trstan untuk mengambil darah suci yang terdapat dalam tubuh
Nayla, karena Nayla sudah jatuh cinta kepada Tristan sehingga Tristan bisa mendekati Nayla
tanpa rasa sakit. Sementara itu, sahabat Nayla, yaitu Galang tidak menyukai Tristan yang
selalu mendekati Nayla. Suatu hari, ia tersesat di hutan saat sedang berkemah dan digigit oleh
serigala bernama Ratu Lestat. Sejak saat itu, Galang yang memiliki kekuatan super menjadi
manusia serigala ini mendapat tugas dari Ratu Lestat untuk menjaga Nayla dari incaran
vampir yang ingin merebut darah suci (SCTV & Slidegossip).
Jalan cerita dari GGS tidak jauh beda dengan film Twilight. Cerita film yang
diproduksi di Amerika Serikat ini berkisah tentang Edward Cullen, sesosok vampir tampan
dan Jacob Black dari bangsa serigala yang memperebutkan gadis cantik bernama Bella Swan
yang memiliki darah suci dan juga memiliki imun terhadap kekuatan supernatural.

4

Sinetron GGS secara terang-terangan melakukan mimikri. Hal pertama yang ditiru
adalah konsep cerita yang menyerupai film Twilight. Mereka sama-sama bercerita tentang
kompetisi antara vampir dengan serigala. Edward dan Tristan juga sama-sama mencintai

gadis yang disukai oleh serigala. Selain itu, tokoh utama serigala di GGS dan Twilight juga
merupakan sahabat dari perempuan yang mereka sukai. Terakhir, persamaan yang mencolok
adalah sama-sama berkisah tentang cerita cinta seorang manusia biasa, vampir dan manusia
serigala.
Kedua, gaya hidup pemain GGS yang mirip film Twilight. Contohnya adalah
kendaraan menuju sekolah adalah membawa mobil merupakan hal yang umum, berpelukan
dan menggendong perempuan yang disukai tanpa risih bahkan mencium kening dan pipi
sebagai tanda sayang ketika sedang berpacaran.
SCTV sebagai penyiar dan Amanah Surga Productions sebagai tim produksi GGS
merasa bahwa dengan menampilkan sinetron bertema remaja, cinta dan fantasi seperti film
Twilight, maka GGS akan sukses ditonton dan meraup keuntungan yang banyak. Sasaran
penonton lebih ditujukan kepada para remaja perempuan dan ibu-ibu rumah tangga yang
mempunyai kecenderungan suka dengan sinetron ber-genre drama dan percintaan serta
menyukai tampilan fisik dan gaya hidup para pemain. Walau menurut pengamatan penulis,
ide cerita seperti di Indonesia masih sangat jarang di dunia persinetronan (atau malah baru
pertama kali GGS merupakan sinetron pertama di Indonesia yang menceritakan kisah
manusia, vampir dan manusia serigala) namun, tetap saja konsep ini menjiplak film Twilight.
Menurut hemat penulis, ada dua kemungkinan kenapa SCTV melakukan hal tersebut: kurang
percaya pada kemampuan sendiri bahwa SCTV (atau stasiun televisi yang lain) bisa
memproduksi konten-konten orisinal, terutama ide cerita yang menjunjung tinggi nilai-nilai

ke-Indonesiaan atau pola pikir yang masih menganggap bahwa kolonial itu selalu lebih
pintar, modern dan ahli dalam bidang apapun, termasuk hiburan sehingga SCTV mau meniru
kesuksesannya (dalam hal ini film Twilight) dengan tujuan meraup pundi-pundi uang.

5

Argumentasi penulis pun semakin dipertegas oleh Wardhana (1997; 2002) yang menyatakan
bahwa sesungguhnya sinetron merupakan produk jasa dan hiburan yang sangat kapitalistis.
Dengan prinsip ekonomi berupa perburuan keuntungan yang sebesar-besarnya, fenomena
sinetron yang mengalami kemiripan atau bahkan jiplakan menjadi pemandangan yang sangat
umum dan dianggap wajar-wajar saja.
Gejala “GGS Effect” kentara dengan seringnya para penonton membahas jalan cerita
yang semakin seru dan juga hubungan “cinta lokasi” (cinlok) antar pemain GGS. Pasangan
yang terkenal adalah Aliando Syarif (Digo) dengan Prilly Latuconsina (Sisi) yang ketika
dalam naskah diceritakan Digo si vampir menyukai kecantikan Sisi sehingga memutuskan
untuk pacaran berujung kepada hubungan pacaran mereka di dunia nyata. Namun, efek
mimikri dari sinetron GGS ini sebenarnya berakibat fatal bagi para penonton terutama yang
masih remaja di mana mereka masih labil. Mereka “terkontaminasi” oleh unsur-unsur
kolonial yang cenderung berbeda dengan unsur-unsur milik bangsa. Contoh yang nampak di
lingkungan kita adalah siswa-siswa yang masih bersekolah namun sudah melakukan pacaran

yang melebihi batas seperti pelukan bahkan ciuman pipi. Pakaian juga dibiarkan terbuka
untuk mengumbar tubuhnya yang indah sehingga bisa mengundang nafsu bagi lawan jenis.
Sinetron di Indonesia pada umumnya memang mengadopsi film dan serial tv dari luar negeri,
mulai dari gagasan cerita, fashion hingga hal-hal lain yang banyak bertentangan dengan
kebudayaan bangsa sendiri sehingga para penonton yang mempunyai sifat selalu ingin tahu
dan suka hal-hal yang berbau westernisasi dan update tertarik untuk selalu mengikuti
kelanjutan serial-serialnya dan juga meniru para pemain tanpa mengindahkan dampak
negatifnya.
Dampak-dampak negatif lainnya dari efek mimikri ini adalah:
1. Hilangnya identitas atau jati diri kebangsaan
Sebagaimana tingkah laku para kaum Barat yang cenderung bertindak hedonisme,
dan sangat bebas, maka apabila kita mengikuti budaya mereka, terjadilah
pengikisan identitas kebangsaan kita secara perlahan. Identitas kebangsaan kita

6

antara lain: sopan, menghormati orang tua dan tidak hura-hura. Penulis pernah
menonton GGS di mana adegannya adalah siswa yang berbicara terhadap guru
tidak menggunakan bahasa yang sopan dan menghormati orang tua, namun seperti
mengobrol dengan teman sebayanya.

2. Hilangnya waktu secara sia-sia
Ketika sinetron yang ditonton seperti GGS yang menurut hemat penulis tidak
memuat nilai moral sama sekali, maka sebenarnya selama durasi sinetron berjalan
itulah waktu kita terbuang percuma tanpa ada pelajaran hidup yang masuk, selain
ingatan akan tampilan fisik dan kostum para pemain serta jalan ceritanya.
3. Anak-anak dewasa terlalu dini
Karena melihat tontonan GGS yang sebenarnya menurut penulis ditujukan buat
orang berusia 18 tahun ke atas, maka apabila ada anak-anak yang masih berumur
antara 10-15 tahun dan sudah suka terhadap tayangan GGS, maka secara tidak
langsung apapun yang dilakukan oleh pemain GGS mereka akan menirunya dan
menganggap itu adalah suatu keniscayaan. Mereka bertindak seperti orang
dewasa, padahal seharusnya itu tidak baik dilakukan bagi anak-anak karena
perkembangan pola pikir masih belum sempurna dan masih menerima hal-hal
mentah dari luar tanpa belum memahami dan kemudian menyerap mana yang baik
dan yang buruk.
Di samping dampak-dampak negatif di atas, sebenarnya adanya sinetron ini telah
menunjukkan bahwa penjajahan pemikiran yang terjadi pada masa kolonial tetap secara tanpa
sadar telah ‘terwariskan’ pada generasi yang justru tidak pernah merasakan secara langsung
hegemoni dari para kolonial karena adanya sorotan media yang tiada henti yang secara tak
langsung menyajikan kekuatan budaya dari negara yang memiliki hegemoni kuat dalam

politik, ekonomi serta hiburan. Sorotan itu pun pada akhirnya melanggengkan penjajahan
pemikiran yang dialami bangsa Indonesia, dalam bentuk yang telah mengalami perubahan
(Utami, 2012). Dalam hal ini, sinetron yang diadopsi dari luar negeri merupakan suatu bentuk

7

penjajahan era baru di mana kolonial menghegemoni Indonesia di dalam bentuk hiburan yang
sekiranya masyarakat menyukai kemudian meniru hal-hal yang sebenarnya bertentangan
dengan budaya kita sendiri.
D. KESIMPULAN
Adanya penjajahan dari para kolonial kepada yang terjajah masih terjadi hingga saat
ini, salah satunya melalui aspek hiburan. Para kolonial menjajahnya dengan program televisi
seperti sinetron yang dapat membuat para penonton kecanduan karena program ini
merupakan cerita bersambung sehingga membuat penasaran dan akhirnya akan selalu
menonton sinetron. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para pencari kesempatan dan pengeruk
keuntungan di Indonesia untuk membuat sinetron yang diadaptasi dari luar negeri dan
membuat episode yang panjang, dengan sasarannya ibu-ibu rumah tangga dan remaja
perempuan yang cenderung menyukai drama sehingga diharapkan sinetronnya akan laris.
Kenyataannya, mereka pun terhipnotis dengan sinetron sehingga hampir setiap hari selalu
menonton dan membicarakan ceritanya kepada rekan-rekannya. Bahkan, anak–anak kecil pun

tak luput jadi “korban” sinetron dengan meniru perkataan para pemain dan bahkan
memerankan adegannya juga yang sepantasnya tidak untuk dilakukan terlebih dahulu oleh
anak-anak.
Sinetron GGS melakukan mimikri terhadap film Twilight, di mana sinetron ini
berusaha meniru konsep cerita, seperti adanya cinta segitiga antara vampir, manusia, dan
manusia serigala serta unsur-unsur lain dengan tujuan agar dianggap setara dengan film
Twilight oleh masyarakat dan bisa mendulang banyak keuntungan. Dampaknya, para
penonton berusaha membuat peniruan terhadap para pemain GGS yang notabene juga meniru
tingkah laku kaum Barat. Menurut Bhabha, peniruan yang dilakukan pribumi atas penjajah
lebih banyak melalui gaya hidup sebagai hasrat mayarakat terjajah untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan keadaan untuk mencapai kemajuan dan menempatkan diri setara dengan

8

bangsa penjajah. Hasrat dari terjajah untuk mendapat kesejajaran dengan penjajah, menjadi
dasar konsep mimikri. Perlawanan dalam mimikri atau peniruan ini merupakan strategi untuk
menghadapi penjajah agar mendapatkan peningkatan martabat.
Jadi, sinetron merupakan produk kolonial yang sebaiknya kita batasi hanya sebagai
tontonan yang bersifat hiburan dan pelepas penat, namun tidak turut “menjiplak” segala hal
yang berkaitan dengan pemain-pemain sinetron tersebut. Jamak dilihat bahwa sinetron di

Indonesia banyak unsur negatifnya, maka dari itu kita harus pintar memilih dan memilah
mana sinetron yang setidaknya memuat moral baik, itulah yang kita pilih dan ambil
manfaatnya. Hindari menonton sinetron yang mengandung muatan negatif karena selain
membuang waktu yang terbuang percuma, masyarakat kita yang mempunyai sindrom latah
cenderung mudah dalam meniru gaya hidup para pemain sinetron yang diadaptasi dari
budaya kolonial agar tetap eksis dan disukai oleh masyarakat di lingkungan sekitar.
Saran dari penulis adalah untuk para pembuat industri kreatif, khususnya dalam
produksi film dan sinetron, buatlah film dan sinetron yang benar-benar menjunjung tinggi
nilai-nilai dan budaya Indonesia karena produk-produk hiburan seperti itu bisa membuat
tingkat nasionalisme kita makin bertambah dan bila itu dipromosikan hingga ke
mancanegara, nama Indonesia pasti akan terkenal. Banyak kebudayaan dari Indonesia yang
sebenarnya sangat disukai oleh penduduk luar negeri. Negara kita hanya kurang dalam
pengemasan produk kebudayaan yang dibuat menarik di mata luar negeri sehingga bila suatu
saat nanti, produk-produk kita tentang film dan sinetron bermuatan asli Indonesia sudah jadi
dan tinggal dipromosikan ke luar negeri dengan gencar, maka dalam beberapa tahun ke
depan, bisnis perfilman dan persinetronan Indonesia akan kembali jaya dan bisa merebut
panggung dunia yang selama ini dikuasai oleh Amerika, India, Tiongkok, Perancis, dan lain
sebagainya.

9

DAFTAR PUSTAKA
Bhabha, Homi K., 1994, The Location of Culture, London & New York: Routledge.
Fanon, Frantz, 1967, Black Skin White Masks: The Experiences of A Black Man in A White
World, United States: Grove Press. (First translated in English).
Hasnawati, 2013, Dampak Menonton Tayangan Sinetron Putih Abu-Abu terhadap Perilaku
Anak di Kelurahan Sidodamai Samarinda: Studi pada Adegan Aksi Bullying dalam
Sinetron Putih Abu-Abu di SCTV, eJournal Ilmu Komunikasi, Vol. 2, pp.126-137.
diakses tanggal 16 Oktober 2014, dari ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id.
Huddart, David, 2006, The Stereotype: In Homi K. Bhabha, Abingdon, Oxon: Routledge.
Utami, Sri, 2012, Mimikri dalam Kuliner Indonesia melalui Kajian Poskolonial, Proccedings
of the Forth International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and
Future”, pp. 806-820.
Wahyudi, J. B., 1986, Media Komunikasi Massa Televisi, Bandung: Alumni.
Wardhana, Veven Sp., 1997, Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
__________, 2002, Dari Barbar sampai Timor Timur: Mengeja Budaya Massa, Yogyakarta:
Galang Press.
www.kbbi.web.id.
www.sctv.co.id.
www.slidegossip.com.

10