Dari Buku Ke Ekonomi Hiburan
Dari Buku,
Ke Ekonomi Hiburan:
Mengapa Sebuah Kota Membutuhkan Pusat Perbukuan1
532 Tahun Bogor
Sejarah mencatat perkembangan literasi menyumbang kepada 'kemajuan dan
peradaban'. Tanpa mengurangi arti penting tradisi lisan, yang hidup di berbagai
suku bangsa di dunia, 'catatan‐catatan', bahasa sebagai alat komunikasi terus
menerus berkembang. Dalam rak buku saya, Bogor atau Buitenzorg ditemukan
dalam beberapa buku, Jalan Ke Bogor oleh Klaus G. Johannsen, De groote
postweg atau Jalan Raya Pos oleh Pramoedya Ananta Toer, History of Java oleh
SS Raffles, beberapa novel zaman Pujangga Baru yang menggambarkan Bogor
sebagai tempat peristirahatan, seperti Salah Asuhan oleh Abdoel Moeis dan Sitti
Nurbaya oleh Marah Roesli, Asal‐Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy &
Lukisan Raden Saleh oleh Peter Carey, Surat‐surat politik Iwan Simatupang,
1964‐1966 oleh Iwan Simatupang, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik
Indonesia 1961‐1965 oleh Rosihan Anwar dan beberapa buku lain, terutama
kajian ekonomi tentang perkebunan dan pertanian.
Usia Bogor di tahun 2014 mencapai 532 tahun. Sebuah usia yang lebih tua, dari
bangsa Amerika. Jauh lebih tua dari Republik Indonesia. Sebuah peradaban lahir
dari sebuah tempat yang sekarang bernama kota Bogor, akumulasi pengetahuan
tentang ekonomi pertanian dan perkebunan yang menjadi sovenir Bogor untuk
Dunia adalah ciri terpenting dari kota ini.
Dengan adanya Institut Pertanian Bogor, kota ini juga memiliki keunggulan yang
sangat khas, sebagai kota pengetahuan. Jauh sebelumnya peradaban Bogor bisa
dilacak keberadaaannya dengan 7 prasasti di Bogor. Dan beberapa naskah
seperti 1. Carita Parahiyangan, 2. Naskah Bujangga Manik, 3. Carita Ratu Pakuan
dan terakhir Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis pada abad ke‐15
pada daun lontar dan nipah, yang memiliki kesamaan isi dengan
Negarakratagama.
1
Oleh: Widhyanto Muttaqien: pedagang buku di Kedai Sinau, penggiat literasi di Akademi Sinau.
Akademi Sinau, adalah gerakan literasi dan melek budaya.
1
II. Konsumsi Buku
Konon, selama waktu belajar selama 3 tahun di SMA, seorang pelajar di
Indonesia rata-rata (diwajibkan) membaca 0.8 buah buku sastra (saja!).
Dibawah ini adalah ringkasan data buku Indonesia yang dihimpun dari website
IKAPI2. Menurut Andam Dewi (2010) budaya membaca masyarakat Indonesia
terendah diantara 52 negara di kawasan Asia Timur. Mengacu kepada hasil
temuan UNDP, posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar
dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada
dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka setiap judul hanya
dibaca 4‐5 orang per tahun.
Jumlah intitusi pendidikan di kota Bogor setingkat SMA/SMK 113 buah dengan
pelajar 118.000an3, dengan jumlah pengajar 4.084 orang. Sedangkan jumlah
perguran tinggi di kota Bogor ada 8 buah, 1 PTN dan 7 PTS. Dengan jumlah
pengajar/dosen untuk IPB saja sekitar 1.246 orang. Ini belum ditambah dengan
PTS, dan data dari Kabupaten Bogor, yang pelajarnya juga 'lari' mencari buku ke
kota Bogor.
Dari sisi penawaran, ada ada 1.219 penerbit terdaftar sebagai anggota Ikatan
Penerbit Indonesia (Ikapi). Di antara penerbit itu, 800 tercatat sebagai penerbit
aktif. Keseluruhan penerbit adalah penerbit swasta dan hanya satu penerbit
yang tercatat sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yaitu Balai Pustaka.
Selain itu, sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia juga menjalankan
aktivitas penerbitan (university press) sebagai unit pelaksana teknis atau juga
unit bisnis. Berapakah jumlah penerbit di kota Bogor (dan kabupaten) yang
terdaftar di Ikapi Jawa Barat, 6 penerbit4 tanpa mengikutsertakan beberapa
penerbit dalam lingkaran akademik di Institut Pertanian Bogor, sebut saja
Crestpent Press dan IPB Press.
Secara umum ritel dalam industri perbukuan dikuasai oleh distributor dan
jaringan toko buku besar. Tiga aktor besar penerbit, distributor, dan toko buku
besar. Dengan pemasaran sistim konsinyasi penerbit harus rela berbagi
'biaya/keuntungan 50‐55%' kepada distributor. Sedangkan keterbatasan ruang
dalam toko buku menyebabkan 'umur' buku di toko paling lama 3 bulan, dengan
asumsi jika penjualan dibawah 10% dari stok buku di gudang toko, maka buku‐
buku tersebut harus diretur ke penerbit. Maka penerbit selalu kelebihan stok
buku mereka. Para penerbit mensiasati kelebihan stok ini dengan melakukan
pameran bersama dari kampus ke kampus, perpustakaan daerah, dan even
2
http://ikapi.org/news/detail/industry-info/24/informasi-industri-buku-indonesia.html diunduh tanggal
12 Mei 2014
3
http://simpatik.kotabogor.go.id/index.php?page=kota_bogor&id_jenis_data=322&view=kota&kd_kota
=all&kd_kecamatan=&kd_kelurahan=&kd_parent=1341&tahun=2012 diakses tanggal 3 Juni 2014
4
http://ikapijabar.com/anggota/ diakses 3 Juni 2014
2
spesial seperti Hari Buku, Dies Natalis Perguruan Tinggi, Hari Perpustakaan, dan
Hari Besar Agama, atau momentum akhir tahun dan awal tahun ajaran baru.
Gairah pasca reformasi menyebabkan peningkatan jumlah buku yang terbit di
Indonesia, tahun 2007 ada sekitar 5000‐10.000 judul buku terbit, (bandingkan
peningkatan dalam angka yang dikeluarkan oleh IKAPI, di tahun 2012
diperkirakan terbit 30.000 judul buku). Angka tersebut sangat kecil kalau
dibandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15. 000 judul buku per tahun
(2007) dan Inggris lebih dari 100.000 judul per tahun (2005), bahkan untuk
negara 'sekelas' Indonesia seperti India, juga menerbitkan kurang lebih 100.000
judul per tahun (2007).
Berdasarkan riset lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International
Reading Literacy Study, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan
Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian.
Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.
Fakta lain perbandingan jumlah buku yang (diwajibkan) dibaca siswa SMA di 13
negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku,
Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6
buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0.8 buku (karena hasil rata‐rata nol koma,
tidak sampai satu buku)!
III. Ekonomi Hiburan
Ekonomi hiburan singkatnya, menghitung uang yang beredar dalam sektor
hiburan. Buku, selain bisa dimasukkan sebagai hiburan, dalam hal ini dapat saja
dikategorikan sebagai 'hiburan' pengisi waktu luang. Juga dapat dimasukkan
kepada kategori ekonomi kreatif. Ekonomi hiburan memiliki karakteristik cepat
berubah, kompetisi ketat‐ jika bukan hiper‐kompetisi, penekanan pada
kreatifitas, kuat dipengaruhi oleh teknologi.
Ekonomi kreatif berpusat pada sumberdaya manusia menjadi investasi utama,
lewat keahlian dan bakat, yang dapat memberikannya kesejahteraan (lewat
penghasilan) dan penciptaan lapangan kerja, dan kepemilikan terhadap
kekayaan intelektual. Karakter ini berbeda, misalnya jika ingin dilawankan
dengan industri (ekonomi) lainnya seperti industri sumberdaya alam
(ekstraktif), industri budidaya (pertanian massal), yang lebih banyak
menggunakan teknologi dan padat modal.
Salah satu contoh bagaimana ekonomi hiburan bergandengan dengan ekonomi
kreatif adalah dengan bermunculannya klub baca, yang memanggil penulis buku
untuk mendiskusikan bukunya, atau mendiskusikan buku sesuai dengan
kesukaan pembaca terhadap penulis atau buku bacaan (tertentu saja, seperti
Ulysses, Harry Poter atau buku‐buku Tolkiens). Antusias dalam klub baca ini
lewat Pramist (penggemar buku Pram) dan Laskar Andreanis, lewat tetralogi
Laskar Pelangi dengan penulis Andrea Hirata, dan Dewi 'Dee' Lestari dengan
Supernova‐nya, yang berhasil mengumpulkan dan menjual karyanya lewat
komunitas. Disini para penulis, adalah pemasar sekaligus agen budaya bagi
produk mereka sendiri.
3
Peran pasar buku atau pusat buku dengan beragam toko buku komunitas atau
toku buku independen (yang tidak tergabung dalam mata rantai ritel toko
tertentu) sangat besar, mempertemukan penulis dan pembaca, dan melayani
pasar 'niche', atau relung pasar, misalnya mahasiswa S2 dan S3, yang
membutuhkan buku‐buku referensi, buku teks terjemahan, jurnal, yang kurang
laku di ritel besar semacam Gramedia, Kharisma, Gunung Agung dan toko‐toko
lainnya yang memiliki kebijakan ketat terhadap 'bottom line' atau buku mana
yang paling untung untuk dijual.
Lebih jauh persoalan buku terkait dalam persoalan literasi secara luas, yaitu
kebiasaan manusia untuk berhubungan lewat bahasa tulis. Baik aktivitas menulis
buku atau karya ilmiah, surat menyurat, membaca bahan kuliah, membaca untuk
hiburan, membaca majalah atau koran, mengirim imel dan seterusnya. Hal ini
termasuk dalam melek baca‐tulis.
IV. Pusat Buku
Indonesia secara keseluruhan dianggap belum memiliki ruang publik yang
nyaman. Ruang publik yang ada (nyaman) disediakan oleh swasta (dimana nilai‐
nilai dari kualitas kepublikan dapat diatur dan dipasang sesuai dengan
pengetahuan pemilik), kecuali di beberapa bagian kota. Kota‐kota di Indonesia
juga tidak masuk ke dalam kota yang memiliki pelayanan yang cukup untuk
berkembangnya industri kreatif, yang diantaranya ritel‐ritel buku, ritel/kios
baca umum, kios/ritel musik dan lain sebagainya. Adanya beberapa kota seperti
Bandung yang memiliki banyak tempat yang memanjakan pekerja kreatif dapat
dijadikan contoh.
Dalam kasus lain misalnya, studi antar negara oleh Bank Dunia (2000)
memperbandingkan keadaan kerusakan sumberdaya alam, dengan mengukur
hak‐hak politik dan kebebasan sipil dan tingkat melek‐huruf (literacy) yang
tinggi cenderung untuk mempunyai kualitas sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang lebih baik. Sebaliknya negara‐negara yang memperoleh hak‐hak
politik dan kebebasan sipil minimal serta tingkat melek‐huruf yang lebih rendah,
cenderung untuk mempunyai kualitas lingkungan hidup yang lebih jelek. Yang
dimaksud hak‐hak sipil tersebut anatara lain adalah otonomi daerah untuk
mengatur dirinya sesuai dengan adat/tradisi mereka. Angka melek huruf
membantu masyarakat untuk mengerti peraturan dan ikut serta dalam
merumuskannya. Disini ada hubungan timbal‐balik antara perilaku warga kota
dengan tingkat literasi, terutama literasi budaya, bukan sekadar melek‐huruf.
Disisi lain, ada wacana ruang publik (sebagai tempat/place) menjadi beban
pemerintah, yang artinya 'pengeluaran negara' atau 'cost center' dilawankan (vs)
dagang‐komersial. Sederhananya, jika pemerintah daerah menyediakan
tempat/lokasi untuk 'pasar buku' apakah hitungannya rugi? Jika ruang publik
tersebut, misalkan dalam satu lokasi 500 m2, 40%nya diperuntukkan untuk
fungsi publik, apakah desain fungsi, peruntukkan dan pemanfaatannya memang
tidak bisa mendukung 'perdagangan'?
4
Ada juga kebutuhan akan ruang budaya (sebagai ruang/space) sebagai ruang
yang terbentuk oleh berbagai praktek, aktivitas , dan nilai‐nilai layak
dipromosikan sebagai ruang kemajemukan. Dan buku dapat menjadi 'kendaraan'
untuk memediasi permasalahan/tantangan komersialisasi ruang (publik) yang
semakin masif, disatukan oleh kenyataan bahwa industri buku atau orang‐orang
yang terlibat dalam industri buku adalah orang ‐orang kreatif5 yang dampak
multiplier‐nya meluas kepada industri hiburan. Sebab merayakan buku,
misalnya, akan melibatkan banyak pekerja kreatif lain.
V. Sister City dan Bogor Menuju Smart City
Pasar di kota Bogor, memiliki sejarah sendiri. Awal terbentuknya pasar terjadi
secara alamiah, namun sebagai sebuah kota modern pasar dikonstruksi sesuai
dengan nilai tempat dan aksesibilitas penggunanya. Pasar dibentuk, tidak lagi
bersifat alamiah. Ada tema‐tema utama dalam pasar, yang bisa jadi memiliki
nilai sejarah atau berhubungan dengan sejarah sebelumnya. Ada juga pasr‐pasar
modern yang dibentuk untuk melayani kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang teknologinya, misalnya untuk kasus Bogor, Pasar Plaza Jambu Dua
yang didominasi oleh penjualan piranti komunikasi dan komputer.
Arah kota Bogor menuju 'smart city' yang melayani kapital intelektual dan
kapital budaya penghuninya membutuhkan infrastruktur teknologi komunikasi
informasi yang memadai, hanya dengan demikian kompetisi dapat dimenangkan,
karena pembeda penting adalah bobot teknologi komunikasi dan informasi
dalam pelayanan publik dan pemenuhan terhadap kebutuhan warga yang
bergerak ke arah industri kreatif.
Keberlanjutan kota dengan visi smart city atau dikenal dengan digital city,
intellegent city adalah memberinya kemungkinan lebih besar bagi meluasnya
partisipasi publik untuk mengontrol kepemerintahan, ikut serta dalam
memengaruhi kebijakan, dan terlibat dalam program yang dibuat oleh kota,
karena infrastruktur teknologi komunikasi informasi yang baik meningkatkan
kesetaraan, dan menghapus batas‐batas status sosial, seperti tingkat pendidikan,
perbedaan mata pencaharian, asal‐usul etnik, dan lain sebagainya mengarah
pada kota kosmopolitan sesungguhnya, kota multikultur yang memiliki
kedekatan di antara warganya.
Kota multikultur ini bisa dilihat dari bagaimana 'sister city' kota Bogor, yaitu
Shenzen di China dan St Lois di Amerika Serikat. Kedua kota ini memiliki
Industri buku merupakan industri kreatif, mulai dari penulis, editor, desain sampul buku (yang
melibatkan fotografer, pelukis, dan desainer grafis), desain layout isi (yang melibatkan desainer grafis,
typhografis), dan percetakan. Dalam penjualan sekarang ada manejemen (seperti manajemen artis,
yang biasanya disediakan penerbit), ada juga yang melibatkan tenaga IT bila buku tersebut disertai
tutorial atau melibatkan seniman bila diinterpretasikan dalam bentuk karya seni lain seperti puisi atau
lagu, ada acara peluncuran buku yang melibatkan artis/seniman lain yang berkolaborasi dalam even
tersebut, ada toko buku, ada klub baca buku yang semuanya memerlukan ruang interaksi.
5
5
beberapa kesamaan dengan kota Bogor, dari sisi Shenzen kesamaan yang
mungkin didapat adalah populasi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan
di atas S1 banyak, di Shenzen sekitar 20% lulusan Phd. di China bekerja di kota
Shenzen. Shenzen juga merupakan bagian dari megapolitan Guangzou, seperti
Bogor dengan Jakarta.
Sedangkan St. Lois di bagian pinggirnya adalah kota pelajar, dimana berbagai
etnis dan kultur bertemu dan bertukar gagasan. St. Lois juga telah menjadi kota
yang efisien dengan penggunaan teknologi digital. Di pusat kota perusahaan
berbasis teknologi informasi berkembang pesat, artinya industri kreatif yang
menggunakan kapital intelektual menjadi pengferak utama sektor ekonomi.
Yang menarik adalah bagaimana infrastrukur budaya dibentuk dan berkembang,
toko‐toko buku dan ruang publik diberikan fasilitasi dan diberdayakan dengan
baik di kedua kota kembaran kota Bogor. Bahkan di Shenzen pusat ekonomi
kreatif dalam bentuk buku, digital, dijadikan destinasi utama, dengan hadirnya
Shenzen Book City. Dan, St. Lois, adalah surga bagi penggila buku, mulai dengan
kehadiran toko buku bekas yang menjamur sampai pada toko buku sewa untuk
mahasiswa berkantong tipis.
Gambar 1. Shenzen Book City, pusat buku kota Shenzen
Dalam menuju sebagai 'kota pintar', 'kota digital', kota pengetahuan', kedua kota
kembar Bogor tidak serta merta menghapus 'budaya kertas' karena sebagian
dari masyarakat tetap memilih buku sebagai bagian dari kesibukkannya.
Terutama, jika konsumsi buku, sebenarnya sangat tinggi, jika tempatnya
disediakan dan dirawat oleh pemerintah dan masyarakat. Sebagai perbandingan,
misalnya, kita dapat melihat dari koleksi perpustakaan kota, dari jumlah dan
kualitasnya, apakah sudah menuju pada smart city, knowledge city.
Saya yakin, Bogor bisa!
6
Gambar 2. Toko Buku Kampus Washimgton University St. Lois
Gambar 3. Dua toko buku independen di St. Lois
7
Ke Ekonomi Hiburan:
Mengapa Sebuah Kota Membutuhkan Pusat Perbukuan1
532 Tahun Bogor
Sejarah mencatat perkembangan literasi menyumbang kepada 'kemajuan dan
peradaban'. Tanpa mengurangi arti penting tradisi lisan, yang hidup di berbagai
suku bangsa di dunia, 'catatan‐catatan', bahasa sebagai alat komunikasi terus
menerus berkembang. Dalam rak buku saya, Bogor atau Buitenzorg ditemukan
dalam beberapa buku, Jalan Ke Bogor oleh Klaus G. Johannsen, De groote
postweg atau Jalan Raya Pos oleh Pramoedya Ananta Toer, History of Java oleh
SS Raffles, beberapa novel zaman Pujangga Baru yang menggambarkan Bogor
sebagai tempat peristirahatan, seperti Salah Asuhan oleh Abdoel Moeis dan Sitti
Nurbaya oleh Marah Roesli, Asal‐Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy &
Lukisan Raden Saleh oleh Peter Carey, Surat‐surat politik Iwan Simatupang,
1964‐1966 oleh Iwan Simatupang, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik
Indonesia 1961‐1965 oleh Rosihan Anwar dan beberapa buku lain, terutama
kajian ekonomi tentang perkebunan dan pertanian.
Usia Bogor di tahun 2014 mencapai 532 tahun. Sebuah usia yang lebih tua, dari
bangsa Amerika. Jauh lebih tua dari Republik Indonesia. Sebuah peradaban lahir
dari sebuah tempat yang sekarang bernama kota Bogor, akumulasi pengetahuan
tentang ekonomi pertanian dan perkebunan yang menjadi sovenir Bogor untuk
Dunia adalah ciri terpenting dari kota ini.
Dengan adanya Institut Pertanian Bogor, kota ini juga memiliki keunggulan yang
sangat khas, sebagai kota pengetahuan. Jauh sebelumnya peradaban Bogor bisa
dilacak keberadaaannya dengan 7 prasasti di Bogor. Dan beberapa naskah
seperti 1. Carita Parahiyangan, 2. Naskah Bujangga Manik, 3. Carita Ratu Pakuan
dan terakhir Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis pada abad ke‐15
pada daun lontar dan nipah, yang memiliki kesamaan isi dengan
Negarakratagama.
1
Oleh: Widhyanto Muttaqien: pedagang buku di Kedai Sinau, penggiat literasi di Akademi Sinau.
Akademi Sinau, adalah gerakan literasi dan melek budaya.
1
II. Konsumsi Buku
Konon, selama waktu belajar selama 3 tahun di SMA, seorang pelajar di
Indonesia rata-rata (diwajibkan) membaca 0.8 buah buku sastra (saja!).
Dibawah ini adalah ringkasan data buku Indonesia yang dihimpun dari website
IKAPI2. Menurut Andam Dewi (2010) budaya membaca masyarakat Indonesia
terendah diantara 52 negara di kawasan Asia Timur. Mengacu kepada hasil
temuan UNDP, posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar
dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada
dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka setiap judul hanya
dibaca 4‐5 orang per tahun.
Jumlah intitusi pendidikan di kota Bogor setingkat SMA/SMK 113 buah dengan
pelajar 118.000an3, dengan jumlah pengajar 4.084 orang. Sedangkan jumlah
perguran tinggi di kota Bogor ada 8 buah, 1 PTN dan 7 PTS. Dengan jumlah
pengajar/dosen untuk IPB saja sekitar 1.246 orang. Ini belum ditambah dengan
PTS, dan data dari Kabupaten Bogor, yang pelajarnya juga 'lari' mencari buku ke
kota Bogor.
Dari sisi penawaran, ada ada 1.219 penerbit terdaftar sebagai anggota Ikatan
Penerbit Indonesia (Ikapi). Di antara penerbit itu, 800 tercatat sebagai penerbit
aktif. Keseluruhan penerbit adalah penerbit swasta dan hanya satu penerbit
yang tercatat sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yaitu Balai Pustaka.
Selain itu, sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia juga menjalankan
aktivitas penerbitan (university press) sebagai unit pelaksana teknis atau juga
unit bisnis. Berapakah jumlah penerbit di kota Bogor (dan kabupaten) yang
terdaftar di Ikapi Jawa Barat, 6 penerbit4 tanpa mengikutsertakan beberapa
penerbit dalam lingkaran akademik di Institut Pertanian Bogor, sebut saja
Crestpent Press dan IPB Press.
Secara umum ritel dalam industri perbukuan dikuasai oleh distributor dan
jaringan toko buku besar. Tiga aktor besar penerbit, distributor, dan toko buku
besar. Dengan pemasaran sistim konsinyasi penerbit harus rela berbagi
'biaya/keuntungan 50‐55%' kepada distributor. Sedangkan keterbatasan ruang
dalam toko buku menyebabkan 'umur' buku di toko paling lama 3 bulan, dengan
asumsi jika penjualan dibawah 10% dari stok buku di gudang toko, maka buku‐
buku tersebut harus diretur ke penerbit. Maka penerbit selalu kelebihan stok
buku mereka. Para penerbit mensiasati kelebihan stok ini dengan melakukan
pameran bersama dari kampus ke kampus, perpustakaan daerah, dan even
2
http://ikapi.org/news/detail/industry-info/24/informasi-industri-buku-indonesia.html diunduh tanggal
12 Mei 2014
3
http://simpatik.kotabogor.go.id/index.php?page=kota_bogor&id_jenis_data=322&view=kota&kd_kota
=all&kd_kecamatan=&kd_kelurahan=&kd_parent=1341&tahun=2012 diakses tanggal 3 Juni 2014
4
http://ikapijabar.com/anggota/ diakses 3 Juni 2014
2
spesial seperti Hari Buku, Dies Natalis Perguruan Tinggi, Hari Perpustakaan, dan
Hari Besar Agama, atau momentum akhir tahun dan awal tahun ajaran baru.
Gairah pasca reformasi menyebabkan peningkatan jumlah buku yang terbit di
Indonesia, tahun 2007 ada sekitar 5000‐10.000 judul buku terbit, (bandingkan
peningkatan dalam angka yang dikeluarkan oleh IKAPI, di tahun 2012
diperkirakan terbit 30.000 judul buku). Angka tersebut sangat kecil kalau
dibandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15. 000 judul buku per tahun
(2007) dan Inggris lebih dari 100.000 judul per tahun (2005), bahkan untuk
negara 'sekelas' Indonesia seperti India, juga menerbitkan kurang lebih 100.000
judul per tahun (2007).
Berdasarkan riset lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International
Reading Literacy Study, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan
Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian.
Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.
Fakta lain perbandingan jumlah buku yang (diwajibkan) dibaca siswa SMA di 13
negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku,
Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6
buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0.8 buku (karena hasil rata‐rata nol koma,
tidak sampai satu buku)!
III. Ekonomi Hiburan
Ekonomi hiburan singkatnya, menghitung uang yang beredar dalam sektor
hiburan. Buku, selain bisa dimasukkan sebagai hiburan, dalam hal ini dapat saja
dikategorikan sebagai 'hiburan' pengisi waktu luang. Juga dapat dimasukkan
kepada kategori ekonomi kreatif. Ekonomi hiburan memiliki karakteristik cepat
berubah, kompetisi ketat‐ jika bukan hiper‐kompetisi, penekanan pada
kreatifitas, kuat dipengaruhi oleh teknologi.
Ekonomi kreatif berpusat pada sumberdaya manusia menjadi investasi utama,
lewat keahlian dan bakat, yang dapat memberikannya kesejahteraan (lewat
penghasilan) dan penciptaan lapangan kerja, dan kepemilikan terhadap
kekayaan intelektual. Karakter ini berbeda, misalnya jika ingin dilawankan
dengan industri (ekonomi) lainnya seperti industri sumberdaya alam
(ekstraktif), industri budidaya (pertanian massal), yang lebih banyak
menggunakan teknologi dan padat modal.
Salah satu contoh bagaimana ekonomi hiburan bergandengan dengan ekonomi
kreatif adalah dengan bermunculannya klub baca, yang memanggil penulis buku
untuk mendiskusikan bukunya, atau mendiskusikan buku sesuai dengan
kesukaan pembaca terhadap penulis atau buku bacaan (tertentu saja, seperti
Ulysses, Harry Poter atau buku‐buku Tolkiens). Antusias dalam klub baca ini
lewat Pramist (penggemar buku Pram) dan Laskar Andreanis, lewat tetralogi
Laskar Pelangi dengan penulis Andrea Hirata, dan Dewi 'Dee' Lestari dengan
Supernova‐nya, yang berhasil mengumpulkan dan menjual karyanya lewat
komunitas. Disini para penulis, adalah pemasar sekaligus agen budaya bagi
produk mereka sendiri.
3
Peran pasar buku atau pusat buku dengan beragam toko buku komunitas atau
toku buku independen (yang tidak tergabung dalam mata rantai ritel toko
tertentu) sangat besar, mempertemukan penulis dan pembaca, dan melayani
pasar 'niche', atau relung pasar, misalnya mahasiswa S2 dan S3, yang
membutuhkan buku‐buku referensi, buku teks terjemahan, jurnal, yang kurang
laku di ritel besar semacam Gramedia, Kharisma, Gunung Agung dan toko‐toko
lainnya yang memiliki kebijakan ketat terhadap 'bottom line' atau buku mana
yang paling untung untuk dijual.
Lebih jauh persoalan buku terkait dalam persoalan literasi secara luas, yaitu
kebiasaan manusia untuk berhubungan lewat bahasa tulis. Baik aktivitas menulis
buku atau karya ilmiah, surat menyurat, membaca bahan kuliah, membaca untuk
hiburan, membaca majalah atau koran, mengirim imel dan seterusnya. Hal ini
termasuk dalam melek baca‐tulis.
IV. Pusat Buku
Indonesia secara keseluruhan dianggap belum memiliki ruang publik yang
nyaman. Ruang publik yang ada (nyaman) disediakan oleh swasta (dimana nilai‐
nilai dari kualitas kepublikan dapat diatur dan dipasang sesuai dengan
pengetahuan pemilik), kecuali di beberapa bagian kota. Kota‐kota di Indonesia
juga tidak masuk ke dalam kota yang memiliki pelayanan yang cukup untuk
berkembangnya industri kreatif, yang diantaranya ritel‐ritel buku, ritel/kios
baca umum, kios/ritel musik dan lain sebagainya. Adanya beberapa kota seperti
Bandung yang memiliki banyak tempat yang memanjakan pekerja kreatif dapat
dijadikan contoh.
Dalam kasus lain misalnya, studi antar negara oleh Bank Dunia (2000)
memperbandingkan keadaan kerusakan sumberdaya alam, dengan mengukur
hak‐hak politik dan kebebasan sipil dan tingkat melek‐huruf (literacy) yang
tinggi cenderung untuk mempunyai kualitas sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang lebih baik. Sebaliknya negara‐negara yang memperoleh hak‐hak
politik dan kebebasan sipil minimal serta tingkat melek‐huruf yang lebih rendah,
cenderung untuk mempunyai kualitas lingkungan hidup yang lebih jelek. Yang
dimaksud hak‐hak sipil tersebut anatara lain adalah otonomi daerah untuk
mengatur dirinya sesuai dengan adat/tradisi mereka. Angka melek huruf
membantu masyarakat untuk mengerti peraturan dan ikut serta dalam
merumuskannya. Disini ada hubungan timbal‐balik antara perilaku warga kota
dengan tingkat literasi, terutama literasi budaya, bukan sekadar melek‐huruf.
Disisi lain, ada wacana ruang publik (sebagai tempat/place) menjadi beban
pemerintah, yang artinya 'pengeluaran negara' atau 'cost center' dilawankan (vs)
dagang‐komersial. Sederhananya, jika pemerintah daerah menyediakan
tempat/lokasi untuk 'pasar buku' apakah hitungannya rugi? Jika ruang publik
tersebut, misalkan dalam satu lokasi 500 m2, 40%nya diperuntukkan untuk
fungsi publik, apakah desain fungsi, peruntukkan dan pemanfaatannya memang
tidak bisa mendukung 'perdagangan'?
4
Ada juga kebutuhan akan ruang budaya (sebagai ruang/space) sebagai ruang
yang terbentuk oleh berbagai praktek, aktivitas , dan nilai‐nilai layak
dipromosikan sebagai ruang kemajemukan. Dan buku dapat menjadi 'kendaraan'
untuk memediasi permasalahan/tantangan komersialisasi ruang (publik) yang
semakin masif, disatukan oleh kenyataan bahwa industri buku atau orang‐orang
yang terlibat dalam industri buku adalah orang ‐orang kreatif5 yang dampak
multiplier‐nya meluas kepada industri hiburan. Sebab merayakan buku,
misalnya, akan melibatkan banyak pekerja kreatif lain.
V. Sister City dan Bogor Menuju Smart City
Pasar di kota Bogor, memiliki sejarah sendiri. Awal terbentuknya pasar terjadi
secara alamiah, namun sebagai sebuah kota modern pasar dikonstruksi sesuai
dengan nilai tempat dan aksesibilitas penggunanya. Pasar dibentuk, tidak lagi
bersifat alamiah. Ada tema‐tema utama dalam pasar, yang bisa jadi memiliki
nilai sejarah atau berhubungan dengan sejarah sebelumnya. Ada juga pasr‐pasar
modern yang dibentuk untuk melayani kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang teknologinya, misalnya untuk kasus Bogor, Pasar Plaza Jambu Dua
yang didominasi oleh penjualan piranti komunikasi dan komputer.
Arah kota Bogor menuju 'smart city' yang melayani kapital intelektual dan
kapital budaya penghuninya membutuhkan infrastruktur teknologi komunikasi
informasi yang memadai, hanya dengan demikian kompetisi dapat dimenangkan,
karena pembeda penting adalah bobot teknologi komunikasi dan informasi
dalam pelayanan publik dan pemenuhan terhadap kebutuhan warga yang
bergerak ke arah industri kreatif.
Keberlanjutan kota dengan visi smart city atau dikenal dengan digital city,
intellegent city adalah memberinya kemungkinan lebih besar bagi meluasnya
partisipasi publik untuk mengontrol kepemerintahan, ikut serta dalam
memengaruhi kebijakan, dan terlibat dalam program yang dibuat oleh kota,
karena infrastruktur teknologi komunikasi informasi yang baik meningkatkan
kesetaraan, dan menghapus batas‐batas status sosial, seperti tingkat pendidikan,
perbedaan mata pencaharian, asal‐usul etnik, dan lain sebagainya mengarah
pada kota kosmopolitan sesungguhnya, kota multikultur yang memiliki
kedekatan di antara warganya.
Kota multikultur ini bisa dilihat dari bagaimana 'sister city' kota Bogor, yaitu
Shenzen di China dan St Lois di Amerika Serikat. Kedua kota ini memiliki
Industri buku merupakan industri kreatif, mulai dari penulis, editor, desain sampul buku (yang
melibatkan fotografer, pelukis, dan desainer grafis), desain layout isi (yang melibatkan desainer grafis,
typhografis), dan percetakan. Dalam penjualan sekarang ada manejemen (seperti manajemen artis,
yang biasanya disediakan penerbit), ada juga yang melibatkan tenaga IT bila buku tersebut disertai
tutorial atau melibatkan seniman bila diinterpretasikan dalam bentuk karya seni lain seperti puisi atau
lagu, ada acara peluncuran buku yang melibatkan artis/seniman lain yang berkolaborasi dalam even
tersebut, ada toko buku, ada klub baca buku yang semuanya memerlukan ruang interaksi.
5
5
beberapa kesamaan dengan kota Bogor, dari sisi Shenzen kesamaan yang
mungkin didapat adalah populasi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan
di atas S1 banyak, di Shenzen sekitar 20% lulusan Phd. di China bekerja di kota
Shenzen. Shenzen juga merupakan bagian dari megapolitan Guangzou, seperti
Bogor dengan Jakarta.
Sedangkan St. Lois di bagian pinggirnya adalah kota pelajar, dimana berbagai
etnis dan kultur bertemu dan bertukar gagasan. St. Lois juga telah menjadi kota
yang efisien dengan penggunaan teknologi digital. Di pusat kota perusahaan
berbasis teknologi informasi berkembang pesat, artinya industri kreatif yang
menggunakan kapital intelektual menjadi pengferak utama sektor ekonomi.
Yang menarik adalah bagaimana infrastrukur budaya dibentuk dan berkembang,
toko‐toko buku dan ruang publik diberikan fasilitasi dan diberdayakan dengan
baik di kedua kota kembaran kota Bogor. Bahkan di Shenzen pusat ekonomi
kreatif dalam bentuk buku, digital, dijadikan destinasi utama, dengan hadirnya
Shenzen Book City. Dan, St. Lois, adalah surga bagi penggila buku, mulai dengan
kehadiran toko buku bekas yang menjamur sampai pada toko buku sewa untuk
mahasiswa berkantong tipis.
Gambar 1. Shenzen Book City, pusat buku kota Shenzen
Dalam menuju sebagai 'kota pintar', 'kota digital', kota pengetahuan', kedua kota
kembar Bogor tidak serta merta menghapus 'budaya kertas' karena sebagian
dari masyarakat tetap memilih buku sebagai bagian dari kesibukkannya.
Terutama, jika konsumsi buku, sebenarnya sangat tinggi, jika tempatnya
disediakan dan dirawat oleh pemerintah dan masyarakat. Sebagai perbandingan,
misalnya, kita dapat melihat dari koleksi perpustakaan kota, dari jumlah dan
kualitasnya, apakah sudah menuju pada smart city, knowledge city.
Saya yakin, Bogor bisa!
6
Gambar 2. Toko Buku Kampus Washimgton University St. Lois
Gambar 3. Dua toko buku independen di St. Lois
7