Seorang Perempuan Amerika di Baghdad Cer

SEBUAH CERPEN:

Seorang Perempuan Amerika di Baghdad
Oleh Satrio Arismunandar

Pertama kali aku bertemu Nancy Goodhead adalah ketika pesawat Iraqi Airways,
maskapai penerbangan Irak, yang kami tumpangi baru saja mau meninggalkan bandar
udara Alia di Amman, Yordania. Waktu itu Desember 1990, beberapa bulan sesudah
tentara Irak menyerbu Kuwait, dan kemudian pasukan multinasional yang dipimpin
Amerika Serikat sudah mencanangkan serangan ke Irak.
Ribuan orang, termasuk para diplomat dan pekerja asing, meninggalkan Irak untuk
menghindari perang. Namun, di bawah bayang-bayang serangan Amerika dan sekutunya,
sejumlah orang justru mau masuk ke Irak. Salah satunya adalah aku, sebagai anggota
organisasi perdamaian, yang berkepentingan untuk mencegah perang. Mereka yang
memilih masuk ke Irak, umumnya hanyalah warga Irak sendiri, petugas PBB, jurnalis, atau
aktivis perdamaian dan kemanusiaan.
Dalam antrean, ketika mau memasuki pesawat, kopor Nancy –yang waktu itu belum
kukenal-- jatuh. Aku membantu mengambilkannya. "Terimakasih," ujarnya, sambil
tersenyum ramah. Ia mengenakan jeans biru, sweater merah jambu dan jaket kulit hitam.
Rambutnya yang panjang sebahu berwarna kecoklatan. Kutaksir, umur perempuan ini
sekitar 32 tahun.

"Apakah Anda datang ke Irak, juga sebagai anggota kelompok perdamaian?" ia
bertanya.

1

"Ya. Saya dari Indonesia. Saya tergabung dalam Gulf Peace Team, organisasi
perdamaian yang berbasis di London dan didirikan oleh Yusuf Islam. Anda tentu tahu,
dulu ketika masih menjadi musisi dunia, namanya Cat Stevens," sahutku.
"Ah, ya. Tentu saja. Salah satu lagunya sangat saya sukai. Judulnya, kalau tak salah
Morning has broken, bukan?" tuturnya. "Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama

saya Nancy. Saya tergabung dalam organisasi perdamaian The Coalition for World Peace
and Friendship. Ini organisasi Amerika, saya juga orang Amerika. Tetapi kami menentang
perang, sama seperti Anda."
Ternyata kami dapat tempat duduk bersebelahan di pesawat. Maka, sepanjang
penerbangan dari Amman ke Baghdad, ibukota Irak, kami mengobrol tentang banyak hal.
Nancy mengaku berasal dari Ohio. Ia pernah menikah, tanpa dikaruniai anak, kemudian
bercerai. Ia sudah bergabung dengan organisasi perdamaian dalam beberapa bulan terakhir,
sesudah berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan perangkat lunak komputer.
Pekerjaan tersebut sebetulnya cocok dengan bidang ilmunya, sebagai lulusan

jurusan teknologi informasi di Columbus State University. Nancy berhenti dari
pekerjaannya, dengan alasan, "ingin mencari pekerjaan baru yang lebih banyak
berinteraksi dengan manusia lain." Sambil menunggu memperoleh pekerjaan lain, ia ikut
aktif di organisasi perdamaian. Menurut Nancy, krisis Irak ini menyentuh perasaannya
untuk terlibat lebih dalam, dengan terjun langsung dalam aksi menentang perang.
Tak terasa pesawat kami sampai di Bandara Internasional Saddam, sekitar 25
kilometer dari pusat kota Baghdad. Kabut tipis ditambah udara yang dingin --waktu itu
memang sedang musim dingin di Irak-- menambah murung suasana. Menurut rencana,
kami para aktivis perdamaian akan segera menggelar demo antiperang di Baghdad, dalam
dua-tiga hari mendatang.
Dan sebagai puncaknya, kami akan mengadakan kemah perdamaian di perbatasan
Irak -Arab Saudi. Ini merupakan aksi simbolis, karena para aktivis merelakan diri menjadi
"perisai manusia" di antara posisi dua kubu yang mau berperang. Di wilayah Arab Saudi,
saat itu telah bercokol puluhan ribu pasukan multinasional yang dipimpin Amerika.

2

***

"Ah, selamat datang! Selamat datang di Irak. Mohon maaf atas penyambutan kami

yang apa adanya ini," sambut seorang pria Irak kepada kami, rombongan aktivis
perdamaian. Tubuhnya tinggi, dan terkesan atletis. Ia kelihatan tampan, dengan kumis dan
alisnya yang tebal. Namun, yang paling mengesankan bagiku adalah sorot matanya yang
bening dan polos. Kelihatannya tidak pas dengan postur tubuhnya yang lebih garang.
"Perkenalkan, nama saya Saeed Mursheed al-Majeed. Saya adalah staf dari
Departemen Luar Negeri Irak. Saya ditugaskan menjadi pemandu Anda, sekaligus
melayani berbagai kebutuhan Anda selama di Irak ini. Mari ikut saya. Mobil sudah
menunggu," ujarnya.
Ada sederetan mobil sedan dan van yang sudah menunggu kami. Aku, Nancy, dan
Saeed kebetulan mendapat mobil yang sama. Nancy dan Saeed duduk di kursi depan, aku
di belakang. Bersamaku di kursi belakang, aktivis perdamaian asal Jepang, Miyuki
Nakajima, dan aktivis asal India, Prabha Jagannatan.
Mobil kami meluncur memasuki kota Baghdad, menyusuri pinggiran Sungai Tigris
yang lebar dan indah itu. Jalan yang kami lalui lebar dan mulus. Benar-benar infrastruktur
perkotaan yang bagus, yang dibangun dengan uang minyak. Baghdad adalah kota tua. Di
masa kejayaannya, ketika Paris dan London masih desa kecil yang tak dikenal, dan
Christopher Columbus belum menginjakkan kakinya di benua liar yang sekarang bernama
Amerika, Baghdad sudah menjadi kota metropolitan yang makmur.
Kami menuju ke tempat penginapan sementara di Baghdad, sebelum berangkat ke
perbatasan Irak–Arab Saudi. Orang terlihat di jalan-jalan. Denyut kehidupan di kota seribu

satu malam ini seolah berjalan normal. Namun ketidaknormalan akan terasa, jika kita
melihat ke atas. Di beberapa atap gedung kulihat moncong-moncong ZSU-23, senjata antiserangan udara buatan Rusia, kaliber 23 mm. Senjata-senjata ini menengadah ke langit,
seolah-olah tak sabar menyongsong datangnya pesawat-pesawat musuh.
Saeed termasuk pria menyenangkan. Sepanjang perjalanan, ia cepat akrab dengan
para tamunya, terutama dengan Nancy. Saeed bercerita tentang macam-macam hal, mulai
3

dari desa asalnya, kuliahnya, karirnya, dan keterlibatannya di tugas ini. Salah satu hal yang
ikut mendorong karirnya di Departemen Luar Negeri adalah asal kelahirannya di Desa
Tikrit, yang juga tempat kelahiran Presiden Irak Saddam Hussein. Sejauh informasi yang
kudengar, Saddam memang menjadikan orang-orang dari kampung halamannya sebagai
basis pendukung yang setia.
Sebagaimana layaknya pemuda Irak lain, yang berdedikasi pada karir, Saeed juga
jadi anggota Partai Ba'ath. Partai berideologi campuran sosialisme dan nasionalisme Arab
ini adalah partai yang berkuasa di Irak. Jadi, Saeed memang di jalur karir yang tepat.
Sayangnya, lulusan jurusan sosiologi Universitas Baghdad ini belum menikah, meski
umurnya kuduga sudah 35 tahun. Katanya sambil tertawa, "Belum menemukan calon
pendamping yang cocok."
"Apakah calon pendamping Anda harus orang Irak? Atau orang Arab?" cetus
Nancy.

"Oh, tidak. Saya bilang, pendamping yang cocok. Artinya, bisa orang dari mana
saja," sahut Saeed. Lalu ia melanjutkan, setengah menggoda, "Mengapa Anda bertanya
begitu? Apakah Anda punya calon untuk saya?"
Nancy tersenyum. "Pertanyaan itu belum bisa saya jawab sekarang."
Begitulah, sejak awal perkenalan Nancy dan Saeed, aku sudah melihat tanda-tanda
ke arahnya mendekatnya hubungan antara mereka. Proses ini pun berlanjut. Sore itu,
ketika kami sudah tiba di penginapan dan bersiap untuk perjalanan ke perbatasan
besoknya, aku beberapa kali memergoki Nancy dan Saeed sedang mengobrol berdua.
Pada malam harinya, aku, Miyuki dan Prabha mengisi waktu dengan berjalan-jalan
di pinggiran Sungai Tigris. Di sebuah restoran ikan bakar di pinggir sungai, kami sekali
lagi bertemu Saeed dan Nancy. Keduanya menyapa kami dengan ramah, dan mengajak
kami bergabung. Kami pun bergabung, dan jadilah malam itu malam yang akrab untuk
kami semua. Sambil menyantap ikan bakar, di bawah kerlap-kerlip bintang di langit kota
Baghdad, untuk sesaat kami lupa bahwa perang siap pecah kapan saja.

***
4

Saeed dan Nancy berasal dari dua negara yang sedang berperang. Tetapi hubungan
antara mereka adalah sesuatu yang kupikir lebih mendasar, hubungan antara laki-laki dan

perempuan. Ini soal perasaan, soal kebutuhan manusia. Tidak ada hubungannya dengan
politik antarnegara. Setidaknya itulah yang kulihat waktu itu. Aura Baghdad, kota kuno
yang pernah menjadi pusat kekhalifahan dinasti Abbasiyah ini, tampaknya memberi
romantisme tersendiri.
Hari berikutnya, karena kebersamaan dalam kegiatan kelompok perdamaian, aku
makin akrab dengan rekan-rekan lain di kelompok ini, termasuk tentunya dengan Nancy
dan Saeed, yang sebetulnya bukan anggota tim perdamaian. Kami melakukan aksi unjuk
rasa anti-perang di Baghdad, bersama kelompok pelajar sekolah menengah Irak. Lalu
malam harinya, ada acara meditasi bersama untuk perdamaian, yang dipimpin Yunichiro
Miyazawa, seorang pendeta Syinto dari Jepang.
Esok paginya, kami berangkat ke perbatasan Irak-Arab Saudi, untuk mendirikan
kemah perdamaian. Namun, kami hanya sempat seminggu tinggal di situ, karena
pemerintah Irak lalu memulangkan kami semua ke Baghdad. Alasannya, perang
tampaknya akan segera pecah. Pemerintah Irak khawatir, kami akan menjadi korban, dan
pemerintah di Baghdad tak ingin disalahkan karena hal-hal tersebut.
Tiga hari kemudian, perang memang betul-betul pecah. Malam itu langit kota
Baghdad memerah. Sejumlah gedung pemerintahan meledak dan terbakar, ketika bombom dari pesawat koalisi pimpinan Amerika mulai berjatuhan. Suara sirene tanda bahaya
meraung-raung, diselingi rentetan tembakan dari artileri dan senjata anti-serangan udara
Irak.
Misi perdamaian kami gagal. Aku memutuskan pulang ke Indonesia, karena praktis

tak ada lagi yang bisa kulakukan. Prabha dan Miyuki juga punya pikiran serupa.
Sedangkan Nancy mengatakan, masih akan tinggal beberapa hari lagi di Baghdad. Ia tak
mengatakan alasannya, tapi kuduga karena ia tak ingin cepat-cepat berpisah dari Saeed.
Esoknya, aku, Miyuki dan Prabha pulang dengan jalan darat ke Amman, Yordania,
karena semua penerbangan ke dan dari Irak sudah ditutup. Saeed dan Nancy mengantar
5

kami sampai taksi yang kami carter. Sebelum berpisah, kami berjanji untuk tetap saling
kontak. Saeed dan Nancy melambai, ketika taksi kami melaju meninggalkan tempat
penginapan.
Aku tak banyak mendengar kabar lagi tentang Saeed dan Nancy sesudah itu. Tetapi,
kemudian kudengar kabar dari Miyuki, yang sering mengirim e-mail kepadaku, bahwa
setahun sesudah berakhirnya Perang Teluk, persisnya tahun 1992, Nancy dan Saeed
menikah di Baghdad. Saeed tetap bekerja di Deplu Irak. Karirnya makin menanjak.
Sedangkan Nancy kemudian bekerja di sebuah badan PBB, yang mengurusi program
bantuan pangan untuk Irak.

***
Aku baru bertemu Saeed lagi tahun 1999. Ia sedang mengunjungi Kedutaan Besar
Irak di Jakarta, dalam suatu tugas dari kantornya. Saeed meneleponku, dan kami pun

bertemu di sebuah restoran makanan Arab di Jalan Raden Saleh. Sambil menyantap kebab,
kami mengobrol tentang masa lalu, ketika perang tahun 1991. Tetapi, yang lebih ingin
kuketahui adalah kabar tentang Nancy, istri Saeed sekarang.
"Aku minta maaf, Rio, tidak memberi kabar padamu tentang pernikahan kami
waktu itu. Semua berlangsung begitu cepat, dan aksesku keluar juga sangat sempit.
Untunglah, Nancy masih menjaga kontak dengan Miyuki, sehingga kaupun akhirnya tahu
tentang pernikahan kami," tutur Saeed. Ia tampak sedikit lebih tua, tapi senyumnya masih
ramah seperti Saeed yang kukenal dulu. Namun senyumnya kali ini tidak betul-betul lepas,
seperti ada yang mengganjal.
Dari obrolan berikutnya, aku membaca keprihatinan Saeed. Ini berkait dengan
Nancy. Selama ini tidak ada persoalan serius di antara mereka, kecuali satu: soal anak.
Nancy tidak mau atau belum mau punya anak. Menurut penuturan Saeed, alasan yang
dikeluarkan Nancy macam-macam. Mulai dari kesibukan di karir dan pekerjaan, yang
membuatnya terlalu lelah dan tak punya waktu mengurus anak, serta berbagai alasan lain.
Alasan ini tak bisa dipahami Saeed. Malah bisa dikatakan, sejak awal menjalin
hubungan, ia tidak pernah memperkirakan masalah ini akan muncul di antara mereka.
6

Sebaliknya, dari sisi Saeed, sebagai seorang pria Arab yang sudah berkeluarga, masalah
anak dan keturunan ini sangat penting. Ia mengaku tetap mencintai Nancy, tetapi soal anak

ini merenggangkan hubungan mereka. Saeed masih berusaha mempertahankan perkawinan
ini, dengan harapan cepat atau lambat Nancy akan berubah pikiran.
"Itulah, Rio. Sayang, aku tak bisa tinggal lama di Jakarta. Kontaklah aku kalau kau
mau ke Baghdad. Meskipun Irak masih menderita akibat embargo PBB, kondisi Baghdad
sekarang sudah lebih baik. Berbagai kerusakan akibat pemboman Amerika tahun 1991
sudah diperbaiki. Kita akan makan ikan bakar di pinggir Sungai Tigris, seperti dulu lagi,"
ujarnya. Itulah ucapan Saeed terakhir yang kuingat, sebelum ia pulang kembali ke
negerinya.
Sesudah itu, karena kesibukan masing-masing, aku jarang berkontak lagi dengan
Saeed. Sekali dua kali, aku menerima kiriman surat atau kartu posnya. Aku tak pernah
membayangkan, kenangan akan Nancy dan Saeed akan muncul lagi justru dalam situasi
yang sangat buruk, setelah Amerika dan Inggris mengagresi Irak, Maret 2003. Ketika
televisi menayangkan gambar gedung-gedung kota Baghdad, yang hancur dan terbakar,
akibat dibombardir secara membabi-buta oleh mesin militer canggih Amerika, aku hanya
bisa bertanya: Di mana Saeed dan Nancy? Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka
selamat?
Aku sempat bertanya ke Kedutaan Irak di Jakarta, tetapi pejabat di sana hanya bisa
angkat bahu, karena kontak dengan pemerintah di Baghdad sudah terputus. Bahkan,
apakah masih ada pemerintahan yang efektif di Baghdad, juga tanda tanya besar. Secara
tak terduga, kabar tentang Nancy dan Saeed justru kuperoleh dari Ahmad Walid, temanku

dan reporter Trans TV yang bertugas meliput agresi Amerika-Inggris di Irak. Ahmad
mengenalku, sejak secara intensif meliput gerakan antiperang dan beberapa kali
mewawancaraiku.
"Mas Rio yang baik," begitu awal pesan e-mail yang dikirimkan Ahmad untukku.
"Ketika meliput di Baghdad, saya sempat bertemu seorang pejabat Deplu Irak. Namanya
Saeed Mursheed al-Majeed. Ketika ia tahu saya jurnalis dari Indonesia, ia langsung
bertanya, apakah saya kenal Mas Rio. Ia sangat gembira, ketika saya katakan bahwa saya
7

berteman dengan Anda. Maka, ia minta izin, menulis pesan pribadi buat Mas Rio. Untuk
menjaga hubungan baik, saya membolehkannya meminjam notebook saya, buat menulis
surat. Surat itu saya sampaikan ke Mas Rio, dalam attachment file di bawah ini."
Kubuka attachment file dalam e-mail Ahmad itu. Dan kukenali baris-baris kalimat
yang ditulis Saeed. Aku merasa napasku jadi sesak. "Rio, aku tak tahu, dosa apa yang telah
kuperbuat sehingga aku harus mengalami semua ini. Mungkin kau juga memantau berita
tentang perang di Irak, bahwa 10 hari lalu, televisi Irak menayangkan gambar sejumlah
warga, yang dituduh bekerja sebagai mata-mata Badan Intelijen Pusat Amerika, CIA. Satu
hal yang tidak disampaikan di berita itu adalah dinas intelijen Irak juga telah menangkap
Nancy! Ya, Nancy! Kau tidak percaya, bukan? Demi Allah, aku pun tak bisa percaya."
Kuteruskan membaca. "Tapi Mukhabarat atau pihak intelijen Irak menunjukkan

bukti alat-alat telekomunikasi, yang ditemukan di tempat tersembunyi, di tempat
penginapan Nancy di Basra. Karena sering bertugas jauh di luar kota Baghdad, Nancy
memang mengontrak sebuah rumah untuk tempat tinggalnya di sana. Aku tak pernah tahu
soal alat-alat telekomunikasi itu. Gara-gara itu, aku pun diinterogasi Mukhabarat selama
dua hari berturut-turut. Syukurlah, sejauh ini mereka percaya, aku tak terlibat dan tak tahumenahu sama sekali dengan urusan alat telekomunikasi itu."
"Namun, yang paling membuatku khawatir dan sedih, mereka membawa Nancy.
Aku tak tahu di mana Nancy sekarang, dan bagaimana nasibnya. Tetapi sekarang aku
mengerti satu hal, yang selama ini mengganggu perkawinan kami. Kalau betul, Nancy
adalah agen CIA, semuanya menjadi jelas. Ia menikahiku, karena aku adalah anggota
Partai Ba'ath dan berprospek menjadi pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Irak.
Tanpa kusadari, aku menjadi sumber informasi tangan pertama, tentang apa yang
berlangsung di dalam pemerintahan Saddam Hussein."
"Namun entah kenapa, apapun niat awalnya menjalin hubungan denganku, aku
percaya, Nancy benar-benar mencintaiku atau mulai benar-benar mencintaiku. Dan ia
sadar, ia tengah berperang dengan perasaannya sendiri. Nancy tahu, kehadiran seorang
anak akan makin memperumit situasi yang ia hadapi. Karena, hati kecil dan nalurinya

8

sebagai seorang ibu, pasti akan cenderung mengikatnya pada keluarga dan suami. Di sisi
lain, kehadiran anak sudah pasti akan mengganggu tugasnya sebagai agen."
"Itulah yang kualami, temanku. Perang terus berkecamuk di Irak. Negeriku hancur,
dan kehidupanku pun hancur. Dengan menceritakan ini padamu, aku tidak mengharapkan
apa-apa. Aku hanya sedikit ingin melegakan hatiku yang galau ini. Aku tak tahu, mesti
bercerita pada siapa lagi, karena makin sedikit orang yang bisa menjadi tempat
mencurahkan isi hati di Baghdad ini. Dan mereka pun tak punya waktu untuk
mendengarkan kisahku, karena di bawah bawah bayang-bayang kematian dan hujan bom
dari pesawat-pesawat Amerika, setiap orang di Baghdad ini memiliki kisah sedih sendirisendiri... Salam dari Baghdad. Temanmu selamanya, Saeed."
Itulah pesan terakhir yang kuterima dari Saeed. Kira-kira seminggu kemudian, aku
kembali menerima e-mail dari Ahmad Walid. Isinya singkat: "Mas Rio, saya ingin
menyampaikan berita duka. Kemarin malam, sebuah bom Amerika menghancurkan
gedung Deplu Irak jadi puing-puing. Sebelas orang tewas dan 36 lainnya luka-luka akibat
bom berkekuatan besar itu. Sebagian besar korban adalah warga sipil, dan salah satu yang
tewas adalah teman Anda, Saeed..."
Ah, betapa anehnya permainan nasib ini. Aku hanya bisa tercenung dan bersedih
untuk Saeed. Namun, betapapun tragisnya, nasib Saeed sudah jelas. Sedangkan tentang
Nancy, masih belum jelas. Hanya sebuah berita yang samar-samar, pernah kudengar dari
laporan Owen Lazenby, seorang wartawan televisi BBC di Irak. Katanya, Nancy termasuk
salah satu warga asing, yang diselamatkan oleh pasukan khusus Amerika. Ketika itu,
mereka menyerbu sebuah rumah sakit di kota Nasiriyah, Irak Selatan, untuk membebaskan
enam tentara Amerika yang ditawan, dan secara tak terduga menemukan Nancy di sana.
Aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Nancy, setelah itu. Mungkin, lebih
baik begitu. Karena aku tak tahu, apa yang harus kukatakan atau kulakukan, kalau bertemu
lagi dengannya. Kebenaran tentang Nancy yang betul-betul kuyakini cuma satu. Seorang
perempuan Amerika yang pernah kukenal di Baghdad.

Depok II Tengah, April 2003.
9

Notes: Cerpen ini sudah dimuat di halaman budaya Harian Kompas.

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah
D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV
(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013).
Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: [email protected]; [email protected]
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

10