Indonesia dan Kebutuhan Akan Konsistensi
INDONESIA DAN KEBUTUHAN AKAN KONSISTENSI KEBIJAKAN EKONOMI NASIONAL
Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D1
1. Latar Belakang
Setelah sekian lama mengecap kemerdekaannya, Indonesia selayaknya telah mencapai
beberapa tahap pembangunan yang sekiranya menurut kacamata ekonomi memang harus
dilalui suatu negara berdasarkan perubahan struktur perekonomiannya. Menurut teori
Rostov, setidaknya Indonesia sekarang seharusnya sudah melewati tahap tinggal landas dan
sudah kuat dalam aktifitas sektor industri pengolahannya, termasuk pengolahan SDA dan
pertaniannya sebagai suatu modifikasi terhadap paham ekonomi yang cenderung
mengabaikan keunikan dan kekhususan ekonomi suatu negara. Sebagai catatan, amanat
RPJPN 2001-2024, mengaspirasikan bahwa pada periode 2014-2019 Indonesia akan menjadi
salah satu dari 10 ekonomi terbesar di dunia dan sejajar dengan negara-negara
berpendapatan tinggi.
Secara teori ekonomi pula seharusnya Indonesia telah berada pada tahap pemerataan dan
telah melewati tahap pertumbuhan ekonomi yang cenderung memperburuk distribusi
pendapatan (Hipotesa Kuznet). Walaupun memang tahapan ekonomi tidak dapat hanya
dilihat melalui dimensi waktu saja, karena jangka pendek dalam arti ekonomi adalah kondisi
dimana total produksi sebuah negara yang diterjemahkan kedalam produk domestik bruto
(PDB) masih mengandalkan beberapa input Sumber daya produksi saja dengan sumber daya
lain konstan, sedangkan jangka panjang diartikan sebagai kondisi dimana PDB sebuah negara
dihasilkan melalui proses produksi yang secara optimal menggunakan seluruh sumber daya
produksi yang tersedia secara optimal sesuai dengan efisiensi dan kapasitas negara tersebut.
Dengan demikian lamanya nikmat pertumbuhan ekonomi dan turunnya angka kemiskinan
hasil kemerdekaan yang diperoleh selama ini memang tidak identik dengan jalannya waktu,
karena justru Indonesia sampai saat ini belum mampu memanfaatkan pertumbuhan
ekonomi (PDB percapita) dan penurunan tingkat kemiskinan yang tercipta menjadi tingkat
pemerataan pendapatan yang lebih baik (Indeks Gini), jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.
1 Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Business Unpad, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (iISEI) Kota Bandung Koordinator Jawa Barat. Peneliti senior LP3E/CEDS FE Unpad. Pengurus
Indonesia Regional Science Association (IRSA) dan Forum Ekonomi Jawa Barat (FEJ).
65
1000
55
800
45
600
35
400
25
200
15
5
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
0
Kemiskinan dan Indeks Gini (% )
PDB Per kapita ($2000)
1200
PDB Per kapita (2000$)
Indeks Gini (%)
Kemiskinan (%)
Sumber: Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia, Unpad Press (2013)
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pemerataan Pendapatan
Sehingga pertanyaan yang timbul adalah mengapa setelah sekian lama Indonesia meredeka
masih saja berkutat dengan pola pembangunan jangka pendek? Mengejar tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun kurang menyentuh tujuan pembangunan
ekonomi lainnya seperti pemerataan pendapatan. Secara pendekatan Perencanaan
pembangunan jangka tahunan, menengah dan panjang seperti REPELITA pada masa ORBA
dan RPJP, RPJM di masa reformasi sepertinya masih belum bisa membawa Indonesia ke
tahapan pembangunan yang secara sistematis mampu memanfaatkan seluruh sumber daya
yang dimiliki Indonesia: Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Modal Keuangan, dan
Modal sosial.
2. Permasalahan
Kebijakan pembangunan di Indonesia memang sering tidak “firmed” terkait bahwa dalam
pembangunan ekonomi juga terjadi pertentangan mazhab dan aliran. Pertentangan ini
sudah terjadi sejak Republik ini berdiri, terutama secara politik aliran ini sering menjadi
santapan kancah politik atau dengan kata lain “sengaja dipolitisir”. Terlalu condong pada
mekanisme pasar maka bersiap-siaplah menerima cap “Kapitalis atau neolib”, sedikit saja
pendapat seorang agak pro terhadap pemerataan maka cap ‘kiri” dengan mudah dapat
disematkan di pundak dia. Sebenarnya dari UUD 1945 sudah jelas sistem seperti apa yang
negara ini anut: Sistem Ekonomi yang mengedepankan kesejahteraan bersama dengan tetap
menjunjung tinggi efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dengan kata lain seluruh unsur bernilai luhur yang melekat pada sistem kapitalisme dan
sosialisme, bahkan ekonomi Islam/Syariah terakomodasi dalam sistem perekonomian kita.
Kenapa kita menghabiskan waktu berdebat untuk sesuatu yang sesungguhnya hanya butuh
implementasi daripada debat berkepanjangan.
Tidak mengherankan akibatnya wajah proses pembangunan ekonomi Indonesia dari tiap
masa pemerintahan terasa sangat lambat perkembangannya bahkan pada saat momentum
ekonomi nasional sedang berada pada titik puncaknya sering mudah jatuh karena kebijakan
ekonomi kita seringkali berubah via kebijakan ekonomi instan tanpa pernah menyadari
bahwa hakikinya ekonomi initinya adalah mempelajari perilaku individu dalam memenuhi
kebutuhannya dengan menyadari keterbatasan pada sumber daya. Bila keterbatasan
sumberdaya ini selalu ada dalam aktifitas ekonomi maka kemampuan pemerintah dalam
kebijakan ekonomilah yang harus dapat mengelola keterbatasan yang dimiliki setiap individu
yang menjadi masyarakatnya. Kondisi ini, tampaknya telah mendorong pula kecenderungan
lahirnya berbagai kebijakan ekonomi yang orientasinya bersifat jangka pendek dan
cenderung tidak menyeluruh (holistik) sifatnya di dalam melihat suatu permasalahan.
Kecenderungan dibuatnya kebijakan ekonomi yang sifatnya jangka pendek dan sangat reaktif
ini di dalam jangka panjang dapat memunculkan situasi tumpang tindih pengaturan
(overlapping regulation).
3. Inkonsistensi Kebijakan Pembangunan Ekonomi
Berikut adalah beberapa kebijakan terkait pembangunan ekonomi yang krusial dan jelas
menunjukkan adanya inkonsistensi.
3.1.
Ketersediaan Lahan Pangan Baku Yang Berkelanjutan Sesuai Dengan Tingkat
Kebutuhan Pangan Nasional
Pertanian tidak dipungkiri merupakan urat nadi perekonomian Indonesia yang secara
endownment memang tergolong negara agraris, hingga saat ini mayoritas lapangan
kerja masyarakat Indonesia masih berada pada kegiatan terkait sektor pertanian.
Terlebih dengan fungsi pertanian sebagai penyedia kebutuhan pokok manausia yaitu
makanan, maka segala hal terkait pertanian dimulai dari sisi produksi hingga
distribusinya selalu menjadi masalah krusial.
Sebetulnya perangkat peraturan untuk jaminan ketersedian lahan pangan sudah
tertuang dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Jaminan ini lebih lanjut diamanatkan pula oleh UU No. 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Usaha lain untuk perlindungan
kawasan lahan pertanian pangan juga telah dilakukan dengan dibuatnya produk
hukum turunan yaitu Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Lahan
Berkelanjutan dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif
Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Namun kenyataannya peraturan-
peraturan tersebut belum mampu mencegah konversi lahan pertanian untuk
kegiatan non pertanian yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi karena
berbenturan dengan belum tersedianya peraturan, Undang-Undang serta peraturan
daerah tentang Pertanahan/Agraria untuk mengoperasionalkan jaminan ketersediaan
lahan pertanian tersebut. Diharapkan UU pertanahan ini segera diselesaikan
sehingga konsisten dengan arah peningkatan produktifitas pertanian yang semakin
turun kontribusinya.
3.2.
Skema Insentif pajak dan non pajak
Aturan insentif pajak saat ini hanya berdasarkan aturan menteri keuangan PMK
130/PMK.011/2011 di mana insentif pajak tersebut masih dianggap belum pro
industri, karena Insentif dan pajak sering tidak sesuai dalam mendorong hilirisasi
industri, yaitu untuk mendorong pengolahan lebih lanjut SDA untuk menghasilkan
nilai tambah baik pada industri hulu, antara, dan hilir. Insentif yang tinggi di sektor
hulu tetapi pajak yang tinggi di sektor antara menyulitkan peningkatan nilai tambah
industri secara makro. Dengan demikian arahan mendorong investasi dan
pengembangan usaha menjadi terhambat. Karenanya dibutuhkan upaya membangun
kebijakan berupa skema harmonisasi insentif pajak dan fasilitas fiskal lainnya yang
konsisten dengan niatan mendorong perekonomian lebih cepat dan mensejahterakan
masyarakat. Skema insentif ini sekurang-kurangnya dapat memenuhi beberapa
syarat, a.l.:
Pemberian insentif pajak untuk setiap sub-industri berdasarkan tingkat
keterkaitan antara industri hulu, antara, dan hilir.
Pemberian insentif pajak dan non pajak yang lebih besar untuk perusahaan
manufaktur yang melakukan ekspansi dari sektor hulu ke sektor antara atau
sektor hilir.
Pemberian insentif pajak dan non pajak yang lebih menarik untuk industri
manufaktur orientasi ekspor
pemberian insentif pajak dan non pajak untuk mendorong pembangunan industri
yang ramah lingkungan (green industry).
Luwes dan fleksibel dengan kemampuan insentif fiskal di tingkat daerah
3.3.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang kaya, tetapi
pemerintah belum optimal memanfaatkannya untuk kepentingan nasional. Padahal
industri migas menduduki posisi penting dalam perkembangan perekonomian
nasional. Dalam situasi sekarang masih terdapat kebijakan yang inkonsisten dengan
upaya pembanguna ekonomi nasional contohnya Kebijakan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 mengenai putusan
pengujian terhadap Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi
yang berujung pada pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas). Kemudian untuk mengisi kekosongan mengenai tugas
pengelolaan kegiatan usaha hulu migas pemerintah mengeluarkan kebijakan
Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus (SKK)
Migas sebagai pengganti fungsi BP Migas yang berada di bawah Kementerian
Ekonomi Sumber Daya dan Mineral (ESDM). Namun disadari bahwa pembentukan
SKK Migas oleh Pemerintah sifatnya sementara sampai adanya aturan yang baru atau
merevisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Sampai saat ini upaya revisi masih
dilakukan sementara tugas fungsi SKK tetap dipertanyakan dan diperdebatkan
sehingga menghalangi kinerja dan efisiensi SKK Migas dalam pengelolaan Usaha
Migas Hulu sementara produksi Migas tetap mandek terutama menyikapi kenaikan
harga minyak mentah internasional yang meningkatkan beban subsidi BBM dan jelas
menggerogoti kapasitas APBN sebagai dinamisator dan panduan peranan
pemerintah dalam pembangunan ekonomi melalui penyediaan barang dan jasa
publik.
3.4.
Investasi Asing dan Penanaman Modal
Peran penting dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu sumber
penggerak pembangunan ekonomi dan juga alat menjaga kondisi current account
nasional tidak dapat disangkal lagi. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25
Tahun 2007 dikeluarkan oleh pemerintah sebagai pengganti dua undang-undang
yang telah berlaku puluhan tahun yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal dalam Negeri dan undang-undang No 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri memiliki tujuan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan dan ketidakpastian dalam penanam modal. Tetapi
dalam pelaksanaanya tetap saja timbul berbagai inkonsistensi terutama masalah
Pelayanan Terpadu satu Pintu.
Pelayanan satu atap sejatinya meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di
tingkat propinsi, kabupaten maupun kota berdasakan kewenangan yang dilimpahkan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM). Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau
instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta
propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Tetapi pada kenyataannya
hal ini tidak berjalan dengan baik karena berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah Kabupaten/Kota terlalu kuat walaupun
sudah dikeluarkan kebijakan posisi propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah. Lebih parah lagi, ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu kesatuan terintegrasi dengan
kebijakan aturan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kegiatan penanaman modal dan usaha. Beberapa kebijakan
peraturan yang sangat jelas inkonsistensinya dengan amanat UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman modal adalah UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
UU No 39 tahun 2007 tentang Cukai, UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan, UU
No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU
No 4 tahun 2009 tentang Minerba, dan Peraturan menteri lainnya tentang
penyelenggaraan pendaftaran perusahaan dan penerbitan SIUP.
4. Kesimpulan
Kebijakan ekonomi memang tidak hanya berbentuk UU saja, banyak juga kebijakan
dikeluarkan melalui jenis-jenis produk hukum lainnya seperti Perpres, Kepmen, dan PP.
Demikian juga kebijakan ekonomi ditingkat Propinsi, Kota dan kabupaten seperti Perda,
PerGub atau Perwal. Kebijakan ekonomi juga tidak dilahirkan dengan kebijakan yang
mencantumkans secara eksplit kata “ekonomi” sebagai nomenclature dan kosa kata karena
kebijakan sosial dan budaya contohnya akan sangat terkait dengan kesejahteraan ekonomi
baik langsung dan tidak langsung. Namun benang merah yang jelas terlihat adalah kuatnya
peran politisi DPR dan DPRD dalam proses produk kebijakan ekonomi baik sebagai lembaga
yang mensahkan UU atau Perda namun juga sebagai pihak yang dikonsultasikan atau
didiskusikan, baik formal dan informal. Anggota wakil rakyat yang mampu menalar arti dan
pentingnya bidang ekonomi dalam seluruh bidang yang mereka wakili sepertinya adalah
suatu keharusan. Memang kebijakan ekonomi akan melibatkan kepentingan banyak
stakeholders, namun upaya menuju terciptanya konsistensi kebijakan ekonomi memang
sepertinya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
-Sekian-
Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D1
1. Latar Belakang
Setelah sekian lama mengecap kemerdekaannya, Indonesia selayaknya telah mencapai
beberapa tahap pembangunan yang sekiranya menurut kacamata ekonomi memang harus
dilalui suatu negara berdasarkan perubahan struktur perekonomiannya. Menurut teori
Rostov, setidaknya Indonesia sekarang seharusnya sudah melewati tahap tinggal landas dan
sudah kuat dalam aktifitas sektor industri pengolahannya, termasuk pengolahan SDA dan
pertaniannya sebagai suatu modifikasi terhadap paham ekonomi yang cenderung
mengabaikan keunikan dan kekhususan ekonomi suatu negara. Sebagai catatan, amanat
RPJPN 2001-2024, mengaspirasikan bahwa pada periode 2014-2019 Indonesia akan menjadi
salah satu dari 10 ekonomi terbesar di dunia dan sejajar dengan negara-negara
berpendapatan tinggi.
Secara teori ekonomi pula seharusnya Indonesia telah berada pada tahap pemerataan dan
telah melewati tahap pertumbuhan ekonomi yang cenderung memperburuk distribusi
pendapatan (Hipotesa Kuznet). Walaupun memang tahapan ekonomi tidak dapat hanya
dilihat melalui dimensi waktu saja, karena jangka pendek dalam arti ekonomi adalah kondisi
dimana total produksi sebuah negara yang diterjemahkan kedalam produk domestik bruto
(PDB) masih mengandalkan beberapa input Sumber daya produksi saja dengan sumber daya
lain konstan, sedangkan jangka panjang diartikan sebagai kondisi dimana PDB sebuah negara
dihasilkan melalui proses produksi yang secara optimal menggunakan seluruh sumber daya
produksi yang tersedia secara optimal sesuai dengan efisiensi dan kapasitas negara tersebut.
Dengan demikian lamanya nikmat pertumbuhan ekonomi dan turunnya angka kemiskinan
hasil kemerdekaan yang diperoleh selama ini memang tidak identik dengan jalannya waktu,
karena justru Indonesia sampai saat ini belum mampu memanfaatkan pertumbuhan
ekonomi (PDB percapita) dan penurunan tingkat kemiskinan yang tercipta menjadi tingkat
pemerataan pendapatan yang lebih baik (Indeks Gini), jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.
1 Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Business Unpad, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (iISEI) Kota Bandung Koordinator Jawa Barat. Peneliti senior LP3E/CEDS FE Unpad. Pengurus
Indonesia Regional Science Association (IRSA) dan Forum Ekonomi Jawa Barat (FEJ).
65
1000
55
800
45
600
35
400
25
200
15
5
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
0
Kemiskinan dan Indeks Gini (% )
PDB Per kapita ($2000)
1200
PDB Per kapita (2000$)
Indeks Gini (%)
Kemiskinan (%)
Sumber: Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia, Unpad Press (2013)
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pemerataan Pendapatan
Sehingga pertanyaan yang timbul adalah mengapa setelah sekian lama Indonesia meredeka
masih saja berkutat dengan pola pembangunan jangka pendek? Mengejar tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun kurang menyentuh tujuan pembangunan
ekonomi lainnya seperti pemerataan pendapatan. Secara pendekatan Perencanaan
pembangunan jangka tahunan, menengah dan panjang seperti REPELITA pada masa ORBA
dan RPJP, RPJM di masa reformasi sepertinya masih belum bisa membawa Indonesia ke
tahapan pembangunan yang secara sistematis mampu memanfaatkan seluruh sumber daya
yang dimiliki Indonesia: Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Modal Keuangan, dan
Modal sosial.
2. Permasalahan
Kebijakan pembangunan di Indonesia memang sering tidak “firmed” terkait bahwa dalam
pembangunan ekonomi juga terjadi pertentangan mazhab dan aliran. Pertentangan ini
sudah terjadi sejak Republik ini berdiri, terutama secara politik aliran ini sering menjadi
santapan kancah politik atau dengan kata lain “sengaja dipolitisir”. Terlalu condong pada
mekanisme pasar maka bersiap-siaplah menerima cap “Kapitalis atau neolib”, sedikit saja
pendapat seorang agak pro terhadap pemerataan maka cap ‘kiri” dengan mudah dapat
disematkan di pundak dia. Sebenarnya dari UUD 1945 sudah jelas sistem seperti apa yang
negara ini anut: Sistem Ekonomi yang mengedepankan kesejahteraan bersama dengan tetap
menjunjung tinggi efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dengan kata lain seluruh unsur bernilai luhur yang melekat pada sistem kapitalisme dan
sosialisme, bahkan ekonomi Islam/Syariah terakomodasi dalam sistem perekonomian kita.
Kenapa kita menghabiskan waktu berdebat untuk sesuatu yang sesungguhnya hanya butuh
implementasi daripada debat berkepanjangan.
Tidak mengherankan akibatnya wajah proses pembangunan ekonomi Indonesia dari tiap
masa pemerintahan terasa sangat lambat perkembangannya bahkan pada saat momentum
ekonomi nasional sedang berada pada titik puncaknya sering mudah jatuh karena kebijakan
ekonomi kita seringkali berubah via kebijakan ekonomi instan tanpa pernah menyadari
bahwa hakikinya ekonomi initinya adalah mempelajari perilaku individu dalam memenuhi
kebutuhannya dengan menyadari keterbatasan pada sumber daya. Bila keterbatasan
sumberdaya ini selalu ada dalam aktifitas ekonomi maka kemampuan pemerintah dalam
kebijakan ekonomilah yang harus dapat mengelola keterbatasan yang dimiliki setiap individu
yang menjadi masyarakatnya. Kondisi ini, tampaknya telah mendorong pula kecenderungan
lahirnya berbagai kebijakan ekonomi yang orientasinya bersifat jangka pendek dan
cenderung tidak menyeluruh (holistik) sifatnya di dalam melihat suatu permasalahan.
Kecenderungan dibuatnya kebijakan ekonomi yang sifatnya jangka pendek dan sangat reaktif
ini di dalam jangka panjang dapat memunculkan situasi tumpang tindih pengaturan
(overlapping regulation).
3. Inkonsistensi Kebijakan Pembangunan Ekonomi
Berikut adalah beberapa kebijakan terkait pembangunan ekonomi yang krusial dan jelas
menunjukkan adanya inkonsistensi.
3.1.
Ketersediaan Lahan Pangan Baku Yang Berkelanjutan Sesuai Dengan Tingkat
Kebutuhan Pangan Nasional
Pertanian tidak dipungkiri merupakan urat nadi perekonomian Indonesia yang secara
endownment memang tergolong negara agraris, hingga saat ini mayoritas lapangan
kerja masyarakat Indonesia masih berada pada kegiatan terkait sektor pertanian.
Terlebih dengan fungsi pertanian sebagai penyedia kebutuhan pokok manausia yaitu
makanan, maka segala hal terkait pertanian dimulai dari sisi produksi hingga
distribusinya selalu menjadi masalah krusial.
Sebetulnya perangkat peraturan untuk jaminan ketersedian lahan pangan sudah
tertuang dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Jaminan ini lebih lanjut diamanatkan pula oleh UU No. 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Usaha lain untuk perlindungan
kawasan lahan pertanian pangan juga telah dilakukan dengan dibuatnya produk
hukum turunan yaitu Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Lahan
Berkelanjutan dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif
Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Namun kenyataannya peraturan-
peraturan tersebut belum mampu mencegah konversi lahan pertanian untuk
kegiatan non pertanian yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi karena
berbenturan dengan belum tersedianya peraturan, Undang-Undang serta peraturan
daerah tentang Pertanahan/Agraria untuk mengoperasionalkan jaminan ketersediaan
lahan pertanian tersebut. Diharapkan UU pertanahan ini segera diselesaikan
sehingga konsisten dengan arah peningkatan produktifitas pertanian yang semakin
turun kontribusinya.
3.2.
Skema Insentif pajak dan non pajak
Aturan insentif pajak saat ini hanya berdasarkan aturan menteri keuangan PMK
130/PMK.011/2011 di mana insentif pajak tersebut masih dianggap belum pro
industri, karena Insentif dan pajak sering tidak sesuai dalam mendorong hilirisasi
industri, yaitu untuk mendorong pengolahan lebih lanjut SDA untuk menghasilkan
nilai tambah baik pada industri hulu, antara, dan hilir. Insentif yang tinggi di sektor
hulu tetapi pajak yang tinggi di sektor antara menyulitkan peningkatan nilai tambah
industri secara makro. Dengan demikian arahan mendorong investasi dan
pengembangan usaha menjadi terhambat. Karenanya dibutuhkan upaya membangun
kebijakan berupa skema harmonisasi insentif pajak dan fasilitas fiskal lainnya yang
konsisten dengan niatan mendorong perekonomian lebih cepat dan mensejahterakan
masyarakat. Skema insentif ini sekurang-kurangnya dapat memenuhi beberapa
syarat, a.l.:
Pemberian insentif pajak untuk setiap sub-industri berdasarkan tingkat
keterkaitan antara industri hulu, antara, dan hilir.
Pemberian insentif pajak dan non pajak yang lebih besar untuk perusahaan
manufaktur yang melakukan ekspansi dari sektor hulu ke sektor antara atau
sektor hilir.
Pemberian insentif pajak dan non pajak yang lebih menarik untuk industri
manufaktur orientasi ekspor
pemberian insentif pajak dan non pajak untuk mendorong pembangunan industri
yang ramah lingkungan (green industry).
Luwes dan fleksibel dengan kemampuan insentif fiskal di tingkat daerah
3.3.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang kaya, tetapi
pemerintah belum optimal memanfaatkannya untuk kepentingan nasional. Padahal
industri migas menduduki posisi penting dalam perkembangan perekonomian
nasional. Dalam situasi sekarang masih terdapat kebijakan yang inkonsisten dengan
upaya pembanguna ekonomi nasional contohnya Kebijakan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 mengenai putusan
pengujian terhadap Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi
yang berujung pada pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas). Kemudian untuk mengisi kekosongan mengenai tugas
pengelolaan kegiatan usaha hulu migas pemerintah mengeluarkan kebijakan
Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus (SKK)
Migas sebagai pengganti fungsi BP Migas yang berada di bawah Kementerian
Ekonomi Sumber Daya dan Mineral (ESDM). Namun disadari bahwa pembentukan
SKK Migas oleh Pemerintah sifatnya sementara sampai adanya aturan yang baru atau
merevisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Sampai saat ini upaya revisi masih
dilakukan sementara tugas fungsi SKK tetap dipertanyakan dan diperdebatkan
sehingga menghalangi kinerja dan efisiensi SKK Migas dalam pengelolaan Usaha
Migas Hulu sementara produksi Migas tetap mandek terutama menyikapi kenaikan
harga minyak mentah internasional yang meningkatkan beban subsidi BBM dan jelas
menggerogoti kapasitas APBN sebagai dinamisator dan panduan peranan
pemerintah dalam pembangunan ekonomi melalui penyediaan barang dan jasa
publik.
3.4.
Investasi Asing dan Penanaman Modal
Peran penting dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu sumber
penggerak pembangunan ekonomi dan juga alat menjaga kondisi current account
nasional tidak dapat disangkal lagi. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25
Tahun 2007 dikeluarkan oleh pemerintah sebagai pengganti dua undang-undang
yang telah berlaku puluhan tahun yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal dalam Negeri dan undang-undang No 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri memiliki tujuan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan dan ketidakpastian dalam penanam modal. Tetapi
dalam pelaksanaanya tetap saja timbul berbagai inkonsistensi terutama masalah
Pelayanan Terpadu satu Pintu.
Pelayanan satu atap sejatinya meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di
tingkat propinsi, kabupaten maupun kota berdasakan kewenangan yang dilimpahkan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM). Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau
instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta
propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Tetapi pada kenyataannya
hal ini tidak berjalan dengan baik karena berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah Kabupaten/Kota terlalu kuat walaupun
sudah dikeluarkan kebijakan posisi propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah. Lebih parah lagi, ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu kesatuan terintegrasi dengan
kebijakan aturan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kegiatan penanaman modal dan usaha. Beberapa kebijakan
peraturan yang sangat jelas inkonsistensinya dengan amanat UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman modal adalah UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
UU No 39 tahun 2007 tentang Cukai, UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan, UU
No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU
No 4 tahun 2009 tentang Minerba, dan Peraturan menteri lainnya tentang
penyelenggaraan pendaftaran perusahaan dan penerbitan SIUP.
4. Kesimpulan
Kebijakan ekonomi memang tidak hanya berbentuk UU saja, banyak juga kebijakan
dikeluarkan melalui jenis-jenis produk hukum lainnya seperti Perpres, Kepmen, dan PP.
Demikian juga kebijakan ekonomi ditingkat Propinsi, Kota dan kabupaten seperti Perda,
PerGub atau Perwal. Kebijakan ekonomi juga tidak dilahirkan dengan kebijakan yang
mencantumkans secara eksplit kata “ekonomi” sebagai nomenclature dan kosa kata karena
kebijakan sosial dan budaya contohnya akan sangat terkait dengan kesejahteraan ekonomi
baik langsung dan tidak langsung. Namun benang merah yang jelas terlihat adalah kuatnya
peran politisi DPR dan DPRD dalam proses produk kebijakan ekonomi baik sebagai lembaga
yang mensahkan UU atau Perda namun juga sebagai pihak yang dikonsultasikan atau
didiskusikan, baik formal dan informal. Anggota wakil rakyat yang mampu menalar arti dan
pentingnya bidang ekonomi dalam seluruh bidang yang mereka wakili sepertinya adalah
suatu keharusan. Memang kebijakan ekonomi akan melibatkan kepentingan banyak
stakeholders, namun upaya menuju terciptanya konsistensi kebijakan ekonomi memang
sepertinya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
-Sekian-