tentang linguistik umum di (1)

LAPORAN RANGKUMAN MATERI LINGUISTIK UMUM
PADA BAB 3 DAN BAB 4

OLEH :
DESTRIYADI
2125152872 / 2015

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2015

BAB 3
OBJEK LINGUISTIK : BAHASA

3.3 BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA
Objek kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu
sendiri dan objek kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar bahasa. Dalam hal ini yang menjadi persoalannya apakah dan
bagaimanakah faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang menjadi objek kajian linguistik
makro itu. Kiranya yang dimaksud dengan faktor-faktor di luar bahasa itu tidak lain daripada

segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada
kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Yang ingin di bicarakan dan yang memang
erat kaitannya dengan bahasa adalah hubungan bahasa dengan masyarakat itu sendiri.
3.3.1 Masyarakat Bahasa
Kata masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang yang merasa sebangsa,
seketurunan, sewilayah tempat tinggal. Atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama.
Yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa
menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat bahasa bisa melewati batas provinsi batas
negara, bahkan juga batas benua. Orang Indonesia pada umumnya adalah bilingual, yaitu
menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa daerahnya. Banyak juga yang
multilingual, karena selain menguasai bahasa Indonesia, menguasai bahasa daerahnya sendiri,
menguasai pula bahasa daerah lain, atau bahasa asing.
Jika sesama orang Indonesia lain dia menggunakan bahasa Indonesia, maka dia
menjadi anggota masyarakat bahasa Indonesia. Jika pada kesempatan lain, dia menggunakan
bahasa daerah sesama orang yang sedaerah, maka dia menjadi anggota masyarakat
daerahnya. Memang ada pembagian fungsi antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Bahasa Indonesia digunakan dalam tingkat nasional, sedangkan bahasa daerah digunakan
pada tingkat kedaerahan.
3.3.2 Variasi dan Status Sosial Bahasa
Dalam beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan

adanya dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Variasi
bahasa tinggi ( variasi bahasa T ) yang digunakan dalam situasi-situasi resmi. Variasi bahasa
rendah ( variasi bahasa R ) yang digunakan dalam situasi-situasi yang tidak formal. Adanya
perbedaan variasi bahasa T dan variasi bahasa R disebut dengan istilah diglosia
(Ferguson 1964). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis.
Di Indonesia variasi bahasa T dan variasi bahasa R barangkali sama dengan ragam bahasa
Indonesia baku dan nonbaku.

3.3.3 Penggunaan Bahasa
Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi
dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan
menjadi SPEAKING, yakni :
1. Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya
percakapan.
2. Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.
3. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
4. Act Sequences, yaitu hal yang menunjukkan pada bentuk dan isi percakapan.
5. Key, yaitu pada cara dan semangat dalam melakukan percakapan.
6. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan
atau bukan

7. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan
8. Genres, yaitu yang menunjukkan pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Dalam berkomunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-faktor siapa lawan atau
mitra bicara kita, tentang apa topiknya, situasinya bagaimana, tujuannya apa, ragam bahasa
yang digunakan yang mana.
3.3.4 Kontak Bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka , artinya masyarakatnya dapat menerima kedatangan
anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah
apa yang disebut dengan kontak bahasa. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari
adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya bilingualisme dan
multilingualisme. Dalam masyarakat multilingual yang mobilitasnya geraknya tinggi, maka
angota-anggota masyarakatnya akan cenderung untuk menggunakan dua bahasa atau lebih,
baik sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya. Orang yang hanya
menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual, atau monoglot; yang menguasai dua
bahasa disebut bilingual; sedangkan yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut
multilingual, plurilingual, atau poliglot. Kefasihan seseorang untuk menggunakan dua buah
bahasa sangat tergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu.
Dalam masyarakat yang bilingual dan multilingual sebagai akibat adanya kontak
bahasa, dapat terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode,
campurkode.

Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang
digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang
digunakan itu.
Dalam integrasi unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk itu,sudah dianggap,
diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerimanya atau yang
dimasukinya.

Alihkode yaitu beralihnya penggunaan suatu kode entah bahasa atau pun ragam
bahasa tertentu ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa yang lain). Alihkode
dapat juga terjadi karena perubahan situasi, atau topik pembicaraan.
Campurkode terjadi tanpa sebab. Dalam campurkode ini dua kode atau lebih
digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam situasi santai. Dalam masyarakat
Indonesia kasus campurkode ini biasa terjadi.
3.3.5 Bahasa dan Budaya
Salah satu objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa dengan
kebudayaan. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang menyatakan bahwa bahasa
mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Jadi, bahasa itu menguasai cara berpikir dan
bertindak manusia. Tapi kebanyakan orang tidak mengenal hipotesis ini malah lebih
mengenal kebalikan hipotesis ini yaitu kebudayaan lah yang mempengaruhi bahasa. Karena

eratnya hubungan antara bahasa dan kebudayaan ini, maka ada pakar yang menyamakan
kedua hal itu sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
3.4 KLASIFIKASI BAHASA
Pendekatan klasifikasi bahasa yang dapat disebutkan disini adalah pendekatan
genetis, pendekatan tipologis, pendekatan areal, dan pendekatan sosiolinguistik.
Pendekatan genetis hanya melihat dari keturunan bahasa itu dan hasilnya disebut
klasifikasi genetis. Pendekatan tipologis menggunakan kesamaan-kesamaan tipologi dan
hasilnya disebut klasifikasi tipologis. Pendekatan areal menggunakan pengaruh timbal-balik
antara suatu bahasa dengan bahasa yang lain untuk membuat klasifikasi. Pendekatan
sosiolinguistik membuat klasifikasi berdasarkan hubungan bahasa itu dengan keadaan
masyarakat.
3.4.1 Klasifikasi Genetis
Klasifikasi ini disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis
keturunan bahasa-bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang
lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa proto akan pecah dua bahasa baru
atau lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa-bahasa lain dan seterusnya
seperti itu.
3.4.2 Klasifikasi Tipologis
Dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe-tipe yang terdapat dalam sejumlah
bahasa. Tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul berulang-ulang dalam suatu

bahasa. Unsur yang berulang ini dapat mengenai bunyi, morfem, kata, frase, kalimat, dan
sebagainya.

Klasifikasi pada tataran morfologi pada abad XIX dibagi tiga kelompok, yaitu :
Kelompok pertama, adalah semata-mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar
klasifikasi.
Kelompok kedua, adalah yang menggunakan akar kata sebagai klasifikasi.
Kelompok ketiga, adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi.
3.4.3 Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa
yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan
apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak. Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena
dalam kontak sejarah bahasa-bahasa itu memberikan pengaruh timbal-balik dalam hal-hal
tertentu yang terbatas.
3.4.4 Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan
faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya, berdasarkan status, fungsi, penilaian
yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu.klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat
ciri atau kriteria, yaitu historisitas, standardisasi, vitalitas, dan homogenesitas. Historisitas
berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu. Kriteria

standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku, atau statusnya
dalam pemakaian formal atau tidak formal. Vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu
mempunyai penutur yang menggunakannya dalam, kegiatan sehari-hari secara aktif, atau
tidak. Homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu
diturunkan.
3.5 BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA
Meskipun dikatakan bahasa lisan adalah primer dan bahasa tulis adalah sekunder,
tetapi peranan atau fungsi bahasa tulis di dalam kehidupan modern sangat besar sekali.
Bahasa tulis bisa menembus waktu dan ruang, padahal bahasa lisan begitu diucapkan segera
hilang tak berbekas. Bahasa tulis pun sebenarnya merupakan rekaman bahasa lisan, sebagai
usaha manusia untuk menyimpan bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain
yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang
dituliskan seperti yang terjadi dengan kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita
rekaman. Bahasa tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau
tidak hati-hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya kesalahan dan
kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar.

Dalam pembicaraan mengenal bahasa tulis dan tulisan kita menemukan istilah-istilah
huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, alograf, kaligrafi, dan grafiti. Huruf adalah istilah
umum untuk graf dan grafem. Abjad atau alfabet adalah urutan huruf-huruf dalam suatu

sistem aksara. Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan. Graf adalah satuan terkecil dalam
aksara yang belum ditentukan statusnya. Grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang
menggambarkan fonem, suku kata, atau morfem, tergantung dari sistem aksara yang
bersangkutan. Dalam kehidupan manusia aksara ternyata tidak hanya dipakai untuk keperluan
menulis dan membaca, tetapi juga telah berkembang menjadi suatu karya seni yang disebut
kaligrafi, atau secara harfiah bisa diartikan sebagai seni menulis indah. Grafiti adalah
corat-coret di dinding, tembok, pagar, dan sebagainya dengan huruf-huruf dan kata-kata
tertentu.Biasanya digunakan untuk menyalurkan ekspresi kejiwaan, keinginan berontak, dan
sebagainya.
Ada beberapa jenis aksara, yaitu aksara piktografis, aksara ideografis, aksara silabis,
aksara fonemis. Semua jenis aksara itu tidak ada yang bisa merekam bahasa lisan secara
sempurna. Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan
tepat dan akurat. Aksara latin adalah aksara yang bersifat silabis.
Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang
melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya
dipakai untuk melambangkan satu fonem. Ejaan bahasa Indonesia belum seratus persen ideal,
sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk melambangkan sebuah fonem. Namun,
tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh lebih baik daripada ejaan bahasa Inggris.

BAB 4

TATARAN LINGUISTIK (1) : MORFOLOGI

Runtunan bunyi bahasa ini dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan
tingkatan-tingkatan kesatuannya yang ditandai dengan hentian-hentian atau jeda yang
terdapat dalam runtunan bunyi itu.
Silabel merupakan satuan runtunan bunyi yang ditandai dengan satu satuan bunyi
yang paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh sebuah bunyi lain di depannya, di
belakangnya, atau sekaligus di depan dan di belakangnya. Adanya puncak kenyaringan atau
sonoritas inilah yang menandai silabel itu.
Bidang linguisik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan
bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu
bunyi dan logi yaitu ilmu. Fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik adalah
cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Fonemik adalah cabang studi
fonologi yang mempelajari bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai
pembeda makna.
4.1 FONETIK
Menurut urutan proses terjadinya, fonetik dibedakan menjadi tiga jenis fonetik, yaitu
fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia

bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu dihasilkan.
Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam.
Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh
telinga kita. Yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah artikulatoris, sebab fonetik
inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau
diucapkan manusia. Sebetulnya alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini
mempunyai fungsi utama lain yang bersifat biologis. Dan kita perlu mengenal nama alat-alat
itu untuk bisa memahami bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi.
4.1.2 Proses Fonasi
Terjadinya bunyi bahasa pada umumnya dimulai dengan proses pemompaan udara
keluar dari paru-paru melalui batang tenggorok ke pangkal tenggorok, yang didalamnya
terdapat pita suara, supaya udara bisa terus keluar, pita suara itu harus berada dalam posisi
terbuka. Kalau udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapatkan hambatan apa-apa, maka
kita tidak akan mendengar bunyi apa-apa, selain barangkali bunyi napas.

Berkenaan dengan hambatan pada pita suara ini, perlu diketahui adanya empat macam
posisi pita suara, yaitu (a) pita suara terbuka lebar, artinya tidak akan terjadi bunyi bahasa.
Posisi ini adalah posisi untuk bernapas secara normal. (b) pita suara terbuka agak lebar,
maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi tak bersuara. (c) pita suara terbuka
sedikit, maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi bersuara (d) pita suara

tertutup rapat-rapat, maka akan terjadilah bunyi hamzah atau glotal stop. Jadi, bunyi baru
bisa dihasilkan kalau ada hambatan atau gangguan terhadap arus udara yang dipompakan dari
paru-paru itu.
Tempat bunyi bahasa ini terjadi disebut tempat artikulatoris, proses terjadinya disebut
proses artikulatoris dan alat yang digunakan juga disebut alat artikulatoris atau artikulator.
Artikulator aktif adalah alat ucap yang bergerak atau digerakkan. Artikulatoris pasif adalah
alat ucap yang tidak dapat bergerak, atau yang didekati oleh artikulator aktif. Keadaan, cara,
atau posisi bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif disebut striktur.
4.1.3 Tulisan Fonetik
Tulisan fonetik yang dibuat untuk keperluan studi fonetik, sesungguhnya dibuat
berdasarkan huruf-huruf dari aksara latin, yang ditambah dengan sejumlah tanda diakritik dan
sejumlah modifikasi terhadap huruf latin itu. Dalam tulisan fonetik setiap huruf atau lambang
hanya digunakan untuk melambangkan satu bunyi bahasa. Atau setiap bunyi bahasa, sekecil
apa pun bedanya dengan bunyi yang lain, akan juga dilambangkan hanya dengan satu huruf
atau lambang. Kalau dalam tulisan fonetik, setiap bunyi, baik yang segmental maupun yang
suprasegmental, dilambangkan dengan akurat, artinya setiap bunyi mempunyai
lambang-lambangnya sendiri, meskipun perbedaannya hanya sedikit., tetapi dalam tulisan
fonemik hanya perbedaan bunyi yang distingtif saja, yakni yang membedakan makna, yang
diperbedakan lambangnya. Bunyi-bunyi yang mirip tetapi tidak membedakan makna kata
tidak diperbedakan lambangnya. Sistem tulisan ortografi dibuat untuk digunakan secara
umum di dalam masyarakat suatu bahasa.
4.1.4 Klasifikasi Bunyi
Bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita
suara terbuka sedikit. Bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang
terbuka sedikit atau agak lebar. Jadi, bedanya bunyi vokal dan konsonan adalah arus udara
dalam pembentukkan bunyi vokal, setelah melewati pita suara, tidak mendapat hambatan
apa-apa, sedangkan konsonan arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan. Bunyi
konsonan ada yang bersuara ada yang tidak dan bunyi vokal semuanya bersuara, sebab
dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit.
4.1.4.1 Klasifikasi Vokal
Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan
bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Posisi lidah secara
vertikal adanya vokal tinggi, vokal tengah, dan vokal rendah. Secara horizontal adanya vokal
depan, vokal pusat dan vokal belakang.

Menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar. Vokal
tak bundar dikarenakan bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu. Vokal tak
bundar karena bentuk mulut tidak membundar, melainkan melebar.
4.1.4.2 Diftong atau Vokal Rangkap
Disebut diftong karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian
awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya
lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Apabila ada dua buah vokal berturutan,
namun yang pertama terletak pada suka kata yang berlainan dari yang kedua, maka di situ
tidak ada diftong. Berdasarkan letak unsur-unsurnya, diftong dibedakan menjadi diftong naik
dan diftong turun. Diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi
yang kedua, sedangkan diftong turun karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisi
bunyi kedua.
4.1.4.3 Klasifikasi Konsonan
Bunyi-bunyi konsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga kriteria, yaitu posisi pita
suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi. Berdasarkan posisi pita suara dibedakan adanya
bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara. Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya
terbuka sedikit, sedangkan bunyi tak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar.
Berdasarkan tempat artikulasinya :
1.
2.
3.
4.

Bilabial, yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada
bibis atas.
Labiodental, yaitu konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah
merapat pada bibir atas.
Laminoalveloar, yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi dimana daun lidah
menempel pada gusi.
Dorsovelar, yaitu konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan langit-langit lunak.
Berdasarkan cara artikulasinya :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hambat, artikulator menutup sepenuhnya aliran udara, sehingga udara mampat
dibelakang tempat penutupan itu.
Geseran atau frikatif, artikulator aktif mendekati artikulator pasif, membentuk celah
sempit, sehingga udara yang lewat di celah itu mendapat gangguan.
Paduan atau frikatif, artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran udara, lalu
membentuk celah sempit dengan artikulator pasif
Sengauan atau nasal, artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara melalui mulut,
tetapi membiarkannya keluar melalui rongga hidung dengan bebas.
Getaran atau trill, artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif,
sehingga getaran bunyi itu terjadi berulang-ulang.
Sampingan atau lateral, artikulator aktif menghambat aliran udara dari bagian tengah
mulut.

7.

Hampiran atau aproksiman, artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang mendekati
posisi terbuka seperti dalam pembentukan vokal, tetapi tidak cukup sempit untuk
menghasilkan konsonan geseran.

4.1.5

UNSUR SUPRASEGMENTAL

4.1.5.1 Tekanan atau Stres
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi. Suatu bunyi segmental yang
diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti
dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan
arus udara yang tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan
tekanan lunak.
4.1.5.2 Nada atau Pitch
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental
diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi
begitupun jika diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga
dengan nada rendah.
4.1.5.3 Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Jeda ini dapat
bersifat penuh dan dapat juga bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam
dan sendi luar. Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel lainnya
sedangkan sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari segmen silabel
4.1.6

Silabel

Runtunan bunyi bahasa itu, sebagai wujud dari pertuturan, dapat disegmentasikan
berdasarkan jeda-jeda dan tekanan yang ada dalam runtunan bunyi itu, menjadi satuan-satuan
bunyi tertentu. Salah satu dari satuan bunyi itu adalah silabel atau suku kata. Silabel atau
suku kata itu adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau runtunan bunyi ujaran.
Silabel sebagai satuan ritmis mempunyai puncak kenyaringan atau sonoritas yang biasanya
jatuh pada sebuah vokal. Bunyi yang paling banyak menggunakan ruang resonasi itu adalah
bunyi vokal. Menentukan batas silabel sebuah kata kadang-kadang memang agak sukar
karena penentuan batas itu bukan hanya soal fonetik, tetapi juga soal fonemik, morfologi, dan
ortografi. Bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada buah silabel yang
berurutan disebut interlude. Yang dimaksud dengan onset adalah bunyi pertama pada sebuah
silabel dan yang dimaksud dengan koda adalah bunyi akhir pada sebuah silabel.

4.2 FONEMIK

Objek penelitian fonemik adalah fonem, yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi
membedakan makna lain lebih jelasnya dalam fonemik apakah perbedaan bunyi itu
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jika bunyi itu membedakan makna,
maka bunyi tersebut kita sebut fonem, dan jika tidak membedakan makna maka itu bukan
fonem.
4.2.1 Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui sebuah fonem, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya
sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan
bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan itu
berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem karena dia bisa
membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
4.2.2 Alofon
Bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari sebuah fonem disebut alofon dan identitas
alofon hanya berlaku untuk satu bahasa tertentu. Alofon-alofon dari sebuah fonem
mempunyai kemiripan fonetis, artinya, banyak mempunyai kesamaan dalam pengucapannya.
Tentang distribusinya, mungkin bersifat komplementer atau juga bersifat bebas. Yang
dimaksud dengan distribusi komplementer adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa
dipertukarkan, meskipun dipertukarkan juga tidak akan menimbulkan perbedaan makna.
Sedangkan distribusi bebas adalah bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa
persyaratan lingkungan bunyi tertentu.
4.2.3 Klasifikasi Fonem
Fonem-fonem yang berupa bunyi, yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap
arus ujaran disebut fonem segmental. Sebaliknya fonem yang berupa unsur suprasegmental
disebut fonem suprasegmental atau fonem nonsegmental.
4.2.4 Khazanah fonem
Yang dimaksud dengan khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam
satu bahasa. Berapa jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan
yang dimiliki bahasa lain. Ada kemungkinan juga karena perbedaan tafsiran, maka jumlah
fonem dalam suatu bahasa menjadi tidak sama banyaknya menurut pakar yang satu dengan
pakar yang lain.
4.2.5

Perubahan fonem

Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada
lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya. Dalam beberapa
kasus lain, dalam bahasa-bahasa tertentu ada dijumpai perubahan fonetik yang mengubah
identitas fonem itu menjadi fonem yang lain.
4.2.5.1 Asimilasi dan Disimilasi

Asimilasi adalah peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi yang lain sebagai
akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya, sehingga bunyi itu menjadi sama atau
mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. Kalau dalam proses
asimilasi menyebabkan dua bunyi yang berbeda menjadi sama, baik seluruhnya maupun
sebagian dari cirinya, maka dalam proses disimilasi perubahan itu menyebabkan dua buah
fonem yang sama menjadi berbeda atau berlainan.
4.2.5.2 Netralisasi dan Arkifonem
Contoh netralisasi sendiri seperti kata hard yang dilafalkan menjadi hart. Oposisi antara
bunyi [d] dan [t] adalah antara bersuara dan tidak bersuara. Pada posisi akhir oposisi itu
dinetralkan menjadi bunyi tak bersuara. Jadi, adanya bunyi [t] pada posisi akhir kata yang di
eja hard adalah hasil netralisasi itu. Fonem [d] pada kata hard yang bisa berwujud [t] dan [d]
dalam peristilahan linguistik disebut arkifonem.
4.2.5.3 Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
Umlaut adalah perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi
vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya tinggi. Ablaut adalah
perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa Indo Jerman untuk menandai
berbagai fungsi gramatikal. Ablaut berbeda dengan umlaut. Kalau umlaut terbatas pada
peninggian vokal akibat pengaruh bunyi berikutnya, ablaut bukan akibat pengaruh bunyi
berikutnya, dan bukan terbatas pada peninggian bunyi; bisa juga pada pemanjangan,
pemendekan, atau penghilangan vokal. Perubahan bunyi yang disebut harmoni vokal atau
keselarasan vokal terdapat dalam bahasa Turki.
4.2.5.4 Kontraksi
Dalam pemendekan seperti ini, yang dapat berupa hilangnya sebuah fonem atau lebih,
ada yang berupa kontraksi. Dalam kontraksi, pemendekan itu menjadi satu segmen dengan
pelafalannya sendiri-sendiri.
4.2.5.5 Metatesis dan Epentesis
Proses metatesis bukan mengubah bentuk fonem menjadi fonem yang lain, melainkan
mengubah urutan fonem yang terdapat dalam suatu kata. Dalam proses epentesis sebuah
fonem tertentu, biasanya yang hormogan dengan lingkungannya, di sisipkan ke dalam sebuah
kata.
4.2.6

Fonem dan Grafem

Fonem dianggap sebagai konsep abstrak, yang didalam pertuturan direalisasikan oleh
alofon, atau alofon-alofon, yang sesuai dengan lingkungan tempat hadirnya fonem tersebut.
Dalam studi fonologi, alofon-alofon yang merealisasikan sebuah fonem itu, dapat
dilambangkan secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik.
Dalam transkripsi fonetik ini setiap alofon, termasuk unsur-unsur suprasegmentalnya,
dapat digambarkan secara tepat, tidak meragukan. Dalam transkripsi fonemik penggambaran

bunyi-bunyi itu sudah kurang akurat, sebab alofon-alofon, yang bunyinya jelas tidak sama,
dari sebuah fonem dilambangkan dengan lambang yang sama. Yang paling tidak akurat
adalah transkripsi ortografis, yakni penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem
ejaan yang berlaku pada suatu bahasa.