Perwujudan Konsep Watak Hukum Islam Nila

Perwujudan Konsep Watak Hukum Islam-Nilai
„Wasathiyah‟- dalam Etika Perniagaan (Bisnis) Berbasis
Syariah*
oleh:

Asep Koswara
Mahasiswa Pascasarjana Program Ekonomi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung 2015
e-mail: sepp.idealiz@gmail.com – www.asepkoswara.com
Abstract:
Islamic law is the law or regulations governing all aspects of Muslim life. It has a character as
affecting the inner nature of all thoughts and behavior commonly called as „Wasathiyah‟.
Linguistically, wasathiyah means balance or harmony. It can be defined also as fair, simple, and best
thing. To find out the embodiment of the concept of value in a variety of Islamic law, the writer
analyzed it deeply. Analysis applied in this embodiment wasathiyah values in Islamic business
ethics. The approach taken in the analysis is to use the method of philosophy. Found suitability of
this value in several business ethics according to Islam. First Ethics: To be honest, trustful, no lie, no
treason and not sworn false. Second ethics: shows solidarity, not deceptive and no hiding disabled.
Third Ethics: Do not hoard and not applying high rates. Fourth Ethics: Generous and tolerant. Fifth
Ethics: sympathy on religion. There is the compatibility between businesses ethics are governed by
Islamic concept wasathiyah as the character of Islamic law. Those what there is in the Islamic ethics,
it is solely for the continuity of life in harmony.

Keywords: Islamic Law, Characteristic of Islamic Law, Wasathiyah Values, Business Ethics, Islamic
Business

I. Pendahuluan
Banyak klaim yang menyatakan jika Islam adalah agama yang sempurna[1] yang
berlaku sepanjang masa. Dari masa ke masa, Islam memang selalu bisa menjadi
pemecah masalah (problem solver) atas kedinamisan hidup manusia. Dari mulai
masalah individual, sosial, politik, hukum, dan juga ekonomi –semuanya bisa
diselesaikan dan dijalankan dengan baik selama berpegang teguh pada sumber
hukumnya yakni al-qur‟an dan hadis. Kedua sumber tersebut adalah apa yang harus
dipegang teguh khususnya oleh umat Islam sebagai acuan dan panduan dalam
menjalani hidup ini.

“Sesungguhnya telah datang kepadamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu sebagai
petunjuk dan rahmat”. (QS Al An‟am : 157) [2]
*Paper Mata Kuliah Filsafat Ekonomi Islam yang diampu oleh Dr. Atang Abdul Hakim, M.A

1

Dalam prakteknya, kedua sumber hukum Islam tersebut tidak bisa diterapkan

hanya dengan cara tekstual dalam mengimbangi perkembangan jaman. Salah satunya
dalam menjawab permasalahan ekonomi yang cenderung bersifat dinamis mengikuti
perkembangan jaman. Oleh karenanya, dalam seluruh aktivitas yang dilakukan dalam
bidang ekonomi perlu metode pendekatan lain. Selain berpegang pada Al-qur‟an dan
Hadits, juga perlu menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut melalui proses ijtihad
dengan tetap berpegang pada nilai yang terkandung.
Dalam hal watak dan karakteristik hukum, Islam memiliki watak hukum yang
dinamis[3] –menjawab masalah sesuai dengan perkembangan jaman. Artinya, hukum
Islam dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman
dimanapun dan kapanpun saja. Kedinamisan hukum Islam itu akhirnya melahirkan
kaidah usuliah yang menyatakan perubahan hukum menurut perubahan zaman, tempat,
serta keadaan.
Dengan wataknya yang dinamis itu, hukum islam cukup sesuai[4] dengan
perkembangan kehidupan manusia termasuk dalam etika bisnis. Cara berbisnis dalam
Islam tentu berbeda dengan cara berbisnis orang selain islam. Selama ini, prilaku
berbisnis para pengusaha berpegang pada konsep kapitalis yang membolehkan mereka
menguasai kekayaan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, siapa yang kuat dna punya
modal (capital) yang besar, dialah yang akan semakin kaya. Hal itu tentu berbeda
dengan konsep berbisnis dalam islam yang lebih mempriotaskan pada kesejahteraan
bersama bukan kesejahteraan individu.

Dalam paper ini, penulis akan menghubungkan antara karakteristik dan watak
hukum Islam yakni konsep „wasathiyah‟ dengan perkembangan praktek bisnis. Sebagai
umat Islam yang baik, sudah sebaiknya menjalankan setiap apa yang dikerjakannya
dengan bersandar / berdasar pada hukum Islam. Itu karena apa yang harus dilakukan
umat Islam sudah tercantum dalam al-qur‟an meski tidak secara detail disebutkan.
Meski tidak detail, namun ada konsep nilai tertentu yang perlu diterapkan, salah satunya
konsep wasathiyah.
Dalam hal ini, penulis akan meneliti perwujudan konsep nilai tersebut dalam
beberapa etika Islam dalam aktivitas bisnis. Ini bertujuan untuk menemukan bukti
bahwa apa yang ada dalam etika bisnis Islam adalah sesuai dengan konsep wasathiyah
sebagaimana yang ada dalam hukum islam. Diharapkan agar etika bisnis Islam itu bisa
diikuti oleh seluruh umat Islam, bahkan diluar umat Islam karena apa yang digariskan
dalam hukum Islam adalah untuk kesejahteraan umat manusia bukan hanya untuk umat
Islam sendiri. Dengan pemaparan paper ini, penulis berharap bisa memberikan
sumbangan analisis secara ontologi, epistemologi dan juga aksiologi.
II. Watak Hukum Islam: Apa itu Konsep Nilai ‘Wasathiyah’?
Hukum Islam (‫ )إ س ام ية شري عة‬adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur
seluruh sendi kehidupan umat Islam[5]. Selain itu, dalam hukum Islam juga terdapat
aturan dan panduan peri kehidupan termasuk kunci penyelesaian seluruh masalah
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hukum Islam berbeda dengan

hukum konvensional yang dibuat manusia. Semua hukum harus bertumpu pada
maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangan dari seluruh hukum Islam
memang harus bersimpul pada maslahat. Tujuan hukum adalah al‟mashlahat.[6] Ada ciri
2

khas, watak serta tabiat tersendiri yang membedakan hukum Islam dengan hukum yang
lainnya. Watak hukum Islam adalah salah satu bagian dari hukum Islam yang menjadi
pedoman dalam upaya menentukan hukum terhadap sesuatu hal di masa depan.
Pengertian watak berdasarkan ilmu sosiologi adalah sifat batin yang
mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti[7]. Dalam hal ini hukum
Islam bisa diartikan sebagai sifat-sifat yang dimiliki oleh hukum dan mencerminkan apa
yang dimilikinya. Watak ini yang kemudian memberikan efek terhadap prilaku manusia
dalam kehidupannya. Apabila dipedomani dengan baik, maka hal ini akan berdampak
pada kualitas hidup yang kita jalani juga.
Ada tiga watak hukum Islam yang menjadi pedoman hukum Islam yaitu takamul,
wasathiyah dan harakah .[8] Ketiganya merupakan watak dari hukum Islam yang tidak
dapat dihindarkan karena hal ini memberikan dampak pada pikiran, tingkah laku serta
budi pekerti umat Islam yang menjalankannya. Ketiganya tersebut adalah takamul,
wasathiyah dan harakah. Konsep wasathiyah menjadi bagian penting dalam watak
hukum Islam karena perwujudannya sangat berpengaruh pada etika hukum yang muncul

dalam kehidupan manusia khususnya dalam Islam.
Menurut Bahasa, wasathiyah berarti keseimbangan atau keharmonisan. Dalam
bahasa Arab, kata al wasathiyah (‫ )ال و سط ية‬berasal dari kata al wasath (‫ )ال و سط‬yang
diterjemahkan secara bahasa dengan makna pertengahan[9]. Selanjutnya, istilah tersebut
juga bisa diterjemaahkan dengan maksud adil, sederhana, dan terbaik. Dari pengertian
tersebut, maka bisa dikatakan jika hukum Islam ini memiliki watak keseimbangan yaitu
tidak berat sebelah tidak condong ke kanan maupun sebaliknya. Keseimbangan ini
tergambar dari keselarasan hukum yang ada termasuk dimana Allah tidak menyukai
orang yang berlebihan dan menghamburkan hartanya.
Berdasarkan sejarah, Islam datang ditengah-tengah penyimpangan agama,
membawa Aqidah Tauhid mengesakan Allah dalam ibadah dan cara hidup. Islam juga
menempatkan manusia menurut konsep wasathiyah dimana manusia tidak baik
seutuhnya seperti malaikat dan buruk seutuhnya seperti setan.[10]
Firman Allah:

„Dan
demikianlah Kami jadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang pertengahan (umat
pilihan dan adil) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad SAW) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.‟ (Al-Baqarah: 143) [11]
III. Etika Bisnis Syariah: Aturan Bisnis dalam Islam

Dalam upaya memahami etika bisnis syariah, penting kiranya untuk mengetahui
definisi dari „Etika‟ itu sendiri. Kata Etika berasal dari kata Yunani yaitu „Ethos‟, atau
„ta etha‟ dalam bentuk jamaknya. Arti dari kata tersebut adalah adat istiadat atau
kebiasaan.[12] Etika ini memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai serta tata cara hidup atau
aturan yang sudah dibuat dan disepakati karena memiliki nilai positif didalamnya. Ada
3

yang mengatakan jika etika adalah kajian moralitas yakni kajian pedoman yang dimiliki
individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat suatu
perbuatan.[13] Pada umumnya, etika ini bisa mencakup segala hal kebiasaan yang
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan „Etika bisnis‟ adalah seperangkat nilai baik,
buruk, benar dan salah dalam dunia bisnis. Prinsip ini, erat hubungannya atau
didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas.[14] Dengan adanya etika bisnis, maka para
pelaku usaha (bisnis) harus mematuhi dan berkomitmen dalam setiap kegiatan yang
dilakukan dalam proses bisnis tersebut. pengusaha harus berpegang pada nilai-nilai dan
etika yang luhur untuk mengelakkan kesalahan seperti penyedian produk yang tidak
berkualitas.[15] Beberapa hal yang dilakukan diantaranya berprilaku, berelasi serta
bertransaksi dengan baik dengan mementingkan kepuasan pelanggan.
Kemudian, etika bisnis syariah bisa diartikan sebagai seperangkat nilai baik,

buruk, benar dan salah dalam prilaku bisnis dengan berpegang pada nilai-nilai yang ada
dalam hukum Islam (syariah).[16]Jika etika bisnis umum, hanya perpegang pada nilainilai adat kebiasaan dan juga kebenaran normatif, namun dalam bisnis Islam, etika yang
ada merupakan perwujudan dari nilai-nilai hukum yang sudah tercantum dalam alqur‟an dan hadis. Lebih jauh lagi bahwa, bisnis dalam Islam harus bersandar pada halal
dan haram yang ada pada prinsip-prinsip moralitas dalam hukum syariah. Islam
menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan
menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia. [17]
IV. Nilai Wasathiyah dalam Etika Bisnis: Sebuah Pendekatan Filsafat
Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam analisis paper ini adalah dengan
menggunakan metode filsafat. Saat ini, filsafat menjadi ilmu wajib bagi semua disiplin
ilmu karena filsafat adalah ibunya segala ilmu[18]. Beberapa masalah ilmu pengetahuan
seperti bisnis dna ekonomi bisa didekati dengan metode filsafat. Filsafat adalah
pencarian sebuah jawaban atas sejumlah pertanyaan mengenai apa yang dapat kita
ketahui, bagaimana kita dapat mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana
hubungannya satu dengan yang lainnya. Selain itu, filsafat juga bisa mengkaji mencari
pendapat yang telah diterima, mencari ukuran-ukurannya serta mengkaji nilainya. [19]
Khusus dalam bisnis Islam, filsafat ini digunakan untuk mengkaji beberapa
permasalahan. Ada beberapa hukum yang mengatur prihal bagaiman umat seharusnya
menjalankan kehidupan ekonomi mereka. Beberapa hukum, ada yang diatur langsung
dari sumber hukum Al-qur‟an dan hadits, dan beberapa lagi perlu upaya ijtihad untuk
memutuskannya. Dalam hal ini, penulis mencoba mengkaji perwujudan nilai

wasathiyah dalam etika bisnis Islam melalui pendekatan filsafat. Hal itu bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara konsep yang satu dengan nilainya, sehingga kemudian
didapatkan hasil dari hubungan tersebut secara komprehensif.
Segala aktivitas bisnis (perniagaan) memang harus dijalankan dengan berbagai
bentuk aturan. Aturan itulah yang nantinya akan menjadi bagian penting yang
membatasi antara penjual dan pembeli, penjual dan penjual lainnya, bahkan penjual
dengan tuhan. Hubungan dengan tuhan, bisa diselesaikan dengan bertobat, namun

4

dengan manusia, ada banyak hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
kemudian tuhan mengampuni apa yang dilakukannya. Maka dari itu, untuk menjaga
hubungan semua itu, maka diperlukan etika yakni aturan yang dimanifestasikan dari
aturan yang ada dalam hukum Islam.
Salah satu hal yang bisa diambil dari aturan hukum Islam yang bisa dijadikan
etika adalah konsep watak wasathiyah. Ini menjadi salah satu tolak ukur sebuah etika
apakah layak untuk diterapkan dan dijalankan dalam sebuah aktivitas bisnis atau tidak.
Jika memang layak, maka penting kiranya untuk mendeteksinya terlebih dahulu dalam
perwujudan secara langsung. Dalam hal ini, sebagai upaya mengetahui perwujudan
tersebut, maka diperlukan sebuah pendekatan. Dalam kesempatan kali ini, pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan filsafat yang bisa membantu menyusun dan
membuatnya dalam sebuah urutan berfikir yang sistematis.
V. Konsep Wasathiyah dalam Perniagaan
Dalam mencari harta, Islam cukup ketat dalam aturannya karena ini akan
berdampak pada banyak hal nantinya termasuk status harta dan kemaslahatan harta
tersebut ketika digunakan dan di konsumsi tidak hanya oleh pribadi namun juga oleh
anak dan istri. Dalam hal ini, hukum Islam menegaskan agar manusia tidak
menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.
Firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta
kamu di antara kamu dengan jalan yang salah ( tipu, judi dan sebagainya ), kecua li
dengan (jalan) perniagaan yang di lakukan secara suka sama suka di antara kamu. (alNisa': 29)
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa cara yang dilakukan dalam mencari harta
harus cara yang baik yang tidak merugikan pihak lain. Tipu-daya, judi dan sebagainya
adalah cara yang dilarang dalam hukum Islam karena hal ini bisa membuat pihak lain
dirugikan. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan Islam dalam mencari rizki adalah
perniagaan (jual beli). Bahkan banyak sekali hadis yang mewajibkan setiap manusia
untuk melakukan perniagaan karena itulah harta yang halal yang bisa dikonsumsi oleh
manusia.

Ada hadis nabi yang mengatakan bahwa "Hendaklah kalian melakukan
perniagaan, karena 9 dari sepuluh rezeki (yg diturunkan kepada manusia) adanya dalam
perniagaan.”[21] Jelas dari hadis tersebut disebutkan bahwa perniagaan adalah sesuatu
kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia. Bahkan dalam hadis lain juga
disebutkan bahwa “9/10 rezeki diturunkan lewat perniagaan, sedangkan 1/10 ada pada
peternakan”.[22] Jika memang kedua hadis tersebut menjadi acuan, maka bisa dikatakan
bahwa benar „Hidup itu Dagang‟.[23] Agar bisa menghidupi keluarga, maka umat
manusia diharuskan untuk melakukan perniagaan.

5

Namun perniagaan juga harus dilakukan dengan cara yang baik yakni suka sama
suka tidak ada pihak yang dirugikan. Dari Abu Sa'id al Khudri bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka" (HR. Al Baihaqi
dan Ibnu Majah).[24] Dari sini, terlihat jelas jika Islam berada di posisi pertengahan,
seimbang dan tidak melampaui. Dalam hukum Islam prihal mencari rizki, umat tidak
boleh menggunakan cara-cara yang salah dan harus senantiasa berpegang teguh pada
sumber hukum yakni al-qur‟an dan juga hadis. Dalam hal perekonomian, umat juga
boleh menggunakan hasil ijtihad para ulama karena bidang ekonomi adalah hal yang
dinamis yang senantiasa berubah.

VI. Perwujudan Nilai Wasathiyah dalam Etika Bisnis
Dalam setiap aktivitas yang dilakukan, umat Islam diatur oleh seperangkat hukum
dan etika termasuk dalam aktivitas bisnis dan ekonomi. Setidaknya ada 5[25] prinsip etika
Islam yang harus diterapkan dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, penulis akan
mencoba melihat bagaimana perwujudan konsep wasathiyah (watak hukum Islam)
dalam etika Islam dalam melakukan perniagaan (bisnis). Analisis mendalam kiranya
akan lebih objektif didapatkan dengan cara menghubungan beberapa etikan yang sudah
ada dengan konsep wasathiyah satu per satu.
Etika Pertama: Jujur, Amanah, Tidak Berbohong, Tidak Berkhianat dan Tidak
Bersumpah Palsu.
Dalam etika bisnis yang pertama, seorang pembisnis haruslah bersikap jujur atau
tidak berbohong pada setiap aktivitas berniaga yang dilakukan termasuk dalam takaran
(quantity).[26] Jujur ini menjadi sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim karena
memang sudah diperintahkan dalam al-qur‟an serta dicontohkan oleh nabi Muhammada
SAW. Kenapa etika ini masuk pada pokok etika pertama? Hal itu dikarenakan Jujur
menjadi fondasi utama dalam berbisnis. Tanpa kejujuran segala hubungan bisnis
pastinya tidak akan langgeng. Kegiatan bisnis akan berhasil jika dikelola dengan prinsip
kejujuran.[27]
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang jujur” (Q.S. al-Taubah: 119)
Sifat jujur ini tidak hanya diwajibkan oleh Islam, namun beberapa teori modern[28]
juga mewajibkan hal itu. (Business ethic build trust, trust is the basic of modern
business). Ini menunjukan bahwa etika bisnis yang berasal dari hukum Islam ini
menjadi salah satu hal menjadi acuan banyak teori bisnis di dunia modern saat ini. Islam
sudah sejak lama mengenalkan dan mendidik umatnya agar bisa memiliki sifat jujur
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi dan rasul sebelumnya.
Ini bisa direfleksikan dan diwujudkan kedalam aktivitas bisnis dengan
mengungkapkan secara apa adanya baik itu mengenai barang, harga, kualitas dan
lainnya yang bisa membuat bisnis bertahan lama.[29] Dengan kejujurannya itu, maka
akan melahirkan sifat „amanah‟. Namun memang untuk menghasilkan seseorang yang
amanah ini bukan hal yang mudah. Selain perlu banyak latihan, juga harus didasarkan
pada niat dan tidak adanya peluang untuk tidak amanah. Padahal sifat amanah ini sudah

6

seharusnya diikuti oleh semua umat Islam yang mengaku beragama Allah serta
mengaku Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya”(Q.S. al-Mu‟minun: 8)
Ketika pembisnis diharuskan memiliki sifat „jujur‟, maka tujuannya adalah supaya
pembisnis itu dihindarkan dari kebohongan, khianat dan sumpah palsu. Sesorang yang
jujur, sebetulnya tidak perlu punya modal untuk berbisnis (berdagang) karena dia tau
bagaimana cara menumbuhkan citra positif melalui pengelolaan yang strategis dan
sutainable.[30] Dengan kejujuran, mereka akan mendapatkan banyak sekali kepercayaan
dari banyak orang. Namun pastikan agar tidak menghianati kepercayaan ini apapun
kondisi dan alasannya. Kepercayaan dari orang lain adalah sebuah amanah yang harus
dipegang erat dan dijaga dengan baik agar tidak mudah kebelinger.
Dalam praktek perniagaan saat ini, sangat mudah ditemui kebohongan misalnya
mengungkapkan harga (manipulasi/mark up) yang tidak sebenarnya bahkan berani
mengucapkan „sumpah palsu‟.[31] Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda,
“Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak
berkah”. Hal ini tentu bertentangan dengan etika berbisnis dalam hukum syariah.
Dengan bersumpah palsu, mungkin akan bisa membuat orang percaya dan mau
membeli produk yang dijual, namun jika ketahuan misalnya dengan
membandingkannya dengan harga yang ditawarkan oleh penjual, kita akan ketahuan
bohong dan tidak dipercaya lagi.
Apabila dilihat dari perwujudan „wasathiyah‟, etika pertama ini menjadi sesuatu
yang cukup sesuai. Dalam konsep wasathiyah, perilaku harus berpegang pada
„kesesuaian, keseimbangan, kharmonisan‟. Sifat jujur ini dibutuhkan dalam dunia bisnis
agar kehidupan manusia bisa selalu harmonis. Apabila ada salah satu pembisnis yang
berbohong, dan kemudian diketahui oleh salah satu partner bisnisnya, maka ini akan
berdampak pada hubungan mereka. Tidak jarang ada yang mengambil jalur hukum dan
akhirnya menciptakan kebencian yang diwariskan ke generasi selanjutnya.
Etika Kedua: Menunjukan Solidaritas, Tidak Menipu dan Tidak Menyembunyikan
Cacat
Etika bisnis yang kedua mengharuskan setiap pelaku usaha untuk menunjukan
solidaritas sebagai wujud keseimbangan (balance).[32] Adapun solidaritas yang
ditunjukan adalah kepada sesama pembisnis sepertinya serta kepada masyarakat di
sekitarnya. Selain itu, para pembisnis juga diharapkan menjual barang-barang yang
memang tidak berbahaya serta dalam kondisi yang baik. Maka dari itu, muncul sub
etika tidak boleh menipu dan juga tidak boleh menyembunyikan cacat. Keduanya
merupakan perilaku yang cukup menodai solidaritas dalam berbisnis baik terhadap
pelanggan ataupun para pembisnis lainnya.
Karenanya, munculah konsep keadilan yang memang harus menjadi bagian
penting dalam proses berbisnis. Adapun keadilan disini adalah yakni adanya
keseimbangan antara keuntungan yang didapatkan dengan pemenuhan norma dasar
masyarakat berupa hukum, etika maupun adat.[33] Kesemua itu harus ditunjukan melalui
solidaritas yang tinggi agar kemudian bisa berjalan dengan baik dan seimbang.

7

Tidak menipu dan menyembunyikan cacat adalah bagian penting dalam upaya
mencapai solidaritas. Apabila pelaku bisnis melakukan kedua hal tersebut, itu artinya
dia tidak memiliki solidaritas karena tidak bisa memberikan sumbangan keadilan
kepada para pembelinya.[34] Kedua perbuatan tersebut bahkan masuk dalam penindasan
terhadap terhadap pembeli. Bahkan hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Perlakukan menyembunyikan cacat dan menipu merupakan sebuah sifat kedzaliman
yang sangat dibenci oleh Allah. Maka dari itu, kenapa sifat tersebut harus dihindari.
Dalam praktek bisnis, konsep solidaritas ini perlu dijungjung tinggi setelah
berlaku jujur. Selama ini, banyak ditemui para pelanggan yang kecewa terhadap
pedagang tertentu karena ternyata barang yang mereka beli tidak sesuai dengan yang
mereka inginkan. Barang palsu bisa menjadi salah satu kasus yang sering terjadi saat
ini, apalagi semakin maraknya bisnis melalui media online. Ada para pedagang yang
menjual barang palsu atau tiruan sama dengan harga barang asli, dengan cara mereka
melakukan upaya untuk menipu dan menutupi kekurangan barang yang mereka jual
tersebut.
Nilai etika ini cukup sesuai dengan perwujudan nilai wasathiyah hukum Islam
karena memang jika hal ini tidak dilakukan, maka akan berdampak pada keharmonisan
hubungan manusia. Perlu ditekankan bahwa apabila praktek perdagangan sudah tidak
lagi memprioritaskan pada nilai solidaritas, maka ini akan berdampak pada
keharmonisan kehidupan bukan hanya pembisnis, namun bisa berimbas pada orang lain
seperti keluarga.

Etika Ketiga: Tidak Menimbun dan Tidak Menerapkan Tarif Tinggi
Sudah jelas disebutkan dalam hukum Islam bahwa menimbun barang (ikhtikar)
untuk mendapatkan keuntungan adalah sesuatu hal yang dilarang. Perbuatan tersebut
menimbulkan keresahan dan merugikan masyarakat.[35] Bahkan rasulullah bersabda
“Sejahat-jahat hamba adalah orang yang suka menimbun: ketika harga turun ia bersedih
dan jika Allah menetapkan naik, ia senang”(H.R Ath-Thabrani dan al-Baihaqi). Jelas
dikatakan sebagai orang yang paling jahat karena mereka hanya berfokus pada
keuntungan pribadi. Padahal ada banyak efek negatif untuk masyarakat ketika
penimbunan itu terjadi seperti terjadinya kelangkaan barang.
Dikatakan juga bahwa seorang yang menimbun barang dagangan akan dianggap
sebagai seorang yang dzalim karena seharusnya pedagang bisa menyediakan barang
dan/atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta
kegunaan dan manfaat yang memadai.[36] Penimbunan bisa mengakibatkan kelangkaan
barang di pasar. Ini tentu akan membuat banyak orang kesulitan mendapatkan barang
tersebut. Ini akan mengancam kehidupan manusia apalagi jika barang yang ditimbun
adalah bahan makanan pokok yang merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam
kehidupan sehari-hari. Jika penimbunan itu terjadi, maka di satu pihak seseorang yang
menimbun akan mendapatkan keuntungan, namun dilain pihak akan ada pihak yang
menderita.

8

Salah satu tujuan dari penimbunan adalah untuk menjual barang yang ditimbun
dengan harga yang tinggi. Penentuan harga yang terlalu tinggi tidak sesuai dengan etika
bisnis dalam Islam. Bahkan dalam hadis rasulullah sendiri tidak punya hak akan
penetapan harga pasar. Menurutnya, “Sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga;
dia yang menahan, dia yang membentangkan lagi memberikan rezeki.” (At-Tirmidzi,
Abu Dawud, dan Ibn Majah). Jelas memang, bahwa tujuan utama pedagang melakukan
penimbunan barang adalah untuk menentukan harga sesuai dengan yang mereka
inginkan. Ketika barang itu langka di pasaran, maka mereka yang memiliki stok barang
bisa menawarkan harga sesuai dengan keinginan mereka dengan laba yang sebesarbesarnya.
Penentuan harga terlalu tinggi ini juga ditentang dan tidak dibolehkan menurut
agama Islam. Tiada lain, hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan pasara antara
permintaan dan penawaran. Ketika barang tersumbat, maka akan ada pihak yang tidak
bisa berlaku adil. Jika ini terjadi, maka proses perdagangan hanya akan memunculkan
kedzaliman terhadap salah satu pihak. Apabila hal itu terjadi, maka ini akan
memberikan ketidakseimbangan sehingga tidak baik untuk masyarakat. Selain bisa
memudarkan kepercayaan pembeli terhadap penjual, ini juga akan membuat pembeli
merasa keberatan dengan apa yang mereka harus bayar tidak sesuai dengan yang
mereka dapatkan.
Menimbun dan menetapkan harga terlalu tinggi bertentangan juga dengan konsep
nilai „wasathiyah‟. Penimbunan barang mengandung makna azh-zhulm (aniaya) dan
isa‟ah al-mu‟asyirah (merusak pergaulan).[37] Maka dari itu, etika bisnis Islam sudah
cocok dan seimbang dengan mengedepankan konsep „keseimbangan dan kesesuaian‟
harga. Jika ada salah satu yang melakukan penimbunan, maka barang akan langka. Dan
barang siapa yang melakukan monopoli harga, maka selain berdosa juga akan
berdampak pada ketidakseimbangan perekonomian warga dimana yang kaya (penjual)
makin kaya, sedangkan si miskin (pembeli) makin miskin dan tidak bisa memenuhi
kebutuhan mereka.
Etika Keempat: Murah Hati dan Toleran
Dalam etika selanjutnya, pembisnis diharuskan memiliki sikap murah hati dan
juga toleran. Ini menunjukan bahwa berbisnis dalam Islam tidak hanya mengejar
keuntungan semata, namun harus bermanfaat bagi sesasama.[38] Kebermanfaatan ini bisa
dilakukan dengan cara bersikap murah hati terhadap rekan bisnis dan juga
pelanggannya. Selain itu, tolerasi juga perlu dikedepankan bukan hanya terhadap
sesama muslim, namun juga terhadap non muslim dalam bertransaksi. Bahkan, apabila
barang yang diperjualbelikan itu adalah yang bernyawa dan hidup seperti binatang,
maka sebaiknya dirawat binatang itu dengan baik.
Murah hati disini bisa diartikan sebagai sikap ramah tamah, sopan santun, murah
senyum, suka mengalah dan lainnya.[39] Meski demikian, sikap tersebut harus diikuti
denga penuh tanggung jawab. Hal ini sesuai dengan sabda nabi: “Allah mengasihi orang
yang bermurah hati saat menjual, membeli, dan menagih utang" (HR Bukhari).” Sikap
murah hati memang harus selalu dimiliki oleh setiap pembisnis agar bisa mendapatkan
kepercayaan dan rasa suka dari pelanggan sehingga memberikan efek positif terhadap
penjualan.

9

Dalam prakteknya dalam bisnis, prilaku ini bisa diterapkan pada keramahan pada
saat berinteraksi dengan rekan bisnis. Bahkan ini bisa menjadi salah satu strategi bagi
pembisnis untuk meraih kesuksesan dengan bisnis mereka. Salah satu syarat bisa sukses
dalam bisnis adalah banyak relasi dengan banyak orang. Selain relasi, citra baik di mata
para rekan bisnis dan juga pembeli adalah hal yang bisa mempercepat seorang
pembisnis meraih puncak kesuksesan mereka.
Selain murah hari, penting juga bagi pembisnis memiliki sikap toleran agar
kemudian tidak memberikan efek negatif terhadap proses bisnis. Toleran dalam
berBisnis berarti sikap memudahkan dan berlapang dada dalam menjalin kerjasama
Bisnis. “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (HR
Bukhari dan Tarmizi). Sikap toleran ini bisa dipraktekan dalam aktivitas berjualan
setiap hari serta sikap terhadap pembeli. Ada ungkapan jika pembeli itu adalah raja,
maka layani dengan sebaik-baiknya. Jika ada yang berhutang, maka tagihlah dengan
baik-baik dan jangan dengan kekerasan. Pikirkan bahwa mereka adalah sama seperti
kita yang memiki hati dan harus dihargai.
Hal ini tentunya sesuai dengan konsep nilai wasathiyah yang ada pada hukum
Islam. Bahkan ini tidak hanya sekedar untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan,
namun juga untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis. Jika etika ini tidak dipenuhi,
maka kemudian ini akan berdampak pada kemampuan serta kemajuan dari bisnis yang
dijalani. Murah hati dan toleran bisa membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang.[40]
Selain itu, kedua sifat tersebut juga bisa mempermudah pergaulan, mempermudah
urusan jual beli, mempercepat kembalinya modal dan menambah laba keuntungan.[41]
Etika Kelima: Simpati Pada Agama
Etika Islam selanjutnya adalah memprioritaskan agama dibanding dengan
bisnisnya. Ada ungkapan yang mengatakan “love your god more than trade and
business” [42] (cintai tuhanmu melebihi perdagangan dan bisnis!). Ini bisa menjadi rem
sekaligus kritik terhadap sistem ekonomi kafitalis yang terlalu memprioritaskan
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan aturan bahkan tuhan. Semua
aktivitas termasuk bisnis memang harus didasarkan pada aturan yang telah Allah
gariskan.
Sebetunya, setiap agama memerintahkan umatnya untuk memiliki moral yang
baik. Prinsip-prinsip agama tersebut harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan
salah satunya dalam bebisnis. Sesorang yang memiliki pemahaman agama yang baik
biasanya akan memiliki moral yang baik pula. Begitupun dalam berbisnis, orang yang
mendasarkan bisnisnya pada agama, maka ia akan memiliki moral yang terpuji dalam
melakukan bisnis.[43] Ini juga yang harus dijalankan dalam kehidupan umat Islam
dimana ada beberapa aturan agama yang memang harus dipegang erat dibanding dengan
bisnis.
Dalam prakteknya, penting bagi para pembisnis untuk mengawali segala sesuatu
untuk dengan niat yang tulus didasarkan pada apa yang telah diatur dalam hukum Islam.
Aktivitas bisnis yang dilakukan jangan sampai melupakan tugas manusia di dunia ini
yakni untuk beribadah kepada Allah. Sebaiknya, apa yang dilakukan di dunia ini tidak
berlebihan dan fokus pada bekal akhirat. Selain itu, selain fokus pada menghindarkan

10

diri pada yang haram, pastikan juga untuk menghindari beberapa hal lain seperti yang
syubhat dan gharar.
Allah adalah tujuan dari setiap aktivitas manusia termasuk berbisnis. Dalam hal
ini harus ada keseimbangan antara kehidupan dunia dan juga akherat. Jadi bukan hanya
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, namun juga harus ada bekal untuk kehidupan
setelahnya. Kita bisa berkaca pada Rasulullah yang merupakan seorang pedagang
bereputasi international, namun tetap mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilainilai ilahi (transenden).[44]
Ini sesuai dengan perwujudan konsep wasathiyah yang mana setiap aktivitas
hukum aturan dan etika ini memiliki nilai keseimbangan dan keharmonisan. Jelas
memang sesuai dengan ayat yang menyebutkan agar manusia menyeimbangkan antara
kebutuhan dunia dan bekal untuk akherat. Kita berbisnis hanya untuk memenuhi
kebutuhan dunia, maka dari itu jangan sampai lupakan tugas-tugas manusia di dunia
yakni untuk beribadah kepada Allah. Perlu diketahui bahwa ibadah ini dilakukan tidak
hanya dengan melakukan shalat, zakat dan lainnya, namun bisnis juga bisa menjadi
lahan ibadah. Hal itu bisa didapatkan apabila kita memulainnya dengan niat serta segala
yang dilakukan dalam transaksi tidak melenceng dari aturan yang ada dalam agama
yakni pedoman hukum Islam (al-qur‟an dan hadis).
VII. Penutup
Perniagaan memang menjadi salah satu cara yang paling direkomenasikan bagi
manusia mencari rizki. Namun disisi lain, proses perniagaan ini perlu dilakukan dengan
berpegang teguh pada aturan yang ada dalah hukum Islam. Hukum Islam tersebut
kemudian tersintesa menjadi etika yang kemudian terkait pada beberapa aktivitas
kehidupan manusia termasuk dalam ekonomi dan bisnis. Semua itu menjadi pedoman
yang harus dipegang teguh agar proses perniagaan tersebut berjalan dengan seimbang.
Keseimbangan tersebut sudah menjadi salah satu watak yang dimiliki oleh hukum
Islam. Dari pemaparan diatas, ditemukan adanya kesesuaian antara etika bisnis yang
diatur oleh Islam dengan konsep wasathiyah yang ada pada watak hukum Islam. Apa
yang ada pada etika Islam ini semata-mata adalah untuk keberlangsungan kehidupan
yang harmonis saat ini dan masa yang akan datang. Terlihat dari pengertian keduanya,
hubungan antara keduanya dan juga manfaat yang bisa didapatkan dari kedua hubungan
erat tersebut.
Beberapa hasil pembahasan dalam papaer ini memunculkan beberapa saran
terhadap para pelaku bisnis dan semua umat Islam yang terbiasa dengan sistem
perniagaan. Eetika bisnis syariah ini seharusnya bisa menjadi pedoman yang bisa diikuti
karena memang memiliki nilai keseimbangan demi kemaslahatan kehidupan manusian.
Penulis berharap paper ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Kekurangan yang ada di dalam paper ini diharapkan bisa menjadi pemicu untuk
kemudian mencari penjelasan yang lebih mendalam dari sumber lain. Bahkan bisa saja
menjadi salah satu ide untuk kemudian dilakukan pengembangan penelitian dengan
analisis yang berbeda.

11

Footnote:
„… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ...‟ [Al-Maa-idah: 3]
[2]
Surat Al An‟am : 157
[3]
dinamis disini adalah watak hukum Islam „harakah‟
[4]
sesuai dalam hal ini adalah watak hukum Islam „wasathiyah‟ yang juga akan dibahas lebih lanjut
terkait hubungannya dengan perkembangan ekonomi
[5]
dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam
[6]
Dikutip dari bukunya Atang Abdul Hakim, Fiqh Perbankan Syariah
[7]
pengertian watak ini diambil dari dictionary online glosarium.org
[8]
Dikutip dari bukunya Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul Falsafah Hukum Islam
[9]
Pengertian wasathiyah dalam karya Abu Saif Kuncoro Jati. 2012. Konsep Al-wasathiyah
[10]
M. Zain Djambek & Sari Alimin. 1985. Kuliah Islam. Jakarta: PT: Tintamas Indonesia
[11]
Al-Baqarah: 143
[12]
Asyraf Muhammad Dawwabah. 2008. Meneladani Keungulan Bisnis Rasulullah , (Imam GM, Nahwa
Rajul A‟mal Islam), Semarang: Pustaka Nuun
[13]
Ahmad, Mustaq, 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
[14]
Agus Arijanto. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada
[15]
Sofyan S Harahap. 2011. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta : Salemba Empat
[16]
Faisal Badroen, et al, 2006. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana
[17]
Ahmad, Mustaq, OpCit
[18]
Anthoillah, Anton and Bambang Q Annes. 2010. Filsafat Ekonomi Islam. Bandung: Sahifa Press
[19]
Ibid hlm 5
[20]
Surat An-Nisa': 29
[21]
Yusuf bin Ismail an-Nabhani. 2004. Dalil at-Tujjar ila Akhlak al-Akhyar. terj: Saifuddin Zuhri.
“Sudah Untung, Masuk Surga Lagi: Panduan Moral dan Etis Bisnis Islami” Bandung: Pustaka Hidayah
[22]
Ibid hlm 105
[23]
Ricky Ruchdiat. 2010. Hidup Itu dagang PT Bukan 100% Jaminan Hidup Sukses. Bandung: Rohim
Agency
[24]
Wahbah al Zuhaili. 1989. Fiqhu al-Islam wa Adilahuhu : Jilid IV. Beirut: Dar al Fikr, hlm: 346
[25]
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Op.Cit. hlm 115
[26]
Muhammad Djakfar. 2010. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran
Bumi. Jakarta: PenebarPlus, hlm: 34
[27]
Budi Untung. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Yogyakarta: CV Andi Offset
[28]
David Stewart. 1996. Business Ethic. New York: The Mc Grow Hill Companies Inc. hlm: 47
[29]
Mahmoedin. 1996. Etika Bisnis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
[30]
Yusuf Wibisono. 2009. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing
[31]
Sony Keraf. 1996. Etika Bisnis: Tuntunan dan Relevansinya. Jakarta: Kanisius
[32]
George Chryssider. 1993. An Introduction to Business Ethic. London: Chapman & Hall
[33]
M. Amin Abdullah. 1997. Etika Muamalah. Malang: Program Pascasarjana UMM
[34]
M. Nejatullah Siddiqi. 1991. Kegiatan Ekonomi dalam Islam. terj. Anas Sidiq. Jakarta: Bumi Aksara,
hlm 46
[35]
Achmat Subekan. 2015. Mengenal Etika Dagang Syariah. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan
Kementerian Keuangan. hlm: 2
[36]
Yusuf Qardhawi. 1995. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press
[37]
Fakhrul Rozi. 2014. 14 Etika Bisnis Nabi Muhammad. Jakarta: Sudut Hukum
[38]
Asep Koswara. 2015. The Rule of Business: Strategi Bisnis dalam Prinsip Etika Hukum Islam.
Bandung: AllegiancePublishing
[39]
Maulana, Muhammad Hatta. 2014. Berbisnis Dengan Meneladani Rasulullah SAW. Jakarta: Abatasa
[40]
Ahmad Asyhar Syafwan. 2010. Perdagangan Dalam perpektif Theologi, Etika, dan Hukum Islam.
Jakarta: NahdlyinPress
[41]
Malahayati. 2010. Rahasia Sukses BisnisRasulullah. Yogyakarta: GreatPublisher
[42]
Asep Koswara, Op.Cit. hlm: 5
[43]
Farid Setiawan. 2013. Etika Bisnis Utilitarianisme . Jakarta: KedaiIlmu
[44]
Andy Hariman. 2010. Etika Bisnis Dari Sudut Moral Agama. Jakarta: AndySelfPublishing
[1]

12

REFERENSI:
Abdullah, M. Amin. 1997. Etika Muamalah. Malang: Program Pascasarjana UMM
Ahmad, Mustaq, 2001. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Anthoillah, Anton and Bambang Q Annes. 2010. Filsafat Ekonomi Islam. Bandung: Sahifa Press
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Bandung: Bulan Bintang
Badroen, Faisal. et al, 2006. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana
Budi Untung. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Yogyakarta: CV Andi Offset
Chryssider, George. 1993. An Introduction to Business Ethic. London: Chapman & Hall
David Stewart. 1996. Business Ethic. New York: The Mc Grow Hill Companies Inc.
Dawwabah, Asyraf Muhammad. 2008. Meneladani Keungulan Bisnis Rasulullah , (Imam GM, Nahwa
Rajul A‟mal Islam), Semarang: Pustaka Nuun
Djakfar, . 2010. Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. Jakarta:
PenebarPlus
Hakim, Atang Abdul. Fiqih Perbankan Syariah : Transformasi Fiqih Muamalah kedalam perundangundangan. Bandung: PT. Rafika Aditama
Harahap, Sofyan S. 2011. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta : Salemba Empat
Koswara, Asep. 2015. The Rule of Business: Strategi Bisnis dalam Prinsip Etika Hukum Islam. Bandung:
AllegiancePublishing
M. Zain Djambek & Sari Alimin. 1985. Kuliah Islam. Jakarta: PT: Tintamas Indonesia
Mahmoedin. 1996. Etika Bisnis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Malahayati. 2010. Rahasia Sukses BisnisRasulullah. Yogyakarta: GreatPublisher
Maulana, Muhammad Hatta. 2014. Berbisnis Dengan Meneladani Rasulullah SAW. Jakarta: Abatasa
Qardhawi, Yusuf. 1995. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press.
Rozi, Fakhrul. 2014. 14 Etika Bisnis Nabi Muhammad. Jakarta: Sudut Hukum
Ruchdiat, Ricky. 2010. Hidup Itu dagang PT Bukan 100% Jaminan Hidup Sukses. Bandung: Rohim
Agency
Setiawan, Farid. 2013. Etika Bisnis Utilitarianisme . Jakarta: KedaiIlmu
Siddiqi, M. Nejatullah. 1991. Kegiatan Ekonomi dalam Islam. terj. Anas Sidiq. Jakarta: Bumi Aksara
Sony, Keraf. 1996. Etika Bisnis: Tuntunan dan Relevansinya. Jakarta: Kanisius
Subekan, Achmat. 2015. Mengenal Etika Dagang Syariah. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan
Kementerian Keuangan
Syafwan, Ahmad Asyhar. 2010. Perdagangan Dalam perpektif Theologi, Etika, dan Hukum Islam.
Jakarta: NahdlyinPress
Wahbah al Zuhaili. 1989. Fiqhu al-Islam wa Adilahuhu : Jilid IV. Beirut: Dar al Fikr
Wibisono, Yusuf. 2009. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing
Yusuf bin Ismail an-Nabhani. 2004. Dalil at-Tujjar ila Akhlak al-Akhyar. terj: Saifuddin Zuhri. “Sudah
Untung, Masuk Surga Lagi: Panduan Moral dan Etis Bisnis Islami” Bandung: Pustaka Hidayah
Glosarium.org

13