BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN - Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
PENGANGKUTAN

A. Pengertian Umum Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian
A.1 Pengertian Umum Perjanjian
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda)
atau contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian
perjanjian, yaitu teori lama dan teori baru. 15 Menurut teori lama, perjanjian adalah
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum,
sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian
adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seorang berjanji kepada orang lain
kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dalam perjanjian ini timbul suatu hubungan hukum antara dua orang
tersebut/perikatan. Perjanjian ini sifatnya konkret.16
Dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
pada Pasal 1313 telah diatur definisi perjanjian, yaitu “Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.”


15

160.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.

16

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak: Panduan Memahami Hukum Perikatan
& Penerapan Surat Perjanjian Kontrak, Penerbit Cakrawala, Yogyakarta, 2012, hlm. 8.

16
Universitas Sumatera Utara

17

Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut
menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan
dirinya terhadap orang lain. Hal ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban

atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang
(pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di
mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya
adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak
tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya
ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 17
Hal – hal yang diperjanjikan adalah :
1. Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang (misal : jual beli,
tukar, sewa, hibah dan lain-lain)
2. Perjanjian berbuat sesuatu ( misal : perjanjian perburuhan dan lain-lain)
3. Perjanjian tidak berbuat sesuatu (misal: tidak membuat tembok yang
tinggi-tinggi, dan lain sebagainya).18

A.2 Asas-Asas Perjanjian
Berdasarkan rumusan dan pengertian yang telah dijelaskan di atas, semua
hal tersebut menunjukkan bahwa perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan
kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau
melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat
perjanjian tersebut. 19


17

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir
dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 92.
18
Lukman Santoso, Op. Cit., hlm. 12.
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

18

Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki
oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat
bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum yang
merupakan pedoman atau patokan serta menjadikan batas atau rambu dalam
mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya
menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan

pelaksanaan atau pemenuhannya. 20
Hukum perjanjian memuat lima asas penting, yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme (kesepakatan), asas pacta sunt servanda
(kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas personalia (kepribadian).
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata yang menentukan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menekankan kata
“semua”, pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat
bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa
saja (tentang apa saja), dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang
membuatnya seperti suatu Undang-undang. Jadi dalam hal perjanjian, para pihak
diperbolehkan membuat Undang-undang bagi para pihak itu sendiri. 21
Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang
sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas
menentukan sendiri isi perjanjian itu. Namun kebebasan tersebut tidak mutlak
20

Ibid.
Komariah, Hukum Perdata Edisi Revisi Cetakan Keempat, Penerbit UMM Press,

Malang, 2010, hlm. 173.
21

Universitas Sumatera Utara

19

karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan Undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. 22
2) Asas Konsensualisme (Kesepakatan)
Asas ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian

yang

dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat dan karenanya telah
melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut,
segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus,
meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Walau
demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitor (atau yang berkewajiban
untuk


memenuhi

prestasi)

diadakanlah

bentuk-bentuk

formalitas,

atau

dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. 23
Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Adanya kesepakatan oleh para pihak jelas melahirkan hak dan
kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah
bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
kontrak tersebut. 24
Asas konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian

konsensuil. Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil,
oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut ini kesepakatan saja belum
mengikat pada pihak yang berjanji.25 Sehingga mensyaratkan adanya penyerahan

22

Lukman Santoso, Op. Cit., hlm. 10.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 34.
24
Damang, Asas-Asas Perjanjian, http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asasperjanjian.html, di akses pada tanggal 30 Maret 2015.
25
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 36.
23

Universitas Sumatera Utara

20

atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang. Perjanjian
formil adalah perjanjian yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis atau akta

autentik dan akta di bawah tangan, sedangkan perjanjian riil yaitu perjanjian yang
dibuat dan dilaksanakan secara nyata atau kontan.
3) Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Kepastian Hukum)
Asas yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini menyatakan
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Artinya

masing-masing

pihak

dalam

perjanjian

tersebut

harus


menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Isi perjanjian yang mengikat
tersebut berlaku sebagai Undang-undang (Undang-undang dalam arti konkrit)
bagi mereka yang membuatnya. 26
Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka
pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui
mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.
4) Asas Itikad Baik
Ketentuan mengenai asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”.
Rumusan tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati
dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian

26

Komariah, Op. Cit., hlm. 174.

Universitas Sumatera Utara


21

harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat
perjanjian ditutup.
5) Asas Personalia (Kepribadian)
Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi
“Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan
tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya
akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 27
Sekalipun

demikian,

ketentuan

tersebut

terdapat


pengecualiannya

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan,
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengonstruksikan bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian atau kontrak untuk kepentingan pihak
ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.
Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada kewenangan bertindak dari
seorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Masalah kewenangan
bertindak seseorang sebagai individu dapat kita bedakan ke dalam :
a) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingannya sendiri. Dalam hal ini
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi
b) Sebagai wakil dari pihak tertentu, dapat dibedakan dalam :
1. Yang merupakan suatu badan hukum di mana orang perorangan tersebut
bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang
umtuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara

22

2. Yang merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya
dalam bentuk kekuasaan orang tua, wali dari anak di bawah umur, dan
kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit.
c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal
ini berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab XVI Buku III KUH Perdata,
mulai Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUH Perdata.28

B. Jenis-Jenis dan Syarat Terjadinya Perjanjian Menurut Hukum Perdata
B.1 Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu perjanjian yang obligatoir dan
perjanjian yang non-obligatoir.
1) Perjanjian Obligatoir yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan atau
mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.
Misalnya :
a) Pembeli wajib menyerahkan harga barang
b) Penjual wajib menyerahkan barang
c) Penyewa wajib menyerahkan uang sewa
d) Majikan harus membayar upah.
Menurut Komariah, perjanjian obligatoir ada beberapa macam, yaitu :
1. Dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian sepihak, ialah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada
satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.
Contoh : Perjanjian hibah, perjanjian pinjam pakai.
b. Perjanjian timbal balik, ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada
pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan
suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.
Contoh : Perjanjian pengangkutan
2. Dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian cuma-cuma, ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada
mendapatkan nikmat daripadanya. Contoh : Perjanjian hibah.

28

Ibid., hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

23

b. Perjanjian atas beban, ialah perjanjian yang mewajibkan masingmasing pihak memberikan prestasi (memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu). Contoh : Jual beli, sewa menyewa.
3. Dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian konsensuil, ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.
Contoh : Perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa
b. Perjanjian riil, ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan
perbuatan/tindakan nyata. Jadi dengan kata sepakat saja, perjanjian
tersebut belum mengikat kedua belah pihak.
Contoh : Perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai
c. Perjanjian formil, ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu,
jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka
perjanjian tersebut tidak sah.
Contoh : Jual beli tanah harus dengan akte PPAT dan pendirian
Perseroan Terbatas harus dengan Akte Notaris.
4. Dari segi penamaan, dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian bernama (nominaat), ialah perjanjian khusus yang diatur
dan disebutkan dalam KUH Perdata buku III Bab V s/d Bab XVII dan
dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Contoh: Perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam
pakai, asuransi, dan perjanjian pengangkutan.
b. Perjanjian tak bernama (innominaat), ialah perjanjian yang tidak diatur
dan tidak disebutkan dalam KUH Perdata maupan KUHD.
Contoh: Perjanjian waralaba (franchise) dan perjanjian sewa guna
usaha (leasing).
c. Perjanjian campuran, ialah perjanjian yang mengandung berbagai
unsur dari berbagai perjanjian.
Contoh: Perjanjian sewa beli (gabungan dari perjanjian sewa menyewa
dan jual beli). 29
Selain dilihat dari empat pembagian perjanjian tersebut, perjanjian juga
dapat dibedakan dari segi :
1. Dari segi hasil perjanjian, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende
overeenkomst), yaitu perjanjian di mana terdapat keuntungan yang
dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi
itu.
b. Perjanjian aleatoir seperti perjanjian asuransi atau perjanjian untunguntungan (kansovereenkomst), yaitu perjanjian dalam mana terhadap
suatu prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya
29

Komariah, Op. Cit., hlm. 170.

Universitas Sumatera Utara

24

2.

3.

4.

5.

suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu
tidak bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan
perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan
kemungkinan dipenuhinya syarat itu.
Dari segi pokok kelanjutan, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian principal (dalam perjanjian jual beli, ialah untuk
menyerahkan barang perjanjian jual beli).
b. Perjanjian accessoir, yaitu perjanjian untuk menjamin cacat
tersembunyi, perjanjian hipotik, perjanjian gadai, perjanjian
penanggungan (borgtocht); dan penyerahan hak millik atas
kepercayaan.
Dari urutan utama, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian primair, maksudnya perjanjian utama atau pokok.
b. Perjanjian secundair, maksudnya menggantikan perjanjian yang asli
(oorspronkelijk), apabila ini tak dipenuhi, umpama pembayaran ganti
kerugian.
Dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam:
a. Perjanjian yang lahir dari Undang-Undang.
b. Perjanjian yang lahir dari persetujuan.
Dari segi luas lingkungan, perjanjian dapat dibedakan dalam :
a. Perjanjian dalam arti sempit, ialah yang terjadi dengan kesepakatan
perjanjian.
b. Perjanjian dalam arti luas, ialah termasuk juga yang terjadi dengan
tanpa kesepakatan. 30

2) Perjanjian Non-obligatoir, yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan
seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu.
Perjanjian Non-Obligatoir ada beberapa macam, yaitu:
a. Zakelijk overeenkomst, ialah perjanjian yang menetapkan
dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Jadi
obyek perjanjian adalah hak.
Contoh : Balik nama hak atas tanah.
b. Bevifs overeenkomst atau procesrechtelijk overeenkomst, ialah
perjanjian untuk membuktikan sesuatu. Perjanjian ini umumnya
ditujukan pada hakim, tak terjadi perselisihan, supaya memakai alat
bukti yang menyimpang dari apa yang ditentukan oleh UndangUndang.
c. Liberatoir overeenkomst, ialah perjanjian dimana seseorang
membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.

30

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas
Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 207.

Universitas Sumatera Utara

25

Contoh: A berhutang kepada B sebanyak Rp 1.000.000,-. B
mengadakan perjanjian liberatoir liberatoir yakni mulai sekarang A
tidak usah membayar utang Rp 1.000.000,- tersebut.
d. Vaststelling overeenkomst, ialah perjanjian untuk mengakhiri keraguan
mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak.
Contoh: Dading yaitu perjanjian antara kedua belah pihak untuk
mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan. 31

B.2 Syarat Sah Terjadinya Perjanjian Menurut Hukum Perdata
Sebuah perjanjian yang baik semestinya memberikan rasa aman dan
menguntungkan masing-masing pihak. Agar sebuah perjanjian aman dan
menguntungkan bagi kedua belah pihak, ada beberapa hal yang wajib
diperhatikan sebelum menandatangani sebuah perjanjian, yaitu:
1. Memahami syarat-syarat pokok sahnya sebuah perjanjian;
2. Substansi pasal-pasal yang diatur di dalamnya jelas dan konkrit;
3. Mengikuti prosedur/tahapan dalam menyusun kontrak. 32
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 (empat) syarat seperti
yang ditegaskan oleh Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi :

1.
2.
3.
4.

“Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang halal.”
Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang digolongkan ke dalam :
1) Dua unsur pokok yang menyangkut subjek atau pihak yang mengadakan
perjanjian (unsur subjektif), dan
2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek
perjanjian (unsur objektif).
31
32

Komariah, Op. Cit, hlm. 170.
Lukman Santoso, Op. Cit., hlm. 26.

Universitas Sumatera Utara

26

Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan
yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa
prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum. 33
Tidak terpenuhinya salah satu syarat tersebut menyebabkan cacat dalam
perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk
dapat dibatalkan (pelanggaran terhadap unsur subjektif) maupun batal demi
hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif).
1. Syarat Kesepakatan
Syarat mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara
bebas atau dengan kebebasan.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan
siapa yang harus melaksanakan. 34
Suatu perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan bersepakat,
apabila menganut salah satu dari tiga unsur ini:
a. Unsur paksaan (dwang);
b. Unsur kekeliruan (dwaling);
c. Unsur penipuan (bedrog).35
2. Syarat Kecakapan (cakap hukum)
33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 94.
Ibid., hlm. 95.
35
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Op. Cit., hlm 224.
34

Universitas Sumatera Utara

27

Adanya kecakapan untuk berbuat merupakan syarat kedua sahnya
perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah
kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara
prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang
melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak
juga tidak dapat dilupakan. 36
Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan ini diatur dalam Pasal 1329
KUH Perdata sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata.
Seseorang dikatakan cakap hukum apabila seorang laki-laki atau wanita
telah berumur minimal 21 (dua puluh satu) tahun, atau bagi seorang laki-laki
apabila belum berumur 21 tahun telah melangsungkan pernikahan.
Sebagai lawan dari cakap hukum (syarat kecakapan) ialah tidak cakap
hukum dan hal ini diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang menyatakan:
“Tak cakap untuk membuat perjanian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”
3. Syarat Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu merupakan syarat ketiga dalam sahnya suatu perjanjian
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyangkut objek hukum atau
mengenai bendanya.

36

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 127.

Universitas Sumatera Utara

28

Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan
di dalam perjanjian mengenai:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Jenis barang
Kualitas dan mutu barang
Buatan pabrik dan dari negara mana
Buatan tahun berapa
Warna barang
Ciri khusus barang tersebut
Jumlah barang
Uraian lebih lanjut mengenai barang itu. 37

KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu melalui Pasal 1333 KUH
Perdata, yang menyatakan :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah
itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

4. Syarat Suatu Sebab yang Halal
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata sampai Pasal
1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan :
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dijelaskan bahwa yang disebut dengan
sebab yang halal adalah :
1) Bukan tanpa sebab;
2) Bukan sebab yang palsu;
3) Bukan sebab yang terlarang. 38

Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah:
a) Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai
negara;
37
38

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Op. Cit., hlm. 227.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 161.

Universitas Sumatera Utara

29

b) Barang-barang yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya narkotika;
c) Warisan yang belum terbuka.39

C. Pengertian Pengangkutan dan Perjanjian Pengangkutan
C.1 Pengertian Pengangkutan
Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan
manusia yang modern senantiasa didukung oleh pengangkutan. Bahkan salah satu
barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah
kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan
masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.40
Pengangkutan mempunyai peranan yang sangat luas dan penting untuk
pembangunan ekonomi bangsa. Dapat dilakukan melalui udara, laut, dan darat
untuk mengangkut orang dan barang. 41
Istilah pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut
dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan sebagai
pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang).42
Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan
pengirim, dimana pemgangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu

39

Komariah, Op. Cit., hlm. 176.
Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 3.
41
Sinta Uli, Pengangkutan: Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan
Laut, Angkutan Darat & Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, hlm. 1.
42
Hasim Purba, Op. Cit.
40

Universitas Sumatera Utara

30

dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang
angkutan.43
Menurut pendapat R. Soekardono, pengangkutan pada pokoknya berisikan
perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang,
karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat
serta efisiensi. Adapun proses dari pengangkutan itu merupakan gerakan dari
tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana
angkutan itu diakhiri. 44
Pengertian lain dari pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan
atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat,
angkutan perairan, maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. 45
Konsep pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu :
1. Pengangkutan sebagai usaha (business);
2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement);
3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).
Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir
dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Ketiga aspek tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pengangkutan sebagai Usaha (business)
Pengakutan sebagai usaha (business) adalah kegiatan usaha di bidang jasa
pengangkutan yang menggunakan alat pengangkut mekanik. Alat
pengangkut mekanik contohnya adalah gerbong untuk mengangkut barang,
kereta untuk mengangkut penumpang, truk untuk mengangkut barang, bus
untuk mengangkut penumpang, pesawat cargo untuk mengangkut barang,
pesawat penumpang untuk mengangkut penumpang, kapal kargo untuk
43

H.M.N Purwosutjipto, Op. Cit, hlm. 2.
Hukum Pengangkutan, http://manfiroceanscienceoflaw.blogspot.com/2012/01/hukumpengangkutan.html , diakses pada tanggal 03 April 2015.
45
Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 4.
44

Universitas Sumatera Utara

31

mengangkut barang, dan kapal penumpang untuk mengangkut penumpang.
Kegiatan usaha tersebut selalu berbentuk perusahaan perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum. Karena menjalankan perusahaan, usaha
jasa pengangkutan bertujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.
2. Pengangkutan sebagai Perjanjian (Agreement)
Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara
pihak pengangkut dan piahk penumpang atau pengirim. Kesepakatan
tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak pengangkut dan
penumpang atau pengirim.
3. Pengangkutan sebagai Proses Penerapan (Applying Process)
Pengangkutan sebagai proses terdiri atas serangkaian perbuatan mulai dari
pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa oleh pengangkut
menuju ke tempat tujuan yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau
penurunan di tempat tujuan. 46

Pengangkutan dapat dibedakan sesuai dengan jenisnya, yaitu:
1) Pengangkutan darat
2) Pengangkutan laut
3) Pengangkutan udara
4) Pengangkutan perairan darat

C.2 Pengertian Perjanjian Pengangkutan
Sebelum menyelenggarakan pengangkutan terlebih dahulu harus ada
perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan penumpang/pemilik barang.
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dimana pemgangkut mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu
tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik
barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. 47
46
47

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm.1.
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 41.

Universitas Sumatera Utara

32

Perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam
arti luas, yaitu kegiatan memuat, membawa dan menurunkan atau membongkar,
kecuali jika dalam perjanjian ditentukan lain.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui pihak-pihak yang terkait
dalam proses angkutan, yaitu:
1) Pengangkut
Untuk angkutan darat pihak pengangkut terdiri atas perusahaan Oto Bis
dan Perusahaan Kereta Api (PT. Kereta Api). Untuk perusahaan angkutan
Oto Bis dapat dilakukan oleh BUMN/BUMD, badan usaha milik swasta
nasional, koperasi atau perorangan.
2) Pengirim Barang
Pengirim barang bisa saja bukan sebagai pemilik barang tersebut, tetapi
dia diberikan kuasa untuk melakukan pengiriman barang ke tempat tujuan
sesuai dengan perjanjian pengangkutan. 48

Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara
pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut
pada dasarnya berisi kewajiban dan hak pengangkut dan penumpang atau
pengirim. Kewajiban pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang
sejak di tempat pemberangkatan sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati
dengan selamat. Sebagai imbalan, pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang
jasa atau uang sewa yang disebut biaya pengangkutan. Sedangkan kewajiban
penumpang atau pengirim adalah membayar sejumlah uang sebagai biaya
pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan sampai di tempat tujuan
dengan selamat. 49
Esensi dari perjanjian pengangkutan adalah adanya hubungan hukum
secara timbal balik antara pengangkut (penyedia jasa angkutan) dengan
48
49

Sinta Uli, Op. Cit., hlm 59.
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

33

penumpang dan/atau pengirim barang (pengguna jasa angkutan) dimana masingmasing pihak mempunyai kewajiban dan hak. 50
Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis),
tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan
berfungsi sebagai bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib
dilaksanakan oleh pihak-pihak. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut
surat muatan, sedangkan dokumen pengangkutan penumpang lazim disebut karcis
penumpang. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut
perjanjian carter (charter party), seperti carter pesawat udara untuk mengangkut
jemaah haji ataupun carter kapal untuk mengangkut barang dagangan. 51
Alasan para pihak menginginkan agar perjanjian pengangkutan dibuat
secara tertulis, ialah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Kedua pihak ingin memperoleh kepastian mengenai kewajiban dan hak.
Kejelasan perincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko pihak-pihak.
Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian.
Kepastian mengenai kapan, dimana, dan alasan apa perjanjian berakhir.
Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud
yang dikehendaki pihak-pihak.52

D. Fungsi dan Sifat Perjanjian Pengangkutan
D.1 Fungsi Pengangkutan
Fungsi pengangkutan merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat. Pada dasarnya, fungsi pengangkutan ialah memindahkan
barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk

50

Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 100.
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.
52
Ibid., hlm. 3.

51

Universitas Sumatera Utara

34

meningkatkan daya guna dan nilai. Meningkatnya daya guna dan nilai merupakan
tujuan dari pengangkutan.
Sasaran fungsi pengangkutan itu adalah dengan dilakukannya kegiatan
pengangkutan itu maka barang atau benda yang diangkut itu akan meningkat daya
guna maupun nilai ekonomisnya. 53
Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain yang
diselenggarakan dengan pengangkutan

tersebut harus dilakukan dengan

memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus
diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, serta tidak ada perubahan bentuk
tempat dan waktunya.
Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan
mempunyai dua nilai kegunaan, yaitu :
a. Kegunaan Tempat (Place Utility)
Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari suatu
tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang bermanfaat, ketempat lain
yang menyebabkan barang tadi menjadi lebih bermanfaat.
b. Kegunaan Waktu (Time Utility)
Dengan adanya pengangkutan berarti dapat dimungkinkan terjadinya suatu
perpindahan suatu barang dari suatu tempat ketempat lain dimana barang
itu lebih diperlukan tepat pada waktunya. 54

Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba
di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang
ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan
dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan,
sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang
53

Hasim Purba, Op. Cit., hlm. 5.
Arga Wahyu, Hukum Pengangkutan, http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukumpengangkutan.html, di akses pada tanggal 04 April 2015.
54

Universitas Sumatera Utara

35

dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit,
atau meninggal dunia. Jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang
diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan.
Meningkatkan nilai guna artinya sumber daya manuia dan barang di tempat tujuan
menjadi lebih tinggi bagi kepentingan manusia dan pelaksanaan pembangunan. 55

D.2 Sifat Perjanjian Pengangkutan
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengirim
dan pengangkut sama tinggi dan dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan
tersebut, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus menerus,
tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk
mengirim barang.
Hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut yang tidak terus
menerus melainkan hanya kadang kala ini disebut dengan “pelayanan berkala”.
Pelayanan berkala disinggung dalam Pasal 1601 KUH Perdata, dikatakan
disinggung karena tidak ada pengaturan selanjutnya mengenai pelayanan berkala.
Karena perjanjian berkala ini tidak diatur lagi secara terperinci dan karena
perjanjian pengangkutan mempunyai sifat rangkap, seperti unsur pemborongan
(aanneming van werk), unsur penyimpanan (bewaargeving), dan unsur lainnya,
maka terdapat beberapa pendapat mengenai sifat perjanjian pengangkutan.
Terdapat beberapa sifat perjanjian pengangkutan, seperti :
1. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala;
2. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan;
55

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm 15.

Universitas Sumatera Utara

36

3. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.
Penjelasan mengenai sifat perjanjian pengangkutan tersebut ialah sebagai
berikut :
1. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala
Dalam sifat pelayanan berkala ini, hubungan kerja antara pengirim dan
pengangkut tidak terus menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim
membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan ini
disebut “pelayanan berkala”, sebab pelayanan itu tidak bersifat tetap,
hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan.56
Perjanjian yang bersifat “pelayanan berkala” ini disinggung dalam Pasal
1601 KUH Perdata. Dikatakan disinggung karena pengaturan selanjutnya
mengenai perjanjian berkala itu tidak ada.
Pasal 1601 KUH Perdata menyatakan :
“Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa yang
diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syaratsyarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka
adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan
menerima upah: perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.”
2. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan
Pendapat yang menyatakan sifat perjanjian pengangkutan adalah
pemborongan mendasarkan diri atas Pasal 1617 KUH Perdata, yang
merupakan pasal penutup dari Bab VII A tentang pekerjaan pemborongan.
Pasal 1617 KUH Perdata ini berbunyi :
“Hak-hak dan kewajiban-kewajiban juru-juru pengangkut dan nakhkodanakhkoda diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.”
56

H.M.N. Purwosutjipto, Op. Cit., hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

37

Perjanjian pengangkutan harus mempunyai sifat sebagai perjanjian
pemborongan seperti yang ditentukan dalam Pasal 1601 (b) KUH Perdata
yang menentukan:
“Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu,
si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan
bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga
yang ditentukan.”
Dengan demikian, berarti perjanjian pengangkutan tersebut dilakukan
karena adanya salah satu pihak, yaitu pengangkut, yang mengikatkan diri
untuk melakukan kegiatan pengangkutan dengan menerima suatu bayaran
sebagai harga yang telah ditentukan dari pihak lain sebagai penumpang
dan/atau pengirim.
3. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.
Perjanjian campuran yaitu perjanjian melakukan pekerjaan (pelayanan
berkala) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Pengangkutan
memiliki unsur melakukan pekerjaan (pelayaan berkala) dan unsur
penyimpanan, karena pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan
pengangkutan dan menyimpan barang-barang yang diserahkan kepadanya
untuk diangkut (Pasal 466 dan Pasal 468 ayat (1) KUH Dagang). 57
Purwosutjipto

setuju

apabila

perjanjian

pengangkutan

merupakan

perjanjian campuran, karena mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1) Pelayanan berkala (Pasal 1601 (b) KUH Perdata). Karena pasal ini adalah
satu-satunya pasal yang khusus mengenai pelayanan berkala, yang berarti
tidak ada pasal lain yang dapat menolak adanya unsur lain yang ada pada
perjanjian pengangkutan.

57

Ibid., hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara

38

2) Unsur penyimpanan (bewaargeving), terbukti adanya ketetapan dalam
Pasal 468 ayat (1) KUHD yang berbunyi “Perjanjian pengangkutan
mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang
diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang
tersebut.” Juga dalam Pasal 346 KUH Dagang.
3) Unsur pemberian kuasa (lastgeving). Terbukti dengan adanya ketetapan
dalam Pasal 371 KUHD. Pasal 371 ayat (1) KUHD berbunyi “Nakhoda
diwajibkan selama perjalanan menjaga kepentingan para pemilik muatan,
mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk itu dan jika perlu
untuk itu menghadap di muka Hakim.” Ayat (3) berbunyi “Dalam keadaan
yang mendesak ia diperbolehkan menjual barang muatan atau sebagian
dari itu, atau guna membiayai pengeluaran-pengeluaran yang telah
dilakukan guna kepentingan muatan tersebut, meminjam uang dengan
mempertaruhkan muatan itu sebagai jaminan.” 58
Menurut sistem hukum Indonesia, perjanjian pengangkutan juga bersifat
konsensuil artinya pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus
tertulis, cukup dengan lisan asal ada persetujuan kehendak para pihak
(konsensus).

58

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Pengaruh Penambahan Larutan Zat Kapur Terhadap Kenaikan pH Pada Air Pengolahan PDAM Tirtanadi IPA Sunggal

0 0 16

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai

0 3 11

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pengeringan - Rancang Bangun Kompresor Dan Pipa Kapiler Untuk Mesin Pengering Pakaian Sistem Pompa Kalor Dengan Daya 1PK

0 1 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Rasio Keuangan - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan dan Perilaku - Pengetahuan Dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Kecamatan Medan Selayang Periode Januari-Februari 2014

0 0 23

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 18