Industrialisasi Bahasa Inggris di Kampun

Industrialisasi “Bahasa Inggris”
di Kampung Inggris

Zakiyah Derajat – 12/338681/PMU/07370

[Untuk mata kuliah Industri Budaya –
Jurusan Kajian Budaya Media Sekolah
Pascasarjana UGM)]

Industrialisasi “Bahasa Inggris” di Kampung Inggris

Pengantar
Kampung Inggris merupakan sebuah kampung di mana kursus-kursus informal
atas Bahasa Inggris menjamur. Ada beberapa kursus bahasa asing lainnya, namun hanya
satu dua, yang kalah pamor dengan ratusan lembaga yang menawarkan program Bahasa
Inggris. Kampung ini terletak di desa Tulungrejo dan Palem di sebuah kota kecil bernama
Pare1 yang termasuk dalam kawasan Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ribuan orang dari
berbagai penjuru negeri datang dan pergi ke dan dari kampung ini di setiap tahunnya.
Kisaran umurnya beragam. Ketika liburan sekolah, jelas mereka yang masih duduk di
bangku sekolah yang mendominasi – jumlahnya membludak, sedang mereka yang nonsiswa juga tak ingin ketinggalan. Dari kalangan yang terakhir inilah Kampung Inggris tak
pernah sesenyap kampung biasanya. Mereka terdiri atas mahasiswa yang mayoritas dari

mereka datang ketika liburan atau sedang menunggu wisuda, kemudian fresh graduate
yang sembari menunggu nasib berikutnya memilih untuk belajar Bahasa Inggris, dan
kalangan umum dengan pamrih hanya ingin belajar atau yang mudah dijumpai: untuk
mencari kerja. 2
Kaitannya adalah karena Bahasa Inggris merupakan bahasa yang begitu spesial di
negara kita. Bila didekati dengan teori Poskolonial, kita sebagai bangsa yang pernah
dijajah sungguh pun masih menyimpan hasrat memuja pada Barat, sehingga apa-apa yang
berbau Barat menjadi hal yang “wah” untuk kita, walaupun kita sendiri membenci benar
penjajahan beberapa tahun silam. Rasa benci-benci tapi rindu ini masih bersemayam
dalam setiap nafas kehidupan bangsa kita, sehingga tak mudah melepaskan jerat
kemenghambaan yang sudah (lekat) mendarah-daging.3 Tak heran jika kita begitu
bernafsu ingin menguasai Bahasa Inggris. Globalisasi datang membawa gaya hidup baru
di mana dunia serta-merta menjadi sangat sempit. Manusia dituntut untuk dapat
berkomunikasi dengan manusia lain yang berada di ujung negara lain. Bisnis tak akan
berjalan tanpa penguasaan bahasa-bahasa asing. Bahasa Inggris yang dinilai universal,
1

Pare merupakan tempat di mana penelitian Arkeolog Harvard Clifford Geertz yang meneliti tentang
agama di Jawa. Ia menyebut Pare dengan nama Modjokuto dalam bukunya “Religion of Java”.
2

Hal ini diperoleh dari pengalaman langsung Penulis dalam periode Januari-Juli 2012 sebagai pengajar di
salah satu lembaga, dan Juli-Agustus 2012 murni sebagai penikmat yang sehari-harinya menganggur dan
menikmati suasana kampung ini. Dalam kegiatannya di Kampung Inggris, penulis melakukan beberapa
diskusi dengan berbagai kalangan seperti dengan pemilik lembaga, murid, sesama pengajar, dan masyarakat
setempat.
3
Hal ini disebut ambivalensi oleh Leela Gandhi. Lihat Leela Gandhi, Teori Poskolonial Upaya
Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2006 – hlm. 6-7.

kemudian merajai. Menjadi bintang yang gemilang. Perusahaan-perusahaan besar
mewajibkan pekerjanya untuk menguasai bermacam bahasa – terutama Bahasa Inggris.
Bagi mereka yang ingin segera melakukan mobilitas vertikal, penguasaan Bahasa Inggris
adalah modal utama. Mereka yang belum menguasainya kemudian berbondong-bondong,
berlomba-lomba kecepatan untuk segera menyukainya, lalu dapat menggunakannya, dan
dengan segera menaikkan kelasnya.4
Tak heran, Kampung Inggris lalu menjadi tempat menggiurkan bagi mereka yang
haus penguasaan atas bahasa ini. Harga yang murah, termasuk di dalamnya biaya hidup
dan biaya kursus, juga merupakan alasan utama mengapa berjibun kalangan hadir di sana.
Kampung yang mulanya berwajah agraris, saat ini menjadi berwajah akademis yang lalu
bila dilihat lebih dekat ternyata wajah-wajah kapitalis (mulai) mendominasi. Banyaknya

kebutuhan lalu dijadikan komoditas. Pendidikan – dalam hal ini Bahasa Inggris
dikomodifikasi sedemikian rupa.5 Komodifikasi ini kemudian memunculkan multiplikasi
atas komodifikasi lain yang membuat Kampung Inggris Pare sarat dengan industri
kreatif.6 Untuk keberlangsungannya, tentu berbagai bentuk praktik kreatif terjadi di
dalamnya. Artikel ini akan menjelaskan bentuk-bentuk praktik kreatif dalam komodifikasi
sebuah kata bernama “Bahasa Inggris” di Kampung Inggris.

Sejarah Kampung Inggris
Kompleks ini tidak serta-merta hadir dengan berjibun lembaga kursus Bahasa
Inggrisnya. Adalah seorang santri bernama Kalend Osen yang pada tahun 1976 keluar
dari Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, karena alasan biaya. Santri Kalend
yang berasal dari Kutai Kertanegara ini saat itu duduk di kelas lima. Karena juga tak
memiliki biaya untuk pulang, atas informasi dari temannya ia kemudian berguru pada
KH. Ahmad Yazid di Pare yang menguasai delapan bahasa asing. Tinggallah Kalend
muda ini di Pesantren Darul Falah, Dusun Singgahan, milik Ustad Yazid.
Ketika sudah beberapa waktu belajar, Kalend diminta untuk mengajari dua
mahasiswa IAIN Surabaya yang akan menghadapi ujian Bahasa Inggris di kampusnya.
4

Dalam pengalaman mengajar Bahasa Inggris, kendala utama yang dihadapi oleh teman-teman yang

sedang belajar adalah ketidaksukaan mereka atas Bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang tidak dengan benar
dikenalkan di Sekolah Dasar membuat mereka jengah dan enggan untuk belajar bahasa ini sejak dini.
Walhasil, banyak dari mereka yang sudah dewasa dalam umur, namun nol dalam berbahasa Inggris.
5
Ini merupakan bukti bahwa komodifikasi di era globalisasi terjadi dalam (hampir) semua hal termasuk di
dalamnya pendidikan.
6
Sederhananya Bahasa Inggris sebagai hal yang di awal ditawarkan juga merupakan industri kreatif dengan
menjamur dan muncul-nya lembaga-lembaga kursus Bahasa Inggris yang baru yang lalu memunculkan
industri-industri kreatif yang lain, dan yang lain memunculkan yang lain, begitu seterusnya.

Dalam waktu kilat, yaitu 5 hari saja, Kalend berhasil mengajarkan

apa-apa yang

dibutuhkan dua mahasiswa tersebut lewat soal yang mereka bawa. Sebulan kemudian,
dua mahasiswa tersebut memberi kabar bahwa mereka lulus ujian. Desas-desus
keberhasilan dua mahasiswa ini kemudian menyebar ke mahasiswa (dan kalangan)
lainnya. Promosi dari mulut ke mulut pun akhirnya mengantarkan Kalend untuk
membentuk BEC (Basic English Course) pada 1977. Tahun 1990-an, Kalend mendorong

murid-muridnya yang sudah lulus untuk mendirikan lembaga kursus yang lain. Ia
melakukannya karena jumlah murid yang tak tertampung sedemikian membludaknya.
Pada akhirnya, lembaga kursus yang pada awalnya berjumlah satu saja, yaitu BEC,
menelurkan banyak sekali lembaga kursus. Hingga saat ini BEC masih berdiri dengan
eksistensi luar biasa. Tetua lembaga kursus di Kampung Inggris ini bahkan telah genap
meluluskan 18.000 siswa dari berbagai penjuru Nusantara di tahun 2011. Darinya, wajah
Pare saat ini diramaikan oleh 114 lembaga kursus Bahasa Inggris.7 Dari satu buah,
menjadi 114 buah. Dari sebuah kampung yang sepi, menjadi kampung yang sarat
komodifikasi yang menjadi rujukan untuk meraih sebuah identitas modernitas.

Komodifikasi “Bahasa Inggris”
Bila merujuk dari sejarah Kampung Inggris, BEC berperan sangat penting sebagai
lembaga yang menjadi ibu bagi lembaga kursus yang lain. Lulusan BEC menelurkan
siswa yang lalu membuka lembaganya sendiri. Ada beberapa “telur” awal yang saat ini
membesar dan populer di kampung ini.8 Telur-telur ini di antaranya turut serta melahirkan
generasi-generasi lembaga baru. Misalnya satu siswa yang telah belajar di berbagai
lembaga (termasuk misal telah menamatkan kursusnya di BEC) dalam kurun waktu
tertentu (misal 18 bulan), lau berinisiatif membuka lembaga barunya sendiri. Atau
misalnya satu murid dari sebuah “telur awal” kemudian membuka langsung lembaganya
tanpa belajar di sana sini terlebih dahulu (lingkaran berwarna merah). Bagan di bawah ini

merupakan simplifikasi dari menjamurnya lembaga kursus di Kampung Inggris.9

7

http://regional.kompas.com/read/2012/05/13/1701100/Inilah.Awal.Mula.Berdirinya.Kampung.Inggris
diakses tanggal 1 November 2012.
8
Telur-telur tersebut di antaranya adalah lembaga kursus bernama Mahesa Institute yang beberapa
pendirinya kemudian meninggalkannya lalu membuka lembaga sendiri: ELFAST, SMART, dan Kresna. 4
lembaga ini sangat populer di Pare. Masih banyak lembaga lain yang merupakan “telur awal”, seperti
EECC, Daffodil, dsb. Penyebutan nama nama lembaga ini tidak dimaksudkan untuk menambah
kepopuleran mereka. Penulis hanya ingin menginformasikan bahwa rujukan para calon siswa biasanya
berdasarkan kepopuleran suatu lembaga.
9
Bagan ini tidak dimaksudkan untuk mengeneralisasi. Penulis hanya ingin memberi gambaran untuk
memudahkan pembacaan alur “kaderisasi” lembaga kursus di Kampung Inggris. Lingkaran berwarna abu-

Keunikan yang perlu dicatat
tatat adalah bahwa merebaknya lembaga-lembag
aga baru tidak

serta-merta mematikan dan mengecilkan
m
BEC. BEC tetap menjadi bintang di Pare.

Gambar 1. Bagan simplifika
ikasi proses menjamurnya lembaga kursus di Kam
mpung Inggris

Lembaga kursus yang
ng terdapat dalam Kampung Inggris dapat dimas
asukkan dalam
sistem pendidikan informall yang
y
kegiatan belajar mengajarnya dilakukan se
secara mandiri
oleh penyelenggaranya, atau
tau dengan kata lain tidak mengikutsertakan apa
aparatus negara
dalam kegiatannya.10 Pendi
ndidikan formal sendiri sudah dinilai banyak

ak melakukan
komodifikasi sehingga tidak
ak dapat dinilai netral lagi sebagai bagian da
dari rangkaian
mensejahterakan negara. Ban
anyaknya iklan yang masuk di dalam misalnyaa kkantin sebuah
sekolah merupakan salah satu
s
ketidaknetralan yang kasat mata sistem
em pendidikan
formal.11 Ketika pendidikan
n formal yang notabene dijalankan oleh negara
ra sudah begitu
tidak netral, tidak heran jikaa jenis
j
pendidikan lainnya dapat secara gamblang
ng menyatakan
awa
bertujuan murni untuk pendidikan, kali
li in

ini didasarkan
niat bisnis mereka.12 Yang awalnya
atas uang, didasarkan tentang
ng bagaimana meraup untung sebanyak-banyaknya
nya.
abu tidak digambarkan memilikii panah
pa
karena mereka adalah lembaga yang hybrid, yang pe
pemiliknya sudah
mengenyam pendidikan di lembaga
ga A, B, C, BEC, atau turunan-turunan dari mereka.
10
lihat UU Sisdiknas No. 20 Tahun
un 2003 bab enam tentang pendidikan informal.
11
Michael J. Sandel dalam artike
tikelnya “What Isn’t for Sale” menyebutkan: “Considerr to
too the reach of
commercial advertising into public
lic schools, from buses to corridors to cafeterias…” untukk m

menggambarkan
/04/what-isnt-forbahwa pendidikan pun dijual.
jual. http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2012/0
sale/308902/ yang diakses tanggal
al 31
3 Oktober 2012.
12
pemikiran ini berdasar pada nega
egara sebagai pemegang utama kekuasaan di Indonesia yan
ang artinya segala
aturan dikuasai oleh penyelenggar
gara negara (atas dasar rakyat). Pada kenyataannya nega
egara tidak netral

Fenomena bisnis ini pun merebak di pendidikan di Kampung Inggris Pare. BEC
sebagai awal mula kehidupan ke-Inggris-an di Pare kemudian melahirkan generasigenerasi baru. Nafas awalnya adalah mengajarkan Bahasa Inggris, namun lama kelamaan
prosesnya menjadi begitu berbau keuntungan. Kebanyakan lembaga dengan jargonjargonnya masing-masing berusaha sekuat tenaga untuk menarik sebanyak mungkin
siswa. Ada beberapa yang masih bertahan dengan titah “mengajarkan Bahasa Inggris”,
namun banyak sekali di antaranya meluntur jatuh ke dalam kubangan bisnis.
Spesialisasi-spesialisasi yang ditawarkan berbagai lembaga dapat dihimpun dalam

rangkaian: Speaking – Grammar – Pronunciation – Vocabulary.13 Beberapa dari mereka
hanya menawarkan program Speaking dan Pronunciation saja, beberapa semuanya,
namun yang biasanya “menabiatkan” dirinya sebagai lembaga yang unggul di
Grammar14, tak serta-merta berarti tidak memiliki program Speaking. Fenomena ini dapat
dilihat dari lembaga tempat penulis dahulu mengajar, misalnya.15 Sebelum tahun 2010, di
lembaga ini belum terdapat program Speaking, hanya ada Grammar yang termasuk di
dalamnya aplikasi dari grammar seperti program TOEFL, Writing, dan Translation. Lalu
karena berbagai alasan di antaranya alasan “permintaan dari berbagai pihak”, maka
pemilik lembaga memutuskan untuk megadakan program Speaking dengan berbagai
variasi. Di awal pembentukan program ini, hanya ada Speaking level 1, level 2 dan level
3. Dalam beberapa bulan pembentukannya, namanya kemudian diubah menjadi
Elementary Speaking, Confidence Speaking, dan Dynamic Speaking. Lalu pada
penghujung tahun 2010, dibuat satu lagi program bernama Grammar Speaking yang
levelnya terletak di antara Confidence Speaking dan Dynamic Speaking. Beberapa bulan
berikutnya lahir program Pro-Communication.16 Dari 3 jenis program Speaking, lembaga
ini kemudian mengembangkannya menjadi 12 jenis yang saat ini program besarnya
bernama Speaking and Pronunciation, terdiri atas program Elementary, The Second-One,

terhadap kapitalisme, sehingga kebijakan tentang bisnis pendidikan sangatlah longgar. Bila negara
melanggengkan saja jalan lembaga-lembaga kapitalis, dapat diartikan bahwa negara tidak melindungi
rakyat dari cengkeraman kapitalisme. Namun paper ini tidak akan membahas detail masalah ini.
13
Ini sesuai dengan thesis milik Hokheimer dan Ardorno dalam The Culture Industry: Enlightenment as
Mass Deception yang titik intinya adalah komodifikasi budaya dan standarisasi yang dilakukan
industrialisasi.
14
Popularitas-lah yang membuat mereka dapat “menabiatkan” diri mereka, yaitu dilihat dari: jumlah siswa
dan testimoni dari lulusan.
15
Penulis pernah mengajar di ELFAST English Course. Banyak testimoni “baik” yang didapat dari lulusan
ELFAST sehingga ELFAST tak pernah sepi siswa walau di bulan sepi. Informasi ini penulis dapat dari
pemilik ELFAST: Bapak Andrian Dwi Irijawanto, atau yang akrab dipanggil Mr. Andre.
16
Informasi ini didapat dari hasil diskusi dengan salah satu ex-pengajar ELFAST yang mengajar dari tahun
2010 hingga Juli 2012.

Confidence, English Corner, Grammar Speaking, Level Up, Dynamic Speaking, Job
Interview , The 3W.Com dan Pro COM, Pronunciation 1, Pronunciation 2.17
Pemaparan singkat tentang program Speaking di salah satu lembaga di atas hanya
merupakan contoh kecil. Fenomena ini sering terjadi di sebagian besar lembaga kursus di
Kampung Inggris.

Keterbukaan dalam Praktik-Praktik Kreatif di Kampung Inggris
Brad Haseman dalam buku Creative Industry mengungkapkan bahwa inovasi
sangat dibutuhkan dalam industri kreatif. Inovasi-inovasi ini dilakukan dalam satuan
praktik-praktik kreatif. Kecepatan inovasi kemudian menjadi sangat penting dalam dunia
yang kompetitif (merujuk pada pasar). Tak hanya itu, dalam praktik-praktik kreatif,
pengguna pun akhirnya menjadi peneliti, yang kemudian menjadi inovator. Hal ini
mengacu pada konsep keterbukaan yang menjadi prasyarat wajib bagi praktik-praktik
kreatif.

“Creative practices which deploy ‘‘the user as researcher’’ are particularly
appropriate in an age where the speed of innovation is seen as a key source
of competitive advantage.” (Hartley, 2005: 167)

Keterbukaan yang dimaksudkan adalah bahwa pengguna/user, atau bila dalam
konteks Kampung Inggris adalah siswa dapat juga menjadi inovator. Sebagian besar
lembaga kursus di Kampung Inggris memiliki inovasi yang serba cepat dan untuk
kecepatan inovasi tersebut, kunci utama yang dipegang adalah keterbukaan.
Keterbukaan yang pertama adalah keterbukaan ke luar yang dapat ditemui pada
kasus menjamurnya lembaga-lembaga kursus Bahasa Inggris. Pak Kalend yang menyuruh
murid-muridnya untuk membuka lembaga kursus baru merupakan cikal bakal sifat
keterbukaan ke luar yang dimiliki kampung ini. Pak Kalend bukannya menahan dan
menjadikan BEC sebagai imperium, namun dibiarkannya sosok-sosok lain untuk
meneruskan dengan cara mereka masing-masing. Maka bermunculan-lah BEC-BEC yang
lain, dengan sifat dan karakter masing-masing. Tidak ada yang mewajibkan untuk satu
17

Di bulan Januari 2012, program Speaking yang ada adalah: Elementary, Confidence, English Corner,
Grammar Speaking, Dynamic Speaking, Pro COM, dan Job interview. Menyongsong bulan Mei 2012,
lembaga lewat manager Speaking-nya segera menyelesaikan proposal program baru karena bulan Mei
adalah bulan “sibuk”, awal peak season di mana liburan sekolah sudah dapat diendus. Informasi program
terkini didapat di halaman web ELFAST: http://elfast-pare.com/speaking-and-pronunciation/ yang diakses
tanggal 2 November 2012.

kursus memiliki kurikulum tertentu. Pendiri (dan biasanya pemilik) bebas menginovasi
lembaganya masing-masing. Yang terjadi kemudian adalah ketatnya persaingan yang
menuntut setiap lembaga untuk terus dan terus menjadi kreatif dan meneruskan konsep
keterbukaan yang sudah ada sejak mula-mula.
Keterbukaan yang kedua adalah keterbukaan ke dalam. Lembaga-lembaga yang
ada tidak akan segan-segan untuk merekrut murid yang dinilai sudah “lumayan” atau
“pintar” dalam berkemampuan Bahasa Inggris (misal dalam grammar, speaking, dll.). Ini
merupakan fenomena yang mudah ditemui di Kampung Inggris, di mana usia tutor tidak
jauh berbeda dengan usia muridnya. Hasilnya, banyak sekali siswa menjadi pengajar
dadakan. Mungkin terkesan sedikit memaksa, namun kesegaran yang dibawa para
pengajar “rekrutan” ini cukup membantu kampung Inggris dalam eksistensinya. “Orang
baru” dinilai lembaga memiliki inovasi baru yang akan menyegarkan lingkungan
pendidikan lembaga tersebut. Maka “pengajar baru” ini merupakan aset yang mahal (yang
ironisnya dibayar murah). Pengajar baru berarti inovasi, juga berarti mendapat banyak
siswa, yang artinya pemasukan bertambah dengan linieritas sama, namun pengeluaran
berkurang secara tidak linier, karena tutor baru mendapat gaji yang lebih rendah daripada
tutor yang sudah lama mengajar. Keterbukaan ke dalam berarti memperbaiki lembaga dan
menguntungkan lembaga.

Gabungan Kreativitas di Kampung Inggris
Salah satu hal yang mendasari praktik-praktik kreatif di Kampung Inggris juga
adalah bagaimana kreatifitas-kreatifitas disatukan untuk membulatkan praktik-praktik
kreatif sehingga sebuah lembaga tetap kokoh dan tetap bertahan. Setiap lembaga ingin
tetap hidup dan membuat infinite game masing-masing untuk meraih tujuan tersebut.18
Permainan yang terus berlanjut itu mereka ungkapkan dengan praktik-praktik
kreatif yang berkesinambungan di setiap level kegiatan. Interaksi-interaksi yang positif
dibangun di antaranya. Kegiatannya besarnya dapat dirangkum dalam: development,
administration, promotion, production of service.19

18

Lihat Luigi Maramotti. Connecting Creativity. Dalam John Hartley (ed.). Creative Industry. Blackwell.
UK: 2005 – hlm. 206-207.

19
Ibid, hlm. 208. Namun karena artikel ini merupakan bisnis fashion, disebutkan inti dari sistem
produksinya secara berurutan adalah development, production, marketing, dan promotion. Penulis
mengadopsi konsep ini dengan merubahnya, karena konteks Kampung Inggris menawarkan jasa
pendidikan, menjadi development, administration, promotion, dan production of service.

Development, merupakan serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh beberapa
anggota lembaga untuk merancang dan membuat sebuah program. Misalkan akan
diadakan program baru. Bentuk-bentuk kreatif harus muncul dalam setiap prosesnya.
Inovasi adalah hal yang wajib agar program banyak memiliki peminat. Maka tim (yang
biasanya kecil) ini harus dapat mengeluarkan gagasan yang tak hanya trendi dipandang
dari luar, namun memiliki kredibilitas dan kualitas yang sesuai dengan harapan para calon
siswa. Mereka merancang sebuah program dengan kurikulum dan bahan ajar tertentu.
Misal program listening yang akan membantu speaking. Banyak aktifitas digodhok dan
diramu dalam program tersebut. Beberapa lembaga besar di Kampung Inggris melakukan
development program dengan serius, karena memang ditujukan untuk kelangsungan
hidup program baru ini. Namun banyak juga lembaga yang asal-asalan saja membangun
sebuah program.20 Salah satu contoh inovasi yang ditawarkan adalah banyaknya program
jalan-jalan ke Bali atau Borobudur, dengan tujuan untuk final exam program Speaking
dengan cara berkomunikasi langsung dengan native speaker. Banyak lembaga yang
memiliki program jalan-jalan seperti ini.
Administration. Tentu administrasi yang tangguh dimiliki oleh banyak lembaga
yang ada di Kampung Inggris. Mereka kreatif dan inovatif. Daya fokus para
administrator haruslah sangat tinggi, karena jumlah siswa yang membeludak bisa jadi
merupakan monster yang dapat mengacaukan. Ketangguhan para admin dalam
melakukan kegiatannya: mengatur jadwal tutor/ruang/program/siswa, mengurus keuangan
di antaranya pendaftaran/gaji/pengeluaran lain/neraca keuangan lembaga, menjadi
operator, dan sebagainya. Dan mereka dituntut untuk tetap kreatif, serta komunikatif.
Promotion. Promosi dilakukan dengan banyak teknologi. Cetak dengan brosur,
dan kebanyakan dari lembaga kursus di Kampung Inggris sudah memiliki Facebook
profile dan atau halaman web masing-masing. Hal ini sangat memudahkan Kampung
Inggris untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Tentu mereka harus kreatif dalam
memromosikan lembaga dan programnya masing-masing.21 Bahkan sudah banyak yang
melakukan promosi dengan memroduksi kaos, tas, dan stiker, yang mengidentitaskan
lembaga. Mereka berlomba-lomba desain, karena identitas lembaga-lembaga tersebut
akan dibawa oleh mereka yang membeli dan keluar dari Kampung Inggris. Sebuah
promosi yang brilian dengan menyebarkan first impression yang baik kepada khalayak.
20
Penulis tidak mengetahui alasan pasti mengapa, dan tidak ingin memberi pandangan yang menebaknebak yang bersifat spekulatif.
21
Banyak sekali website tentang Kampung Inggris. Ada beberapa yang website resmi milik lembaga, ada
yang merupakan testimony dari mereka yang pernah mencicipi/tinggal di kampung ini.

Gambar 2. Contoh kaos promosi oleh salah satu lembaga kursus bernama Mr. Bob.22

Production of Service. Kegiatan belajar mengajar adalah hal yang paling penting
karena merupakan eksekusi dari proses sebelumnya. Kekreatifan tutor dalam mengajar
adalah urusan bersama. Sharing antar pengajar tentang bagaimana menyampaikan bahan
ajar yang baik adalah hal yang sangat penting, karena ini mengatasnamakan lembaga.
Baik-buruknya kesan murid sangat bergantung pada proses ini. Beberapa dari lembaga
yang ada di Kampung Inggris sengaja mengadakan pertemuan internal mingguan untuk
evaluasi, dan sharing. Beberapa juga lebih bersifat santai dengan tidak menyengajakan
bertemu, namun selalu membahas kondisi kelas ketika bertatap muka. Sharing juga sering
berlangsung via sms, ataupun telepon. Bagi para tutor, menjadi inovatif adalah hal yang
mutlak untuk berdiri di depan kelas.
Komunikasi di antara keempat bagian utama produksi tersebut terus diusahakan
untuk dijaga. Dalam kesatuannya, mereka harus terus dan tetap inovatif guna
keberlangsungan hidup lembaga kursus yang juga berarti keberlangsungan hidup
Kampung Inggris.

22

Diunduh dari
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=2189875083718&set=o.229444370401009&type=3&theater
pada 2 November 2012. Menurut keterangan, foto ini diambil dari Amerika.

Maka layak bila untuk mempertahankan eksistensinya, lembaga-lembaga kursus
di Kampung Inggris melakukan berbagai inovasi dalam berbagai hal termasuk di
dalamnya inovasi program dan pengajaran masing-masing. Komodifikasi-komodifikasi
yang mulanya dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan (informal) ini kemudian
merubah wajah Kampung Inggris menjadi wajah yang penuh komoditas. Pengunjung
yang datang adalah komoditas dan ditampung sedemikian rupa dalam suguhan-suguhan
yang menggiurkan atas ke-Bahasa Inggrisan. Wajah kampung yang awalnya agraris, kini
penuh dengan semangat belajar yang (sayangnya) bernada bisnis. Dengan praktik-praktik
kreatif yang terus dijalankan, dan berputar, dan tak berhenti, kemungkinan besar
keberadaaan kampung unik ini akan tetap selamat. Namun pertanyaan selanjutnya adalah
layakkah untuk diselamatkan?23

23

Ini merupakan pertanyaan penutup. Berbagai kalangan sanksi atas keberlanjutan Kampung Inggris
dengan segala degradasi budaya yang ia hasilkan. Namun heterogenitas dan prinsip prulalismenya
sungguh patut diperhitungkan dan memberi contoh untuk daerah lain. Beberapa kalangan ingin
‘menyelamatkan’ kampung ini dengan berbagai cara. Salah satu komunitas yang penulis temukan adalah
mereka yang kini sedang menggalakkan kegiatan yang terangkum dalam jargon “Pare – Kampung Literasi”,
bukan lagi Kampung Inggris.

Daftar Pustaka
Haseman, Brad. Creative Practices. Dalam John Hartley (ed.). Creative Industries.
Blackwell. UK: 2005.
Hokheimer, Max & Adorno, Theodor W. The Culture Industry: Enlightenment as Mass
Deception. Dalam Meenakshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner (ed.). Media and
Cultural Studies. UK: Blackwell. 2006.
Leela Gandhi, Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:
Penerbit Qalam. 2006.
Maramotti, Luigi. Connecting Creativity. Dalam John Hartley (ed.). Creative Industry.
Blackwell. UK: 2005.

Artikel dan Web
Gambar cover diunduh dari
http://www.muhsd.k12.ca.us/cms/lib5/CA01001051/Centricity/Domain/967/english
.jpg pada 2 November 2012
http://elfast-pare.com/speaking-and-pronunciation/, diakses pada tanggal 2 November
2012.
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=2189875083718&set=o.229444370401009&t
ype=3&theater diunduh pada tanggal 2 November 2012
http://regional.kompas.com/read/2012/05/13/1701100/Inilah.Awal.Mula.Berdirinya.Kam
pung.Inggris diakses pada tanggal 1 November 2012
Sandel,

Michael

J.

What

Isn’t

for

Sale.

April

2012.

Dapat

diakses

di

http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2012/04/what-isnt-for-sale/308902/
UU

Sisdiknas

No.

20

Tahun

2003.

Diunduh

di

http://www.ziddu.com/download/9731771/uu-20-2003-sisdiknas.pdf.html pada 1
November 2012