HUKUM INTERNASIONAL RATIFIKASI HUKUM INT

HUKUM INTERNASIONAL :

RATIFIKASI HUKUM INTERNASIONAL MENJADI
HUKUM NASIONAL

A.

PENGERTIAN RATIFIKASI
Menurut Ensiklopedia Indonesia, ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen
negara

oleh

parlemen,

khususnya

pengesahan

undang-undang


perjanjian

Internasional dan persetujuan hukum internasional.
Ratifikasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
 Ratifikasi oleh badan eksekutif. Ratifikasi ini biasanya dilakukan oleh raja-raja
absolut dan pemerintahan otoriter.


Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem ini jarang digunakan



Ratifikasi campuran, yaitu ratifikasi yang dilakukan oleh eksekutif kemudian
disahkan oleh badan legislatif negara yang mengadakan perjanjian. Sistem ini pada
umumnya dianut negara-negara di dunia sekarang ini.

B. HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Ada dua teori mengenai keberadaan dan berlakunya hukum internasional,
yakni teori voluntaris dan obyektivis. Menurut voluntarisme ada dan berlakunya
hukum internasional karena kemauan negara. Sebaliknya, menurut obyektivist ada

dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara.

Perbedaan pandangan ini menimbulkan akibat yang berbeda pula. Pendapat
pertama, membawa akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Sedangkan yang
kedua, beranggapan bahwa keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan sistem
hukum. Akibat berikutnya, adalah persoalan peringkat di antara kedua perangkat
hukum itu
Dengan demikian, maka persoalan hubungan hukum internasional dengan
hukum nasional menimbulkan dua teori. Teori-teori tersebut adalah teori monisme,
dan dualisme.
a. Aliran monoisme
Tokohnya adalah Hanz kelsen dan georges scelle. Menurut aliran ini, semua hukum
merupakan satu system kesatuan hukum yang mengikat individu-individu dalam suatu
negara ataupun negara-negara dalam masyarakat internasional. Menurut aliran
monoisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini
disebabkan:
 Walaupun kedua system hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek
hukumnya tetap sama, yaitu individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.
 Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hukum tidak mungkin untuk

dibantah. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu
kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama
mempunyai kekuatan mengikat terhadap individu-individu maupun negara.
Ada juga paham bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional,
alasannya adalah:
 Bahwa tidak ada organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negaranegara di dunia ini.

 Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak
di

dalam

wewenang

negara-negara

untuk

mengadakan


perjanjian-perjanjian

internasional, jadi wewenang konstitusional.
Faham monoisme dengan primat hukum nasional ini mempunyai sejumlah kelemahan,
yaitu:
 Faham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata
sebagai hukum-hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumber
perjanjian internasional, suatu hal yang jelas tidak benar.


Bahwa pada hakekatnya faham monoisme denagn primat hukum nasional ini
merupakan penyangkalan atas adanya hukum internasional yang mengikat negaranegara. Sebabnya, jika terikatnya negara-negara pada hukum internasional
digantungkan kepada hukum nasional, ini sama saja dengan menggantungkan
berlakunya hukum internasional atas kemauan negara iru sendiri. Keterikatan ini
dapat ditiadakan jika negara mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum
internasional.



Bahwa hukum nasional itu tergantung hukum internasional (juga kekuatan

berlakunya) yang mau tidak mau mengendalikan bahwa hukum internasional telah ada
terlebih dahulu dan hukum nasional bertentangan dengan kenyataan sejarah.



Tak dapat dipertahankan dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya
diperoleh dan hukum internasional atau bahwa hukum nasional merupakan suatu
derivasi dan padanya. Kewenangan hukum nasional bukan pendelegasian dan hukum
internasional melainkan dan negara yang bersangkutan itu sendini.

b. Aliran dualisme

Tokohnya adalah Triepel dan Anzilorri. Aliran ini beranggapan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua system terpisah yang berbeda satu
sama lain. Menurut aliran dualisme perbedaaan kedua hukum tersebut disebabkan
karena :


Perbedaan sumber hukum
Hukum nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara,

sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang
dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.



Perbedaan mengenai subjek
Subjek hukum internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu
negara, sedangkan subjek hukum internasional adalah negara-negara anggota
masyarakat internasional.



Perbedaan mengenai kekuatan hukum
Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika
dibandingkan dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur
hubungan negara-negara secara horizontal.

 Hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundangundangan negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan
oleh prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian antara negara-negara harus di
junjung tinggi.



Perbedaan-perbedaan empiris dalam sumber-sumber formal dari kedua sistem
hukum tersebut, yaitu, bahwa di satu pihak hukum internasional sebagian besar
terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan, sedangkan hukum nasional, di pihak lain,
terutama terdiri dari hukum yang dibuat hakim ( judge-made law) dan undangundang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang nasional.

Alasan-alasan yang dikemukakan para penganut teori dualisme memiliki kelemahankelemahan, yakni:
 Pendapat yang menyatakan sumber hukum adalah kemauan negara tidak tepat. Ada
dan berlakunya hukum terlepas dari kemauan negara. Yang jelas hukum itu ada dan
berlaku karena diperlukan oleh kebutuhan manusia yang beradab. Tanpa hukum,
kehidupan yang teratur tidak mungkin terwujud. Hal ini berlaku pula dalam hukum
internasional. Jadi, adanya hukum hanya merupakan prasyarat bagi adanya
kehidupan manusia yang teratur terlepas dari keinginan para subyek hukum itu
untuk terikat.
 Berlainannya subyek hukum antara hukum internasional dengan hukum nasional juga
tidak tepat. Sebab, dalam satu lingkungan hukum pun subyeknya bisa saja berlainan.
Di dalam hukum nasional misalnya, ada perbedaan antara subyek hukum di bidang
hukum perdata dan hukum publik. Juga, tidak tepat menyatakan bahwa subyek
hukum internasional adalah negara. Sebab, selain negara, orang perorangan pun pada

masa sekarang bisa menjadi subyek hukum.


Perbedaan berdasarkan struktur juga tidak tepat. Sebab, persoalan struktur
hanya merupakan persoalan gradual bukan hakiki. Perbedaan ini hanya menunjukkan
gejala dari tahap integrasi masyarakat nasional dan internasional. Sebagai
masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mayarakat internasional. Oleh karena itu, bentuk-bentuk
organisasinya pun lebih bekembang dan lebih sempurna.

 Pemisahan mutlak hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat menjelaskan
dengan memuaskan kenyataan dalam praktik, yakni hukum nasional tunduk atau
sesuai dengan hukum internasional. Adanya hukum nasional yang bertentangan
dengan hukum internasional bukan merupakan bukti kurang efektifnya hukum
internasional.

C. PENTINGNYA MELAKUKAN RATIFIKASI
 Negara-negara berhak untuk mengkaji dokumen yang telah ditandatangani oleh
para wakil yang berunding.
 Berdasarkan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap warga Negara, setiap Negara

berhak untuk menarik diri apabila dikehendaki.Dalam perjanjian perlu dilakukan
penyesuaian dengan hukum nasional dari setiap Negara yang mengadakan perjanjian.
 Pemerintah perlu meminta pendapat umum tentang isi perjanjian tersebut ( asas
demokrasi).

D.

PROSES RATIFIKASI
a. Proses ratifikasi hukum internasional menurut UU No.24 tahun 2000 tentang
perjanjian internasional.
Dalam UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, dinyatakan bahwa
pembuatan

perjanjian

internasional

harus

didasarkan


pada

prinsip-prinsip

persamaan, saling menguntungkan dan memperhatikan hukum nasional atau hukum
internasional yang berlaku. Pada pasal 5 disebutkan bahwa pembuatan perjanjian
harus didahului dengan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri dan
posisi pemerintah harus dituangkan dalam suatu pedoman delegasi.
Pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
undang-undang. Perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun

2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam
undang-undang tersebut adalah :


Ketentuan Umum




Pembuatan Perjanjian Internasional



Pengesahan Perjanjian Internasional



Pemberlakuan Perjanjian Internasional



Penyimpanan Perjanjian Internasional



Pengakhiran Perjanjian Internasional



Ketentuan Peralihan



Ketentuan Penutup
Pengesahan perjanjian internasional merupakan tahap yang sangat penting dalam
proses pembuatan perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu
negara menyatakan diri untuk terikat secara definitif. Tentang pengesahan
perjanjian internasional dapat dibedakan antara pengesahan dengan undang-undang
dan pengesahan dengan keputusan presiden.

1. Pengesahan dengan undang-undang
Apabila berkenaan dengan hal-hal berikut :
- Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.


- Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah



-Kedaulatan negara



- Hak asasi manusia dan lingkungan hidup



- Pembentukan kaidah hukum baru



- Pinjaman atau hibah luar negeri

Pengesahan

perjanjian

internasional

melalui

undang-undang

dilakukan

berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk atau nama
(nomenclature) perjanjian.
2. Pengesahan dengan keputusan presiden
Jenis-jenis perjanjian yang pengesahannya melalui keputusan presiden pada
umumnya memiliki materi yang bersifat procedural dan memerlukan penerapan
dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangannasional,
diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan teknik, perdagangan, kebudayaan,
pelayaran

niaga,

kerjasama

penghindaran

pajak

berganda,

dan

kerjasama

perlindungan penanaman modal sertas perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis
lainnya
Catatan:
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian
hukum dan keseragaman bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undangundang sebaliknya, pengesahan perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam
kategori perjanjian internasional dilakukan dengan keputusan presiden (pasal 11) dan
salinannya disampaikan kepada DPR untuk dievaluasi.
b. Proses ratifikasi perjanjian internasional menurut pasal 11 UUD 1945
Pasal 11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan persetujuan dengan
dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama antara
eksekutif (presiden) dengan legislatif (DPR), harus diperhatikan hal-hal berikut :



Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.



Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan
akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harung
dengan persetujuan DPR.



Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan UU.
Perjanjian yang disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum
disahkan oleh presiden ialah perjanjian yang berbentuk treaty dan mengandung
materi :



Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara
seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perubahan wilayah atau penetapan
tapal batas.



Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik
negara, perjanjian kerjasama ekonomi, atau pinjaman uang.



Soal-soal yang menurut UUD atau menurut system perundangan harus diatur
dengan UU,seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal kehakiman.

TAMBAHAN
1.

Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional
melalui cara-cara sebagai berikut :



Penandatangan;



pengesahan;



pertukaran dokumen perjanjian/nota

diplomatik;


cara-cara lain sebagaimana disepakati

para pihak dalam perjanjian internasional.
2. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
3.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila
berkenaan dengan :



masalah

politik,

perdamaian,

pertahanan, dan keamanan negara;


perubahan wilayah atau penetapan

batas wilayah negara Republik Indonesia;


kedaulatan atau hak berdaulat negara;



hak asasi manusia dan lingkungan hidup;



pembentukan kaidah hukum baru;



pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

4. Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri
atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non
departemen,

menyiapkan

salinan

naskah

perjanjian,

terjemahan,

rancangan

undangundang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.
5. Perjanjian internasional berakhir apabila :



terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam
perjanjian;



tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;



terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;



salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;



dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;



muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;



objek perjanjian hilang;



terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional

6. Proses ratifikasi di Indonesia adalah :


Proses penyiapan RUU untuk perjanjian internasional;



Mendapat persetujuan dari DPR



Pengesahan oleh presiden dan pengundangan oleh mensesneg atas perintah
presiden

7. Beberapa contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian) internasional menjadi hukum
nasional


Persetujuan Indonesia- Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Papua) yang
ditanda tangani di New York (15 Januari 1962) disebut agreement. Akan tetapi,
karna pentingnya materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap
sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan
DPR dalam bentuk “pernyataan pendapat”.



Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara
Indonesia dengan Papua New guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari
1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi yang diatur dalam

agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan
dituangklan ke dalam bentuk UU, yaitu UU No.6 Tahun 1973.


Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang
selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting,
namun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan
dalam bentuk “keputusan presiden

Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menjadi
Hukum Nasional
1. Hubungan hukum internasional dan hukum nasional
Teori hubungan internasional dan hukum nasional ada dua :
a. Aliran monoisme
Tokohnya adalah Hanz kelsen dan georges scelle. Menurut aliran ini, semua hukum merupakan
satu system kesatuan hukum yang mengikat individu-individu dalam suatu negara ataupun
negara-negara dalam masyarakat internasional. Menurut aliran monoisme, hukum internasional
dan hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan:
1)
Walaupun kedua system hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek
hukumnya tetap sama, yaitu individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.
2)
Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hukum tidak mungkin untuk
dibantah. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu
hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan
mengikat terhadap individu-individu maupun negara.
b. Aliran dualisme
Tokohnya adalah Triepel dan Anzilorri. Aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua system terpisah yang berbeda satu sama lain. Menurut aliran
dualisme perbedaaan kedua hukum tersebut disebabkan karena :
1)

Perbedaan sumber hukum

Hukum nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara, sedangkan
hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas
kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.
2)

Perbedaan mengenai subjek

Subjek hukum internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara,
sedangkan subjek hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional.
3)

perbedaan mengenai kekuatan hukum

Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan
dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara
secara horizontal.
2. Pengertian Ratifikasi
Pengesahan suatu dokumen Negara oleh badan yang berwenang khususnya pengesahan
Undang-Undang perjanjian antar Negara.
Pada suatu perjanjian internasional dinyatakan dengan ratifikasi apabila :
 Perjanjian internasional menentukan demikian secara tegas;
 Kecuali apabila ditentukan sebaliknya, negara yang mengadakan negosiasi menyetujui
bahwa ratifikasi perlu;
 Perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan berlaku jika sudah di ratifikasi;
 Kemampuan negara untuk menandatangani perjanjan internasional dengan syarat akan
berlaku bila telah di ratifikasi, tampak dalam instrumen “full powers-nya”, atau
dinyatakan demikian selama ratifikasi.
3. Jenis-jenis ratifikasi
a. Ratifikasi Eksekutif
Digunakan raja-raja absolute dan otoriter
b. Ratifikasi Legislatif
Jarang digunakan
c. Ratifikasi Campuran
Dilakukan Negara eksekutif dan legislative (paling banyak dipakai negara-negara di dunia)
4. Pentingnya Melakukan Ratifikasi

a. Negara-negara berhak untuk mengkaji dokumen yang telah ditandatangani oleh para wakil
yang berunding.
b. Berdasarkan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap warga Negara, setiap Negara berhak untuk
menarik diri apabila dikehendaki.Dalam perjanjian perlu dilakukan penyesuaian dengan hukum
nasional dari setiap Negara yang mengadakan perjanjian.
c. Pemerintah perlu meminta pendapat umum tentang isi perjanjian tersebut ( asas demokrasi).
5. Proses Ratifikasi
a. Proses ratifikasi hukum internasional menurut UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional.
Dalam UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, dinyatakan bahwa pembuatan
perjanjian internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, saling menguntungkan
dan memperhatikan hukum nasional atau hukum internasional yang berlaku. Pada pasal 5
disebutkan bahwa pembuatan perjanjian harus didahului dengan konsultasi dan koordinasi
dengan menteri luar negeri dan posisi pemerintah harus dituangkan dalam suatu pedoman
delegasi.
Pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undangundang. Perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam
Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut
adalah :









Ketentuan Umum
Pembuatan Perjanjian Internasional
Pengesahan Perjanjian Internasional
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
Penyimpanan Perjanjian Internasional
Pengakhiran Perjanjian Internasional
Ketentuan Peralihan
Ketentuan Penutup

Pengesahan perjanjian internasional merupakan tahap yang sangat penting dalam proses
pembuatan perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu negara menyatakan diri
untuk terikat secara definitif. Tentang pengesahan perjanjian internasional dapat dibedakan
antara pengesahan dengan undang-undang dan pengesahan dengan keputusan presiden.
1)

Pengesahan dengan undang-undang

Apabila berkenaan dengan hal-hal berikut :
 Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
 Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah






Kedaulatan negara
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
Pembentukan kaidah hukum baru
Pinjaman atau hibah luar negeri

Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi
perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk atau nama (nomenclature) perjanjian.
2)

Pengesahan dengan keputusan presiden

Jenis-jenis perjanjian yang pengesahannya melalui keputusan presiden pada umumnya memiliki
materi yang bersifat procedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa
mempengaruhi peraturan perundang-undangannasional, diantaranya adalah perjanjian induk
yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan teknik,
perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama penghindaran pajak berganda, dan
kerjasama perlindungan penanaman modal sertas perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis
lainnya
Catatan:
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan
keseragaman bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang sebaliknya,
pengesahan perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional
dilakukan dengan keputusan presiden (pasal 11) dan salinannya disampaikan kepada DPR untuk
dievaluasi.
1. Proses ratifikasi perjanjian internasional menurut pasal 11 UUD 1945
Pasal 11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan persetujuan dengan dewan perwakilan
rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk
menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (DPR),
harus diperhatikan hal-hal berikut :
1)
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
2)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harung dengan persetujuan DPR.
3)

Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan UU.

Perjanjian yang disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh
presiden ialah perjanjian yang berbentuk treaty dan mengandung materi :

 Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara seperti
perjanjian-perjanjian persahabatan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
 Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara,
perjanjian kerjasama ekonomi, atau pinjaman uang.
 Soal-soal yang menurut UUD atau menurut system perundangan harus diatur dengan
UU,seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal kehakiman.
6.

Proses ratifikasi di Indonesia adalah :
1. Proses penyiapan RUU untuk perjanjian internasional;
2. Mendapat persetujuan dari DPR
3. Pengesahan oleh presiden dan pengundangan oleh mensesneg atas perintah presiden

7. Beberapa contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian) internasional menjadi hukum nasional
1. Persetujuan Indonesia- Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Papua) yang ditanda
tangani di New York (15 Januari 1962) disebut agreement. Akan tetapi, karna pentingnya
materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty.
Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk
“pernyataan pendapat”.
2. Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia
dengan Papua New guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam
bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement
tersebut, maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam
bentuk UU, yaitu UU No.6 Tahun 1973.
3. Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang selat
Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun
dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam
bentuk “keputusan presiden”.