Pengembangan bahasa indonesia iptek di p

PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA IPTEK DI PERGURUAN TINGGI
MELALUI PROSES BELAJAR MENGAJAR, TERJEMAHAN DAN
PEMBENTUKAN ISTILAH KEILMUAN
Drs. Bambang Eko Hari Cahyono
FPBS IKIP PGRI Madiun

A.

PENDAHULUAN
Industrialisasi, dengan sadar telah terlanjur dipilih sebagai jalan hidup dalam
pembangunan Indonesia. Menjadi negara industri adalah obsesi yang mesti dipenuhi,
guna mengambil posisi yang sejajar dengan negara-negara maju atau negara “cepat”.
Bahkan ketika globalisasi demikian mencengkeram, baik sebagai konsepsi
maupun sebagai realitas, harapan untuk tidak menjadi negara “lambat” adalah
kebutuhan yang sangat mendesak. Masalahnya jelas, Indonesia ingin memiliki posisi
tawar menawar yang cukup kuat dalam politik, ekonomi, teknologi dan informasi,
dan kebudayaan secara umum di tengah konstelasi kesalingbergantungan global
antarbangsa dan antarberbagai kepentingan yang sering melampaui batas-batas
negara.
Era industrialisasi yang tengah dimulai tentu saja membutuhkan struktur dan
kerangka sistem yang kuat. Untuk itu, perguruan tinggi sebagai tempat untuk


mengkaji berbagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi diberi tempat yang
strategis dalam rangka era industrialisasi itu.
Apabila mau bersikap jujur, maka harus diakui bahwa kalangan pendidikan
tinggi di Indonesia masih berorientasi pada sekedar menghasilkan lulusan dan belum
memikirkan apakah lulusan yang dihasilkan itu sesuai dengan kebutuhan nyata dunia
iptek. Hal ini tampak dari betapa bingungnya mereka yang baru lulus dari pendidikan
tinggi ketika memasuki dunia pekerjaannya. Mereka sering tidak tahu harus berbuat
apa dan bagaimana menunjukkan sikap intelektual yang professional.
Program keterkaitan dan kesepadanan yang telah lama dicanangkan
pemerintah tampaknya kurang atau belum memperoleh respon dari kalangan
pendidikan tinggi. Hal ini tampak dari sikap “menunggu dan melihat” dari kalangan
pendidikan tinggi di Indonesia. Kecepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan keluasan jangkauannya kurang diantisipasi oleh dunia pendidikan tinggi,
sehingga mereka selalu ketinggalan dengan perkembangan iptek.
Sering didengar keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu keluaran (output)
pendidikan tinggi di Indonesia, baik yang menyangkut kualitas keilmuannya maupun
kemampuannya dalam mengekspresikan ide/ gagasan intelektualnya. Mungkin saja
mereka banyak memiliki ide brilian, namun kemampuannya untuk transfer ide
tersebut dinilai sangat tumpul. Akibatnya, selama ini mereka cenderung hanya

berperan sebagai konsumen iptek dan tidak bisa berbuat banyak sebagai pencetus atau
produsen ide.

Menurut pengamatan penulis, kekurangmampuan dalam ekspresi ide tersebut
setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kualitas ekspresi ide mereka memang
sangat lemah, dan yang kedua mungkin disebabkan oleh faktor sarana ekspresi
(bahasa) yang kurang dapat mewadahi pemikiran dan perkembangan iptek. Sebagai
sarana komunikasi, bahasa Indonesia memang berkembang dengan pesat. Namun
apabila diselaraskan dengan perkembangan iptek, bahasa Indonesia masih tertinggal
“satu langkah” meskipun upaya untuk menyejajarkan keduanya telah banyak
dilakukan.
Masalah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia adalah masalah
nasional yang tidak dapat dipisahkan dari masalah-masalah nasional lainnya. Sebab
itu, sudah menjadi kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk selalu membantu
dan mendorong kehidupan bahasa Indonesia dengan penuh tanggung jawab. Hal ini
diharapkan agar di kemudian hari bahasa Indonesdia mampu menjadi bahasa yang
benar-benar modern dan relevan dengan laju perkembangan iptek.
Dalam konteks pemikiran itu, lembaga pendidikan dipandang sebagai sarana
yang efektif untuk mengembangkan bahasa Indonesia keilmuan. Hal ini
dimungkinkan karena antara pendidikan dan bahasa merupakan dua hal yang sangat

berkaitan dan saling mengisi. Saling ketergantungan ini berarti bahwa pendidikan
tidak dapat berlangsung tanpa bahasa, sebab bahasa adalah alat utama dalam
pendidikan. Sebaliknya, bahasa sulit berkembang dan terbina dengan baik tanpa

ditunjang oleh pendidikan, karena kenyataannya dunia pendidikan banyak
menyumbangkan perannya bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
Menyadari akan arti penting pendidikan sebagai sarana pengembangan bahasa
Indonesia keilmuan, maka sudah sewajarnya apabila segera dirumuskan strategi
pengembangan dalam bentuk perencanaan program yang efektif dan efisien. Untuk
itu, dalam makalah ini penulis mencoba mengajukan alternatif strategi pengembangan
bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi. Meskipun tidak secara lengkap, penulis
akan melengkapi pula pembahasan itu dengan analisis terhadap kendala-kendala yang
muncul terhadap program pengembangan yang dimaksud.
B. PEMBAHASAN
1. Bahasa Indonesia Iptek (Keilmuan)
Seorang pekerja ilmiah yang harus melaporkan hasil temuannya dalam
suatu cabang ilmu akan menghadapi beberapa masalah. Masalah yang utama
adalah bagaimana konsep-konsep yang diperoleh dari penyeledikan dan kajian
keilmuannya itu harus diungkapkan dan bagaimana ekspresi keilmuan itu harus
dirangkai-rangkaikan dalam bahasa Indonesia. Persoalan ini sebenarnya persoalan

yang universal, tidak hanya

dihadapi oleh orang Indonesia yang berbahasa

Indonesia, namun juga dihadapi oleh bangsa lain yang sudah maju bahasanya.
Sebagai sarana berpikir ilmiah dan sarana komunikasi ilmiah, seorang
ilmuwan harus menggunakan bahasa keilmuan. Jujun S. Suriasumantri (1995:
183-185) memberikan cirri-ciri bahasa keilmuan yang dapat mewadahi

perkembangan iptek, yaitu: (1) bersifat reproduktif, (2) langsung ke sasaran
(straitforward), (3) gaya berbahasa lugas, (4) tidak bersifat emotif, (5) tidak
bersifat afektif, (6) menggunakan istilah keilmuan yang sah berdasarkan bidang
ilmunya, dan (7) menggunakan penalaran yang logis dan runtut.
Sifat reproduktif menyebabkan uraian tidak bermakna ganda dan tidak
menimbulkan salah penafsiran. Yang dikemukakan adalah isi ilmuanya dan bukan
keelokan bahasanya (seperti dalam karya sastra). Karena itu, penulis karya
keilmuan harus berusaha berbahasa sejelas dan sesederhana mungkin.
Sifat langsung ke sasaran harus diusahakan oleh penulis karya iptek.
Penulis harus menyadari bahwa setelah dibaca orang lain, tulisannya sering sulit
dipahami maknanya. Karena itu, penulis harus mampu menyatakan apa yang

seharusnya dinyatakan. Tidak dibenarkan menyatakan sesuatu dengan berputarputar atau memberikan sindiran. Menguraikan sesuatu dengan sindiran dan uraian
berkepanjangan menyalahi kaidah komunikasi keilmuan.
Kedua cirri tersebut berkaitan dengan cirri ketiga, yakni bergaya bahasa
lugas. Pemakaian gaya bahasa dan keindahan bahasa diusahakan sekecil mungkin
karena dapat menimbulkan kesan kurang serius dan dapat menimbulkan makna
ganda. Karena itu, sering dijumpai komunikasi ilmiah dengan bahasa “kering”
(tidak indah seperti dalam karya sastra). Seorang pembaca naskah iptek sudah
barang tentu telah siap menghadapi gaya berbahasa demikian.

Sifat emotif dan afektif sering dijumpai dalam penggunaan bahasa melalui
komunikasi tidak resmi (santai dan akrab). Kedua sifat itu harus dihindari, karena
bahasa iptek harus bersifat lebih rasional dan menunjukkan pemikiran apa adanya
(das sein). Tulisan emotif dan afektif menimbulkan kesan ketidakpastian,
sehingga karya iptek menjadi tidak meyakinkan pembacanya.
Istilah-istilah bidang keilmuan tertentu memiliki karakteristik tersendiri
dalam hal pembakuan aspek semantiknya. Seorang ilmuwan yang memasuki
bidang ilmu tertentu akan memahami istilah keilmuan bidang ilmunya itu dan
sanggup menggunakannya dalam komunikasi ilmiah sesuai dengan makna yang
diacunya. Ini merupakan salah satu bukti kekayaan keilmuwanan yang
dimilikinya.

Komunikasi iptek juga mensyaratkan penerapan logika yang mapan dalam
berbahasa. Karya ilmiah dalam komunikasi iptek harus menunjukkan alur
pemikiran mengikuti logika tertentu yang dipilih seorang penulis. Penulisannya
harus menggunakan epistemologi keilmuan dan tidak sebebas seperti dalam
komunikasi lainnya.
Johanes (dalam Herman J. Waluyo, 1991:5) mengemukakan 8 syarat gaya
pengungkapan tulisan sebagai komunikasi iptek, yaitu: (1) nada tulisan
iptek/keilmuan bersifat formal dan objektif, (2) titikpandang baku (grammatical
point of view) dan harus taat azas, (3) tingkat bahasa yang dipakai dalam tulisan
iptek adalah tingkat bahasa resmi dan bukan bahasa harian (colloquial), (4) bentuk

wacana paparan (exposition) lebih banyak dipakai daripada bentuk argumentasi,
deskripsi, dan narasi, (5) komunikasi gagasan dalam karya iptek harus jelas,
lengkap, dan ringkas, serta dapat meyakinkan secara tepat, (6) sejauh mungkin
dihindari istilah ekstrem, berlebihan, dan haru (emosional), (7) menghindari katakata mubazir, dan (8) bahasa keilmuan lebih berkomunikasi dengan pikiran
daripada dengan perasaan.
Di samping itu, sebagai bahasa iptek bahasa Indonesia juga harus dapat
menjalankan 4 fungsi bahasa iptek, yaitu: (1) fungsi referensial, (2) fungsi
direktif, (3) fungsi metalingual, dan (4) fungsi fatis (Zuchridin Suryawinata, 1995:
64-73).

Menurut Anton M. Moeliono (1991:114-126; 1993:6-7), pengembangan
bahasa Indonesia agar menjadi bahasa yang modern, dalam arti dapat mewadahi
perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

serta

relevan

dengan

perkembangan peradaban dunia, harus bertopang pada 3 kegiatan, yaitu: (1)
pengembangan kecendekiaan bahasa, (2) pemekaran kosa kata, dan (3)

pengembangan laras bahasa.
2. Strategi Pengembangan Bahasa Indonesia Iptek di Pertguruan Tinggi
Untuk mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek, sedikitnya
terdapat tiga modal dasar yang secara politis dapat dipergunakan sebagai landasan
pengembangan.

Pertama, Sumpah Pemuda 1928 yang berisi pengakuan bahwa bahasa
Indonesia adalah bahasa nasional, merupakan langkah pertama yang menentukan
dalam menentukan garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional Indonesia.
Kedua, UUD 1945 Bab VI Pasal 36 yang menyatakan “Bahasa negara ialah
bahasa Indonesia.” Hal ini memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi
pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahasa perhubungan pada tingkat
nasional, tetapi juga sebagai bahasa kenegaraan. Ketiga, perwujudan Politik
Bahasa Nasional yang menyatakan mengenai dua fungsi bahasa Indonesia, yaitu
sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang kebulatan
semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai masyarakat yang
berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam
satu masyarakat nasional Indonesia. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai
bahasa negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa

pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional
untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta
sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi (Amran
Halim, 1989:15-17).
Salah satu dasar tersebut memberikan kerangka yang kuat bagi
pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui jalur pendidikan.

Menurut S. Effendi (dalam Amran Halim, 1984:17), dalam proses
pengembangan bahasa Indonesia terdapat beberapa komponen yang saling
berinteraksi, yaitu: (1) komponen bahasa yang akan dikembangkan, yang di
dalamnya meliputi segi fonologi, tatabahasa, dan leksikon; (2) komponen proses
pengembangan, yang menyangkut sasaran pengarahan proses; (3) komponen hasil
pengembangan, yang mengacu pada hasil proses pengembangan yang dilakukan;
(4) komponen instrumen pengembangan, yang meliputi tenaga pengembangan,
rencana induk pengembangan, manajemen pengembangan, fasilitas dana, dan
peralatan; dan (5) komponen lingkungan pengembangan, yang meliputi
lingkungan sosial budaya, politik, dan pendidikan. Ancangan program tersebut
dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
LINGKUNGAN

SB EK POL DIK

BN

Dikembangkan menjadi bahasa yang:
- menunjang ilmu dan teknologi
- menunjang seni dan budaya
- menunjang persatuan dan
kesatuan
- merupakan alat komunikasi
melalui pembinaan: fonologi,
tatabahasa, kosa kata, dan ejaan

RI
Keterangan:

T
M
S
INSTRUMEN


B
M

DIK
RI
T
M
S

= pendidikan
= rencana induk
= tenaga
= manajemen
= sarana

BN
BM
SB
EK
POL

= bahasa nasional
= bahasa modern
= seni budaya
= ekonomi
= politik

Bagan tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan dipilih sebagai
lingkungan pengembangan bahasa Indonesia iptek yang sejajar dengan
lingkungan yang lain (seni budaya, ekonomi, politik). Dalam perspektif ini,
lingkungan

pendidikan

tinggi

dipandang

sebagai

ujung

tombak

bagi

pengembangan program yang dimaksud, sebab jenjang pendidikan tinggi
dipandang memiliki porsi yang lebih luas bagi pengembangan, penerapan, dan
rekayasa iptek.
Pola yang dipandang tepat untuk mengembangkan bahasa Indonesia iptek
yaitu dengan menggunakan prinsip integral, terpadu, dan kontinu. Prinsip integral
mengacu pada pengertian bahwa semua disiplin ilmu yang dikaji di perguruan
tinggi, termasuk jajaran sivitas akademikanya, harus secara integral dapat
menyatukan langkah dalam mendukung program pengembangan bahasa Indonesia
iptek.
Program pengembangan bahasa Indonesia iptek bukanlah program yang
berdiri sendiri. Program ini harus merupakan satu kesatuan yang padu dengan
program-program akademik lainnya dan merupakan bagian yang takterpisahkan

dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi dalam bidang nonfisik. Inilah
yang dimaksud dengan prinsip terpadu.
Sedangkan prinsip kontinu berhubungan dengan masalah kontinuitas
pelaksanaan program yang telah direncanakan. Meskipun terikat oleh alokasi
waktu, program yang disusun diusahakan selalu berkesinambungan dan selalu
ditingkatkan dalam hal kuantitas dan kualitasnya.
Perwujudan ketiga prinsip tersebut akan terlaksana dengan baik apabila
didukung oleh tiga hal, yaitu: perencanaan program yang baik, pelaksanaan
program yang mantap, dan pelaksana program yang berintegritas dan berkualitas.
Sudah barang tentu faktor lingkungan dan fasilitas (termasuk fasilitas dana) juga
sangat menentukan. Lingkungan yang kurang kondusif bagi pengembangan
bahasa Indonesia iptek dan terbatasnya sarana yang tersedia akan menjadi
penghambat pencapaian hasil yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi umum yang ada pada sebagian besar perguruan tinggi
di Indonesia, program pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat dilakukan
melalui berbagai sarana, di antaranya melalui proses belajar mengajar,
penerjemahan dan pembentukan istilah bidang keilmuan (iptek), media penerbitan
kampus seperti jurnal dan bulletin ilmiah, kegiatan-kegiatan ilmiah semacam
seminar, lokakarya, penataran, melalui lomba penulisan iptek, dan kegiatankegiatan khusus lainnya.

Mengenai pelaksana program, dapat dibentuk sebuah panitia pelaksana
atau sebuah tim yang terdiri atas para dosen, karyawan, mungkin pula mahasiswa,
dan pihak-pihak terkait lainnya. Penentuan anggota tim semata-mata didasarkan
pada

aspek

kualitas,

integritas,

dan

komitmennya

terhadap

program

pengembangan bahasa Indonesia iptek.
Seluruh program tersebut akan dievaluasi secara periodic dalam kurun
waktu tertentu. Evaluasi program ini dimaksudkan untuk menilai sejauh mana
program yang direncanakan telah dilaksanakan, dan dapat pula dipergunakan
untuk

mendiagnosis

hambatan-hambatan

yang

muncul

dalam

proses

pelaksanaannya.
Strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan tinggi
tersebut dapat dilihat lebih jelas pada bagan berkut ini.

Faktor Instrumental

Faktor Lingkungan

PELAKSANAAN PROGRAM
Melalui:
1. Proses Belajar Mengajar
2. Penerjemahan dan
pembentukan istilah keilmuan
3. Media penerbitan kampus
4. Penataran, seminar,
lokakarya, dsb.
5. Kegiatan khusus lainnya

RIP PT
Perencanaan
Program
Pengemb
B. Ind.
Iptek

HASIL

EVALUASI PERIODIK

Berikut ini akan penulis uraikan sarana-sarana penting yang dapat
dipergunakan sebagai perwujudan strategi pengembangan bahasa Indonesia iptek
di perguruan tinggi.
a. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi
Kecuali dalam pengajaran bahasa asing dan bahasa daerah pada
program studi-program studi tertentu, bahasa Indonesia dipergunakan sebagai
bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Hal ini
berarti bahwa semua materi mata kuliah, apapun jenisnya, harus disampaikan
dalam bahasa Indonesia. Ini satu fakta yang dapat dimanfaatkan sebagai

sarana yang paling penting dalam pengembangan bahasa Indonesia iptek di
perguruan tinggi.
Dalam menyampaikan materi keilmuan kepada para mahasiswa, para
dosen sering menggunakan istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan khusus
bidang keilmuannya. Dalam konteks ini, para dosen harus mampu dan
bersedia mengungkapkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, jika
istilah-istilah itu telah dibakukan penggunaannya.
Para dosen ini adalah pelaksana program yang penting. Sebagai pihak
yang berada pada jajaran paling depan, tidaklah berlebihan jika keberhasilan
pelaksanaan program lebih banyak ditumpukan pada kerja dan komitmen
mereka. Untuk itu, pemantapan kualitas penguasaan bahasa Indonesia
keilmuan dan sikap yang positif terhadap pengembangan bahasa Indonesia
iptek harus ditanamkan sejak dini kepada para dosen tersebut.
Hubungan antara bahasa Indonesia keilmuan dan mata kuliah yang
diberikan kepada mahasiswa dalam proses belajar mengajar di perguruan
tinggi sangatlah erat. Mata kuliah apapun disampaikan oleh dosen dalam
bahasa Indonesia. Mahasiswa dapat menangkap isi mata kuliah yang diberikan
dosen karena mereka mengerti bahasa Indonesia. Buku-buku yang dipakai
untuk semua mata kuliah itu sebagian besar ditulis pula dalam bahasa
Indonesia keilmuan.

Walaupun semua mata kuliah itu dapat menyumbang secara nyata
kepada pengembangan bahasa Indonesia para mahasiswa, harus diingat bahwa
fungsi utama berbagai mata kuliah nonbahasa itu adalah menyampaikan
materi (isi) setiap mata kuliah. Akan tetapi, isi mata kuliah itu tidak dapat
disampaikan dan tidak dapat diterima tanpa bahasa. Dengan demikian, setiap
mata kuliah masih memberikan tekanan pada bidangnya masing-masing
sebagaimana mestinya, tetapi kerja sama antara keduanya membuat para
mahasiswa menjadi yakin terhadap pentingnya fungsi bahasa Indonesia
keilmuan bagi kelangsungan studi mereka. Kondisi ini secara langsung
maupun tidak langsung, akan memotivasi mereka untuk mengembangkan
bahasa Indonesia keilmuannya menjadi lebih baik. Penemuan psikolinguistik
menunjukkan bahwa motivasi dan perhatian merupakan faktor-faktor yang
amat penting bagi keberhasilan pengembangan bahasa Indonesia. Sebab itu,
motivasi dan minat ini perlu dibina terus-menerus.
Dalam proporsi yang lebih khusus, program pengembangan bahasa
Indonesia iptek juga dapat dilaksanakan melalui pengajaran mata kuliah
Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di perguruan
tinggi. Meskipun dalam praktik tidak semua perguruan tinggi memberikan
mata kuliah Bahasa Indonesia, mata kuliah ini dipandang sangat baik sebagai
sarana pengembangan dan pengkajian bahasa Indonesia iptek. Dalam
pelaksanaannya, materi yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan

bidang keilmuan yang sedang ditekuni para mahasiswa. Untuk mahasiswa
teknik diajarkan bahasa Indonesia teknik, mahasiswa ekonomi diajarkan
bahasa Indonesia ekonomi, begitu pula untuk mahasiswa matematika,
pertanian, kedokteran, dan sebagainya. Jadi ada spesifikasi khusus yang
mengacu pada bidang keilmuan tertentu, tanpa mengesampingkan konvensikonvensi kebahasaan secara umum.
Materi MKDU Bahasa Indonesia yang monoton dan membosankan
harus secepatnya ditinggalkan dan diganti dengan materi-materi yang relevan.
Kecenderungan para pengajar MKDU Bahasa Indonesia yang hanya
menekankan pada masalah penguasaan ejaan, tatabahasa, dan pengetahuan
kebahasaan lainnya harus segera ditinjau ulang dan disempurnakan.
Satu hal yang harus diperhatikan, terlepas dari pola dan materi apa
yang dipakai oleh dosen di perguruan tinggi, rencana/program mata kuliah
Bahasa Indonesia tidak boleh menyimpang dari aspek pokok pengajaran
bahasa Indonesia secara umum. Menurut Jazir Burhan (1981:7-9), pengajaran
bahasa Indonesia, kepada siapapun dan dilaksanakan pada jenjang apapun,
harus meliputi 3 aspek pokok, yaitu (1) aspek humanistik, (2) aspek politik,
dan (3) aspek kultural.
Aspek humanistik adalah aspek yang berhubungan dengan masalah
manusia pada umumnya. Dalam hubungan ini, masalahnya adalah masalah
fungsi bahasa pada umumnya bagi manusia. Fungsi bahasa pada manusia

adalah sebagai alat untuk menyatakan pikiran dan perasaan, alat untuk
memahami peradaban dan kebudayaan bangsa, dan alat berpikir dan berbuat
dalam usaha manusia mempertinggi taraf kebudayaannya.
Aspek politik adalah aspek yang berhubungan dengan cita-cita politik
bangsa Indonesia. Aspek ini digambarkan sebagai keinsyafan setiap warga
negara untuk memelihara, mengembangkan, dan menghargai dengan setinggitingginya akan keberadaan bahasa nasionalnya.
Sedangkan aspek kultural adalah aspek yang berhubungan dengan
kebudayaan, dalam hal ini adalah kebudayaan nasional Indonesia. Dalam
konteks ini, aspek itu terwujud dalam keyakinan para mahasiswa akan
pentingnya penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan dan
bahasa ilmu pengetahuan.
Pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat pula dilaksanakan
melalui Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP/FKIP
atau Fakultas Sastra di universitas. Meskipun tidak semua perguruan tinggi
memiliki program studi atau fakultas itu, pemanfaatan program studi atau
fakultas tersebut dipandang sangat efektif. Sesuai dengan bidang ilmunya
yang relevan, program studi atau fakultas ini harus dapat menjadi pelopor
pengembangan bahasa Indonesia iptek. Selain melalui proses belajar mengajar
yang rutin, program yang dilaksanakan dapat pula dilakukan melalui

penelitian, ceramah/seminar, penerbitan istilah keilmuan, jurnal-jurnal
kebahasaan yang diterbitkan program studi, dan sebagainya.
Anton M. Moeliono (1989:80) menyatakan bahwa masalah pembinaan
bahasa Indonesia di universitas baru dapat ditangani dan diatasi jika
pengajaran bahasa Indonesia pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
sudah disempurnakan. Pengajaran yang dimaksud juga harus didukung adanya
kurikulum

yang

menarik

dan

relevan

dengan

kebutuhan

masyarakat/pembangunan
b. Penerjemahan dan Pembentukan Istilah Keilmuan
Kosa kata keilmuan bahasa Indonesia nyatanya masih kurang
memadai. Karena itu, masih terus-menerus diusahakan pemekaran kosa kata
dalam berbagai disiplin ilmu, dan pemekaran kosa kata ini harus selalu
berpijak pada kaidah-kaidah keilmuan secara internasional. Karena ilmu
bersifat universal, maka kosa kata yang digunakan tidak boleh melanggar
konvensi internasional dalam bidang keilmuan yang bersifat universal
tersebut.
Kosa kata (istilah) fisika, kimia, biologi, matematika, teknik,
kedokteran, kosmetika, dan sebagainya, sebagian besar masih dikemukakan
dalam bahasa asing. Usaha pengindonesiaan istilah-istilah tersebut terus
dilakukan, meskipun hambatannya tidak kecil. Misalnya, betapa sulitnya
menerjemahkan istilah-istilah keilmuan berikut ini: absorbsi, pendaflor,

polarisasi, magnetoresistance, relativitas, kinematis, ionosfir, helisitas
(fisika); oksiser, ornitofili, nanofil, klon, hapaksantik, diasitik, stonium
(biologi); nuklida, ekstrusi, alastomer, difraksi, diazotisasi, bromin, bitumen
(kimia); liabilitas, liposstatik, defoliasi, disinfestan, diostikia, mulsa
(peternakan); dan sebagainya.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam bidang-bidang
keilmuanj tertentu, penerjemahan tidak selalu mudah dan sederhana. Menurut
Anton M. Moeliono (1989:195), usaha penerjemahan itu pada hakikatnya
mengandung makna memproduksi amanat atau pesan di dalam bahasa sumber
dengan padanan yang paling wajar dan paling dekat di dalam bahasa
penerima, baik dari aspek arti maupun dari aspek langgam atau gaya.
Penerjemahan itu pertama-tama harus bertujuan membahasakan
kembali isi amanat atau pesan. Idealnya, terjemahan tidak akan atau sebaiknya
tidak dirasakan sebagai terjemahan. Namun untuk memproduksi amanat itu
janganlah berakibat timbulnya berbagai struktur yang tidak lazim di dalam
bahasa penerima.
Wonderly (1968:50) membedakan dua macam penerjemahan, yaitu
penerjemahan formal dan penerjemahan dinamis. Penerjemahan dinamis
pertama-tama berusaha untuk menyampaikan isi amanat dalam bahasa sumber
dengan

ungkapan-ungkapan

yang

lazim

dalam

bahasa

terjemahan.

Penerjemahan dinamis ini dipandang lebih baik dibandingkan dengan
penerjemahan formal.
Terjemahan karya iptek dalam bahasa Indonesia banyak yang tidak
memuaskan, karena para penerjemah tidak terlaltih dalam ilmu penerjemahan.
Hal ini yang harus diantisipasi sejak dini oleh kalangan perguruan tinggi.
Memang tidak ada terjemahan yang dapat mengalihkan secara menyeluruh isi
dan bentuk suatu teks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Terjemahan
100% itu tidak mungkin.
Walaupun jauh dari ideal, menyadari pentingnya penyediaan
terjemahan bagi pengembangan bahasa Indonesia iptek, para pakar dapat
menerima padanan yang cukup mendekati teks aslinya sebagai terjemahan
yang memadai. Tekanannya adalah pada “padanan yang wajar dan terdekat”
(closest natural equivalent).

Penerjemahan harus berusaha mengalihkan

makna, bukan bentuk leksikogramatikal bahasa sumbernya (Daud H. Soesilo,
1990:186).
Selama ini pembentukan istilah di negeri ini dilakukan oleh Komisi
Pembentukan Istilah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dalam
rangka

pembentukan

istilah

keilmuan,

perguruan

tinggi

seharusnya

mengambil peran yang lebih besar dibandingkan kondisi yang ada sekarang
ini. Hal ini dimungkinkan karena di perguruan tinggi istilah-istilah keilmuan
lebih banyak ditemukan dan dipergunakan. Kalangan perguruan tinggi yang

selama ini hanya bertindak sebagai konsumen harus secepatnya ditinggalkan.
Perguruan tinggi harus mampu menyumbangkan perannya sebagai “produsen”
istilah-istilah keilmuan dari disiplin ilmu yang beragam.
Bentuk yang lebih konkret, baik melalui penerjemahan maupun
melalui pemekaran kosa kata, dapat dilakukan kalangan perguruan tinggi
dengan jalan menyusun daftar (senarai) istilah-istilah keilmuan dalam
berbagai bidang, misalnya istilah khusus matematika, biologi, fifika,
kedokteran, pertanian, teknik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sudah
barang tentu langkah kerja yang demikian itu harus tetap dalam koordinasi
dengan Komisi Pembentukan Istilah.
Anton M. Moeliono (1993:6) menyatakan bahwa pengembangan
peristilahan bahasa Indonesia iptek sepatutnya dilaksanakan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut: (1) klasifikasi ilmu, (2) taksonomi cabang
ilmu, (3) penentuan kelompok sasaran’ (4) penentuan cakupan kumpulan
istilah, (5) perumusan definisi dan penetapan istilah padanan, (6) penyelarasan
definisi dan istilah padanan, dan (7) penerbitan daftar istilah dan kamus
cabang ilmu. Langkah-langkah semacam itu kiranya tepat dilaksanakan oleh
perguruan tinggi dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia iptek.
c. Kegiatan-Kegiatan Lain
Strategi lain yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan bahasa
Indonesia iptek di perguruan tinggi adalah dengan memanfaatkan kegiatan-

kegiatan dan sarana yang beraneka ragam. Sarana yang mungkin dapat
dipergunakan misalnya melalui penataran/ ceramah/ seminar, lomba penulisan
karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel tentang bahasa Indonesia iptek pada
jurnal-jurnal atau buletin-buletin yang ada, dan sebagainya. Meskipun tidak
dikhususkan sebagai sarana pengembangan bahasa Indonesia iptek, saranasarana tersebut dipandang sangat efektif dan efisien dalam mengemban misi
itu.
3. Kendala-Kendala Pengembangan Bahasa Indonesia Iptek di Perguruan
Tinggi
Menurut Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1991:91), sikap positif
terhadap bahasa ditandai dengan: (1) bangga akan bahasa yang dipergunakan, (2)
setia kepada bahasa, dan (3) sadar akan penggunaan kaidah bahasa.
Kenyataannya, sikap-sikap positif tersebut sampai sekarang belum tertanam
dengan baik pada sivitas akademika di perguruan tinggi. Kendala semacam ini
merupakan faktor penghambat yang besar bagi pengembangan bahasa Indonesia
iptek di perguruan tinggi. Tidak jarang di antara mereka yang cenderung bersikap
negatif terhadap bahasa Indonesia, misalnya: (1) menganggap bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang tidak perlu dipelajari, (2) menganggap bahasa Inggris lebih
bagus dan lebih ilmiah dibandingkan bahasa Indonesia, (3) menganggap bahasa
Indonesia tidak mungkin menjadi bahasa murni dan modern (Sri Hastuti, 1993:14).

Tantangan lain yang muncul adalah masalah rendahnya kualitas pelaksana
program. Sering ditemukan betapa sangat memprihatinkannya penggunaan bahasa
Indonesia para dosen, karyawan, dan pihak-pihak terkait lainnya, terlebih lagi
penguasaan bahasa Indonesia keilmuannya. Ini hambatan yang memerlukan
waktu cukup lama untuk membenahinya. Dalam diri mereka masih tertanam sikap
yang menganggap bahwa penguasaan terhadap bahasa Indonesia iptek bukan
merupakan kebutuhan pokok yang mendesak. Sikap apatis semacam ini melanda
hampir sebagian besar sivitas akademika perguruan tinggi.
Apabila program pengembangan bahasa Indonesia iptek tersebut dapat
direkayasa dalam bentuk program yang terencana oleh suatu lembaga pendidikan
tinggi, masalah yang mungkin dihadapi paling awal adalah masalah dana
operasionalnya. Hal ini mengingat kondisi objektif perguruan tinggi di Indonesia
akhir-akhir ini, yang untuk melaksanakan program-program intinya saja masih
kekurangan dana. Alokasi dana yang tersedia sebagian besar masih diprioritaskan
bagi pengadaan dan perbaikan sarana-sarana fisik, seperti perbaikan gedung,
pengadaan peralatan laboratorium, komputer, dan sebagainya. Dengan demikian,
harus disadari jika program pengembangan bahasa Indonesia iptek di perguruan
tinggi (jika ada) tidak mendapatkan prioritas yang utama dibandingkan programprogram akademik lainnya.

C.

SIMPULAN
Untuk menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sangat pesat, bahasa Indonesia harus dikembangkan agar relevan dengan
perkembangan iptek tersebut. Dalam rangka itu, lembaga pendidikan tinggi
dipandang sebagai tempat yang strategis untuk mengembangkan bahasa Indonesia
iptek itu. Hal ini dimungkinkan karena perguruan tinggi memiliki kesempatan yang
lebih besar dalam mengkaji, merekayasa, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dibandingkan dengan lingkungan yang lain.
Pada satu sisi, program pengembangan bahasa Indonesia iptek akan sangat
menguntungkan bagi kalangan perguruan tinggii, karena berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan akan media ekspresi keilmuan yang beraneka ragam
macamnya. Pada sisi yang lain, pelaksanaan program ini dipandang sebagai salah satu
bentuk kepedulian dan partisipasi perguruan tinggi dalam ikut serta memikirkan
masalah-masalah nasional.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu disusun strategi yang cocok, sistematis,
dan diusahakan tidak memerlukan biaya yang besar. Keberhasilan pelaksanaan
strategi yang dimaksud ditentukan oleh 3 hal, yaitu faktor perencanaan program,
pelaksana program, dan faktor pelaksanaannya.
Program yang disusun hendaknya dirancang secara sistematis dengan
mempertimbangkan faktor kemungkinannya untuk diterapkan serta memanfaatkan
fasilitas-fasilitas yang sudah tersedia. Program itu juga harus merupakan bagian yang

takterpisahkan dari rencana induk pengembangan perguruan tinggi secara
keseluruhan.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan bahasa Indonesia iptek dapat
mempergunakan sarana-sarana pengembangan yang tersedia, yaitu melalui proses
belajar mengajar, penerjemahan dan pembentukan istilah keilmuan, lomba penulisan
karya ilmiah, penerbitan artikel-artikel yang relevan, seminar, penataran, dan
kegiatan-kegiatan khusus lainnya. Khusus dalam proses belajar mengajar,
pelaksanaan program ini dapat diimplementasikan melalui proses perkuliahan secara
rutin pada semua fakultas/program studi, melalui MKDU Bahasa Indonesia, dan
melalui proses belajar mengajar pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
(jika ada). Pelaksana program yang dibutuhkan dapat berasal dari unsur dosen,
karyawan, maupun dari unsur mahasiswa, yang pemilihannya ditentukan berdasarkan
sikap dan komitmen mereka terhadap program pengembangan bahasa Indonesia
iptek. Program-program tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan prinsip
integral, terpadu, dan kontinu.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, faktor-faktor yang dimungkinkan dapat
menghambat pelaksanaan program harus diantisipasi dan dikendalikan sejak diini.
Kendala-kendala yang muncul, misalnya dapat berbentuk lingkungan yang tidak
mendukung, sikap objek sasaran program yang kurang posisitf, fasilitas yang tidak
memadai, kualitas pelaksana program yang rendah, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Amran Halim (ed). 1989. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusbinbangsa.
_______. 1989. Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: Pusbinbangsa.
Anton M. Moeliono. 1991. Ancangan Alternatif dalam Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Jakarta: Jambatan.
_______. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: Gramedia.
_______. 1993. “Menyongsong Aneka Fungsi Bahasa Indonesia dengan Perencanaan
Bahasa”, Makalah Seminar Nasional di IKIP Surabaya, 23 Oktober 1993.
Daud H. Soesilo. 1990. “Aneka Pendekatan di dalam Penerjemahan: Sebuah Tinjauan”,
PELBA 3. Jakarta: Unika Atmajaya.
Harimurti Kridalaksana. 1992. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa
Indah.
Herman J. Waluyo. 1991. Penalaran Bahasa. Surakarta: UNS.
_______. 1991. “Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah”, Makalah Seminar
Bulan Bahasa IKIP PGRI Madiun, 09 November 1991.
Jazir Burhan. 1981. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung:
Ganaco.
Jujun S. Suriasumantri. 1995. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.
Robinson, Pauline C. 1984. English for Spesifics Pusposes. New York: Pergamon Press.
Soewito. 1991. Sosiolinguistik. Surakarta: UNS.
Sri Hastuti. 1993. Permasalahan dalam Bahasa Indonesia. Yogjakarta: Intan.

Zuchridin Suryawinata. 1995. Bahasa, Pengajaran Bahasa, dan Penerjemahan. Malang:
P-5 PT IKIP Malang.

PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA IPTEK DI PERGURUAN TINGGI
MELALUI PROSES BELAJAR MENGAJAR, TERJEMAHAN DAN
PEMBENTUKAN ISTILAH KEILMUAN

Oleh
Drs. Bambang Eko Hari Cahyono

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI IKIP PGRI MADIUN
November 2006