gambaran self regulation pada remaja yan

THE DESCRIPTION OF SELF REGULATION PHASE ON TEENAGER
WHO ARE BLINDNESS POST-SURGICAL BRAIN TUMOR
Mucholilatul Chotimah
mucholilatulchotimah@gmail.com
Yunita Kurniawati
Sumi Lestari

Abstract
This research was conducted to find out the description of self regulation phase on
teenager with brain tumor post-surgical blindness. The Subject of this study is a 15-yearsold teenager who suffer brain tumor post-surgical blindness. Teenager who suffer brain
tumor post-surgical blindness must be able to adapt and cope with the problems incurred,
that ability is referred to as self regulation. So, self regulation is appropriate to help the
teenagers in solving their problems. Self regulation is the ability of controlling, arranging,
planning, aiming, and monitoring behavior for achieve purpose. This qualitative research
used study case approach, which is the subject who was choosen by purposive sampling.
The methods of data collection were interview and observation. The researcher analyzed
the data by using data reduction, data display, and conclusion drawing. The result of this
research found that the phase of self regulation the subject of the study did not through
self observation, however the subject through the judgemental process and self-response.
So, the effort to fulfill its goal which able to socialize with new people did not run
optimally although there was behavior change in able to socialize.

Keyword : self regulation phase, teenager, surgical brain tumor, blindness

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tahap self regulation pada
remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak. Subjek adalah remaja berusia
15 tahun, dan mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak. Remaja yang mengalami
kebutaan pasca operasi tumor otak harus mampu beradaptasi dengan mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dialaminya dengan kondisi baru, kemampuan itu
disebut sebagai self regulation. Sehingga self regulation ini sesuai untuk membantu
remaja dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Self regulation diartikan sebagai
kemampuan untuk mengontrol, mengatur, merencanakan, mengarahkan, dan memonitor
perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan
studi kasus dengan satu subjek dan pemilihan subjek menggunakan purposive sampling.
Metode pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan
reduksi data, display data, dan conclusion drawing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
subjek tidak melalui setiap tahap self regulation. Tahap yang tidak dilalui subjek adalah
tahap observasi diri sedangkan tahap yang dilalui subjek adalah tahap penilaian diri dan
respon diri. Sehingga usaha untuk memenuhi tujuannya yaitu dapat bersosialisasi dengan
orang baru belum berjalan secara optimal meskipun terdapat perubahan perilaku untuk
bersosialisasi.

Kata kunci : tahap self regulation, remaja, operasi tumor otak, kebutaan

LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa transisi dari tahapan masa kanak-kanak ke tahap
dewasa. Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar
usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Menurut Scheidt
(Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) sembilan dari sepuluh remaja menganggap diri mereka
sehat, padahal kenyataannya seringkali remaja mengeluhkan rasa sakit dari yang ringan
seperti sakit kepala dan sakit perut hingga sakit berat seperti sakit tumor dan kanker.
Prevalensi kejadian tumor dan kanker di Indonesia pada tahun 2004 dari data yang
didapatkan Yayasan Kanker Indonesia diketahui adanya 171 kasus remaja yang terserang
tumor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Instalasi Patologi Anatomi Rumah
Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang periode Januari 2008 hingga Desember 2010 dari
data rekam medis didapatkan 361 kasus tumor kelenjar liur dan 1760 kasus pasien tumor
payudara (Norahmawati, 2012). Banyak macam-macam tumor salah satunya adalah tumor
otak yang merupakan penyakit penyebab kematian dan kecacatan pada masyarakat. Gejala
spesifik yang dijumpai pada penderita tumor otak adalah adanya gangguan perubahan
perilaku, psikosis, gangguan penciuman, gangguan telinga, kurang pendengaran, rasa

sakit, mata tak bisa dikatupkan dan akhirnya koma. Gangguan yang paling akhir sebelum
kematian adalah kebutaan (Hakim, 2005).
Berdasarkan data gejala yang dialami oleh penderita tumor otak, saat remaja
terserang penyakit tumor otak maka harus ada penanganan untuk mengobatinya.
Penanganan yang dilakukan adalah dengan operasi. Menurut Kusmawan (2011) operasi
merupakan salah satu tindakan medis yang dilakukan untuk penyakit yang ada didalam
tubuh, karena apabila tidak dilakukan pembedahan kondisi tubuh akan semakin parah.
Sebelum melakukan operasi ada prosedur yang dilakukan yaitu prosedur tindakan yang
akan dijalani pasien baik diagnostik maupun terapi sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Hal ini mencakup bentuk, tujuan, risiko, manfaat dari operasi yang akan
dilaksanakan dan alternatifnya. Pasien atau keluarga harus diberi waktu yang cukup untuk
menentukan keputusan. Menurut Hanafiah dan Amir pada jenis tindakan bedah dan
tindakan invasif lainnya informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan bedah (Triana, 2012). Pemberian informasi mengenai operasi diharapkan dapat
memberi gambaran pada pasien dan keluarganya untuk persiapan menjalani operasi,

gejala-gejala yang akan ditimbulkan hingga kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
pasca operasi. Kemungkinan yang terjadi pasca operasi tumor otak adalah adanya
gangguan pada mata atau bahkan buta total (Hakim, 2005). Kondisi pasca operasi yang
menurut Hakim (2005) paling parah adalah adanya kebutaan total pada pasien pasca

operasi tumor otak karena hal tersebut terjadi sebelum resiko kematian. Menurut
Soemantri (2007), tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya atau kedua-duanya
tidak berfungsi sebagai saluran menerima informasi dalam kegiatan sehari-hari. Remaja
yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak akan mengalami perubahan dalam
hidupnya, dimana pada awalnya remaja mampu melihat kemudian pasca operasi tumor
otak harus kehilangan fungsi penglihatannya. Keadaan fisik yang baik dan memenuhi
harapan remaja akan menimbulkan kepuasan akan tetapi sebaliknya ketika perubahan fisik
tersebut menyimpang maka akan menimbulkan kerisauan pada remaja (Monks dkk, 2001).
Fillah (2008) menyatakan bahwa kehilangan penglihatan adalah sebuah musibah
yang besar. Remaja harus mengenali lagi segala yang pernah dilihat dengan raba, aroma,
dan rasa kemudian harus belajar mengenali semuanya dari awal. Penglihatan yang dapat
berfungsi dengan normal kemudian mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak, bila
tidak diimbangi dengan bekal secara psikologis akan menjadi hambatan bagi
perkembangan kepribadian remaja. Kondisi tersebut akan menjadikan remaja mengalami
hambatan dalam masa perkembangannya dan mengharuskan adanya tindakan yang
dilakukan oleh remaja agar mampu bangkit dari keterpurukan pasca operasi tumor otak.
Remaja akan melakukan proses penyesuaian diri untuk memotivasi, mengurangi dan
mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan individu untuk memanipulasi
lingkungan terhadap permasalahan disebut self regulation (Kurniawan, 2010). Menurut
Bandura self regulation adalah kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil

yang diinginkan di masa yang akan datang dengan mengembangkan strategi tingkah laku
yang membimbing kearah tujuan jangka panjang.
Self regulation menunjukkan adanya kemampuan untuk mengubah perilaku
sebagai cara mengatasi permasalahan yang baru dihadapi seperti perubahan kondisi mata
yang pada awalnya mampu melihat kemudian buta. Perubahan perilaku tersebut realistis
untuk dilaksanakan individu jika didasarkan oleh penetapan tujuan melakukannya dengan
adanya informasi-informasi yang relevan (Boeree, 2005). Remaja yang mengalami
perubahan fisik, dimana pada awalnya memiliki kondisi fisik yang normal kemudian
menjadi buta pasca operasi tumor otak, maka remaja tersebut akan merasa sedih dan self

regulation mampu membantu untuk mengurangi kesedihan atas kebutuhan yang tidak
terpenuhi. Self regulation membantu individu untuk menyesuaikan diri dengan mengenali
tanda-tanda awal ketidaknyamanan dan kesusahan yang berhubungan dengan kondisi baru
yang dialami oleh individu (Kurniawan, 2010). Self regulation yang baik akan mendorong
individu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pribadi mereka dalam hal metakognisi,
motivasi dan perilaku mereka. Hal tersebut dapat meningkatkan toleransi terhadap
masalah yang sedang dihadapi (Zimmerman, 2008). Berdasarkan paparan diatas, dapat
diketahui bahwa remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak harus dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang ia hadapi. Apalagi pada tahap perkembangan
remaja sangat memperhatikan kondisi fisiknya (Monks dkk, 2001). Remaja yang

mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak perlu melakukan tindakan untuk
menyesuaikan diri. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan self regulation.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian gambaran tahap
self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak. Tujuan
dari penelitian ini adalah agar dapat diketahui gambaran tahap self regulation pada remaja
yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor.

LANDASAN TEORI
A. Self Regulation
1.

Pengertian Self Regulation
Menurut Bandura, self regulation adalah kemampuan untuk menggambarkan secara

imajinatif hasil yang diinginkan di masa yang akan datang dengan mengembangkan
strategi tingkah laku yang membimbing kearah tujuan yang remaja inginkan. Secara
umum self regulation digunakan untuk mengontrol proses berpikir, kondisi emosional,
reaksi impulsive, dan kinerja dari suatu tugas sehingga tidak menimbulkan kelelahan. Self
regulation juga diartikan sebagai perubahan yang diarahkan, dimana individu melihat
kemampuan dirinya dalam memberikan suatu reaksi sesuai dengan beberapa standar yang

ada (Alwisol, 2004).
Definisi self regulation yang dikemukakan oleh Maes & Gebhardt diartikan
sebagai suatu urutan tindakan atau suatu proses yang mengatur tindakan dengan niat untuk
mencapai suatu tujuan pribadi. Self regulation merupakan kemampuan mengontrol
perilaku sendiri sebagai penggerak utama kepribadian manusia (Boeree, 2005). Cervone
dan Pervin (2012) self regulation merupakan istilah umum yang melibatkan perilaku

motivasi diri secara langsung. Menurut Taylor regulasi diri terdapat dalam setiap individu
meskipun tidak semua individu dapat memanfaatkan hal tersebut pada situasi yang tepat,
oleh karena itu regulasi diri perlu dilatih sehingga dapat menentukan pilihan- pilihan
dalam hidup (Istriyanti dan Simamarta, 2014).
Berdasarkan dari beberapa pengertian yang sudah di uraikan, dapat disimpulkan
bahwa self regulation adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan cara
mengontrol, merencanakan, dan mengatur perilaku untuk memenuhi tujuan yang
diinginkan.
2. Tahap self regulation
Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu yang membedakan hanyalah
efektivitas dari self regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan
kemampuan self regulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan

dapat dicapai secara optimal. Sebaliknya pada saat seseorang kurang mampu
mengembangkan kemampuan self regulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang
telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam
kemampuan self regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu
tahap self regulation (Boekaerts, 2000). Pada tahap self regulation lingkungan atau
pengaruh sosial berperan sebagai model, strategi, atau umpan balik dan hal ini
mempengaruhi tindakan remaja (Arjanggi dan Suprihatin, 2010).
Berdasarkan tahap self regulation dari Bandura (Boeree, 2008) terdapat tiga tahap
self regulation, yaitu:
a.

Pengamatan Diri (Self Observation)
Pengamatan diri adalah melihat diri dan perilaku yang sudah dilakukan serta

mengawasinya dengan sengaja atau diartikan sebagai observasi diri terhadap performa
yang sudah dilakukan (Boeree, 2008). Manusia sanggup memonitor penampilannya
meskipun tidak lengkap atau akurat. Dalam hal ini, remaja memilih perilaku yang ingin
diamatinya (Alwisol, 2007).
b.


Penilaian Diri (Self evaluation)
Penilaian diri dilakukan dengan cara individu membandingkan apa yang dilihat pada

diri dan perilaku dengan standar ukuran. Contohnya remaja membandingkan perilaku
sendiri dengan standar-standar tradisional seperti tata krama, atau remaja dapat
menciptakan standar ukuran sendiri (Boore, 2008). Penilaian diri yang dilakukan oleh

remaja akan membuatnya menyesuaikan diri dengan standar yang ada dengan menetapkan
tujuan yang sesuai dengan standar yang ada. Menurut Cervone dan Williams beberapa
individu menyusun tujuan-tujuan yang menantang, yang lain membuat tujuan-tujuan yang
mudah, beberapa individu memiliki tujuan-tujuan yang spesifik, yang lain membuat
tujuan-tujuan yang ambigu, beberapa menekankan pada tujuan yang singkat, tujuan yang
dekat, sementara yang lain menekankan pada rentang yang panjang tujuan yang jauh.
Cropanzano menjelaskan bahwa penetapan tujuan tersusun secara hirarkis dari orientasi
yang abstrak yang berada diatas, kemudian diturunkan kesesuatu yang lebih
konkret.Penetapan tujuan yang abstrak biasanya merupakan penetapan tujuan jangka
panjang, sedangkan penetapan tujuan yang kongkret merupakan penetapan tujuan jangka
pendek. Orientasi tujuan jangka pendek dan kongkret inilah yang sangat berpengaruh
terhadap motivasi remaja dan memberikan panduan bagi remaja untuk mencapainya
(Sunawan dan Trianni, 2005)

Pada pencapaian tujuan kepercayaan terhadap efikasi diri juga mempengaruhi
bagaimana orang mengatasi kekecewaan dan tekanan dalam mencapai tujuan-tujuan
hidupnya (Cervone dan Pervin, 2012). Hjelle dan Ziegler menyatakan bahwa efikasi diri
berhubungan dengan penilaian bagaimana seseorang menyakini kemampuan mereka
melakukan suatu perilaku atau tindakan yang berhubungan dengan suatu tugas (Wulandari
dan Zulkaida, 2007).
c.

Respon diri
Pada respon diri individu akan memberikan imbalan pada dirinya. Jika individu telah

membandingkan diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu, maka individu dapat
memberi imbalan respon diri pada diri sendiri. Sebaliknya, jika perilaku tidak sesuai
dengan standar ukuran, remaja dapat mengganjar diri sendiri juga dengan respon diri.
Menurut Boere (2008) bentuk respon diri bisa bermacam-macam mulai dari yang sangat
jelas misalnya bekerja keras, bekerja larut malam, dan berusaha merubah perilaku agar
lebih baik sesuai standar yang telah ditentukan

sampai pada bentuk implisit seperti


perasaan bangga atau malu dengan apa yang telah diusahakannya. Respon diri digunakan
untuk menyesuaikan perilaku atau mendekati tujuan.

B. Remaja
1. Definisi Remaja
Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan
antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan
biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13
tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Menurut Larson definisi mengenai
remaja tidak hanya melibatkan pertimbangan mengenai usia namun juga sosio historis,
tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.
2. Perkembangan remaja
Ramaja mengalami masa perkembangan yang meliputi:
a.

Biologis
Santrock (2007) mengungkapkan pubertas adalah sebuah periode dimana

kematangan fisik berlangsung pesat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh yang
terutama berlangsung di masa remaja awal. Pada remaja awal, pertumbuhan fisiknya
sangat pesat. Pada remaja akhir, proporsi tubuh mencapai ukuran tubuh orang dewasa
dalam semua bagiannya (Yusuf, 2005).
b.

Kognitif
Menurut Piaget pemikiran remaja berada pada tahap operasional formal yang

muncul antara 11 hingga 15 tahun. Tahap ini individu melampaui pengalamanpengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari
pemikiran yang lebih abstrak remaja mengembangkan gambaran mengenai keadaan yang
ideal. Mereka dapat berpikir bagaimanakah orang tua yang ideal itu dan membandingkan
orangtua mereka dengan standar ideal ini. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinankemungkinan dimasa depan dan terkagum-kagum terhadap hal yang bisa mereka lakukan.
Ketika memecahkan masalah mereka dapat bekerja secara lebih sistematis dan
mengembangkan hipotesis mengenai mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian
menguji hipotesis ini (Santrock, 2007).
c.

Emosi
Santrock (2007) mengungkapkan bahwa remaja tidak mengetahui bagaimana

caranya mengekspresikan perasaan mereka secara cukup. Tanpa provokasi sama sekali
atau dengan provokasi sedikit, mereka dapat menjadi sangat marah kepada orang tuanya,
memproyeksikan perasaan-perasaan mereka yang tidak menyenangkan kepada orang lain.

d.

Sosial
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya

dibanding orang tua. Secara bertahap remaja meninggalkan rumah dan bergaul secara
lebih luas dalam lingkungan sosialnya. Luasnya pergaulan mereka dimulai dari
terbentuknya kelompok-kelompok teman sebaya sebagai wadah penyesuaian diri, yang
didalamnya timbul persahabatan. Saat pergaulan ini, remaja mendapat pengaruh yang kuat
dari teman sebaya, sehingga mereka mengalami perubahan-perubahan tingkah laku
sebagai salah satu usaha penyesuaian diri (Santrock, 2007).
e.

Sosio-emosional
Keadaan fisik yang baik dan memenuhi harapan remaja akan menimbulkan

kepuasan akan tetapi sebaliknya ketika perubahan fisik tersebut menyimpang maka akan
menimbulkan kerisauan pada remaja (Monks dkk, 2001). Keadaan fisik mempunyai arti
khusus bagi remaja, oleh karena itu penyimpangan fisik tidak dapat ditoleransi remaja.
Kekhawatiran akan penolakan sosial dan keraguan bahwa ramaja tidak mempunyai daya
tarik fisik begitu besar bagi remaja penyandang cacat tubuh. Menurut Monks, dkk (2001)
cacat-cacat badan sangat merisaukan terutama pada masa remaja sebab penampilan fisik
pada masa ini sangat dianggap penting, Kecacatan yang mempengaruhi penilaian remaja
sedemikian rupa sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat.
Menurut Kohlberg ada dua tingkatan dari penalaran moral (moral reasoning) pada
usia remaja. Pertama conventional morality pada usia 10 hingga 13 tahun atau lebih, orang
telah menginternalisasi standar dari figur otoritas. mereka peduli tentang menjadi baik,
menyenangkan orang lain, dan mempertahankan aturan sosial. Tingkat ini biasanya
tercapai setelah umur 10 tahun, banyak yang tidak pernah bergerak naik dari tingkatan ini
bahkan ketika dewasa. Pada tingkat ini lebih pada mempertahankan hubungan timbal
balik, persetujuan dari orang lain, dan aturan harus ditaati. Selanjutnya adalah
postconventional morality pada usia remaja awal atau tidak terbentuk sampai dewasa awal
atau tidak akan pernah tercapai dengan ciri yaitu orang mengenali konflik antara standar
moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan, dan
hukum. Orang biasanya tidak mencapai tingkatan dari penalaran moral ini sampai
setidaknya awal masa remaja atau lebih umum di masa dewasa awal, walaupun tidak
semua orang mencapai tahap ini (Papalia dkk, 2009).

C. Operasi Tumor Otak
Menurut Tamsuri operasi adalah suatu bentuk tindakan invasif yang hanya dapat
dilakukan oleh tenaga profesional dan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pasien
dan keluarganya. Operasi atau pembedahan merupakan salah satu prosedur khusus medik
yang dapat atau harus dilakukan sebagai terapi terhadap penyakit (Triana, 2012). Menurut
Kusmawan (2011) operasi adalah salah satu tindakan medis yang harus dijalankan
menyangkut penyakit yang ada pada tubuh, yang apabila tidak dilakukan pembedahan
akan semakin parah dan kebanyakan orang merasa cemas bahkan tidak sedikit yang panik
ketika divonis harus menjalani operasi (Kusmawan, 2011). Tumor otak mulai dikenal
sebagai salah satu penyebab kebutaan dan kematian pada masyarakat. Penyakit ini
diartikan sebagai suatu masa abnormal yang ada dalam tengkorak disebabkan oleh
multiplikasi sel-sel yang berlebihan dan menyebabkan adanya proses desak ruang.
Penyebab multiplikasi itu sendiri sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, bagaimana
sebetulnya proses terjadinya tumor ganas atau tumor jinak tersebut (Hakim, 2005).
Berdasarkan dari beberapa pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa operasi tumor
otak adalah tindakan medis berupa pembedahan yang dilakukan untuk mengurangi akibat
yang akan ditimbulkan oleh penyakit tumor otak.
D. Tunanetra
Menurut Soemantri (2007), tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya
atau kedua-duanya tidak berfungsi sebagai saluran menerima informasi dalam kegiatan
sehari-hari. Tunanetra terdiri dari dua kata yaitu tuna dan netra, tuna berarti rusak, luka,
kurang, dan tiada memiliki sedangkan netra berarti mata sehingga tunanetra dapat
diartikan rusak mata. Sedangkan menurut Tarsidi tunanetra adalah mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa
penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat membaca tulisan biasa meskipun sudah
dibantu dengan kaca mata. Kemudian tunanetra juga didefinisikan sebagai seorang
individu yang harus menggunakan banyak teknik alternatif jika ia ingin berfungsi secara
efisien, sehingga pola kehidupan sehari-harinya sangat berubah. Teknik alternatif yang
dimaksud disini adalah teknik yang memanfaatkan indera-indera lain untuk menggantikan
fungsi indera-indera penglihatan (Fahmi, 2012).

METODE
Partisipan dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor
(Moleong, 2012) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Mereka juga menjelaskan bahwa metodologi kualitatif
merupakan cara pengumpulan data yang disesuaikan dengan ungkapan hati orang (yang
diteliti) itu sendiri, sikap, dan tingkah laku mereka. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus, studi kasus adalah penelitian mengenai status subjek
penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas, yang menyelediki fenomena khusus didalam konteks kehidupan nyata. Kasus
ini dapat berupa individu, peran kelompok kecil, organisasi, komunitas, dapat pula berupa
keputusan, kebijakan atau peristiwa khusus (Poerwandari, 2005). Subjek yang terlibat
dalam penelitian ini adalah seorang remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor
otak.
Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian menggunakan metode wawancara dan
observasi. Wawancara yang digunakan adalah semiterstruktur dan metode observasi non
partisipan. Data dalam penelitian ini menggunakan data primer yaitu subjek dan data
sekunder yaitu ibu dan saudara kandung subjek. Pengambilan data dilakukan selama dua
bulan dan peneliti sudah melakukan pendekatan dengan subjek dan keluarga subjek
sebelumnya. Wawancara dilakukan peneliti sebanyak 13 kali dan observasi dilakukan
sebanyak 8 kali.

HASIL
Hasil penelitian ini menggambarkan tahap self regulation pada remaja yang
mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak.
Tabel 1 Hasil Penelitian Tahap Self Regulation
Tema
Tahap self
regulation

Sub Tema
Pengamatan
diri
Penilaian diri

Respon diri

Bagian
Perilaku
diri
Tujuan

Hasil
-

Subjek
menentukan
tujuan
yang
diinginkannya yaitu subjek mampu
bersosialisasi khususnya dengan orang
baru. Agar dapat bersosialisasi subjek
harus dapat mengontrol emosi dan
memperjelas bahasa yang digunakan.
Efikasi diri Subjek yakni dengan kemampuannya
untuk melakukan tujuan yang telah
ditentukannya.
Bentuk yang sangat jelas berupa prilaku
Bentuk
yang subjek lakukan untuk memperbaiki
yang
sangat jelas kemampuan bersosialisasi subjek dengan
orang baru. Hal ini dapat dilihat dengan
perubahan perilaku subjek. Secara
perlahan subjek mampu mengajak orang
lain untuk berbicara meskipun hanya
beberapa kara. Namum subjek masih
terkesan membatasi pembicaraan dan
mencoba diam ketika ada orang baru agar
tetap bisa mengontrol emosinya.
Subjek senang dengan usaha yang ia
Bentuk
lakukan karena subjek merasa bahwa apa
implisit
yang subjek lakukan adalah usaha
maksimal meskipun hasil yang didapatkan
hanya menunjukkan perubahan kecil dari
perilaku sebelumnya

Hasil wawancara data primer maupun data sekunder dan hasil observasi
menyimpulkan bahwa subjek tidak melalui seluruh tahap self regulation. Tahap
pengamatan diri merupakan tahap yang tidak dilalui oleh subjek. Sedangkan tahap
penelitian diri dan tahap respon diri dilalui oleh subjek. Pada pengambilan data yang
digunakan baik wawancara data primer dan data sekunder maupun data observasi.
Meskipun pada tahap penilaian diri tidak muncul pada pengambilan data observasi namun
ini bisa digunakan karena ada penguatan data wawancara pada waktu yang berbeda dan
kesamaan dengan pernyataan dari data sekunder.

DISKUSI
Tahap self regulation ini dilakukan oleh remaja yang mengalami kebutaan pasca
operasi tumor. Menjalani tahapan self regulation bukanlah hal yang mudah, subjek harus
berusaha melalui beberapa proses dalam tahap self regulation untuk mencapai tujuannya
dengan kondisi yang baru dialaminya yaitu kebutaan pasca operasi tumor otak. Subjek
menjalani tahap self regulation dengan usaha sendiri dan bantuan dari keluarganya.
Berikut gambaran tahap self regulation pada subjek yang mengalami kebutaan pasca
operasi tumor otak.
1. Tahap Pengamatan Diri
Subjek tidak melewati pengamatan diri, namun subjek mampu membuat tujuan
untuk mampu bersosialisasi dengan baik terutama pada orang baru yang berada
disekitarnya. Pada hasil observasi pertama diketahui bahwa subjek berteriak ketika ada
orang baru diruang tamu. Subjek juga tidak memperdulikan ketika orang baru tersebut
mendekati subjek dan kemudian menyapa subjek. Subjek memalingkan tubuhnya dan
wajahnya bahkan ketika orang baru tersebut menyentuh tangan subjek, subjek menjauhkan
tangannya. Ditinjau dari segi psikis menurut Soemantri (2007) pada tunanetra adanya
kecurigaan pada orang lain dan ini subjek tunjukkan dengan kesulitannya untuk
bersosialisasi dengan orang baru. Subjek memahami bahwa dirinya tidak melakukan
sosialisasi dengan baik hal ini dikarenakan adanya tujuan subjek untuk dapat bersosialisasi
dengan baik dan merubah sikapnya. Namun hal tersebut tidak dapat dijelaskan oleh subjek
karena keterbatasan yang dimiliki subjek. Tidak dilaluinya pengamatan diri pada tahap ini
dapat mempengaruhi efektifitas proses self regulation pada subjek hal ini sesuai dengan
teori yang diungkapkan Boekaerts (2000) bahwa pada saat seseorang kurang mampu
mengembangkan kemampuan self regulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang
telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam
kemampuan self regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu
tahap self regulation.
2. Tahap penilaian diri
Penilaian diri dilakukan dengan cara individu membandingkan apa yang dilihat
pada diri dan perilaku dengan standar ukuran (Boeree, 2008). Pada tahap ini subjek
membandingkan antara perilakunya dengan standar yang ada sehingga subjek menetapkan
tujuan untuk memperbaiki kemampuan bersosialisasi khususnya dengan orang baru. Hal

ini dilakukan subjek tanpa ada pengamatan diri yang terukur. Pada penilaian diri terdapat
dua bagian yaitu penetapan tujuan dan efikasi diri. Berikut penjelasannya:
a.

Penetapan tujuan
Penilaian diri yang dilakukan oleh remaja akan membuatnya menyesuaikan diri

dengan standar yang ada dengan menetapkan tujuan. Berdasarkan data yang didapatkan
diketahui bahwa subjek memiliki sosialisasi yang buruk dengan orang lain khususnya
pada orang baru yang berada disekitarnya dan hal ini tidak sesuai dengan standar yang ada
pada masyarakat umum. Pada proses penetapan tujuan subjek menetapkan tujuan untuk
mampu bersosialisasi. Penetapan tujuan untuk mampu bersosialisasi ini dinyatakan oleh
subjek pasca operasi terjadi. Sebelumnya subjek menyatakan bahwa tujuannya adalah
kembali seperti semula dan itu merupakan tujuan jangka panjang dan terlalu abstrak
sehingga subjek membuat tujuan jangka pendek yaitu mampu bersosialisasi dengan orang
baru agar tindakan yang dilakukan lebih konkret. Cropanzano menjelaskan bahwa
penetapan tujuan tersusun secara hirarkis dari orientasi yang abstrak yang berada diatas,
kemudian diturunkan kesesuatu yang lebih konkret. Penetapan tujuan yang abstrak
biasanya merupakan penetapan tujuan jangka panjang, sedangkan penetapan tujuan yang
kongkret merupakan penetapan tujuan jangka pendek. Orientasi tujuan jangka pendek dan
kongkret inilah yang sangat berpengaruh terhadap motivasi remaja dan memberikan
panduan bagi remaja untuk mencapainya (Sunawan dan Trianni, 2005).
b.

Efikasi diri
Hjelle dan Ziegler menyatakan bahwa efikasi diri berhubungan dengan penilaian

bagaimana seseorang menyakini kemampuan mereka melakukan suatu perilaku atau
tindakan yang berhubungan dengan suatu tugas (Wulandari dan Zulkaida, 2007). Subjek
memiliki efikasi diri yaitu subjek yakin akan mampu melaksanakan sosialisasi yang
diharapkan. Hal ini dikarenakan subjek yakin seluruh cobaan yang diberikan Tuhan akan
dapat dilalui dengan usaha optimal. Adanya efikasi diri pada subjek dipengaruhi
lingkungan sekitar yang sering memberikan semangat keyakinan dengan pertolongan
Tuhan. Hal ini dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan subjek pada masa lalu dimana
menurut Santrock (2007) pada masa remaja, remaja mendapat pengaruh yang kuat dari
teman sebaya, sehingga mereka mengalami perubahan-perubahan tingkah laku sebagai
salah satu usaha penyesuaian diri. Efikasi diri subjek mendapat pengaruh kuat dari
keluarga, hal ini dikarenakan subjek pasca operasi jarang sekali bergaul dengan teman
sebayanya sehingga saat ini yang lebih memberi pengaruh pada subjek adalah keluarga.

Arjanggi dan Suprihatin (2010) bahwa pada tahap self regulation lingkungan sosial
berpengaruh pada faktor pribadi remaja seperti tujuan dan kepekaan efikasi diri. Efikasi
diri subjek mendapat pengaruh positif dari lingkungan sosial yang berperan dalam
membantu perkembangan subjek untuk mencapai tujuan sosialisasi dengan orang baru.
3. Tahap respon diri
Tahap respon diri merupakan tahap setelah penilaian diri. Tujuan dan efikasi diri
subjek kemudian mendapatkan respon. Respon diri merupakan imbalan yang diberikan
oleh remaja pada dirinya. Pada respon diri terdapat dua bagian yaitu respon diri bentuk
yang sangat jelas yaitu berupa perilaku dan respon diri dengan bentuk implisit. Berikut
penjelasan tiap bagian pada tahap respon diri ini:
a. Bentuk yang sangat jelas (perilaku)
Menurut Boeree (2008) respon diri pada bentuk yang sangat jelas ini ditampakkan
dengan perubahan perilaku sesuai tujuan pada penilaian diri yang dilakukan sebelumnya.
Perubahan perilaku yang diinginkan subjek adalah mampu bersosialisasi dengan orang
baru hal ini sesuai tujuan pada tahap penilaian diri. Subjek memilih tujuan ini karena
ketika subjek bertemu dengan orang baru, subjek menghindar dengan mengeluarkan suara
yang keras atau menangis. Subjek ingin mengubah hal tersebut dengan cara mengontrol
emosi, berbicara dengan jelas dan mengajak oranglain berbicara. Subjek berusaha untuk
tidak membentak ataupun menangis, berbicara perlahan dengan artikulasi yang jelas, dan
mengawali pembicaraan dengan orang baru. Semua itu tidak dilakukan subjek dengan
optimal. Kesulitan subjek dalam mengontrol emosi ketika bertemu dengan orang baru juga
dikarenakan subjek mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak yang menyebabkanya
harus beradaptasi dengan kondisi baru dan menurut Fillah (2008) kehilangan penglihatan
merupakan sebuah musibah yang besar. Emosi yang ditunjukkan oleh subjek dengan
menangis dan berteriak adalah karena subjek merasa bahwa dirinya kehilangan
penglihatan dan penyimpangan fisik pada remaja menurut Monks dkk (2001) akan
mengakibatkan adanya kekhawatiran akan penolakan sosial dan merupakan perasan tidak
menyenangkan yang dirasakan oleh remaja. Sehingga peningkatan optimal yang terjadi
pada pengontrolan emosi subjek hanya tampak saat observasi terakhir yaitu subjek tidak
membentak maupun menangis ketika ada orang baru yang berada didekatnya. Pada
observasi sebelumnya subjek berusaha menahan emosi namun beberapa saat kemudian
subjek menangis atau berteriak. Meskipun efikasi subjek tinggi namun subjek masih
belum dapat optimal untuk mengatasi kekecewaan dan tekanan dalam mencapai tujuan

untuk bersosialisasi hal ini tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Cernove dan
Pervin (2012) bahwa efikasi diri mempangaruhi bagaimana orang mengatasi kekecewaan
dan tekanan dalam mencapai tujuannya.
Respon selanjutnya ditunjukkan oleh subjek adalah usaha untuk berbicara pelanpelan dan jelas yaitu subjek menggunakan bahasa dengan jelas dan perlahan agar
artikulasi yang digunakan dapat dimengerti oleh orang lain meskipun hal ini masih dibantu
oleh lawan bicara dengan cara bertanya pada subjek untuk kelimat yang tidak dimengerti.
Bersosialisasi dengan orang baru merupakan moral yang harus dilakukan dalam keluarga
subjek. Berbicara sopan adalah moral dari kebudayaan masyarakat dan subjek
menginginkan mampu bersosialisasi pada orang lain dengan berbicara perlahan. Hal ini
sesuai dengan apa yang Kohlberg (Papalia, 2009) katakan bahwa pada usia 10 hingga 13
tahun atau lebih berada pada tahap conventional morality dimana remaja telah
menginternalisasi standar dari figur otoritas. Keluarga subjek banyak membantu subjek
dalam bersosialisasi dengan orang baru Arjanggi dan Suprihatin (2010) yang menyatakan
pada tahap self regulation lingkungan atau pengaruh sosial berperan sebagai pengaruh
untuk menentukan strategi bagi remaja. Pada tahap respon diri keluarga subjek berperan
dalam membantu subjek agar subjek mampu bersosialisasi khususnya pada orang baru.
Respon diri untuk mampu bersosialisasi belum optimal dilakukan oleh subjek juga karena
pada pengamatan diri subjek tidak melaluinya dan hal ini menurut Boekaerts (2000)
bahwa pada saat seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan self regulation
dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat dicapai
secara optimal. Ketidakefektifan dalam kemampuan self regulation ini bisa disebabkan
oleh kurang berkembangnya salah satu tahap self regulation.
b. Bentuk implisit (perasaan)
Subjek senang dengan apa yang telah dilakukannya dalam menjalani perubahan
perilaku agar lebih bisa bersosialisasi dengan baik. Subjek tidak kecewa dan menyesal
dengan seluruh usaha yang dilakukannya meskipun usaha yang dilakukan subjek belum
optimal karena perubahan yang diberikan hanya sedikit. Penelitian yang dilakukan oleh
Wulandari dan Zulkaida (2007) menyatakan bahwa hasil dari tindakan yang dilakukan
dinilai dengan penghargaan eksternal dari orang lain dan evaluasi diri sendiri secara
internal. Keluarga subjek senantiasa memberikan motivasi untuk subjek meskipun apa
yang dilakukan subjek belum optimal hal ini mempengaruhi efikasi diri subjek. Sedangkan
untuk evaluasi diri sendiri secara internal, subjek belum dapat melakukannya dengan baik.

Subjek hanya merasa senang dengan apa yang dilakukannya karena ia telah memberikan
usaha yang mampu dilakukan. Hal ini mempengaruhi tahap self regulation selanjutnya.
Tingkat kepuasaan diri ini sangat berpengaruh terhadap motivasi remaja dalam melakukan
siklus self regulation dalam usaha di masa mendatang. Apabila tingkat kepuasaan diri
tinggi maka dalam siklus self regulation berikutnya motivasi untuk melakukan usaha atau
kegigihannya akan meningkat, sedangkan apabila tingkat kepuasaannya rendah maka akan
mengurangi motivasi usaha atau kegigihan pada siklus self regulation berikutnya.
Meskipun pada kenyataannya subjek hanya melakukan sedikit perubahan dan hal itu
belum maksimal namun berdasarkan data yang didapatkan maka dapat diprediksikan
bahwa subjek akan menjalani tahap self regulation selanjutnya dengan meningkatkan
usahanya melihat dari kepuasaan subjek dalam menjalani tujuan untuk kemampuannya
dalam bersosialisasi. Pencapaian yang berhasil mendapatkan respon diri berupa
peningkatan efikasi diri atau pengaturan standar yang lebih tinggi untuk upaya
selanjutnya. Kegagalan pencapaian mungkin dapat menyebabkan individu menyerah atau
bekerja keras, bergantung pada hasil penelitian individu dan perasaan efikasi diri mereka
terkait upaya selanjutnya (Cervone dan Pervin, 2012).
Penelitian ini memiliki beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut
yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya jika ingin meneliti tentang tahap
self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi hendaknya memilih
tahap self regulation dengan teori yang berbeda sehingga dapat dilihat gambaran tahap self
regulation pada remaja pasca operasi yang mengalami kecacatan dari segi yang berbeda
atau menambah fokus penelitian. Kedua, perlunya membangun raport yang lebih intensif
dan memperhatikan penggunaan tata bahasa dalam mengajukan topik-topik sensitif yang
berhubungan dengan masa lalu subjek penelitian serta hendaknya peneliti memberi
dukungan kepada remaja pasca operasi yang mengalami kebutaan untuk menjalani
tantangan hidup yang dialaminya.

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2004). Psikologi Kepribadian, Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Arjanggi, R., & Suprihatin, T. (2010). The effectiveness of peer tutoring method on self
regulated learning. Jurnal Sosial Humaniora, 14(2), 91-97.
Boekaerts. (2000). Handbook of self regulation. California, USA: Academic Press
Boeree, C.G. (2005). Personality Theories cetakan ke II. Yogyakarta: Primashopie.

Fahmi, A. (2012). Aksesibilitas Penyandang Tunanetra dan Tunadaksa pada Taman
Rekreasi Selecta. Thesis. (tidak diterbitkan). Malang: Universitas Brawijaya.
Fillah, S. (2008). Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: Pro-U Media
Hakim, A. (2005). Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine; Angle. Jurnal
Kedokteran Nusantara. (Online), Jilid 38, No 3, (http://usupress.usu.ac.id, diakses 20
Desember 2013)
Istriyanti, A & Simarmata, N. (2014). Hubungan Antara Regulasi Diri dan Perencanaan
Karir pada Remaja Putri Bali. Jurnal Psikologi Udayana. (Online), Jilid 1, No 2.
(http://ojs.unud.ac.id, diakses 20 Desember 2013)
Kurniawan, T. (2010). Stress pada Calon Tenaga Kerja Wanita yang akan Bekerja di Luar
Negeri Ditinjau dari Self Regulation. Skripsi. (tidak diterbitkan). Semarang:
Universitas Katolik Soegijapranata
Kusmawan, E. (2011). Jangan Segera Katakan ‘’Ya’’ Untuk Operasi. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Pohon Cahaya.
Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P. & Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Norahmawati, E. (2012). Akurasi Diagnosa FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) pada
Tumor di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar Malang
Periode 2008 – 2010. Jurnal Kedokteran Brawijaya. (Online), Jilid 25 No 2,
(http://fk.ub.ac.id, diakses 14 Juni 2013)
Papalia, D.E., Old, S.W. & Feldman, R.D. (2001). Human Development. Jakarta: Salemba
Humanika.
Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: LPSP3 UI.
Santrock, J.W. (2007). Remaja Edisi 11 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Soemantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Adittama.
Sunawan & Trianni. (2005). Pengembangan Model Bimbingan Kesulitan Belajar Bagi
Siswa SMA Berbasis Self Regulated Learning: Pengujian Validitas Model. Jurnal
Ilmu Pendidikan. (Online), (http://journal.um.ac.id, diakses 30 September 2013))

Triana, E. (2012). Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian
Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Gayolues.Thesis. (tidak
diterbitkan). Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
Wulandari, T. & Zulkaida, A. (2007). Self Regulated Behavior pada Remaja Putri yang
Mengalami Obesitas. Jurnal proceeding PESAT. (Online), Jilid 2, No 51,
(http://publication.gunadarma.ac.id, diakses 20 Juni 2013).
Yusuf, S. (2005). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Zimmerman, B.J. (2008). Investigating Self-Regulation and Motivation: Historical
Background, Methodological Developments, and Future Prospects American
Education Research Journal. (Online), Jilid 45, No 1, (http://aer.sagepub.com,
diakses 14 Juni 2013)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22