Kepemimpinan RMG di tanah Batak

KEPEMIMPINAN MISI RMG
DI TANAH BATAK (1861 – 1930)
Pendahuluan
1. Berbicara mengenai strategi kepemimpinan misi RMG di tanah Batak,
nampaknya ini harus dilihat dari sudut pekerjaan Nomensen dan rekanrekannya. Nomensen dan rekan-rekan yang dimaksudkan di sini adalah para
misionaris RMG yang bekerja di tanah Batak dari tahun 1861-1930.
Sebenarnya Nomensen adalah misionaris RMG ke lima yang bekerja di tanah
Batak. Gustav van Asselt telah mendahuluinya tahun 1857, Betz tahun 1859,
Klammer dan Heine tahun 1862 yang hingga tahun 1930 mereka bertambahtambah sehingga pernah mencapai sebanyak 50 orang. Sekedar menjadi
pegangan bahwa arti strategi pekabaran Injil, hal ini menyangkut cara yang
terbaik dijalankan dalam pemberitaan itu di tanah Batak. Dalam mencapai
satu tujuan tertentu, seorang misionaris telah memikirkan dan mencari lebih
dahulu cara terbaik yang akan dia pakai. Dalam hal ini, cara dan tujuan
sangat rapat hubungannya bahkan tidak terpisahkan satu dengan yang lain.
Dalam menentukan satu tujuan pun, penentuan itu termasuk pada metode
atau cara tadi. Dalam hubungan pernyataan di atas dengan tema ini, penulis
mengalami kesulitan khusus, sebab yang paling pertama adalah di samping
bahan-bahan literatur pendukung sangat sedikit ditemukan, tema ini tidak
mungkin dikerjakan pada ruang yang singkat ini. Namun, walau demikian
penulis tetap mencoba menelusurinya dari sudut karya Nomensen. Akhirnya,
penulis menekankan penelitian tema ini bagi gereja-gereja Batak umumnya

dan HKBP khususnya. Artinya, ada hasil dapat dipetik dan ditawarkan dari
strategi kepemimpinan para misioanris RMG di tanah Batak.
2. Kata yang sangat terkenal sebagai ulasan penulis Surat Ibrani tentang
pemimpin dan kepemimpinan adalah: ”ingatlah akan pemimpin-pemimpin
kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu” (13:7). Makna yang
paling esensial dari kata “mengingat” dalam hal ini adalah “menelusuri pola
hidup dan kepasrahan seraya menyimak hikmat-hikmat yang bernilai guna
dipedomani”. Dari inspirasi inilah menguraikan tema ini di mana
kepemimpinan Nomensen dalam misi di tanah Batak, ini merupakan
kepemimpinan yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan
mengetahui bagaimana menggerakkan orang Batak yang dilayaninya.
Sebagai seorang misionaris, Nomensen adalah seorang yang banyak
mempengaruhi
pemikiran,
sikap
dan
kehidupan
orang
Batak.
Kepemimpinannya merupakan kepemimpinan hamba (Servant Leadership) di

mana ia bertindak sebagai hamba demi kemuliaan Allah di tanah Batak.

1

Berdirinya Serikat Misi RMG Dan
Perkembangan Teologi Pietismenya
3. Untuk melihat corak, bentuk dan type pelayanan misi RMG di tanah Batak,
penting dipahami munculnya RMG sebagai lembaga misi. Secara umum,
munculnya gerakan rohani baru di dalam gereja adalah lebih sebagai reaksi
terhadap sikap gereja baik secara positif maupun secara negatif yakni berupa
sikap melepaskan diri dari gereja. Terhadap kasusnya di Jerman,
pertentangan antara pihak Kontra Reformasi (RK) dengan pengikut
Reformasi mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Jerman sendiri
secara tidak terperikan. Dampaknya, kepemimpinan gereja akhirnya di
pegang oleh pemerintahan sipil Negara. Akibat dari kondisi umum ini,
bangkitlah orang-orang otonom yang tidak mau diperintah oleh kekuatan lain
atas dirinya yang secara umum mereka tidak mengindahkan gereja (agama).
Kekakuan gereja terhadap keadaan ini menghasilkan suatu kecenderungan
baru yakni Injil diterima secara moralis sehingga akhirnya muncul suatu
gerakan rohani baru yang sangat menekankan pertobatan dan penyucian. Di

kalangan pengikut-pengfikut Lutheran di Jerman, Philip Jakob Spener(16351705), August Herman Francke (1663-1727) dan Nikolaus Ludwig von
Zinzendorf (1700-1760) merupakan perintis semangat ini. 1 Dapat dikatakan
selanjutnya bahwa refleksi konsep dogma dan teologi sebagaimana uraian
Luther semakin hidup oleh implementasi praksis beberapa tokoh ini dalam
kehidupan gereja secara praksis. Artinya konsep mereka tentang pietisme
sebagai kesalehan, kekudusan, dan ketaatan yang terlatih melalui komitmen
hidup semakin disadari sangat mendukung dalam mewujudkan cita-cita
reformasi Luther abad 16. Johan Hasselgren 2 menegaskan pernyataan ini
mengemukakan bahwa berdirinya (tahun 1829 di Barmen: Jerman) lembaga
misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini merupakan
hasil penggabungan (merger) dari beberapa serikat misi Kristen Protestan di
Jerman pada masanya. Sebagai serikat misi, awalnya RMG sangat kuat
terkait dengan Jerman Pietisme (anak Pietisme Jerman) di mana umumnya
aliran Pietisme sangat menekankan kebutuhan bagi iman emosional,
personal dan individual yang merupakan interpretasi harafiah Injil dan
kebutuhan bagi semua jemaat yang sungguh berdedikasi untuk bersamasama berkarya. Pada posisi ini, para penganut Pietisme mengembangkan
teologi misi mereka dalam hubungannya dengan para pendukung:
“confessional Lutheranisme”. Para pendukung “confessional Lutheranisme”
inilah yang kemudian mengembangkan/merepresentasikan teologi-teologi
misi RMG di dalam pengaruh tradisi Pietisme termasuk di tanah Batak 3.

Beberapa tokoh itu di antaranya, yakni:
a. J.C Wallmann (1811-1865)4 adalah seorang inspektur RMG tahun 18481857. Ia sangat mempengaruhi banyak orang pada generasi selanjutnya
bersemangat menjadi para misionaris RMG. Wallmann adalah seorang
Pietis yang baginya gagasan kebutuhan mendesak bagi pentobatan
individual merupakan sesuatu yang sangat sentral. Keyakinan ini

2

dikombinasikan dengan kelekatan yang kuat dengan pentobatan
Lutheran. Teologi misi Wallmann sangat menekankan kebutuhan akan
“para durjana yang tinggal di kegelapan” yang harus diselamatkan
(sebuah tema khas dari jamannya). Meskipun Wallmann adalah seorang
nasionalis Jerman yang konservatif, ia membuat pembedaan jelas antara
prinsip ajaran Kristen dengan peradaban Barat, artinya bagi wallmann:
“tujuan misi dalam cara apa pun tidak melibatkan gagasan tentang
Eropanisasi”. Bangsa non-Eropa dalam konteks misi harus diberi
kesempatan untuk menjadi jemaat Kristen dalam kerangka kerja tentang
kebudayaan mereka sendiri. Para misionaris seharusnya mendekati
jemaat non-Kristen dengan cinta bukan merendahkan kebudayaan dan
agama mereka. Pemikiran tentang misionaris seharusnya bebas dari

maksud-maksud memegahkan diri untuk meng-Eropa-kan. Sebagai bukti
dari minatnya dalam kebudayaan-kebudayaan non Barat, Wallmann
menghasilkan banyak karya dalam antropologi missioner. Jelaslah bahwa
pembedaan mendasar Wallmann antara Injil dan kebudayaan Barat
berimplikasi pada ketertarikan antropologis dan evaluasi positif tentang
kerangka kerja kebudayaan RMG di wilayah pelayanan misi di mana
orang-orang dipertobatkan agar memeluk ajaran Kristiani.
b. Friederick Fabri (1824-1891) 5, adalah inspektur RMG selama periode
1857-1884. Setelah menyajikan desertasi doktornya tahun 1847,
posisinya di RMG adalah hasil dari upaya serikat ini untuk merekrut
orang-orang yang terpelajar mengabdi di Seminari. Fabri merupakan
salah seorang pemimpin misi yang berpengaruh dan disegani di Jerman.
Dia menyediakan banyak waktu untuk masalah-masalah politik dan sosial
tetapi juga untuk memperkuat dukungan bagi RMG. Elemen sentral dalam
teologi Fabri6 adalah kerajaan Tuhan. Menurut dia, dunia ini adalah
bagian bawah kerajaan Tuhan, sebuah entitas spiritual yang aktif dalam
sejarah manusia, tetapi tidak menjadi bagian darinya. Realisasi utuh
tentang kerajaannya adalah kenyataan eskatologis yang hanya bisa
digenggam melalui iman pribadi. Terbiasa dengan ontology yang
mendasar ini, Fabri mengembangkan teologi misinya. Baginya, gagasan

bahwa semua orang harus dipertobatkan menjadi Kristen adalah salah
konsep. Alih-alih Tuhan memanggil semua orang menjadi jemaat Kristen
untuk mengumpulkan mereka orang-orang yang terpilih. Ketika Injil telah
diwartakan kepada semua bangsa, akhir dunia akan datang. Sebagai
hasil dari kepemimpinan Fabri, jumlah misionaris RMG yang semakin
bertambah dipengaruhi oleh teologinya tentang kerjaan Tuhan. Meski
pandangannya bahwa kerajaan Tuhan bukanlah dari dunia ini, Fabri
berpikir bahwa jemaat-jemaat Kristen di Barat, karena standar peradaban
mereka yang tinggi memiliki tugas untuk mewartakan ajaran Kristen dan
peradaban ke seluruh dunia. Sehubungan dengan organisasi-organisasi
missioner, pemerintahan colonial memberikan dukungan moral dan
perlindungan bagi misionaris. Fabri sangat mengajukan permohonan
kepada pemerintah Jerman ketika itu yang baru bersatu dipimpin oleh

3

Kanselir Bismarck untuk berusaha mendirikan koloni-koloni, akibatnya
Fabri dijuluki Bapak Kolonialisme Jerman. Ketika dari tahun 1880-an,
Jerman mulai mendirikan koloni-koloninya sendiri, RMG melaksanakan
tugasnya sebagai misi colonial Jerman di Namibia dan New-Guniea.

Jelaslah bahwa, Fabri mengembangkan teologianya dalam sebuah arah
yang berlawanan dengan pembedaan Wallmann yang jelas antara Injil
dan kebudayaan Barat. Munculnya era imperialisme yang besar-besaran
sebuah era yang tidak dialami Wallmann, memiliki poengaruh kuat pada
garis pemikiran Fabri. Pemikiran ini memiliki akibat bahwa minat positif
Wallmann bahwa kerangka kerja kebudayaan tentang pertobatanpertobatan diganti oleh sebuah penekanan pada: “misi yang beradab dari
Barat”. Pada akhir abad ke19, aliran pemikiran Baru mulai mempengaruhi
RMG.
c. Gustav Warneck (1834-1910) 7 adalah seorang teoris misi yang paling
berpengaruh selama akhir abad ke 19 di Jerman. Pada tahun 1871,
Warneck dipekerjakan oleh RMG sebagai guru di Seminari. Dia bekerja
pada organisasi tersebut sampai tahun 1874 ketika Warneck menjadi
pendeta jemaat kecil di Saxony. Tahun 1896-1909, Warneck menjadi
Profesor misi di Halle. Pengaruhnya di Jerman muncul melalui tulisantulisannya yang terinspirasi oleh hubungan-hubungan yang ekstensif
dengan lingkup missioner dengan misi-misi di luar negeri. Pemikirannya
secara sadar didasarkan pada terjalinnya pengalaman misioner, teori dan
praktek. Warneck memiliki hubungan yang dekat dengan misi RMG di
Sumatera. Dalam teologi misinya, Warneck menggabungkan semangat
gagasan Pietisme tentang pentobatan individual dengan tujuan membuat
semua orang menjadi Kristen dan memasukkan paham atau gagasan

romantisisme. Sehubungan dengan pokok persoalan misi menurut
Warneck, seluruh gereja pada dasarnya bertanggungjawab untuk
mewartakan iman. Tetapi karena tanggungjawab tersebut tidak bisa
diharapkan dari seluruh anggota gereja, tugas tersebut diemban oleh
para jemaat yang setia yang merupakan inti dari gereja. Meski demikian
persoalan misi yang terutama adalah mengkristenkan seluruh umat
manusia dan untuk mendirikan gereja umat. Prosesnya bertahap dimulai
dengan individu-individu kemudian pesan mencakup keluarga-keluarga
dan desa-desa sampai akhirnya seluruh umat manusia menjadi Kristen.
Para jemaat yang setia merupakan penggerak dalam proses ini. Dengan
cara ini, pentobatan indibidu-individu merupakan basis bagi pentobatan
sebuah bangsa dan secara bersama-sama. Elemen penting dalam
gagasan Warneck tentang gereja utama adalah bahwa gereja seharusnya
otonom. Bagi Warneck, pendidikan dan pentahbisan penduduk pribumi
seperti menjadi penginjil, guru dan pendeta merupakan prioritas yang
penting, usaha-usaha mereka membuka jalan bagi para jemaat Kristen
yang baru untuk membantu gereja mereka secara finansial. Dalam hal
gereja yang seharusnya mengelola diri sendiri, Warneck berpendapat
bahwa gereja itu independent dalam arti bahwa gereja sebaiknya tidak


4

menjadi subjek terhadap rumusan-rumusan konvensional yang kaku dari
gereja-gereja Eropa, atau mengambil alih bentuk-bentul liturgy dan aturan
gereja Eropa yang rapi dan teratur. Jauh lebih penting bagi jemaat Kristen
pribumi utnuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka sendiri
daripada menghafal bentuk-bentuk pengakuan dan peribadatan Eropa.
d. August Schreiber (1839-1903)8 adalah seorang misionaris RMG pertama
yang lulus dari universitas jurusan teologi dan ia berkarya di Sumatera
dari tahun 1889-1893. Tahun 1874, ia menggantikan Warneck sebagai
guru di seminari dan tahun 1889, ia menjadi misionaris pertama yang
memimpin RMG. Ia bertugas sebagai inspektur sampai wafat sampai
tahun 1903. Schreiber termasuk sebagai seorang pemimpin RMG yang
paling berpengaruh. Dalam cara yang sama dengan Warneck, Schreiber
menerima bahwa kebudayaan-kebudayaan pribumi merupakan “sebuah
persiapan bagi Injil” dan bahwa tujuan misi adalah mendirikan gerejagereja umat yang otonom. Schreiber membagikan sebuah pandangan
negative tentang kemampuan-kemampuan intlektual tentang “si kafir”
tetapi tidak menekankannya sebanyak Fabri dan Warneck. Selama
studinya di Iggris, pada tahun 1864 – 1865, ia dipengaruhi secara
langsung oleh rumus: “Tiga Mandiri”. Oleh karena itu, ia menerima sebuah

versi yang lebih murni tentang rumus tersebut daripada yang diterima
Warneck. Berlawanan dengan Warneck, Schreiber dengan kuat
menekankan pentingnya mengalihkan kekuasaan kepada orang pribumi
secepat mungkin dan tidak usah menunggu sampai orang-orang pribumi
tersebut cukup matang.
Kesimpulan yang dapat dipetik melalui uraian di atas bahwa perkembangan
teologis RMG masa abad ke-19 hingga selanjutnya, ini memiliki akibat
langsung bahwa tujuan Pietisme tentang pentobatan individual sangat
diintegrasikan dalam gagasan bahwa tujuan misi adalah mendirikan gereja
yang mengarahkan seluruh umat manusia. Sifat utama gereja ialah bahwa
gereja tersebut akan memenuhi rumus: “Tiga Mandiri”. Asumsi Barat yang
lebih khusus yakni superioritas Jerman atas penduduk non Barat, sangat
berimplikasi bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk menunda
implementasi beberapa aspek rumusan tersebut. Yang terutama ialah
permasalahan para baptisan baru yang sesungguhnya mengambil alih
kepemimpinan yang efektif atas gereja. Sehubungan dengan aturan
kebudayaan para baptisan baru, asumsi tentang superioritas Barat
menyebabkan Fabri menekankan dengan kuat: “memperadapkan misi Barat”.
Meskipun mereka membagikan gagasan superioritas Barat, Warneck dan
Schreiber mengikuti pandangan positif Wallmann tentang kebudayaankebudayaan non Barat dalam hubungannya dengan karya missioner.

Kebudayaan para baptisan baru meskipun dibersihkan dari: “unsur-unsur
kekafiran” merupakan batu penjuru dari gereja umat.

5

Pelayanan Misi RMG di Tanah Batak
4. Awal pekerjaan misi RMG di Indonesia secara umum, ini dimulai ketika
lembaga misi ini mulai mengutus para misionarisnya ke Kalimantan (Borneo)
tahun 1834. Dua tahun kemudian, para misionaris RMG (pusat misi di
Kalimantan adalah Banjarmasin) mulai meneruskan pelayanan misi di antara
suku pedalaman Kalimantan yakni suku Dayak. Ketika pengaruh politik
kolonial Belanda berperilaku tidak adil kepada para penguasa lokal di
Kalimantan (termasuk kepada para Sultan di Banjarmasin) maka keadaan ini
memicu terjadinya perang Hidayat (1830-1864) di sana. Akhirnya, atas
keadaan ini Belanda berhasil dipaksa keluar dari Kalimantan dan RMG mulai
mencari wilayah misi lain dalam koloni Belanda. Bulan Oktober 1860,
keputusan penting bagi RMG dalam pelayanan misi di Sumatera yakni
dengan menetapkan tanah Batak sebagai lapangan misi yang baru.
Selanjutnya, tahun 1861 dua orang misionaris pertama RMG pertama tiba di
Sipirok yakni: “Heine dan Klammer”. Saat awal tibanya dua orang ini di
Sipirok, mereka langsung mengadakan kontak dengan dua orang misionaris
lembaga misi Ermelo (Belanda) yang sudah mendahului di Sipirok yakni: “van
Asselt dan Betz”. Di Sipirok, tidak sedikit penduduk mereka baptis menjadi
Kristen namun akibat tantangan dari pihak Islam akhirnya mereka murtad
menjadi Islam. Ketika RMG mengembangkan misi ke Utara, menuju wilayah
Batak Toba (di mana agama Islam belum masuk) barulah sejumlah besar
orang bergabung dengan agama yang baru yakni Kristen. 9 Artinya ke empat
orang misionaris inilah (atas prakarsa Van Asselt) pertama sekali
mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal 7 Oktober 1861 10 di Sipirok
membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus
membagi wilayah kerja mereka”.11 Penting diingat bahwa ada dua momen
sangat penting berlangsung saat rapat koordinasi ini diadakan, yakni: oleh
RMG melalui pimpinannya Fabri di Jerman, peristiwa itu merupakan
penggabungan kerja badan misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus
sebagai penyerahan badan misi Belanda ke RMG di tanah Batak. Melalui
pembagian wilayah ini, dan setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig
Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke
daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi. Nyata selanjutnya
bahwa pekerjaan Nomensenlah yang jauh paling berhasil sekaligus
mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya.
Stategi Kepemimpinan Misi Para
Misionaris RMG di Tanah Batak
5. Pioner karya lembaga misi RMG paling berhasil di tanah Batak adalah Dr. I.L
Nomensen.12 Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya
Nomensen di Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah
pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah
Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat

6

Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi
Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah
awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu.
a. Perjalanan misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25
Oktober 1862, dan setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat
simpatik dari banyak orang ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi
Nomensen sejak awal dalam mengembangkan misi adalah sikap dan
kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya melayani.
Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan zending di
Prau Sorat, walau akhirnya sekolah ini tidak berkembang karena beratnya
tantangan dialami dari pihak Islam.
b. Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah
pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen
mendapat dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana
tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi
Silindung.
Setibanya di Silindung, Nomensen awalnya disambut baik oleh masyarakat
Silindung namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia
mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab
Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung.
Namun oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak
ketika itu, ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal
menetap di desa Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia
mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi
model perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam
berbagai hal untuk sekitarnya. Di huta Dame inilah ia memulai misi yang lebih
mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis,
berhitung dan ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomisosial, akhirnya usaha misi inilah yang kemudian dikenal sebagai “metode
misi empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati
berbagai penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat
akrab dengan penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus
1865, ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang
lainnya) dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing.
Beliau inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat
banyak mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat
dikatakan bahwa keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah
berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85
tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan
mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis,
sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja
dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200
orang penatua Tahun 1881, saat Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh
RMG sebagai lembaga misi yang mengutusnya ke tanah Batak

7

menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di mana kemudian
nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja
dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas
Bonn.13
Setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat, selanjutnya RMG
mengutus para misionaris lainnya seperti: P.H.Johansen, Meerwalt, J.
Warneck dan lain-lain untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak. 14 Dari
metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi
tahap hasil yang diperoleh dalam
usaha pembentukan dan
perkembangannya gereja Batak kemudian yakni:
a. Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan
dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak
melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan
evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta
pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan
lain-lain”.
b. Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat
memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat
yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah
mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka
sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang
sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat
mendukung berhasilnya PI.15
c. Bidang kesehatan.16 Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak
sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan
(penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik).
Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan
ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris
mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberapa
rumah sakit yang lebih besar.
d. Bidang Sosial Ekonomi.17 Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di
tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan
(pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan,
kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system pinjammeminjam (rentenir) yang gawat masih dominan. Maka untuk mengatasi
keadaan ini para misionaris sangat berjuang meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui bidang pelayanan ekonomi.18
6. Indikasi awal yang sangat menentukan bagi warisan para misionaris terhadap
bentuk kepemimpinan gereja Batak yang sudah terbentuk adalah: 19
a. Hal penting dapat dirujuk melalui rapat koordinasi para misionaris tanggal
7 Oktober 1861 adalah bahwa melalui rapat itu para misionaris

8

“menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani”. Ini
berarti mereka tidak ingin bekerja secara terpisah bekerja untuk misi
namun secara terpadu menentukan arah pelayanan misi demi
pembentukan gereja Batak. Untuk selanjutnya mereka mengadakan rapat
tahunan, di mana mereka membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan usaha PI di tanah Batak. Hal inilah yang semakin dirasa perlu
apabila tiba waktunya bahwa setiap misionaris dibebani oleh serba
macam tugas yang harus dikerjakan oleh seorang misionaris waktu itu.
Dengan adanya konferensi tahunan itu, para pekabar Injil telah
mempunyai satu tonggak yang demikian kuat untuk dijadikan tumpuan
berbagai jaringan atau tali yang dimunculkan selama masa pelayanan
mereka di tanah Batak. Peranan konferensi itu bukan saja mengatur
komunikasi antara RMG di Barmen dan PI di tanah Batak, tetapi yang
terpenting adalah rapat itu menjadi bagian yang sangat menentukan bagi
arah perkembangan gereja Batak selanjutnya.
b. Jemaat yang telah berdiri di tanah Batak, oleh kesadaran para misionaris
RMG tentu ini sangat membutuhkan pelayan. Pelayan yang dibutuhkan
harus berasal dari jemaat asal dan warga masyarakat setempat. Untuk itu,
Nomensen memilih beberapa orang terbaik dari orang Batak (jemaatnya)
yang disegani sebab wibawanya dalam masyarakat, mereka ini kemudian
disebut sebagai “sintua“ (penatua). Di samping itu, dipilih juga orang yang
ditugaskan untuk mengunjungi dan merawat yang sakit, menghubungi
orang-orang Kristen di desa-desa dalam rangka memungut iuran (guguan)
dan membersihkan gereja serta sekolah setiap harinya. Kemudian
beberapa orang wanita untuk mengumpulkan anak-anak kecil yang belum
dapat pergi ke sekolah dan yang belum dapat mengikuti ibunya ke sawah
dan ladang. Para wanita itu menjaga dan bercerita serta mengajarkan
nyanyian-nyanian gerejawi kepada anak-anak itu. Sesuai dengan
kemampuan para pekabar Injil RMG, untuk mendidik pelayan-pelayan
pribumi maka jabatan gerejawi seperti guru jemaat, pendeta, bibelvrouw
dimunculkan untuk mendampingi misionaris RMG.
c. Nomensen dan rekan-rekannya sejak semula cenderung memberi
jawaban bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam
satu gereja pribumi. Ini telah menjadi tujuan yang semakin dilihat penting
di kalangan umat Kristen Batak yang secara sosiologis dan sepanjang
sejarah bangsa Batak belum pernah disatukan dalam satu himpunan yang
melewati batas desa dan marga (klan) terutama di kalangan Batak Toba.
Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang memadukan
jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural gereja
Batak telah mempunyai bentuk sendiri di samping lembaga pekabaran Injil
di Sumatera (Hindia Belanda). Pada mulanya, hubungan antara gereja
Batak dengan lembaga PI RMG sangat rapat sehingga secara praksis
nampaknya satu organisasi di dalam pimpinan, bimbingan dan

9

pengarahan para misionaris RMG. Namun dalam proses PI selanjutnya,
nampak partisipasi gereja pribumi dari para misionaris RMG.
c. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada
saat ini tidak kurang pentingnya bagi pemasyuran Injil di dalam dan di luar
jemaat. Kesatuan mereka yang terorganisir dan terpadu melalui rapat
tahunan mereka, kesatuan yang mampu mendelegasikan kharismakharisma setiap pekabar Injil, kesatuan yang menampakkan kerja sama
yang erat dan kokoh dan rencana yang matang dan terarah dalam tahap
demi tahap. Cara kerja yang demikian lebih nampak kegunaannya di
tengah-tengah masyarakat yang terpecah-pecah dalam satuan kecil dan
berdiri sendiri yaitu desa. Secara sosiologis setiap orang Batak melihat
desanya adalah buminya sebagai tumpuan loyalitas teratas. Dalam
keadaan yang demikian, kesatuan itu dibawakan pula oleh Nomensen
dalam pribadinya yang berperan sebagai “Ompu” bagi setiap orang Batak.
Di dalam pribadinya, terdapat satu type kepemimpinan yang dapat
memupuk kesatuan jemaat-jemaat Kristen Batak20.
d. Walter Lempp21 mengindentifikasikan bahwa latarbelakang Nomensen
sangat kuat didukung oleh falsapah aliran romantic, theologia Pietisme
dan theologia Pekabaran Injil yang bernafas pengkristenan bangsabangsa
seluruhnya.
Dalam
hubungan
hikmat
ini
dengan
kepemimpinannya dalam misi di tanah Batak, ini berarti bahwa bagi
Nomensen tentu sekali melihat suatu harapan besar dalam kemanusiaan
orang Batak apabila dididik tantang pengetahuan menyeluruh dan ilmu
pengetahuan. Totalitas hidup dan pengabdiannya merupakan kekuatan
perjuangan yang mengadu dalam berbagai aspek mulai dari kepercayaan,
kesadaran, keterampilan yang pada akhirnya merobah motivasi, sikap
pandang, sikap mental dan hubungan social. Penembusan Nomensen
pertama sekali memadukan kekuatan Iniil, pengetahuan dan keberanian
sehingga benteng kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan
ditaklukkan. Inilah cerminan paling penting bagi corak kepemimpinan
gereja Batak yang sangat relevan pada masa kini.
Kesimpulan
7. Beberapa kesimpulan dapat dipetik dari uraian ini, yakni:
a. Berdirinya lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya
lembaga ini sangat kuat hubungannya bangkitnya gerakan Pietisme Eropa
abad 19. Ini dibuktikan dengan berdirinya RMG sebagai hasil
penggabungan beberapa serikat misi Kristen Protestan di Jerman pada
masanya.
b. Ciri yang paling menonjol dari corak kepemimpijnan Nomensen di tanah
Batak adalah cara kerja mereka yang tidak pernah berjalan sendiri demi
menetapkan arah dan tujuan misi. Para misionaris tidak bekerja secara
terpisah untuk misi, namun mereka secara terpadu menentukan arah
pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk tujuan inilah para

10

misionaris selanjutnya mengadakan rapat tahunan di mana mereka
membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha PI di tanah
Batak.
c. Sebagai pemimpin, Nomensen sejak semula cenderung memberi jawaban
bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu
gereja pribumi. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja
yang memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara
structural gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri.
d. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada
saat ini bagi kepemimpinan jemaat yakni kesatuan para misionaris
menyangkut semua aspek perencanaan dan pelaksanaan misi. Para
misionaris yang terorganisir dan terpadu yang melaluinya kesatuan misi
menyeluruh misi tercipta sekaligus keadaan itu membentuk kharismakharisma setiap misionaris.

.

11

1

2

Catatan-Catatan
1
3
4
5
6

7
8

9

10

11

12

13
14

15

Lih. Carter Lindberg, The Third Reformation ? (Georgia: Mercer, University, 1983) hl. 131
Lih. Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di
Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 76-77
Ibid., hl. 78-84
Ibid., 78-79
Ibid., hl. 80-81
Lih. Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM,1996) hl. 96-98.
R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi
selanjutnya di Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana. Akibat perang itu juga
para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan juga merupakan wilayah kerja misi RMG
yang dirintis sejak tahun 1835. Masa kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat
mendalam baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak sehingga merupakan inspirasi awal
bagi masuknya RMG di tanah Batak.
Hasellgren, Ibid., hl 82-83
Ibid., 83-84
Lih. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di
Sumatera Utara (BPK, Jakarta, 1975) hl. 52-54
Di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot Nasution di Prau Sorat-Sipirok. Tanggal
rapat koordinasi kerja mereka inilah yang kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari
lahirnya gereja-gereja Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat bahwa huruf pertama
dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan V(P)an Asselt) dianggap
sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Lih. Andar
Tobing, hl. Op.Cit., 100
Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (BPK, Jakarta, 1992) hl. 24-30. Realitas selanjutnya, wilayah
bagian Selatan Tapanuli, Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian
Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh oleh pengaruh apapun)
bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini
tetap memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya
daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah
Bungabondar (Sipirok).
Lih. P.B. Pedersen, Ibid., hl. 54-64 Lih. Juga: Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar Dari Ayahku,
Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK: 1978) Ia lahir di pulau Nordstand
(daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada
tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani
pendidikan teologi di bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang
tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang).
P.B. Pedersen, Ibid., hl. 64
Lih. J.R. Hutauruk (Koord), Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah 125 Tahun HKBP, Pearaja Tarutung,
1988. hl. 147 ff
Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid., hl 148 Bidang Pendidikan Umum. Untuk membaca dan berhitung
dibuka SD di Prau Sorat tahun 1893. Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di Tapanuli mendapat bantuan
dari pemerintah Belanda sebab sekolah sending sangat berperan meningkatkan pengetahuan masyarakat,
“Sekolah anak ni raja” didirikan di Narumaonda dan sekolah ini memakai bahasa Belanda. Di Narumonda
juga didirikan sekolah Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan kayu. Lama belajar
adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini mendapat bantuan dari pemerintah. Hingga tahun 1961, oleh
orang Kristen Batak melalui HKBP bersemangat mengembangkan lembaga pendidikan ini melalui pendirian
perguruan teknik HKBP di P. Siantar (Jln. Medan sekarang). Bidang pendidikan teologia. Lembaga
pendidikan guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat sebagai sekolah Kateket) di dirikan di Prau Sorat Sipirok
(Tapanuli Selata, 1868). Siswa sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan
kurikulum: “pengetahuan tafsiran Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno,
Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi, Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan Melayu ”.
Sekolah ini ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga angkatan) karena hasil misi PI
umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke TAPUT.

16

17

18

19

20

21

Hingga tahun 1934, pengembangan pendidikan teologia terus dilakukan hingga berdirinya:”sekolah
penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti”. Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester
Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837
dipindahkan ke Laguboti. Sejak awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus
bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan muda/i, pelayanan
pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup,
namun oleh Pdt. K. Sirait mantan Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.
Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid. RS RMG pertama didirikan di Tarutung (1900) yang dipimpin oleh Dr.
med. J. Schreiber. Hingga tahun 1940, pelayanan kesehatan telah berlangsung denganbaik melalui
berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul; Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan;
Pangururan; Pargarutan; Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang. RS penolong ini kemudian
didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu;
Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir; Sigumpar; Sipahutar.
Lih. Pedersen, Op.Cit., hl. 61 Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris
RMG menerapkan metode kerja misi sebagai berikut: pertama, memberantas sistem “parhatobanon”
(system budak) melalui menebus utang “hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja). Membasmi
system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system
perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada para guru sending yang sekaligus berfungsi
sebagai guru jemaat setempat. Untuk pelayanan bidang ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat
untuk dipinjamkan dengan bunga sangat rendah. Ketiga, mengurangi beban kerja para wanita menumbuk
padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi.
Keempat, mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini ditambah dengan
pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman
sayuran dan buah-buahan. Pola ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan
“pargodungan” (kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru sending/jemaat).
Kelima, untuk membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen
mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di Tapanuli Utara. Tujuannya
supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan baik melalui lancarnya roda perputaran uang di
tanah Batak (misalnya: Onan Senin - Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis–Silaen ;
Jumat–Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung).
Lih. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940
(Gramedia, Jakarta, 2001) hl. 31-33. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah Batak
sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan
nampak dalam hal: Pertama, ketika pertama sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya,
pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah
perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus ia memberi pengajaran Alkitab dan
pengetahuan agama Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat,
tata laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan pertimbangannya
memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan dan
kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak. Kedua, wibawa (sahala) dirinya
yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan,
ketangkasan dan ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui raja-raja
Batak sendiri. Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan
pelayanan (kepemimpinan gereja Batak) masa kini guna dimanfaatkan bagi perkembangan gereja
sebagaimana diharapkan ke depan.
Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabar Injil, dalam: Bidang Penelitian dan Pengembangan
STT-HKBP Bagian Ilmu Sejarah Gereja dan Pekabar Injil, Benih Yang Berbuah (Hari Peringatan 150 Tahun
Ompu I Ephorus Dr. Ingwer Ludwig Nomensen Almarhum (Pematangsiantar : STT-HKBP, 1984) hl. 37
Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabaran Injil dalam: Bagian Ilmu Sejarah dan Pekabaran Injil STTHKBP, Benih Yang Bebruah (Pematangsiantar: STT-HKBP, 1984) hl. 37-39. Dalam sejarah gereja HKBP,
personifikasi kesatuan itu berulang dalam diri almarhum Ephorus Dr. J. Sihombing yang dalam mengarungi
masa-masa pencobaan pada waktu pendudukan Jepang, sangat terasa kegunanaannya. Type
kepemimpinan yang demikian menjadi harapan setiap anggota jemaat masa kini sebab bagaimana pun
baiknya metode kerja yang telah disepakati, hasilnya bergantung kepada orang yang bekerja, kepada
kharisma kepemimpinan pribadi dari pemimpin gereja itu
Walter Lempp, Benih Yang Bertumbuh XIII (Jakarta: LPS DGI, 1976 ) hl. 139