Laporan acara 2 revisi revisi

ACARA II
EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK
GORENG
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Minyak sawit (minyak goreng) merupakan komoditas makanan yang
cukup penting dalam kehidupan manusia. Minyak sawit digunakan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai bahan pembuatan makanan dan biasanya
digunakan pada proses pengolahan yang melibatkan panas (goreng, tumis
dll). Sebagai komoditas makanan, kualitas minyak sawit sangat penting
untuk diperhatikan, baik secara kenampakan fisik, sifat kimia, maupun efek
nutrisi bagi tubuh. Pada produksinya, tentu produsen minyak sawit sudah
membuat produk sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia) yang berlaku
namun pada penggunaan di kehidupan sehari-hari sering sekali terjadi
penanganan minyak yang tidak tepat dari konsumen sehingga memicu
terjadinya kerusakan pada minyak sawit.
Sebagai bahan yang banyak mengandung asam lemak, minyak sawit
sangat rentan mengalami perubahan sifat fisik maupun kimia. Penyebabnya
bisa dari dari oksidasi asam lemak tak jenuh, hidrolisis lemak menjadi asam
lemak, serta mikroba sehingga menyebabkan ketengikan, perubahan warna
minyak dan sebagainya.Perubahan sifat tersebut akan menentukan kualitas

dari minyak tersebut serta mempengaruhi efek nutrisi bagi tubuh. Beberapa
parameter yang bisa menunjukkan kerusakan minyak adalah bilangan asam,
bilangan iod, bilangan peroksida, smoke point dll.
Pada praktikum ini akan dilakukan evaluasi terhadap parameter
bilangan peroksida dan smoke point. Bilangan peroksida menunjukan
peroksida lemak yang terbentuk akibat oksidasi lemak. Hal ini dapat
menurunkan kualitas minyak karena dapat menghasilkan senyawa turunan
lemak seperti keton, aldehid dll yang berbau tengik. Smoke point
menunjukkan suhu dimana lemak mulai menunjukkan asap tipis ketika

dipanaskan. Smoke point pada minyak dipengaruhi oleh jumlah asam lemak
bebas nya. Hidrolisis baik oleh air atau enzim dapat menghasilkan asam
lemak bebas pada minyak sehingga dapat menurunkan kualitas minyak.
2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara “Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik
Asap Minyak Goreng” ini adalah :
a.

Menentukan bilangan peroksida dan titik
asap pada minyak goreng.


b.

Mengetahui pengaruh bilangan peroksida
dan titik asap terhadap kualitas minyak goreng.

B. Tinjauan Pustaka
Ketengikan adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan rusaknya
lemak dan minyak. Pada dasarnya ada dua tipe reaksi yang berperan pada
proses ketengikan yaitu :
1. Oksidasi
Ini terjadi sebagai hasil reaksi antara trigliserida tidak jenuh dan oksigen
dari udara. Molekul oksigen bergabung pada ikatan ganda molekul
trigliserida dan dapat terbentuk berbagai senyawa yang menimbulkan rasa
tengik yang tidak sedap. Reaksi ini dipercepat oleh panas, cahaya, dan
logam-logam dalam kosentrasi amat kecil khususnya tembaga.
2. Hidrolisis
Enzime lipase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan
asam lemak. Lipase dapat terkandung secara alami pada lemak dan minyak,
tetapi enzim itu dapat diinaktivasi dengan pemanasan. Enzim ini dapat pula

dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan
berlemak. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh reaksi ini dapat
memberikan rasa dan bau tidak sedap. Sebagai contoh, flavor tidak sedap
dari mentega yang tengik sebagian disebabkan oleh asam lemak yaitu asam
butirat. Ketengikan hidrolitik mungkin juga terjadi jika lemak atau minyak

dipanaskan dalam keadaan ada air, misalnya pada penggorengan bahan
makanan yang lembab (Gaman, 1992).
Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, serta penambahan
rasa gurih dan penambahan nilai kalori pada bahan pangan yang digoreng.
Minyak goreng dapat diproduksi dari berbagai macam bahan mentah misalnya
kelapa, kopra, kelapa sawit, kacang kedelai, biji jagung, biji bunga matahari,
biji zaitun,dll. Minyak goreng yang mengandung asam lemak esensial atau
asam lemak tak jenuh jamak, bila digunakan untuk menggoreng pada suhu
150-180 0C, maka asam lemak esensial atau asam lemak tidah jenuhnya akan
mengalami kerusakan (teroksidasi oleh udara dan suhu tinggi, demikian pula
beta karoten yang terkandung dalam minyak goreng tersebut akan mengalami
kerusakan (Buckle et al, 1985).
Bila suatu lemak dipanaskan, pada suhu tertentu timbul asap tipis
kebiruan. Titik ini disebut titik asap (smoke point). Bila pemanasan diteruskan

maka akan tercapai flash point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat nyala).
Jika minyak sudah terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu terjadinya
smoke point ini bervariasi dan dipengaruhi oleh jumah asam lemak bebasnya.
Jika asam lemak bebas banyak, ketiga suhu tersebut akan turun. Demikian juga
bila berat molekul rendah, ketiga suhu tersebut akan lebih rendah. Sifat
tersebut sangat penting dalam penentuan mutu lemak yang digunakan sebagai
minyak goreng (Winarno, 1982).
Pemanasan mengakibatkan 3 macam perubahan kimia dalam lemak yaitu:
terbentuknya

peroksida

dalam

asam

lemak

tidak


jenuh,

peroksida

berdekomposisi menjadi persenyawaan karbonil, dan polimerasi oksidasi
sebagian. Dekomposisi minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih
rendah (190°C) daripada tanpa udara (pada suhu 240-260°C). Minyak goreng
mengandung sejumlah besar asam lemak tidak jenuh dalam molekul
trigliserida. Reaksi-reaksi degradasi selama proses penggorengan didasarkan
atas reaksi penguraian asam lemak. Kerusakan minyak selama proses
menggoreng akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang
digoreng. Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh

panas, sehingga lemak yang telah dipanskan hanya mengandung sejumlah kecil
peroksida. Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat
mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan
berlema. Peroksida juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan
flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida
dalam bahan pangan (lebih besar dari 100) akan bersifat sangat beracun dan
tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang

tidak enak (Ketaren, 1986).
Autooksidasi minyak sawit adalah reaksi kerusakan penting yang
signifikan dalam hal produk nilai. Hal ini umumnya diterima bahwa
autoksidasi asam lemak tak jenuh berlangsung sebagai mekanisme radikal
bebas. Hidroperoksida adalah produk primer besar selama awal reaksi dari
asam lemak tak jenuh dengan oksigen, dan mereka kemudian memecah untuk
membentuk oksidasi sekunder produk (alkohol, keton dan aldehida) yang
menyebabkan off flavor. Konsumen biasanya menilai minyak berdasarkan rasa
atau bau minyak. Produk oksidasi utama dari minyak adalah biasanya diukur
dengan menggunakan Society American Oil Chemists '(Metode AOCS Cd 8b90) prosedur iodometri untuk penentuan angka peroksida (PV). Metode ini
berdasarkan konversi stoikiometri kalium iodida terhadap yodium molekul
dengan hidroperoksida. Iodin yang bebask di lingkungan asam dititrasi dengan
natrium standar tiosulfat. Prosedur analitis agak rumit dan melibatkan sejumlah
besar barang pecah belah dan pelarut. Baru-baru ini, teknik berperan berbagai
telah dikembangkan untuk menggantikan metode kimia. Lovaas digunakan
spektrofotometri untuk mengukur hidroperoksida berdasarkan sangat menyerap
ion triiodine pada 360 nm dalam terlihat kembali gion. Analisis inframerah dari
hidroperoksida juga menjadi pejantan-ied. Digunakan Transformasi Fourier
inframerah (FTIR) spektroskopi untuk mengukur hidroperoksida terkait
fungsional kelompok untuk menghitung PV dalam berbagai minyak nabati. Di

sisi lain, Dong et al menghitung PV dekat inframerah (NIR) dengan
menggunakan Transformasi Fourier dekat inframerah (FT-NIR) spektroskopi.
Standar-standar kalibrasi yang terakhir kelompok yang stoikiometri dibuat

dengan mereaksikan trifenilfosfin (TPP) dengan ROOH untuk menghasilkan
trifenilfosfin oksida (TPPO). Matriks kalibrasi dikembangkan oleh spiking TPP
dan TPPO berbagai konsentrasi di tinggi-asam erusat minyak lobak dan PV
yang diduga menggunakan wilayah NIR spektral 4710-4540 cm-1. Kelompok
riset kami telah bekerja pada pengembangan spektroskopi NIR metode cepat
untuk analisis kuantitatif minyak sawit seperti asam lemak bebas (FFA) (Moh,
1999).
Minyak kelapa sawit merupakan bumbu dapur yang berasal dari Afrika
Barat, setelah itu menyebar ke sebagian besar daerah tropis dan subtropis
terutama Malaysia dan Indonesia. Selama proses penggorengan, minyak akan
mengalami reaksi degradasi, oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi yang
disebabkan oleh panas, udara, dan air. Produk hasil reaksi degradasi yang
terkandung dalam minyak akan mengurangi kualitas dari minyak yang
dihasilkan dan dapat menyebabkan efek buruk bagi manusia. Daur ulang
minyak goreng dapat menggunakan adsorben seperti silika gel, magnesium
oksida, gel aluminium hidroksida dan tanah liat yang secara umum dapat

meningkatkan kualitas minyak goreng yang digunakan. Minyak yang rendah
asam lemak bebas (FFA) ditandai dengan indikator perubahan warna, titik asap
rendah, nilai iodium rendah, total bahan polar, nilai peroksida, memiliki sifat
berbusa yang tinggi,dan viskositas meningkat (Nordin, 2012).
Angka peroksida adalah mili ekuivalen peroksida yang dihasilkan setiap
100 gram sampel. Angka peroksida merupakan angka terpenting untuk
menentukan derajat kerusakan lemak atau minyak. Asam lemak tidak jenuh
dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk
peroksida (Ketaren, 1986). Angka peroksida adalah gambaran tingkat
ketengikan yang disebabkan oleh proses oksidasi. Komponen minyak yang
tidak jenuh bereaksi dengan udara bebas menghasilkan senyawa peroksida
yang dapat mengisomerisasi dengan air membentuk senyawa-senyawa
kompleks termasuk aldehid, keton, asam-asam dengan BM rendah. Prinsip
penentuan angka peroksida adalah senyawa yang terdapat dalam minyak akan
mengoksidasi KI sehingga terbentuk I2 bebas yang diikat oleh larutan Na-

thiosulfat sehingga jumlah thiosulfat equivalen dengan jumlah I2 bebas yang
berarti equivalen dengan jumlah senyawa peroksida dalam minyak tersebut
(metode iodometri) (Ketaren, 1986).
Minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak

jenuh masing-masing sekitar 50 % dan 80 % dan diesterifikasi dengan gliserol.
Minyak sawit merupakan konstituen dari kelapa sawit yang terdiri dari 16
karbon jenuh, asam lemak palmitat dan oleat tak jenuh tunggal. Minyak kelapa
sawit merupakan sumber tocotrienol terbesar di alam dan juga mengandung
vitamin K yang tinggi serta magnesium untuk diet. Minyak kelapa sawit
mengandung asam linoleat sekitar 10 % Asam linoleat adalah salah satu dari
dua asam lemak esensial yang dibutuhkan manusia. Kelapa sawit juga
mengandung sedikit squalene (yang memungkinkan penurunan kolesterol dan
sifat anti-kanker) dan ubiquinone (energi penguat). (Mukherjee et al, 2009)
Pengulangan penggunaan minyak goreng dapat mempengaruhi kualitas
makanan dan menaikkan pembentukan senyawa yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia

dan menyebabkan makanan gorengan

memiliki masa

simpan agak pendek karena mengalami ketengikan di minyak goreng yang ada
di produk (Man dan Irwandi, 2000). Setelah proses penggorengan, konsumen
juga memperhatikan tentang kualitas minyak dari aspek warna, titik asap dan

derajat ketengikan. Beberapa parameter dapat digunakan untuk menilai kualitas
minyak seperti asam lemak bebas (FFA), angka peroksida (PV), warna minyak
goreng, titik asap dan komposisi asam lemak (Fan et al, 2012)
Titik asap (smoke point) minyak goreng biasa, yang kebanyakan berasal
dari biji tumbuhan, dapat berkisar antara 120 oC hingga lebih dari 230oC.
Namun, temperatur asap yang sesungguhnya tidak dapat diberikan karena
jenis minyak tertentu bisa bervariasi, tergantung pada derajat pemurnian,
varietas biji, bahkan iklim dan cuaca selama musim tanam. Kendatipun
demikian, menurut Institute of Shortening and Edible, rentang titik asap kirakira dalam derajat Celsius untuk beberapa jenis minyak goreng yang umum
adalah : minyak safflower (163o-177o); minyak jagung (204o-213o); minyak

kacang (215o-221o); minyak biji kapas (218o-227o); minyak canola (224o-228o),
minyak bunga matahari dan minyak kedelai (226o-232o) (Wolke,2006).
Winarno (1999) menyatakan minyak yang digunakan berulang akan
mempunyai titik asap yang semakin rendah, suhu minyak menjadi lebih cepat
meningkat. Titik asap minyak bergantung pada kandungan asam lemak
bebasnya. Minyak yang tinggi asam lemak bebasnya, tinggi juga gliserolnya.
Semakin tinggi gliserolnya semakin rendah titik asapnya (Aminah, 2010).
C. Metodologi
1. Alat

a. Pipet tetes
b. Pipet 20 ml
c. Pipet 1 ml
d. Buret 50 ml
e. Gelas ukur 100 ml
f. Hot plate
g. Termometer
h. Neraca analitik
i. Erlenmeyer 250 ml
2. Bahan
a. Minyak sawit baru
b. Minyak sawit bekas goreng 1x tempe
c. Minyak sawit bekas goreng 3x tempe
d. Minyak sawit bekas goreng 5x tempe
e. Minyak sawit bekas goreng 7x tempe
f. Minyak sawit bekas goreng tempe gosong
g. Minyak sawit bekas ikan
h. Minyak sawit bekas krupuk
i. Air panas
j. Asam asetat glacial
k. Kloroform

l. KI jenuh
m. Aquadest
n. Na-tiosulfat 0,1N
3. Metodologi
a. Penentuan Bilangan Peroksida
Ditimbang 5 gr sampel minyak sawit berbagai kondisi

Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml

Dibungkus dengan alumunium foil

Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sa

Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sam

Ditambahkan 30 ml aquadest

Ditambahkan amilum 1 ml

Dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,1N
b. Penentuan Titik Asap
50 ml sampel minyak

Dimasukkan ke dalam gelas beker 100 ml

Dipanaskan minyak di atas hot plate

Diamati suhunya hingga terbentuknya asap

D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2.1 Angka Peroksida
Kelompok Sampel
1&9

Minyak sawit baru

Titrasi
Sampel
0,2

2 & 10

Bekas 1x tempe

0,3

0

0,6

3 & 11

Bekas 3x tempe

0,5

0

1

4 & 12

Bekas 5x tempe

0,5

0

1

5 & 13

Bekas 7x tempe

0,4

0

0,8

6 &14

Bekas
tempe 0,8
gosong
Bekas
goreng 0,7
krupuk
Bekas goreng ikan 0,6

0

1,6

0

1,5

0

1,2

7 & 15
8 & 16

Titrasi Blanko Angka
Peroksida
0
0,4

Sumber : Laporan Sementara
Bilangan peroksida/angka peroksida dinyatakan dalam mili-equivalen dari
peroksida dalam setiap 1000 g contoh/sampel. Hal ini didapati pada minyak ketika
terjadi oksidasi lemak dalam minyak. “Diantara kerusakan minyak yang mungkin
terjadi ternyata kerusakan karena autoksidasi yang paling besar pengaruhnya
terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida,
asam lemak, aldehid, dan keton” (Sudarmadji, 1989). Menurut Winarno (1982)
bilangan peroksida ditentukan berdasarkan jumlah iodine yang dibebaskan setelah
lemak atau minyak ditambahkan KI. Lemak direaksikan dengan KI sebagai
pelarut asam asetat dan kloroform (2:1), kemudian iodine yang berbentuk
ditentukan dengan titrasi memakai Na2S2O3.
Jika dalam minyak terdapat bilangan peroksida yang cukup tinggi maka akan
terjadi ketengikan. Hal ini akibat dari oksidasi lemak yang menghasilkan
senyawa-senyawa turunan lemak seperti aldehid, keton dll. Giesen (1992)
menyebutkan bahwa bahan pangan dinyatakan tengik apabila mengandung angka

peroksida lebih dari 10 meq/kg (Astuti, 2008). Dalam Ketaren menyebutkan
bahwa bilangan peroksida yang masih baik pada minyak sawit adalah 2. Minyak
mulai terasa tengik bila bilangan peroksidanya 20-40 m Eq/kg (Wildan, 2002).
Bilangan peroksida pada semua sampel minyak belum ada yang mencapai 2 maka
minyak tersebut masih baik.
Pada praktikum yang dilakukan, diuji sampel minyak dengan berbagai
keadaan yaitu minyak sawit baru, bekas 1x tempe, bekas 3x tempe, bekas 5x
tempe, bekas 7x tempe, bekas tempe gosong, bekas goreng krupuk, dan bekas
goreng ikan. Hasil pengujian bilangan peroksida pada sampel berturut-turut dari
terkecil ke terbesar yaitu 0,4 (minyak sawit baru); 0,6 (minyak bekas goreng 1x
tempe); 0,8 (minyak bekas goreng 7x tempe); 1 (minyak bekas goreng 3x tempe
dan minyak bekas goreng 5x tempe) ; 1,2 (minyak bekas goreng ikan); 1,5
(minyak bekas goreng krupuk); 1,6 (minyak bekas goreng tempe gosong). Secara
teori semakin besar bilangan peroksida pada minyak maka semakin besar
kerusakan pada minyak. Dari hasil praktikum dapat dilihat bahwa secara teori
kerusakan minyak yang paling besar terjadi pada sampel minyak bekas goreng
tempe gosong. Hal ini dapat terjadi karena proses penggorengan sampai tempenya
gosong memerlukan panas yang tinggi dan waktu yang lama. Ini dapat
mempercepat proses oksidasi minyak yang digunakan dalam penggorengan
sehingga mengakibatkan minyak memiliki bilangan peroksida yang tinggi. Untuk
sampel yang memiliki bilangan peroksida paling rendah yaitu minyak sawit baru
karena belum terlibat dalam proses pengolahan makanan dengan suhu tinggi
sehingga bilangan peroksida nya rendah.
Bilangan peroksida bukan hanya diakibatkan pengolahan yang menggunakan
panas saja tetapi juga diakibatkan oleh penyimpanan yang kurang tepat misal
terkena cahaya. Winarno (1982) menyebutkan ootoksidasi dimulai dengan
pembentukan radikal-radikal yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat
mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida,
logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin,
hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase.

Secara singkat reaksi oksidasi lemak dijelaskan oleh gambar di bawah ini :

Gambar 2.1 Reaksi oksidasi asam lemak
Reaksi oksidasi lemak secara umum terjadi lewat 3 tahap yaitu inisiasi,
propagasi, dan terminasi. Pada proses awal inisiasi terjadi perpindahan ikatan
rangkap pada asam lemak dan terdapat atom H yang lepas. Pada gambar diatas
terlihat ikatan rangkap pada atom C 12 berpindah ke atom C 11 dan membentuk
asam lemak trans. Atom H pada atom C 13 terlepas yang pada proses berikutnya
akan ditempati oleh oksigen. Pada tahap propagasi mulai terlibat oksigen yang
menjadi faktor paling penting dalam oksidasi lemak yaitu sebagai pengoksidasi.
O2 masuk dalam struktur asam lemak dan terikat pada atom C 13. Setelah itu atom
H masuk dan berikatan dengan O2 membentuk struktur asam karboksilat. Ikatan
ini tidak stabil sehingga pada proses terakhir yaitu terminasi, ikatan tersbut akan
terdegradasi menghasilkan asam lemak yang baru dan senyawa alkana.
Dalam Winarno (1982) disebutkan mekanisme reaksi oksidasi lemak secara
rinci. Molekeul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh
mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut
disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.
Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang, sebuah atom hidrogen yang

terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang
mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi
sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan O 2 membentuk
peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak
stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek
oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawasenyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehidaaldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak.
Namun, jumlah bilangan peroksida yang lemak yang tinggi juga bukan
penentu rusaknya minyak. Terdapat contoh minyak yang bilangan peroksida nya
rendah namun sudah mengalami akibat dari oksidasi minyak itu sendiri seperti
ketengikan. Selanjutnya akan ditampilkan pada grafik berikut :

Grafik bilangan peroksida pada minyak
6
5
4
jumlah peroksida lemak

3
2
1
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10

Waktu (hari)

Grafik 2.1 Hubungan jumlah bilangan peroksida dengan waktu
Terlihat bahwa jumlah bilangan peroksida tertinggi terdapat ada satu titik
yaitu pada hari ke-5. Namun untuk jumlah bilangan peroksida terendah terdapat
pada hari ke 1 dan ke 9. Ini terjadi karena pada hari pertama dimungkinkan belum
terjadi oksidasi dan mencapai puncak ketika hari ke 5, minyak pun belum
terkontaminasi senyawa turunan lemak yang menyebabkan ketengikan. Setelah
hari ke 5, yang terjadi adalah pecahnya peroksida lemak pada minyak sehingga
bilangan peroksida menurun menjadi rendah kembali namun sudah terjadi

kerusakan karena terdapat senyawa-senyawa turunan asam lemak yang
menyebabkan ketengikan. Oleh karena itu, penentuan kualitas minyak sawit harus
ditinjau dari berbagai parameter yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi
Nasional pada SNI (Standar Nasional Indonesia). Pencegahan oksidasi minyak ini
dapat dicegah menggunakan senyawa antioksidan seperti vitamin A, BHT, BHA,
vitamin E dll.
Pereaksi yang digunakan dalam pengujian bilangan peroksida antara lain
kloroform, asam asetat glasial, KI, Na2S2O3, serta indikator amilum. Fungsi dari
pereaksi tersebut yaitu :
1. Kloroform digunakan untuk melarutkan minyak sehingga larut dengan
sempurna dan bisa diproses selanjutnya.
2. Asam asetat glasial digunakan untuk menghidrolisis asam lemak dari minyak.
Asam lemak ini yang kemudian diukur jumlah peroksida yang terkandung di
dalamnya.
3. KI digunakan sebagai pereaksi perantara karena titrasi yang dilakukan yaitu
titrasi tidak langsung (indirect titration). Peroksida yang pecah pada minyak
akan mengeluarkan oksigen. Oksigen yang terlepas akan mengoksidasi KI dan
menghasilkan I2 yang setara dengan jumlah oksigen pada sampel.
4. Na2S2O3 digunakan untuk mentitrasi I2 sehingga bisa ditentukan jumlah
bilangan peroksida pada sampel minyak.
5. Amilum digunakan sebagai indikator. Mekanismenya adalah iod yang
dibebaskan akan masuk ke dalam struktur amilum sehingga menimbulkan
warna biru. Titrasi dihentikan jika warna larutan menjadi tidak berwarna
karena I2 telah habis tertirasi.
Reaksi yang terjadi adalah:
RCOO- + KI

RCO- + H2O + I2 + K+

I2 + Na2S2O3

NaI + Na2S2O3

(Ketaren, 1986)

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengujian bilangan peroksida pada
minyak antara lain :
1. Kelarutan minyak pada pelarutan menggunakan kloroform dan asam asetat
glasial.

2. Pengocokan sampel agar peroksida lemak bisa pecah dan melepaskan oksigen.
3. Kurang terjaganya erlenmeyer dari cahaya setelah ditambahkan KI karena I 2
yang dilepaskan sangat rentan terhadap cahaya.
4. Pengamatan yang kurang teliti pada proses titrasi sehingga berpengaruh pada
volume titran yang dibutuhkan.
Tabel 2.2 Titik Asap
Kelompok
Sampel
1&9
Minyak sawit baru
2 & 10
Bekas 1x tempe
3 & 11
Bekas 3x tempe
4 & 12
Bekas 5x tempe
5 & 13
Bekas 7x tempe
6 &14
Bekas tempe kosong
7 & 15
Bekas goreng krupuk
8 & 16
Bekas goreng ikan
Sumber : Laporan Sementara

Titik asap (⁰C)
210
208
212
206
213
211
198
208

Minyak sawit merupakan bahan yang memiliki sifat fisik dan sifat kimia yang
mempengaruhi kualitasnya. Salah satu sifat fisik yang berpengaruh pada kualitas
minyak yaitu smoke point. Bila suatu lemak dipanaskan, pada suhu tertentu timbul
asap tipis kebiruan. Titik ini disebut titik asap (smoke point). Bila pemanasan
diteruskan maka akan tercapai flash point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat
nyala). Jika minyak sudah terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu terjadinya
smoke point ini bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah asam lemak bebasnya.
Jika asam lemak bebas banyak, ketiga suhu tersebut akan turun. Demikian juga
bila berat molekul rendah, ketiga suhu tersebut akan lebih rendah (Winarno,
1982).
Pada praktikum ini sampel dipanaskan di atas hot plate kemudian diamati
sampai terbentuk asap berwarna biru kemudian diukur suhu minyak tersebut. Dari
hasil praktikum didapat bahwa titik asap sampel berturut-turut dari terkecil ke
terbesar yaitu sebesar 198 oC (minyak bekas goreng krupuk), 206 oC (minyak
bekas goreng 5x tempe), 208 oC (minyak bekas goreng ikan dan minyak bekas
goreng 1x tempe), 210 oC (minyak sawit baru), 211 oC (minyak bekas goreng
tempe gosong), 212 oC (minyak bekas goreng 3x tempe), 213 oC (minyak bekas
goreng 7x tempe). Titik asap tertinggi terdapat pada sampel minyak bekas goreng

7x tempe sebesar 213⁰ C sedangkan titik asap terendah terdapat pada pada minyak
bekas goreng krupuk sebesar 198 C⁰. Smoke point ini ditentukan oleh banyaknya
asam lemak bebas yang terdapat pada sampel maka secara teori smoke point
terendah terdapat pada minyak sawit baru karena belum ada proses pengolahan
yang melibatkannya. Hal ini bisa terjadi karena minyak sawit baru yang sudah
terhidrolisis oleh air/enzim sehingga meningkatkan jumlah asam lemak bebas.
Smoke point minyak sawit baru ini sudah sesuai dengan teori. Smoke point minyak
goreng biasa, yang kebanyakan berasal dari biji tumbuhan, dapat berkisar antara
120oC hingga lebih dari 230oC.
Lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak dengan adanya
air. Reaksi ini dipercepat dengan adanya asam, basa, dan enzim. Hidrolisis sangat
menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang telah terhidrolisis akan
menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang terlah terhidrolisis akan menurun
smoke point-nya, bahan-bahan menjadi coklat, dan lebih banyak menyerap warna
(Winarno, 1997).
E. Kesimpulan
Dari hasil praktikum evaluasi bilangan peroksida dan titik asap minyak
goreng didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Prinsip pengujian penentuan bilangan peroksida berdasarkan jumlah iodine
yang dibebaskan setelah lemak atau minyak ditambahkan KI. Lemak
direaksikan dengan KI sebagai pelarut asam asetat dan kloroform (2:1),
kemudian iodine yang berbentuk ditentukan dengan titrasi memakai
Na2S2O3.
2. Dari hasil praktikum, hasil pengujian bilangan peroksida pada sampel
berturut-turut dari terkecil ke terbesar yaitu 0,4 (minyak sawit baru); 0,6
(minyak bekas goreng 1x tempe); 0,8 (minyak bekas goreng 7x tempe); 1
(minyak bekas goreng 3x tempe dan minyak bekas goreng 5x tempe) ; 1,2
(minyak bekas goreng ikan); 1,5 (minyak bekas goreng krupuk); 1,6
(minyak bekas goreng tempe gosong)

3. Bilangan peroksida tertinggi terdapat pada minyak bekas tempe gosong
sebesar 1,6 dan yang terendah terdapat pada minyak sawit baru sebesar 0,4.
4. Dari hasil praktikum didapat bahwa titik asap sampel berturut-turut dari
terkecil ke terbesar yaitu sebesar 198 oC (minyak bekas goreng krupuk), 206
o

C (minyak bekas goreng 5x tempe) ,208 oC (minyak bekas goreng ikan dan

minyak bekas goreng 1x tempe), 210 oC (minyak sawit baru), 211 oC
(minyak bekas goreng tempe gosong), 212 oC (minyak bekas goreng 3x
tempe), 213 oC (minyak bekas goreng 7x tempe).
5. Smoke point tertinggi terdapat pada minyak bekas goreng 7x tempe yaitu
sebesar 213 C⁰ sedangkan smoke point terendah terdapat pada minyak bekas
goreng kerupuk yaitu sebesar 198 C⁰.
6. Parameter bilangan peroksida dan smoke point minyak bergantung pada
intensitas minyak tersebut digunakan, suhu penggunaan, dan waktu
penggunaan minyak untuk menggoreng.
7. Semakin tinggi smoke point maka mutu minyak akan semakin baik, semakin
rendah maka mutu minyak semakin rendah karena sudah banyak asam
lemak bebas pada minyak.
8. Parameter bilangan peroksida tidak dapat menjadi parameter tunggal uji
kerusakan minyak sehingga dibutuhkan pengujian parameter lain sehingga
dapat diketahui pasti minyak tersebut rusak atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat
Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan
Gizi Vol. 01 No. 01 Tahun 2010
Astuti, Endang Puji. 2008. Pengaruh Penambahan Berbagai Tingkat Vitamin C
Sebagai Antioksidan Dan Lama Simpan Terhadap Ketengikan Bungkil
Kacang Tanah
Buckle et al. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press : Jakarta.
Fan, H.Y et al. 2012. Frying Stability of Rice Bran Oil and Palm Olein.
International Food Research Journal 20(1): 403-407 (2013). School of Food
Science and Nutrition, Universiti Malaysia Sabah, Jalan UMS, 88400 Kota
Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,
Jakarta.
Gaman, P. M. 1992. Ilmu Pangan ; Pengantar Ilmu Pangan, nutrisi dan
Mikrobiologi. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.
Moh, M.H, Y.B. Che Mana, F.R. van de Voort, and W.J.W. Abdullah. 1999.
Determination of Peroxide Value in Thermally Oxidized Crude Palm Oil by
Near Infrared Spectroscop. Volume 76 Nomor 1.
Mukherjee et al. 2009. Health Effects of Palm Oil. Volume 3 No 26 Hal 197-198.
School of Medical Science and Technology, Indian Institute of Technology :
India.
Nordin, M.F.N. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used Palm Cooking Oil
Using Bagasse Adsorbent. Volume 2 No 1 Hal 185. Faculty of Agro
Industry & Natural Resources University Malaysia Kelantan : Malaysia.
Wildan, Farihah. 2002. Penentuan Bilangan Peroksida. dalam Minyak Nabati
dengan Cara Titrasi. Balai Penelitian Ternak-Ciawi.
Winarno, F.G. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wolke, Robert L. 2006. Kalo Einstein Jadi Koki Sains di Balik Urusan Dapur. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.