Resume Buku Sistem Politik Indonesia A

SEJARAH DAN ILMU-ILMU SOSIAL
Resume Buku
SISTEM POLITIK INDONESIA
KESTABILAN, PETA KEKUATAN POLITIK DAN PEMBANGUNAN
Karya ARBI SANIT

Kelompok 4
1. Eriana Yuda N.
2. Lukitasari Ananda
3. Zulkifli Pelana
Pendidikan Sejarah (A) 2012

Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

SISTEM POLITIK INDONESIA
KESTABILAN, PETA KEKUATAN POLITIK DAN PEMBANGUNAN
Karya ARBI SANIT

Bab 1
Kestabilan Politik dan Peta Politik

Kestabilan Politik
Salah satu gambaran ketidakstabilan politik Indonesia terlihat dari masa pemerintahan
kabinet-kabinet di masa Demokrasi Konstitusional yang paling lama sampai 23 bulan. Dari
singkatnya waktu tersebut, setiap kabinet kurang kesempatan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapinya.
Kalau ketidakstabilan terdahulu bersumber dari kelemahan elit untuk bekerja sama satu
sama lain, maka terakhir ini bersumber dari belum melembaganya struktur dan prosedur
politik yang mampu memberi tempat bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam proses
politik.
Secara teoritis, stabilitas politik ditentukan oleh 3 variabel, yakni perkembangan ekonomi
yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan
partisipasi politik.
Dalam hal hubungan antara perkembangan ekonomi dengan demokrasi, negarawan dan
penelitian politik Barat menyimpulkan bahwa masalah politik yang penting bersumber dari
perkembangan industri yang cepat. Dengan perkembangan industri tersebut memperbesar
jumlah buruh tidak ahli dari desa, tapi tidak mampu menjadi ahli sesuai kecepatan
perkembangan industri. Akibatnya, pengangguran menjadi masalah politik yang harus segera
diselesaikan.
Bagi Indonesia yang banyak penduduknya hidup dalam sektor pertanian, ada usaha untuk
meningkatkan hasil pertanian guna mendampingi perkembangan industri, dengan harapan
agar sektor pertanian menyerap banyak tenaga kerja. Namun, ada persoalan pokok untuk

menyeimbangkan antar daya serap tenaga kerja semua sektor ekonomi dengan persediaan
tenaga kerja di masyarakat. Kecenderungan ini menyebabkan tumbuhnya potensi radikal
petani pedesaan dan kalangan bawah masyarakat kota, karena ketidakpuasan serta perasaan
tidak aman tentang kehidupan yang baik.
Masyarakat tersebut lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan.
Sebagai bukti terlihat dari dengan mudahnya PKI menggerakkan massa petani untuk

melakukan aksi sepihak pada awal tahun 1960-an, karena ketidakpuasan di kalangan petani
menyebabkan mereka lebih mudah tertarik pada taktik perjuangan PKI.
Di samping semua itu, pada situasi di mana perkembangan ekonomi yang tidak diimbangi
partisipasi masyarakat secara politik, sulit juga diharapkan terpeliharanya kestabilan politik.
Kestabilan politik dalam suasana partisipasi politik yang tinggi sekiranya diimbangi
perkembangan pelembagaan politik. Maksudnya, masyarakat ingin ikut ambil bagian dalam
proses politik melalui lembaga-lembaga politik sesuai kekuatan politik di masyarakat.
Partisipasi yang tidak tersalurkan akan goncangan-goncangan terhadap kestabilan politik.
Tanpa menghubungkan dengan pembangunan, kestabilan politik dapat juga dipelihara
dengan mempertahankan tingkat pelembagaan politik yang rendah; asal diimbangi partisipasi
politik yang rendah pula.
Dalam penelaahan mengenai kestabilan politik Indonesia sejak merdeka, dapat dibedakan
antara kestabilan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Kestabilan politik jangka pendek lebih banyak ditentukan oleh kewibawaan pemerintah.
Silih bergantinya pemerintahan masa Demorasi Konstitusional dalam waktu singkat sehingga
kesempatan untuk melaksanakan programnya sulit menurunkan kepercayaan masyarakat.
Penurunan kepercayaan tersebut mempengaruhi kestabilan politik. Selain itu, kepercayaan
massa terhadap kepemimpinan kharismatik Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin banyak
juga berpengaruh terhadap kestabilan politik jangka pendek. Semakin lamanya Soekarno
memerintah didorong juga masalah-masalah nasional yang tak terselesaikan, maka sentakan
ketidakstabilan politik makin dirasakan.
Dengan demikian, dalam jangka pendek ketidakstabilan politik di Indonesia lebih banyak
tergantung pada faktor seni dan keahlian berpolitik dan memerintah. Kewibawaan
pemerintah, kemampuan berkompromi, dan kemampuan memimpin birokrasi tampaknya
lebih berperan bagi stabilitas dalam jarak 1 atau 2 masa pemilu.
Stabilitas politik jangka panjang ditentukan oleh 3 faktor, yaitu perkembangan ekonomi,
pelembagaan struktur dan proses politik, dan partisipasi politik. Dalam pergantian sistem
politik Demokrasi Konstitusional ke Demokrasi terpimpin pelembagaan politik lemah. Lalu
tercetus ketidakpuasaan terhadap Demokrasi Terpimpin karena kemerosotan ekonomi dan
makin banyak kekuatan politik yang tidak memperoleh peran. Beberapa fenomena tersebut
terjadi dalam waktu yang singkat, namun dampaknya berlaku sampai beberapa tahun
berikutnya dalam perkembangan politik di negeri ini.
Peta Kekuatan Politik


Beberapa golongan kekuatan politik yang ada di Indonesia, yakni ABRI, Partai Politik,
Golongan Karya, dan kekuatan politik anomi seperti mahasiswa dan pemuda. Memang dalam
realitasnya penggolongan itu tidak sesederhana seperti yang tersebut. Di antara golongangolongan itu terdapat perbedaan, namun dalam menghadapi berbagai masalah ada jalur
penghubung di antara mereka.
Secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik masa Orde Baru dapat dikategorikan dalam
golongan radikal, konservatif, dan moderat.
Golongan radikal melarang kesempatan berkolaborasi dengan rezim Orde Lama.
Golongan ini menghendaki bersihnya kehidupan politik Orde Baru dari pengaruh Orde Lama
dan mereka lebih condong ke Barat dalam mengatur kehidupan politik dan ekonomi.
Golongan konservatif yang lebih cenderung pada politik sipil juga menghendaki pembersihan
terhadap sisa-sisa pengaruh Orde Lama. Tidak seperti golongan radikal, golongan ini
menghendaki pembangunan ekonomi yang benar-benar didasarkan pada modal dalam negeri
dan mereka juga menghendaki pengambilan keputusan dengan musyawarah dan mufakat.
Golongan moderat mengambil jalan tengah dengan mempertimbangkan antara tuntutan kedua
golongan tadi.
Bab 2
Partai Politik: Partisipasi Politik dan Legitimasi Sistem Politik
Sistem Politik
Masyarakat yang secara minimal mengenal berbagai sistem politik di dunia dan mencoba

mempraktekkan salah satu atau kombinasi sistem politik yang dikenalnya. Demikian halnya
dengan partai politik yang sebelum kemerdekaan sudah menghadapi berbagai masalah
kehidupan partai. Para perintis kemerdekaan sudah memikirkan sistem kepartaian apa yang
akan dikembangkan di Indonesia, namun mereka tidak berkesempatan mempraktekkan
pemikiran-pemikiran mereka. Di samping itu, perkembangan ekonomi dan kemasyarakatan
belum memberi kesempatan meletakkan dasar-dasar kehidupan partai politik yang
diharapkan.
Aliran: Struktur Vertikal Masyarakat
Besarnya peran agama dalam masyarakat ternyata melandasi kekuasaan raja-raja masa
lalu. Peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut, dan
sebagainya memperlihatkan pada kita bagaimana hubungan agama dengan kekuasaan dan
susunan masyarakat pada masa lalu.

Masuknya Islam, tidak jauh berbeda dengan masa Hindu-Budha di mana ajaran agama
sebagai landasan kekuasaan raja. Tapi, perkembangan Islam menumbuhkan kelompok baru
dalam masyarakat, yakni Islam dan non Islam atau santri dan abangan.
Di masa kolonial Belanda, hubungan kekuasaan dengan agama hampir tak berubah. Di
satu pihak Belanda sekuler dengan segala aparat birokrasinya. Di lain pihak Belanda tetap
menegakkan kekuasaan yang dihubungkan dengan agama melalui sistem indirect rule para
pemimpin lokal yang merupakan lapisan atas dari masyarakat Indonesia.

Aliran dan Organisasi-Organisasi Pergerakan Kemerdekaan
Berbagai golongan di atas mempengaruhi kehidupan organisasi sosial dan politik.
Organisasi sosial seperti Budi Utomo, Syarikat Dagang Islam, Nahdathul Ulama (sebelum
menjadi parpol), dan Muhammadiyah lebih memgutamakan tuntutan sosial golongan tertentu
di masyarakat. Di samping itu, lahir pula kelompok yang didasari kepada suku kedaerahan,
seperti Paguyuban Pasundan, Sarekat Sumatera, Sarekat Ambon, Rukun Minahasa, dan Kaum
Betawi.
Ketidakpuasan dari golongan menengah dan yang terdidik secara Barat menimbulkan arah
pada pergerakan politik. Unsur utama perjuangan mereka dilandasi ketidakadilan dan
kemerdekaan.
Pengorganisasian Partai Politik
Ikatan primordial yang mencakup agama, suku, dan kedaerahan berpengaruh terhadap
pengorganisasian partai-partai politik dan hubungannya dengan massa jelas sekali terlihat
seperti pada masa perjuangan kemerdekaan. Sementara itu, organisasi kepentingan seperti
organisasi-organisasi wanita, pemuda, veteran, buruh, petani, dan lain-lain membentuk suatu
aliran politik.
Satu dimensi lagi dari hubungan antara partai dengan massa di Indonesia ialah
kecenrungan terpusatnya dukungan partai di daerah tertentu. Berdasarkan hasil pemilu tahun
1955 dan 1971, terlihat Masyumi memperoleh dukungan utama di Aceh, Tapanuli Selatan,
Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. NU dominan di Jawa, Tengah, Jawa Timur, Madura,

Jakarta, dan Kalimantan. Sedangkan Parkindo dominan di Sumatera Utara dan Maluku.
Hasil pemilu 1955 memperlihatkan bahwa PKI banyak dukungan dari Jawa Tengah dan
beberapa di Sumatera. Lalu PNI dan NU terikat pada Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dari uraian tersebut partai politik mempunyai hubungan mendasar dengan pendukungnya.
Setiap partai dapat dikatakan mewakili paham yang ada di masyarakat.
Kemudian ada masalah lagi yang perlu diperhatikan terkait partai politik, yaitu persoalan
kepemimpinan partai politik itu sendiri. Banyak peneliti politik Indonesia setuju memakai

istilah “bapakisme” untuk menyimpulkan sifat-sifat kepemimpinan di Indonesia. Sifat ini
menunjukkan pada kita bahwa hubungan pemimpin dengan yang dipimpin seperti hubungan
antara anak dan bapak. Anak harus setia dan patuh pada bapak dan sebaliknya bapak harus
mengayomi anaknya. Sejalan dengan ini, Willner memakai istilah “bapakisme yang bukan
otoriter” untuk mengungkapkan wibawa pemimpin terhadap masyarakat yang tidak
sepenuhnya otoriter, tapi tidak memenuhi persamaan kedudukan dalam persyaratan
demokrasi.

Peninjauan

ini


yang

menyebabkan

Wertheim

menyimpulkan

bahwa

kepemimpinan dalam masyarakat Indonesia lebih banyak sifat otoriter dari pada demokratis.
Sifat kepemimpinan “bapakisme” ini mempersulit penggantian pemimpin partai, oleh
karena pengikut sulit untuk menarik kesetiaannya pada pemimpin. Apalagi bila pemimpin
memang memenuhi kewajiban pengayomannya. Pola kepemimpinan ini mengakibatkan
ketertutupan lingkaran kehidupan politik yang mana dapat memicu kurangnya pemikiranpemikiran baru yang masuk ke dalam kehidupan politik.
Lalu kepemimpinan “bapakisme” yang menuntut pengikut tanpa diimbangi pengawasan
pada bapak pemimpin mendorong pemantapan sistem sentralisasi pengorganisasian partai
politik.
Sebenarnya sistem organisasi partai politik di Indonesia menggabungkan antara
keanggotaan langsung dan keanggotaan tidak langsung. Pada sistem langsung, partai

menggunakan ranting-ranting sebagai unit organisasi terkecil untuk memelihara hubungan
anggota dengan partai. Pada sistem tidak langsung, adanya himpunan massa yang
dikelompokkan dalam organisasi massa (ormas) dalam batas kepentingan tertentu.
Dengan demikian, masyarakat sudah terkotak mengikuti organisasi vertikal, partai mulai
dari ranting sampai cabang, dan melalui organisasi horizontal partai yaitu organisasi massa.
Pengelompokan Partai
Faktor sejarah, sifat-sifat hubungan masyarakat, kemampuan organisasi elit, dan sikap
ideologi berpengaruh negatif pada kehidupan partai politik. Namun, seringkali pemimpin
cenderung mempermasalahkan jumlah partai yang terlalu banyak sebagai masalah pokok di
balik lemahnya partai. Masalahnya ialah apakah dengan menyederhanakan jumlah partai,
perbaikan kehidupan partai dapat dilaksanakan.
Usaha penyederhanaan partai politik dengan menyederhanakan jumlah partai politik
dilakukan pada masa Orde Baru dengan hanya mengizinkan tiga parpol dan satu golongan
karya untuk mengikuti pemilu setelah tahun 1971. Berhasil atau tidaknya akan diukur dari
perkembangan sejarah. Tidak mudah memperkirakan kemungkinan yang akan dialami dari
pendekatan tersebut.

Bab 3
Angkatan Bersenjata: Pembangunan dan Pembaharuan Politik
ABRI dan Politik

Munculnya militer di bidang politik, sosial, dan ekonomi negara-negara berkembang,
berpangkal pada lemahnya pihak sipil mengendalikan semua unsur kehidupan masyarakat.
Politisi sipil relatif cepat dihadapkan pada masalah seperti penyusunan sistem politik yang
relatif tergesa-gesa, masih coba-coba menentukan model untuk pelayanan tuntutan
masyarakat. Selain itu, kurangnya efektivitas dan solidaritas elit besar sekali perannya
sebagai faktor pendorong sipil ke belakang politik.
Sekiranya pandangan tersebut memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kemampuan
militer mengelola kehidupan politik Indonesia. Keunggulan militer dalam hal organisasi di
antaranya, mereka lebih terorganisir daripada sipil, melalui sentralisasi komando, hirarki,
disiplin, komunikasi intern yang lancar. Sifat-sifat inilah yang tidak dikembangkan pihak sipil
secara sistematis dan utuh.
Bergesernya ABRI ke bidang politik, sosial, dan ekonomi berjalan dalam waktu 20 tahun.
Sejarah politik Indonesia penuh pengalaman yang menunjukkan belum dibinanya koordinasi
sipil dan militer. Situasi tersebut terlihat dari ketidakpuasan militer terhadap kebijaksanaan
politik yang diambil pemerintah dalam politisi sipil.
Pada masa Demokrasi Konstitusional diwarnai usaha politisi sipil untuk mengontrol
kepemimpinan dan organisasi militer. Munculnya Nasution dengan peristiwa 17 Oktober
1952 merupakan penolakan militer untuk dikontrol oleh sipil. Pada saat Demokrasi
Terpimpin, keutuhan ABRI diperlukan kembali. Pertama, untuk menghindari pemisahan
daerah-daerah dari NKRI. Kedua, untuk mengimbangi kekuatan politik PKI.

ABRI dan Pembangunan
Secara sosial, militer lebih mampu menjadi modernisator sebab: (a) tentara lebih cepat
berkenalan walaupun banyak anggota berasal dari daerah pedesaan; (b) proses akulturasi
dalam tentara lebih mengarah pada teknologi; dan (c) secara politis, akulturasi tentara lebih
melibatkan diri pada negara secara keseluruhan. Inilah sebabnya juga tentara terikat sekali
pada dua hal, yaitu keutuhan nasional dan pembangunan.
Militer lebih terikat pada pembangunan, ada beberapa faktor yang menentukan. Pertama,
militer terbiasa membandingkan masyarakat sendiri dengan masyarakat di negara-negara lain.
Kedua, militer lebih terikat pada cara pikir rasional, efisien, dan pragmatis. Ketiga, militer
agak memiliki jarak dengan masyarakat sipil.

Kepemimpinan dan Organisasi ABRI
Kepemimpinan politisi sipil lebih didasarkan pada unsur tradisional masyarakat, seperti
kharisma dan kewibawaan Soekarno, ikatan primordial kepemimpinan Natsir, Ali
Sastroamidjojo. Berbeda dengan itu, kepemimpinan militer Indonesia didasarkan pada
lembaga masyarakat yang lebih modern. Melalui sistem komando ABRI lebih mampu berada
dalam organisasi yang utuh.
Lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong pula sistem hirarki yang disiplin. Hirarki
dan disiplin amat membantu komandan mengendalikan tingkah laku anggotanya di seluruh
daerah. Lalu rasa keterikatan anggota militer, seperti ABRI membantu juga efektivitas
kepemimpinan militer. Sebagai kelompok yang memperoleh sosialisasi seragam, kecil
kemungkinan tumbuh perbedaan pandangan dalam ABRI.
Satu hal lagi yang menentukan suksesnya kepemimpinan ABRI ialah sistem komunikasi
yang terpelihara. ABRI memiliki jaringan komunikasi yang terpisah dari yang dipakai
masyarakat umum. Di samping itu, pertemuan baik tingkat nasional maupun daerah
dilaksanakan dengan teratur.
ABRI dan Pembaharuan Politik: GOLKAR
Masalah ABRI bukan hanya sekedar mengendalikan politik nasional, melainkan
berkurangnya efektivitas jika tidak didampingi partisipasi masyarakat yang bertolak dari
penerimaan dan legitimasi dari masyarakat.
Kedua unsur di atas satu sama lain berhubungan erat. Sebab “authority” merupakan
pengaruh dari pemimpin yang erat kaitannya dengan legitimasi: dan legitimasi merupakan
kepercayaan (dari masyarakat) terhadap struktur, prosedur, kebijaksanaan, keputusan dan
tindakan pemimpin.
Salah satu kelemahan pokok militer ialah “tidak mudah bagi tentara memperoleh
legitimasi yang menyebabkan militer agak langka moral untuk memerintah”. Apabila sampai
pada masalah ini, maka hakikat persoalan adalah hubungan sipil dan militer. Janowitz
mengemukakan 5 tipe hubungan sipil militer: (1) authoritarian-personal; (2) authoritarianmassparty; (3) democratic-competitive; (4) civil-military coalition; dan (5) military oligarchy.
Masalah pokok ABRI lainnya ialah ABRI tidak bisa berbuat apa-apa tanpa lembagalembaga masyarakat. Sebab sifat dinamis suatu sistem tergantung pada masyarakat
keseluruhan, yakni dari lembaga-lembaga masyarakat yang mampu menjawab tantangan
yang dihadapi.
Seluruh masalah di atas diselesaikan melalui pengembangan kerja sama ABRI dengan
berbagai unsur masyarakat yang potensiil. Maka dari itu, ABRI memasuki kalangan birokrasi

pemerintahan

serta

meyakinkan

bahwa

ABRI

dapat

mengontrol

kemungkinan

penyalahgunaan kekuasaan. Kedua tujuan ini terjalin dalam pembentukan Golongan Karya
(GOLKAR) sebagai organisasi massa berlandaskan profesi.
Pembentukan Golkar yang notabene adalah kelompok politik bentukan dari atas
pemerintahan memperlihatkan pergeseran penafsiran ideologi pada pembangunan. Selain itu,
Golkar seperti alat yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan
kekuasaannya dan melancarkan apa yang disebut pembangunan. Lalu ada 3 faktor yang
membuat Golkar menang dalam pemilu 1971. Pertama, Tap Mendagri No. 12 tanggal 4
Desember 1969 yang melarang anggota badan perwakilan daerah dari golongan fungsional
untuk memegang keanggotaan salah satu partai politik. Kedua, Keputusan Pemerintah No. 6
tanggal 11 Februari 1970 yang melarang pegawai negeri untuk aktif dalam partai politik.
Ketiga, ialah peranan Golkar yang banyak memperoleh perhatian pimpinan OPSUS
HANKAM, Brigjen Ali Murtopo. Dari ketiga faktor tersebut, dapat dilihat adanya kekangan
terhadap masyarakat untuk bebas berpolitik.
Dengan demikian, kalau kita hubungkan dengan pembaharuan politik yang meliputi
masyarakat Indonesia seluruhnya, maka cukup alasan bahwa Golkar mengikuti hirarki militer
di mana perintah hanya dari atas.
Masalahnya ialah pembaharuan politik juga banyak ditentukan oleh partisipasi
masyarakat. Lembaga-lembaga masyarakat belum berkapasitas menyertai pembaharuan
tersebut, karena bagaimana pun ikatan tradisional masih berpengaruh, seperti terlihat dari
perintah yang hanya datang dari atas. Untuk itulah diperlukan pertumbuhan organisasiorganisasi sukarela di masyarakat sebagai penampung dan pengembang daya kreatif
masyarakat.
Bab 4
Mahasiswa dan Angkatan Muda
Sumpah Pemuda tahun 1928 dianggap yang pertama kali mengeluarkan pendapat bahwa
angkatan muda merupakan komponen dalam masyarakat yang juga mengambil bagian di
dalam kehidupan politik Indonesia. Tercapainya kemerdekaan, tidaklah mengendorkan
kegiatan angkatan muda di dalam politik Indonesia, dengan kata lain teknik perjuangan,
permasalahan yang menjadi titik tolak kegiatan dari aktivitas bisa berbeda dari waktu ke
waktu.
Bagi partai politik, perkembangan jumlah mahasiswa dilihat sebagai kekuatan potensial,
karena itu menjelang pemilu tahun 1955 partai politik meningkatkan kegiatan di kalangan

mahasiswa dalam rangka memperoleh dukungan, karakteristik dari mahasiswa sendiri
merupakan faktor pendorong bagi meningkatnya peranan mereka di dalam kehidupan politik
angkatan muda.
Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai horizon yang cukup luas di antara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak di
antara pelapisan masyarakat.
Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah,
mahasiswa dianggap telah melalui proses sosialisasi yang terpanjang di antara angkatan
muda. Di damping oleh sosialisasi di bidang politik yang sekiranya didapat dari berbagai
organisasi mahasiswa, baik yang pro kepada salah satu partai politik, maupun yang bukan.
Maka mahasiswa merupakan kelompok dari angkatan muda yang mempunyai pengetahuan
sosial dan politik yang lebih banyak.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa, jika
dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka universitas lebih kentara
maknanya bagi pembentukan akulturasi sosial dan budaya dikalangan angkatan muda.
Keempat, mahasiswa dianggap sudah menjadi atau merupakan kalangan elit di antara
kalangan angkatan muda lainnya, sebab mahasiswa yang merupakan bagian kecil dari
angkatan muda umumnya mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang
lebih baik dibandingkan angkatan muda lainnya.
Kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak
terlepas daripada perubahan kecenderungan orientasi universitas. Mahasiswa sebagai
komponen universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat di dalam pemikiran,
pembicaraan serta penelitian tentang masalah-masalah seperti halnya, hampir separuh dari
tamatan universitas yang berasal dari daerah tidak kembali ke daerah asalnya malah mencari
pekerjaan di kota, hal ini dikarenakan lapangan pekerjaan di daerah tidak memadai untuk
tamatan universitas.
Adapun faktor-faktor pendorong mahasiswa untuk terjun ke dunia politik tidaklah terpisah
dari unsur-unsur penyebab politik angkatan muda. Perbedaan nilai antara generasi angkatan
muda dengan generasi angkatan yang lebih tua mendorong terbentuknya generasi muda
sebagai kekuatan politik di Indonesia, akan tetapi sesuai dengan tanggapan mereka terhadap
lingkungan dan diri sendiri membuat generasi muda lebih tertarik kepada masalah-masalah
kesempatan kerja, kebebasan berbicara dan berkumpul, karena menurut mereka hal-hal
tersebut akan mereka hadapi secara nyata dan akan mempengaruhi kehidupan mereka di hari
depan.

Umumnya mahasiswa yang aktif berpolitik adalah mereka yang memiliki pandangan
pesimis mengenai kemungkinan untuk memperoleh posisi yang baik di dalam masyarakat,
sebaliknya mahasiswa yang berhasil studinya dan lebih yakin akan ketersedianya kesempatan
untuk memperoleh jabatan yang baik, pada umumnya memperlihatkan kecenderungan yang
kecil untuk berpolitik. Di dalam hal ini, faktor idealisme yang mendorong bagi kegiatan
politik mahasiswa pada umumnya mungkin akan memberikan jawaban yang bermakna untuk
diperhatikan.
Semua unsur-unsur di atas bersama-sama mendorong kegiatan politik mahasiswa disekitar
pergantian sistem politik Demokrasi Terpimpin kepada sistem politik Demokrasi Pancasila.
Bab 5
Politik, Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat
Politik dan ekonomi di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, misalnya
pada perencanaan dan pengerahan masyarakat terhadap pembangunan perekonomian
merupakan contoh dari hubungan yang sangat erat antara politik dan ekonomi.
Hubungan antara politik dan ekonomi Indonesia bisa terjalin dengan erat dikarenakan
beberapa faktor, yang pertama, sebagai negara yang baru lepas dari sistem ekonomi kolonial
di mana sistem ekonomi terpecah menjadi dua unsur yaitu, ekonomi ekspor dan ekonomi
lokal. Tindakan seperti itu diperlukan pula mengingat perekonomian lokal terjerat di dalam
sistem produksi untuk kebutuhan sendiri. Bahkan untuk pasar yang menghendaki produksi
yang cukup besar.
Kedua, sebagai akibat dari sistem ekonomi penjajahan di mana masyarakat lebih terpusat
kepada sektor produksi pertanian, maka sektor industri dan perdagangan menengah atau
perantara dengan sektor ekspor amatlah lemah.
Ketiga, kelompok ekonomi yang baru tumbuh ini juga lemah kedudukannya untuk
bersaing dengan kelompok ekonomi yang telah berpengalaman sebagai perantara di dalam
sistem ekonomi kolonial.
Keempat, secara nasional kelompok-kelompok ekonomi tersebut belum mampu melihat
potensi sesungguhnya yang dimiliki Indonesia, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing
dengan kelompok ekonomi lainnya.
Hal yang paling penting antara hubungan sistem ekonomi dan politik adalah politik
memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang nantinya dapat digunakan
sebagai salah satu solusi untuk menstabilkan perekonomian atau bahkan untuk memajukan
perekonomian di Indonesia.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147